Anda di halaman 1dari 29

ANTROPOLOGI KESEHATAN SUKU SASAK

MAKALAH

KELOMPOK 4 :

Rizal Vara Saputro 122110101057


Lutfi Imansari 122110101059
Nindy Rindra Puspita 122110101077
Reza Ahadiansyah 122110101094
Uswatun Asihta 122110101099

UNIVERSITAS JEMBER
JEMBER
2013
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena atas limpahan rahmat, taufik
serta hidayahnya penulis dapat menyelesaikan analisa yang berjudul “Nasi papah, antara budaya
dan kesehatan” tepat pada waktunya.

Analisa ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Antropologi Kesehatan
semester II Fakultas Kesehatan Masyarakat.

Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada semua pihak yang turut berpartisipasi
serta mendukung dan membantu penulis dalam menyelesaikan makalah ini, khususnya kepada :

1. Ibu Mury Ririanty, S.KM., M.Kes., selaku dosen matakuliah Antropologi Kesehatan
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Jember, yang telah meluangkan waktu,
tenaga dan pikiranya demi memberikan masukan kepada kami.

2. Kakak-kakak senior serta rekan-rekan kami semua, khususnya dari Fakultas Kesehatan
Masyarakat yang turut membantu dalam penyelesaian makalah ini.
3. Bapak dan ibu dirumah yang senantiasa mendoakan kami disini
4. Semua pihak yang tidak dapat kami sebutkan satu per satu
Penulis berharap semoga analisa ini dapat bermanfaat bagi kita semua dan semoga
analisa ini dapat menambah pengetahuan kita.
Dalam penulisan analisa ini penulis menyadari bahwa analisa ini masih jauh dari
kesempurnaan. Oleh sebab itu, kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan dari
para pembaca sekalian.
Jember, 15 Mei 2013

Penulis
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL ............................................................................................................... i

KATA PENGANTAR ........................................................................................................... ii

DAFTAR ISI............................................................................................................................ iii

Bab I Pendahuluan................................................................................................................. 1
Bab II Pembahasan ................................................................................................................ 2
2.1 Nasi Papah dari Sisi Budaya ................................................................................ 2
2.2 Nasi Papah dari Pandangan Kesehatan .......................................................... 8
2.3 Peranan Tokoh Agama .......................................................................................... 9
Bab III Kesimpulan ............................................................................................................. 11
Daftar Pustaka ....................................................................................................................... 12
BAB I
PENDAHULUAN

Indonesia adalah negara yang kaya dengan beragam suku dan budaya, yaitu sekitar 300
suku bangsa. Setiap suku memiliki keunikan masing-masing. Diantara suku – suku diatas, disini
kita akan membahas tentang Suku Sasak yang hidup di Pulau Lombok yang tinggal di dusun
Sade, Kecamatan Pujut, Lombok Tengah. Sekitar 80% penduduk pulau ini diduduki oleh Suku
Sasak dan selebihnya adalah suku lainnya, seperti Suku Mbojo (Bima), Dompu, Samawa
(Sumbawa), Jawa dan Hindu (Bali Lombok). Suku Sasak adalah suku terbesar di Propinsi yang
berada di antara Bali dan Nusa Tenggara Timur. Suku Sasak masih dekat dengan suku bangsa
Bali, tetapi suku ini sebagian besar memeluk agama Islam.
Umumnya, kepala keluarga suku ini bekerja sebagai petani, sedangkan kaum wanitanya
memiliki sambilan sebagai penenun kain. Hasil Tenunan dipajang di teras rumah atau di gazebo
yang ada di sekitar rumah. Para wisatawan bisa berkeliling menyusuri lorong kecil dari rumah ke
rumah untuk melihat hasil tenun sambil melihat rumah adat suku Sasak yang disebut bale tani.
Keunikan dari rumah adat suku Sasak adalah lantai yang dibuat dari campuran tanah liat, kotoran
kerbau, dan kulit padi. Menurut mereka, campuran tersebut lebih kokoh dibandingkan semen
biasa dan memiliki arti tersendiri. Tanah menggambarkan dari mana manusia berasal. Sedangkan
kotoran kerbau menggambarkan kehidupan mereka sebagai petani yang sangat memerlukan
kerbau untuk membajak sawah. Budaya lain yang masih ada hingga sekarang salah satunya yaitu
Nasi Papah. Nasi papah yaitu nasi yang dilumatkan dengan mulut yang kemudian diberikan
kepada bayi dan itu sudah berlangsung secara turun temurun. Menurut penduduk Pulau Lombok,
nasi papah mempunyai pengaruh besar pada perkembangan tubuh dan kecerdasan anak serta
percaya bahwa bayi juga memerlukan makanan pendamping selain ASI. Dari Pemaparan diatas,
nampak jelas terlihat banyak sekali hal yang perlu kita ketahui secara mendalam tentang Suku
Sasak, sehingga dapat memperluas khasanah keilmuan dan untuk lebih memahami bahwa
indonesia mempunyai berbagai suku dan adat istiadat masing-masing sehingga kita mempunyai
bekal untuk manentukan sikap dan jalan apa yang paling tepat untuk menyikapinya.
Dalam makalah ini akan dijelaskan beberapa adat istiadat maupun tradisi Suku Sasak
yang berkaitan dengan aspek kesehatan, diantaranya yaitu pemberian Nasi Papah „Pakpak‟,
Pembangunan Rumah Adat Suku Sasak dan tradisi Suku Sasak saat persalinan.
BAB II
PEMBAHASAN

1.1. Rumah Adat Suku Sasak

Rumah Adat Suku Sasak

Rumah Adat Suku Sasak


Bagian Dalam Rumah

Suku Sasak adalah penduduk asli dan suku mayoritas di Lombok, Nusa Tenggara Barat,
Indonesia. Sebagai penduduk asli, suku Sasak telah mempunyai sistem budaya sebagaimana
terekam dalam kitab Nagara Kartha Gama karangan Empu Nala dari Majapahit. Dalam kitab
tersebut, suku Sasak disebut „Lomboq Mirah Sak-Sak Adhi‟. Jika saat kitab tersebut dikarang
suku Sasak telah mempunyai sistem budaya yang mapan, maka kemampuannya untuk tetap eksis
sampai saat ini merupakan salah satu bukti bahwa suku ini mampu menjaga dan melestarikan
tradisinya. Salah satu bentuk dari bukti kebudayaan Sasak adalah bentuk bangunan rumah
adatnya.
Rumah mempunyai posisi penting dalam kehidupan manusia, yaitu sebagai tempat
individu dan keluarganya berlindung secara jasmani dan memenuhi kebutuhan spiritualnya. Oleh
karena itulah, jika kita memperhatikan bangunan rumah adat secara seksama, maka kita akan
menemukan bahwa rumah adat dibangun berdasarkan nilai estetika dan local wisdom
masyarakatnya, seperti halnya rumah tradisional suku Sasak di Lombok, Nusa Tenggara Barat.
Orang Sasak mengenal beberapa jenis bangunan adat yang dijadikan sebagai tempat tinggal dan
juga tempat penyelenggaraan ritual adat dan ritual keagamaan.
Atap rumah Sasak terbuat dari jerami dan berdinding anyaman bambu (bedek).Lantainya
dibuat dari tanah liat yang dicampur dengan kotoran kerbau dan abu jerami. Campuran tanah liat
dan kotoran kerbau membuat lantaitanah mengeras, sekeras semen. Pengetahuan membuat lantai
dengan caratersebut diwarisi dari nenek moyang mereka.
Seluruh bahan bangunan (seperti kayu dan bambu) untuk membuat rumah adat Sasak
didapatkan dari lingkungan sekitar mereka, bahkan untuk menyambung bagian-bagian kayu
tersebut, mereka menggunakan paku yang terbuat daribambu. Rumah adat suku Sasak hanya
memiliki satu pintu berukuransempit dan rendah, dan tidak memiliki jendela.
Dalam masyarakat Sasak, rumah berada dalam dimensi sakral (suci) dan profanduniawi)
secara bersamaan. Artinya, rumah adat Sasak disamping sebagai tempat berlindung dan
berkumpulnya anggota keluarga juga menjadi tempat dilaksanakannya ritual-ritual sakral yang
merupakan manifestasi darikeyakinan kepada Tuhan, arwah nenek moyang (papuk baluk), epen
bale(penunggu rumah), dan sebaginya.
Perubahan pengetahuanmasyarakat, bertambahnya jumlah penghuni dan berubahnya
faktor-faktoreksternal lainya (seperti faktor keamanan, geografis, dan topografis) menyebabkan
perubahan terhadap fungsi dan bentuk fisik rumah adat. Hanya saja, konsep pembangunannya
seperti arsitektur, tata ruang, danpolanya tetap menampilkan karakteristik tradisionalnya yang
dilandasi oleh nilai-nilai filosofis yang ditransmisikan secara turun temurun.
Untuk menjaga lestarinya rumah adat mereka dari gilasan arsitektur modern,para orang
tua biasanya mengatakan kepada anak-anaknya yang hendakmembangun rumah dengan
ungkapan: Kalau mau tetap tinggal di sini,buatlah rumah seperti model dan bahan bangunan
yang sudah ada. Kalau ingin membangun rumah permanen seperti rumah-rumah di kampung-
kampunglain pada umumnya, silakan keluar dari kampung ini. Demikianlah cara orang Sasak
menjaga eksistensi rumah adat mereka, yaitu dengan cara melembagakan dan mentransmisikan
pengetahuan dan nilai-nilai yangterkandung di dalamnya.

1.) Peralatan, Waktu dan Pemilihan Tempat


a. Peralatan untuk Membangun Rumah
Peralatan yang harus dipersiapkan untuk membangun rumah, diantaranya adalah:
* Kayu-kayu penyangga.
* Bambu.
* Bedek (anyaman dari bambu untuk dinding).
* Jerami dan alang-alang, digunakan untuk membuat atap.
* Kotaran kerbau atau kuda, sebagai bahan campuran untuk mengeraskan lantai.
* Getah pohon kayu banten dan bajur.
* Abu jerami, digunakan sebagai bahan campuran untuk mengeraskan lantai.
b. Waktu Pembangunan Rumah
Rumah mempunyai fungsi penting dalam kehidupan masyarakat Sasak, oleh karena itu
perlu perhitungan yang cermat tentang waktu, hari, tanggal dan bulan yang baik untuk memulai
pembangunannya. Untuk mencari waktu yang tepat, mereka berpedoman pada papan warige
yang berasal dari Primbon Tapel Adam dan Tajul Muluq. Oleh karena tidak semua orang
mempunyai kemampuan untuk menentukan hari baik, biasanya orang yang hendak membangun
rumah bertanya kepada pemimpin adat.
Orang Sasak di Lombok meyakini bahwa waktu yang baik untuk memulai membangun
rumah adalah pada bulan ketiga dan bulan kedua belas penanggalan Sasak, yaitubulan Rabiul
Awal dan bulan Zulhijjah pada kalender Islam. Ada jugayang menentukan hari baik berdasarkan
nama orang yang akan membangun rumah. Sedangkan bulan yang paling dihindari (pantangan)
untuk membangun rumah adalah pada bulan Muharram dan bulan Ramadlan. Pada kedua bulan
ini, menurut kepercayaan masyarakat setempat, rumah yang dibangun cenderung mengundang
malapetaka, seperti penyakit, kebakaran,sulit rizqi, dan sebagainya. c. Pemilihan Tempat

Selain persoalan waktu baik untuk memulai pembangunan, orang Sasak juga selektif
dalam menentukan lokasi tempat pendirian rumah. Mereka meyakini bahwa lokasi yang tidak
tepat dapat berakibat kurang baik kepada yang menempatinya. Misalnya, mereka tidak akan
membangun tumah di atas bekas perapian, bekas tempat pembuangan sampah, bekas sumur,dan
pada posisi jalan tusuk sate atau susur gubug. Selain itu, orangSasak tidak akan membangun
rumah berlawanan arah dan ukurannya berbeda dengan rumah yang lebih dahulu ada. Menurut
mereka, melanggar konsep tersebut merupakan perbuatan melawan tabu (maliq-lenget).

2.) Bangunan Rumah Adat Suku Sasak


Rumah adat Sasak pada bagian atapnya berbentuk seperti gunungan, menukik kebawah
dengan jarak sekitar 1,5 sampai 2 meter dari permukaan tanah(fondasi). Atap dan bubungannya
(bungus) terbuat dari alang-alang,dindingnya dari anyaman bambu (bedek), hanya mempunyai
satu berukuran kecil dan tidak ada jendelanya. Ruangannya (rong) dibagi menjadi inanbale
(ruang induk) meliputi bale luar (ruang tidur) dan bale dalemberupa tempat menyimpan harta
benda, ruang ibu melahirkan sekaligus ruang disemayamkannya jenazah sebelum dimakamkan.
Ruangan baledalem dilengkapi amben, dapur, dan sempare (tempat menyimpan
makanandan peralatan rumah tangga lainnya) terbuat dari bambu ukuran 2 x 2meter persegi atau
bisa empat persegi panjang. Kemudian ada sesangkok(ruang tamu) dan pintu masuk dengan
sistem sorong (geser). Di antarabale luar dan bale dalem ada pintu dan tangga (tiga anak tangga)
danlantainya berupa campuran tanah dengan kotoran kerbau/kuda, getah, danabu jerami.
Hal lain yang cukup menarik diperhatikan dari rumah adat Sasak adalah polapem
bangunannya. Dalam membangun rumah, orang Sasak menyesuaikan dengan kebutuhan
keluarga maupun kelompoknya. Artinya, pembangunan tidak semata-mata untuk mememenuhi
kebutuhan keluarga tetapi juga kebutuhan kelompok. Karena konsep itulah, maka komplek
perumahan adat Sasak tampak teratur seperti menggambarkan kehidupan harmoni penduduk
setempat.
Bangunan rumah dalam komplek perumahan Sasak terdiridari beberapa macam,
diantaranya adalah: Bale Tani, Bale Jajar,Berugaq/Sekepat, Sekenam, Bale Bonter, Bale Beleq
Bencingah, dan BaleTajuk. Nama bangunan tersebut disesuaikan dengan fungsi darimasing-
masing tempat.
a. Bale Tani
Bale Tani adalah bangunan rumah untuk tempat tinggal masyarakat Sasak yang
berprofesi sebagai petani. Bale Tani berlantaikan tanah dan terdiri dari beberaparuangan, yaitu:
satu ruang untuk serambi (sesangkok) dan satu ruanguntuk kamar (dalem bale). Walaupun dalem
bale merupakan ruangan untuktempat tidur, tetapi kamar tersebut tidak digunakan sebagai tempat
tidur. Dalem bale digunakan sebagai tempat menyimpan barang (harta benda) yang dimilikinya
atau tempat tidur anak perempuannya, sedangkan anggota keluarga yang lain tidur di serambi.
Untuk keperluan memasak(dapur), keluarga Sasak membuat tempat khusus yang disebut pawon.
Fondasibale tani terbuat dari tanah, Design atapnya dengan sistem jurai yangterbuat dari alang-
alang di mana ujung atap bagian serambi (sesangkok) sangat rendah, tingginya sekitar kening
orang dewasa. Dinding rumah bale tani pada bagian dalem bale terbuat dari bedek, sedangkan
pada sesangkok tidak menggunakan dinding. Posisi dalem bale lebih tinggidari pada sesangkok
oleh karena itu untuk masuk dalem bale dibuatkan tangga (undak-undak) yang biasanya dibuat
tiga trap dengan pintu yangdinamakan lawang kuri.
b. Bale Jajar
Bale jajar merupakan bangunan rumah tinggal orang Sasak golongan ekonomi menengah
ke atas.Bentuk bale jajar hampir sama dengan bale tani, yang membedakan adalah jumlah dalem
balenya. Bale jajar mempunyai dua kamar (dalem bale) dansatu serambi (sesangkok), kedua
kamar tersebut dipisah olehlorong/koridor dari sesangkok menuju dapur di bagian belakang.
Ukuran kedua dalem bale tersebut tidak sama, posisi tangga/pintu koridornya terletak pada
sepertiga dari panjang bangunan bale jajar.
Bahan yang dibutuhkan untuk membuat bale jajar adalah tiang kayu, dinding bedek dan alang-
alang untuk membuat atap. Penggunaan alang-alang, saatini, sudah mulai diganti dengan
menggunakan genteng tetapi dengan tidakmerubah tata ruang dan ornamennya. Bangunan bale
jajar biasanya berada dikomplek pemukiman yang luas dan ditandai oleh keberadaan sambi yang
menjulang tinggi sebagai tempat penyimpanan kebutuhan rumah tangga atau keluarga lainnya.
Bagian depan bale jajar ini bertengger sebuah bangunan kecil (disebut berugaq atau sekepat) dan
pada bagian belakangnya terdapat sebuah bangunan yang dinamakan sekenam, bangunan seperti
berugaq dengan tiang berjumlah enam.
c. Berugaq / Sekepat
Rumahadat sasak Berugaq/sekepat mempunyai bentuk segi empat sama sisi
(bujursangkar) tanpa dinding, penyangganya terbuat dari kayu, bambu danalang-alang sebagai
atapnya. Berugaq atau sekepat biasanya terdapat didepan samping kiri atau kanan bale jajar atau
bale tani.Berugaq/sekepat ini didirikan setelah dibuatkan pondasi terlebih dahulukemudian
didirikan tiangnya. Di antara keempat tiang tersebut, dibuat lantai dari papan kayu atau bilah
bambu yang dianyam dengan tali pintal(Peppit) dengan ketinggian 40 - 50 cm di atas permukaan
tanah.
Fungsi dan kegunaan berugaq/sekepat adalah sebagai tempat menerima tamu,karena menurut
kebiasaan orang Sasak, tidak semua orang boleh masuk rumah. Berugaq/sekepat juga digunakan
pemilik rumah yang memilikigadis untuk menerima pemuda yang datang midang (melamar). d.
Sekenam
Sekenam bentuknya sama dengan berugaq/sekepat, hanya saja sekenam
mempunyaimempunyai tiang sebanyak enam buah dan berada di bagian belakang
rumah.Sekenam biasanya digunakan sebagai tempat kegiatan belajar mengajartata krama,
penanaman nilai-nilai budaya dan sebagai tempat pertemuan internal keluarga.
e. Bale Bonter
Bale bonter merupakan bangunan tradisional Sasak yang umumnya dimiliki oleh
paraperkanggo/Pejabat Desa, Dusun/kampong. Bale bonter biasanya dibangun ditengah-tengah
pemukiman dan atau di pusat pemerintahan Desa/kampung.Bale bonter dipergunakan sebagai
temopat pesangkepan/persidangan adat,seperti: tempat penyelesaian masalah pelanggaran hukum
adat, dansebagainya.
Bale bonter juga disebut gedeng pengukuhan dantempat menyimpanan benda-benda
bersejarah atau pusaka warisan keluarga. Bale bonter berbentuk segi empat bujur sangkar,
memiliki tiang palingsedikit 9 buah dan paling banyak 18 buah. Bangunan ini dikelilingidinding
bedek sehingga jika masuk ke dalamnya seperti aula, atapnya tidak memakai nock/sun, hanya
pada puncak atapnya menggunakan tutup berbentuk kopyah berwarna hitam. f. Bale Beleq
Bencingah
Balebeleq adalah salah satu sarana penting bagi sebuah Kerajaan. Bale
beleqdiperuntukkan sebagai tempat kegiatan besar Kerajaan sehingga seringjuga disebut
„Bencingah‟. Adapun upacara kerajaan yang biasa dilakukandi bale beleq diantaranya adalah:
* Pelantikan pejabat kerajaan
* Penobatan Putra Mahkota Kerajaan
* Pengukuhan/penobatan para Kiai Penghulu (Pendita) Kerajaan
* Sebagai tempat penyimpanan benda-benda Pusaka Kerajaan sepertipersenjataan dan benda
pusaka lainnya seperti pustaka/dokumen-dokumenKerajaan
* Dan sebagainya.
g. Bale Tajuk
Baletajuk merupakan salah satu sarana pendukung bagi bangunan rumah tinggal yang
memiliki keluarga besar. Bale tajuk berbentuk segi lima dengantiang berjumlah lima buah dan
biasanya berada di tengah lingkungankeluarga Santana. Tempat ini dipergunakan sebagai tempat
pertemuan keluarga besar dan pelatihan macapat takepan, untuk menambah wawasan dan tata
krama.
h. Bale Gunung Rate dan Bale Balaq
Selain jenis bangunan yang telah disebut di atas, adapula jenis bangunan lain yang
dibangun berdasarkan kondisi-kondisi khusus, seperti bale gunungrate dan bale balaq. Bale
gunung rate biasanya dibangun oleh masyarakat yang tinggal di lereng pegunungan, sedangkan
bale balaq dibangun dengantujuan untuk menghindari bencana banjir, oleh karena itu
biasanyaberbentuk rumah panggung.

3.) Bangunan Pendukung


Selainbangunan-bangunan yang telah disebut di atas, masyarakat sasak
membuatbangunan-bangunan pendukung lainnya seperti: sambi, alang, dan lombung. a. Sambi

Sambi merupakan tempat menyimpan hasil pertanian masyarakat. Ada beberapa macam
bentuk sambi, antara lain sambi sejenis lumbung berbentuk rumah panggung. Bagian atas sambi
ini dipergunakan sebagai tempat menyimpanhasil pertanian, sedangkan bagian bawahnya
dipergunakan sebagai tempattidur atau tempat menerima tamu. Ada juga sambi yang atapnya
diperlebarsehingga pada bagian bawahnya dapat digunakan sebagai tempat menumbuk padi
(lilih) dan juga tempat duduk-duduk, berupa bale-bale yang alasduduknya dibuat dari bilah
bambu dan papan kayu.
Pada umumnya,sambi mempunyai empat, enam atau delapan tiang kayu. Sambi dengan
enamtiang seringkali disebut ayung, karena pada bagian atasnya seringdigunakan untuk tempat
tidur. Bangunan sambi yang bertiang delapanterkadang disebut sambi jajar karena berbentuk
memanjang. Semua sambiselalu dilengkapi dengan tangga untuk naik dan didalamnya juga
memilikitangga untuk turun ke dalam.
b. Alang
Alang sama dengan lumbung, berfungsi untuk menyimpan hasil pertanian. Hanya saja
alang mempunyai bentuk yang khas, yaitu beratapkan alang-alang dengan lengkungan kira-kira
¾ lingkaran namun lonjong dan ujungnya tajam keatas. Konstruksi bawahnya menggunakan
empat tiang yang ujung tiangbagian atasnya dipadu dengan jelepeng (diikat menjadi satu).
Bagianbawah bangunan alang biasanya digunakan sebagai tempat beristirahatbaik siang atau
malam hari. Alang biasanya diletakkan di halaman belakang rumah atau dekat dengan kandang
hewan.
c. Lumbung
Lumbung adalah tempat untuk menyimpan segala kebutuhan. Lumbung tidak
samadengan sambi dan alang, karena lumbung biasanya diletakkan di dalam rumah/kamar atau
di tempat khusus diluar bangunan rumah. Lumbung berbentuk bulat, dibuat dari gulungan bedek
kulitan dengan diameter 1,5meter untuk lumbung yang ditempatkan di dalam rumah dan
berdiameter 3meter jika diletakkan di luar rumah.
Bahan untuk membuat lumbung adalah bambu, bedek, dan papan kayu sebagai lantai. Di
bawah papan lantainya dibuatkan pondasi dari tanah dan batu pada empat sudutnya. Atapnya
disangga dengan tiang kayu atau bambu berbentuk seperti ataprumah tinggal.

4.) Tanaman yang harus dihindari


Di samping adanya bangunan pendukung, orang Sasak sangat memperhatikan
tanamanyang ada di sekitarnya, karena mereka meyakini bahwa ada beberapatanaman yang jika
ditanam dapat mengundang malapetaka. Tanaman yangtidak boleh ditanam di sekitar rumah
adat, antara lain:
* Lolon Nangke (Pohon nangka).
Masyarakat Sasak menempatkan lolon nangke sebagai pohon agung sehingga harusberada di
atas. Apabila lolon nangke ditanam di dekat rumah, dikhawatirkan akarnya akan masuk ke dalam
pondasi rumah dan akan beradadi bawah. Jika ini terjadi, maka penghuni rumah akan menderita
penyakitpegal linu.
* Lolon Sabo (Pohon Sawo)
Menurut keyakinan orang Sasak, lolon sabo mempunyai sifat dingin dan panas. Dengan sifat
tersebut, keberadaan lolon sabo dapat menyebabkan disharmoni dalam rumah tangga, bahkan
terkadang berakhir denganperceraian.
* Nyambuq Aer (Jambu Air)
Menurut masyarakat Sasak, nyambuq aer memiliki sifat yang sangat sensitive sehingga mudah
mempengaruhi jiwa manusia dan sangat disenangi orang terutama anak-anak. Karena anak-anak
menyukai nyambuq aer maka merekaakan memanjat nyambuq aer tersebut padahal di bawahnya
ada orang tua,hal inilah yang menyebabkan tidak boleh karena akan berakibat kualat(tulah
manuh) bagi anak itu sendiri.
* Lolon Kelor (pohon Kelor)
Menurut masyarakat Sasak, lolon kelor mempunyai sifat yang sensitif dan daunnya cepat rontok.
Jika lolon kelor berada di dekat rumah para dukun/belian,maka mantra mereka tidak akan
bertuah (mentere pondal).
* Kedondon (Kedondong)
Pohonini tidak diperbolehkan ditanam di halaman rumah atau di sekitar pemukiman, karena
diyakini bahwa pohon ini akan membawa petaka bagihewan ternak peliharaan.
* Ceremi (Ceremai/Cermen)
Pohon ini diyakini mengandung racun, oleh karena itu harus dijauhkan dari rumah atau lokasi
pemukiman.
* Lolon Johar (Pohon Johar)
Pohonini konon mengandung gravitasi tinggi sehingga mampu mempengaruhi jiwamanusia.
Menurut keyakinan masyarakat Sasak, keberadaan pohon ini akanmenciutkan nyali orang yang
memeliharanya. Oleh karena itu, pohon initidak boleh ditanam di halaman rumah atau di sekitar
kampung/lokasipemukiman.
* Lolon Bile (Pohon Maja).
Masyarakat Sasak juga akan menghindari menanam lolon bile sebagai pagarhalaman/lambah
gubuknya, karena mereka yakin bahwa pohon ini akan menyebabkan seringnya terjadi
perkelahian antar sesama penghunikampung/gubug

Rumah Adat Suku Sasak dalam Aspek Budaya


Rumah merupakan ekspresi pemikiran paling nyata seorang individu atau kelompok dalam
merealisasikan hubungan dengan sesama manusia (komunitas ataumasyarakat), alam, dan
dengan Tuhan (lingkup keyakinan). Keberadaan rumah Sasak, baik bentuk, tata ruang serta
struktur bangunan rumahnya mengandung simbol-simbol yang sarat dengan nilai-nilai filsafat
tinggidan sakral. Di antara nilai-nilai tersebut diantaranya:
Atap rumah dengan design sangat rendah dengan pintu berukuran kecilbertujuan agar
tamu yang datang harus merunduk bila memasuki pinturumah yang relatif pendek. Sikap
merunduk merupakan sikap saling hormat menghormati dan saling menghargai antara
tamu dengan tuan rumah.
Pembangunan rumah dengan arah dan ukuran yang sama menunjukkan bahwa masyarakat
hidup harmonis. Oleh karena itu, jika ada yang membangun rumah yang arahnya tidak
sama dengan bangunan rumah yang sudah ada,maka itu menandakan bahwa penghuni
kampung tersebut tidak harmonis.
Undak-undakan (tangga) tingkat tiga mempunyai pesan bahwa tingkat ketaqwaan ilmu
pengetahuan dan kekayaan tiap-tiap manusia tidak akansama. Oleh karena itu, diharapkan
semua manusia senantiasa menyadari bahwa kekurangan dan kelebihan yang dimiliki
merupakan rahmat Tuhan. Ada juga yang menganggap bahwa anak tangga sebanyak tiga
buah menunjukkan simbol daur hidup manusia, yaitu lahir, berkembang, danmati, atau
simbol keluarga batih (ayah, ibu, dan anak).
Empat tiang penyangga berugaq/sekepat mempunyai pengertian: Kebenaran yang harus
diutamakan; Kepercayaan diri dalam memegang amanah; dalammenyampaikan sesuatu
hendaknya berlaku jujur dan polos; dan sebagaiorang yang beriman hendaknya
pandai/cerdas dalam menyikapi masah(tanggap). Sedangkan atapnya menggambarkan
keyakian bahwa Tuhan Mahatahu atas segalanya, baik yang tersirat maupun yang tersurat.
Ada jugayang beranggapan bahwa pesan dari berugak bertiang empat adalah simbolsyariat
Islam: Quran, Hadis, Ijma, Qiyas. Disamping itu, berugak yangada di depan rumah
merupakan bentuk rasa syukur terhadap rezeki yang diberikan Tuhan, dan juga sebagai
tempat berinteraksi dengan masyarakat lainnya.
Bale tajuk, pada umumnya, berbentuk segi lima dengantiang berjumlah lima
melambangkan bahwa masyarakat Sasak adalahmasyarakat yang religius yang menurut
keyakinan mereka, setiap mahluk hidup pasti akan mati dan setiap sesuatu yang lahir
maka pasti akanberakhir.
Keberadaan lumbung menunjukkan bahwa warga sasakharus hidup hemat dan tidak boros.
Bahan-bahan yang disimpan didalamnya, hanya bisa diambil pada waktu tertentu,
misalnya sekali sebulan sebagai persiapan untuk keperluan mendadak, misalnya karena
gagal panen atau karena ada salah satu anggota keluarga meninggal.

Rumah-rumah tersebut dibangun dengan bahan-bahan alami, pilarnya dari bambu atau
kayu yang ditutup dengan dinding anyaman bambu, atapnya dari rumbia, dan lantainya
dari tanah yang dipadatkan dengan campuran getah pohon, abu jerami dan kotoran kerbau.
Penggunaan kotoran kerbau, sekilas mungkin terkesan jorok, akan tetapi faktanya justru
membuat lantai rumah-rumah suku Sasak lebih keras dan membuat udara dalam ruangan
menjadi lebih hangat kala musim hujan. campuran kotoran sapi atau kerbau tersebut juga
diyakini dapat menjaga lantai agar tidak mudah lembab dan retak.
Rumah Adat Suku Sasak dalam Aspek Kesehatan

Hanya tersedia sebuah pintu dan tidak ada jendela memungkinkan tidak adanya ventilasi
udara dan pencahayaan yang baik. Ventilasi sangatlah penting karena mempunyai banyak fungsi.
Fungsi pertama adalah untuk menjaga agar aliran udara di dalam rumah tersebut tetap segar. Hal
ini berarti keseimbangan O2 yang diperlukan oleh penghuni rumah tersebut tetap terjaga.
Kurangnya ventilasi akan menyebabkan kurangnya O2 di dalam rumah yang berarti kadar CO2
yang bersifat racun bagi penghuninya menjadi meningkat. Di samping itu tidak cukupnya
ventilasi akan menyebabkan kelembaban udara di dalam ruangan naik karena terjadinya proses
penguapan cairan dari kulit dan penyerapan. Kelembaban ini merupakan media yang baik untuk
bakteri-bakteri patogen (bakteri-bakteri penyebab penyakit). Fungsi kedua dari pada ventilasi
adalah untuk membebaskan udara ruangan dari bakteri-bakteri, terutama bakteri patogen, karena
di situ selalu terjadi aliran udara yang terus menerus. Bakteri yang terbawa oleh udara akan
selalu mengalir. Fungsi lainnya adalah untuk menjaga agar ruangan rumah selalu tetap di dalam
kelembaban (humudity) yang optimum. Mengingat lantai rumah Suku Sasak tersebut yang
terbuat dari campuran tanah liat dan kotoran kerbau dan sebagainya serta menggunakan kotoran
tersebut sebagai bahan untuk mengepel lantai, memungkinkan adanya bakteri maupun virus
berbahaya yang tentu saja tidak baik bagi kesehatan, dan menimbulkan berbagai macam penyakit
saluran pernafasan.

1.2. Nasi Papah


. Nasi Papah atau dalam bahasa Lombok “Nasi Papak” yaitu makanan yang telah dipapah
atau dilumatkan dengan mulut ibu yang kemudian diberikan kepada bayi. Budaya ini masih tetap
berlangsung dari turun temurun di beberapa bagian Pulau Lombok, yaitu Kabupaten Lombok
Timur, khususnya di daerah-daerah pinggiran yang agak terisolir.
Budaya nasi papah tersebut menjadi permasalah dalam upaya meningkatkan cakupan
pemberian ASI Ekslusif. Tetapi dalam penyelesaiannya dan penanganannya sangat sulit karena
masyarakat di Kabupaten Lombok Timur ini sudah memegang kepercayaan akan
kebudayaannnya dari turun temurun.
Nasi Papah dari Sisi Budaya
Praktik pemberian nasi papah tersebut berlangsung sangat lama dan diteruskan secara
turun temurun. Sebagian Ibu-ibu percaya bahwa anak-anak memerlukan makanan untuk dapat
tumbuh dan berkembang. Untuk itu diperlukan makanan yang tersedia setiap saat dan tidak
membahayakan kesehatan baik dari segi ukuran maupun teksturnya. Indikator yang dapat dilihat
untuk dapat menentukan kekenyangan seorang bayi adalah apabila dia terus menerus menangis
walaupun sudah diberikan ASI.
Untuk memenuhi kebutuhan bayi maka ibu-ibu atau nenek akan memberikan berbagai
jenis makanan mulai dari madu, pisang, bubur dan lain sebagainya. Namun masih ada sebagian
masyarakat yang tinggal di daerah-daerah tertentu yang masih menerapkan kebiasaan
memberikan nasi papah kepada bayinya.
Nasi papah adalah nasi yang dikunyah terlebih dahulu sebelum diberikan kepada bayinya.
Bahkan ada yang sengaja menyimpan untuk beberapa kali pemberian makanan. Kebiasaan
memberikan makanan kepada bayi berupa nasi papah didapatkan secara turun temurun, dan ini
merupakan bentuk kearifan local tentang hubungan kasih sayang antara ibu dan bayinya.
Kebudayaan nasi papah juga masih berlangsung sampai sekarang bukan hanya dengan
anggapan bahwa anak-anak memerlukan makanan untuk berkembang sehingga harus diberikan
madu, pisang, bubur dan sebagainya, dan juga dengan kepercayaan bahwa nasi papah adalah
kebudayaan yang diwariskan oleh nenek moyang yang harus dijalani secara turun temurun.
Tetapi ada juga Sebagian masyarakat memberikan nasi papah berdasarkan keyakinan agama
bahwa Rasulullah Muhammad SAW pernah memberikan papahan kurma kepada anak-anak atau
bayi-bayi. Begitu juga dengan anjuran memberikan madu pada bayi yang baru lahir.
Dari ringkasan tersebut tentang darimana asal usul dan adanya kepercayaan pemberian
nasi papah, mungkin orang bertanya-tanya jika memang pemberian nasi papah adalah anjuran
Rasulullah Muhammad SAW mengapa budaya nasi papah hanya ada di Pulau Lombok dan tidak
di pulau-pulau lain, dan mungkin orang-orang bertanya-tanya sejauhmana keshahihan hadist-
hadist tersebut sehingga menjadi budaya di Pulau Lombok.
Masyarakat Pulau Lombok terkenal dengan rasa kebersamaan, rasa social yang tinggi,
apalagi dalam bentuk kebudayaan. Memang di Lombok Timur masih memberikan nasi papah
pada bayinya dengan anggapan bahwa anak-anak memerlukan makanan untuk dapat tumbuh dan
berkembang. tetapi, ditempat lain para ibu-ibu memberikan nasi papah pada anak-anaknya
dengan kepercayaan bahwa memberikan nasi papah adalah anjuran Rasulullah Muhammad
SAW. Dengan budaya yang berbeda anggapan dan kepercayaan tersebut, masyarakat pulau
Lombok tidak pernah saling cela dan saling beranggapan bahwa adanya budaya nasi papah
memang dari kepercayaannya dan bukan dari anggapan orang dan mereka tidak pernah
melupakan dan meninggalkan budaya tersebut walaupun banyak orang yang menganggap
budaya tersebut aneh dan berbeda dari daerah-daerah lain.
Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Melville J. Herskovits dan
Bronislaw Malinowski mengemukakan bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat
ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Istilah sebagai sesuatu
yang turun temurun dari satu generasi ke generasi lain, yang kemudian disebut superorganic.
Nasi papah mungkin sudah ada ratusan atau ribuan tahun lalu, masyarakat pulau Lombok
terus berkembang dan penduduknya terus bertambah dari tahun ketahun salah satunya karena
Orang-orang banyak yang beremigran kelombok. Begitu pula dengan budaya nasi papah yang
terus dijalani turun temurun. Budaya tersebut tidak hanya turun temurun diturunkan dan diikuti
oleh penduduk asli Lombok saja tetapi juga terhadap orang yang bukan penduduk asli Lombok.
Penduduk yang bukan asli Lombok yaitu orang-orang yang beremigran kelombok. Orang-orang
yang yang beremigran kepulau Lombok otomatis akan bergaul dengan masyarakat disekitar,
beradaptasi dengan lingkungan dan akan mempelajari budaya setempat, salah satunya yaitu
budaya nasi papah.
Mungkin pertama-tama orang akan memanggap budaya tersebut aneh dan berbeda dari
budaya lain atau budaya tempat tinggalnya dulu. tetapi, setelah lama tinggal dan bergaul dengan
masyarakat dilingkungannya lama-kelamaan orang tersebut akan dipengaruhi dan mengikuti
budaya tersebut dan secara turun temurun akan tetap diikuti.
Menurut Andreas Eppink, kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian nilai social,
norma social, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur social, religious dan lain-lain,
tambahan lagi segala pernyataan intelektual dan artistic yang menjadi ciri khas suatu masyarakat.
Nasi papah sudah menjadi bagian dari kebudayaan masyarakat karena adanya anggapan
itu sudah merupakan tradisi yang harus terus dikembangkan dan dilestarikan. Sekarang
seandainya kita menanyakan pada nenek-nenek kita dikampung, mereka akan mengatakan
bahwa kamu besar juga karena dulu diberikan nasi papah dan kenyataannya kamu bisa hidup dan
sukes seperti ini.
Dari anggapan tersebut para orang tua dan nenek-nenek menganggap bahwa nasi papah
adalah makanan yang berpengaruh besar terhadap perkembangan tubuh dan daya kemampuan
otak. Serta menurut masyarakat yang memegang teguh budaya nasi papah, mereka menilai
bahwa budaya nasi papah mempunyai nilai-nilai dan norma social yang harus dan tetap
dipertahankan karena dengan alasan dapat menyatukan perbedaan, contohnya yaitu dapat
menyatukan perbedaan ras, keyakinan, pendapat dan lain-lain. Dalam hal perbedaan ras,
masyarakat yang pindah dari daerah atau tempat yang beda budaya, setelah pindah ke tempat
yang berbudaya yang menganut budaya nasi papah, otomatis dia juga akan menganut budaya
tersebut, Karena nilai-nilai social yang ada dalam masyarakat tersebut harus diikuti dan ditaati.
mereka yang tinggal bermasyarakat yang mempunyai aturan-aturan, harus dijalani dan
tidak boleh dilanggar. Dan didalam masyarakatnya tersebut semua para orang tua dan nenek-
neneknya memberikan nasi papah pada cucu dan anak-anaknya, tidak mungkin jika seseorang
tersebut tidak memberikan nasi papah pada anaknya jika dia tinggal didalam masyarakt yang
memegang budaya tersebut, karena menurut masyarakat disekitar, seseorang yang tinggal
didalam lingkup masyarakat hendaknya harus mengikuti budayanya karena mengikuti budaya
tersebut berarti mentaati nilai-nilai social yang ada.
Masyarakat Lombok yang memberi nasi papah pada anak-anaknya memang menganggap
bahwa bila diberikan nasi papah anak-anaknya akan menjadi pintar, sukses dan sebagainya,
anggapan tersebut menjelaskan bahwa pengetahuan dan pemahamannya sangat minim baik
dalam bidang kesehatan, social dan sebagainya.
Kebudayaan dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan dan meliputi system idea atau gagasan
yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu
bersifat abstrak. Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh
manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata,
misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi social, religi, seni dan lain-lain,
yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan
bermasyarakat.
Banyak hal yang belum bisa dijelaskan secara nyata tentang pemberian nasi papah
tersebut. Ada beberapa factor yang menyebabkan orang memilih suatu budaya terutama dalam
makanan antara lain adanya nilai makanan, pantangan agama, takhayul dan kepercayaan tentang
kesehatan.
Pemilihan makanan juga dapat disebabkan karena makanan itu dianggap baik oleh
masyarakat dan yang tidak kalah penting adalah ketersediaan bahan makanan dan kemampuan
mengeksploitasi bahan makanan tersebut.
Balliwati,dkk. ( 2004 ), mengeksploitasi bahwa komponen ketersediaan dan stabilitas
pangan dipengaruhi aleh sumber daya alam, manusia, sosial dan produksi pangan. Aksen pangan
menunjukkan jaminan bahwa setiap rumah tangga dan individu mmempunyai sumber daya yang
cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan sesuai dengan norma gizi. Kondisi tersebut tercermin
dari kemampuan rumah tangga untuk meningkatkan prokdusi pangan dan peningkatan
pendapatannya.
Selain factor makanan agama dan lain-lain, factor sosial budaya dan religi juga dapat
mempengaruhi ketahanan pangan dan konsumsi pangan masyarakat. Kebudayaan suatu
masyarakat mempunyai kekuatan yang besar terhadap pemilihan bahan digunakan untuk
dikonsumsi. Karena aspek sosio budaya merupakan fungsi pangan dalam suatu masyarakat yang
berkembang sesuai dengan keadaan lingkungan, agama, adat istiadat dan kebiasaan masyarakat
tersebut.
Masyarakat menganggap pemberian nasi papah aman-aman saja dan tidak menimbulkan
permasalahan yang berarti bagi kesehatan. Dengan memberikan nasi papah merupakan bentuk
ekspresi kasih sayang orang tua kepada anaknya. Mereka merasa menjadi lebih aman, tenang.
Kontak air liur juga dipercaya akan mempererat hubungan emosional antara orang tua dan si
anak.
Foster dan Andersen, 1986 mengatakan bahwa makanan adalah suatu konsep budaya,
suatu pernyataan yang sesungguhnya mengatakan zat ini sesuai bagi kebutuhan kita. Sedemikian
kuat kepercayaan-kepercayaan kita mengenai apa yang dianggap makanan dan apa yang
dianggap bukan makanan sehingga terbukti sangat sukar untuk meyakinkan orang untuk
menyesuaikan makanan tradisional mereka demi kepentingan kesehatan dan gizi yang lebih baik.

Masyarakat yang menganut kepercayaan bahwa nasi papah sangat baik untuk bayi, perlu
diberikan pemahaman dan pengetahuan karena masyarakat hanya tahu budaya harus
dipertahankan dan harus dijalani secara turun-temurun tanpa mengetahui dampak dari budaya
yang dijalani tersebut.
Budaya suatu daerah memang ada yang berbentuk nyata dan ada pula yang berbentuk
abstrak. Seperi halnya budaya nasi papah yang berbentuk nyata. Makanan adalah suatu benda
yang bisa dimakan yang bisa membuat manusia kenyang. Tetapi nasi papah berbeda dari
makanan yang semestinya dimakan manusia serta yang memakannya belum waktunya untuk
memakannya.
Budaya yang berbentuk nyata yang seperti ini sangat perlu ditandatangani Karena itu
menyangkut kesehatan. Orang yang melumatkan nasi tersebut perlu diperhatikan apakah dia
sehat atau malah sebaliknya Karena pemberi nasi papah itu akan melumatkan nasi dimulutnya
kemudian akan memberikannya kepada bayi. Seandainya pemberi nasi itu berpenyakitan, secara
langsung bayi tersebut tertular melalui kontak liur. Dampak dari pemberian nasi papah itu
mungkin tidak terlihat secara langsung tetapi, seandainya bayi telah tertular maka penyakit
tersebut akan bersarang didalam tubuhnya, hal itulah yang sangat berpengaruh terhadap
pertumbuhan serta daya pikirnya.

Nasi Papah dari Pandangan Kesehatan


Sebagian besar para ahli sepakat bahwa makanan terbaik bagi bayi adalah Air Susu Ibu
karena mengandung zat gizi yang lengkap bagi pertumbuhan dan perkembangan bayi khususnya
sampai berumur 6 bulan, dan setelah itu baru diberikan makanan tambahan berupa makanan
pendamping sesuai umunya. Air susu ibu juga memiliki banyak kelebihan selain yang disebutkan
tersebut seperti mengandung zat antibody terutama pada ASI yang pertama keluar yang disebut
colustrum. ASI juga tidak perlu dibeli, bisa tersedia setiap saat dengan suhu yang sesuai
kebutuhan bayi dan banyak lagi manfaat lainnya.
Pemberian makanan pendamping ASI juga perlu memperhatikan tingkatan umur bayi,
dimana semakin besar umumnya maka kebutuhannya juga akan semakin meningkat. Umumnya
makanan pendamping ASI yang dibuat secara rumahan sangat sedikit mengandung
Mikronutrient yang justru sangat dibutuhkan bayi untuk tumbuh da berkembang terutama utuk
perkembangan kecerdasannya.
ASI sangat penting bagi pertumbuhan dan daya tahan tubuh (sel imun) anak. ASI
mencakup semua kebutuhan bayi yang baru lahir sampai berumur 6 bulan. Seandainya nasi
papah diberikan kepada bayi dimana umurnya dibawah 6 bulan yang daya tahan tubuhnya lemah,
tidak pernah terbayangkan bahwa banyak virus yang masuk kedalam tubuhnya.
Pemberian nasi papah jelas sangat kurang dari asfek pemenuhan kebutuhan gizi tersebut,
dimana biasanya yangdipapah hanya makanan sumber Karbohdrat saja seperti beras dan sangat
jarang ditambahkan makanan yang lain baik makanan sumber protein maupun vitamin dan
mineral. Sehingga akan sulit memenuhi kebutuhan zat gizi bayi.
Nasi papah juga dapat menjadi media penyebaran penyakit antara si ibu degan bayi,
dimana jika seorang ibu menderita penyakit-penyakit infeksi menular tertentu yang berhubungan
dengan gigi dan mulut serta pernapasan maka akan sangat mudah untuk ditularkan pada bayinya.
Misalnya Tuberculosis. Dari segi kebersihan dan keamanan pangan nasi papah masih perlu
dipertanyakan juga, karena anak bisa tertular penyakit yang diderita ibu melalui air liur,
sedangkan dari segi kuantitas dan kualitas nilai gizi jelas merugikan si bayi, karena ibu-ibu akan
mendapatkan sari makanan sedangkan bayinya akan mendapatkan ampasnya.

1.3. Konsep Kelahiran


Kelahiran seorang bayi adalah salah satu peristiwa paling penting dalam siklus kehidupan
orang Sasak. Kelahiran dalam pengetahuan orang Sasak dibayangkan sebagai sebuah keadaan
yang menegangkan dan sakral. Oleh karena itu, harus diadakan upacara adat dan selamatan
untuk menjaga dan menghormati jabang bayi. Selain itu, ritual juga dimaksudkan sebagai
ungkapan rasa syukur pada Tuhan yang telah memberi anugrah dan keselamatan.

Menjelang masa-masa kelahiran, bagi seorang ibu yang hamil pertama kali, orang Sasak
menggelar upacara adat baretes. Dalam upacara ini dilaksanakan selamatan kecil dengan
mengundang tetangga dekat. Di sela-sela selamatan dibacakan lontar yang berisi kisah tentang
seorang perempuan yang bernama Juarsah di hadapan perempuan yang hamil, sambil dililitkan
sebuah benang ke perutnya. Saat cerita sampai kepada bagian kelahiran Juarsah, benang tersebut
diputus lalu perempuan yang sedang hamil tersebut dimandikan di halaman rumahnya.

Kelahiran seorang bayi dalam konsep orang Sasak tidak hanya berhubungan dengan
kesehatan sang ibu, makanan sang ibu di mana itu berhubungan dengan asupan gizi, kasih
sayang dari suami, dan doa kedua orangtuanya. Akan tetapi, lebih dari itu semua, kelahiran juga
sangat berkaitan dengan perilaku sang ibu saat hamil.
Misalnya, jika seorang perempuan Sasak hendak melahirkan, maka sang suami akan
sibuk mencari belian bayi (dukun bayi) yang dianggap mengetahui seluk beluk perempuan yang
akan melahirkan. Apabila perempuan tersebut mengalami kesukaran dalam proses kelahiran
bayinya, maka menurut belian hal itu disebabkan oleh perilaku kasar perempuan tersebut
terhadap orangtuanya (ibunya) atau kepada suaminya. Dalam kondisi seperti ini, biasanya belian
menyarankan agar perempuan tersebut meminum air bekas cuci tangan orangtuanya (ibunya) dan
suaminya. Bahkan, di beberapa desa di Lombok, perempuan tersebut disuruh meminum air bekas
mencuci kemaluan suaminya. Selain cara itu, belian menasehatkan agar perempuan yang akan
melahirkan tersebut diinjak ubun-ubunnya oleh suaminya. Cara-cara ini dilakukan untuk
mempercepat kelahiran jabang bayi. Ketika jabang bayi telah lahir, maka orang Sasak
menganggap bayi tersebut lahir tidak sendirian, akan tetapi berdua, mereka menyebutnya dengan
adi‟ dan kaka‟. Adi‟ adalah bayinya sendiri sedangkan kaka‟ adalah ari-ari yang masih
menempel di pusar jabang bayi. Oleh karena itu, saat kelahiran, ari-ari dirawat dan dihormati
seperti halnya jabang bayi. Ari-ari dicuci sampai bersih seakan memandikan orang yang sudah
mati, kemudian dimasukkan ke dalam periuk atau tempurung kelapa setengah tua, lalu dikubur di
halaman rumah. Sebagai tanda dibuatlah gundukan tanah pada kuburan tersebut dan diletakkan
lekesan (sepah sirih) di dekat gundukan tersebut. Lekesan dianggap sebagai simbol doa agar
jabang bayi kelak berumur panjang.

Berbeda dengan kebiasaan di atas, di beberapa desa di Lombok, ari-ari tidak dikubur
dalam tanah, akan tetapi diletakkan di atas tiang bambu yang ada di pekarangan rumah atau
kebun. Ari-ari sebelumnya di masukkan ke dalam tempurung kelapa lalu direkatkan kembali
dengan adonan tanah liat dan dibungkus dengan kain putih.

Setelah lahir, bayi tersebut harus terus dijaga, diperingati dan dihormati hingga bayi
kurang lebih berumur setahun, dengan menyelenggarakan upacara adat atau selamatan.
Tujuannya agar bayi tetap dalam keadaan sehat dan selamat dari gangguan dari roh-roh jahat.
Pada saat jabang bayi berusia tujuh hari, orang Sasak menggelar upacara adat molang mali‟,
yaitu mengoleskan tepah sirih ke dada dan dahi sang ibu dan bayinya, yang dilakukan oleh belian
bayi. Orang Sasak juga meyakini bahwa ketika bayi berusia tujuh hari, maka pusarnya telah gugur.
Usia tersebut juga dianggap sebagai usia yang tepat untuk memberi nama pada
jabang bayi. Pusar bayi yang gugur biasanya akan dibungkus dengan kain putih lalu disimpan di
dalam rumah.

Pada beberapa desa di Lombok, saat perayaan upacara molang mali‟, biasanya juga
dianggap sebagai waktu yang tepat untuk pertama kali jabang bayi boleh keluar dari rumah dan
menjejakkan kakinya di tanah. Jika jabang bayi tersebut berjenis kelamin perempuan, maka
kakinya akan dijejakkan di tempat menenun. Adapun jika bayinya laki-laki maka kakinya akan
dijejakkan di tempat yang ada alat pertaniannya. Penjejakkan kaki dilakukan sebanyak tujuh kali.

Bayi yang lahir juga dipahami orang Sasak sebagai amanat Tuhan agar bayi tersebut dibersihkan
dan dididik sesuai dengan ajaran agama dan perintah Tuhan. Oleh karena itu, sebagai simbol
pembersihan, orang Sasak menggelar upacara ngurisang (potong rambut). Rambut bayi yang
dibawa sejak lahir dianggap orang Sasak sebagai bulu panas yang akan berpengaruh buruk pada
sifat bayi, untuk itu harus dihilangkan.

Upacara adat ngurisang biasanya dilakukan dengan mengundang tetangga, handai tolan,
dan orang-orang yang pandai mengaji untuk mengadakan selamatan dengan membaca serakalan
atau barzanji (syair-syair yang mengagungkan Nabi Muhammad SAW). Saat serakalan atau
barzanji dilantunkan, bayi digendong oleh bapaknya kemudian diajak berkeliling menghadap
para hadirin dan secara simbolik seluruh hadirin satu per satu memotong sedikit rambut bayi
tersebut.

Pengaruh Sosial

Pengetahuan orang Sasak tentang kelahiran bayi ini memiliki pengaruh terhadap kehidupan
sosial mereka, antara lain:

Solidaritas sosial. Upacara adat yang diselenggarakan mengiringi kelahiran bayi orang Sasak
dihadiri para tetangga dan handai tolan. Selain bertujuan untuk menyaksikan peristiwa penting
tersebut, secara sosial upacara tersebut berpengaruh terhadap menguatnya solidaritas sosial orang
Sasak, baik sebagai keluarga maupun masyarakat. Dalam konteks ini, maka penyelenggaraan
upacara adat patut untuk diapresiasi sebagai kebudayaan yang tidak selamanya menyimpang dari
ajaran agama.
Status sosial. Berbagai upacara adat yang melibatkan banyak orang, secara sosial berpengaruh
terhadap status sosial orangtua bayi. Sebagai orangtua yang dapat menyelenggarakan upacara
bagi anaknya, maka status sosialnya akan berbeda dengan orangtua yang tidak dapat
menyelenggarakannya, apalagi upacara tersebut diselenggarakan dengan mewah. Dalam sistem
sosial orang Sasak, biasanya orangtua yang demikian akan dipandang sebagai orang yang kaya
dan taat kepada ajaran adat atau agama. Efeknya mereka akan diperlakukan berbeda dalam
aktifitas-aktifitas sosial, misalnya akan dijadikan panitia dalam perhelatan upacara adat atau
agama.
Menghargai dan menghormati manusia. Pengetahuan tentang kelahiran ini secara sosial juga
tampak jelas sekali mengajarkan masyarakat Sasak untuk menghargai manusia. Hal ini tampak
dari upacara adat dan hal-hal yang harus dilakukan ketika bayi tersebut lahir. Kelahiran adalah
awal kehidupan manusia, untuk itu harus dihormati dan dihargai. Menghormati dan menghargai
manusia secara tidak langsung juga menghormati kehidupan itu sendiri.
Menghargai dan menghormati perempuan. Secara sosial pengetahuan ini juga mengajarkan
masyarakat untuk menghargai dan menghormati kaum perempuan. Perempuan dengan kodratnya
melahirkan, telah sabar dan kuat mengandung bayi hingga melahirkannya. Proses kelahiran yang
menegangkan membutuhkan keberanian seorang perempuan, untuk itu sosoknya harus dihargai
dan dihormati dengan kasih sayang dan penjagaan dari seorang suami.

Konsep Kelahiran Suku Sasak dalam Aspek Kesehatan


Berdasarkan data dari Kepala Dinas Kesehatan NTB, dari banyaknya wilayah di
Indonesia yang memiiki angka kematian bayi dengan jumlah yang cukup tinggi salah satunya
yaitu NTB. Angka Kematian Bayi (AKB) di wilayah Nusa Tenggara Barat masih sekitar 61,2 per
1.000 kelahiran hidup jauh di atas nasional 35 per 1.000 kelahiran hidup dan angka tersebut terus
ditekan dengan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dan program pemeriksaan ibu hamil
secara teratur.
Perempuan yang mengalami kesukaran dalam proses persalinan, sebelumnya dianggap
pernah berperilaku kasar terhadap orangtua (ibunya) atau kepada suaminya di masa lampau.
Dalam kondisi seperti ini, biasanya belian menyarankan agar perempuan tersebut meminum air
bekas cuci tangan orangtuanya (ibunya) dan suaminya. Bahkan, di beberapa desa di Lombok,
perempuan tersebut disuruh meminum air bekas mencuci kemaluan suaminya. Hal ini sangat
bertentangan dengan aspek kesehatan, dimana air bekas cucian tangan dari ibu atau suami
perempuan tersebut mengandung berbagai macam bakteri bahkan virus yang dapat
membahayakan kesehatan perempuan tersebut beserta bayinya, begitupun dengan air bekas
cucian kemaluan suaminya yang kemungkinan lebih banyak terdapat bakteri maupun virus
berbahaya. Hal-hal tersebut jika masih saja dilakukan akan berdampak buruk bagi ibu dan
bayi,dan dapat mengakibatkan berbagai macam penyakit. Selain cara itu, belian menyarankan
agar perempuan yang akan melahirkan tersebut diinjak ubun-ubunnya oleh suaminya, hal ini
juga sangat membahayakan kesehatan fisiologis ibu.

Angka kematian bayi di NTB tinggi salah satunya yaitu karena budaya mereka dalam
konsep kelahiran dimana sang suami harus mencari belian (dukun beranak) ketika menjelang
kelahiran anaknya untuk membantu istrinya dalam proses melahirkan. Seperti yang kita ketahui
bahwa dukun beranak tidak memiliki pengetahuan medis yang ilmiah, sehingga dalam
menangani proses kelahiran mereka menggunakan metode-metode yang sering tidak masuk akal
bahkan berbahaya. Beberapa contoh yang telah disebutkan tersebut jelas dapat berdampak
negatif terhadap ibu dan janin dalam kandungannya.

Dengan adanya beberapa budaya yang dilakukan suku Sasak tersebut jelas terpapar
bahwa besar sekali kemungkinan bayi untuk mati dalam janin ibunya, karena masuknya bakteri-
bakteri kedalam janin yang dapat mengganggu kondisi bayi dengan melakukan hal-hal yang
tidak dibutuhkan dalam prosesi kelahiran seperti meminum air bekas cucian tangan orang tua
ataupun air bekas cucian kemaluan suaminya. Atau dengan salah satu cara mereka yaitu sang
suami dianjurkan untuk menginjak ubun-ubun istrinya. Dalam pernyataan ini belum didapatkan
referensi yang tepat apakah hanya sekedar menyentuh atau benar-benar menginjak. Dengan
perlakuan itu juga sudah sangat jelas akan menimbulkan dampak berbahaya bagi sang ibu dan
janinnya.

Banyak faktor yang mempengaruhi kenaikan AKB (Kenaikan angka kematian bayi).
Salah satunya faktor kebudayaan, dimana faktor kebudayaan ini sangat berpengaruh terhadap
perubahan perilaku seseorang. Pernyataan diatas mengenai angka kematian bayi di NTB
merupakan faktor kebudayaan dalam unsur kepercayaan, namun banyak lagi faktor kebudayaan
selain unsur kepercayaan, diantaranya :
1. Ekonomi : Penduduk Indonesia juga dililit oleh permasalahan yang berkaitan dengan
kemiskinan dan masalah-masalah sosial yang lain. Jumlah penduduk yang besar, pertumbuhan
yang tinggi, dan persebaran yang timpang dan tingginya angka kemiskinan yang semua ini
merupakan beban pembangunan. Seperti halnya wilayah NTB yang masih memiliki ekonomi
rendah.
2. Ilmu Pengetahuan : Tingginya AKB erat kaitannya dengan kurangnya pengetahuan
masyarakat mengenai kesehatan reproduksi dan pemeriksaan selama kehamilan. Hal ini
tercermin dari masih rendahnya pertolongan persalinan yang dibantu tenaga kesehatan (46%).
Meskipun pelayanan bidan sudah mencakup seluruh desa, persalinan yang ditolong oleh bidan
masih rendah. Di wilayah NTB dengan kondisi ekonomi rendah maka ilmu pengetahuanpun
akan kurang dalam masyarakat.
3. Teknologi : Unsur teknologi erat kaitannya dengan unsur ekonomi dan ilmu pengetahuan.
Seperti yang telah diuraikan sebelumnya bahwa semakin rendah tingkat ekonomi maka
mempengaruhi dimana tempat ibu bersalin. Seperti di wilayah NTB yang sangat kurang
dijangkau pemerintah maka masyarakat pun masih memilih untuk pergi bersalin dengan dukun
beranak akibat kurangnya teknologi, jikalau ada butuh biaya yang mahal.
4. Organisasi sosial : Kedudukan organisasi social seperti LSM dan lembaga social lainnya
sangat berpengaruh dalam proses sosialisasi kepada masyarakat luas mengenai informasi penting
yang berkaitan dengan gizi ibu hamil maupun asupan gizi yang seimbang bagi bayi maupun
balita. Salah satu program Depkes, seperti desa siaga harus melibatkan lembaga ketahanan
masyarakat desa (LKMD).
5. Bahasa : Dalam unsur bahasa erat kaitannya dengan komunikasi. Komunikasi yang dimaksud
disini kaitannya dengan kasus AKB yakni komunikasi antara pemerintah dengan lembaga-
lembaga sosial, maupun dengan masyarakat.
BAB III
PENUTUP
Suku Sasak adalah sukubangsa yang mendiami pulau Lombok dan menggunakan bahasa
Sasak. Sebagian besar suku Sasak beragama Islam, uniknya pada sebagian kecil masyarakat suku
Sasak, terdapat praktik agama Islam yang agak berbeda dengan Islam pada umumnya.
Dari berbagai macam budaya atau tradisi yang dimiliki oleh Suku Sasak beberapa
berkaitan dengan aspek kesehatan, diantaranya pembangunan rumah yang lantainya terbuat dari
campuran kotoran kerbau, pemberian nasi papah untuk bayi yang semestinya masih diberikan
ASI eksklusif dan konsep melahirkan suku sasak yang terbilang berbahaya karena jika
perempuan yang hendak melahirkan mengalami kesulitan maka sang Belian (dukun)
menganjurkan perempuan tersebut meminum air bekas cucian tangan ibu atau suaminya, bahkan
juga air bekas cucian kemaluan suaminya. Beberapa kebudayaan tersebut apabila terus
dilestarikan maka akan menimbulkan berbagai dampak negative dan berbahaya bagi
kelangsungan kondisi kesehatan suku tersebut.
Daftar Pustaka
http://www.ask.com/web?qsrc=2417&o=15185&l=dis&q=nasi+papah.budaya+lombok
(19.05 20-05-2013)
http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Sasak (21.54 23-05-2013)
Foster. G. M, Andersen B.G. 1986. Antropologi Kesehatan. Jakarta: Universitas Indonesia
http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Sasak ( 18.44 24-05-2013)
http://www.indonesia.travel/id/destination/478/lombok/article/112/desa-sade-sasak-lombok-dan-
tata-cara-hidup-mereka-yang-patut-anda-simak (14.09 23-05-2013)

Anda mungkin juga menyukai