Anda di halaman 1dari 47

KEPERAWATAN ANAK

PATOFISIOLOGI DAN ASUHAN KEPERAWATAN SERTA


PEMERIKSAAN FISIK PADA ANAK DENGAN HIDROCHEPALUS,
MENINGITIS, ENCHEPALITIS

DISUSUN OLEH

KELOMPOK 11

Leny Adifa P07220218009

Nasha Novita P07220218021

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

POLTEKKES KEMENKES KALIMANTAN TIMUR

PRODI SARJANA TERAPAN KEPERAWATAN

TAHUN AKADEMIK 2019/2020

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala limpahan
Rahmat juga Ridhonya sehingga penyusun dapat menyelesaikan makalah dengan
judul PATOFISIOLOGI DAN ASUHAN KEPERAWATAN SERTA
PEMERIKSAAN FISIK PADA ANAK DENGAN HIDROCHEPALUS,
MENINGITIS, ENCHEPALITIS dengan tepat waktu. Semoga makalah ini
dapat menjadi pemenuh tanggung jawab atas tugas yang diberikan oleh bapak/ibu
dosen mata kuliah Keperawatan Anak Sarjana Terapan Keperawatan tingkat II,
selain dari pada itu penyusun juga berharap bahwa makalah ini dapat memberikan
manfaat dalam membantu melengkapi wawasan.
Terima kasih yang sebesar-besarnya penyusun sampaikan kepada dosen
pembimbing mata kuliah Keperawatan Anak, juga kepada rekan sejawat yang
telah membantu dalam proses pengerjaan sehingga makalah ini dapat
terselesaikan.
Makalah ini penyusun akui masih banyak menyimpan kekurangan karena
pengalaman yang belum sepenuhnya mendukung. Oleh karena itu kami harapkan
kepada para pembaca untuk dapat memberikan masukan yang bersifat
membangun untuk perbaikan karya tulis penyusun.

Samarinda, 17 Februari 2020

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ....................................................................................................... i

DAFTAR ISI ...................................................................................................................... ii

BAB 1 PENDAHULUAN ................................................................................................. 1

A. Latar Belakang ........................................................................................................ 1


B. Rumusan Masalah ................................................................................................... 4
C. Tujuan ..................................................................................................................... 4
D. Manfaat ................................................................................................................... 4
E. Sistematika Penulisan ............................................................................................. 4

BAB 1I TELAAH PUSTAKA .......................................................................................... 6

A. Asuhan Keperawatan .............................................................................................. 6


B. Proses Keperawatan ................................................................................................ 7
C. Tinjauan Kasus ........................................................................................................ 9

PEMBAHASAN ................................................................................................................ 10

A. Hidrosefalus ............................................................................................................ 10
B. Meningitis ............................................................................................................... 23
C. Enchepalitis ............................................................................................................. 35

BAB III PENUTUP ........................................................................................................... 43

A. Kesimpulan ............................................................................................................. 43
B. Saran ........................................................................................................................ 43

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................ 44

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Anak merupakan generasi penerus yang akan mewarisi kepemimpinan di


bidang kebangsaan, keagamaan dan kenegaraan. Anak perlu dididik dan di rawat
dengan sebaik-baiknya dalam keluarga, agar anak berguna bagi bangsa, Negara
dan agama (Fitriana, 2017). Menurut UU RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang
perlindungan anak, pengertian anak adalah seseorang yang belum berusia 18
tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan. Anak mengalami fase
pertumbuhan dan perkembangan pada anak (Kementerian Kesehatan RI, 2014).
Diantaranya penyakit yang sering terjadi pada anak adalah hidrosefalus,
meningitis dan enchepalitis yang sampai saat ini di negara sedang berkembang
dan negara maju penyakit infeksi merupakan masalah medis yang sangat penting
karena menyebabkan angka kematian yang cukup tinggi (Ahmad Aniq Nor
Mustaqoh, 2015).
Menurut (Apriyanto 2013) Hidrosefalus merupakan gangguan yang terjadi
akibat kelebihan cairan serebrospinal pada sistem saraf pusat. Kasus ini
merupakan salah satu masalah yang sering ditemui di bidang bedah saraf, yaitu
sekitar 40% hingga 50%. Penyebab hidrosefalus pada anak secara umum dapat
dibagi menjadi dua , prenatal dan postnatal. Baik saat prenatal maupun postnatal,
secara teoritis patofisiologi hidrosefalus terjadi karena tiga hal yaitu produksi
liquor yang berlebihan, peningkatan resistensi liquor yang berlebihan, dan
peningkatan tekanan sinus.
Menurut ( Darsono,2005:2011 ) jumlah hidrosefalus di dunia cukup tinggi,
menurut penelitian WHO untuk wilayah ASEAN jumlah penderita hidrosefalus di
bebera Negara adalah sebagai berikut , di singapura pada anak 0 – 9 tahun : 0,5%,
Malaysia anak 5 – 12 tahun : 15%, india anak 2–4 tahun : 4% , di amerika serikat
angka kejadian hidrosefalus mencapai 0,5–4 1000 kelahiran, sedangkan di
Indonesia sendiri prevelansi hidrosefalus mencapai 10 per mil pertahun, sumber

1
lain menyebutkan insiden hidrosefalus di Indonesia mencapai 0,2–4 setiap 1000
kelahiran.
Insiden hidrosefalus antara 0,2–4 setiap 1000 kelahiran. Insidensi
hidrosefalus kongenital adalah 0,5–1,8 pada setiap 1000 kelahiran dan 11%-43%
disebabkan oleh stenosis aqueductus serebri. Tidak ada perbedaan bermakna
insidensi untuk kedua jenis kelamin, juga dalam hal perbedaan ras. Hidrosefalus
dapat terjadi pada semua umur. Pada remaja dan dewasa lebih sering disebabkan
oleh toksoplasmosis. Hidrosefalus infatil : 46% adalah akibat abnormalitas
perkembangan otak, 50% karena perdarahan subaraknoid dan meningitis, dan
kurang dari 4% akibat tumor fossa posterior.
Meningitis adalah radang pada meningen (selaput) yang mengelilingi otak
dan medula spinalis (Muttaqin, 2008). Meningitis dapat menyerang semua
kelompok umur, meskipun pada kenyataannya kelompok umur yang paling rawan
terkena penyakit ini adalah anak- anak usia balita dan orang tua (Andareto, 2015).
Insidens 90 % dari semua kasus meningitis bacterial terjadi pada anak yang
berusia kurang dari 5 tahun, insiden puncak terdapat pada rentang usia 6 sampai
12 bulan. Rentang usia dengan angka morbiditas tertinggi adalah dari lahir sampai
4 tahun (Betz & Sowden, 2009).
Pengetahuan dari orang tua sangat penting untuk mengenali gejala awal
meningitis sehingga anak mendapatkan pengobatan sesegera mungkin dan
terhindar dari komplikasi yang lebih parah. Anak dengan meningitis bakteri akut
mengalami hilang pendengaran (0,5-6,9% tipe sensorineural permanen dan 10,5%
reversibel) yang banyak terjadi pada anak yang telah sakit selama 24 jam
(Anurogo, 2014).
Data World Health Organization (WHO) (2015), melaporkan bahwa Pada
tahun 2014 di Afrika ditemukan 14.317 dugaan kasus meningitis dengan jumlah
kematian sebanyak 1.304 jiwa. Setiap tahun, kasus meningitis bakteri
mempengaruhi lebih dari 400 juta orang yang tinggal di 26 negara (dari Senegal
ke Ethiopia). Lebih dari 900.000 kasus dilaporkan dalam 20 tahun terakhir (1995-
2014). kasus meningitis tersebut mengakibatkan kematian sebanyak 10%.
Sedangkan 10-20% meninggalkan gejala sisa neurologis.

2
Insiden meningitis di negara berkembang cukup tinggi. Meningitis di
Indonesia merupakan penyebab kematian pada semua umur dengan urutan ke 17
(0,8%) setelah malaria.Meningitis penyebab kematian bayi umur 29 hari- 11 bulan
dengan urutan ketiga yaitu (9,3%) setelah diare (31,4%), dan pneumoni (23,8%).
Proporsi meningitis penyebab kematian pada umur 1-4 tahun yaitu (8,8%) dan
merupakan urutan ke-4 setelah Necroticans EnteroColitis (NEC) yaitu (10,7%)
(Balitbangkes 2008).
Virus Japanese Ensefalitis (JEV) adalah penyebab terpenting penyakit
ensefalitis di Asia. Virus ini adalah flavivirus yang ditularkan oleh nyamuk, dan
termasuk dalam genus yang sama dengan virus dengue. Tinjauan literatur
memperkirakan hampir 68.000 kasus klinis JE secara global setiap tahun, dengan
sekitar 13.600 hingga 20.400 kematian. JE terutama memengaruhi anak-anak.
Sebagian besar infeksi JEV ringan (demam dan sakit kepala) atau tanpa gejala
yang jelas, tetapi sekitar 1 dari 250 infeksi mengakibatkan penyakit klinis yang
parah (WHO, 2015).
Infeksi virus JE pada manusia umumnya tanpa gejala (asimpomatik) atau
bergejala ringan, walaupun demikian sebagian kecil berkembang menjadi
peradangan otak dan perbandingan antara kasus bergejala dengan tanpa gejala
berkisar antara 1 dalam 300 sampai 1 dalam 1,000 kasus. Kurang dari 1% manusia
yang terinfeksi oleh virus JE bermanifestasi klinis dan 20 - 30% akan berakhir
dengan kematian serta 30 - 50% dari kasus yang hidup akan menderita kelainan.
neurologis yang ringan sampai berat. Penyakit JE mengenai terutama anak-anak,
sedangkan orang dewasa di negara yang endemis pada umumnya sudah memiliki
kekebalan alamiah setelah terinfeksi pada masa kanak-kanak, tetapi semua
kelompok usia dapat dijangkiti penyakit ini (Subangkit , 2016).
Di Indonesia, terdapat sekitar 19 jenis nyamuk yang dapat menularkan
penyakit
ini; paling sering ialah Culex tritaeniorhynchus, yang banyak dijumpai di daerah
persawahan, rawa-rawa dan genangan air. Babi dan unggas yang hidup di air
seperti bangau, merupakan hewan utama reservoir virus ini. Selain itu sapi, kuda,

3
kerbau, kambing, tikus, kera, ayam dan kucing juga dapat berperan sebagai
reservoir virus JE.
Berdasarkan latar belakang diatas dengan tingginya kejadian hidrosefalus,
meningitis dan enchepalitis masih perlunya asuhan keperawatan yang
komprehensif untuk kesembuhan pasien. Oleh sebab itu penyusun tertarik untuk
melakukan asuhan keperawatan pada pasien anak dengan hidrosefalus, meningitis
dan enchepalitis.

B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan dengan latar belakang, maka ditemukan rumusan masalah
sebagai berikut “Bagaimana definisi, patofisiologi dan Asuhan Keperawatan Anak
dengan penyakit Hidrosefalus, Meningitis dan Enchepalitis?”

C. TUJUAN
1. Tujuan Umum
Makalah ini bertujuan untuk mengetahui teori konsep model Madeline
Leininger yang berhubungan dengan maternitas.
2. Tujuan Khusus
a. Sebagai media pembelajaran mahasiswa.
b. Mahasiswa mampu mengiplementasikan materi dengan baik.

D. MANFAAT
Sebagai tambahan referensi mengenai Patofisiologi dan Asuhan
Keperawatan anak dengan penyakit Hidrosefalus, Meningitis dan Enchepalitis.

E. SISTEMATIKA PENULISAN
Makalah ini disusun dengan sistematika sebagai berikut :
1. Cover yang terdiri dari judul, nama penyusun dan identitas institusi.
2. Kata pengantar yang berisi kalimat sambutan.
3. Daftar isi yang berisi sub bab dan halaman.
4. Daftar gambar yang berisi halaman gambar pada makalah.

4
5. Bab 1 pendahuluan yang terdiri dari latar belakang, rumusan masalah,
tujuan dan sistematika penulisan.
6. Bab 2 pembahasan yang terdiri dari Biografi Madeleine Leininger, Teori
Transkultural dan Teori Transkultural yang berhubungan dengan
Maternitas.
7. Bab 3 penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran.
8. Daftar pustaka.

5
BAB II
TELAAH PUSTAKA

A. ASUHAN KEPERAWATAN
a. Definisi
Asuhan Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia kata Asuhan
berarti hasil mengasuh; bimbingan; didikan. Keperawatan Definisi
keperawatan menurut beberapa pakar keperawatan, Florence Nightingale
(1895) Keperawatan adalah suatu proses menempatkan pasien dalam
kondisi paling baik untuk beraktivitas. Martha Roger (1970) Keperawatan
adalah pengetahuan yang ditujukan untuk mengurangi kecemasan terhadap
pemeliharaan dan peningkatan kesehtan, pencegahan penyakit, perawatan
dan rehabilitasi penderita sakit serta penyandang cacat. Dorothea Orem
(1971) Keperawatan ialah proses aksi dan interaksi untuk membantu
individu dari berbagai kelompok umur dalam memenuhi kebutuhannya
dan menangani status kesehatan mereka pada saat tertentu dalam suatu
siklus kehidupan. Callista Roy (1976) Keperawatan merupakan disiplin
ilmu yang berorientasi kepada praktik keperawatan berdasarkan ilmu
keperawatan, yang ditujukan untuk memberikan pelayanan kepada klien.
Asuhan keperawatan merupakan proses atau rangkaian kegiatan
pada praktik keperawatan yang diberikan secara langsung kepada klien
/pasien di berbagai tatanan pelayanan kesehatan. Dilaksanakan
berdasarkan kaidah-kaidah keperawatan sebagai suatu profesi yang
berdasarkan ilmu dan kiat keperawatan,bersifat humanistic,dan
berdasarkan pada kebutuhan objektif klien untuk mengatasi masalah yang
dihadapi klien. Asuhan keperawatan merupakan suatu hal yang tidak akan
terlepas dari pekerjaan seorang perawat dalam menjalankan tugas serta
kewajibannya serta peran dan fungsinya terhadap pada pasien. Proses
keperawatan adalah metode asuhan keperawatan yang
ilmiah,sistematis,dinamis dan terus menerus serta berkesinambungan
dalam rangka proses pemecahan masalah kesehatan pasien.dimulai dari

6
pengkajian {pengumpulan data,analisis data,dan penentuan
masalah},diagnosis Keperawatan, Pelaksanaaan dan Penilaian Tindakan
Keperawatan (evaluasi).

b. Tujuan asuhan keperawatan


Adapun tujuan dalam pemberian asuhan keperawatan antara lain
1. Membantu individu untuk mandiri.
2. Mengajak individu atau masyarakat berpartisipasi dalam bidang
kesehatan.
3. Membantu individu mengembangkan potensi untuk memelihara
kesehatan secara optimal agar tidak tergantung pada orang lain dalam
memelihara kesehatannya.
4. Membantu individu memperoleh derajat kesehatan yang optimal

B. PROSES ASUHAN KEPERAWATAN


a. Pengkajian
Tahap pengkajian merupakan suatu proses pengumpulan data yang
sistematis dari berbagai sumber untuk mengevaluasi dan
mengidentifikasi status kesehatan klien. Aktifitas Pengkajian
keperawatan meliputi :
1. Pengumpulan Data
2. Validasi Data
3. Organisasi Data
4. Identifikasi Pola / Masalah
5. Format Pengumpulan Data :
a) Identitas Klien
b) Riwayat Keperawatan / Kesehatan
c) Pola Fungsi Kesehatan
d) Pemeriksaan
e) Tanda tangan perawat yang mengkaji dan tanggal.

7
b. Diagnosa
1. Tujuan Diagnosa Keperawatan
2. Komponen Diagnosa Keperawata.
a) Problem (P) atau Label Diagnostik : menggambarkan problem
kesehatan klien atau respon untuk dilakukan terapi oleh
perawat.
b) Etiologi (E) atau Faktor-Faktor yang Berhubungan.
Mengidentifikasi satu atau lebih kemungkinan penyebab,
memberikan arah kepada terapi keperawatan yang diperlukan
dan memampukan perawat memberikan asuhan secara
individual.
c) Defining Characteristics (Batasan Karakteristik) adalah
sekelompok tanda dan gejala / sygn & symtomp (S) yang
mengindikasikan hadirnya label diagnostic.
3. Tipe Diagnosa
a) Diagnosa actual
b) Diagnosa keperawatan risiko
c) Diagnosa keperawatan sejahtera (Wellness)
d) Diagnosa keperawatan kemungkinan
c. Intervensi
1. Menentukan Tujuan dan Hasil yang Diharapkan
2. Menentukan Rencana Tindakan
3. Tipe Instruksi yang Digunakan dalam Intervensi
a) Instruksi diagnostic
b) Instruksi terapeutik
c) Instruksi penyuluhan
d) Instruksi rujukan

d. Implementasi
1. Tindakan Keperawatan Mandiri
2. Tindakan Keperawatan Kolaboratif

8
e. Evaluasi
1. Evaluasi Struktur
2. Evaluasi Proses
3. Evaluasi hasil
a) Masalah teratasi
b) Masalah sebagian teratasi
c) Masalah tidak teratasi

C. TINJAUAN KASUS
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Alfinia Yulita pada Karya
Tulis Ilmiahnya tahun 2017 tentang “Asuhan Keperawatan pada Anak
dengan Kasus Meningitis di Ruang Rawat Anak IRNA Kebidanan dan
Anak RSUP Dr. M. Djamil Padang. Didapatkan data bahwa Hidrosefalus
dapat terjadi dengan factor adanya riwayat penyakit lain dari anggota
keluarga.
Berdasarkan analisa peneliti Pada Partisipan II belum tejadi
hidrosefalus. Hal ini di sebabkan karena hidrosefalus dapat terjadi apabila
masuknya mikroorganisme kesusunan saraf pusat melalui ruang sub
arachnoid dan menimbulkan respon peradangan pada via, arachnoid, CSF
dan ventrikel, dari reaksi radang muncul eksudat dan perkembangan
infeksi pada ventrikel, edema dan skar jaringan sekeliling ventrikel yang
akan menyebabkan obstruksi pada CSF.
Riwayat kesehatan dahulu pada Partisipan I di dapatkan anak
pernah kontak dengan penderita Tb paru yaitu saudara laki-laki ayah yang
menderita Tb selama 2,5 tahun dan mendapatkan obat OAT. Sedangkan
pada partisipan II orang tua tidak mengetahui apakah anak pernah kontak
dengan penderita Tb.

9
BAB III
PEMBAHASAN

A. HIDROSEFALUS
a. Definisi Hidrosefalus

Gambar 3.1 Hidrosefalus pada Anak

Menurut (Dwita, 2017) Hidrosefalus berasal dari kata hidro yang


berarti air dan chepalon yang berarti kepala. Hidrosefalus merupakan
penumpukan CSS yang secara aktif dan berlebihan pada satu atau lebih
ventrikel otak atau ruang subarachnoid yang dapat menyebabkan dilatasi
sistem ventrikel otak.
Sedangkan menurut (Suriadi, 2010) Hidrosefalus adalah akumulasi
cairan serebrospinal dalam ventrikel serebral, ruang subarachnoid atau ruang
subdural. Hidrosefalus adalah suatu keadaan patologis otak yang
mengakibatkan bertambahnya cairan serebrospinalis, disebabkan baik oleh
produksi yang berlebihan maupun gangguan absorpsi, dengan atau pernah
disertai tekanan intrakanial yang meninggi sehingga terjadi pelebaran
ruangan-ruangan tempat aliran cairan serebrospinalis. Menurut pendapat lain
(Suharso D,2009)
Hidrosefalus adalah kelainan patologis otak yang mengakibatkan
bertambahnya cairan serebrospinal dengan atau pernah dengan tekanan

10
intrakranial yang meninggi, sehingga terdapat pelebaran ventrikel. Menurut
pendapat (Nining, 2008) Hidrocephalus adalah sebuah kondisi yang
disebabkan oleh produksi yang tidak seimbang dan penyerapan dari cairan
cerebrospinal (CSS) di dalam sistem Ventricular. Ketika produksi CSS lebih
besar dari penyerapan, cairan cerebrospinal mengakumulasi di dalam sistem
Ventricular.
Jadi dapat disimpulkan Hidrosefalus merupakan penumpukan CSS
yang secara aktif dan berlebihan pada satu atau lebih ventrikel otak atau ruang
subrachnoid yang dapat menyebakan dilatasi sistem ventrikel otak dimana
keadaan patologis otak yang mengakibatkan bertambahnya cairan
serebrospinal, disebabkan baik oleh produksi yang berlebihan maupun
gangguan absorpsi, dengan atau pernah disertai tekanan intracranial yang
meninggi sehingga terjadi pelebaran di ruangan-ruangan tempat aliran cairan
serebrospinal.

b. Patofisiologi

Gambar 3.2 Otak pada Penderita Hdirosefalus

Pembentukan cairan serebrospinal terutama dibentuk di dalam sistem


ventrikel. Kebanyakan cairan tersebut dibentuk oleh pleksus koroidalis di
ventrikel lateral, yaitu kurang lebih sebanyak 80% dari total cairan

11
serebrospinalis. Kecepatan pembentukan cairan serebrospinalis lebih kurang
0,35- 0,40 ml/menit atau 500 ml/hari, kecepatan pembentukan cairan tersebut
sama pada orang dewasa maupun anak-anak. Dengan jalur aliran yang dimulai
dari ventrikel lateral menuju ke foramen monro kemudian ke ventrikel 3,
selanjutnya mengalir ke akuaduktus sylvii, lalu ke ventrikel 4 dan menuju ke
foramen luska dan magendi, hingga akhirnya ke ruang subarakhnoid dan
kanalis spinalis.Secara teoritis, terdapat tiga penyebab terjadinya hidrosefalus,
yaitu:
1. Produksi likuor yang berlebihan.
Kondisi ini merupakan penyebab paling jarang dari kasus
hidrosefalus, hampir semua keadaan ini disebabkan oleh adanyatumor
pleksus koroid (papiloma atau karsinoma), namun ada pula yang terjadi
akibat dari hipervitaminosis vitamin A.
Gangguan aliran likuor yang merupakan awal kebanyakan kasus
hidrosefalus. Kondisi ini merupakan akibat dari obstruksi atau
tersumbatnya sirkulasi cairan serebrospinalis yang dapat terjadi di
ventrikel maupun vili arakhnoid. Secara umum terdapat tiga penyebab
terjadinya keadaan patologis ini, yaitu:
a) Malformasi yang menyebabkan penyempitan saluran likuor, misalnya
stenosis akuaduktus sylvii dan malformasi Arnold Chiari.
b) Lesi massa yang menyebabkan kompresi intrnsik maupun ekstrinsik
saluran likuor, misalnya tumor intraventrikel, tumor para ventrikel,
kista arakhnoid, dan hematom.
c) Proses inflamasi dan gangguan lainnya seperti mukopolisakaridosis,
termasuk reaksi ependimal, fibrosis leptomeningeal, dan obliterasi vili
arakhnoid.

2. Gangguan penyerapan cairan serebrospinal.


Suatu kondisi seperti sindrom vena cava dan trombosis sinus dapat
mempengaruhi penyerapan cairan serebrospinal. Kondisi jenis ini
termasuk hidrosefalus tekanan normal atau pseudotumor serebri.Dari

12
penjelasan di atas maka hidrosefalus apat diklasifikasikan dalam beberapa
sebutan diagnosis. Hidrosefalus interna menunjukkan adanya dilatasi
ventrikel, sedangkan hidrosefalus eksterna menunjukkan adanya pelebaran
rongga subarakhnoid di atas permukaan korteks. Hidrosefalus komunikans
adalah keadaan di mana ada hubungan antara sistem ventrikel dengan
rongga subarakhnoid otak dan spinal, sedangkan hidrosefalus
nonkomunikans yaitu suatu keadaan dimana terdapat blok dalam sistem
ventrikel atau salurannya ke rongga subarakhnoid. Hidrosefalus obstruktif
adalah jenis yang paling banyak ditemui dimana aliran likuor mengalami
obstruksi.

c. Asuhan Keperawatan Hidrosefalus Pada Anak


1. Pengkajian
a. Anamnesis
1) Identitas Pasien
Meliputi : nama, tempat/tanggal lahir, umur, jenis kelamin, anakke,
BB/TB, alamat.
2) Keluhan Utama:
Hal yang sering menjadi alasan klien untuk meminta pertolongan
kesehatan bergantung seberapa jauh dampak dari hidrosefalus pada
peningkatan tekanan intracranial, meliputi muntah, gelisah nyeri
kepala, letargi, lelah apatis, penglihatan ganda, perubahan pupil,
dan kontriksi penglihatan perifer.
3) Riwayat Kesehatan
a. Riwayat Penyakit Sekarang
Adanya riwayat infeksi (biasanya riwayat infeksi pada selaput
otak dan meningens) sebelumnya. Pengkajian yang didapat
meliputi seorang anak mengalami pembesaran kepala, tingkat
kesadaran menurun (GCS <15), kejang, muntah, sakit kepala,
wajahnya tanpak kecil cecara disproposional, anak menjadi
lemah, kelemahan fisik umum, akumulasi secret pada saluran

13
nafas, dan adanya liquor dari hidung. Adanya penurunan atau
perubahan pada tingkat kesadaran akibat adanya perubahan di
dalam intracranial. Keluhan perubahan perilaku juga umum
terjadi.
b. Riwayat Penyakit Dahulu
Pengkajian yang perlu ditanyakan meliputi adanya riwayat
hidrosefalus sebelumnya, riwayat adanyanya neoplasma otak,
kelainan bawaan pada otak dan riwayat infeksi.
4) Riwayat Perkembangan
Kelahiran premature, lahir dengan pertolongan, pada waktu lahir
menangis keras atau tidak. Riwayat penyakit keluarga, mengkaji
adanya anggota generasi terdahulu yang menderita stenosis
akuaduktal yang sangat berhubungan dengan penyakit
keluarga/keturunan yang terpaut sek
5) Pengkajian Psikososiospritual
Pengkajian mekanisme koping yang digunakan klien dan keluarga
(orang tua) untuk menilai respon terhadap penyakit yang diderita
dan perubahan peran dalam keluarga dan masyarakat serta respon
atau pengruhnya dalam kehidupan sehari-hari. Baik dalam keluarga
maupun masyarakata. Apakah ada dampak yang timbul pada klien
dan orang tua, yaitu timbul seperti ketakutan akan kecatatan, rasa
cemas, rasa ketidak mampuan untuk melakukan aktivitas secara
optimal. Perawat juga memasukkan pengkajian terhadap fungsi
neurologis dengan dampak gangguan neurologis yang akan terjadi
pada gaya hidup individu. Perspektif perawatan dalam mengkaji
terdiri atas dua masalah: keterbatasan yang diakibatkan oleh deficit
neurologis dalam hubungan dengan peran sosial klien dan rencana
pelayanan yang akan mendukung adaptasi pada gangguan
neurologis didalam system dukungan individu.

6) Pemeriksaan Fisik

14
a. Keadaan Umum:
Pada keadaan hidrosefalus umumnya mengalami penurunan
kesadaran (GCS <15) dan terjadi perubahan pada tanda-tanda
vital.
b. B1 (breathing)
Perubahan pada system pernafasan berhubungan dengan
inaktivitas. Pada beberapa keadaan hasil dari pemeriksaan fisik
dari system ini akan didapatkan hal-hal sebagai berikut:
Ispeksi umum: apakah didapatkan klien batuk, peningkatan
produksi sputum, sesak nafas, penggunaan otot batu nafas, dan
peningkatan frekuensi pernafasan. Terdapat retraksi
klavikula/dada, mengembangan paru tidak simetris.
Ekspansi dada: dinilai penuh/tidak penuh, dan kesimetrisannya.
Pada observasi ekspansi dada juga perlu dinilai retraksi dada
dari otot-otot interkostal, substernal pernafasan abdomen dan
respirasi paraddoks (retraksi abdomen saat inspirasi). Pola
nafas ini terjadi jika otot-otot interkostal tidak mampu
menggerakkan dinding dada.Palpasi: taktil primitus biasanya
seimbang kanan an kiriPerkusi: resonan pada seluruh lapang
paru.
Auskultasi: bunyi nafas tambahan, seperti nafas berbunyi
stridor, ronkhi pada klien dengan adanya peningkatan produksi
secret dan kemampuan batuk yang menurun yang sering
didapatkan pada klien hidrosefalus dengan penurunan tingkat
kesadaran.
c. B2 (Blood)
Frekuensi nadi cepat dan lemah berhubungan dengan
homeostasis tubuh dalam upaya menyeimbangkan kebutuhan
oksigen perifer. Nadi brakikardia merupakan tanda dari
perubahan perfusi jaringan otak. Kulit kelihatan pucat
merupakan tanda penurunan hemoglobin dalam darah.

15
Hipotensi menunjukan adanya perubaha perfusi jaringan dan
tanda-tanda awal dari suatu syok.
d. B3 (Brain)
Kepala terlihat lebih besar jika dibandingkan dengan tubuh.
Hal ini diidentifikasi dengan mengukur lingkar kepala
suboksipito bregmatikus dibanding dengan lingkar dada dan
angka normal pada usia yang sama. Selain itu pengukuuran
berkala lingkar kepala, yaitu untuk melihat pembesaran kepala
yang progresif dan lebih cepat dari normal. Ubunubun besar
melebar atau tidak menutup pada waktunya, teraba tegang atau
menonjol, dahi tampak melebar atau kulit kepala tampak
menipis, tegang dan mengkilat dengan pelebaran vena kulit
kepala. Satura tengkorak belum menutup dan teraba melebar.
Didapatkan pula cracked pot sign yaitu
bunyi seperti pot kembang yang retak pada perkusi kepala.
Bola mata terdorong kebawah oleh tekanan dan penipisan
tulang subraorbita. Sclera tanpak diatas iris sehingga iris
seakan-akan matahari yang akan terbenam atau sunset sign.
e. B4 (Bledder)
Kaji keadaan urine meliputi warna, jumlah dan karakteristik
urine, termasuk berat jenis urine. Peningkatan jumlah urine dan
peningkatan retensi cairan dapat terjadi akibat menurunya
perfungsi pada ginjal. Pada hidrosefalus tahap lanjut klien
mungkin mengalami inkontensia urin karena konfusi, ketidak
mampuan mengomunikasikan kebutuhan, dan ketidak
mampuan mengomunikasikan kebutuhan, dan ketidakmampuan
untuk menggunakan system perkemihan karena kerusakan
control motorik dan postural. Kadangkadang control sfingter
urinarius eksternal hilang atau steril. Inkontensia urine yang
berlanjut menunjukkan kerusakan neurologis luas.
f. B5 (Bowel)

16
Didapatkan adanya keluhan kesulitan menelan, nafsu makan
menurun, serta mual dan muntah pada fase akut. Mual sampai
muntah akibat peningkatan produksi asam lambung sehingga
menimbulkan masalah pemenuhan nutrisi. Pola defekasi
biasanya terjadi konstipasi akibat penurunan peristaltic usus.
Adanya kontensia alvi yang berlanjut menunjukkan kerusakann
neurologis luas.
g. B6 (Bone)
Disfungsi motorik paling umum adalah kelemahan fisik umum,
pada bayi disebabkan pembesaran kepala sehingga menggangu
mobilitas fisik secara umum. Kaji warna kulit, suhu,
kelembapan, dan turgon kulit. Adanya perubahan warna kulit;
warna kebiruaan menunjukkan adanya sianosis
(ujung kuku, ekstermitas,telingga, hidung, bibir dan membrane
mukosa). Pucat pada wajah dan membrane mukosa dapat
berhubungan dengan rendahnya kadar hemoglobinatau syok.
Warna kemerahan pada kulit dapat menunjukan adanya damam
atau infeksi. Integritas kulit untuk menilai adanya lesi dan
dekubitus. Adanya kesulitan untuk beraktivitas karena
kelemahan, kehilangan sensori atau paralisis/hemiplegia,
mudah lelah menyebabkan masalah pada pola aktivitas dan
istirahat.
7) Pengkajian tingkat kesadaran
Gejala khas pada hidrosefalus tahap lanjut adalah adanya dimensia.
Pada keadaan lanjut tingkat kesadaran klien hidrosefalus biasanya
berkisar pada tingkat latergi, stupor, semikomatosa sampai koma.
8) Pengkajian fungi serebral, meliputi:
a. Status mental.
Obresvasi penampilan, tingkah laku, nilai gaya bicara, ekspresi
wajah dan aktivitas motorik klien. Pada klien hidrosefalus
tahap lanjut biasanya status mental klien mengalami perubahan.

17
Pada bayi dan anak-anak pemeriksaan statuss mental tidak
dilakukan. Fungsi intelektual. Pada beberapa kedaan klien
hidrosefalus didapatkan. Penurunan dalam ingatan dan memori,
baik jangka pendek maupun jangka panjang.
b. Pengkajin saraf cranial, meliputi
1. Saraf I (Olfaktori)
Pada beberapa keaaan hidrosefalus menekan anatomi dan
fisiologis saraf ini klien akan mengalami kelainan pada
fungsi penciuman/ anosmia lateral atau bilateral.
2. Saraf II (Optikus)
Pada anak yang agak besar mungkin terdapat edema pupil
saraf otak II pada pemeriksaan funduskopi.
3. Saraf III, IV dan VI (Okulomotoris, Troklearis, Abducens)
Tanda dini herniasi tertonium adalah midriasis yang tidak
bereaksi pada penyinaran . paralisis otot-otot ocular akan
menyusul pada tahap berikutnya. Konvergensi sedangkan
alis mata atau bulu mata keatas, tidak bisa melihat keatas,.
Strabismus, nistagmus, atrofi optic sering di
dapatkan pada anak dengan hidrosefalus.
4. Saraf V (Trigeminius)
Karena terjadinya paralisis saraf trigeminus, didapatkan
penurunan kemampuan koordinasi gerakan mengunyah
atau menetek.
5. Saraf VII (facialis)
Persepsi pengecapan mengalami perubahan
6. Saraf VIII (Akustikus)
Biasanya tidak didapatkan gangguan fungsi pendengaran.
7. Saraf IX dan X (Glosofaringeus dan Vagus)
Kemampuan menelan kurang baik, kesulitan membuka
mulut
8. Saraf XI (Aksesorius)

18
Mobilitas kurang baik karena besarnya kepala menghambat
mobilitas leher klien.
9. Saraf XII (Hipoglosus)
Indra pengecapan mengalami perubahan.
9) Pengkajian system motorik.
Pada infeksi umum, didapatkan kelemahan umum karena
kerusakan pusat pengatur motorik.
a. Tonus otot
Didapatkan menurun sampai hilang
b. Kekuatan otot
Pada penilaian dengan menggunakan tingkat kekuatan otot
didapatkan penurunan kekuatan otot-otot ekstermitas.
c. Keseimbangan dan koordinasi
Didapatkan mengalami gangguan karena kelemahan fisik
umum dan kesulitan dalam berjalan.
10) Pengkajian Refleks.
Pemeriksaan reflex profunda, pengetukan pada tendon, ligamentum
atau periosteum derajat reflex pada rrespon normal. Pada tahap
lanjut, hidrosefalus yang mengganggu pusat refleks, maka akan
didapatkan perubahan dari derajat refleks. Pemeriksaan refleks
patologis, pada fase akut refleks fisiologis sisi yang lumpuh akan
menghilang. Setelah beberapa hari reflex fisiologis akan muncul
kembali didahului dengan reflex patologis.
11) Pengkajian system sensorik.
Kehilangan sensori karena hidrosefalus dapat berupa kerusakan
sentuhan ringan atau mungkin lebih berat, dengan kehilangan
propriosepsi (kemampuan untuk merasakan posisi dan gerakan
bagian tubuh) serta kesulitan dalam menginterpretasikan stimuli
visual, taktil, dan auditorius.

19
2. Diagnosa Keperawatan
a. Risiko Perfusi Serebral Tidak Efektif d.d aneurisma serebri (D.
0017)
b. Defisit nutrisi (D.0019) b.d ketidakmampuan mencerna makanan,
peningkatan kebutuhan metabolism
c. Gangguan mobilitas fisik (D.0054) b.d penurunan kekuatan otot,
gangguan neuromuscular, gangguan kognitif, gangguan
sensoriprsepsi.
d. Risiko jatuh d.d penurunan tingkat kesadaran, perubahan fungsi
kognitif, kekuatan otot menurun.
e. Ansietas b.d disfungsi sistem keluarga
f. Resiko gangguan integritas kulit/jaringan (D.0139) d.d penurunan
mobilitas
g. Resiko infeksi d.d penumpukan cairan di otak ( serebral )

3. Intervensi Keperawatan (SIKI)


a. Risiko Perfusi Serebral Tidak Efektif
Intervensi :
1) Manajemen peningatan tekanan intracranial (I. 06194)
Observasi
- Identifikasi penyebab peningkatan TIK
- Monitor tanda/gejala peningkatan TIK
- Monitor CPP
- Monitor ICP

Terapeutik
- Cegah terjadinya kejang
- Pertahakankan suhu tubuh normal

Kolaborasi
-kolaborasi pembeian sedasi & antikolvusan, jika perl

20
b. Defisit nutrisi (D.0019) b.d ketidakmampuan mencerna makanan,
peningkatan kebutuhan metabolism
Intervensi :
1) Manajemen NutrisI (I.03119)
Observasi :
- Identifikasi status nutrisi
- Identifikasi alergi dan intoleransi makanan
- Monitor asupan makanan
- Monitor hasil pemeriksaan laboratorium
Teraupetik :
- Berikan makanan tinggi serat untuk mencegah konstipasi
- Berikan makanan tinggi kalori dan tinggi protein

h. Gangguan mobilitas fisik (D.0054) penurunan kekuatan otot


gangguan neuromuscular, gangguan kognitif, gangguan
sensoriprsepsi.
Intervensi :
1) Dukungan Mobilisasi (I. 05173)
Observasi :
- Identifikasi adanya nyeri atau keluhan fisik lainnya
- Identifikasi toleransi fisik melakukan pergerakan
- Monitor kondisi umum selama melakukan mobilisasi
Teraupetik :
- Libatkan keluarga untuk membantu pasien dalam menigkatkan
pergerakan
Edukasi :
- Jelaskan tujuan dan prosedur mobilisasi
- Anjurkan melakukan mobilisasi dini
- Ajarkan mobilisasi sederhana yang harus dilakukan (mis. Duduk
ditempat tidur, duduk di sisi tempat tidur, pindah dari tempat tidur
ke kursi).

21
c. Risiko jatuh ( D.0054) b.d penurunan kekuatan otot, gangguan
neuromuscular, gangguan kognitif, gangguan sensoriprsepsi.
Intervensi :
1) Pencegahan jatuh (I.14540)
Observasi :
- Identifikasi factor risiko jatuh (mis. penurunan tingkat kesadaran,
deficit kognitif, gangguan keseimbangan)
- Identifikasi factor yang meningkatkan risiko jatuh (mis. Lantai
licin, penerangan kurang)
- Hitung resiko jatuh dengan menggunakan skala (mis. Fall morse
scale, humpty dumpty scale) jika perlu
Teraupetik :
- Tempatkan pasien berisiko tinggi dekat dengan pantauan perawat
dari nurse station
- Gunakan alat bantu berjalan (mis. Kursi roda, walker)
Edukasi :
- Anjurkan memanggil perawat jika membutuhkan bantuan untuk
berpindah
- Anjurkan berkonsentrasi untuk menjaga keseimbangan tubuh

d. Ansietas b.d disfungsi sistem keluarga


Intervensi : reduksi ansietas (I. 09314)
Observasi
- Identifikasi saat tingkat ansietas berubah
- Identifikasi kemampuan mengambil keputusan
- Monior tanda-tanda ansietas

Terapeutik

- Pahami situasi yang membuat ansietas


- Dengarkan dengan penuh perhatian

22
- Diskusikan perencanaan realistis tentang peristiwa yang akan
datang

Edukasi

- Anjurkan mengungkapkan perasaan dan persepsi


- Latih teknik relaksasi

e. Resiko gangguan integritas kulit/jaringan (D.0139)


Intervensi :
1) Perawatan integritas kulit (I. 11353)
Observasi
- Identifikasi penyebab gangguan integritas kulit (mis. Penurunan
mobilitas)
Teraupetik
- Ubah posisi tiap 2 jam jika tirah baring
Edukasi
- Anjurkan meningkatkan asupan nutrisi
- Anjurkan meningkatkan asupan buah dan sayur

B. MENINGITIS
a. Definisi Meningitis

Gambar 3.3 Meningitis pada Anak

23
Meningitis adalah radang pada meningen (selaput) yang mengelilingi
otak dan medula spinalis (Muttaqin, 2008). Meningitis adalah peradangan
pada selaput meningen, cairan serebrospinal dan spinal column yang
menyebabkan proses infeksi pada sistem saraf pusat (Suriadi & Yuliani,
2010).
Infeksi meningeal biasanya muncul melalui aliran darah akibat infeksi
lain (selulitis) atau melalui perluasan langsung (setelah cedera traumatik pada
tulang wajah). Meningitis bakterial atau meningokokal juga muncul sebagai
infeksi oportunis pada pasien AIDS dan sebagai komplikasi dari penyakit
limfe (Brunner & Suddart, 2013).

b. Patofisiologi

Gambar 3.4 Kelainan Otak pada Meningitis


Efek peradangan akan menyebabkan peningkatan cairan cerebro
spinalis yang dapat menyebabkan obstruksi, selanjutnya terjadi hidrosefalus
dan peningkatan tekanan intra kranial. Efek patologi dari peradangan tersebut
adalah hiperemi pada meningen, edema dan eksudasi yang menyebabkan
peningkatan intrakranial. Organisme masuk melalui sel darah merah pada
blood brain barrier. Masuknya organisme dapat melalui trauma, penetrasi
prosedur pembedahan, pecahnya abses serebral atau kelainan sistem saraf
pusat. Otorrhea atau rhinorhea akibat fraktur dasar tengkorak dapat

24
menimbulkan meningitis, dimana terjadi hubungan antara Cerebral spinal
fluid (CSF) dan dunia luar.Masuknya mikroorganisme kesusunan saraf pusat
melalui ruang sub arachnoid dan menimbulkan respon peradangan pada via,
arachnoid, CSF dan ventrikel, dari reaksi radang muncul eksudat dan
perkembangan infeksi pada ventrikel, edema dan skar jaringan sekeliling
ventrikel menyebabkan obstruksi pada CSF dan menimbulkan Hidrosefalus.
Meningitis bakteri ; netrofil,monosit, limfosit dan yang lainnya
merupakan sel respon radang. Eksudet terdiri dari bakteri fibrin dan leukosit
yang di bentuk di ruang sub arachnoid. Penumpukan pada CSF akan
bertambah dan mengganggu aliran CSF di sekitar otak dan medula spinalis.
Terjadi vasodilatasi yang cepat dari pembuluh darah dapat menimbulkan
rupture atau trombosis dinding pembuluh darah dan jaringan otak yang
berakibat menjadi infarctCSF (Suriadi & Yuliani, 2010).

c. Asuhan Keperawatan Meningitis Pada Anak


1. Pengkajian
Pengkajian pada pasien dengan kasus meningitis meliputi :
a. Identitas Pasien
Identitas pasien yang perlu dikaji meliputi; nama, tempat tanggal
lahir/umur,jenis kelamin, berat badan lahir, serta apakah bayi lahir
cukup bulan atau tidak, anak ke, jumlah saudara dan identitas orang
tua.
b. Riwayat Kesehatan
1) Keluhan Utama
Alasan anak di bawa ke rumah sakit karena mengalami demam
tinggi, sakit kepala berat, kejang dan penurunan kesadaran.
2) Riwayat penyakit saat ini
Biasanya pasien meningitis keluhan gejala awal berupa sakit
kepala dan demam. Keluhan kejang perlu mendapat perhatian
untuk dilakukan pengkajian lebih mendalam, bagaimana sifat
timbulnya kejang, stimulus apa yang sering menimbulkan kejang

25
dan tindakan apa yang telah diberikan dalam upaya menurunkan
keluhan kejang tersebut. Terkadang pada sebagian anak mengalami
penurunan atau perubahan pada tingkat kesadaran, Keluhan
perubahan perilaku juga umum terjadi, sesuai dengan
perkembangan penyakit dapat terjadi letargi, tidak responsif dan
koma.
3) Riwayat penyakit dahulu
Pasien meningitis biasanya pernah memiliki riwayat penyakit yang
meliputi; infeksi jalan nafas bagian atas, otitis media, mastoiditis,
anemia sel sabit dan hemoglobinopatis lain, tindakan bedah saraf,
riwayat trauma kepala dan adanya pengaruh imunologis pada masa
sebelumya. Meningitis tuberkulosis perlu dikaji tentang riwayat
sakit TB. Riwayat imunisasi juga perlu di ketahui seperti
pemberian imunisasi BCG dan DPT Hib pada anak. Selain itu
pengkajian tentang riwayat kehamilan pada ibu diperlukan untuk
melihat apakah ibu pernah mengalami penyakit infeksi pada saat
hamil (Muttaqin, 2008).
4) Pengkajian pertumbuhan dan perkembangan anak
Pada pasien dengan meningitis organ yang mengalami gangguan
adalah organ yang berdekatan dengan fungsi memori, fungsi
pengaturan motorik dan sensorik, maka kemungkinan besar anak
mengalami masalah ancaman pertumbuhan dan perkembangan
seperti retardasi mental, gangguan kelemahan atau
ketidakmampuan menggerakkan tangan maupun kaki (paralisis).
Akibat gangguan tersebut anak dapat mengalami keterlambatan
dalam mencapai kemampuan sesuai dengan tahapan usia.

c. Pemeriksaan Fisik
1) Tingkat Kesadaran

26
Kesadaran anak menurun apatis sampai dengan koma. Nilai GCS
yang berkisar antara 3 sampai dengan 9 (GCS normal 15) (Riyadi
& Sukarmin, 2009).
2) Tanda-tanda vital
Pada pasien dengan meningitis biasanya di dapatkan peningkatan
suhu tubuh lebih dari normal. penurunan denyut nadi terjadi
berhubungan dengan tanda-tanda peningkatan TIK, pernapasan
meningkat > 30 x/menit dan tekanan darah biasanya normal atau
meningkat karena tanda-tanda peningktan TIK.(suhu normal 36,5-
37,40 C, pernapasan normal : untuk anak 2 bulan -< 12 bulan < 50
x/menit, 12 bulan-<5 tahun < 40x/menit) (Muttaqin, 2008).
3) Kepala
Pada neonatus di temukan ubun-ubun menonjol, sedangkan pada
anak yang lebih besar jarang di temukan kelainan. Pada
pemeriksaan meningeal pada anak dengan meningitis akan
ditemukan kuduk kaku. Terkadang perlu dilakukan pemeriksaan
lingkar kepala untuk mengetahui apakah ada pembesaran kepala
pada anak (Wong, dkk, 2009).
4) Mata
Pada pasien dengan kesadaran yang masih baik fungsi dan reaksi
pupil biasanya tidak ada kelainan, sedangkan pada pasien dengan
penurunan kesadaran tanda-tanda perubahan dari fungsi dan reaksi
pupil mungkin akan di temukan, dengan alasan yang tidak di
ketahui pasien meningitis mengeluh mengalami fotofobia atau
sensitif yang berlebihan terhadap cahaya.
5) Hidung
Biasanya tidak ditemukan kelainan.
6) Mulut
Mukosa bibir kering akibat kehilangan cairan melalui proses
evaporasi.
7) Telinga

27
Terkadang di temukan keluarnya cairan dari telinga pada anak
dengan meningitis pneumokokus dan sinus dermal kongenital
terutama di sebabkan oleh infeksi E.colli.
8) Dada
a. Thoraks
1. Inspeksi, akan nampak penggunaan otot bantu penapasan.
2. Palpasi, pada pasien dengan meningitis jarang dilakukan
dan biasanya tidak ditemukan kelainan.
3. Auskultasi, ditemukannya bunyi nafas tambahan seperti
ronkhi pada pasien dengan meningitis tuberkulosa dengan
penyebaran primer dari paru.
b. Jantung
penurunan kesadaran pada anak akan di ikuti dengan denyut
jantung yang terkesan lemah < 100x/menit. (normal 100-
140x/i).
9) Kulit
Pada kulit saat inspeksi akan ditemukan ruam petekia dengan lesi
purpura sampai ekimosis pada daerah luas. Selain itu turgor kulit
mengalami penurunan akibat peningkatan kehilangan cairan.
10) Ekstremitas
Kekuatan otot menurun dan mengalami opistotonus. Pada tahap
lanjut anak mengalami gangguan koordinasi dan keseimbangan
pada alat gerak.
11) Genitalia, jarang di temukan kelainan.
12) Pemeriksaan saraf cranial
a. Saraf I, biasanya pada pasien dengan meningitis fungsi
penciuman tidak ada kelainan.
b. Saraf II, tes ketajaman penglihatan pada kondisi normal.
Pemeriksaan papiledema mungkin didapatkan terutama pada
meningitis supuratif disertai abses serebri dan efusi subdural

28
yang menyebabkan terjadinya peningkatan TIK berlangsung
lama.
c. Saraf III, IV dan VI, pemeriksaan fungsi dan reaksi pupil pada
pasien dengan meningitis yang tidak disertai penurunan
kesadaran biasanya tanpa kelainan. Pada tahap lanjut
meningitis yang telah mengganggu kesadaran, tanda-tanda
perubahan dari fungsi dan reaksi pupil akan di dapatkan.
Dengan alasan yang tidak di ketahui pasien meningitis
mengeluh mengalami fotofobia atau sensitif yang berlebihan
terhadap cahaya.
d. Saraf V, pada pasien dengan meningitis biasanya tidak di
dapatkan paralis pada otot wajah dan refleks kornea biasanya
tidak ada kelainan.
e. Saraf VII, persepsi pengecapan dalam batas normal dan wajah
sismetris.
f. Saraf VIII, tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli
persepsi.
g. Saraf IX dan X, kemampuan menelan baik.
h. Saraf XI, tidak ada atrofi otot strenokleidomastoideus dan
trapezius. Adanya usaha dari pasien untuk melakukan fleksi
leher dan kaku kuduk.
i. Saraf XII, lidah simetris, tidak ada deviasi pada satu sisi dan
tidak ada fasikulasi serta indra pengecap normal.
13) Sistem motorik
Kekuatan otot menurun, mengalami gangguan koordinasi pada alat
gerak, anak bisa mengalami hemiplegi dan/atau hemiparise.
14) Pemeriksaan rangsangan meningeal
a. Kaku kuduk
Kaku kuduk adalah tanda awal. Adanya upaya untuk fleksi
kepala mengalami kesukaran karena adanya spasme otot-otot
leher. Fleksi paksaan menyebabkan nyeri berat.

29
b. Tanda kernig positif
Ketika pasien di baringkan dengan paha dalam keadaan fleksi
kearah abdomen, kaki tidak dapat di ekstensikan sempurna.
c. Tanda brudzinski
Tanda ini di dapatkan apabila leher pasien di fleksikan, maka d
hasilnya fleksi lutut dan pinggul, bila di lakukan fleksi pasif
pada ekstremitas bawah pada salah satu sisi, maka gerakan
yang sama terlihat pada sisi ekstremitas yang berlawanan
(Muttaqin, 2008).
d. Pemeriksaan Penunjang
1. Fungsi lumbal dan kultur CSS dengan hasil sebagai berikut
:
a) Hitung sel darah putih, biasanya meningkat sampai
lebih dari 100/mm3 (normal : < 6/µL).
b) Pewarnaan gram CSS
c) Kadar glukosa cairan otak menurun pada meningitis
bacterial dan pada meningitis dengan penyebab virus
kadar glukosa biasanya normal. (normal kadar glukosa
cairan otak 2/3 dari nilai serum glukosa).
d) Protein, tinggi (bakterial, tuberkular, infeksi kongenital)
dan pada meningtis virus protein sedikit meningkat.
2. Pemeriksaan laboratorium
a) Pemeriksaan Hemoglobin (Hb), Hematokrit (Ht),
Leukosit dan trombosit, protombin dan tromboplastin
parsial. Pemeriksaan leukosit diperlukan untuk
menentukan kemungkinan adanya infeksi bakteri berat
dan leukopenia mungkin merupakan tanda prognosis
yang buruk terutama pada penyakit akibat
meningokokus dan pneumokokus. Sama halnya dengan
memanjangnya waktu protombin dan tromboplastin
parsial yang di sertai trombositopenia menunjukkan

30
koagulasi intravaskuler deseminata. (leukosit normal :
5000-10000/mm3, trombosit normal : 150.000-
400.000/mm3, Hb normal pada perempuan: 12-14gr/dl,
pada laki-laki : 14-18gr/dl).
b) Pemeriksaan glukosa darah. (Glukosa darah normal <
200 gr/dl).
3. Pemeriksaan cairan dan elektrolit
a) Kadar elektrolit serum, meningkat jika anak dehidrasi,
natrium serum (Na+) naik, kalium serum (K+)turun.
(Na+ normal : 136- 145 mmol/L, K+ normal : 3,5-5,1
mmol/L).
b) Osmolaritas urine meningkat dengan peningkatan
sekresi ADH.
4. Pemeriksaan kultur
a) Kultur darah berguna untuk mengidentifikasi organism
penyebab.
b) Kultur urien/urinalisis, untuk mengidentifikasi
organism penyebab.
c) Kultur nasofaring, untuk mengidentifikasi organisme
penyebab.
5. Pemeriksaan diagnostic
Pemeriksaan rontgenografi jarang diperlukan dalam
mendiagnosis meningitis namun pemeriksaan tersebut bisa
berguna dalam mengenali faktor resiko. CT scan dilakukan
untuk menentukan adanya edema serebri atau penyakit
saraf lainya (Betz & Sowden, 2009).

2. Diagnosa Keperawatan (SDKI)


a. Resiko perfusi serebral tidak efektif d.d aneurisma serebri (D.0017)
b. Hipovolemia b.d kehilangan cairan aktif
c. Bersihan jalan nafas tidak efektif b.d sekresi yang tertahan

31
d. Nyeri akut b.d agen pencidera fisiologis (inflamasi)
e. Hipertermia b.d peningkatan laju metabolisme, proses penyakit
f. Gangguan mobilitas fisik b.d penurunan kekuatan otot, gangguan
neuromuscular, gangguan kognitif, gangguan sensoripersepsi
g. Risiko jatuh d.d penurunan tingkat kesadaran, perubahan fungsi
kognitif, kekuatan otot menurun

3. Intervensi Keperawatan (SIKI)


a. Risiko perfusi serebal tidak efektif d.d aneurisma serebri (D.0017)
Intervensi :
1) Manajemen peningatan tekanan intracranial (I. 06194)
Observasi
- Identifikasi penyebab peningkatan TIK
- Monitor tanda/gejala peningkatan TIK
- Monitor CPP
- Monitor ICP

Terapeutik
- Cegah terjadinya kejang
- Pertahakankan suhu tubuh normal
-
Kolaborasi
- kolaborasi pembeian sedasi & antikolvusan, jika perlu

b. Hipovolemia b.d kehilangan cairan aktif


Intervensi :
1) Manajemen Hipovolemia (I.03116)
Observasi
- Periksa tanda dan gejala hipovolemia (mis. Frekuensi nadi
meningkat, nadi teraba lemah, tekanan darah menurun, lemah)

32
- Monitor intake dan output cairan
Teraupetik
- Hitung kebutuhan cairan

c. Bersihan Jalan napas tidak efektif


Intervensi :
1) Manajemen jalan napas (I. 01011)
Observasi
- Monitor pola napas (frekuensi, kedalaman, usaha napas)
- Monitor bunyi napas tambahan (mis. Gurgling, mengi, wheezing,
ronkhi)
- Monitor sputum (jumlah, warna, aroma)
Teraupetik
- Posisikan semifowler/fowler
- Berikan oksigen, jika perlu
Edukasi
- Ajarkan teknik batuk efektif

d. Nyeri akut b.d agen pencidera fisiologis (inflamasi)


Intervensi :
1) Manajemen nyeri
Observasi
- Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas,
intensitas nyeri
- Identifikasi skal nyeri
- Identifikasi respon nyeri non verbal
- Identifikasi factor yang memperberat dan memperingan nyeri
Teraupetik
- Berikan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri
- Fasilitasi istirahat dan tidur

33
e. Gangguan mobilitas fisik (D.0054) penurunan kekuatan otot gangguan
neuromuscular, gangguan kognitif, gangguan sensoriprsepsi.
Intervensi :
1) Dukungan Mobilisasi (I. 05173)
Observasi :
- Identifikasi adanya nyeri atau keluhan fisik lainnya
- Identifikasi toleransi fisik melakukan pergerakan
- Monitor kondisi umum selama melakukan mobilisasi
Teraupetik :
- Libatkan keluarga untuk membantu pasien dalam menigkatkan
pergerakan
Edukasi :
- Jelaskan tujuan dan prosedur mobilisasi
- Anjurkan melakukan mobilisasi dini
- Ajarkan mobilisasi sederhana yang harus dilakukan (mis. Duduk
ditempat tidur, duduk di sisi tempat tidur, pindah dari tempat tidur
ke kursi).

f. Risiko jatuh b.d penurunan kekuatan otot, gangguan neuromuscular,


gangguan kognitif, gangguan sensoriprsepsi.
Intervensi :
1) Pencegahan jatuh (I.14540)
Observasi :
- Identifikasi factor risiko jatuh (mis. penurunan tingkat kesadaran,
deficit kognitif, gangguan keseimbangan)
- Identifikasi factor yang meningkatkan risiko jatuh (mis. Lantai
licin, penerangan kurang)
- Hitung resiko jatuh dengan menggunakan skla (mis. Fall morse
scale, humpty dumpty scale) jika perlu
Teraupetik :

34
- Tempatkan pasien berisiko tinggi dekat dengan pantauan perawat
dari nurse station
- Gunakan alat bantu berjalan (mis. Kursi roda, walker)
Edukasi :
- Anjurkan memanggil perawat jika membutuhkan bantuan untuk
berpindah
- Anjurkan berkonsentrasi untuk menjaga keseimbangan tubuh

C. ENCHEPHALITIS
a. Definisi Enchepalitis

Gambar 3.5 Enchephalitis

Japanese Encephalitis (JE) adalah penyakit radang otak (Ensefalitis)


yang disebabkan oleh virus JE. Virus JE termasuk salah satu dari 66 jenis
flavivirus.. Manusia dapat terinfeksi virus JE karena ini merupakan penyakit
bersumber binatang (zoonosis) yang ditularkan melalui vektor penyebar virus
JE yaitu nyamuk Culex yang terinfeksi virus JE. Jenis nyamuk ini merupakan
yang biasa ditemukan di sekitar rumah antara lain area persawahan, kolam
atau selokan (daerah yang selalu digenangi air). Sedangkan reservoarnya
adalah babi, kuda dan beberapa spesies burung (Kemenkes RI, 2018).

35
Nyamuk Culex sifatnya antrosoofilik yang tidak hanya menghisap
darah binatang tapi juga darah manusia, karena itulah melalui gigitan nyamuk
dapat terjadi penularan JE dari hewan kepada manusia. Namun, manusia
merupakan dead-end host untuk JE, artinya manusia tidak menjadi sumber
penyebaran virus JE (Kemenkes RI, 2018).

h. Patofisiologi
Virus masuk ke tubuh klien melalui kulit, saluran pernafasan dan
saluran cerna, setelah masuk ke dalam tubuh, virus akan menyebar ke seluruh
tubuh dengan lokal: aliran virus terbatas menginfeksi selaput lendir, atau
organ tertentu, menggunakan hematogen primer: virus masuk ke dalam
pengiriman, kemudian menyebar ke organ dan mengembangkan biak di organ
ini dan menyebar melalui syaraf: virus berkembang biak di permukaan selaput
pemberi pinjaman dan ményebar melalui sistem persyarafan (Muttaqin, 2008).
Setelah terjadi penyebaran ke otak timbul manifestasi klinis ensefalitis.
Masa Prodromal berlangsung selama 1-4 hari ditandai dengan demam, sakit
kepala, pusing, muntah, nyeri tenggorok, malaise, nyeri ekstremitas dan pucat.

i. Asuhan Keperawatan Enchepalitis Pada Anak


1. Pengkajian
a. Identitas klien : nama, umur, jenis kelamin, agama, suku bangsa,
alamat, tanggal masuk rumah sakit, nomor register, tanggal pengkajian
dan diagnosa medis, jenis kelamin, umur dan alamat.
b. Keluhan utama
Keluhan utama pada penderita encephalitis yaitu sakit kepala, kaku
kuduk, gangguan kesadaran, demam dan kejang.
c. Riwayat penyakit sekarang.
Biasanya pada masa prodromal berlangsung antara 1-4 hari ditandai
dengan demam, sakit kepala, pusing, muntah, nyeri tenggorokan,
malaise, nyeri ekstrimitas dan pucat. Kemudian diikuti tanda

36
ensefalitis yang berat ringannya tergantung dari distribusi dan luas lesi
pada neuron. Gejala terebut berupa gelisah, irritable, screaning attack,
perubahan perilaku, gangguan kesadaran dan kejang kadang-kadang
disertai tanda neurologis fokal terdiri dari afasia, hemiparcsis,
hemiplegia, ataksia dan paralisi saraf otak.
d. Riwayat kehamilan dan kelahiran.
Dalam publikasi prenatal perlu diketahui penyakit apa saja yang
pernah diderita oleh ibu kebanyakan penyakit infeksi. Riwayat
kelahiran perlu diketahui apakah bayi lahi rdalam usia kchamilan
aterm atau tidak karena sistem kekebalan terhadap penyakit pada anak.
Trauma persalinan juga memengaruhi timbulnya penyakit contohnya
aspirasi ketuban untuk anak. Riwayat posting natal diperhukan untuk
mengetahui kehidupan anak setelah lahir. Contoh: BBLR, skor apgar,
yang mcmpengaruhi pertumbuhan dan perkembangan selanjutnya.
e. Riwayat penyakit yang lalu.
Kontak atau hubungan dengan kasus-kasus meningitis akan
meningkatkan kemungkinan terjadinya peradangan atau infeksi pada
jaringan otak (J.G. Chusid, 1993). Imunisasi perlu dikaji untuk
mengetahui bagaimana kekebalan tubuh anak. Alergi pada anak perlu
diakui untuk dihindarkan karcna dapat memperburuk keadaan.
f. Kesehatan keluarga.
Merupakan gambaran kesehatan keluarga, apakah ada tanggapannya
dengan penyakit yang dideritanya. Pada keadaan ini status keschatan
keluarga perlu diketahui, apakah ada anggota keluarga yang terkena
penyakit menular yang ada pertanggungan dengan penyakit yang
dialami oleh klien (Soemarno marram, 1983).
g. Riwayat sosial.
Lingkung dan keluarga anak sangat mendukung terhdap pertumbuhan
dan perkembangan anak. Perjalanan klinik dari penyakit schingga
memutuskan status mental, perilaku dan kepribadian. Perawat dituntut

37
mengkaji status klien ataukcluarga agar dapat memprioritaskan
masalah keperawatnnya. (Ignatavicius dan Bayne, 1991).
h. Kebutuhan dasar (aktfitas sehari-hari).
Sering terjadi gangguan pada kebiasaan sehari-hari antara lain:
gangguan pemenuahan kebutuhan nutrisi karena mual muntah,
hipermetabolik akibat proscs infeksi dan peningkatan tekanan
intrakranial.
Pola istirahat pada penderita sering kejang, hal ini sangat
mempengaruhi penderita. Pola kebersihan diri harus dilakukan di atas
tempat tidur karena para penderita lemah atau tidak sadar dan
tergantung pada orang lain, masalah bermain perlu diketahui jika ada
perubahan untuk mengetahui bagaimana membuat rumah sakit pada
anak.
i. Pemeriksaan fisik.
1. Keadaan umum
Penderita biasanya keadaan umum lemah karena perubahan atau
penurunan tingkat kesadaran. Gangguan tingkat kesulitan akibat
gangguan dan kesulitan yang berkaitan dengan proses saraf
peradangan otak.
2. Sistem gangguan pernafasan
Perubahan konsentrasi meningkatkan tekanan intra kranial
menyebabakan kompresi pada batang otak yang menyebabkan
pernafasan tidak teratur. Saat tekanan intrakranial hingga batas fatal
akan terjadi paralisa otot pernapasan (F. Sri Susilaningsih, 1994).
3. Sistem gangguan kardiovaskuler
Adanya kompresi pada pusat vasomotor menyebabkan terjadi pada
dacrah terscbut, hal ini akan merangsaang vasokonstriktor dan
menyebabkan peningkatan tekanan darah. Tekanan pada pusat
vasomotor menycbabkan pemancar mcningkatnya rangsang
parasimpatis ke jantung.
4. Sistem pencernaan gastrointestinal

38
Penderita akan membutuhkan mual dan muntah karcna peningkatan
tekanan intrakranial yang menstimulasi hipotalamus anterior dan
nervus vagus schingga meningkatkan sekresi asam lambung. Dapat
pula terjadi akibat peradangan schingga terjadi hipermetabolisme (F.
Sri Susilanigsih, 1994).
5. Pergerakan dan perkembangan
Pada setiap anak yang memperbaiki penyakit yang sifatnya kronuis
atau memperburuk rumah sakit yang lama, mengeluarkan tantangan
pertumbuhan dan perkembangan yang sangat besar. Hal ini tergantung
pada kondisi sakit Tubuh menurun termasuk fungsi sosial anak.
Tahun-tahun pertama pada anak merupakan "tahun emas" untuk
kehidupannya. Gangguan atau keterlambatan yang terjadi saat ini harus
diatasi untuk mencapai tugas tugas pertumbuhan selanjutnya.
Pengkajian dapat dilakukan dengan menggunakan format DDST.

2. Diagnosa Keperawatan
a. Risiko perfusi serebral tidak efektif b.d aneurisme serebri (D.0017)
b. Bersihan jalan napas tidak efektif b.d sekresi yang tertahan
c. Hipovolemia b.d kehilangan cairan aktif
d. Nyeri akut b.d agen pencedera fisiologis (inflamasi)
e. Gangguan mobilitas fisik b.d penurunan kekuatan otot, gangguan
neuromuscular, gangguan kognitif, gangguan sensoripersepsi
f. Risiko jatuh d.d penurunan tingkat kesadaran, perubahan fungsi kognitif,
kekuatan otot menurun

3. Intervensi Keperawatan (SIKI)


a. Resiko perfusi serebral tidak efektif b.d aneurisme serebri (D.0017)
Intervensi :
2) Manajemen peningatan tekanan intracranial (I. 06194)
Observasi
- Identifikasi penyebab peningkatan TIK

39
- Monitor tanda/gejala peningkatan TIK
- Monitor CPP
- Monitor ICP

Terapeutik
- Cegah terjadinya kejang
- Pertahakankan suhu tubuh normal

Kolaborasi
-kolaborasi pembeian sedasi & antikolvusan, jika perlu

b. Bersihan Jalan napas tidak efektif sekresi yang tertahan


Intervensi :
1) Manajemen jalan napas (I. 01011)
Observasi
- Monitor pola napas (frekuensi, kedalaman, usaha napas)
- Monitor bunyi napas tambahan (mis. Gurgling, mengi, wheezing,
ronkhi)
- Monitor sputum (jumlah, warna, aroma)
Teraupetik
- Posisikan semifowler/fowler
- Berikan oksigen, jika perlu
Edukasi
- Ajarkan teknik batuk efektif

c. Hipovolemia b.d kehilangan cairan aktif


Intervensi :
1) Manajemen Hipovolemia (I.03116)
Observasi

40
- Periksa tanda dan gejala hipovolemia (mis. Frekuensi nadi
meningkat, nadi teraba lemah, tekanan darah menurun, lemah)
- Monitor intake dan output cairan
Teraupetik
- Hitung kebutuhan cairan

d. Nyeri akut b.d agen pencidera fisiologis (inflamasi)


Intervensi :
1) Manajemen nyeri
Observasi
- Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas,
intensitas nyeri
- Identifikasi skal nyeri
- Identifikasi respon nyeri non verbal
- Identifikasi factor yang memperberat dan memperingan nyeri
Teraupetik
- Berikan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri
- Fasilitasi istirahat dan tidur

e. Gangguan mobilitas fisik (D.0054)


Intervensi :
1) Dukungan Mobilisasi (I. 05173)
Observasi :
- Identifikasi adanya nyeri atau keluhan fisik lainnya
- Identifikasi toleransi fisik melakukan pergerakan
- Monitor kondisi umum selama melakukan mobilisasi
Teraupetik :
- Libatkan keluarga untuk membantu pasien dalam menigkatkan
pergerakan
Edukasi :
- Jelaskan tujuan dan prosedur mobilisasi

41
- Anjurkan melakukan mobilisasi dini
- Ajarkan mobilisasi sederhana yang harus dilakukan (mis. Duduk
ditempat tidur, duduk di sisi tempat tidur, pindah dari tempat tidur
ke kursi).

f. Risiko jatuh b.d penurunan kekuatan otot, gangguan neuromuscular,


gangguan kognitif, gangguan sensoriprsepsi.
Intervensi :
1) Pencegahan jatuh (I.14540)
Observasi :
- Identifikasi factor risiko jatuh (mis penurunan tingkat kesadaran,
deficit kognitif, gangguan keseimbangan)
- Identifikasi factor yang meningkatkan risiko jatuh (mis. Lantai
licin, penerangan kurang)
- Hitung resiko jatuh dengan menggunakan skla (mis. Fall morse
scale, humpty dumpty scale) jika perlu
Teraupetik :
- Tempatkan pasien berisiko tinggi dekat dengan pantauan perawat
dari nurse station
- Gunakan alat bantu berjalan (mis. Kursi roda, walker)
Edukasi :
- Anjurkan memanggil perawat jika membutuhkan bantuan untuk
berpindah
- Anjurkan berkonsentrasi untuk menjaga keseimbangan tubuh

42
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Data World Health Organization (WHO) (2015), melaporkan bahwa Pada
tahun 2014 di Afrika ditemukan 14.317 dugaan kasus meningitis dengan jumlah
kematian sebanyak 1.304 jiwa. Setiap tahun, kasus meningitis bakteri
mempengaruhi lebih dari 400 juta orang yang tinggal di 26 negara (dari Senegal
ke Ethiopia). Lebih dari 900.000 kasus dilaporkan dalam 20 tahun terakhir (1995-
2014). kasus meningitis tersebut mengakibatkan kematian sebanyak 10%.
Sedangkan 10-20% meninggalkan gejala sisa neurologis.
Berdasarkan latar belakang diatas dengan tingginya kejadian hidrosefalus,
meningitis dan enchepalitis masih perlunya asuhan keperawatan yang
komprehensif untuk kesembuhan pasien.

B. Saran
Pada sistem saraf ditemukan berbagai macam gangguan dan kelainan, baik
karena bawaan maupun karena fsktor luar, dan di harapkan mahasiswa khususnya
keperawatan agar mengetahui gangguan-gangguan dalam sistem saraf. Serta dapat
memberikan informasi kepada masyarakat tentnag gangguan pada saraf yang
dikarenakan memang bawaan maupun factor luar atau virus, khususnya pada
anak.

43
DAFTAR PUSTAKA

Price, Sylvia A. Wilson dkk, 2005. Patofisiologi, Konsep Klinis Proses-proses


Penyakit. Ed 6. Jakarta; EGC; 2005

Apriyanto1, Rhonaz Putra Agung2, Fadillah Sari 3. 2013. Hidrosefalus Pada


Anak1 Dokter Spesialis Bedah Saraf RSUD Raden Mattaher, Jambi.JMJ,
Volume1, Nomor 1, Mei 2013, Hal: 61 – 67

Suriadi,dkk 2010, “Asuhan Keperawatan Pada Anak Edisi I“, Jakarta : cv


Sagung Seto

Brunner & Suddart. 2013, Keperawatan Medikal Bedah: Edisi 12. Jakarta: EGC.

Kurnia, Riska. Asuhan Keperawatan pada Klien An. A dengan Hidrosefalus di


ruangan Rawat Inap Anak RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukit Tinggi.
Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Perintis Padang. 2017.
Yulita, Alfina. Asuhan Keperawatan pada Anak dengan Kasus Meningitis di
ruangan Rawat Inap Anak RSUP Dr. M. Djamil Padang. Politeknik
Kesehatan Kemenkes Padang. 2017.
Maha, M. S. (2012). Japanese Encephalitis. Jakarta: Departemen Kesehatan RI,
Jakarta, Indonesia.
Nining. (2016). Keperawatan Anak. Jakarta: Kementrian Kesehatan Republik
Indonesia.

Tiwari, S. (2012, November 8). Japanese encephalitis: a review of the Indian


perspective. Received 29 March 2012, hal. 565-567.

44

Anda mungkin juga menyukai