I. PENDAHULUAN
Logam berat dapat masuk ke dalam tubuh organisme melalui tiga cara,
yaitu melalui rantai makanan, insang dan difusi melalui permukaan kulit
(Hutagalung, 1984). Jika biota air yang telah terkontaminasi logam berat tersebut
dikonsumsi oleh manusia dalam jangka waktu tertentu, dapat menjadi bahan racun
yang akan meracuni tubuh manusia (Palar, 2008). Gejala yang timbul pada
manusia akibat keracunan terhadap logam berat adalah mual, muntah, sakit perut,
hemolysis, kejang dan akhirnya akan mengalami kematian (Darmono, 1995).
Menurut Sudarwin (2008), salah satu logam berat yang bisa mencemari
perairan adalah timbal (Pb). Timbal merupakan salah satu logam berat non
esensial yang sangat berbahaya dan dapat menyebabkan keracunan (toksisitas)
pada makhluk hidup. Racun ini bersifat kumulatif, artinya sifat racunnya akan
timbul apabila terakumulasi dalam jumlah yang cukup besar dalam tubuh
makhluk hidup. Logam berat timbal (Pb) biasa digunakan dalam campuran cat,
pestisida serta campuran dalam bahan bakar kendaraan.
Ikan belanak adalah sejenis ikan laut tropis dan subtropis yang bentuknya
hampir sama dengan ikan bandeng. Ikan dari suku Mugilidae ini di dunia dikenal
sebagai ikan Mullets dan mempunyai banyak nama lokal diantaranya sebagai ikan
gadah, bale belana, jumpul, goru, rapang dan gadeh. Mereka biasa hidup mulai
dari muara sungai, pelabuhan, dermaga dan pantai. Jarang berada terlalu jauh dari
pantai. Belanak termasuk ikan bentopelagik (hidup didasar sampai permukaan air)
dan bergerombol dalam jumlah banyak.
Ikan dari kelompok Mugilidae memanfaatkan daerah estuari sebagai
daerah pemijahan dan daerah pembesaran. Ikan ini beruaya dari perairan payau ke
air laut untuk memijah dan larvanya banyak dijumpai di perairan pantai dekat
muara sungai. Umumnya ikan ini berlindung dan memakan organisme-organisme
kecil serta ganggang yang terapung pada perairan lumpur berpasir dan panjang
tubuh maksimumnya dapat mencapai 30 cm (Blaber, 1997).
4
lemak rendah dan merupakan sumber terbaik asam lemak omega 3. Tetapi ikan
juga dapat menyerap racun yang berasal dari logam berat melalui bioakumulasi ke
dalam tubuh ikan dari rantai makanan (Fadhlan, 2016).
Bioakumulasi logam berat seperti timbal pada ikan bisa terjadi secara fisik
maupun biologis (biokimia). Proses fisik adalah terpaparnya bagian tubuh atau
luar tubuh ikan dan pori-pori membran lainnya oleh senyawa-senyawa logam
berat, sedangkan proses biologi banyak terjadi melalui rantai makanan, dimana
kadar timbal dalam air akan terakumulasi ke dalam tubuh ikan (Aryani, 2017).
Beberapa penelitian tentang logam berat pada ikan yaitu, Penelitian
(Erlangga, 2005) menyimpulkan semakin tinggi kandungan Pb dalam organ
insang maka semakin tinggi pula kandungan logam Pb pada organ ginjal.
Keterkaitan hubungan ginjal dan insang disebabkan oleh adanya proses fisiologi
yang terjadi dalam tubuh ikan baung tersebut. Bahan pencemar yang tidak mampu
disaring oleh insang akan dieksresikan oleh organ ginjal. Keterkaitan hubungan
insang antara air sejalan dengan fungsi insang sebagai alat pernapasan bagi ikan,
dalam peristiwa ini organ insang akan berhubungan langsung dengan air dalam
melakukan respirasi.
Menurut Jones (1964), ikan yang mengakumulasi logam Pb pada
insangnya akan terbentuk lapisan mukus (lendir), sehingga ikan mengalami
keadaan kekurangan oksigen yang disebut Coagulation film anoxia. Pembentukan
lapisan mukus tersebut disebabkan terjadinya reaksi penolakan dalam insang ikan
terhadap logam berat yang diabsorpsi. Organ hati yang mengakumulasi logam Pb
akan mengalami kerusakan jaringan hati ikan, yaitu degenerasi lemak, hiperemi
(pembengkakan), dan nekrosa. Makin tinggi kadar logam berat makin tinggi
kerusakannya.
Menurut Bangun (2005), menyimpulkan hasil penelitiannya bahwa kadar
logam Pb yang diperoleh dalam daging berkisar 3.2114 – 5.1653 ppm, hal ini
disebabkan karena tingginya kandungan logam Pb di sedimen, dimana diketahui
bahwa ikan sokang merupakan ikan pemakan bentos yang mengendap di sedimen
sehingga kadar logam Pb pada tubuh ikan sokang cukup tinggi. Kandungan logam
Pb di organ daging lebih rendah bila dibandingkan dengan organ ginjal.
Kandungan logam Pb di insang memiliki kadar yang lebih kecil dibandingkan
8
dengan organ ginjal, hal ini dikarenakan logam berat yang terakumulasi di insang
lebih sedikit dan akan mengalami metabolisme serta mengalami proses eksresi.
bagi lingkungan sekitar. Asap yang dihasilkan dari pembakaran pada AAS, diolah
sedemikian rupa di dalam ducting, agar polusi yang dihasilkan tidak berbahaya.
d. Kompresor
Kompresor merupakan alat yang terpisah dengan main unit, karena alat ini
berfungsi untuk mensuplai kebutuhan udara yang akan digunakan oleh AAS pada
waktu pembakaran atom. Kompresor memiliki 3 tombol pengatur tekanan,
dimana pada bagian yang kotak hitam merupakan tombol ON-OFF, spedo pada
bagian tengah merupakan besar kecilnya udara yang akan dikeluarkan, atau
berfungsi sebagai pengatur tekanan, sedangkan tombol yang kanan merupakan
tombol pengaturan untuk mengatur banyak dan sedikitnya udara yang akan
disemprotkan ke burner.
e. Burner
Burner berfungsi sebagai tempat pancampuran gas asetilen, dan aquabides,
agar tercampur merata, dan dapat terbakar pada pemantik api secara baik dan
merata. Lobang yang berada pada burner, merupakan lobang pemantik api,
dimana pada lobang inilah awal dari proses pengatomisasian nyala api.
f. Buangan pada AAS
Buangan pada AAS disimpan di dalam drigen dan diletakkan terpisah pada
AAS. Buangan dihubungkan dengan selang buangan yang dibuat melingkar
sedemikian rupa, agar sisa buangan sebelumnya tidak naik lagi ke atas, karena
bila hal ini terjadi dapat mematikan proses pengatomisasian pada saat pengukuran
sampel, sehingga kurva yang dihasilkan akan terlihat buruk.
g. Monokromator
Berfungsi mengisolasi salah satu garis resonansi atau radiasi dari sekian
banyak spektrum yang dihasilkan oleh lampu pijar hollow cathode atau untuk
merubah sinar polikromatis menjadi sinar monokromatis sesuai yang dibutuhkan
oleh pengukuran.
h. Detektor
Dikenal dua macam detector, yaitu detector foton dan detector panas.
Detector panas biasa dipakai untuk mengukur radiasi infra merah termasuk
thermocouple dan bolometer. Detector berfungsi untuk mengukur intensitas
radiasi yang diteruskan dan telah diubah menjadi energi listrik oleh fotomultiplier.
11
Hasil pengukuran detector dilakukan penguatan dan dicatat oleh alat pencatat
yang berupa printer dan pengamat angka.
2.7.3 Salinitas
Salinitas permukaan dari hasil observasi ditentukan oleh meningkat dan
menurunnya evaporasi dan presipitasi, dan salinitas maksimum terjadi pada
lintasan angin dimana evaporasi tahunan lebih besar dari pada presipitasi. Secara
alamiah fluktuasi salinitas di daerah pasang surut disebabkan oleh dua hal, yaitu
hujan yang lebat dan penguapan yang besar. Berbagai aktifitas manusia juga
mempengaruhi salinitas perairan laut, terutama di daerah pesisir dekat muara
sungai, misalnya bendungan sungai atau kanal.
Keadaan salinitas di daerah estuari tidak stabil, berubah dengan keadaan
pasang surut. Selain hal itu ada faktor lain yang mempengaruhi variasi salinitas,
13
seperti topografi estuari serta muatan dan jumlah air tawar. Menurut Khordi dan
Gufran (1997), umumnya salinitas diperairan sungai dan di daerah estuaria 10-30
ppt.
antara kadar oksigen dengan suhu, dimana semakin tinggi suhu, maka kelarutan
oksigen semakin berkurang. Hampir semua organisme akuatik menyukai kondisi
dengan kelarutan oksigen >5 mg/liter (Effendi, 2003).
15
No Bahan Fungsi
1 Ikan Sampel penelitian
2 Aquadest Pelarut
14,5-17,6 cm/ekor dengan bobot 50-60 gram/ekor. Selain contoh sampel, diamati
juga paremeter kualitas air. Pengambilan data kualitas air dilakukan secara
langsung dilapangan. Parameter kualitas air yang diamati antara lain DO, salinitas,
pH, dan suhu.
Tabel 3.4. Pengukuran panjang dan bobot ikan belanak di setiap stasiun.
Stasiu Sampel Panjang Ikan Berat Ikan Total Berat
n Ikan (cm) (g) (g)
Belanak 14,5 50
I Belanak 15, 50,3 150,6 g
Belanak 15,3 50,3
Belanak 17,6 51,7
II Belanak 16,2 50,5 152,2 g
Belanak 14,8 50
Belanak. 15,2 50
III Belanak 15,7 50,4 150,4 g
Belanak 14,8 50
Belanak 15,5 50,1
IV Belanak 17,2 50,8 150,9 g
Belanak 15,3 50
3.4.4 Analisis Logam Berat Timbal (Pb) Pada Ikan Belanak (Mugil Sp)
Kandungan logam berat timbal (Pb) pada daging ikan diukur dengan
menggunakan metode Atomic Absorption Spectrophotometry (AAS), yang
dilakukan di Laboratorium Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam (FMIPA) Universitas Syiah Kuala Banda Aceh. Metode ini
dilakukan dengan menggunakan prosedur analisis berdasarkan SNI 2354.5 (2011).
a. Sampel ikan yang akan dianalisa terlebih dahulu dibersihkan diambil
insang sisik dan isi perutnya.
b. Setelah ikan di bersihkan, lalu daging beserta tulangnya di keringkan
kedalam oven pada suhu 70 °C selama ± 24 jam.
c. Setelah dikeringkan kemudian sampel ditimbang sebanyak 5 gram
selanjutnya dimasukkan ke dalam gelas beker dan ditambahkan 5 ml
HNO3 (pelarut) dan diamkan ± 3-5 jam.
d. Kemudian sampel ditambahkan 100 ml Aquadest, lalu diuapkan sampai
tersisa 25 ml.
19
11. Setelah pengujian selesai, matikan AAS dengan menekan satu tombol
untuk mematikan, “disconnect” AAS dari komputer, lalu matikan
komputer dan semua saklar pada komputer dan AAS.
Tabel 3.6. BSNI 7387:2009 Tentang Batas Maksimum Cemaran Logam Berat
Dalam Pangan.
manggrove. Hutan mangrove adalah wilayah yang paling penting yang harus
dilindungi keberadaannya. Hutan Mangrove yang ditumbuhi tumbuhan seperti
Rhizophora, Avicennia mariana (api-api), Avicennia alba (bogen) dan Sonneratia
alba (perepat) dan lain – lain di sepanjang anak sungai sangat berperan dalam
melestarikan sumber daya perikanan, karena tempat ini merupakan daerah asuhan
bagi anak – anak ikan untuk mencari makan serta tempat menempelnya telur –
telur ikan.
4.2 Kandungan Logam Berat Timbal (Pb) Pada Ikan Belanak (Mugil sp)
Menurut Ghufran dan Kordi (2011), belanak (Mugil sp) adalah sejenis
ikan laut tropis dan subtropis yang bentuknya hampir menyerupai ikan bandeng.
Ikan belanak merupakan jenis ikan pelagis (benthopelagic) yang bersifat
katadromus hidup di perairan tawar seperti sungai, estuari, dan laut. makanan
utama ikan belanak adalah dari golongan Bacillariophyceae, makanan
pelengkapnya adalah detritus, lumpur bercampur partikel pasir, desminiceaea, dan
nematoda.
Ikan belanak termasuk ikan konsumsi yang digemari oleh masyarakat
karena rasanya gurih, ikan ini tergolong ikan yang memiliki nilai ekonomis skala
menengah, dan memiliki kadar protein 17%-20% (Zainuri dan Wahyudi 2012).
Tubuh ikan atau daging ikan merupakan bagian yang sering dikonsumsi manusia
sebagai bahan makanan. Daging ikan merupakan bagian yang banyak
mengandung protein dan baik untuk perkembangan otak bagi manusia. Berbagai
cara logam berat masuk ke dalam ikan seperti respirasi, makan ataupun difusi.
Mekanisme masuknya logam berat ke dalam tubuh ikan, dengan proses fisiologis
pada tubuh ikan yaitu masuknya logam berat dengan cara diserap oleh insang
selanjutnya akan disebarkan ke seluruh tubuh melalui darah dan akan
didistribusikan ke seluruh tubuh bersama dengan protein sehingga dapat
mengendap di beberapa bagian tubuh ikan seperti daging, tulang, ginjal dan hati
dan sebagian akan dieksresikan kembali bersama urine (Kaban, 2015). Berikut
hasil analisis kandungan logam berat Pb pada daging ikan belanak di setiap
stasiun di perairan Krueng Cut dapat di lihat pada tabel 4.1.
Tabel 4.1. Kadar logam timbal (Pb) pada daging ikan belanak (Mugil sp) di
perairan sungai Krueng Cut Alue Naga.
23
Berdasarkan hasil analisis kandungan logam berat timbal (Pb) pada ikan
belanak (Mugil sp) di perairan sungai Krueng Cut Desa Alue Naga Kota Banda
Aceh, maka kandungan logam berat timbal (Pb) tertinggi di jumpai pada stasiun II
yaitu 0,3074 ppm, stasiun I yaitu 0,1537, stasiun III yaitu 0,0154, stasiun IV yaitu
0,0564. Tingginya kandungan logam berat pada stasiun II di duga karena
masuknya hasil dari limbah perbengkelan kapal nelayan, limbah tersebut berupa
oli bekas, pelumas, dan tumpahan air kapal. Ketika limbah tersebut masuk
kedalam waduk, limbah tersebut akan menyebar ke semua wilayah waduk dan
mengendap di dasar perairan. Menurut (Supryanto et al. 2007) Salah satu
bioindikator pencemaran di lingkungan perairan adalah kandungan - kandungan
logam berat yang terakumulasi dalam biota air, seperti timbal (Pb) yang
bersumber dari bahan bakar kapal yang tumpah ke perairan ataupun dari air
ballast kapal yang banyak mengandung unsur Pb dan pengecetan badan kapal Pb.
dan berawan. Setiap stasiun memiliki tingkat kadar oksigen terlarut yang berbeda-
beda, hal ini disebabkan karena gelombang dan pergerakan air, fotosintesis dan
respirasi oleh organisme yang hidup diperairan tersebut (Hutagalung, 2001).
Grafik hasil pengukuran oksigen terlarut di setiap stasiun di perairan
Krueng Cut Desa Alue Naga dapat di lihat pada gambar 4.4.
DO (Oksigen Terlarut)
7.4
7.2
7
6.8
Mg/L
6.6
6.4
6.2
6
5.8
Stasiun I Stasiun II Stasiun III Stasiun IV
4.3.2 Suhu
Suhu merupakan salah satu faktor fisika yang sangat penting dalam
lingkungan perairan. Suhu sangat mempengaruhi kehidupan biota di dalam suatu
perairan (Odum, 1971). Pada keadaan suhu yang normal ini, difusi oksigen
26
berjalan dengan baik sehingga biota yang ada di dalam perairan tersebut dapat
melakukan respirasi, metabolisme, makan dan kegiatan fisiologis lainnya berjalan
dengan baik. Peningkatan suhu juga menyebabkan terjadinya peningkatan
kecepatan metabolisme dan respirasi organisme air serta peningkatan dekomposisi
bahan organik oleh mikroba, dan selanjutnya mengakibatkan peningkatan
konsumsi oksigen dalam air. Peningkatan suhu yang disertai peningkatan
konsumsi oksigen, menyebabkan keberadaan oksigen tidak mencukupi kebutuhan
organisme akuatik untuk melakukan proses metabolisme dan respirasi (Effendi,
2003). Menurut Hutagalung (1984), mengatakan bahwa kenaikan suhu tidak
hanya akan meningkatkan metabolisme biota perairan, namun juga dapat
meningkatkan toksisitas logam berat disuatu perairan. Suhu yang baik untuk ikan
laut dan payau berkisar 27 °C – 32 °C. (Nybakken, 1992). Grafik hasil
pengukuran salinitas di setiap stasiun di perairan Krueng dapat di lihat pada
gambar 4.5.
Suhu
32.5
32
31.5
31
°C
30.5
30
29.5
Stasiun I Stasiun II Stasiun III Stasiun IV
Gambar 4.5 Hasil pengukuran suhu.
4.3.3 Salinitas
Salinitas wilayah muara sungai dipengaruhi oleh pasang surut air laut, air
sungai, penguapan dan curah hujan. Salinitas perairan dapat mempengaruhi
konsentrasi logam berat yang mencemari lingkungan perairan. Selain itu, nilai
salinitas yang tinggi dapat memperlambat pertumbuhan dan perkembangan
organisme perairan, karena sebagian besar energinya banyak digunakan untuk
proses osmoregulasi dalam usaha menjaga keseimbangan tekanan cairan tubuh
dengan lingkungannya (Nurwahidah, 2014).
Salinitas
31.5
31
30.5
30
ppt
29.5
29
28.5
28
Stasiun I Stasiun II Stasiun III Stasiun IV
dekat dengan laut bahkan sebaliknya, banyaknya masukan air tawar, tingkat curah
hujan, pasang dan surut air laut (Efendi, 2003).
Stasiun I mempunyai nilai pengukuran tertinggi, hal ini di karenakan jarak
stasiun I berdekatan dengan pinggir pantai, sedangkan stasiun II dan III sedikit
jauh dari pinggir pantai, dan stasiun IV jauh dari pantai sehingga pada stasiun ini
mempunyai hasil pengukuran salinitas yang rendah. Kisaran normal salinitas pada
umumnya di perairan pantai daerah tropis antara 28-32 ppt (Nontji, 1993). Hasil
pengukuran salinitas di perairan Krueng Cut, jika di bandingkan dengan Buku
Pintar Budidaya 32 Ikan Laut Ekonomis, (Ghufran dan Kordi 2011), maka
salinitas yang berada di perairan Krueng Cut masih berada dikisaran parameter
kualitas air untuk budidaya ikan (Ghufron dan Kordi 2011).
pH (Derajat Keasaman)
9.15
9.1
9.05
9
ppm
8.95
8.9
8.85
8.8
Stasiun I Stasiun II Stasiun III Stasiun IV
merupakan campuran dari air tawar dan air laut. Pada perairan ini banyak sekali
hidup berbagai jenis ikan yang merupakan ikan hasil adaptasi lingkungan.
Tabel 4.2. Hasil pengukuran parameter kualitas air di perairan Sungai Krueng Cut.
Lokasi
Hasil Pengamatan Parameter Air
Pengukuran
No
DO Suhu Salinitas pH
(mg/l) (°C) (ppt) (ppm)
1 7,3 30,6 31,0 9,1 Muara
2 7,3 32,0 30,0 9,0 Waduk
3 6,4 31,5 30,0 9,0 Anak Sungai
4 7,1 31,8 29,0 8,9 Jembatan Tibang
Tabel 4.3. Buku Pintar Budidaya 32 Ikan Laut Ekonomis (Ghufran dan Kordi
2011).
No Parameter Satuan Baku Mutu
1 Suhu °C 24-32
2 pH ppm 6,5-9,0
3 Salinitas ppt 30-35
4 Oksigen terlarut (DO) mg/l 5-8
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian bahwa dapat disimpulkan di setiap stasiun
terdeteksi logam berat timbal (Pb) yang terkandung dalam tubuh ikan belanak
(Mugil sp) di perairan sungai Krueng Cut Desa Alue Naga, dari ke empat stasiun
logam berat timbal (Pb) yang tertinggi yaitu pada stasiun II (waduk Alue Naga)
berkisar 0,3074 ppm dan yang terendah yaitu pada stasiun III ( anak sungai).
Hasil kandungan logam berat timbal (Pb) pada ikan belanak (Mugil sp) di
perairan Krueng Cut/Krueng Barona masih di ambang batas baku mutu dimana
batas maksimum dari baku mutu yaitu 0,3 mg/kg sedangkan kondisi kualitas air di
perairan Krueng Cut/Krueng Barona seperti DO (Oksigen terlarut), pH, salinitas
dan suhu daerah perairan Krueng Cut masih layak untuk dilakukan budidaya ikan
laut dan ikan payau.
5.2 Saran
1. Penelitian mengenai analasis kandungan logam berat pada ikan belanak ini
sebaiknya dilanjutkan dengan menganaslisis kandungan logam berat
timbal (Pb) pada air.
2. Perlu penelitian lebih lanjut untuk melacak sumber bahan pencemar dan
aliran bahan pencemar sehingga dapat dijadikan sebagai salah satu
kebijakan pengelolaan yang baik.
3. Perlu penelitian lebih lanjut untuk mengukur kualitas air seperti COD,
BOD, amoniak, nitrat dan nitrit pada saat musim kemarau dan hujan.
32
DAFTAR PUSAKA
Aryani, S.S. 2017. Analisis Kadar Timbal (Pb) pada Ikan yang Berasal dari
Perairan Teluk Tapian Nauli Sibolga Kabupaten Tapanuli Tengah [Skripsi].
Universitas Sumatera Utara.
Badan Standarisasi Nasional (BSN). 2009. SNI 7387: 2009: Batas Maksimum
Cemaran Logam Berat Dalam Pangan. Jakarta.
Bangun, J.M. 2005. Kandungan logam berat timbal (Pb) dan kadmium (Cd) dalam
air, sedimen dan organ tubuh ikan sokang (Triacanthus Nieuhofi) di Perairan
Ancol, Teluk Jakarta [skripsi]. Bogor; Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Hal: 7.
Blaber, S.J.M. 1997. Fish and fisheries of tropical estuaries. Australia: Chapman
and Hall. 206 p.
Connel, Des W dan Gregory J. Miller. 1995. Kimia dan Toksikologi Pencemaran.
UI-Press. Jakarta.
Darmono. 1995. Logam Berat Dalam Sistem Biologi Makhluk Hidup. Jakarta:
Penerbit Universitas Indonesia.
Erlangga. 2005. Kandungan Logam Berat Pada Air, Sedimen dan Biota di
Perairan Sungai Kampar Riau [Tesis]. Universitas Pertanian Bogor.
Fadhlan, A. 2016. Analisis Kandungan Logam Berat Timbal (Pb) Pada Ikan
Bandeng (Chanos-Chanos) di Beberapa Pasar Tradisional Kota Makassar
[Skripsi]. Fakultas Sains dan Teknologi. UID Alauddin Makasar.
33
Hutagalung, H.P. 1984. Logam Berat dalam Lingkungan Laut. Pewarta Oceana.
IX No. 1.
Irham, M., I. Setiawan. 2017. The study of flow resulting from wave on Lhoknga
Beach, Aceh Besar. Omni-Akuatika, 13 (1): 5-12.
Jones, M.D. 1964. The influence of mycorrhizal associations on paper birch and
jack pine seedlings when exposed to elevated copper, nickel or aluminum.
Water, Air, and Soil Pollution. 31, 441-448.
Kaban, M.A. 2015. Analisis Kandungan Logam Berat Pb Dan Cu Pada Ikan
Planktivor Bawal Putih (Pampus Argenteus) Yang Tertangkap Di Perairan
Banyuasin Provinsi Sumatera Selatan [Skripsi]. Inderalaya: Ilmu Kelautan.
Kadang, L. 2005. Analisis status pencemaran logam berat Pb, Cd, dan Cu di
perairan Teluk Kupang Provinsi Nusa Tenggara Timur [tesis]. Sekolah
Pasca sarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Khordi, K.M dan Gufran, H. 1997. Budidaya kepiting dan ikan bandeng di system
polikultur. Dahara prize. Semarang.
Khordi, K.M dan Gufran, H. 2011. Buku Pintar 32 Budidaya Ikan laut Ekonomis.
Yogyakarta.
Nurwahidah. 2014. Faktor Bioakomulasi Logam Timbal (Pb) dan Tembaga (Cu)
pada karang Lunak Nephthea sp, dan sinularia Polydactyla di Perairan
Samalona, Pulau Baranglompo dan Pulau Bone Batang Kota Makasar.
[Skripsi] online.
Nybakken, J.W. 1992. Biologi Laut, suatu Pendekatan Ekologis (dari Marine
Biology: An Ecological Approach. Penerjemah E. H. Muhammad et a,.l
(edisi pertama). PT. Gramedia. Jakarta.
Palar, H. 2008. Pencemaran & toksikologi logam berat. Jakarta: Rineka Cipta.
Pescod, M.B. 1973. Investigation of rational effluent and stream standard for
tropical countries. Environmental Enginering Division, Asian Institute Tec.
Bangkok.
Rangkuti, A.M. 2009. Analisis Kandungan Logam Berat Hg, Cd, Dan Pb Pada Air
dan Sedimen di Perairan Pulau Panggang-Pramuka Kepulauan Seribu,
Jakarta [Skripsi]. Fakultas Ilmu Perikanan dan Kelautan. Institusi Pertanian
Bogor.
Riley, J.P and G. Skirrow. 1975. Chemical oceanography. vol. 1. second edition.
Academic Press. London.
Saanin, H. 1984. Taksonomi dan kunci identifikasi ikan. Jakarta: Bina Cipta.
35
Setiawan, A.A., I. Emilia, dan Suheryanto. 2013. Kandungan Merkuri Total pada
Berbagai Jenis Ikan Cat Fish di Perairan Sungai Musi Kota
Palembang.Seminar Nasional Sains dan Teknologi V. Lembaga Penelitian
Universitas Lampung.
Sudarwin. 2008. Analisis Spasial Pencemaran Logam Berat (Pb dan Cd) pada
Sedimen Aliran Sungai dari Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sampah
Jatibarang Semarang [Tesis] diterbitkan, Program Pasca Sarjana, Universitas
Diponegoro, Semarang.
Supriadi. 2016. Analisis Kadar Logam Berat Timbal (Pb), Kadmium (Cd) Dan
Merkuri (Hg) Pada Air Laut Di Wisata Pantai Akkarena Dan Tanjung
Bayang Makassar [Skripsi]. Fakultas Sains dan Teknologi UIN Alauddin
Makasar.
Supriyanto, C. Samin. Kamal, Z. 2007. Analisis cemaran logam berat Pb, Cu, dan
Cd pada ikan air tawar dengan metode spektrometri nyala serapan atom
(SSA). Prosiding Seminar Nasional III SDM Teknologi Nuklir. Yogyakarta.
Zainuri dan Wahyudi. 2012. Analisis Kandungan Gizi dan Logam Berat Ikan
Belanak di Perairan Socah. Journal.
36
Stasiun I Stasiun II
Timbangan Penguapan
Pasar Ikan Desa Alue Naga dan Tibang Wawancara dengan Masyarakat