Anda di halaman 1dari 39

1

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Perairan Krueng Cut/Krueng Barona, Desa Alue Naga, Kecamatan Syiah
Kuala, Kota Banda Aceh merupakan suatu perairan yang rentan terhadap
pencemaran antropogenik dikarenakan daerah perairan tersebut merupakan daerah
muara. Jenis bahan antropogenik ini terdiri dari limbah organik dan anorganik
yang masuk ke perairan melalui limbah buangan (Rolet et al, 2015).
Menurut Sastrawijaya (1991), sumber pencemaran antropogenik yang
disebabkan oleh aktivitas manusia dapat dibedakan menjadi dua yaitu; sumber
domestik (rumah tangga) yaitu dari perkampungan, kota, pasar, rumah sakit dan
sebagainya, serta sumber nondomestik, yaitu dari pabrik, pertenakan, perikanan,
transportasi, perkapalan dan sumber-sumber lainnya. Komponen anorganik,
diantaranya adalah berbagai macam pencemaran logam berat seperti Cd, Cu, Fe,
Pb dan lain-lain yang berbahaya bagi sistem perairan, termasuk biota-biota yang
terdapat di dalam perairan tersebut (Irham, 2017).
Adanya logam berat di perairan, berbahaya baik secara langsung terhadap
kehidupan organisme. Hal ini berkaitan dengan sifat-sifat logam berat yang sulit
didegradasi, sehingga mudah terakumulasi dalam lingkungan perairan dan
keberadaannya secara alami sulit dihilangkan dapat terakumulasi dalam
organisme perairan termasuk kerang, dan ikan (Darmono, 2001).
Logam berat yang mengakumulasi biota – biota perairan khususnya ikan
akan berdampak buruk bagi lingkungan dan kehidupan ekosistem perairan
tersebut. Ikan merupakan salah satu biota air yang dapat hidup di air tawar,
estuaria dan air laut dan seringkali dijadikan bioindikator dalam menentukan
pencemaran suatu ekosistem perairan. Ikan dapat mengakumulasi logam berat
dalam tubuhnya seperti pada organ insang, sisik, sirip dan daging (Hutagalung,
1984).
Pb merupakan logam nonessensial sehingga belum diketahui manfaatnya
bagi tubuh organisme termasuk ikan tetapi logam Pb mempunyai kadar
maksimum yang diabsorbsi oleh tubuh ikan yaitu sebesar 10,000 ppb jika kadar
telah melebihi batas maksimum maka ikan tersebut akan mengalami keracunan
(Hutagalung, 1984).
2

Logam berat dapat masuk ke dalam tubuh organisme melalui tiga cara,
yaitu melalui rantai makanan, insang dan difusi melalui permukaan kulit
(Hutagalung, 1984). Jika biota air yang telah terkontaminasi logam berat tersebut
dikonsumsi oleh manusia dalam jangka waktu tertentu, dapat menjadi bahan racun
yang akan meracuni tubuh manusia (Palar, 2008). Gejala yang timbul pada
manusia akibat keracunan terhadap logam berat adalah mual, muntah, sakit perut,
hemolysis, kejang dan akhirnya akan mengalami kematian (Darmono, 1995).
Menurut Sudarwin (2008), salah satu logam berat yang bisa mencemari
perairan adalah timbal (Pb). Timbal merupakan salah satu logam berat non
esensial yang sangat berbahaya dan dapat menyebabkan keracunan (toksisitas)
pada makhluk hidup. Racun ini bersifat kumulatif, artinya sifat racunnya akan
timbul apabila terakumulasi dalam jumlah yang cukup besar dalam tubuh
makhluk hidup. Logam berat timbal (Pb) biasa digunakan dalam campuran cat,
pestisida serta campuran dalam bahan bakar kendaraan.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan hasil pengamatan disepanjang perairan Krueng Cut/Krueng
Barona terdapat berbagai aktivitas masyarakat, antara lain pasar, reparasi
kendaraan, wisata, (perbengkelan kapal nelayan) dan pertanian. Berbagai kegiatan
tersebut diduga menghasilkan limbah yang dapat mencemari dan mempengaruhi
biota yang hidup di perairan tersebut dan wilayah perairan Krueng Cut/Krueng
Barona merupakan tempat penangkapan ikan oleh penduduk sekitar maupun
penduduk luar, jenis ikan yang paling dominan di dapatkan oleh penduduk sekitar
maupun penduduk luar yaitu ikan belanak (Mugil sp). Mengingat hal tersebut,
maka perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui sejauh mana kontaminasi
logam timbal (Pb) pada daging ikan belanak di perairan tersebut.

1.3 Tujuan penelitian


1. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kandungan logam berat
pada ikan Belanak (Mugil sp) yang ada di perairan Krueng Cut/Krueng
Barona.
2. Untuk mengetahui kualitas perairan tersebut apakah layak untuk dilakukan
budidaya ikan laut dan payau.
3

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Klasifikasi Ikan Belanak (Mugil cephalus)


Klasifikasi ikan belanak menurut Saanin (1984) ;
Domain : Eukaryota
Kingdom : Animalia
Phylum : Chardota
Class : Osteichthyes
Order : Perciformes
Family : Mugilidae
Genus : Mugil
Spesies : Mugil sp

Gambar 2.1. Ikan Belanak (Mugil sp).

Ikan belanak adalah sejenis ikan laut tropis dan subtropis yang bentuknya
hampir sama dengan ikan bandeng. Ikan dari suku Mugilidae ini di dunia dikenal
sebagai ikan Mullets dan mempunyai banyak nama lokal diantaranya sebagai ikan
gadah, bale belana, jumpul, goru, rapang dan gadeh. Mereka biasa hidup mulai
dari muara sungai, pelabuhan, dermaga dan pantai. Jarang berada terlalu jauh dari
pantai. Belanak termasuk ikan bentopelagik (hidup didasar sampai permukaan air)
dan bergerombol dalam jumlah banyak.
Ikan dari kelompok Mugilidae memanfaatkan daerah estuari sebagai
daerah pemijahan dan daerah pembesaran. Ikan ini beruaya dari perairan payau ke
air laut untuk memijah dan larvanya banyak dijumpai di perairan pantai dekat
muara sungai. Umumnya ikan ini berlindung dan memakan organisme-organisme
kecil serta ganggang yang terapung pada perairan lumpur berpasir dan panjang
tubuh maksimumnya dapat mencapai 30 cm (Blaber, 1997).
4

2.2 Karakteristik Timbal (Pb)


Logam berat terdiri dari logam essensial dan logam non essensial. Logam
essensial adalah logam yang sangat membantu dalam proses fisiologis makhluk
hidup dengan jalan membantu kerja enzim atau pembentukan organ dari makhluk
yang bersangkutan. Sedangkan logam non essensial adalah logam yang
peranannya dalam tubuh makhluk hidup belum diketahui, kandungannya dalam
jaringan hewan sangat kecil dan apabila kandungannya tinggi akan dapat merusak
organ-organ tubuh makhluk yang bersangkutan. Salah satu logam non essensial
yang terdapat dalam perairan adalah timbal (Pb) (Darmono, 1995).
Timbal atau sering disebut juga timah hitam dalam bahasa latin dikenal
dengan nama plumbum, disingkat dengan Pb. Timbal pada tabel periodik terdapat
pada golongan XIV P, periode VI, memiliki nomor atom 82 (Connel et al. 1995).
Sifat-sifat timbal berdasarkan (Darmono, 1995) antara lain:
1. Memiliki titik cair rendah;
2. Merupakan logam yang lunak sehingga mudah diubah menjadi berbagai
bentuk;
3. Timbal dapat membentuk alloy dengan logam lainnya, dan alloy yang
terbentuk mempunyai sifat yang berbeda dengan timbal murni;
4. Memiliki densitas yang tinggi dibanding logam lain; kecuali emas dan
merkuri
5. Sifat kimia timbal menyebabkan logam ini dapat berfungsi sebagai
pelindung jika kontak dengan udara lembab.
Logam Pb banyak digunakan pada industri baterai, kabel, cat (sebagai zat
pewarna), penyepuhan, pestisida, dan yang paling banyak digunakan sebagai zat
antiletup pada bensin. Pb juga digunakan sebagai zat penyusun patri atau solder
dan sebagai formulasi penyambung pipa yang mengakibatkan air untuk rumah
tangga mempunyai banyak kemungkinan kontak dengan Pb (Darmono, 1995)
Timbal termasuk polutan di perairan yang sangat berbahaya, tidak hanya
bagi biota perairan, tetapi akan berdampak bagi manusia yang memakannya.
Faktor yang menyebabkan logam tersebut dikelompokkan ke dalam zat pencemar
ialah :
5

1. Logam tidak dapat terurai melalui biodegradasi seperti pencemar organik.


2. Logam dapat terakumulasi dalam lingkungan terutama dalam sedimen
sungai dan laut, karena dapat terikat dengan senyawa organik dan
anorganik, melalui proses adsorpsi dan pembentukan senyawa kompleks.
Karena logam dapat terakumulasi dalam sedimen, maka kadar logam
dalam sedimen lebih besar dari logam dalam air (Kaban, 2015).

2.3 Keberadaan Logam Berat Timbal (Pb) di Perairan


Timbal (Pb) dan persenyawaanya dapat berada di dalam badan perairan
secara alamiah dan sebagai dampak dari aktivitas manusia. Secara alamiah, timbal
dapat masuk ke dalam perairan melalui pengkristalan timbal di udara dengan
bantuan air hujan. Di samping itu proses korosifikasi dari batuan mineral akibat
hempasan gelombang dan angin, juga merupakan salah satu jalur sumber timbal
yang akan masuk ke dalam badan perairan (Aryani, 2017).
Kadar ini dapat meningkat jika terjadi peningkatan limbah yang
mengandung logam berat masuk ke dalam perairan. Limbah ini dapat berasal dari
aktivitas manusia di laut yang berasal dari pembuangan sampah kapal-kapal,
penambangan logam di laut, dan lain-lain dan yang berasal dari darat seperti
limbah perkotaan, pertambangan, pertanian, dan perindustrian (Kaban, 2015).
Timbal (Pb) yang ada dalam badan perairan dapat ditemukan dalam
bentuk ion-ion divalen atau ion-ion tetravalen, ion timbal (Pb) divalen
digolongkan dalam kelompok ion logam kelas antara sedangkan ion timbal (Pb)
tetravalen digolongkan pada kelompok ion logam kelas B. beberapa penelitian
menunjukkan bahwa ion timbal divalen lebih berbahaya dari pada ion timbal
tetravalen (Aryani, 2017).
Logam berat Pb yang masuk ke dalam lingkungan perairan akan
mengalami pengendapan, pengenceran, dan dispersi, kemungkinan diserap oleh
organisme yang hidup di perairan tersebut. Pengendapan logam berat di suatu
perairan terjadi karena adanya anion karbonat hidroksil dan klorida. Logam berat
mempunyai sifat yang mudah mengikat bahan organik dan mengendap di dasar
perairan dan berikatan dengan partikel-pertikel sedimen, sehingga konsentrasi
logam berat dalam sedimen lebih tinggi dibanding dalam air (Hutagalung, 1991).
6

Kebanyakan logam berat secara biologis terkumpul dalam tubuh


organisme, menetap untuk waktu yang lama dan berfungsi sebagai racun
kumulatif (Darmono, 1995). Keberadaan logam berat dalam perairan akan
berpengaruh negatif terhadap kehidupan biota. Logam berat yang terikat dalam
tubuh organisme yaitu pada ikan akan mempengaruhi aktivitas organisme tersebut
(Kaban, 2015).
Organisme yang terekspos logam berat Pb dengan konsentrasi rendah
biasanya tidak mengalami kematian, tetapi akan mengalami pengaruh sublethal,
yaitu pengaruh yang terjadi pada organisme tanpa mengakibatkan kematian pada
organisme tersebut. Pengaruh sublethal ini dapat dibedakan atas tiga macam, yaitu
menghambat (misalnya pertumbuhan dan perkembangan, serta reproduksi),
menyebabkan terjadinya perubahan morfologi dan merubah tingkah laku
organisme. Logam berat yang dilimpahkan ke perairan, baik sungai ataupun laut,
akan mengalami paling tidak tiga proses, yaitu pengendapan, adsorpsi, dan
absorpsi oleh organisme-organisme perairan (Fadhlan, 2016).
Berdasarkan pedoman baku mutu lingkungan menurut Surat Keputusan
Menteri Lingkungan Hidup Nomor: KEP-MEN LH No.51/MenKLH/2004,
ambang batas Pb untuk wisata bahari adalah 0,005 mg/l ppm dan untuk biota
adalah 0,008 mg/l ppm.
Menurut Supriadi (2016), sumber bahan pencemar yang masuk ke perairan
dapat berasal dari buangan yang diklasifikasikan:
1. Point source discharges (sumber titik), yaitu sumber titik atau sumber
pencemar yang dapat diketahui secara pasti dapat berupa suatu lokasi seperti air
limbah industri maupun domestik serta saluran drainase. Air limbah adalah sisa
dari suatu hasil usaha dan atau kegiatan yang berwujud cair (PP No.82 Tahun
2001).
2. Non point source (sebaran menyebar), berasal dari sumber yang tidak
diketahui secara pasti. Pencemar masuk ke parairan melalui run off (limpasan)
dari wilayah pertanian, pemukiman dan perkotaan.

2.4 Logam Berat Timbal (Pb) Pada Ikan


Ikan merupakan salah satu hasil perairan yang banyak dimanfaatkan oleh
manusia karena beberapa kelebihannya. Salah satunya adalah mempunyai kadar
7

lemak rendah dan merupakan sumber terbaik asam lemak omega 3. Tetapi ikan
juga dapat menyerap racun yang berasal dari logam berat melalui bioakumulasi ke
dalam tubuh ikan dari rantai makanan (Fadhlan, 2016).
Bioakumulasi logam berat seperti timbal pada ikan bisa terjadi secara fisik
maupun biologis (biokimia). Proses fisik adalah terpaparnya bagian tubuh atau
luar tubuh ikan dan pori-pori membran lainnya oleh senyawa-senyawa logam
berat, sedangkan proses biologi banyak terjadi melalui rantai makanan, dimana
kadar timbal dalam air akan terakumulasi ke dalam tubuh ikan (Aryani, 2017).
Beberapa penelitian tentang logam berat pada ikan yaitu, Penelitian
(Erlangga, 2005) menyimpulkan semakin tinggi kandungan Pb dalam organ
insang maka semakin tinggi pula kandungan logam Pb pada organ ginjal.
Keterkaitan hubungan ginjal dan insang disebabkan oleh adanya proses fisiologi
yang terjadi dalam tubuh ikan baung tersebut. Bahan pencemar yang tidak mampu
disaring oleh insang akan dieksresikan oleh organ ginjal. Keterkaitan hubungan
insang antara air sejalan dengan fungsi insang sebagai alat pernapasan bagi ikan,
dalam peristiwa ini organ insang akan berhubungan langsung dengan air dalam
melakukan respirasi.
Menurut Jones (1964), ikan yang mengakumulasi logam Pb pada
insangnya akan terbentuk lapisan mukus (lendir), sehingga ikan mengalami
keadaan kekurangan oksigen yang disebut Coagulation film anoxia. Pembentukan
lapisan mukus tersebut disebabkan terjadinya reaksi penolakan dalam insang ikan
terhadap logam berat yang diabsorpsi. Organ hati yang mengakumulasi logam Pb
akan mengalami kerusakan jaringan hati ikan, yaitu degenerasi lemak, hiperemi
(pembengkakan), dan nekrosa. Makin tinggi kadar logam berat makin tinggi
kerusakannya.
Menurut Bangun (2005), menyimpulkan hasil penelitiannya bahwa kadar
logam Pb yang diperoleh dalam daging berkisar 3.2114 – 5.1653 ppm, hal ini
disebabkan karena tingginya kandungan logam Pb di sedimen, dimana diketahui
bahwa ikan sokang merupakan ikan pemakan bentos yang mengendap di sedimen
sehingga kadar logam Pb pada tubuh ikan sokang cukup tinggi. Kandungan logam
Pb di organ daging lebih rendah bila dibandingkan dengan organ ginjal.
Kandungan logam Pb di insang memiliki kadar yang lebih kecil dibandingkan
8

dengan organ ginjal, hal ini dikarenakan logam berat yang terakumulasi di insang
lebih sedikit dan akan mengalami metabolisme serta mengalami proses eksresi.

2.5 Toksitas Timbal (Pb)


Ikan keracunan Pb akan mengalami penurunan laju pertumbuhan,
kemudian ikan yang terpapar tapi tidak terjadi kematian, akan tetapi organ
tubuhnya dapat mengalami kerusakan jaringan. Resiko lain yang dapat terjadi
antara lain ikan tidak menghasilkan keturunan dan walaupun menghasilkan
keturunan akan mengalami cacat fisik, misalnya pergerakannya tidak normal dan
disorientasi (Setiawan et al. 2013).
Toksisitas Pb bersifat kronis dan akut. Toksisitas kronis sering dijumpai
pada pekerja tambang dan pabrik pemurnian logam, pembuatan baterai,
percetakan, pelapisan logam, dan pengecatan. Paparan timbal (Pb) secara kronis
bias menyebabkan kelelahan, kelesuhan, gangguan iritabilitas, kehilangan libido,
gangguan menstruasi serta aborsi spontan pada wanita, depresi, sakit kepala, sulit
berkonsentrasi, daya ingat terganggu, dan sulit tidur. Toksisitas akut bisa terjadi
bila Pb masuk ke dalam tubuh seseorang melalui makanan atau menghirup gas Pb
dalam waktu yang relatif pendek dengan dosis atau kadar yang relatif tinggi.
Timbal (Pb) pada anak bisa merusak jaringan saraf, fungsi ginjal, menurunnya
kemampuan belajar, dan membuat anak-anak bersifat hiperaktif. Selain itu, Pb
juga mempengaruhi organ-organ tubuh, antara lain: sistem saraf, ginjal, sistem
reproduksi, endokrin, dan jantung serta gangguan pada otak sehingga anak
mengalami gangguan kecerdasan mental (Fadhlan, 2016).
Gejala keracunan Pb pada orang dewasa yang terlihat ialah penderita
terlihat pucat, sakit perut, konstipasi, muntah, anemia, dan sering terlihat adanya
garis biru tepat di daerah gusi di atas gigi. Pada pemeriksaan psikologi dan
neuropsikologi ditemukan adanya gejala sulit mengingat-ingat (sistem memori
sangat berkurang), konsentrasi menurun, kurang lancar berbicara, dan gejala saraf
lainnya. Resiko terjadinya toksisitas Pb pada orang dewasa tergantung pada
pekerjaannya yang biasanya bersifat kronis. Pada pemeriksaan darah para pekerja
terhadap konsentrasi Pb akan diketahui seberapa jauh derajat toksisitas kronis Pb
tersebut (Darmono, 2001).
9

Berdasarkan pedoman baku mutu menurut BSNI 7387:2009 Tentang Batas


Maksimum Cemaran Logam Berat Dalam Pangan.

2.6 Spektrometri Serapan Atom (SSA/AAS)


Spektrometri merupakan suatu metode analisis kuantitatif yang
pengukurannya berdasarkan banyaknya radiasi yang dihasilkan atau yang diserap
oleh spesi atom atau molekul analit. Salah satu bagian dari Spektrometri Serapan
Atom (SSA), merupakan metode analisis unsur secara kuantitatif yang
pengukurannya berdasarkan penyerapan cahaya dengan panjang gelombang
tertentu oleh atom logam dalam keadaan bebas. Prinsip Spektrometri Serapan
Atom (SSA) pada dasarnya sama seperti absorpsi sinar oleh molekul atau ion
senyawa dalam larutan (Supriadi, 2016).
a. Lampu Katoda
Lampu katoda merupakan sumber cahaya pada AAS. Lampu katoda
memiliki masa pakai atau umur pemakaian selama 1.000 jam. Lampu katoda pada
setiap unsur yang akan diuji berbeda-beda tergantung unsur yang akan diuji,
seperti lampu katoda Cu, hanya bisa digunakan untuk pengukuran unsur Cu.
Lampu katoda terbagi menjadi dua macam, yaitu : Lampu Katoda Monologam
digunakan untuk mengukur 1 unsur dan Lampu Katoda Multilogam digunakan
untuk pengukuran beberapa logam sekaligus.
b. Tabung Gas
Tabung gas pada AAS yang digunakan merupakan tabung gas yang berisi
gas asetilen. Gas asetilen pada AAS memiliki kisaran suhu ± 20.000K, dan ada
juga tabung gas yang berisi gas N2O yang lebih panas dari gas asetilen, dengan
kisaran suhu ± 30.000K. Regulator pada tabung gas asetilen berfungsi untuk
pengaturan banyaknya gas yang akan dikeluarkan, dan gas yang berada di dalam
tabung. Spedometer pada bagian kanan regulator merupakan pengatur tekanan
yang berada di dalam tabung.
c. Ducting
Ducting merupakan bagian cerobong asap untuk menyedot asap atau sisa
pembakaran pada AAS, yang langsung dihubungkan pada cerobong asap bagian
luar pada atap bangunan, agar asap yang dihasilkan oleh AAS, tidak berbahaya
10

bagi lingkungan sekitar. Asap yang dihasilkan dari pembakaran pada AAS, diolah
sedemikian rupa di dalam ducting, agar polusi yang dihasilkan tidak berbahaya.
d. Kompresor
Kompresor merupakan alat yang terpisah dengan main unit, karena alat ini
berfungsi untuk mensuplai kebutuhan udara yang akan digunakan oleh AAS pada
waktu pembakaran atom. Kompresor memiliki 3 tombol pengatur tekanan,
dimana pada bagian yang kotak hitam merupakan tombol ON-OFF, spedo pada
bagian tengah merupakan besar kecilnya udara yang akan dikeluarkan, atau
berfungsi sebagai pengatur tekanan, sedangkan tombol yang kanan merupakan
tombol pengaturan untuk mengatur banyak dan sedikitnya udara yang akan
disemprotkan ke burner.
e. Burner
Burner berfungsi sebagai tempat pancampuran gas asetilen, dan aquabides,
agar tercampur merata, dan dapat terbakar pada pemantik api secara baik dan
merata. Lobang yang berada pada burner, merupakan lobang pemantik api,
dimana pada lobang inilah awal dari proses pengatomisasian nyala api.
f. Buangan pada AAS
Buangan pada AAS disimpan di dalam drigen dan diletakkan terpisah pada
AAS. Buangan dihubungkan dengan selang buangan yang dibuat melingkar
sedemikian rupa, agar sisa buangan sebelumnya tidak naik lagi ke atas, karena
bila hal ini terjadi dapat mematikan proses pengatomisasian pada saat pengukuran
sampel, sehingga kurva yang dihasilkan akan terlihat buruk.
g. Monokromator
Berfungsi mengisolasi salah satu garis resonansi atau radiasi dari sekian
banyak spektrum yang dihasilkan oleh lampu pijar hollow cathode atau untuk
merubah sinar polikromatis menjadi sinar monokromatis sesuai yang dibutuhkan
oleh pengukuran.
h. Detektor
Dikenal dua macam detector, yaitu detector foton dan detector panas.
Detector panas biasa dipakai untuk mengukur radiasi infra merah termasuk
thermocouple dan bolometer. Detector berfungsi untuk mengukur intensitas
radiasi yang diteruskan dan telah diubah menjadi energi listrik oleh fotomultiplier.
11

Hasil pengukuran detector dilakukan penguatan dan dicatat oleh alat pencatat
yang berupa printer dan pengamat angka.

2.7 Parameter Pendukung Fisika Kimia Perairan


2.7.1 Suhu
Suhu merupakan faktor penting dalam pengaturan proses kehidupan dan
penyebaran organisme. Kehadiran spesies tertentu dalam suatu wilayah
memerlukan kondisi suhu tertentu pula. Suhu tidak hanya berpengaruh pada
kegiatan metabolisme organisme saja, melainkan juga terhadap aktifitas senyawa-
senyawa kimia terlarut (Riley dan Skirrow 1975). Suhu bersama tekanan sangat
berpengaruh pada fungsi dinamika dan proses percampuran massa air. Untuk
logam berat sendiri, Hutagalung (2001), mengatakan bahwa suhu berkorelasi
positif dengan toksisitas logam berat, dimana peningkatan suhu akan
menyebabkan toksisitas dari suatu logam berat meningkat.
Perubahan suhu lingkungan yang disebabkan oleh polusi panas akan
memberikan suatu dampak terhadap keberhasilan ekosistem untuk terus hidup.
Ekosistem tropis adalah yang paling rentan terhadap pengaruh buruk yang
dihasilkan oleh penambahan panas dan kenaikan suhu (Fadhlan, 2016).
Menurut Nontji (2002), suhu air permukaan di perairan Indonesia pada
umum-nya berkisar antara 28-32°C. Secara umum, temperatur air sungai secara
horizontal dipengaruhi oleh ketinggian tempat (elevasi), di daerah-daerah hulu air
sungai relatif dingin, sedangkan di bagian tengah dan hilir semakin tinggi
suhunya. Menurut (Barus, 2002), kisaran suhu air yang baik dalam perairan umum
dan kehidupan ikan yaitu berkisar antara 23-32ºC.

2.7.2 Derajat Keasaman (pH)


Tinggi rendahnya pH air sangat ditentukan oleh konsentrasi ion H+ di
dalam perairan. Nilai pH suatu perairan menggambarkan keseimbangan antara
asam dan bassa di dalam air. Organisme perairan mempunyai kemampuan
toleransi yang berbeda terhadap perubahan pH di perairan. Kematian lebih sering
diakibatkan karena pH yang rendah dibanding pH yang tinggi. Sebagian besar
biota akuatik sensitif terhadap perubahan pH serta menyukai pH berkisar 7-8,5
ppm.
12

Menurut Hutagalung (1984), menyatakan selain suhu, pH, salinitas dan


kesadahan juga mempengaruhi toksisitas logam berat. Penurunan pH dan salinitas
perairan menyebabkan toksisitas logam berat semakin besar. Lain halnya dengan
suhu, toksisitas logam berat semakin tinggi dengan meningkatnya suhu.
Variasi nilai derajat keasaman (pH) pada perairan terbuka relatif stabil
pada kisaran 7,5-8,4. Nilai pH di estuari banyak dipengaruhi oleh masukan
senyawa peubah suasana asam-basa dari luar misalnya sungai. Umumnya
senyawa dari luar yang masuk ke daerah estuaria memiliki kisaran pH <6,7 atau
>8,5 dan kisaran pH di perairan estuaria tropis umumnya 6-9 (Fadhlan, 2016).
Nilai pH dipengaruhi oleh suhu, proses metabolisme, ion-ion dalam air
dan kandungan oksigen terlarut. Nilai pH juga mempengaruhi reaksi kimia,
sehingga sifat kimia senyawa tersebut berubah. Biasanya perubahan nilai pH
tertentu pada suatu senyawa dapat menjadi bersifat toksik atau racun bagi biota
perairan. Secara umum logam berat akan meningkat toksisitasnya pada pH
rendah, sedangkan pada pH tinggi logam berat akan mengalami pengendapan
(Kadang, 2005).
Derajat keasaman (pH) perairan sangat menentukan dalam usaha budidaya
ikan. Perairan dengan pH rendah akan berakibat fatal bagi kehidupan ikan, yaitu
akan memperlambat laju pertumbuhan. Sebagian besar biota akuatik sensitive
terhadap perubahan pH dan menyukai nilai pH sekitar 7-8,5. Pada umunya
perairan alami mempunyai pH sekitar 6 sampai 9. Ikan dapat beradaptasi dengan
air sungai yang memiliki pH sekitar 5 sampai 9.

2.7.3 Salinitas
Salinitas permukaan dari hasil observasi ditentukan oleh meningkat dan
menurunnya evaporasi dan presipitasi, dan salinitas maksimum terjadi pada
lintasan angin dimana evaporasi tahunan lebih besar dari pada presipitasi. Secara
alamiah fluktuasi salinitas di daerah pasang surut disebabkan oleh dua hal, yaitu
hujan yang lebat dan penguapan yang besar. Berbagai aktifitas manusia juga
mempengaruhi salinitas perairan laut, terutama di daerah pesisir dekat muara
sungai, misalnya bendungan sungai atau kanal.
Keadaan salinitas di daerah estuari tidak stabil, berubah dengan keadaan
pasang surut. Selain hal itu ada faktor lain yang mempengaruhi variasi salinitas,
13

seperti topografi estuari serta muatan dan jumlah air tawar. Menurut Khordi dan
Gufran (1997), umumnya salinitas diperairan sungai dan di daerah estuaria 10-30
ppt.

2.7.4 Oksigen Terlarut


Oksigen merupakan salah satu gas yang terlarut dalam perairan. Kadar
oksigen yang terlarut di perairan dapat berfluktuasi secara harian dan musiman,
tergantung pada percampuran (mixing), pergerakan massa air, aktivitas
fotosintesis, respirasi dan limbah yang masuk ke badan air (Effendi, 2003).
Kebutuhan organisme akuatik terhadap oksigen terlarut sangat tinggi, sehingga
kandungan oksigen terlarut yang cukup sangat berarti bagi kehidupan organisme
akuatik. Proses dekomposisi bahan organik dan oksidasi bahan anorganik oleh
dekomposer dapat mengurangi kadar oksigen terlarut sehingga mencapai nol atau
anaerob. Konsentrasi oksigen yang aman bagi kehidupan harus berada diatas titik
kritis dan tidak terdapat bahan lain yang bersifat racun (Pescod, 1973).
Peningkatan suhu juga menyebabkan terjadinya peningkatan kecepatan
metabolisme dan respirasi organisme air serta peningkatan dekomposisi bahan
organik oleh mikroba, dan selanjutnya mengakibatkan peningkatan konsumsi
oksigen dalam air. Peningkatan suhu yang disertai peningkatan konsumsi oksigen,
menyebabkan keberadaan oksigen tidak mencukupi kebutuhan organisme akuatik
untuk melakukan proses metabolisme dan respirasi (Effendi, 2003).
Menurunnya kandungan oksigen dalam air laut menyebabkan akumulasi
logam berat dalam insang semakin meningkat. Kondisi demikian terjadi karena
kegiatan penyaringan oksigen oleh insang meningkat, sehingga jumlah logam
berat yang terserap meningkat. Menurunnya kandungan oksigen dalam air laut
menyebabkan kandungan logam berat dalam organ biota laut meningkat. Biota
laut juga membutuhkan oksigen terlarut lebih besar dari 5 mg/l (Kaban, 2015).
Keberadaan logam berat yang berlebihan di perairan mempengaruhi sistem
respirasi organisme akuatik sehinga pada saat kadar oksigen terlarut rendah dan
terdapat logam berat dengan konsentrasi tinggi, organisme akuatik lebih
menderita (Effendi, 2003).
Proses metabolisme dalam tubuh juga membutuhkan oksigen dalam
jumlah banyak dengan meningkatnya suhu perairan. Terdapat suatu hubungan
14

antara kadar oksigen dengan suhu, dimana semakin tinggi suhu, maka kelarutan
oksigen semakin berkurang. Hampir semua organisme akuatik menyukai kondisi
dengan kelarutan oksigen >5 mg/liter (Effendi, 2003).
15

III. METODE PENELITIAN

3.1 Tempat dan Waktu


Penelitian dilaksanakan di kawasan perairan Kuala Krueng Cut/Krueng
Barona Desa Alue Naga, Kecamatan Syiah Kuala, Kota Banda Aceh yang
dilakukan pada bulan Januari 2019. Peta lokasi dapat dilihat pada gambar 3.1.

Gambar 3.1. Peta perairan Krueng Cut/Krueng Barona yang menunjukkan


lokasi stasiun titik pengambilan sampel.
3.2 Alat dan Bahan
3.2.1 Alat
Adapun alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
Tabel 3.1. Alat
No Alat Fungsi
1 Kantong Plastik Wadah sampel ikan
2 pH meter Mungukur tingkat keasaman
3 DO meter Mengukur oksigen
4 Refraktometer Pengukur salinitas
5 Thermometer Pengukur suhu
6 Timbangan Mengukur bobot ikan
7 Cawan porselin Tempat sampel ikan yang akan di analisis
8 Oven dan hotplate Pemanasan sampel
9 Blender Menghancurkan sampel ikan
Atomic Absorption Analisis logam berat Timbal (Pb)
10
Spectrophotometry (AAS)
3.2.2 Bahan
Adapun bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
16

Tabel 3.2. Bahan

No Bahan Fungsi
1 Ikan Sampel penelitian
2 Aquadest Pelarut

3 HNO3 Asam kuat sebagai pereaksi penghancur sampel

3.3 Metode Pengumpulan Data


Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari dua jenis data, yaitu
data primer dan sekunder.

3.3.1 Data Primer


Pengumpulan data primer dilakukan melalui pengamatan langsung
(observasi) di lapangan antara lain adalah suhu, pH, DO, salinitas sedangkan
analisis kandungan logam berat timbal (Pb) pada ikan dan sedimen dilakukan
Laboratorium Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
(FMIPA) Universitas Syiah Kuala, Kota Banda Aceh.

3.3.2 Data Skunder


Data skunder yang digunakan penulis berasal dari beberapa referensi
seperti buku ilmiah, skripsi dan jurnal serta data yang bersumber dari Badan
Standar Negara Indonesia yang mengatur tentang batas cemaran logam berat
dalam pangan.

3.4 Prosedur Kerja


3.4.1 Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survey dengan
teknik purposive sampling, yaitu penentuan lokasi tempat penelitian berdasarkan
ciri khusus, yaitu berdasarkan kondisi perairan dan aktifitas yang terjadi di
sepanjang lokasi penelitian.

3.4.2 Penentuan Lokasi Penelitian


17

Lokasi penentuan titik pengamatan di bagi menjadi 3 stasiun berdasarkan


keadaan lingkungan. Deskripsi lokasi penentuan titik pengamatan dapat disajikan
pada tabel 3.3.
Tabel 3.3. Lokasi penentuan titik pengamatan dan keadaan lingkungan tempat
pengambilan sampel.
Stasiun Keadaan Lingkungan
I Kawasan pemberhentian kapal-kapal nelayan,
(Muara sungai Krueng masuknya limbah dari kota.
Cut/Krueng Barona)
II Berdekatan dengan kawasan pemukiman desa
(Waduk Desa Alue Naga) Alue Naga, dan masuknya pasang surut air laut.

III Hutan manggrove, perbengkelan kapal nelayan.


(Anak Sungai Krueng
Cut/Krueng Barona)
IV Berdekatan dengan, pasar ikan, kawasan
(Sungai Krueng Cut/Krueng pemukiman warga tibang.
Barona)

3.4.3 Pengambilan Sampel Ikan


Pengambilan contoh sampel dilakukan secara langsung di lokasi
penelitian, contoh yang diambil adalah ikan belanak (Mugil sp). Setiap stasiun di
ambil ikan sebanyak 3 ekor menggunakan alat tangkap lift net (jaring angkat),
pancing dan jala ikan. Pengambilan sampel dilakukan selama 1 hari dengan
pengambilan sampel masing – masing stasiun dilakukan dengan waktu yang
berbeda-beda, waktu pengambilan sampel dilakukan pada jam 09.00-22.00 WIB.
Setelah sampel ikan diambil, lalu dimasukkan kedalam kantong plastik dan diberi
label lalu dikumpulkan menjadi satu kemudian diawetkan dengan cara
menyimpan didalam coolbox dan freezer. Untuk analisa logam berat pada ikan,
ikan harus berada dalam kondisi segar tanpa formalin dan pengawet. Ikan belanak
(Mugil sp) yang didapat diukur panjang dan bobotnya, pengukuran panjang ikan
menggunakan metode panjang total (total lenght), Metode total lenght, merupakan
metode pengukuran panjang ikan dengan cara mengukur dari bagian ujung mulut
sampai ujung ekor. Ikan belanak (Mugil sp) yang dijadikan sampel berukuran
18

14,5-17,6 cm/ekor dengan bobot 50-60 gram/ekor. Selain contoh sampel, diamati
juga paremeter kualitas air. Pengambilan data kualitas air dilakukan secara
langsung dilapangan. Parameter kualitas air yang diamati antara lain DO, salinitas,
pH, dan suhu.
Tabel 3.4. Pengukuran panjang dan bobot ikan belanak di setiap stasiun.
Stasiu Sampel Panjang Ikan Berat Ikan Total Berat
n Ikan (cm) (g) (g)
Belanak 14,5 50
I Belanak 15, 50,3 150,6 g
Belanak 15,3 50,3
Belanak 17,6 51,7
II Belanak 16,2 50,5 152,2 g
Belanak 14,8 50
Belanak. 15,2 50
III Belanak 15,7 50,4 150,4 g
Belanak 14,8 50
Belanak 15,5 50,1
IV Belanak 17,2 50,8 150,9 g
Belanak 15,3 50

3.4.4 Analisis Logam Berat Timbal (Pb) Pada Ikan Belanak (Mugil Sp)
Kandungan logam berat timbal (Pb) pada daging ikan diukur dengan
menggunakan metode Atomic Absorption Spectrophotometry (AAS), yang
dilakukan di Laboratorium Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam (FMIPA) Universitas Syiah Kuala Banda Aceh. Metode ini
dilakukan dengan menggunakan prosedur analisis berdasarkan SNI 2354.5 (2011).
a. Sampel ikan yang akan dianalisa terlebih dahulu dibersihkan diambil
insang sisik dan isi perutnya.
b. Setelah ikan di bersihkan, lalu daging beserta tulangnya di keringkan
kedalam oven pada suhu 70 °C selama ± 24 jam.
c. Setelah dikeringkan kemudian sampel ditimbang sebanyak 5 gram
selanjutnya dimasukkan ke dalam gelas beker dan ditambahkan 5 ml
HNO3 (pelarut) dan diamkan ± 3-5 jam.
d. Kemudian sampel ditambahkan 100 ml Aquadest, lalu diuapkan sampai
tersisa 25 ml.
19

e. Setelah di uapkan sampel di tambahkan lagi aquadest 25 ml, lalu disaring


kemudian masukkan kedalam gelas ukur.
f. Selanjutnya sampel diukur mengunakan metode AAS.

3.4.5 Pengoperasian AAS (Atomic Absorption Spektrophotometry)


1. Pertama nyalakan saklar instrumen penguji seperti komputer, AAS dan
pompa udara.
2. Masukkan ke program pengujian AAS pada komputer.
3. Setelah itu klik “connect” akan muncul daftar persiapan checklist
pengapian instrumen.
4. Setelah checklist bertanda hijau dan ada beberapa yang berwarna pink, lalu
buka katup asetilen, jika muncul opsi pengecekan bahan bakar NO 2 klik
tidak.
5. Setelah itu klik “parameter” dipojok kiri atas lalu klik edit parameter,
setelah itu klik cari panjang gelombang logam yang akan diuji misalnya
logam Pb (timbal), serta jangan lupa atur posisi lampu katoda pada posisi
7 (menurut buku panduan penggunaan AAS).
6. Setelah muncul panjang gelombang, untuk logam Pb 217,0 nm. Setelah
ditemukan panjang gelombang tersebut, lalu klik “finish”.
7. Setelah itu hidupkan burner AAS dengan menekan dua tombol yang ada di
bagian depan AAS yang berlabel “ignite” secara bersamaan sampai api
menyala.
8. Setelah AAS menyala, bilas dengan blanko, dan klik “auto zero” lalu
“blank” untuk blanko lalu buat kurva kalibrasi.
9. Setelah buat kurva kalibrasi. Lalu periksa apakah koefisien kolerasi linier
(r) <0,995, bila masih dibawah maka perlu diulang dan periksa kondisi alat
sampai didapatkan koefisien kolerasi (r) 0,995, apabila sudah di dapat,
maka selanjutnya bilas lagi dengan blanko untuk pengujian sampel.
10. Pengujian sampel dilakukan dengan pengulangan dua atau tiga kali,
semakin banyak pengulangan akan didapatkan hasil yang valid, cara
pengujian kadar logam pada sampel, yakni dengan klik “start” lalu tunggu
sampai keluar hasil pembacaan logam sampel yang di uji.
20

11. Setelah pengujian selesai, matikan AAS dengan menekan satu tombol
untuk mematikan, “disconnect” AAS dari komputer, lalu matikan
komputer dan semua saklar pada komputer dan AAS.

3.4.6 Analisa Data


Data yang dianalisa pada penelitian ini merupakan data yang berasal dari
alat AAS yang akan terlihat dikomputer data tersebut berbentuk tabel. Selanjutnya
hasil analisis kandungan logam berat Pb, pada contoh biota dapat dibandingkan
dengan baku mutu yang ditetapkan oleh BSNI 7387:2009 Tentang Batas
Maksimum Cemaran Logam Berat Dalam Pangan pada tabel 3.6.
Selanjutnya hasil analisis parameter kualitas air (fisika dan kimia) di
perairan Krueng Cut Desa Alue Naga Kecamatan Syiah Kuala Kota Banda Aceh
dapat dibandingkan dengan Buku Pintar Budidaya 32 Ikan Laut Ekonomis
(Ghufran dan Kordi 2011) pada tabel 3.5.
Tabel 3.5. Buku Pintar Budidaya 32 Ikan Laut Ekonomis (Ghufran dan Kordi
2011).

No Parameter Satuan Baku Mutu


1 Suhu °C 24-32
2 pH ppm 6,5-9,0
3 Salinitas ppt 30-35
4 Oksigen terlarut (DO) mg/l 5-8

Tabel 3.6. BSNI 7387:2009 Tentang Batas Maksimum Cemaran Logam Berat
Dalam Pangan.

No Katagori Pangan Logam Berat Satuan Baku Mutu


1 Ikan dan hasil olahannya Timbal (Pb) Mg/kg 0,3
Ikan predator misalnya
2 (tuna, marlin dan lain- Timbal (Pb) Mg/kg 0,4
lain)
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Kondisi Umum Wilayah Penelitian


Perairan sungai Krueng Cut/Krueng Barona, Desa Alue Naga, Kecamatan
Syiah Kuala merupakan salah satu sungai yang ada di kota Banda Aceh, sungai ini
21

dimanfaatkan untuk berbagai kebutuhan dan aktivitas masyarakat setempat


khususnya masyarakat Desa Alue Naga seperti menangkap ikan menggunakan
alat tangkap pancing, jaring angkat, jala dan perangkap. Ikan yang masuk di
perangkap tersebut di pelihara selama dua minggu sampai dengan satu bulan dan
jenis ikan yang paling dominan di dapatkan oleh masyarakat tersebut yaitu ikan
belanak dan ikan merah mata. Pada saat air pasang hasil tangkapan masyarakat
lebih banyak di bandingkan pada saat air surut.

Gambar 4.1 Perairan Sungai Krueng Cut.


Berdasarkan pengamatan di sepanjang sungai Krueng Cut/Krueng Barona
terdapat aktivitas masyarakat antara lain pasar, perbengkelan, wisata, pertanian
dan kegiatan nelayan. Berbagai dari kegiatan tersebut diduga mengasilkan limbah
yang dapat mencemari perairan dan mempengaruhi biota yang hidup diperairan
tersebut seperti ikan.
Secara ekologi perairan Krueng Cut termasuk perairan estuaria yang
mempunyai ciri khas adanya pengaruh pasang surut air laut dan fluktuasi salinitas,
dengan keragaman jenis ikan baik ikan air tawar maupun ikan yang berasal dari
laut. Daerah sekitar perairan Krueng Cut terdapat anak sungai, waduk dan hutan
22

manggrove. Hutan mangrove adalah wilayah yang paling penting yang harus
dilindungi keberadaannya. Hutan Mangrove yang ditumbuhi tumbuhan seperti
Rhizophora, Avicennia mariana (api-api), Avicennia alba (bogen) dan Sonneratia
alba (perepat) dan lain – lain di sepanjang anak sungai sangat berperan dalam
melestarikan sumber daya perikanan, karena tempat ini merupakan daerah asuhan
bagi anak – anak ikan untuk mencari makan serta tempat menempelnya telur –
telur ikan.

4.2 Kandungan Logam Berat Timbal (Pb) Pada Ikan Belanak (Mugil sp)
Menurut Ghufran dan Kordi (2011), belanak (Mugil sp) adalah sejenis
ikan laut tropis dan subtropis yang bentuknya hampir menyerupai ikan bandeng.
Ikan belanak merupakan jenis ikan pelagis (benthopelagic) yang bersifat
katadromus hidup di perairan tawar seperti sungai, estuari, dan laut. makanan
utama ikan belanak adalah dari golongan Bacillariophyceae, makanan
pelengkapnya adalah detritus, lumpur bercampur partikel pasir, desminiceaea, dan
nematoda.
Ikan belanak termasuk ikan konsumsi yang digemari oleh masyarakat
karena rasanya gurih, ikan ini tergolong ikan yang memiliki nilai ekonomis skala
menengah, dan memiliki kadar protein 17%-20% (Zainuri dan Wahyudi 2012).
Tubuh ikan atau daging ikan merupakan bagian yang sering dikonsumsi manusia
sebagai bahan makanan. Daging ikan merupakan bagian yang banyak
mengandung protein dan baik untuk perkembangan otak bagi manusia. Berbagai
cara logam berat masuk ke dalam ikan seperti respirasi, makan ataupun difusi.
Mekanisme masuknya logam berat ke dalam tubuh ikan, dengan proses fisiologis
pada tubuh ikan yaitu masuknya logam berat dengan cara diserap oleh insang
selanjutnya akan disebarkan ke seluruh tubuh melalui darah dan akan
didistribusikan ke seluruh tubuh bersama dengan protein sehingga dapat
mengendap di beberapa bagian tubuh ikan seperti daging, tulang, ginjal dan hati
dan sebagian akan dieksresikan kembali bersama urine (Kaban, 2015). Berikut
hasil analisis kandungan logam berat Pb pada daging ikan belanak di setiap
stasiun di perairan Krueng Cut dapat di lihat pada tabel 4.1.
Tabel 4.1. Kadar logam timbal (Pb) pada daging ikan belanak (Mugil sp) di
perairan sungai Krueng Cut Alue Naga.
23

N Berat sampel (g) / Hasil analisa Metode


SAMPEL
O 50 ml pelarut (ppm) Analisis
1 Stasiun I 5,1814 0,1537
2 Stasiun II 5,0136 0,3074
AAS
3 Stasiun III 5,0649 0,0154
4 Stasiun IV 5,0959 0,0564
Keterangan : Stasiun I muara sungai Krueng Cut, Stasiun II waduk Alue Naga,
Stasiun III anak sungai, Stasiun IV sungai Krueng Cut berdekatan dengan
jembatan Desa Tibang.

Berdasarkan hasil analisis kandungan logam berat timbal (Pb) pada ikan
belanak (Mugil sp) di perairan sungai Krueng Cut Desa Alue Naga Kota Banda
Aceh, maka kandungan logam berat timbal (Pb) tertinggi di jumpai pada stasiun II
yaitu 0,3074 ppm, stasiun I yaitu 0,1537, stasiun III yaitu 0,0154, stasiun IV yaitu
0,0564. Tingginya kandungan logam berat pada stasiun II di duga karena
masuknya hasil dari limbah perbengkelan kapal nelayan, limbah tersebut berupa
oli bekas, pelumas, dan tumpahan air kapal. Ketika limbah tersebut masuk
kedalam waduk, limbah tersebut akan menyebar ke semua wilayah waduk dan
mengendap di dasar perairan. Menurut (Supryanto et al. 2007) Salah satu
bioindikator pencemaran di lingkungan perairan adalah kandungan - kandungan
logam berat yang terakumulasi dalam biota air, seperti timbal (Pb) yang
bersumber dari bahan bakar kapal yang tumpah ke perairan ataupun dari air
ballast kapal yang banyak mengandung unsur Pb dan pengecetan badan kapal Pb.

Gambar 4.2. Tempat bersandarnya dan perbengkelan kapal nelayan.


24

Gambar 4.3. Pintu air dan waduk


Logam berat mempunyai sifat yang mudah mengikat bahan organik dan
mengendap di dasar perairan dan bersatu dengan sedimen sehingga kadar logam
berat dalam sedimen lebih tinggi dibandingkan dalam air (Rangkuti, 2009).
Jika di bandingkan hasil analisis logam berat timbal (Pb) pada ikan
belanak dengan baku mutu BSNI 7387:2009 Tentang Batas Maksimum Cemaran
Logam Berat dalam Pangan dapat disimpulkan bahwa kandungan logam berat
pada ikan belanak di perairan Krueng Cut masih di ambang batas baku mutu.

4.3 Parameter Lingkungan (Fisika dan Kimia)


Parameter fisika dan kimia perairan merupakan faktor penting yang
mempengaruhi kualitas suatu perairan dan kelangsungan hidup organisme yang
hidup di dalam perairan tersebut. Paramter fisika dan kimia perairan Alue Naga
yang diukur meliputi DO (Oksigen terlarut), Suhu, Salinitas, dan pH. Parameter
yang diukur akan dibandingkan Buku Pintar Budidaya 32 Ikan Laut Ekonomis,
(Ghufran dan Kordi 2011).

4.3.1 DO (Oksigen Terlarut)


Ikan membutuhkan oksigen untuk respirasi yaitu untuk memenuhi
kebutuhan metabolisme tubuh untuk menghasilkan energi aktivitas, seperti
aktivitas berenang, pertumbuhan dan reproduksi. Oksigen merupakan salah satu
faktor pembatas di lingkungan perairan, artinya bila ketersediaan oksigen di dalam
air tidak mencukupi, maka segala aktivitas dibawah air akan terhambat atau
bahkan terhenti. Hampir semua organisme akuatik menyukai kondisi dengan
kelarutan oksigen > 5 mg/liter (Effendi, 2003).
Waktu pengukuran DO (Oksigen terlarut) di setiap stasiun pada pukul
09.00 – 12.00 wib, pada hari yang sama dan pada saat pengukuran cuaca cerah
25

dan berawan. Setiap stasiun memiliki tingkat kadar oksigen terlarut yang berbeda-
beda, hal ini disebabkan karena gelombang dan pergerakan air, fotosintesis dan
respirasi oleh organisme yang hidup diperairan tersebut (Hutagalung, 2001).
Grafik hasil pengukuran oksigen terlarut di setiap stasiun di perairan
Krueng Cut Desa Alue Naga dapat di lihat pada gambar 4.4.

DO (Oksigen Terlarut)
7.4
7.2
7
6.8
Mg/L

6.6
6.4
6.2
6
5.8
Stasiun I Stasiun II Stasiun III Stasiun IV

Gambar 4.4. Hasil pengukuran DO.

Berdasarkan Gambar 4.4. Kondisi oksigen terlarut perairan Krueng Cut


berkisar antara 6,4 mg/L – 7,3 mg/L. Oksigen terlarut di dalam perairan berasal
dari hasil fotosintesis oleh fitoplankton atau tanaman lainnya, difusi dari udara,
gelombang dan pergerakan air yang disebabkan oleh pasang surut air laut
(Hutagalung, 1991).
Hasil pengukuran oksigen terlarut di perairan Krueng Cut, jika
dibandingkan dengan Buku Pintar Budidaya 32 Ikan Laut Ekonomis, oleh
(Ghufran dan Kordi 2011), maka oksigen terlarut yang berada di perairan Krueng
Cut masih berada dikisaran parameter kualitas air untuk budidaya ikan laut
(Ghufron dan Kordi 2011).

4.3.2 Suhu
Suhu merupakan salah satu faktor fisika yang sangat penting dalam
lingkungan perairan. Suhu sangat mempengaruhi kehidupan biota di dalam suatu
perairan (Odum, 1971). Pada keadaan suhu yang normal ini, difusi oksigen
26

berjalan dengan baik sehingga biota yang ada di dalam perairan tersebut dapat
melakukan respirasi, metabolisme, makan dan kegiatan fisiologis lainnya berjalan
dengan baik. Peningkatan suhu juga menyebabkan terjadinya peningkatan
kecepatan metabolisme dan respirasi organisme air serta peningkatan dekomposisi
bahan organik oleh mikroba, dan selanjutnya mengakibatkan peningkatan
konsumsi oksigen dalam air. Peningkatan suhu yang disertai peningkatan
konsumsi oksigen, menyebabkan keberadaan oksigen tidak mencukupi kebutuhan
organisme akuatik untuk melakukan proses metabolisme dan respirasi (Effendi,
2003). Menurut Hutagalung (1984), mengatakan bahwa kenaikan suhu tidak
hanya akan meningkatkan metabolisme biota perairan, namun juga dapat
meningkatkan toksisitas logam berat disuatu perairan. Suhu yang baik untuk ikan
laut dan payau berkisar 27 °C – 32 °C. (Nybakken, 1992). Grafik hasil
pengukuran salinitas di setiap stasiun di perairan Krueng dapat di lihat pada
gambar 4.5.

Suhu
32.5
32
31.5
31
°C

30.5
30
29.5
Stasiun I Stasiun II Stasiun III Stasiun IV
Gambar 4.5 Hasil pengukuran suhu.

Berdasarkan Gambar 4.5 dapat dilihat bahwa kondisi suhu perairan


Krueng Cut Desa Alue Naga tidak jauh berbeda dari setiap stasiun. Menurut
Effendi (2003), bahwa lapisan sebelah atas perairan atau lapisan epilimnion
merupakan lapisan perairan yang hangat dengan memiliki penurunan suhu relatif
kecil. Hal lain yang menyebabkan data hasil pengukuran parameter suhu tidak
jauh berbeda adalah waktu pengukuran. Waktu pengukuran suhu di setiap stasiun
pada pukul 09.00 – 12.00 wib pada hari yang sama dan pada saat pengukuran
cuaca cerah dan berawan.
27

Hasil pengukuran suhu di perairan krueng, jika di bandingkan dengan


Buku Pintar Budidaya 32 Ikan Laut Ekonomis, (Ghufran dan Kordi 2011), maka
suhu yang berada di perairan Krueng Cut masih berada dikisaran parameter
kualitas air untuk budidaya ikan laut (Ghufron dan Kordi 2011).

4.3.3 Salinitas
Salinitas wilayah muara sungai dipengaruhi oleh pasang surut air laut, air
sungai, penguapan dan curah hujan. Salinitas perairan dapat mempengaruhi
konsentrasi logam berat yang mencemari lingkungan perairan. Selain itu, nilai
salinitas yang tinggi dapat memperlambat pertumbuhan dan perkembangan
organisme perairan, karena sebagian besar energinya banyak digunakan untuk
proses osmoregulasi dalam usaha menjaga keseimbangan tekanan cairan tubuh
dengan lingkungannya (Nurwahidah, 2014).

Salinitas
31.5
31
30.5
30
ppt

29.5
29
28.5
28
Stasiun I Stasiun II Stasiun III Stasiun IV

Gambar 4.6. Hasil pengukuran salinitas.

Waktu pengukuran salinitas di setiap stasiun pada pukul 09.00 – 12.00


wib, pada hari yang sama dan pada saat pengukuran cuaca cerah dan berawan.
Grafik hasil pengukuran salinitas di setiap stasiun di perairan Krueng Cut dapat di
lihat pada gambar 4.6.
Berdasarkan Gambar 4.6. Kondisi salinitas perairan Krueng Cut Desa
Alue Naga berkisar antara 29 ppt – 31 ppt. Perbedaan nilai pengukuran salinitas di
setiap stasiun disebabkan oleh beberapa faktor antara lain, setiap stasiun ada yang
28

dekat dengan laut bahkan sebaliknya, banyaknya masukan air tawar, tingkat curah
hujan, pasang dan surut air laut (Efendi, 2003).
Stasiun I mempunyai nilai pengukuran tertinggi, hal ini di karenakan jarak
stasiun I berdekatan dengan pinggir pantai, sedangkan stasiun II dan III sedikit
jauh dari pinggir pantai, dan stasiun IV jauh dari pantai sehingga pada stasiun ini
mempunyai hasil pengukuran salinitas yang rendah. Kisaran normal salinitas pada
umumnya di perairan pantai daerah tropis antara 28-32 ppt (Nontji, 1993). Hasil
pengukuran salinitas di perairan Krueng Cut, jika di bandingkan dengan Buku
Pintar Budidaya 32 Ikan Laut Ekonomis, (Ghufran dan Kordi 2011), maka
salinitas yang berada di perairan Krueng Cut masih berada dikisaran parameter
kualitas air untuk budidaya ikan (Ghufron dan Kordi 2011).

4.3.4 Derajat Keasaman (pH)


Derajat keasaman (pH) dapat mempengaruhi konsentrasi logam berat di
perairan, dalam hal ini kelarutan logam berat akan lebih tinggi pada pH rendah,
sehingga menyebabkan toksisitas logam berat semakin besar. Kenaikan pH pada
badan perairan biasanya akan diikuti dengan semakin kecilnya kelarutan dari
senyawa-senyawa logam tersebut. Umumnya pada pH yang semakin tinggi, maka
kestabilan akan bergeser dari karbonat ke hidroksida. Hidroksida-hidroksida ini
mudah sekali membentuk ikatan permukaan dengan partikel-partikel yang
terdapat pada badan perairan. Lama-kelamaan persenyawaan yang terjadi antara
hidroksida dengan partikel-partikel yang ada di badan perairan akan mengendap
dan membentuk lumpur (Hutagalung, 1984).
Waktu pengukuran pH di setiap stasiun pada pukul 09.00 wib – 17.30 wib
pada hari yang sama dan pada saat pengukuran cuaca cerah dan berawan.
Pengukuran pH di perairan Krueng Cut Desa Alue Naga dapat dilihat pada
Gambar 4.7.
29

pH (Derajat Keasaman)
9.15

9.1
9.05
9
ppm

8.95
8.9
8.85
8.8
Stasiun I Stasiun II Stasiun III Stasiun IV

Gambar 4.7 Hasil pengukuran pH

Berdasarkan Gambar 4.7. Kondisi pH di Perairan Krueng Cut Desa Alue


Naga berkisar antara 8,9-9,2. Perbedaan nilai pH pada setiap stasiun dikarenakan
faktor pasang dan surut serta pada waktu pengukuran di jam yang berbeda. Faktor
yang mempengaruhi pH air yaitu banyaknya kandungan bahan organik dan
anorganik yang mengendap. pH biasanya berfluktuasi setiap hari, pH berkaitan
dengan fotosintesis dan respirasi oleh makhluk hidup. Ketika pagi hari, karbon
dioksida mengalami peningkatan dan pH rendah dikarenakan hasil dari respirasi
pada malam hari ( karbon dioksida membentuk asam ringan ketika dilarutkan
dalam air ). Setelah matahari terbit, ganggang dan tanaman hijau lainnya
menghasilkan karbohidrat dan oksigen dari karbon dioksida dan air oleh
fotosintesis. Karbon dioksida akan dihapus di air dan akan meningkatkan pH
(Efendi, 2003).
Hasil pengukuran pH air di perairan Krueng Cut, jika di bandingkan
dengan Buku Pintar Budidaya 32 Ikan Laut Ekonomis (Ghufran dan Kordi 2011),
maka pH air yang berada di perairan Krueng Cut masih berada dikisaran
parameter kualitas air untuk budidaya ikan laut (Ghufran dan Kordi 2011).
Air payau merupakan air perpaduan dari air tawar dan air asin laut yang
mana secara alami akan kita dapatkan di daerah muara sungai. Air payau sendiri
30

merupakan campuran dari air tawar dan air laut. Pada perairan ini banyak sekali
hidup berbagai jenis ikan yang merupakan ikan hasil adaptasi lingkungan.
Tabel 4.2. Hasil pengukuran parameter kualitas air di perairan Sungai Krueng Cut.
Lokasi
Hasil Pengamatan Parameter Air
Pengukuran
No
DO Suhu Salinitas pH
(mg/l) (°C) (ppt) (ppm)
1 7,3 30,6 31,0 9,1 Muara
2 7,3 32,0 30,0 9,0 Waduk
3 6,4 31,5 30,0 9,0 Anak Sungai
4 7,1 31,8 29,0 8,9 Jembatan Tibang

Tabel 4.3. Buku Pintar Budidaya 32 Ikan Laut Ekonomis (Ghufran dan Kordi
2011).
No Parameter Satuan Baku Mutu
1 Suhu °C 24-32
2 pH ppm 6,5-9,0
3 Salinitas ppt 30-35
4 Oksigen terlarut (DO) mg/l 5-8

Berdasarkan tabel diatas hasil pengukuran parameter kualitas air di


perairan sungai Krueng Cut jika di bandingkan dengan Buku Pintar Budidaya 32
Ikan Laut Ekonomis, oleh M. Ghufran H dan Kordi K, bahwa daerah perairan
Krueng Cut untuk kualitas air masih berada dikisaran parameter kualitas air untuk
budidaya ikan laut (Ghufran dan Kordi 2011).
31

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian bahwa dapat disimpulkan di setiap stasiun
terdeteksi logam berat timbal (Pb) yang terkandung dalam tubuh ikan belanak
(Mugil sp) di perairan sungai Krueng Cut Desa Alue Naga, dari ke empat stasiun
logam berat timbal (Pb) yang tertinggi yaitu pada stasiun II (waduk Alue Naga)
berkisar 0,3074 ppm dan yang terendah yaitu pada stasiun III ( anak sungai).
Hasil kandungan logam berat timbal (Pb) pada ikan belanak (Mugil sp) di
perairan Krueng Cut/Krueng Barona masih di ambang batas baku mutu dimana
batas maksimum dari baku mutu yaitu 0,3 mg/kg sedangkan kondisi kualitas air di
perairan Krueng Cut/Krueng Barona seperti DO (Oksigen terlarut), pH, salinitas
dan suhu daerah perairan Krueng Cut masih layak untuk dilakukan budidaya ikan
laut dan ikan payau.

5.2 Saran
1. Penelitian mengenai analasis kandungan logam berat pada ikan belanak ini
sebaiknya dilanjutkan dengan menganaslisis kandungan logam berat
timbal (Pb) pada air.
2. Perlu penelitian lebih lanjut untuk melacak sumber bahan pencemar dan
aliran bahan pencemar sehingga dapat dijadikan sebagai salah satu
kebijakan pengelolaan yang baik.
3. Perlu penelitian lebih lanjut untuk mengukur kualitas air seperti COD,
BOD, amoniak, nitrat dan nitrit pada saat musim kemarau dan hujan.
32

DAFTAR PUSAKA

Aryani, S.S. 2017. Analisis Kadar Timbal (Pb) pada Ikan yang Berasal dari
Perairan Teluk Tapian Nauli Sibolga Kabupaten Tapanuli Tengah [Skripsi].
Universitas Sumatera Utara.

Badan Standarisasi Nasional (BSN). 2009. SNI 7387: 2009: Batas Maksimum
Cemaran Logam Berat Dalam Pangan. Jakarta.

Bangun, J.M. 2005. Kandungan logam berat timbal (Pb) dan kadmium (Cd) dalam
air, sedimen dan organ tubuh ikan sokang (Triacanthus Nieuhofi) di Perairan
Ancol, Teluk Jakarta [skripsi]. Bogor; Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Hal: 7.

Barus, T.A. 2002. Pengantar Limnologi. Medan : Universitas Sumatera Utara.

Blaber, S.J.M. 1997. Fish and fisheries of tropical estuaries. Australia: Chapman
and Hall. 206 p.

Connel, Des W dan Gregory J. Miller. 1995. Kimia dan Toksikologi Pencemaran.
UI-Press. Jakarta.

Darmono. 1995. Logam Berat Dalam Sistem Biologi Makhluk Hidup. Jakarta:
Penerbit Universitas Indonesia.

Darmono. 2001. Lingkungan Hidup dan Pencemaran Hubungan Dengan


Toksikologi Logam Berat. Universitas Indonesia Press. Jakarta.

Effendi, H. 2003. Telaah kualitas air. Kanisius. Yogyakarta.

Erlangga. 2005. Kandungan Logam Berat Pada Air, Sedimen dan Biota di
Perairan Sungai Kampar Riau [Tesis]. Universitas Pertanian Bogor.

Fadhlan, A. 2016. Analisis Kandungan Logam Berat Timbal (Pb) Pada Ikan
Bandeng (Chanos-Chanos) di Beberapa Pasar Tradisional Kota Makassar
[Skripsi]. Fakultas Sains dan Teknologi. UID Alauddin Makasar.
33

Hutagalung, H.P. 1984. Logam Berat dalam Lingkungan Laut. Pewarta Oceana.
IX No. 1.

Hutagalung, H. P. 1991. Pencemaran Laut Oleh Logam Berat. Jakarta:


Pencemaran Laut di Indonesia dan Teknik Pemantauannya. P30-LIPI.

Hutagalung, H. P. 2001. Mercury and cadmium content in green mussel,


Mytilusvirdis L. From Onrust water. Jakarta Bay Creator. Bull. Env. Conc
And Tox. 42(6): 814-820.

Irham, M., I. Setiawan. 2017. The study of flow resulting from wave on Lhoknga
Beach, Aceh Besar. Omni-Akuatika, 13 (1): 5-12.

Jones, M.D. 1964. The influence of mycorrhizal associations on paper birch and
jack pine seedlings when exposed to elevated copper, nickel or aluminum.
Water, Air, and Soil Pollution. 31, 441-448.

Kaban, M.A. 2015. Analisis Kandungan Logam Berat Pb Dan Cu Pada Ikan
Planktivor Bawal Putih (Pampus Argenteus) Yang Tertangkap Di Perairan
Banyuasin Provinsi Sumatera Selatan [Skripsi]. Inderalaya: Ilmu Kelautan.

Kadang, L. 2005. Analisis status pencemaran logam berat Pb, Cd, dan Cu di
perairan Teluk Kupang Provinsi Nusa Tenggara Timur [tesis]. Sekolah
Pasca sarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Kementerian Negara Lingkungan Hidup. 2004. Keputusan Menteri Negara


Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 2004 Tentang Baku Mutu Air Laut.
Jakarta.

Khordi, K.M dan Gufran, H. 1997. Budidaya kepiting dan ikan bandeng di system
polikultur. Dahara prize. Semarang.

Khordi, K.M dan Gufran, H. 2011. Buku Pintar 32 Budidaya Ikan laut Ekonomis.
Yogyakarta.

Nontji, A. 1993. Laut Nusantara. Jakarta: Djambatan.

Nontji, A. 2002. Laut Nusantara. Pener-bit Djambatan. Jakarta: 59-67.


34

Nurwahidah. 2014. Faktor Bioakomulasi Logam Timbal (Pb) dan Tembaga (Cu)
pada karang Lunak Nephthea sp, dan sinularia Polydactyla di Perairan
Samalona, Pulau Baranglompo dan Pulau Bone Batang Kota Makasar.
[Skripsi] online.

Nybakken, J.W. 1992. Biologi Laut, suatu Pendekatan Ekologis (dari Marine
Biology: An Ecological Approach. Penerjemah E. H. Muhammad et a,.l
(edisi pertama). PT. Gramedia. Jakarta.

Odum, E.P. 1971. Fundamental of Ecology. Philadelphia: W.B Sounders


Company Ltd.

Palar, H. 2008. Pencemaran & toksikologi logam berat. Jakarta: Rineka Cipta.

Pemerintah Republik Indonesia. 2001. Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun


2001 Tentang Pengelolaan Kualitas Air Dan Pengendalian Pencemaran
Air. Jakarta.

Pescod, M.B. 1973. Investigation of rational effluent and stream standard for
tropical countries. Environmental Enginering Division, Asian Institute Tec.
Bangkok.

Rangkuti, A.M. 2009. Analisis Kandungan Logam Berat Hg, Cd, Dan Pb Pada Air
dan Sedimen di Perairan Pulau Panggang-Pramuka Kepulauan Seribu,
Jakarta [Skripsi]. Fakultas Ilmu Perikanan dan Kelautan. Institusi Pertanian
Bogor.

Riley, J.P and G. Skirrow. 1975. Chemical oceanography. vol. 1. second edition.
Academic Press. London.

Rolet, C., N. Spilmont, D. Davoult, E. Goberville, C. Luczak. 2015.


Anthropogenic impact on macrobenthic communities and consequences for
shorebirds in Northern France: A complex response. Biological
Conservation, 184: 396 – 404.

Saanin, H. 1984. Taksonomi dan kunci identifikasi ikan. Jakarta: Bina Cipta.
35

Sastrawijaya, A. Tresna. 1991. Pencemaran Lingkungan. PT. Rineka Cipta :


Jakarta.

Setiawan, A.A., I. Emilia, dan Suheryanto. 2013. Kandungan Merkuri Total pada
Berbagai Jenis Ikan Cat Fish di Perairan Sungai Musi Kota
Palembang.Seminar Nasional Sains dan Teknologi V. Lembaga Penelitian
Universitas Lampung.

Sudarwin. 2008. Analisis Spasial Pencemaran Logam Berat (Pb dan Cd) pada
Sedimen Aliran Sungai dari Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sampah
Jatibarang Semarang [Tesis] diterbitkan, Program Pasca Sarjana, Universitas
Diponegoro, Semarang.

Supriadi. 2016. Analisis Kadar Logam Berat Timbal (Pb), Kadmium (Cd) Dan
Merkuri (Hg) Pada Air Laut Di Wisata Pantai Akkarena Dan Tanjung
Bayang Makassar [Skripsi]. Fakultas Sains dan Teknologi UIN Alauddin
Makasar.

Supriyanto, C. Samin. Kamal, Z. 2007. Analisis cemaran logam berat Pb, Cu, dan
Cd pada ikan air tawar dengan metode spektrometri nyala serapan atom
(SSA). Prosiding Seminar Nasional III SDM Teknologi Nuklir. Yogyakarta.

Zainuri dan Wahyudi. 2012. Analisis Kandungan Gizi dan Logam Berat Ikan
Belanak di Perairan Socah. Journal.
36

Lampiran 1. Hasil analisis kandungan logam berat Pd pada ikan belanak


(Mugil sp) di perairan Krueng Cut/Krueng Barona, Desa Alue Naga, Kota
Banda Aceh.
37

Lampiran 2. Foto Dokumentasi

Stasiun I Stasiun II

Stasiun III Stasiun IV

Pengukuran Salinitas dan Suhu Pengukuran pH


38

Sampel Ikan Belanak Pengovenan Sampel

Timbangan Penguapan

Hasil yang telah di uapkan Penyaringan Sampel


39

Contoh Sampel yang Siap di Uji Alat AAS

Wawancara dengan Penjual Wawancara dengan Penangkap Ikan

Pasar Ikan Desa Alue Naga dan Tibang Wawancara dengan Masyarakat

Anda mungkin juga menyukai