DAN PARASIMPATIS
Oleh:
Theresia Fitri Hakna Sihombing
FK UNUD/RSUP SANGLAH
i
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
iii
Taber 2.1 Distribusi reseptor simpatis serta agonis dan antagonisnya ………… 9
iv
DAFTAR GAMBAR
v
BAB I
PENDAHULUAN
Sistem saraf simpatis dan parasimpatis adalah bagian sistem saraf perifer motorik
yang bertanggungjawab untuk hemostatik. Kesatuan sistem saraf simpatis dan
parasimpatis disebut Sistem Saraf Otonom (SSO). SSO menginervasi motorik
semua organ lain kecuali otot skeletal yang diinervasi oleh Sistem Saraf Somatis
(SSS). Sistem saraf simpatis dan parasimpatis bekerja dengan saling berinteraksi
satu dengan yang lain yang biasanya berlawanan untuk mempertahankan
keberlangsungan hemostatik tubuh.1,2,3
1
stressful. Meskipun demikian, divisi simpatis dan parasimpatis tidak bekerja
sendiri-sendiri, namun lebih memiliki interaksi dan kordinasi secara fisiologis
dan fungsional.3,4
Seperti halnya sistem saraf somatis, SSO juga memiliki reflek yang disebut
sebagai refleks viseral, dimana sinyal-sinyal sensorik bawah sadar dari organ
viseral dapat memasuki ganglia otonom, batang otak, atau hipotalamus dan
kemudian mengembalikan respon refleks bawah sadar langsung ke organ-organ
viseral dan mengatur aktifitas organ-organ tersebut.2 Reflek ini memiliki kerja
yang luas di tubuh, seperti pada reflek pada pengaturan tekanan darah, batuk,
menelan, dan lain sebagainya. Setiap reflek tersebut kebanyakan adalah reflek
yang terjadi saat terdapat hal yang menggancam dan memiliki kepentingan
tersendiri untuk menjaga agar kondisi tubuh tetap hemodinamis.2,5
Sistem saraf simpatis dan parasimpatis tidak hanya bekerja sendiri saja tetapi juga
memiliki interaksi dengan Sistem Saraf Somatik untuk melakukan fungsinya,
salahsatunya adalah pada kerja reflek viseral. Reflek viseral mendapatkan
sebagian informasi dari aferen sistem saraf somatomotor di organ viseral, setelah
itu barulah eferen motorik otonom menghantarkan reflek ke organ tujuan. Oleh
sebab itu, luasnya dan pentingnya kerja sistem saraf simpatis dan parasimpatis
tersebut menyebabkan penting untuk mengetahui bagaimana anatomi dan
organisasi sistem saraf simpatis dan parasimpatis sehingga manipulasi sistem
saraf tersebut dapat dilakukan dengan baik untuk kepentingan klinis terutama
apabila terjadi perubahan patologis pada sistem saraf simpatis dan
parasimpatis.3,4,6
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Serabut saraf simpatis bermula dari medulla spinalis yang keluar bersama dengan
nervus spinalis diantara segmen medulla T-1 dan L-2 dan berjalan mula-mula ke
“rantai simpatis” untuk selanjutnya ke jaringan dan organ target. Sistem saraf
otonom berbeda dengan SSS, dimana setiap perjalanan SSO terdiri atas dua
neuron, yaitu neuron preganglion dan postganglion. Badan sel neuron
preganglion simpatis terletak di kornu intermediolateral medula spinalis; dan
kemudian serabut-serabutnya berjalan melewati radiks anterior medulla menuju
saraf spinal.3,4
3
3. Serabut itu dapat berjalan melalui rantai ke berbagai arah dan selanjutnya
melalui salah satu saraf simpatis memisahkan diri keluar dari rantai, untuk
akhirnya bersinaps dengan ganglia perifer simpatis.
4
memiliki ramus putih, setiap nervus spinalis memiliki ramus abu-abu
yang membawa serabut postganglion simpatis untuk distribusi ke
permukaan tubuh. 3,4
5
inferior menginervasi porsio terminal usus besar, ginjal dan kandung
kemih serta organ seks.2,3,4
6
merupakan neurotransmitter yang paling banyak dilepaskan oleh postganglion
simpatis disintesa dan disimpan. Ujung saraf postganglion secara aktif
menangkap L-tyrosin di celah sinaps untuk diubah menjadi dopamin dan
akhirnya menjadi NE. Neuron simpatis disebut neuron adrenergic karena
neurotransmitter yang dihasilkan kebanyakan adalah NE, meskipun demikian,
terdapat sedikit neuron ganglionik simpatis yang melepaskan neurotransmitter
lain namun memainkan peranan yang penting.2,3,5,7
NE dan atau E yang dilepaskan oleh neuron simpatis akan ditangkap oleh
reseptor adrenergik yang akan menyebkan efek tertentu pada sel target. NE yang
di lepaskan varikosa mempengaruhi targetnya sampai NE diabsorbsi kembali
oleh varikosa dan selanjutnya dapat digunakan kembali (70%) atau sampai NE
dihancurkan oleh enzim monoaminoksidase (MAO) ataupun catechol-O-
methyltransferase (COMT) di jaringan sekitarnya. Difusi NE dari celah sinaps ke
darah juga akan menyebabkan deaktivasi NE pada celah sinaps. Secara umum,
efek NE pada membran postsinaps menetap selama beberapa detik, lebih lama
daripada efek Ach yang hanya mencapai 20 milidetik.2,6,7
Terdapat dua kelas reseptor simpatis yang umum yaitu reseptor alfa dan reseptor
beta. Secara umum, NE lebih menstimulasi reseptor alfa dibandingkan dengan
reseptor beta karena reseptor β2 lebih responsif terhadap E, oleh karea itu
epinefrin menstimulasi kedua kelas reseptor. Sehingga NE terlibat dalam
stimulasi terlokalisir sedangkan E mempengaruhi reseptor alfa dan beta seluruh
tubuh.7
Reseptor alfa dan beta adalah reseptor dengan protein G dimana efek stimulasi
pada reseptor tersebut tidak sama di seluruh tubuh, tergantung produksi jenis
second messengers yang dihasilkan. Stimulasi reseptor alfa (α) mengaktivasi
enzim didalam membran sel. Terdapat dua tipe reseptor alfa yaitu alfa -1(α1) dan
alfa-2 (α2). Fungsi reseptor α1 (tipe reseptor alfa yang paling banyak) adalah
pelepasan ion kalsium dari cadangan di retikulum endoplasma yang
menyebabkan efek eksitatori pada sel target. Sedangkan stimulasi reseptor α2
menghasilkan penurunan kadar cyclic-AMP (cAMP) di sitoplasma. Cyclic-AMP
adalah second messenger yang dapat mengaktifasi sehingga penurunan cAMP
7
umumnya memiliki efek inhibisi sel. Umumnya reseptor α2 terdapat di presinap
yang disebut autoreseptor untuk self-inhibiting sehingga NE akan berhenti
dilepaskan ke celah sinaps. Reseptor α2 juga terdapat pada divisi parasimpatik
yang berfungsi membantu koordinasi aktivitas simpatik dan parasimpati dimana
saat NE dilepaskan akan menghambat aktivitas parasimpatis.2,3,6,7
Divisi simpatis juga meliputi sinaps nitroadrenergik, yang melepaskan nitrit oxide
(NO) sebagai neurotransmitter untuk menghasilkan vasodilatasi dan peningkatan
aliran darah yang melalui daerah tersebut. Sinaps tersebut terdapat pada neuron
yang menginervasi otot polos dinding pembuluh darah pada banyak regio,
khususnya di otot skeletal dan otak.3
8
Taber 2.1 Distribusi reseptor simpatis serta agonis dan antagonisnya6,7,8
Jenis Jaringan Efek perangsangan katekolamin Agonis Antagonis
Reseptor
Esmolol
Betaksolol
9
E) skeletal (isoprenaline)
Sistem saraf parasimpatis memiliki badan sel neuron preganglion di batang otak
dan segmen sakralis medula spinalis. Mesencepalon, pons, dan medula oblongata
yang terdapat pada batang otak memiliki nucleus otonom yang mengirm perintah
motorik ke nervus kranialis (CN) III, VII, IX, dan X (tabel 2.2) sedangkan pada
segmen sakralis nucleus otonomnya berada pada gray horns pada S2-S4.3,4
10
Tabel 2.2 Distribusi nervus kranialis sistem saraf parasimpatis9
Nervus kranialis Nukleus (lokasi) Ganglion Target jaringan
Submandibular Sekretomotor:
submandibular, sublingual
11
disebut pseudokolinesterase, hal ini jugalah yang menyebabkan efek parasimpatis
terlokalisir.6
Vesikel pada presinap saraf terminal mengeluarkan ACh ke celah sinap saat Ca2+
di sitosol meningkat yang merupakan respon terhadap adanya potensial aksi.
Meskipun pada semua sinaps (neuron ke neuron) dan sambungan neuromuscular
dan neuroglandular (neuron ke efektor) pada divisi parasimpatis menggunakan
transmitter yang sama, terdapat dua tipe reseptor ACh di membrane
postsinaps:2,3,5,7
Nama nikotik dan muskarinik berasal dari penemu yang menemukan bahwa
racun lingkungan yang berbahaya yaitu nikotin dan muskarin berikatan dengan
reseptor tersebut. Reseptor nikotinik mengikat nikotin, dimana tanda dan gejala
keracunannya menggambarkan aktivasi otonom secara luas yaitu muntah, diare,
tekanan darah yang tinggi, denyut jantung yang cepat, berkeringat, dan
hipersalivasi dan dapat terjadi konvulsi karena SSS juga terstimulasi. Sedangkan,
tanda dan gejala keracunan muskarin hampir terbatas pada divisi parasimpatis
saja.3
12
Tipe Jaringan dan fungsi Agonis Antagonis
reseptor
13
Gambar 2.2 Distribusi Innervasi Simpatis dan Parasimpatis
Perbedaan sistem saraf simpatis dan parasimpatis memiliki kolerasi fisiologis dan
fungsional. Sistem saraf simpatis memiliki pengaruh yang luas diseluruh tubuh,
sedangkan parasimpatis hanya menginervasi struktur viseral yang dilayani oleh
nervus kranialis atau yang berada di kavitas abdominopelvik. Meskipun beberapa
organ hanya dilayani oleh satu divisi SSO saja, kebanyakan organ mendapatkan
innervasi dwirangkap yaitu menerima instruksi dari simpatis dan parasimpatis.
Selain itu, seperti yang sudah dijelaskan sebulumnya bahwa koordinasi antara
sistem saraf simpatis dan parasimpatis juga terjadi dengan adanya reseptor α2
pada divisi parasimpatik. Saat divisi parasimpatis aktif, NE dilepaskan oleh
14
stimulasi simpatis kemudian mengikat sambungan neuromuskular dan
neuroglandular parasimpatik sehingga menghambat aktivitasnya.2,3,6,7
15
2.3.2 Tonus Otonom
Normalnya, sistem saraf simpatis dan parasimpatis bersifat aktif terus menerus,
dan nilai aktivitas basalnya telah dikenal dengan sebutan tonus simpatis dan tonus
parasimpatis, dimana keduanya disebut tonus otonom. Tonus ini memungkinkan
satu divisi SSO untuk meningkatkan dan menurunkan aktivitas organ.2 Tonus
otonom sangat penting saat adanya innervasi, bahkan lebih penting pada situasi
dimana saat tidak terjadi innervasi dwirangkap. Salah satu contohnya adalah
pada pengaturan kerja jantung, asetilkolin (parasimpatis) menyebabkan
penurunan denyut jantung, sedangkan NE (simpatis) meningkatkan denyut
jantung. Untuk menimbulkan tonus otonom pada jantung, kedua neurotransmitter
tersebut dalam jumlah yang sedikit dilepaskan secara terus menerus walaupun
innervasi parasimpatis mendominasi. Hal ini penting, sehingga pada keadaan
krisis, stimulasi innervasi simpatis dan inhibisi innervasi parasimpatis
meningkatkan denyut jantung semaksimal mungkin.3,5,7
SSO memiliki hirarki refleks untuk mengontrol target organ otonom. Refleks
tersebut dimulai dari lokal, yang meliputi hanya satu bagian neuron, ke regional
yang memerluan mediasi oleh medula spinalis dan ganglia otonom yang
bersangkutan, sampai ke hirarki yang paling kompleks yaitu aksi oleh batang otak
dan pusat-pusat di otak. Secara umum, semakin tinggi tingkat kompleksitasnya
maka semakin refleks tersebut membutuhkan koordinasi oleh respon kedua divisi
SSO dan respon hirarki yang lebih tinggi, serta neuron somatik dan sistem
endokrin juga dapat terlibat.3,14
16
2.4.1 Refleks viseral
Reflek viseral atau yang disebut juga reflek otonom2 terdiri dari reseptor, neuron
sensori, pusat pengolahan (satu atau lebih interneuron), dan dua neuron motorik
viseral. Setiap reflek viseral adalah polisinaptik; baik itu reflek panjang maupun
reflek pendek. 3
Pada reflek panjang (gambar 2.4), neuron sensori polisinaps mengantar informasi
kepada SSP sepanjang akar dorsal nervus spinalis dalam cabang sensori nervus
kranialis, dan dalam nervus otonom yang menginervasi efektor viseral. Tahap
pengolahan melibatkan interneuron di dalam SSP, dan SSO membawa perintah
motorik kepada efektor visceral yang sesuai.3
Reflek pendek (gambar 2.4) memotong jalur ke SSP dimana hal ini melibatkan
neuron sensori dan interneuron sehingga badan selnya berada di dalam ganglia
otonom. Sinaps interneuron dan perintah motorik kemudian disebarkan oleh
serabut postganglion. Reflek pendek mengontrol respon motorik yang sangat
sederhana dengan efek yang terlokalisir. Secara umum, reflek pendek dapat
mengontrol pola aktifitas pada satu bagian kecil dari organ target, dimana reflek
panjang mengkoordinasikan aktifitas pada keseluruhan organ. 3
Pada kebanyakan organ, reflek panjang lebih penting dalam meregulasi aktifitas
viseral, tetapi hal ini tidak berlaku pada salurah pencernaan dan kelenjar yang
berhubungan dimana reflek pendek lebih banyak memberikan kontrol dan
koordinasi. Neuron yang terlibat membentuk sistem saraf enterik. Ganglia pada
dinding saluran pencernaan mengandung badan sel neuron, sensori viseral,
interneuron, dan neuron motorik visceral, dan aksonnya membentuk jaring saraf
yang luas yang disebut sistem saraf enterik yang dapat melakukan pengaturan
terhadap dirinya sendiri tanpa intervensi dari SSP meskipun innervasi
parasimpatis neuron motorik visceral tetap dapat menstimulasi dan
mengkoordinasikan beragam aktifitas pencernaan.3,6,7
Terdapat beberapa reflek otonom pada tubuh kita antara lain reflek otonom
respirasi, fungsi jantung, dan aktifitas visceral yang lain. Divisi parasimpatis
17
memiliki banyak pengaruh dalam reflek otonom dibanding simpatis, oleh karena
efek massal yang ditimbulkan oleh simpatis. 2,3
Istilah otonom awalnya dipakai karena pusat regulasi terlibat dengan kontrol
fungsi viseral dimana bekerja secara otomatis yang tidak tergantung pada
aktivitas SSP. Gambaran tersebut telah diperbaiki oleh penelitian-penelitian
berikutnya. Aktifitas sistem limbic, thalamus, atau korteks serebral yang memiliki
efek yang besar pada fungsi otonom karena saat mengatur sistem otonom, karena
18
ditemukan bahwa hipotalamus melakukan interaksi dengan bagian-bagian otak
tersebut. Korteks dan amygdala diketahui mempengaruhi otonom seseorang saat
terjadi perubahan emosi.Sebagai contoh, saat sesorang marah, denyut jantung
akan meningkat, tekanan darah naik, dan laju pernafasan meningkat, saat
seseorang mengingat makannya yang terakhir, lambung akan berbunyi dan akan
keluar air liur. 3,5,14
Tiga regio dalam batang otang sangat penting dalam fungsi otonom.
Periaqueductal gray matter pada otak tengah mengkoordinasikan respon otonom
terhadap stimusus nyeri dan dapat memodulasi aktivitas jalur sensori yang
menghantarkan nyeri. Nukleus parabrakial pada pons mengambil bagian dalam
kontrol respirasi dan kardiovaskular. Lokus ceruleus memiliki peran dalam
refleks mikturisi. Nuleus traktur soliterius mendapatkan input aferen dari reseptor
jantung, respirasi, dan gastrointestinal. Medula ventrolateral merupakan pusat
utama kontrol terhadap neuron preganglion simpatis pada medula spinalis dan
eferen vagal juga berasal dari daerah tersebut.5,7,14
Meskipun jalur somatik dan viseral dijelaskan secara terpisah keduanya memiliki
banyak persamaan, baik itu pada organisasi maupun fungsi. Integrasi terjadi pada
tingkat batang otak, dan kedua sistem tersebut sama-sama dibawah kontrol pusat
yang lebih tinggi. 3
19
Gambar 2.5 “Jaringan” otonom pusat
Informasi sensori dari jalur otonom normalnya tidak akan sampai pada tingkat
kesadaran. Sensasi tertentu yang melebihi ambang nyeri dapat diterima secara
samar dan terlokalisir atau dapat juga terasa sebagai struktur somatik daripada
sebagai organ dimana potensial aksi aferen tersebut berasal. Hal ini dapat
dilakukan sebagai pedoman diagnostik pada beberapa penyakit, misalnya
persepsi nyeri pada tangan kiri pada infark miokardial adalah contoh nyeri alih
dari organ viseral. Kejadian ini sering dikenal dengan istilah reffered pain.5,14
20
BAB III
KESIMPULAN
Divisi simpatis meliputi dua set rantai ganglia simpatis di setiap sisi kolumna
vertebra; tiga ganglia kolateral; dan dua medulla adrenal. Serabut preganglion
simpatis dapat menginervasi dua lusin atau lebih neuron ganglionik pada ganglia
yang berbeda, sebagai hasilnya satu neuron motor simpatis pada SSP dapat
mengontrol berbagai macam organ viseral dan dapat menghasilkan respon yang
kompleks dan terkoordinasi. Divisi parasimpatis meliputi nukleus motor viseral
yang berhubungan dengan nervus kranialis III, VII, IX dan X dan segmen sakralis
S2–S4. Neuron ganglionik parasimpatis terdapat di dalam atau dekat dengan
organ target. Hal ini menyebabkan aktivasi parasimpatis mengaktifkan respon
yang spesifik pada organ atau bagian organ tertentu.
Sistem saraf simpatis dan parasimpatis memiliki fungsi yang kebanyakan adalah
berlawanan namun saling berintegrasi satu dengan yang lain interaksi tersebut
dapat dilakukan dengan adanya innervasi dwirangkap organ dan adanya tonus
otonom. Selain itu fungsi SSO juga dipengaruhi oleh pusat pengaturan yang lebih
tinggi untuk melakukan suatu reflek viseral. Pusat pengaturan SSO memiliki
hirarki dari lokal, regional sampai yang kompleks dimana melibatkan Sistem
Saraf Pusat yang disebut dengan “jaringan otonom pusat”. SSO juga tidak dapat
dipisahkan dengan SSS untuk melaksanakan fungsinya terutama dalam
menjalankan reflek viseral.
21
DAFTAR PUSTAKA
22
13. Richelson, Elliott (2000). "Cholinergic Transduction, Psychopharmacology
- The Fourth Generation of Progress". American College of
Neuropsychopharmacology. Retrieved2007-10-27.
14. Ellis Harold. Clinical anatomy. 11ed. Oxford: Blackwell Pub. 2006.
15. Yang TT, Simmons AN, Paulus MP. Increased Amygdala Activation is
Related to Heart Rate During Emotion Processing in Adolescent Subjects.
Neuroscience Letters. 428(2-3):109-114.2007
23