Anda di halaman 1dari 27

ORGANISASI DAN ANATOMI SISTEM SARAF SIMPATIS

DAN PARASIMPATIS

Oleh:
Theresia Fitri Hakna Sihombing

dr. Kadek Agus Heryana Putra,SpAn

BAGIAN/SMF ILMU ANESTESI DAN REANIMASI

FK UNUD/RSUP SANGLAH

i
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i

KATA PENGANTAR .................................................................................... ii

DAFTAR ISI ................................................................................................... iii

DAFTAR TABEL .......................................................................................... iv

DAFTAR GAMBAR ..................................................................................... v

BAB I. PENDAHULUAN .............................................................................. 1

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................... 3

2.1Sistem Saraf Simpatis ............................................................................... 3

2.1.1 Anatomi Sistem Saraf Simpatis ............................................................. 3

2.1.2 Stimulasi Simpatis dan Neurotransmitter .............................................. 6

2.2 Sistem Saraf Parasimpatis ....................................................................... 9

2.2.1 Anatomi Sistem Saraf Parasimpatis ....................................................... 9

2.2.2 Stimulasi Parasimpatis dan Neurotransmitter ....................................... 11

2.3 Interaksi antara Saraf Simpatis dan Parasimpatis ............................... 13

2.3.1 Anatomi innervasi dwirangkap .............................................................. 14

2.3.2 Tonus Otonom ........................................................................................ 15

2.4 Integrasi dan Kontrol Fungsi Otonom ................................................... 15

2.4.1 Refleks viseral ........................................................................................ 16

2.4.2 Pengaturan otonom pada tingkat yang lebih tinggi ................................ 17

2.4.3 Intergrasi aktifitas SSS dan SSO ............................................................ 18

BAB III KESIMPULAN ............................................................................... 20

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 21

DAFTAR TABEL

iii
Taber 2.1 Distribusi reseptor simpatis serta agonis dan antagonisnya ………… 9

Tabel 2.2 Distribusi nervus kranialis sistem saraf parasimpatis……………….. 10

Tabel 2.3 Distribusi reseptor kolinergik, agonis serta antagonisnya…………... 12

iv
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Perjalanan serabut postganglionic Simpatis………………..…….5

Gambar 2.2 Distribusi Innervasi Simpatis dan Parasimpatis ………………. 13

Gambar 2.3 Pleksus Sistem Saraf Otonom (Simpatis dan Parasimpatis)….. 14

Gambar 2.4 Refleks Viseral…………………………………………………. 17

Gambar 2.5 “Jaringan” otonom pusat……………………………………….. 19

v
BAB I

PENDAHULUAN

Sistem saraf simpatis dan parasimpatis adalah bagian sistem saraf perifer motorik
yang bertanggungjawab untuk hemostatik. Kesatuan sistem saraf simpatis dan
parasimpatis disebut Sistem Saraf Otonom (SSO). SSO menginervasi motorik
semua organ lain kecuali otot skeletal yang diinervasi oleh Sistem Saraf Somatis
(SSS). Sistem saraf simpatis dan parasimpatis bekerja dengan saling berinteraksi
satu dengan yang lain yang biasanya berlawanan untuk mempertahankan
keberlangsungan hemostatik tubuh.1,2,3

Pikiran, rencana dan apa yang dilakukan seseorang hanyalah menggambarkan


sedikit tentang kerja saraf ditubuh. Kebanyakan kerja saraf adalah aktivitas yang
tidak disadari. Sistem saraf motorik terdiri dari dua yaitu SSS dan SSO. Pekerjaan
yang biasa disadari dan dilihat adalah kerja motorik dari SSS, padahal kerja
motorik lain yang tidak disadari yaitu kerja SSO memegang banyak peran yang
penting dalam tubuh. Kerja motorik SSO sangat penting dalam kemampuan
adaptasi tubuh terhadap stressor dan tantangan yang dihadapi oleh tubuh.1,3

Awalnya SSO didefenisikan sebagai neuron preganglion dan postgangion yang


dapat bekerja sendiri atau otomatis, sebab itu disebut sistem saraf otonom.
Namun, defenisi modern SSO telah “memperhitungkan” jalur descenden
beberapa bagian otak depan dan batang otak yaitu pusat-pusat yang terdapat di
medulla spinalis, batang otak, dan, juga korteks serebri khususnya korteks
limbik.3

Fungsi masing-masing divisi simpatis dan parasimpatis biasanya memiliki


pengaruh yang berlawanan dimana keduanya memiliki sifat yang dapat
mengaktivasi suatu organ atau menghambat kerjanya. Divisi simpatis
menyiapkan tubuh untuk penggunaan energi, dalam keadaan stress, atau keadaan
gawat darurat. Sebaliknya divisi parasimpatik lebih aktif dalam keadaan istirahat
atau biasa. Parasimpatis juga menyeimbangkan efek divisi simpatis dan
memulihkan tubuh kembali menjadi keadaan istirahat setelah keadaan yang

1
stressful. Meskipun demikian, divisi simpatis dan parasimpatis tidak bekerja
sendiri-sendiri, namun lebih memiliki interaksi dan kordinasi secara fisiologis
dan fungsional.3,4

Seperti halnya sistem saraf somatis, SSO juga memiliki reflek yang disebut
sebagai refleks viseral, dimana sinyal-sinyal sensorik bawah sadar dari organ
viseral dapat memasuki ganglia otonom, batang otak, atau hipotalamus dan
kemudian mengembalikan respon refleks bawah sadar langsung ke organ-organ
viseral dan mengatur aktifitas organ-organ tersebut.2 Reflek ini memiliki kerja
yang luas di tubuh, seperti pada reflek pada pengaturan tekanan darah, batuk,
menelan, dan lain sebagainya. Setiap reflek tersebut kebanyakan adalah reflek
yang terjadi saat terdapat hal yang menggancam dan memiliki kepentingan
tersendiri untuk menjaga agar kondisi tubuh tetap hemodinamis.2,5

Sistem saraf simpatis dan parasimpatis tidak hanya bekerja sendiri saja tetapi juga
memiliki interaksi dengan Sistem Saraf Somatik untuk melakukan fungsinya,
salahsatunya adalah pada kerja reflek viseral. Reflek viseral mendapatkan
sebagian informasi dari aferen sistem saraf somatomotor di organ viseral, setelah
itu barulah eferen motorik otonom menghantarkan reflek ke organ tujuan. Oleh
sebab itu, luasnya dan pentingnya kerja sistem saraf simpatis dan parasimpatis
tersebut menyebabkan penting untuk mengetahui bagaimana anatomi dan
organisasi sistem saraf simpatis dan parasimpatis sehingga manipulasi sistem
saraf tersebut dapat dilakukan dengan baik untuk kepentingan klinis terutama
apabila terjadi perubahan patologis pada sistem saraf simpatis dan
parasimpatis.3,4,6

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2,1 Sistem Saraf Simpatis

Saat teraktifasi sepenuhnya, sistem saraf simpatis memproduksi respon”fight or


flightíng” yang mempersiapkan tubuh untuk keadaan krisis yang mungkin
membutuhkan aktifitas fisik yang tiba-tiba dan intens. Sistem ini mempersiapkan
tubuh untuk menambah level aktifitas somatik. Peningkatan aktifitas simpatik
umumnya menstimulasi metabolisme jaringan dan meningkatkan kewaspadaan.2,3
Sistem saraf simpatis juga cenderung melakukan perangsangan secara massal
sedangkan parasimpatis menyebabkan respon setempat yang spesifik.2

2.1.1 Anatomi Sistem Saraf Simpatis

Serabut saraf simpatis bermula dari medulla spinalis yang keluar bersama dengan
nervus spinalis diantara segmen medulla T-1 dan L-2 dan berjalan mula-mula ke
“rantai simpatis” untuk selanjutnya ke jaringan dan organ target. Sistem saraf
otonom berbeda dengan SSS, dimana setiap perjalanan SSO terdiri atas dua
neuron, yaitu neuron preganglion dan postganglion. Badan sel neuron
preganglion simpatis terletak di kornu intermediolateral medula spinalis; dan
kemudian serabut-serabutnya berjalan melewati radiks anterior medulla menuju
saraf spinal.3,4

Segera setelah saraf spinal meninggalkan kanalis spinalis, serabut preganglion


simpatis bermielin meninggalkan saraf spinal tersebut dan berjalan melewati
ramus putih ke salah satu ganglia dari rantai simpatis. Selanjutnya serabut
tersebut dapat mengalami salah satu dari ketiga hal berikut: 4

1. Serabut-serabut dapat bersinaps dengan neuron simpatis postganglion


yang ada di dalam ganglion yang dimasukinya.
2. Serabut-serabut tersebut dapat berjalan ke atas atau ke bawah dalam rantai
simpatis dan bersinaps di salah satu ganglia lain dalam rantai tersebut atau

3
3. Serabut itu dapat berjalan melalui rantai ke berbagai arah dan selanjutnya
melalui salah satu saraf simpatis memisahkan diri keluar dari rantai, untuk
akhirnya bersinaps dengan ganglia perifer simpatis.

Serabut presinapsis dapat bersinapsis di ganglia rantai simpatis, atau di ganglia


perifer simpatis yang meliputi ganglia kolateral dan medula adrenal (gambar
2.2).2 Satu serabut preganglion dapat bersinapsis dengan dua lusin atau lebih
neuron ganglionik. Rantai simpatis memiliki tiga ganglion servikalis, 10-12
thorakalis, 4-5 lumbalis dan 4-5 sakrais, namun jumlahnya bervariasi tergantung
fusi yang terjadi pada ganglion yang berdekatan.2 Serabut saraf simpatis pada
segmen T-1 umumnya naik melewati “rantai simpatis” untuk berakhir di daerah
kepala; T-2 ke daerah leher; dari T-3, T-4 T-5 dan T-6 ke daerah thoraks; T-7
sampai T-11 ke daeragh abdomen; dan L-1 dan L-2 ke daerah tungkai.
Pembagian tersebut hanya kurang lebih demikian dan biasanya saling tumpang
tindih.2,4

2.1.1.1 Ganglia Rantai Simpatis

Serabut preganglion yang target organnya pada permukaan tubuh, kavitas


torakalis, kepala dan ekstremitas akan memasuki ganglia di rantai
simpatis. Serabut postganglion yang membawa perintah motorik untuk
target organ di permukaan tubuh, kepala, leher atau ekstremitas akan
memasuki ramus abu-abu dan kembali ke nervus spinalis untuk kemudian
berjalan ke target organ (gambar 2.1 kanan). Semua serabut simpatis ini
merupakan serabut tipe C yaitu serabut yang sangat kecil yang bersamaan
dengan serabut skeletal pada saraf skeletal untuk menyebar keseluruh
bagian tubuh.2 Sedangkan, serabut postganglion yang membawa perintah
motorik ke struktur di kavitas torakalis, seperti pada jantung dan paru,
keluar melalui bundel disebut nervus simpatis (gambar 2.1 kiri)3,5

Neuron preganglion simpatis hanya terdapat pada T1 sampai dengan L2,


namun serabut postganglion simpatis dari ganglion akan memasuki
ramus abu-abu kemudian berjalan ke arah saraf servikalis, lumbalis, dan
spinalis. Sebagai hasilnya, meskipun hanya saraf spinalis T1-L2 yang

4
memiliki ramus putih, setiap nervus spinalis memiliki ramus abu-abu
yang membawa serabut postganglion simpatis untuk distribusi ke
permukaan tubuh. 3,4

Gambar 2.1 Perjalanan serabut postganglionic Simpatis

2.1.1.2 Ganglia Kolateral

Ganglia kolateral membawa perintah motorik ke visera abdominopelvik.


Serabut preganglion yang menginervasi ganglia kolateral keluar dari saraf
splanknik yang berjalan di dinding dorsal kavitas abdominal. Meskipun
ganglia kolateral merupakan ganglia yang terpisah yaitu ganglia kolateral
kiri dan kanan, keduanya biasanya berfusi bersama terutama pada orang
dewasa.2,3

Saraf splaknik menginervasi tiga ganglia kolateral. Serabut preganglion


tujuh segmen thorakalis inferior berakhir di ganglion celiac atau ganglion
mesenteric superior, sedangkan pada ganglion mesenterik inferior berasal
dari segmen lumbalis. Ketiga ganglia tersebut dinamai berdasarkan
hubungannya dengan arteri terdekat (gambar 2.2).5 Serabut postganglion
ganglion celiac akan menginervasi lambung, hati, kantung empedu,
pancreas, dan lien; ganglion mesenteric superior menginervasi usus halus
dan duapertiga proksimal usus besar; sedangkan ganglion mesenterik

5
inferior menginervasi porsio terminal usus besar, ginjal dan kandung
kemih serta organ seks.2,3,4

2.1.1.3. Medula Adrenal

Serabut preganglion memasuki kelenjar adrenal berjalan ke pusatnya


(medulla adrenal). Medula adrenal adalah ganglion simpatis yang
bermodifikasi dimana serabut preganglion bersinapsis pada sel
neuroendokrin, neuron yang terspesialisasi mensekresikan hormon
(chemical messengers) ke dalam aliran darah. Sel neuroendokrin medulla
adrenal mensekresikan katekolamin yaitu 80% neurotransmitter epinefrin
(E) yang dibentuk dari norepinefrin (NE) dan 20% NE itu sendiri.3
Katekolamin tersebut disimpan dalam badan kromafin medula adrenal.7

Aliran darah kemudian membawa neurotransmitter ke seluruh tubuh,


menyebabkan perubahan aktivitas metabolisme yang luas pada sel-sel di
tubuh. Efek tersebut menyerupai stimulasi yang dihasilkan oleh innervasi
langsung oleh serabut postganglion simpatis. Namun, terdapat perbedaan
stimulasi oleh medulla spinalis dibandingkan dengan serabut postganglion
yaitu: (1) Sel tidak diinervasi oleh serabut postganglion simpatis dan (2)
efeknya berakhir lebih lama dibandingkan yang dihasilkan oleh innervasi
simpatis langsung, karena hormon tetap lanjut berdifusi keluar aliran
darah untuk periode yang lebih lama dan eliminasi neurotransmitter yang
lebih lama pula. 1,2,3

2.1.2 Stimulasi Simpatis dan Neurotransmitter

Stimulasi neuron preganglion simpatis menghasilkan ACh yang kemudian


menstimulasi serabut postganglion simpatik. Serabut postganglionik tersebut
akhirnya akan menghasilkan NE, atau E pada medula adrenal. Terminal serabut
postsinaps berupa jaringan telodendria yang membentuk varikositas disepanjang
atau dekat permukaan sel efektor untuk kontak sinaps dengan efektor sel.
Varikosa yang menyerupai untaian mutiara ini juga merupakan tempat NE yang

6
merupakan neurotransmitter yang paling banyak dilepaskan oleh postganglion
simpatis disintesa dan disimpan. Ujung saraf postganglion secara aktif
menangkap L-tyrosin di celah sinaps untuk diubah menjadi dopamin dan
akhirnya menjadi NE. Neuron simpatis disebut neuron adrenergic karena
neurotransmitter yang dihasilkan kebanyakan adalah NE, meskipun demikian,
terdapat sedikit neuron ganglionik simpatis yang melepaskan neurotransmitter
lain namun memainkan peranan yang penting.2,3,5,7

NE dan atau E yang dilepaskan oleh neuron simpatis akan ditangkap oleh
reseptor adrenergik yang akan menyebkan efek tertentu pada sel target. NE yang
di lepaskan varikosa mempengaruhi targetnya sampai NE diabsorbsi kembali
oleh varikosa dan selanjutnya dapat digunakan kembali (70%) atau sampai NE
dihancurkan oleh enzim monoaminoksidase (MAO) ataupun catechol-O-
methyltransferase (COMT) di jaringan sekitarnya. Difusi NE dari celah sinaps ke
darah juga akan menyebabkan deaktivasi NE pada celah sinaps. Secara umum,
efek NE pada membran postsinaps menetap selama beberapa detik, lebih lama
daripada efek Ach yang hanya mencapai 20 milidetik.2,6,7

Terdapat dua kelas reseptor simpatis yang umum yaitu reseptor alfa dan reseptor
beta. Secara umum, NE lebih menstimulasi reseptor alfa dibandingkan dengan
reseptor beta karena reseptor β2 lebih responsif terhadap E, oleh karea itu
epinefrin menstimulasi kedua kelas reseptor. Sehingga NE terlibat dalam
stimulasi terlokalisir sedangkan E mempengaruhi reseptor alfa dan beta seluruh
tubuh.7

Reseptor alfa dan beta adalah reseptor dengan protein G dimana efek stimulasi
pada reseptor tersebut tidak sama di seluruh tubuh, tergantung produksi jenis
second messengers yang dihasilkan. Stimulasi reseptor alfa (α) mengaktivasi
enzim didalam membran sel. Terdapat dua tipe reseptor alfa yaitu alfa -1(α1) dan
alfa-2 (α2). Fungsi reseptor α1 (tipe reseptor alfa yang paling banyak) adalah
pelepasan ion kalsium dari cadangan di retikulum endoplasma yang
menyebabkan efek eksitatori pada sel target. Sedangkan stimulasi reseptor α2
menghasilkan penurunan kadar cyclic-AMP (cAMP) di sitoplasma. Cyclic-AMP
adalah second messenger yang dapat mengaktifasi sehingga penurunan cAMP

7
umumnya memiliki efek inhibisi sel. Umumnya reseptor α2 terdapat di presinap
yang disebut autoreseptor untuk self-inhibiting sehingga NE akan berhenti
dilepaskan ke celah sinaps. Reseptor α2 juga terdapat pada divisi parasimpatik
yang berfungsi membantu koordinasi aktivitas simpatik dan parasimpati dimana
saat NE dilepaskan akan menghambat aktivitas parasimpatis.2,3,6,7

Reseptor β adalah reseptor dengan protein G yang menstimulasi peningkatan


kadar cAMP intrasel setelah neurotransmitter berikatan dengan reseptor. Reseptor
beta (β) berlokasi di membran sel pada banyak organ, dimana reseptor ini
umumnya terdiri dari β1, dan β2. Reseptor β1 lebih dominan di jantung sedangkan
β2 lebih tersebar luas di dalam tubuh, meskipun terdapat reseptor β1 yang terdapat
di organ lain selain jantung dan β2 di jantung.Umumnya stimulasi reseptor β1
kemudian akan meningkatkan aktifitas metabolisme atau eksitasi sedangkan,
stimulasi reseptor β2 menyebabkan inhibisi sebagai contoh memicu relaksasi otot
polos sepanjang jalur pernafasan. Tipe reseptor beta yang ketiga adalah beta-3
(β3), terdapat di jaringan lemak, stimulasinya menyebabkan lipolisis,
penghancuran trigliserid yang disimpan dalam adiposit.3,6,7

Meskipun kebanyakan serabut postganglion simpatis adalah adrenergik,


beberapa adalah kolinergik. Serabut postganglion tersebut menginervasi kelenjar
keringat kulit dan pembuluh darah otot skeletal dan otak. Aktivasi serabut
simpatis tersebut menstmulasi sekresi kelenjar keringat dan dilatasi pembuluh
darah. Hal ini penting karena saat stimulasi simpatis terjadi, akan terjadi
peningkatan panas sehingga dibutuhkan ekskresi keringat untuk termoregulasi,
dan pada saat itu juga dibutuhkan sediaan energi yang banyak untuk otak dan otot
sehingga saat stimulasi simpatis menurunkan aliran darah pada viseral lain di
tubuh dengan vasokontriksi, vasodilatasi pembuluh darah di otak dan otot
skeletal menyebabkan darah tersebut dialihkan ke kedua organ ini.3,5,6

Divisi simpatis juga meliputi sinaps nitroadrenergik, yang melepaskan nitrit oxide
(NO) sebagai neurotransmitter untuk menghasilkan vasodilatasi dan peningkatan
aliran darah yang melalui daerah tersebut. Sinaps tersebut terdapat pada neuron
yang menginervasi otot polos dinding pembuluh darah pada banyak regio,
khususnya di otot skeletal dan otak.3

8
Taber 2.1 Distribusi reseptor simpatis serta agonis dan antagonisnya6,7,8
Jenis Jaringan Efek perangsangan katekolamin Agonis Antagonis
Reseptor

α1 SSP Aktivias simpatis meningkat Fenilefrin Prazosin

Kelenjar air liur Meningkat Phentolamine

Hati Glikogenolisis meningkat

Ginjal Mengubah ambang pelepasan


renin

Otot polos pada Kontraksi


arteriol, uterus,
duktus deferen,
bronkiolus, kandung
kemih, sfingter GIT,
dan pupil dilator

α2 SSP Aktivitas simpatis menurun Klonidin Atipemezol

Kelenjar air liur Sekresi menurun Phentolamine Efaroxan

Pulau pankreas Sekresi insulin menurun Idazoxan

Liposit Lipolisis menurun Yohibine

Platelet Agregasi meningkat Rauwolscin

Neuron simpatis Autoreseptor presinaps

β1 Jantung Menghasilkan efek kronotropik, Isoproterenol Metoprolol


dromotropik, dan inotropic positif (isoprenaline)
Atenolol
Ginjal Sekresi basal renin meningkat Dobutamin
Asebutolol

Esmolol

Betaksolol

β2 (Oleh Bronkiolus dan Dilatasi Isoproterenol Butoxamine


pembuluh darah otot

9
E) skeletal (isoprenaline)

Otot uterus, duktus Relaksasi Albuterol


deferen, GIT

Pankreas Sekresi insulin meningkat

Hati Glikogenolisis meningkat

Platelet Agregasi platelet menurun

Otot rangka Mendorong penyerapan kalium

β3 Liposit coklat Produksi panas melalui lipolysis Isoproterenol SR59230A


(isoprenaline)
Menurunkan kekuatan kontraksi
ventrikel jantung

2.2 Sistem Saraf Parasimpatis

2.2.1 Anatomi Sistem Saraf Parasimpatis

Sistem saraf parasimpatis memiliki badan sel neuron preganglion di batang otak
dan segmen sakralis medula spinalis. Mesencepalon, pons, dan medula oblongata
yang terdapat pada batang otak memiliki nucleus otonom yang mengirm perintah
motorik ke nervus kranialis (CN) III, VII, IX, dan X (tabel 2.2) sedangkan pada
segmen sakralis nucleus otonomnya berada pada gray horns pada S2-S4.3,4

Serabut preganglion parasimpatis memiliki ukuran yang sangat panjang


sedangkan serabut postganglionnya pendek. Hal ini disebabkan oleh karena
ganglia pada sistem saraf simpatis terdapat di dalam (ganglion intramural) atau
dekat (ganglion terminal) dengan organ target. Serabut preganglion divisi
parasimpatik tidak berbeda jauh seperti divisi simpatis, dimana satu serabut
preganglion dapat bersinaps pada enam sampai delapan neuron ganglion. Hanya
berbeda dengan serabut postganglion simpatis, serabut postganglion parasimpatis
mempengaruhi organ yang sama. Hanya saja, berbeda dengan divisi simpatis
ganglion parasimpatis memiliki target organ spesifik sehingga efek stimulasi
parasimpatis lebih terlokalisir.3,4,5

10
Tabel 2.2 Distribusi nervus kranialis sistem saraf parasimpatis9
Nervus kranialis Nukleus (lokasi) Ganglion Target jaringan

III Okulomotorius Edinger-Westphal Ciliary Akomodasi dan konstriksi


(otak tengah) pupil

VII Fasialis Salivatory Pterigopalatina Sekretomotor: lakrimal,


superior (pons) nasalis, palatine

Submandibular Sekretomotor:
submandibular, sublingual

IX Glossofaringeal Salivatory inferior Otic Sekretomotor kelenjar


(upper medulla) parotid

X Vagus Dorsal motor Dekat dengan Pleksus kadiak: jantung


(medula organ atau di
oblongata) dalam organ Pleksus pulmoner: paru

Pleksus mienterik: GIT

Nervus vagus 75 % merupakan aliran parasimpatis, cabang nervus vagus banyak


yang bergabung dengan serabut postganglion simpatis membentuk pleksus.
Serabut preganglion pada segmen sakralis pada medula spinalis tidak memasuki
nervus spinalis, namun serabut preganglion membentuk nervus pelvik, dimana
serabut tersebut menginervasi ganglia intramural pada dinding ginjal, kandung
kemih, porsio terminal usus besar dan organ seks (gambar 2.2). 3,5

2.2.2 Stimulasi Parasimpatis dan Neurotransmitter

Semua neuron parasimpatis melepaskan ACh sebagai neurotransmitter. Efeknya


pada sel postsinaps sangat bervariasi, tergantung tipe reseptor atau sifat second
messenger yang terlibat. Neuromuskular dan neuroglandular junction sistem saraf
parasimpatik kecil dan memiliki celah sinaps yang sempit. ACh disintesis di
sitoplasma saraf terminal. Efek stimulasinya adalah jangka pendek (< 1mdet)
karena langsung diinaktivasi oleh asetilkolinesterase pada sinaps. ACh yang
berdifusi ke jaringan sekitar akan diinaktivasi oleh enzim kolinesterase jaringan,

11
disebut pseudokolinesterase, hal ini jugalah yang menyebabkan efek parasimpatis
terlokalisir.6

Vesikel pada presinap saraf terminal mengeluarkan ACh ke celah sinap saat Ca2+
di sitosol meningkat yang merupakan respon terhadap adanya potensial aksi.
Meskipun pada semua sinaps (neuron ke neuron) dan sambungan neuromuscular
dan neuroglandular (neuron ke efektor) pada divisi parasimpatis menggunakan
transmitter yang sama, terdapat dua tipe reseptor ACh di membrane
postsinaps:2,3,5,7

1. Reseptor nikotinik: berlokasi di ganglia otonom pada sinaps antara neuron


preganglion dan postganglion parasimpatis dan simpatis, yang juga terdapat
pada neuromuskular junction SSS. Saat ACh berikatan dengan reseptor
terjadi influx cepat Na+ dan Ca2+ dan eksitasi potensial postsinal yang cepat
yang kemudian memicu potensial aksi postsinap.2
2. Reseptor Muskarinik : dijumpai pada semua sel efektor yang dirangsang oleh
neuron kolinergik postganglion baik oleh sistem saraf simpatis maupun
parasimpatis.2 Resptor muskarinik memiliki protein G dan stimulasinya
menghasilkan efek yang lebih lama dibandingkan stimulasi yang disebabkan
oleh reseptor nikotinik. Responnya dapat berupa eksitasi atau inhibitory.3
Reseptor Muskarinik (M) terdiri dari beberapa tipe yaitu M1—M5 (tabel 2.3).
Atropin memblok semua reseptor muskarinik dan terdapat pula obat yang
selektif memblok reseptor M (tabel 2.3).

Nama nikotik dan muskarinik berasal dari penemu yang menemukan bahwa
racun lingkungan yang berbahaya yaitu nikotin dan muskarin berikatan dengan
reseptor tersebut. Reseptor nikotinik mengikat nikotin, dimana tanda dan gejala
keracunannya menggambarkan aktivasi otonom secara luas yaitu muntah, diare,
tekanan darah yang tinggi, denyut jantung yang cepat, berkeringat, dan
hipersalivasi dan dapat terjadi konvulsi karena SSS juga terstimulasi. Sedangkan,
tanda dan gejala keracunan muskarin hampir terbatas pada divisi parasimpatis
saja.3

Tabel 2.3 Distribusi reseptor kolinergik, agonis serta antagonisnya11,12,13

12
Tipe Jaringan dan fungsi Agonis Antagonis
reseptor

Nikotinik Ganglia otonom (N2 atau NN), NN juga Nikotin Trimetaphan


terdapat di SSP

Neuromuskular junction SSS (N1 atau NM) Nikotin Tubocurarine

M1 • Eksitasi potensial postsinaps ganglia otonom • M Agonis* • M Antagonis**


• Mengaktivasi pottensial after-depolarizing • M1,2 Antagonis***
lambat di SSP • Sccopolamine
• Sekresi keleenjar air liur dan lambung • Pirenzepine
• Telenzepine
• Haloperidol
M2 • Menurunkan detak jantung, kekuatan • M Agonis* • M Antagonis**
kontraktilitas atrium dan kecepatan • Metakolin • M1,2 Antagonis***
konduksi nodus AV • Methoctaramine
• Inhibisi homotropik • Tripitramine
• Gallamine
M3 • Kontraksi otot polos dan endotel • M Agonis* • M Antagonis**
• Meningkatkan sekresi kelenjar endokrin dan • Bethanechol • 4DAMP
eksokrin • Pilocarpine • Darifenacin
• Akomodasi mata (pada mata) • Tiotropium
• Menginduksi emesis

M4 • SSP dan penurunan lokomotor • M Agonis* • M Antagonis**

M5 • SSP • M Agonis* • M Antagonis**


* Atropin,hyosciamin, dipenhindramin, dimenhidrinat, dicycloverine, tolterodine, oxybutynin,
ipratropium
** Asetilkolin, oxotremorine, carbachol
*** Thorazine, chlorpromazin

13
Gambar 2.2 Distribusi Innervasi Simpatis dan Parasimpatis

2.3 Interaksi antara Saraf Simpatis dan Parasimpatis

Perbedaan sistem saraf simpatis dan parasimpatis memiliki kolerasi fisiologis dan
fungsional. Sistem saraf simpatis memiliki pengaruh yang luas diseluruh tubuh,
sedangkan parasimpatis hanya menginervasi struktur viseral yang dilayani oleh
nervus kranialis atau yang berada di kavitas abdominopelvik. Meskipun beberapa
organ hanya dilayani oleh satu divisi SSO saja, kebanyakan organ mendapatkan
innervasi dwirangkap yaitu menerima instruksi dari simpatis dan parasimpatis.
Selain itu, seperti yang sudah dijelaskan sebulumnya bahwa koordinasi antara
sistem saraf simpatis dan parasimpatis juga terjadi dengan adanya reseptor α2
pada divisi parasimpatik. Saat divisi parasimpatis aktif, NE dilepaskan oleh

14
stimulasi simpatis kemudian mengikat sambungan neuromuskular dan
neuroglandular parasimpatik sehingga menghambat aktivitasnya.2,3,6,7

2.3.1 Anatomi Innervasi dwirangkap

Umumnya innervasi dwirangkap simpatis dan parasimpatis memiliki efek yang


berlawanan satusama lain, nyata terlihat pada saluran pencernaan, jantung dan
paru. Selain itu, respon antar divisi mungkin terpisah seperti pada kelenjar air liur
dimana simpatis menghasilkan sekret yang kental sedangkan parasimpatis
menghasilkan liur yang lebih encer atau saling melengkapi seperti pada fungsi
seksual dimana ereksi merupakan fungsi parasimpatis sedangkan ejakulasi adalah
efek simpatis.10Serabut postganglion simpatik pada kavitas thorakalis dan
abdominopelvik bergabung dengan serabut preganglion parasimpatik,
membentuk seri jaringan saraf gabungan yang disebut pleksus otonom antara lain
pleksus kardiak , pleksus pulmoner, pleksus esofagal, pleksus celiac (solaris),
pleksus mesenterik inferior, dan pleksus hipogastrik (Gambar 2.3).3

Gambar 2.3 Pleksus Sistem Saraf Otonom (Simpatis dan Parasimpatis)

15
2.3.2 Tonus Otonom

Normalnya, sistem saraf simpatis dan parasimpatis bersifat aktif terus menerus,
dan nilai aktivitas basalnya telah dikenal dengan sebutan tonus simpatis dan tonus
parasimpatis, dimana keduanya disebut tonus otonom. Tonus ini memungkinkan
satu divisi SSO untuk meningkatkan dan menurunkan aktivitas organ.2 Tonus
otonom sangat penting saat adanya innervasi, bahkan lebih penting pada situasi
dimana saat tidak terjadi innervasi dwirangkap. Salah satu contohnya adalah
pada pengaturan kerja jantung, asetilkolin (parasimpatis) menyebabkan
penurunan denyut jantung, sedangkan NE (simpatis) meningkatkan denyut
jantung. Untuk menimbulkan tonus otonom pada jantung, kedua neurotransmitter
tersebut dalam jumlah yang sedikit dilepaskan secara terus menerus walaupun
innervasi parasimpatis mendominasi. Hal ini penting, sehingga pada keadaan
krisis, stimulasi innervasi simpatis dan inhibisi innervasi parasimpatis
meningkatkan denyut jantung semaksimal mungkin.3,5,7

Kontrol simpatis pada diameter pembuluh darah, menunjukkan bagaimana tonus


otonom mengatur aktivitas di perifer dengan baik saat target organ tidak hanya
diinervasi oleh saraf simpatis. Pada keadaan basal, tonus simpatis menjaga agar
hampir semua arteriol sistemik berkontriksi hampir separuh diameter
maksumnya, sehingga arteriol tersebut masih dapat dikonstriksikan dan
divasodilatasi dengan meningkatkan atau menurunkan rangsangan simpatis.2

2.4 Integrasi dan Kontrol Fungsi Otonom

SSO memiliki hirarki refleks untuk mengontrol target organ otonom. Refleks
tersebut dimulai dari lokal, yang meliputi hanya satu bagian neuron, ke regional
yang memerluan mediasi oleh medula spinalis dan ganglia otonom yang
bersangkutan, sampai ke hirarki yang paling kompleks yaitu aksi oleh batang otak
dan pusat-pusat di otak. Secara umum, semakin tinggi tingkat kompleksitasnya
maka semakin refleks tersebut membutuhkan koordinasi oleh respon kedua divisi
SSO dan respon hirarki yang lebih tinggi, serta neuron somatik dan sistem
endokrin juga dapat terlibat.3,14

16
2.4.1 Refleks viseral

Reflek viseral atau yang disebut juga reflek otonom2 terdiri dari reseptor, neuron
sensori, pusat pengolahan (satu atau lebih interneuron), dan dua neuron motorik
viseral. Setiap reflek viseral adalah polisinaptik; baik itu reflek panjang maupun
reflek pendek. 3

Pada reflek panjang (gambar 2.4), neuron sensori polisinaps mengantar informasi
kepada SSP sepanjang akar dorsal nervus spinalis dalam cabang sensori nervus
kranialis, dan dalam nervus otonom yang menginervasi efektor viseral. Tahap
pengolahan melibatkan interneuron di dalam SSP, dan SSO membawa perintah
motorik kepada efektor visceral yang sesuai.3

Reflek pendek (gambar 2.4) memotong jalur ke SSP dimana hal ini melibatkan
neuron sensori dan interneuron sehingga badan selnya berada di dalam ganglia
otonom. Sinaps interneuron dan perintah motorik kemudian disebarkan oleh
serabut postganglion. Reflek pendek mengontrol respon motorik yang sangat
sederhana dengan efek yang terlokalisir. Secara umum, reflek pendek dapat
mengontrol pola aktifitas pada satu bagian kecil dari organ target, dimana reflek
panjang mengkoordinasikan aktifitas pada keseluruhan organ. 3

Pada kebanyakan organ, reflek panjang lebih penting dalam meregulasi aktifitas
viseral, tetapi hal ini tidak berlaku pada salurah pencernaan dan kelenjar yang
berhubungan dimana reflek pendek lebih banyak memberikan kontrol dan
koordinasi. Neuron yang terlibat membentuk sistem saraf enterik. Ganglia pada
dinding saluran pencernaan mengandung badan sel neuron, sensori viseral,
interneuron, dan neuron motorik visceral, dan aksonnya membentuk jaring saraf
yang luas yang disebut sistem saraf enterik yang dapat melakukan pengaturan
terhadap dirinya sendiri tanpa intervensi dari SSP meskipun innervasi
parasimpatis neuron motorik visceral tetap dapat menstimulasi dan
mengkoordinasikan beragam aktifitas pencernaan.3,6,7

Terdapat beberapa reflek otonom pada tubuh kita antara lain reflek otonom
respirasi, fungsi jantung, dan aktifitas visceral yang lain. Divisi parasimpatis

17
memiliki banyak pengaruh dalam reflek otonom dibanding simpatis, oleh karena
efek massal yang ditimbulkan oleh simpatis. 2,3

Gambar 2.4 Refleks Viseral

2.4.2 Pengaturan otonom pada tingkat yang lebih tinggi

Pengaturan sistem saraf otonom memiliki “hirarki pengaturan” dimana


pengaturan terendah adalah medula spinalis dan batang otak. Hipotalamus
memiliki “hirarki: diatas medula spinalis dan batang otak dimana hipotalamus
merupakan “kepala/boss” dari ganglion SSO. Hipotalamus dalam pengaturan
otonom dibagi menjadi dua bagian yaitu area simpatis posteromedial dan area
parasimpatis anterolateral. (clin an 11ed) Pusat yang lebih kompleks di otak
meliputi sistem limbik dan korteks serebral. Keduanya mengontrol sistem saraf
otonom selama stress emosional.4,6,14

Istilah otonom awalnya dipakai karena pusat regulasi terlibat dengan kontrol
fungsi viseral dimana bekerja secara otomatis yang tidak tergantung pada
aktivitas SSP. Gambaran tersebut telah diperbaiki oleh penelitian-penelitian
berikutnya. Aktifitas sistem limbic, thalamus, atau korteks serebral yang memiliki
efek yang besar pada fungsi otonom karena saat mengatur sistem otonom, karena

18
ditemukan bahwa hipotalamus melakukan interaksi dengan bagian-bagian otak
tersebut. Korteks dan amygdala diketahui mempengaruhi otonom seseorang saat
terjadi perubahan emosi.Sebagai contoh, saat sesorang marah, denyut jantung
akan meningkat, tekanan darah naik, dan laju pernafasan meningkat, saat
seseorang mengingat makannya yang terakhir, lambung akan berbunyi dan akan
keluar air liur. 3,5,14

Tiga regio dalam batang otang sangat penting dalam fungsi otonom.
Periaqueductal gray matter pada otak tengah mengkoordinasikan respon otonom
terhadap stimusus nyeri dan dapat memodulasi aktivitas jalur sensori yang
menghantarkan nyeri. Nukleus parabrakial pada pons mengambil bagian dalam
kontrol respirasi dan kardiovaskular. Lokus ceruleus memiliki peran dalam
refleks mikturisi. Nuleus traktur soliterius mendapatkan input aferen dari reseptor
jantung, respirasi, dan gastrointestinal. Medula ventrolateral merupakan pusat
utama kontrol terhadap neuron preganglion simpatis pada medula spinalis dan
eferen vagal juga berasal dari daerah tersebut.5,7,14

Regio periventrikular, medial dan lateral hipotalamus mengontrol ritme


sirkardian, dan fungsi hemostatic seperti termoregulasi , nafsu makan dan rasa
lapar dan haus.5 Area prefrontal medial dan insular korteks serebral adalah area
sensoris dan motoris yang terlibat dengan regulasi fungsi otonom. Amygdala
pada lobus temporal mengkoordinasikan komponen otonom pada respon emosi,
sebagai contoh meningkatnya denyut jantung saat seseorang senang dan
lainsebagainya.15Area hemisfer serebral, diensepalon, batang otak dan medula
spinalis yang terlibat dalam kontrol fungsi otonom secara kolektif disebut
“jaringan” otonom pusat. (Gambar 2.5).5,14

2.4.3 Integrasi aktifitas SSS dan SSO

Meskipun jalur somatik dan viseral dijelaskan secara terpisah keduanya memiliki
banyak persamaan, baik itu pada organisasi maupun fungsi. Integrasi terjadi pada
tingkat batang otak, dan kedua sistem tersebut sama-sama dibawah kontrol pusat
yang lebih tinggi. 3

19
Gambar 2.5 “Jaringan” otonom pusat

Pada fungsi refleks otonom innervasi sensosoris SSS dibutuhkan untuk


menghantarkan input sensori. Innervasi sensori terrhadap organ viseral, pembuluh
darah, dan kulit membentuk cabang aferen reflek otonom. Kebanyakan akson
sensori dari struktur SSO yang diinervasi kebanyakan adalah serabut C yang
tidak bermielin.5

Informasi sensori dari jalur otonom normalnya tidak akan sampai pada tingkat
kesadaran. Sensasi tertentu yang melebihi ambang nyeri dapat diterima secara
samar dan terlokalisir atau dapat juga terasa sebagai struktur somatik daripada
sebagai organ dimana potensial aksi aferen tersebut berasal. Hal ini dapat
dilakukan sebagai pedoman diagnostik pada beberapa penyakit, misalnya
persepsi nyeri pada tangan kiri pada infark miokardial adalah contoh nyeri alih
dari organ viseral. Kejadian ini sering dikenal dengan istilah reffered pain.5,14

20
BAB III

KESIMPULAN

Divisi simpatis meliputi dua set rantai ganglia simpatis di setiap sisi kolumna
vertebra; tiga ganglia kolateral; dan dua medulla adrenal. Serabut preganglion
simpatis dapat menginervasi dua lusin atau lebih neuron ganglionik pada ganglia
yang berbeda, sebagai hasilnya satu neuron motor simpatis pada SSP dapat
mengontrol berbagai macam organ viseral dan dapat menghasilkan respon yang
kompleks dan terkoordinasi. Divisi parasimpatis meliputi nukleus motor viseral
yang berhubungan dengan nervus kranialis III, VII, IX dan X dan segmen sakralis
S2–S4. Neuron ganglionik parasimpatis terdapat di dalam atau dekat dengan
organ target. Hal ini menyebabkan aktivasi parasimpatis mengaktifkan respon
yang spesifik pada organ atau bagian organ tertentu.

Serabut preganglion kedua divisi SSO menghasilkan ACh untuk menstimulasi


serabut postganglion. Serabut potganglion simpatis kebanyakan menghasilkan
NE dan E sehingga simpatis disebut neuron adrenergik, sedangkan parasimpatis
tetap menghasilkan ACh sehingga disebut neuron kolinergik. Efek stimulasi
simpatis dan parasimpatis dipengaruhi oleh reseptor yang dipengaruhinya dan
secondmesengger yang dihasilkan oleh reseptor tersebut. Reseptor simpatis
terdiri dari reseptor alpha dan beta, sedangkan parasimpatis terdiri dari reseptor
nikotinik dan muskarinik, dimana persebarannya menyebabkan perbedaan efek.

Sistem saraf simpatis dan parasimpatis memiliki fungsi yang kebanyakan adalah
berlawanan namun saling berintegrasi satu dengan yang lain interaksi tersebut
dapat dilakukan dengan adanya innervasi dwirangkap organ dan adanya tonus
otonom. Selain itu fungsi SSO juga dipengaruhi oleh pusat pengaturan yang lebih
tinggi untuk melakukan suatu reflek viseral. Pusat pengaturan SSO memiliki
hirarki dari lokal, regional sampai yang kompleks dimana melibatkan Sistem
Saraf Pusat yang disebut dengan “jaringan otonom pusat”. SSO juga tidak dapat
dipisahkan dengan SSS untuk melaksanakan fungsinya terutama dalam
menjalankan reflek viseral.

21
DAFTAR PUSTAKA

1. Barret KE, Barman S, Boitano S, Brooks HL. Ganong’s Review of


Medical Physiology. 23th ed. AS:McGraw-Hill. 2010.
2. Guyton, A. Guyton & Hall Buku Ajar Fisiologi Kedokteran ed-11.
Jakarta:EGC,2007.
3. Martini, FH. Fundamentals of anatomy & Physiology seventh edition. San
Fransisco: Pearson, 2006.
4. Shier D, Butler J, Lewis R. Hole’s Essential of Human anatomy &
Physiology Eleventh Edition. New York: Mc-Graw Hill;2009.
5. Tanner GA, Rhoader RA. Medical Physiology. 2nd ed. Lippincott William
& Wilkins, 2003
6. McCorry, LK. Physiology of the Autonomic Nervous System. American
Journal of Pharmaceutical Education: 71(4);art 78. 2007.
7. Despopoulos A, Silbernagl S. Good Color Atlas of Physiology. 5th ed.
NY: Thieme. 2003
8. Haapalinna A, Leino T, Heinonen E ."The alpha 2-adrenoceptor antagonist
atipamezole potentiates anti-Parkinsonian effects and can reduce the adverse
cardiovascular effects of dopaminergic drugs in rats". Naunyn Schmiedebergs
Arch. Pharmacol. 368 (5): 342–51. 2003.
9. Purves D, Augustine GJ, Fitzpatrick D, et al., editors. Neuroscience. 2nd
edition. Sunderland (MA): Sinauer Associates; 2001. The Parasympathetic
Division of the Visceral Motor System. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK11149/
10. Indra, I. Aktivitas Otonom. Aceh: Junal Kedokteran Syiah Kuala. Vol 12
(12);2012.
11. Rang HP, Dale MM, Ritter JM, Moore PK (2003). "Ch.
10".Pharmacology (5th ed.). Elsevier Churchill Livingstone. p. 139.
12. Edwards Pharmaceuticals, Inc.; Belcher Pharmaceuticals, Inc. (May
2010)."DailyMed". U.S. National Library of Medicine. Retrieved January
13, 2013.

22
13. Richelson, Elliott (2000). "Cholinergic Transduction, Psychopharmacology
- The Fourth Generation of Progress". American College of
Neuropsychopharmacology. Retrieved2007-10-27.
14. Ellis Harold. Clinical anatomy. 11ed. Oxford: Blackwell Pub. 2006.
15. Yang TT, Simmons AN, Paulus MP. Increased Amygdala Activation is
Related to Heart Rate During Emotion Processing in Adolescent Subjects.
Neuroscience Letters. 428(2-3):109-114.2007

23

Anda mungkin juga menyukai