Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH ETIKA TANGGUNG JAWAB PROFESI JAKSA

ETIKA TANGGUNG JAWAB PROFESI


(JAKSA)

NAMA : ISMAWATI LIZA EVANA


KELAS : C1
NO : STAMBUK : 040 2017 0555

FAKUKTAS HUKUM
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

 KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT. Karena berkat rahmat dan
hidayah-Nya jualah, makalah ini berhasil diselesaikan sesuai dengan target waktu yang telah
direncanakan. Shalawat dan salam Penulis persembahkan kepada Nabi besar Muhammad
SAW, beserta segenap keluarga dan sahabatnya yang telah mewariskan berbagai macam
hukum sebagai pedoman umatnya.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan makalah ini banyak
mendapatkan bantuan moril maupun materil dari berbagai pihak. Oleh karena itu Penulis
mengucapkan banyak terima kasih kepada sahabat-sahabat yang telah memberikan suport dan
motifasi kepada penulis.
Dalam pembuatan makalah ini, penulis menyadari bahwa masih banyak terdapat
kekurangan baik dari penjelasan materi dan penulisan. Namun penulis telah berusaha keras
untuk menyelesaikan tugas yang telah di bebankan kepada penulis dan mencoba memberikan
hasil yang semaksimal mungkin.

DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL................................................................................................
KATA PENGANTAR..............................................................................................
DAFTAR ISI.............................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................
A.    Latar Belakang...............................................................................................
B.     Rumusan Masalah..........................................................................................
BAB II PEMBAHASA.............................................................................................
A.    Pengertian Etika Tnggung Jawab Profesi......................................................
B.     Tugas dan Wewenang Jaksa..........................................................................
C.     Kode Etik Jaksa.............................................................................................
D.    Sumpah Jaksa.................................................................................................
E.     Sanksi Jaksa Yang Melanggar Kode Etik......................................................
BAB III PENUTUP..................................................................................................
1.      Kesimpulan....................................................................................................
2.      Saran..............................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................

 BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Indonesia sebagai Negara yang meletakkan hokum sebagai kekuatan tertinggi
berlandaskan pancasila dan undang-undang dasar 1945 telah memberikan jaminan bagi
seluruh warga negaranya untuk mendapatkan kepastian, ketertiban dan perlindungan hokum
yang berintikan pada kebenaran dan keadilan. Jaminan kepastian, ketertiban dan
perlindungan hokum tersebut tentunya membutuhkan upaya konkrit agar terselenggarakan
dengan seksama sebagai bentuk pertanggung jawaban Negara bagi kemakmuran seluruh
rakyat Indonesia
Dalam rangka penegakan supermasi hukum di Indonesia perlu suatu badan atau
perangkat yang bertindak menyidik dan penyelidikan tentang pelanggaran yang dilakukan
oleh orang, atau lebih dan badan hukum, maka dalam hal ini Polisi, Jaksa, atau pejabat yang
berwenang. Badan – badan tersebut saling berkaitan dan bekerjasama. Dan lebih khususnya
yang dibahas dalam makalah ini adalah Tugas dan Wewenang Jaksa.
Pada dasarnya setiap orang mempunyai kebebasan untuk berucap, bertindak,
berperilaku atau untuk mengerjakan pekerjaan yang menjadi kesenangan sesuai dengan
keahliaanya dalam rangka mencapai tujuan hidupnya. Namun setiap orang untuk mencapai
tujuan hidupnya itu, agar dia bias hidup tentram, tertib, teratur dan aman dan damai serta
tidak diganggun orang lain, ia dituntut mentaati batasan-batasan atau etika dalam pergaulan
hidupnya dengan orang lain yang ada disekitarnya. Setiap orang dituntut untuk tidak
merugikan orang lain dan harus mempertanggung jawabkan terhadap apa yang ia lakukan.
Jaksa berdasarkan undang undang nomor 16 tahun 2004 tentang kejaksaan republic
Indonesia yang dimaksud jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh
undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksanaan putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hokum tetap serta wewenang lain berdasarkan undang-
undang.
Lembaga Kejaksaan adalah lembaga negara yang bertugas untuk mewakili negara
dalam menegakkan hukum khususnya dalam bidang peradilan. Lembaga Kejaksaan dalam
melaksanakan tugas dan wewenangnya harus mampu mewujudkan kepastian hukum,
ketertiban hukum, keadilan, dan kebenaran berdasarkan hukum dan mewujudkan norma-
norma keagamaan, kesopanan, dan kesusilaan serta wajib menggali nilai-nilai kemanusiaan,
hukum, dan keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Menghindari istilah “Mafia Peradilan”, cukup sulit dilakukan. Karena, istilah tersebut
sudah populer di kalangan masyarakat. Bagaimana tidak, Lembaga Kejaksaan yang harusnya
menegakkan hukum justru menggunakan hukum sebagai ladang keuntungan secara pribadi
dengan melelang keadilan dan hukum semurah-murahnya di pasar bebas. Dampaknya, nilai-
nilai keluhuran hukum tidak lagi dijunjung tinggi. Ironisnya, sistem peradilan menjadi jauh
dari asas-asas peradilan. Biaya menjadi membengkak, waktu lama, dan bertele-tele. Jika,
uang yang dikeluarkan sedikit (kurang) maka hukuman yang didapatkan menjadi berat dan
masa kurungan penjara menjadi lama. Ini semua, menggambarkan betap hukum itu dijadikan
komoditas lahan usaha untuk aparat penegak hukum.
Secara yuridis formal, Kejaksaan R.I. telah ada sejak kemerdekaan Indonesia
diproklamasikan, yakni tanggal 17 Agustus 1945. Dua hari setelahnya, yakni tanggal 19
Agustus 1945, dalam rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) diputuskan
kedudukan Kejaksaan dalam struktur Negara Republik Indonesia, yakni dalam lingkungan
Departemen Kehakiman.
Dalam Undang-Undang No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI, Pasal 2 ayat (1)
ditegaskan bahwa “Kejaksaan R.I. adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan
negara dalam bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang”.
Kejaksaan sebagai pengendali proses perkara (Dominus Litis), mempunyai kedudukan sentral
dalam penegakan hukum, karena hanya institusi Kejaksaan yang dapat menentukan apakah
suatu kasus dapat diajukan ke Pengadilan atau tidak berdasarkan alat bukti yang sah menurut
Hukum Acara Pidana. Disamping sebagai penyandang Dominus Litis, Kejaksaan juga
merupakan satu-satunya instansi pelaksana putusan pidana (executive ambtenaar). Karena
itulah, Undang-Undang Kejaksaan yang baru ini dipandang lebih kuat dalam menetapkan
kedudukan dan peran Kejaksaan RI sebagai lembaga negara pemerintah yang melaksanakan
kekuasaan negara di bidang penuntutan.
Oleh karena itu, dalam makalah ini penulis akan menjelaskan sedikit tentang hal-hal
yang berhubungan dengan kejaksaan.

B.       Rumusan Masalah
1.      Bagaimana pengertian etika dan profesi
2.      Bagaimana bentuk tugas dan wewenang kejaksaan dalam menyelesaikan suatu perkara?

C.      Tujuan
1.      Mengetahui pengertian etika dan profesi
2.      Mengetahui  bentuk tugas dan wewenang kejaksaan dalam menyelesaikan suatu perkara?
3.      Mengetahui  bentuk kode etik, sumpah, serta sanksi dan semua hal yang mencakup kineja
profesi kejaksaan?
BAB II
PEMBAHASAN
A.      Pengertian Etika Dan Profesi
1.      Pengertian Etika
Etika bagi setiap profesi termasuk profesi hokum berkaitan dengan norma kehidupan
antar manusia, yang sangat erat hubungannya dengan masalah hak asasi manusia (human
right) hak asasi manusia adalah hak dasar anugerah tuhan yang melekat sejak lahir, esensi
etika adalah norma hidup antara manusia supaya manusia yang satu memperlakukan manusia
lainnya sebagai manusia, demikian pula sebaliknya., masing masing manusia melaksanakan
kewajibannya dan mereka menghormat, menghargai hak keluhuran manusia lainnya.
Istilah etika berasal dari bahasa yunani, dari kaa ethikos dengan ethos yang berarti
adat,. kebiasaan, praktek,. Dalam kamus Webster new world dictionary, disebutkan kata ethic
atau ethos, etika adalah sikap kebiasaan atau kepercayaan dan sebagainya dari seseorang atau
suatu kelompok orang yang menjadikan ciri pembeda dengan orang dengan kelompok lain.
Istilah etika menghubungkan penggunaan akal budi perseorangan dengan tujuan
untuk menentukan kebenaran atau kesalahan dan tingkah laku seseorang terhadap orang lain.
Macam macam etika yang dilihat dari pendekatan dalam kajian ilmiah tentang moralitas
a.       Etika deskriftip adalah melukiskan tingkah laku moral dalam arti luas yang ersat hubungan
dengan antropologi, sosiologi, dan psikologi dan bersandar pada ketiganya. Etika ini
mempelajari dan menguraikan moral sesuatu masyarakat, kebudayaan dan bangsa tertentu
dalam suatu periode, sejarah, melukiskan adat istiadat, anggapan anggapan tentang baik dan
buruk, tindakan-tindakan yang di perbolehkan dan dilarang. Ia juga membandingkan dan
menghadapkan system moral, kode-kode, praktek, dan nilai nilai yang berbeda-beda. Dia
hanya melukiskan dan tidak memberikan penilaiaan.
b.       Etika normative secara sistematis berusaha menyajikan serta membenarkan suatu system
moral. Bahwa para ahli tidak bertindak sebagai penonton saja, sebagai dalam etika deskriptif,
tetapi melibatkan diri dengan memberikan penilaiaan tentang perilaku manusia. Etika normati
tidak deskriftip melainkan preskriktif (memerintahka), tidak melukiskan melainnkan
menentukan. Benar tidaknya tingkah laku dan anggapan moral. Etika normatif berusaha
mengembangkan serta membenarkan prinsip dasar moral atau nilai nilai dasar sesuatu system
moral. System itu sendiri terdiri dari prinsip atau nilai dasar moral dan aturan aturan moral
yang khusunya menguasai perilaku manusia dalam arti menghapuskan tindakan-tindakan
yang buruk atau tidak bermoral tetapi juga menganjurkan perilaku yang moral. Peraturan dan
nilai nilai inilah yang membentuk norma-norma moral sesuatu masyarakat.
c.       Metaetika erat hubungan dengan etika normative. Sampai taraf tertentu etika normati dan
etika deskriptif mencakup juga kegiatan metaetika. Metaetika adalah study tentang etikan
normati. Metaetika biasa disebut etika analitis, karena ia menganalisis. Etika ini mengkaji
makna istilah-istilah moral dan logika dari penalaran moral. Ia menanyakan misalnya apakah
yang dimaksud dengan istilah baik dan buruk. Dalam arti moral dan apakah yang dimaksud
dengan tanggung jawab moral, kewajiban moral dan pengertian sejenis itu. Makna suatu
istilah tentang moral erat hubungan dengan pemakaiaan sehari-hari.

2.       Pengertian tanggung jawab


Kata tanggung jawab berkaitan kata jawab atau response (inggris) beberapa
pengertian tanggunga atau resposebility (inggris) dapat di lihat sebagai berikut:
1.       Tanggung jawab keadaan wajib menanggung segala sesuatunya ( kalau terjadi apa-apa
boleh di tuntut,di persalahkan diperkarakan dan di persalahkan.
2.       Tanggunga jawab (responsibility adalah kewajiban dalam tugas tertentu tanggung jawab
timbul setelah di terima wewenang.
3.      “menurut Lorensbagus tanggung jawab adalah konsekuensi niscaya dari kehendak bebas
manusia dan inputability (ketergugatan) yang berlandaskan kehendak bebas. Karena
inputability ini pribadi moral selaku sebab penentu perbuatannya baik dan jahat, harus
memberikan jawaban terhadap perbuatan itu dihadapan suara hatinya sendiri, dihadapan
penilaiaan (putusan) moral orang orang lain dan khususnya dalam hadapan penilaiaan ilahi.
Dia juga harus menerima konsekuensi dari tindakannya yang tidak bisa dielakkan. Yang
memikul tanggung jawab adalah pribadi yang mampu bertindak secara moral. Objek
tanggung jawab adalah tindakan yang sungguh sungguh manusiawi yang bertolak dari bagian
manusia yang rohani melalui kehendak bebas.
1.      Pengertian profesi
Profesi adalah suatu moral community (masyarakat moral) yang memiliki cita-cita
dan nilai-nilai bersama. Mereka yang membentuk suatu profesi disatukan juga karena latar
belakang pendidikan yang sama dan bersama-sama memiliki keahlian yang tertutup bagi
orang lain. Dengan demikian profesi menjadi suatu kelompok yang mempunyai kekuasaan
tersendiri dan Karena itu mempunyai tanggung jawab khusus. Karena memiliki monopoli
atas suatu keahlian tertentu, selalu ada bahaya profesi menutup diri bagi orang dari luar dan
menjadi suatu kalangan yang sungkar ditembus. Bagi klien yang mempergunakan jasa profesi
tertentu keadaan seperti itu dapat mengakibatkan kecurigaan jangan jangan dipermainkan.
Kode etik dapat mengimbangi negatif profesi ini.
Ciri-ciri profesi menurut budi santoso meliputi:
·         Suatu bidang yang teroganisir dari jenis intelektual yang terus menerus dan berkembangan
dan diperluas.
·         Suatu teknis intelektual
·         Penerapan praktis dari etnis intelektual pada urusan praktis.
·         Suatu  periode panjang untuk pelatihan dan sertifikasi
·         Beberapa standar dan pernyataan etika yang dapat diselanggarakan
·         Kemampuan memberikan kepemimpinan pada profesi sendiri
·         Asosiasi dari anggota-anggota profesi yang menjadi suatu kelompok yang akrab dengan
kualitas komunikasi yang tinggi antara anggota
·         Pengakuan sebagai profesi
·         Perhatian professional terhadap penggunaan yang bertanggung jawab dari pekerjaan
profesi
·         Hubungan erat dengan profesi lain.
Berdasarkan Kriteria diatas maka profesi menurut budi santoso bahwa profesi adalah
pekerjaan tetap bidang tertentu berdasarkan keahlian khusus yang dilakukan secara
bertanggung jawab dengan tujuan memperoleh penghasilan. Orang atau pekerja yang
menjalankan profesi disebut professional.
Kajian etika profesi termasuk dalam kajian etika social. Yaitu kajian tentang
kewajiban dan tanggung jawab moral manusia dalam kedudukan individunya sebagai anggota
(bagian) dari masyarakat (social).
Pengertian profesi dapat dibedakan menjadi :
1.      Profesi pada umumnya, adalah pekerjaan yang dilakukan sebagai kegiatan pokok untuk
menghasilkan nafkah hidup dan yang mengandalkan suatu keahlian yang khusus. Persyaratan
adanya keahlian yang khusus inilah yang membedakan antara pengertian profesi dengan
pekerjaan walaupun bukan menjadi garis pemisah yang tajam antara keduanya. Uraian
pengertian profesi tersebut merupakan profesi pada umumnya.
2.      Profesi luhur atau profesi mulia adalah profesi yang pada hakikatnya merupakan suatu
pelayanan pada manusia atau masyarakat. Orang yang melaksanakan profesi luhur sekalipun
mendapatkan nafkah dan pekerjaannya, namun itu bukanlah motivasi utamanya. Yang
menjadikan motivasi utamanya adalah kesediaan dan keinginan untuk melayani, membantu
sesama umat manusia berdasakan keahliannya
Tugas dan Wewenang Jaksa
Memperhatikan kedudukan jaksa yang sangat strategis dalam penegakan Hukum di
Indonesia, Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang 16 tahun 2004 menegaskan bahwa : “Jaksa
adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk bertindak
sebagai penuntut umum dan pelaksana putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan undang-undang.”
Mengacu pada UU, maka  pelaksanaan kekuasaan negara yang diemban oleh
Kejaksaan, harus dilaksanakan secara merdeka. Penegasan ini tertuang dalam Pasal 2 ayat (2)
UU No. 16 Tahun 2004, bahwa Kejaksaan adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan
kekuasaan negara di bidang penuntutan secara merdeka. Artinya, bahwa dalam melaksanakan
fungsi, tugas dan wewenangnya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh
kekuasaan lainnya. Ketentuan ini bertujuan melindungi profesi jaksa dalam melaksanakan
tugas profesionalnya.
UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan R.I. Telah mengatur tugas dan wewenang
Kejaksaan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 30, yaitu :
1.      Di bidang pidana, Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang:
a)      Melakukan penuntutan;
b)      Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap;
c)      Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana
pengawasan, dan keputusan bersyarat;
d)     Melaksanakan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang;
e)      Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan
sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan
penyidik.
2.      Di bidang perdata dan tata usaha negara, Kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak di
dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerinta
3.      Dalam bidang ketertiban dan ketentraman umum, Kejaksaan turut menyelenggarakan
kegiatan:
a)      Peningkatan kesadaran hukum masyarakat;
b)      Pengamanan kebijakan penegakan hukum;
c)      Pengamanan peredaran barang cetakan;
d)     Pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara;
e)      Pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama;
f)       Penelitian dan pengembangan hukum statistik kriminal.
2.      Kode Etik Jaksa
Kode etik jaksa serupa dengan kode etik profesi yang lain. Mengandung nilai-nilai
luhur dan ideal sebagai pedoman berperilaku dalam satu profesi. Yang apabila nantinya dapat
dijalankan sesuai dengan tujuan akan melahirkan jaksa-jaksa yang memang mempunyai
kualitas moral yang baik dalam melaksanakan tugasnya. Sehingga kehidupan peradilan di
Negara kita akan mengarah pada keberhasilan.
Dalam dunia kejaksaan di Indonesia terdapat norma kode etik profesi jaksa, yang
disebut TATA KRAMA ADHYAKSA, yaitu:
1.      Jaksa adalah insan yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa yang
tercermin dari kepribadian yang utuh dalam pemahaman penghayatan dan pengamalan
Pancasila
2.      Jaksa yang cinta tanah air dan bangsa senantiasa mengamalkan dan melestarikan Pancasila
serta secara aktif dan kreatif menjadi pelaku pembangunan hukum dalam mewujudkan
masyarakat adil  dan makmur yang berkeadilan
3.      Jaksa mengutamakan kepentingan masyarakat, bangsa  dan negara daripada kepentingan
pribadi atau golongan.
4.      Jaksa mengakui adanya persamaan derajat, hak dan kewajiban antara sesama pencari
keadilan serta menjunjung tinggi asas praduda tak bersalah, disamping asas-asas hukum yang
berlaku.
5.      Jaksa dalam melaksanakan tugas dan kewajiban melindungi kepentingan umum sesuai
dengan praturan perUndang-Undangan  dengan mengindahkan norma-norma keagamaan,
ksopanan dan kesusilaan serta menggali nilai-nilai kemanusiaan, hukum dan keadilan yang
hidup dalam masyarakat.
6.      Jaksa senantiasa berupaya meningkatkan kualitas pengabdiannya dengan mengindahkan
disiplin ilmu hukum, memantapkan pengetahuan dan keahlian hukum serta memperluas
wawasan dengan mengikuti perkembangan dan kemajuan masyarakat.
7.      Jaksa brlaku adil dalam memberikan pelayanan kepada pencari keadilan.
8.      Jaksa dalam melaksanakan tugas dan kewajiban senantiasa memupuk serta mngembangkan
kemampuan profesional integritas pribadi dan disiplin yang tinggi.
9.      Jaksa menghormati adat kebiasaan setempat yang tercermin dari sikap dan prilaku baik di
dalam maupun diluar kedinasan.
10.  Jaksa terbuka untuk mnerima kebenaran, bersikap mawas diri, berani bertanggungjawab dan
dapat menjadi teladan dilingkungannya.
11.  Jaksa  berbudi luhur serta berwatak mulia, setia dan jujur, arif dan bijaksana dalam tata fikir,
tutur dan laku.
12.  Jaksa wajib menghormati dan mematuhi kode etik jaksa serta mengamalkan secara nyata
dalam lingkungan kedinasan maupun dalam pergaulan masyarakat.
Dalam usaha memahami maksud yang terkandung dalam kode etik jaksa tidaklah
terlalu sulit. Kata-kata yang dirangkaikan tidak rumit sehingga cukup mudah untuk
dimengerti. Karena kode etik ini disusun dengan tujuan agar dapat dijalankan. Kemampuan
analisis yang dikembangkan bukan lagi semata-mata didasari pendekatan-pendekatan yang
serba legalitas, positivis dan mekanistis. Sebab setiap perkara sekalipun tampak serupa,
bagaimanapun tetap memiliki keunikan tersendiri. Sebagai penuntut, seorang jaksa dituntut
untuk mampu merekosntruksi dalam pikiran peristiwa pidana yang ditanganinya. Tanpa hal
itu, penanganan perkara tidaklah total, sehingga sisi-sisi yang justru penting bisa jadi malah
terlewatkan. Memang bukan persoalan mudah untuk memahami sesuatu, peristiwa yang kita
sendiri tidak hadir pada kejadian yang bersangkutan, apalagi jika berkas yang sampai sudah
melalui tangan kedua (dengan hanya membaca berita acara pemeriksaan atau BAP dari
kepolisian). Jika pada tingkat analisis telah menderita keterbatasan-keterbatasan, maka
sebagai konsekuensi logisnya kebenaran yang hendak kita tegakkan tidaklah dapat diraih
secara bulat. Tidak adanya faktor tunggal, menyebabkan setiap perkara memiliki keunikan
sendiri.
Di dalam mengemban profesi, usaha-usaha yang dilakukan oleh jaksa bukan hanya
untuk memenuhi unsur-unsur yang terkandung dalam ketentuan hukum semata, melainkan
apa yang sesungguhnya benar-benar terjadi dan dirasakan langsung oleh masyarakat juga
didengar dan diperjuangkan. Inilah yang dinamakan pendekatan sosioligis. Memang tidak
mudah bagi jaksa untuk menangkap suara yang sejati yang muncul dari sanubari anggota
masyarakat secara mayoritas. Di samping masyarakat Indonesia yang heterogen, kondisi yang
melingkupinya pun sedang dalam keadaan yang tidak sepenuhnya normal.
Menurut kami (penulis), Kode Etik Jaksa adalah serangkaian norma sebagai pedoman
untuk mengatur perilaku Jaksa dalam menjalankan jabatan profesi, menjaga kehormatan dan
martabat profesinya serta menjaga hubungan kerjasama dengan penegak hukum lainnya.

3.      Sumpah Jaksa
Seorang jaksa sebelum memangku jabatannya, harus mengikrarkan dirinya
bersumpah/berjanji sebagai pertanggungjawabab dirinya kepada negara, bangsa dan
lembaganya. Dalam Pasal 10 Undang-Undang No. 16 tahun 2004 dinyatakan bahwa :
“saya bersumpah/berjanji :
Bahwa saya akan setia kepada dan mempertahankan NKRI, serta mengamalkan
Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, serta melaksanakan peraturan per Undang-Undangan yang berlaku bagi Negara
Republik Indonesia.
Bahwa saya senantiasa menjunjung tinggi dan akan menegakkan hukum, kebenaran dan
keadilan, serta senantiasa menjalankan tugas dan wewenang dalam jabatan saya ini dengan
sungguh-sungguh, saksama, objektif, jujur, berani, profesional, adil, tidak membeda-
bedakan, agama, ras, gender, dan golongan tertentu dan akan melaksanakan kewajiban saya
dengan sebaik-baiknya, serta bertanggung jawab sepenuhnya kepada Tuhan Yang Maha
Esa, masyarakat, bangsa, dan negara.
Bahwa saya akan senantiasa menolak atau tidak menerima atau tidak mau dipengaruhi
oleh campur tangan siapa pun juga dan saya akan tetap teguhmelaksanakan tugas dan
wewenang saya yang diamanatkan Undang-Undang kepada saya.
Bahwa saya dengan sungguh-sungguh, untuk melaksanakan tugas ini, langsung atau
tidak langsung, dengan menggunakan nama atau cara apapun juga, tidak memberikan atau
menjanjikan sesuatu apa pun kepada siapa pun juga. Bahwa saya untuk melakukan atau
tidak melakukan sesuatu dalam tugas ini, tidak sekali-kali akan menerima langsung atau
tidak langsung dari siapa pun juga suatu janji atau pemberian.”

ETIKA PROFESI JAKSA


Kode etik jaksa serupa dengan kode etik profesi yang lain. Mengandung nilai-nilai
luhur dan ideal sebagai pedoman berperilaku dalam satu profesi. Yang apabila nantinya dapat
dijalankan sesuai dengan tujuan akan melahirkan jaksa-jaksa yang memang mempunyai
kualitas moral yang baik dalam melaksanakan tugasnya. Sehingga kehidupan peradilan di
Negara kita akan mengarah pada keberhasilan.
Sebagai komponen kekuasaan eksekutif di bidang penegak hukum, adalah tepat jika
setelah kurun waktu tersebut, kejaksaan kembali merenungkan keberadaan institusinya,
sehingga dari perenungan ini, diharapkan dapat muncul kejaksaan yang berparadigma baru
yang tercermin dalam sikap, pikiran dan perasaan, sehingga kejaksaan tetap mengenal jati
dirinya dalam memenuhi panggilan tugasnya sebagai wakil negara sekaligus wali masyarakat
dalam bidang penegakan hukum.
Kejaksaan merupakan salah satu pilar birokrasi hukum tidak terlepas dari tuntutan
masyarakat yang berperkara agar lebih menjalankan tugasnya lebih profesional dan memihak
kepada kebenaran. Sepanjang yang diingat, belum pernah rasanya kejaksaan di dalam
sejarahnya sedemikian merosot citranya seperti saat ini . Sorotan serta kritik-kritik tajam dari
masyarakat, yang diarahkan kepadanya khususnya kepada kejaksaan, dalam waktu dekat
tampaknya belum akan surut, meskipun mungkin beberapa pembenahan telah dilakukan.
Sepintas lalu, masalah yang menerpa kejaksaan mungkin disebabkan merosotnya
profesionalisme di kalangan para jaksa, baik level pimpinan maupun bawahan. Keahlian, rasa
tanggung jawab, dan kinerja terpadu yang merupakan ciri-ciri pokok profesionalisme
tampaknya mengendur. Sebenarnya, jika pengemban profesi kurang memiliki keahlian, atau
tidak mampu menjalin kerja sama dengan pihak-pihak demi kelancaran profesi atau
pekerjaan harus dijalin, maka sesungguhnya profesionalisme itu sudah mati, kendatipun yang
bersangkutan tetap menyebut dirinya sebagai seorang profesional. Hal yang kerap
memprihatinkan ialah rasa keadilan masyarakat atau keadilan itu sendiri, tidak dapat
sepenuhnya dijangkau perangakat hukum yang ada. Pada ujungnya, keadilan itu bergantung
pada aparat penegak hukum itu sendiri, bagaimana mewujudkannya secara ideal. Di sinalah
maka penegak hukum itu menjadi demikian erat hubungannya dengan perilaku, khususnya
aparat penegak hukum, antara lain termasuk jaksa. Hukum bukan sesuatu yang bersifat
mekanistis, yang dapat berjalan sendiri. Hukum bergantung pada sikap tindak penegak
hukum. Melalui aktivasi penegak hukum tersebut, hukum tertulis menjadi hidup dan
memenuhi tujuan-tujuan yang dikandungnya.
Profesionalisme seorang jaksa sungguh sangat penting dan mendasar, sebab
sebagaimana disebutkan di atas, bahwa antara lain di tangannyalah hukum menjadi hidup,
dan karena kekuatan atau otoritas. Mungkin bagi orang yang berpikiran normatif, ungkapan
ini agak berlebihan. Akan tetapi, secara sosiologis hal ini tidak dapat dimungkiri
kebenarannya, bahkan beberapa pakar sosiologi hukum acap menyebutkan bahwa hukum itu
tidak lain adalah perilaku pejabat-pejabat hukum.
Agar keahlian yang dimiliki seorang jaksa tidak menjadi tumpul, maka kemampuan
yang sudah dimilikinya seyogianya harus selalu diasah, melalui proses pembelajaran ini
hendaknya ditafsirkan secara luas, di mana seorang jaksa dapat belajar melalui pendidikan-
pendidikan formal atau informal, maupun pada pengalaman-pengalaman sendiri. Karena
hukum yang menjadi lahan pekerjaan jaksa merupakan sistem yang rasional, maka keahlian
yang dimiliki olehnya melalui pembelajaran tersebut, harus bersifat rasional pula. Sikap
ilmiah melakukan pekerjaan ditandai dengan kesediaan memperguanakan metodologi modern
yang demikian, diharapkan dapat mengurangi sejauh mungkin sifat subjektif seorang jaksa
terhadap perkara-perkara yang harus ditanganinya.
Dalam dunia kejaksaan di Indonesia terdapat lima norma kode etik profesi jaksa,
yaitu:
a.       Bersedia untuk menerima kebenaran dari siapapun, menjaga diri, berani, bertanggung
jawab dan dapat menjadi teladan di lingkungannya. Mengamalkan dan melaksanakan
pancasila serta secara aktif dan kreaatif dalam pembangunan hukum untuk mewujudkan
masyarakat adil.
b.      Bersikap adil dalam memberikan pelayanan kepada para pencari keadilan.
c.       Berbudi luhur serta berwatak mulia, setia, jujur, arif dan bijaksana dalam diri, berkata dan
bertingkah laku.
d.      Mengutamakan kepentingan bangsa dan Negara daripada kepentingan pribadi atau
golongan.
Dalam usaha memahami maksud yang terkandung dalam kode etik jaksa tidaklah
terlalu sulit. Kata-kata yang dirangkaikan tidak rumit sehingga cukup mudah untuk
dimengerti. Karena kode etik ini disusun dengan tujuan agar dapat dijalankan. Kemampuan
analisis yang dikembangkan bukan lagi semata-mata didasari pendekatan-pendekatan yang
serba legalitas, positivis dan mekanistis. Sebab setiap perkara sekalipun tampak serupa,
bagaimanapun tetap memiliki keunikan tersendiri. Sebagai penuntut, seorang jaksa dituntut
untuk mampu merekosntruksi dalam pikiran peristiwa pidana yang ditanganinya. Tanpa hal
itu, penanganan perkara tidaklah total, sehingga sisi-sisi yang justru penting bisa jadi malah
terlewatkan. Memang bukan persoalan mudah untuk memahami sesuatu, peristiwa yang kita
sendiri tidak hadir pada kejadian yang bersangkutan, apalagi jika berkas yang sampai sudah
melalui tangan kedua (dengan hanya membaca berita acara pemeriksaan atau BAP dari
kepolisian). Jika pada tingkat analisis telah menderita keterbatasan-keterbatasan, maka
sebagai konsekuensi logisnya kebenaran yang hendak kita tegakkan tidaklah dapat diraih
secara bulat. Tidak adanya faktor tunggal, menyebabkan setiap perkara memiliki keunikan
sendiri.
Di dalam mengemban profesi, usaha-usaha yang dilakukan oleh jaksa bukan hanya
untuk memenuhi unsur-unsur yang terkandung dalam ketentuan hukum semata, melainkan
apa yang sesungguhnya benar-benar terjadi dan dirasakan langsung oleh masyarakat juga
didengar dan diperjuangkan. Inilah yang dinamakan pendekatan sosioligis. Memang tidak
mudah bagi jaksa untuk menangkap suara yang sejati yang muncul dari sanubari anggota
masyarakat secara mayoritas. Di samping masyarakat Indonesia yang heterogen, kondisi yang
melingkupinya pun sedang dalam keadaan yang tidak sepenuhnya normal.
Profesi jaksa adalah profesi yang sangat mulia, mewakili negara dalam penegakan
hukum dalam peradilan. Posisi ini sangat penting sekaligus rawan berbagai penyimpangan.
Profesi Jaksa adalah profesi yang luhur, sehingga untuk dapat mengemban tugasnya dengan
baik harus ada ketentuan yang mengaturnya yaitu berdasarkan Surat Keputusan Jaksa Agung
Tentang Penyempurnaan Doktrin Kejaksaan Tri Krama Adhyaksa, Nomor : Kep-
030/J.A./3/1988. Tugas dan wewenang kejaksaan di atur dalam Undang-Undang No. 16
Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia, yaitu : Di bidang pidana, Di bidang
perdata dan tata usaha Negara, dan dalam bidang ketertiban dan ketenteraman umum.
Sebagai kelengkapan dari pembinaan dan etika profesi sebagai jaksa, berdasarkan
keputusan jaksa agung nomor Kep-074/J.A./7/1978 tanggal 17 Juli 1978, disahkan Panji
Adhyaksa. Panji ini merupakan perangkat kejaksaan, lambang kebanggaan korps, lambing
cita-cita kejaksaan dan mengikat jiwa korps kejaksaan.
Pada panji tersebuit terdapat lambing korps kejaksaan, berbentuk lukisan yang terdiri
dari tiga buah bintang bersudut tiga, Pedang, timbangan, setangkai padi dengan jumlah 17
butir dan kelopak bungan kapas sejumlah 8 buah melingkari pedang dan timbangan
ditengahnya. Dibawahnya terdapat seloka berbunyi Satya Adhi Wicaksana.
Selanjutnya berdasarkan keputusan jaksa agung no. kep-052/J.A./8/1979 yang
disempurnakan oleh keputusan Jaksa Agung No. kep-030/J.A./1988 ditetapkan doktrin
kejaksaan tri karma adhyaksa, sebagai pedoman yang menjiwai setiap warga kejaksaan.
Doktrin tersebut kemudian dijabarkan dalam kode etik jaksa yang diterbitkan oleh pengurus
pusat persatuan jaksa pada tanggal 15 Juni 1993 yang disebut tata karma adhyaksa, terdiri
atas pembukaan dan 17 pasal.
Dalam rangka mewujudkan jaksa yang memiliki integritas kepribadian serta disiplin
tinggi guna melaksanakan tuigas penegakan hokum dalam rangka mewujudkan keadilan dan
kebenaran, maka dikeluarkanlah kode prilaku jaksa sebagaimana tertuang dalam peraturan
jaksa agung RI (PERJA) No. : Per-067/A/JA/07/2007 tanggal 12 Juli 2007.
Bahwa nama Jaksa atau Yaksa berasal dari India dan gelar itu di Indonesia diberikan
kepada pejabat yang sebelum pengaruh hukum Hindu masuk di Indonesia, sudah biasa
melakukan pekerjaan yang sama. Sedangkan menurut DR.Saherodji kata Jaksa berasal dari
bahasa Sansekerta yang berarti Pengawas (Super-itedant) atau pengontrol yaitu pengawas
soal-soal kemasyarakatan. Dengan demikian menjadi jelas bahwa jika ditinjau dari sudut
etimologi bahasa atau asal usul perkataan Jaksa, nampaknya memang sangat luas
pengertiannya.
Jaksa sebagai pejabat publik senantiasa menunjukkan pengabdiannya melayani publik
dengan mengutamakan kepentingan umum, mentaati sumpah jabatan, menjunjung tinggi
doktrin Tri Krama Adhyaksa, serta membina hubungan kerjasama dengan pejabat publik
lainnya.
Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk
bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksana putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan undang-undang. Jaksa adalah pejabat
fungsional dari lembaga pemerintahan, dimana pengangkatan dan pemberhentian jaksa tidak
dilakukan oleh kepala negara, tetapi oleh Jaksa Agung sebagai atasannya.
Penuntut Umum adalah Jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk
melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim. Jabatan fungsional Jaksa adalah
jabatan yang bersifat keahlian teknis dalam organisasi kejaksaan yang karena fungsinya
memungkinkan kelancaran pelaksaan tugas kejaksaan.
Kejaksaan adalah lembaga pemerintah pelaksana kekuasaan Negara yang mempunyai
tugas dan wewenang di bidang penuntutan dalam penegakan hukum dan keadilan di
lingkungan peradilan umum yang bertujuan memelihara kesatuan kebijakan di bidang
penuntutan. Kejaksaan adalah lembaga yang di pimpin oleh Jaksa Agung yang
mengendalikan pelaksanaan tugas dan wewenang kejaksaan dan di bantu oleh seorang Wakil
Jaksa Agung.
Kejaksaan adalah alat Negara yang digunakan sebagai penegak hukum. Tugas
utamanya adalah  sebagai penuntut umum. Menjunjung tinggi hak-hak asasi rakyat dan
kejaksaan merupakan lembaga yang satu dan tidak dapat di pisah-pisahkan.
  
BAB III
PENUTUP
A.      KESIMPULAN
Dalam Undang-Undang No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI, Pasal 2 ayat (1)
ditegaskan bahwa “Kejaksaan R.I. adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan
negara dalam bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang”. Sudah
jelas bahwajaksa mempunyai wewenang untuk menyelesaikan suatu perkara baik pidana
maupun perdata.
Pemerintah memberikan wewenang kepada kejaksaan bukan semerta-merta. tetapi
banyak hal yang mengikat kinerja profesi hukum kejaksaan seperti menaati kode etik serta
berani untuk mengucapkan sumpah dan siap menerima konsekwensi jika perbuatan mereka
keluar/melenceng dari prosedur kinerja tugas profesinya. Sebagai penuntut, seorang jaksa
dituntut untuk mampu merekosntruksi dalam pikiran peristiwa pidana yang ditanganinya.

B.       SARAN
Demikianlah makalah singkat ini, penulis berharap agar semua pelaku profesi hukum
baik kejaksaan, kepolisian, dll, agar kiranya dapat menaati kode etik, sumpah, dsb. Agar
kinerja profesi hukum terutama kejaksaan bisa berjalan sesuai dengan yang diharapkan
masyarakat, sebab kejaksaan mempunyai perang penting dalam menyelesaikan suatu perkara.
Untuk menghindari suap, korupsi, dll harapnya jaksa mampu bersifat tegas dan
mementingkan kepentingan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Thalib, Teori & Filsafat Hukum Modrn Dalam Prspektiftp, tth.
 Abu Thalib, Teori & Filsafat Hukum Modrn Dalam Prspektiftp, tth.hlm. 120
Abu Thalib, Lop. Cit, hal. 339-441
Harplileny Soebiantoro, Hj. S.H. CN. MH, article : “Tanggung Jawab Profesi
http://blogspot.com/kode-etik-jaksa_files/comment-iframe.html.
http://blogspot.com/kode-etik-jaksa_files/comment-iframe.html.
http://wordpress.com/doktrin+kejaksaan.html
http://www.kejaksaanRI.com/lambang+kejaksaan.html
Harplileny Soebiantoro, Hj. S.H. CN. MH,article : “Tanggung Jawab Profesi Jaksa” hal. 19-
20. diambil dari http://myblogspot.com/Tanggung Jawab Profesi Jaksa.html
http://blogspot.com/kode-etik-jaksa_files/comment-iframe.html.
http://www.kejaksaanRI.com/lambang+kejaksaan.html
Jaksa” diambil dari http://myblogspot.com/Tanggung Jawab Profesi Jaksa.html
Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor : PER-067/A/JA/07/2007 tentang Kode Perilaku Jaksa
Jaksa Agung Republik Indonesia.
Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor : PER-067/A/JA/07/2007 tentang Kode Perilaku Jaksa
Jaksa Agung Republik Indonesia.
Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor : PER-067/A/JA/07/2007 tentang Kode Perilaku Jaksa
Jaksa Agung Republik Indonesia.SS
Republik Indonesia, Bandung : Citra Umbara, 2004.
Supriadi, S.H., Etika & Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2010, cet ke
III, hal. 130-131.
Supriadi, S.H., Etika & Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2010.
Undang-Undang Republik Indonesia No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia,
Bandung:Citra Umbara, 2004, hal.3.
P

Anda mungkin juga menyukai