Anda di halaman 1dari 24

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELJARAN (RPP)

Di ajukan untuk memenuhi salah satu tugas matakuliah pembelajaran pedagogik


Dosen pengampu : Dr.Hanny Latifah,M.M.Pd.

disusun oleh :

Dera Parmika (24066118011)

Siti Nurhadianti (24066118015)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR


(S1)

FAKULTAS PENDIDIKAN ISLAM DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS GARUT

2019
KATA PENGANTAR

Puji beserta syukur kami panjatkan kepada Allah SWT. Karena berkat
rahmat beserta hidayahnya kami dapat mengerjakan dan menyelesaikan makalah
ini dengan baik dan lancar. Makalah makalah kasih sayang, kewibawaan dan
tanggung jawab pendidik. ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas
Perencanaan Pembelajaran. Dengan makalah ini kami harap dapat memberikan
pengetahuan dan pengalaman lebih khususnya bagi kami dan umumnya bagi
pembaca.

Tak lupa kami ucapkan banyak-banyak terimaksih kepada semua yang


telah membantu kami dalam melaksanakan tugas makalah kasih sayang,
kewibawaan dan tanggung jawab pendidik. Demikian makalah ini kami buat
dengan masih banyak kekurangannya, maka dari itu, kritik dan saran yang
membangun demi bisa memperbaiki makalah ini. Semoga makalah yang kami
buat ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Garut, Maret 2020

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..................................................................................i

DAFTAR ISI.................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang.........................................................................................1
B. Rumusan Masalah....................................................................................1
C. Tujuan Masalah........................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Kasih Sayang..........................................................................3


B. Kasih Sayang Di Sekolah.........................................................................3
C. Pengertian Kewibawaan...........................................................................7
D. Kewibawaan Disekolah ...........................................................................9
E. Pengertian Tanggung Jawab.....................................................................16
F. Tanggung Jawab Disekolah......................................................................18

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan...............................................................................................20
B. Saran.........................................................................................................20

DAFTAR PUSTAKA...................................................................................21

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidik merupakan orang dewasa yang membimbing anak agar si anak
tersebut bisa menuju ke arah kedewasaan. Peran orang dewasa di dalam proses
pembelajaran sangat penting karena tidak mungkin orangyang belum dewasa
mendewasakan orang yang belum dewasa. Sosok pendidik begitu besar dalam
proses pembelajaran dalam mendidik, mengajar , membimbing, mengarahan,
melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik, namun selain itu seorang
pendidik harus memiliki suatu kasih sayang, kewibawaan dan tanggung jawab
terhadap peserta didiknya.
Pada prakteknya, ternyata menerapkan kasih sayang, kewibawaan, dan
tanggung jawab dalam proses pendidikan tidak mudah, banyak hambatan dan
kendala yang dihadapi pendidik, baik berkaitan dengan pemahaman maupun
kemampuan pendidik. Untuk itu, kemauan dan ketulusan pendidik dalam
menjalankan tugasnya menjadi dasar dalam memahami sifat dan sikap anak
didik.
Tanpa tanggung jawab dari pendidik, upaya pendidik tidak akan memiliki
arah tujuan, karena pendidik akan acuh dalam melaksanakan tugasnya sebagai
orang dewasayang harus membawa anak kepada kedewasaan. Maka dari itu
kami dalam malakah ini akan membahas tentang kasih sayang, kewibawaan,
dan tanggung jawab pendidikan.
B. Rumusan Masalah
Setelah memahami latar belakang diatas maka dapat dibentuk sebuah
rumusan msalah sebagai berikut:
1. Apa pengertian kasih sayang?
2. Bagaimana kasih sayang di sekolah?
3. Apa pengertian kewibawaan?
4. Bagaimana kewibawaan pendidikan di sekolah?
5. Apa pengertian tanggung jawab?
6. Bagaimana tanggung jawab di sekolah?

1
C. Tujuan Masalah
Setelah dibentuknya rumusan maslah maka tujuan masalah yang akan
dibentuk oleh penulis adalah:
1. Untuk mengetahui makna kasih sayang
2. Untuk mengetahui seperti apa kasih sayang di sekolah
3. Untuk mengetahui makna kewibawaan
4. Untuk mengetahui bagaimana apa kewibawaan dalam pendidikan
5. Untuk mengetahui makna tanggung jawab
6. Untuk mengetahui bagaimana tanggung jawab disekolah

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Kasih Sayang
Kasih sayang merupakan fitrah manusia, artinya setiap manusia
ditakdirkan oleh Allah memiliki kasih sayang terhadap semuanya. Dalam hal
pendidikan, kasih sayang harus mendasari semua upaya dalam membawa anak
menuju tujuannya, yaitu kedewasaan. Menurut Sumartono (2004: 37)
“mengemukakan bahwa kasih sayang adalah sikap yang berasal dari dalam
diri yang mampu meyembuhkan berbagai penyakit diri seperti rasa amarah,
curiga, atau cemburu yang dilakukan secara berlebihan.” Sementara menurut
Soetjiningsih (1995: 121) mengemukakan bahwa kasih sayangmerupakan
salah satu bentuk perwujudan proses pengembangan timbal balik rasa cinta
dankasih sayang antara sesama manusia, serta antar generasi yang merupakan
dasar hubungankekeluargaan yang harmonis.”
Berdasarkan pendapat para ahli tentang pengertian kasih sayang di
atas, dapat disimpulkan bahwa kasih sayang sangat diperlukan dalam
kehidupan bermasyarakat karena merupakan suatu keperluan bersama diantara
sesama manusia. Dalam kehidupan yang diwarnaidengan kasih sayang, semua
orang akan memiliki rasa tanggung jawab, pengorbanan,saling tolong-
menolong, kejujuran, saling mempercayai, saling membina pengertian
danketerbukaan sehingga dapat tercipta suasana yang rukun dan damai.
Dalam proses pendidikan disekolah dimana peran orang tua digantikan
oleh guru, pola hubungan guru-anak perlu dilandasi kasih sayang agar terjalin
ikatan perasaan yang dapat mendukung tercapainya tujuan pendidikan.
Peranan kasih sayang dalam pendidikan di sekolah merupakan bagian yang
tak terpisahkan dalam pembentukan sikap, kepribadian dan perilaku anak
disamping peran keluarga dan masyarakat.
B. Kasih Sayang Disekolah
Banyak peran yang semestinya dilakukan oleh seorang guru dalam
menjalankan proses pendidikan diantaranya:
a. Guru Sebagai Pembimbing

3
Realitas di masyarakat menunjukan bahwa perilaku menyimpang dari
anàk-anak seperti kebrutalan, kecanduan narkoba, pemurung, apatis dan
sebagainya muncul karena dilatar belakangi oleh kondisi dimana anak
tumbuh dalam keluarga yang tidak memberikan kepuasan kasih sayang
terhadap dirinya . Hal ini menjadi tantangan pendidikan manakala
kehidupan di kota besar dipenuhi oleh kesibukan orang tua dengan
berbagai aktifitas pekerjaan.
Dengan kasih sayang yang diberikan oleh guru, anak akan
mendapatkan bimbingan untuk menjalani kehidupan ,baik yang di jalani
saat ini maupun bekal di masa yang akan datang. Guru bagi anak sebagai
tempat bertanya, mengadu meminta pendapat, berkeluh kesah, curhat
berlindungan, dan posisi lainya dalam diri seorang anak didik.
b. Guru Pembentuk kepribadian
Pembentukan kepribadian anak disekolah merupakan hal yang tidak
mudah, sulit kiranya dilakukan tanpab disertai dengan kasih sayang guru
di sekolah bertanggung jawab membimbing anak didik, menjadi manusia
bermoral, berhati nurani, kasih sayang terhadap sesama, dan sebagainya.
Guru harus menunjukan sosok pribadi yang utuh, berpribadi stabil tidak
emosionalan, penghayatan dan pelaksanaan moral dalam semua aspek
kehidupan, sehingga akan menjadi telada bagi anak didiknya.
Tindakan kriminal seperti mencuri, bunuh diri, atau kejahatan lain
bisa dilakukan seorang anak karena kepribadian yang labil, karena
kehilangan kasih sayang dari orang tua atau siapa saja. Kata 'siapa saja'
mengidentifikasikan disamping orang tua ada pihak lain yang dapat
menjadi penyebab hancurnya, kepribadian seorang anak anak. Dalam
kehidupan sehari-hari, keterlibatan atau pergaulan anak tidak hanya terjadi
dalam keluarha atau masyarakat, tetapi juga di sekolah.
Di sekolah, guru yang baik akan menperhatikan hal ini sebagian dari
perannya dalam menjalankan proses pendidikan. Pembentukan
kepribadian anak di sekolah merupakan hal yang tidak mudah, pernah kita
dikejutkan oleh pemberitaan media masa, seperti media cetak: koran,

4
majalah, juga media elektronik: radio, televisi, ada anak yang bunuh diri
karena ingin menyelamatkan harga diri dan rasa malau yang di alaminya
karena tidak dapat membayar uang sekolah.
c. Guru Sebagai Tempat Perlindungan
Di sekolah anak akan minta perlindungan kepada gurunya, gurulah
yang menjadi perlindungan bagi anak-anak tersebut. Pada kondisi ini, guru
semestinya bijaksana, mendengarkan masalah yang dihadapi anak,
memberikan nasihat dan sebisa mungkin menyadarkan tindakan yang
dilakukan anak atau bahkan berupaya menjebati permasalahan anak
dengan orang tuanya.
Ada anak yang kabur dari rumah akibat tidak menemukan kasih
sayang dirumahnya. Dalam tindakan ini anak akan mencari perlindungan
kepada siapa saja yang dianggap dekat atau yang dapat memberikan
perhatian, beruntung jika mereka mendapat tempat berlindung pada orang
yang berlatar belakang baik, misalnya kepada gurunya disekolah. Tetapi
apabila anak bertemu dan bergaul dengan pemakan/pengedar narkoba
misalnya maka anak akan berakibat merusak masa depannya.
Menyikapi kasus ini, selayaknya disekolah seorang guru dapat
memberikan kasih sayang, maka anak akan merasa diperhatikan dan
dilindungi. Pada kondisi ini, guru semestinya berlaku bijaksana,
mendengarkan masalah yang dihadapi anak, memberikan nasihat dan
mungkin menyadarkan tindakan yang dilakukan anak atau bahkan
berupaya menjembatani permasalahan anak dengan orang tuanya.
d. Guru Sebagai Figur Teladan
Kasih sayang harus tergambarkan dalam perilaku ayah-ibu mereka,
kasih sayang itu harus terlihat dalam pelukan, senyuman, bahkan dalam
nada bicara orang tua mereka. Kasih sayang harus terwujud melalui
perilaku secara kongkret atau tidak hanya bicara "saya menyayangi" atau
"saya mencintai". Kasih sayang yang terwujud melalui perilaku, di
samping secara psikologis akan dirasakan anak, juga perilaku itu akan
menjadi contoh atau teladan apalagi anak yang menginjak remaja. Anak

5
remaja memerlukan kasih sayang dengan kadar yang lebih besar dalam
bentuk yang kongkret, ia masih hidup dalam lautan kebimbangan dan
masa-masa yang sangat kritis.
Seorang guru yang ramah, hangat dan selalu tersenyum, tidak
memperlihatkan muka kusam atau kesal, merespon pembicaraan atau
pertanyaan anak didik, akan menumbukan kondisi psikologis yang
menyenangkan bagi anak. Anak tidak berbicara, dapat merencanakan isi
hatinya saat menghadapi masalah dan anak akan senang melibatkan diri
dalam kegiatan disekolah. Perilaku anak didik yang terbentuk ini pada
dasarnya merupakan hasil dari mencontoh atau meneladani perilaku yang
diperlihatkan pendidik dengan penuh kasih sayang.
e. Guru Sebagai Sumber Pengetahuan
Dalam proses pembelajaran dimana terjadi transformasi pengetahuan,
sikap memberi dan melarang semestinya dilakukan dengan hati-hati
terhadap anak didik. Pengetahuan dapat merubah sikap dan prilaku anak,
perubahan dapat positif apabila pengetahuan yang diterima anak sesuai
dengan hati-hati terhadap anak didik. Pengetahuan dapat merubah sikap
dan perilaku anak sesuai dengan masanya dan sebaliknya apabila tidak
sesuai akan membentuk perilaku anak yang negatif. Misalnya, pendidikan
seks yang di berikan guru dengan tidak hati-hati akan berdampak pada
perilaku anak yang salah tentang kehidupan seks. Oleh karena itu, seorang
guru dalam menyampaikan pengetahuan harus didasari oleh kasih sayang.
Sadulloh (2011, hlm. 163) Beberapa hal yang mungkin terjadi
apabila guru tidak hati-hati dalam menyampakain pengetahuan:
1) Akan merusak jalinan kasih sayang di antata guru dan anak didil. Anak
mulai meragukan dan bahkan mungkin menganggap guru tidak dapat
mengajar dengan baik.
2) Anak akan belajar pada sumber lain yang apabila tidak dibimbing tidak
menutup kemungkinan menghasilkan perilaku yang tidak diharapkan.

6
3) Kurangnya bimbimngan dari guru sebagai pendidik akan
menumbuhkan perilaku yang tidak bertanggung jawab atas
perbuatanya.
C. Kewibawaan dalam Pendidikan
Guru sebagai pendidik harus memiliki kewibaan, baik dalam pembelajaran
di dalam kelas ataupun kegiatan lain di luar kelas. Kewibawawan mempunyai
peranan penting dalam usaha menentukan dan merumuskan tujuan hakiki dan
arti pendidikan.
a. Pengertin Kewibawaaan
Ciri utama pendidik adalah adanya kewibawaan yang terpancar dari
dirinya terhadap anak didik. Pendidik harus memiliki kewibawaan (kekuasaan
batin mendidik) menghindari penggunaan kekuasaan lahir, yaitu kekuasaan
yang semata-mata didasarkan kepada unsur wewenang jabatan. Kewibawaan
merupan suatu pancaran batin yang dapat menimbulkan pada pihak lain sikap
untuk mengetahui, menerima dan menuruti dengan penuh pengertian atas
pengaruh tersebut. Kewibawaan berasal dari kata wibawa yang berarti
kekuasaaan memberi perintah (yang harus ditaati). Sedangkan yang dimaksud
dengan kewibawaan adalah suatu pancaran batin yang dapat menimbulkan
pada pihak lain sikap untuk mengakui, menerima, dan menuruti dengan penuh
pengertian atas kekuasaan tersebut.
Sadulloh (2011, hlm. 164) mengemukakan bahwa “kewibawaan adalah
suatu pengaruh yang diakui kebenaran dan kebesarannya, bukan sesuatu yang
memaksa.” Kewibawaan harus berbanding dengan ketidak berdayaan anak
didik, jika pendidik kemampuannya tidak berbeda dengan anak didik, maka
kewibawan tersebut sukar ditegakkan. Dengan demikian kewibawaan seorang
pendidik akan diakui apabila pendidik mempunyai kelebihan dari anak
didiknya baik sikap, pengetahuan maupun keterampilannya.
Kewibawaan hanya dimiliki oleh manusia yang sudah dewasa, suatu
kedewasaan rohaniah yang didukung kedewasaan jasmaniah. Kewibawaaan
jasmaniah tercapai apabila seseorang telah mencapai puncak perkembangan
jasmani yang optimal. Kedewasaan rohaniah tercapai apabila seseorang telah

7
memiliki cita-cita hidup dan pandangan hidup yang tetap. Bagi seorang
pendidik melaksanakan cita-cita dan pandangan hidupnya secara nyata
berlangsung melalui statusnya sebagai orang tua maupun sebagai pendidik
pengganti orang tua (guru misalnya).
Kewibawaan itu ada pada orang dewasa terutama pada orang tua (ayah
dan ibu) dan itu merupakan kewibawaan asli. Orang tua dengan langsung
memberikan tugas dari Allah untuk mendidik anak-anakanya. Orang tua
mendapatkan haknya untuk mendidik anak-anaknya, suatu hak yang yang
tidak dapat dicabut karena terikat oleh kewibawaan. Hak dan kewajiban yang
melekat pada orang tua dalam mendidik anak-anaknya tidak dapat dipisahkan.
Pendidik harus memiliki kewibawaaan di mata anak didik, karena anak didik
membutuhkan perlindungan, bantuan, bimbingan dan seterusnya dari
pendidik, dan pendidik bersedia untuk memenuhinya. Pendidik dapat
memenuhi kebutuhan anak didik tersebut sepangjang terjadi hubungan
harmonis antara keduanya, sehingga selama itu pula terdapat pengakuan akan
adanya kewibawaan pendidik oleh anak didik.
Kewibawaan adalah suatau daya mempengaruhi yang terdapat pada
seseorang, sehingga orang lain yang berhadapan dengan dia, secara sadar dan
suka rela menjadi tunduk dan patuh padanya. Jadi barang siapa yang memiliki
kewibawaan, akan dipatuhi secara sadar, dengan tidak terpaksa, dengan tidak
merasa diharuskan dari luar, dengan penuh kesadaran, keinsyafan, tunduk,
patuh, menuruti semua yang dikehendaki oleh pemiliki kewibawaaan itu.
Pengenalan dan pengakuan terhadap wibawa membutuhkan bahasa,
sehingga pengenalan dan pengakuan wibawa itu berjalan sejajar dengan
tumbuhnya memahami bahasa pada kanak-kanak. Bahasa merupakan tempat
pertemuan anatara pendidik dan anak didik. Dengan bahasa anak didik dapat
mengerti apa arti anjuran dan larangan pendidik, sehinga dengan demikian
dapatlah dikenal dan diakui berwibawa.
Apabila orang tua tiadak menggunakan kesempatan untuk bertemu dengan
anak di dalam bahsasa, artinya bila orang tua tidak pernah memberikan
anjuran dan larangan kepda anak, atau kalau orang tua tidak pernah

8
menggunakan wibawa yang ada padanya, maka dapat mengakibatkan anak
mempunyai sikap yang tidak dapat didekati, anak akan menjadi asing terhadap
kekerasan anak, menjadi tidak dapat lagi dinasehati atau didekati.
Sebaliknya apabila orang tua terlalu banyak menggunakan kesempatan
bertemu dengan anak dalam bahasa, terlalu banyak memberi banyak nasehat,
anjuran, atau larangan, akan memberi akibat yang dapat merugikan dalam
pendidikan. Hal ini dapat menjadikan anak didik bersikap ragu dalam segala
hal, tidak dapat menentukan jalan mana yang hendak ditempuhnya. Dan dapat
pula membuat anak didik menjadi acuh tak acuh, atau besikap mengelakan diri
sebagai pernyataan protes, karena anak merasakan nasihat atau anjuran dan
larangan yang berlebihan sebagai suatau tuntutan yang sukar untuk
dilaksanakan.
D. Kewibawaan Di Sekolah
Menghadapi situasi di mana anak didik menunjukan sikap menentang atau
protes sebagia suatu pernyataan bahwa anak telah menemukan dirinya, telah
mempunyai keinginan, telah mempuyai kemapuan sendiri, seakan-akan orang
tua kehilangan kewibawaannya, adalah tidak bijaksana bila berlaku keras
terhadap anak didik. Karena dengan sikap keras hanya akan menghancurkan
benih-benih kesadaran akan kewibawaan yang mulai mulai tumbuh pada diri
anak.
1. Awal Penerimaan Kewibawaaan oleh Anak
Apa yang telah dibicarakan tadi adalah kewibawaan di dalam
hubungannya dengan pendidik. Pembicaraan ini akan lengkap, apabila kita
juga berbicara tentang kewibawaan dalam kaitannya dengan anak didik
dalam arti kapankah anak bisa menerima kewibawaan pendidik?
Betapapun besarnya kewibawaan pendidik, tidak ada gunanya, bilamana
kewibawaan itu sama sekali tidak dihayati oleh anak didiknya. Karena ada
kemungkinan anak didik tidak mengakui dan menghayati kewibawaan
pendidiknya. Bagi anak kecil yang belum mengenal bahasa, belum dapat
menuruti apapun yang dikemukakan oleh orang tua dengan bahasa.

9
Kewibawaan itu menentukan bentuk perlakuan yang harus diikuti serta
menghalangi atau menolak yang tidak dikehendaki. Seandainya hal
terkahir ini hanya dapat dilakukan dengan pembuktian atau atas dasar
keterikatan pada pribadi pendidik ataupun dengan paksaan, maka si anak
akan tetap tinggal tak terdidik. Sebab itu kewibawaan merupakan syarat
mutlak (conditio sine qua non) untuk mendidik.
Dari manakah anak didik mendapatkan keberanian moral untuk
mencoba menjalankan dan menuruti kewibawaan? Mereka
mendapatkannya dalam rsa kasih sayang yang menjadi pengikat bagi
mereka. Dalam kasih itu anak didik yang tidak berdaya menurut kodratnya
itu menaruh (mencurahkan kepercayaannya), yang karena kemurniaannya
menjadi pendorong dan pemberi semangat bagi pendidik untuk melakukan
tugsnya serta memeberi kepadanya keyakinan akan kesanggupan diri
sendiri.
Anak sudah memiliki kontak dengan orang tua tetapi kontak itu bukan
melalui bahasa, melainkan melalui perasaan. Pemebentukan tingkah laku
anak bukan hanya dengan pendidikan, melainkan dengan pembiasaan.
Pembiasaan adalah pembentukan tingkah laku pada anak, dengan usaha
menguasai insting anak, misalnya melatih anak supaya bangun pagi-pagi,
dengan jalan membangunkannya setiap pagi.
Di dalam arti luas, pendidikan itu mencakup tindakan diatas, tetapi
dalam arti sempit, pendidikan baru dimulai setelah anak menghayati
kewibawaan pendidik, seperti dikatakan oleh Langeveld dalam buku
Sadulloh (2010, hlm.168), bahwa “pendidikan itu baru dapat dimulai,
apabila anak sudah mengakui atau menghayati kewibawaan orang tua atau
pendidiknya, dan anak dapat mengakui kewibawaan pendidiknya, apabila
anak sudah memahami (mengerti) bahasa. Anak baru dipandang mengerti
bahasa apabila anak sudah berumur 3 tahun.”
Karena itulah Langeveld berpendapat, bahwa pendidikan anak yang
sesungguhnya baru dimulai pada umur 3 tahun. Kalau ada usaha
pendidikan yang dimulai atau diberikan sebelum anak berusia 3 tahun, ini

10
disebutnya dengan pendidikan pendahuluan. Dalam pendidikan
pendahuluan ini, karena anak belum mengenal dan mengakui kewibawaan,
maka boleh menggunakan rasa takut, atau peringatan, agar anak mau
menuruti apa yang dikehendaki atau yang dilarang oleh pendidik.
Seperti telah dikemukakan bahwa, anak yang masih kecil belum dapat
dikatakan memilki sifat penurut. Yang terjadi dengan mereka itu ialah
“ketularan”. Mereka melakukan sesuatu karena takut akan “muka marah”
ayah atau ibu, yang berarti penjauhan diri oleh ayah atau ibu. Hal
demikian menyinggung sesuatu yang amat halus pada si anak,
ketergantungannya dan keinginannya akan keselamatan terganggu,
sekurang-kurangnya ia merasa terancam akan terlepas dari lingkungan
kasih saying orang tua, yang menuru pengalamannya melindungi dirinya
selama ini. Oleh karena itu, pada saat belum adanya penyadaran hubungan
kewibawaan dalam arti anak belum bisa menerima kewibawaan pendidik,
upaya pembiasaan dan kekuatan (dresser) dapat dilakukan terhadap diri
anak.
2. Kewibawaan dan Penerimaan Norma oleh Anak
Kalau anak sudah dapat mengakui kewibawaan pendidik, maka
dapatlah dimulai pendidikan yang sesungguhnya, anak mulai dapat
dikenalkan dengan norma yang sesungguhnya. Anak bukan sekedar harus
berbuat yang sesuai dengan norma secara paksa tanpa mengetahui
normanya, melainkan norma itu sendirilah yang diperkenalkan kepada
anak didik. Kepada anak diperkenalkan mana perbuatan yang baik dan
mana perbuatan yang buruk, dengan contoh larangan, nasihat, dongeng,
teladan, dan lain-lain.
Agar anak mengikuti norma tertentu, maka pendidikanlah yang harus
pertama kali menjadi perwujudan dakam dirinya dari norma tersebut.
Apabila pendidik menginginkan anak didiknya bangun pagi-pagi, maka
pendidikan harus punya kebiasaan bangun pagi pula, sebab anak itu
sifatnya suka meniru, terlebih-lebih meniru tingkah laku tokoh yang,
menjadi idolanya, atau siapa yang menjadi pujaannya.

11
Sifat anak didik menghadapi norma juga terpengaruh oleh hadir
tidaknya pendidik. Misalnya pendidik (orang tua) memberi peraturan,
siang harus tidur. Jika pendidik ada di rumah, maka anak akan tidur siang,
tetapi jika pendidik tidak berada di rumah, anak tentu tidak tidur, dan akan
bermain-main. Namun gejala semacam ini lama kelamaan akan hilang,
sesuai dengan bertambahnya umur anak. Semakin dewasa anak, maka
subyektivitasnya juga semakin berubah menjadi obyektivitas, artinya anak
akan menjalankan dna patuh kepada norma yang diajarkannya, dengan
hadir atau tidaknya pendidik.
Sehubungan dengan penerima norma itu, kiranya perlu di paparkan
bagaimana proses penerimaan norma itu oleh anak. Sadulloh (2011, hlm.
170) menyatakan bahwa tahap-tahap proses penerimaan norma adalah,
sebagai berikut:
a. Anak menghadapi pendidik sebagai pendukung norma tertentu, yang
selalu dilihatnya melaksanakan norma itu. Pada mulanya anak berpikir,
tindakan itu baik, karena dilakukan oleh pendidiknya, dan tindakan itu
adalah tindak baik, karena dilarang oleh pendidik.
b. Anak kemudian mengerti bahwa tindakan-tindakan itu atau tingkah laku
pendidiknya itu diatur oleh sesuatu yang disebut norma.
c. Setelah anak dapat melihat norma terlepas dari si pendukung norma,
maka tindakan atau tingkah laku pendidik sebagai pendukung norma,
selalu dibandingkan dengan norma yang diketahui anak, juga dengan
peraturan atau norma yang dikatakan oleh pendidiknya itu.
d. Bila ternyata pendidik mempunyai tingkah laku yang cocok dengan
norma yang dikemukakan atau dinasihatkan, maka anak kan merima
norma itu dengan sukarela.
Tetapi bila anak didik tahu bahwa tindakan atau perbutan pendidik
itu tidak cocok bahkan tindakan atau perbuatan pendidik itu tidak cocok
atau bahkan bertentangan dengan norma yang dinasehatkan, maka anak
didik akan menolaknya, dan tidak akan melaksanakan norma itu.

12
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa perkembangan
kewibawaan anak didik ditandai dengan tumbuhnya kepercayaan. Dimana
hal ini merupakan syarat teknik pergaulan yang juga merupakan model
kewibawaan dalam berbagai lingkungan. Dalam lingkungan pendidikan,
menurut Sadulloh (2011, hlm. 170) menyatakan bahwa kepercayaan yang
diberikan oleh pendidik kepada anak didik mempunyai dua arti:
a. Bahwa keinginan pendidik untuk terus mengikat pribadi anak didik
pada dirinya telah dapat diatasi oleh pendidik.
b. Bahwa kepercayaan itu merupakan tempat sumber bagi anak didik
untuk tumbuh dan berkembang.
Kepercayaan merupakan sumber bagi anak didik untuk tumbuh dan
berkembang. Artinya anak didik mendapatkan kepercayaan itu harus dapat
berdiri sendiri, karena pendidik yakin bahwa ia dapat berdiri sendiri.
Kepercayaan itu memberikan dorongan kepada anak didik agar ia berani
dan penuh keyakinan dan keinginan berusaha supaya ia menjadi dewasa.
7. Mempertahankan Kewibawaan
Pendidik harus mempertahankan kewibawaan yang dimilikinya,
sehingga kewibawaan tersebut harus dipelihara dan dibinany. Langeveld
dalam buku Sadulloh (2010, hm.171) mengemukakan bahwa “ada tiga
sendi kewibawaan untuk memeliharanya , yaitu : kepercayaan, kasih
sayang, dan kemampuan mendidik.”
Dalam hal kepercayaan, pendidik harus percaya bahwa dirinya bisa
dan mampu mendidik dan juga harus percaya bahwa anak didik dapat
dididik. Kasih sayang mengandung dua makna, yakni penyerahan diri
kepada yang dikasih sayangi dan pengendalian terhadap yang disayangi.
Dengan penyerahan diri, pada pendidik timbul kesediaan untuk berkorban
berupa pengabdian dalam bekerja. Pengendalian terhadap yang disayangi
bertujuan agar anak didik tidak dapat berbuat sesuatu yang merugikan
dirinya. Kemampuan mendidik dapat dikembangkan melalui beberapa
cara, diantaranya pengkajian terhadap ilmu pengetahuan khususnya ilmu
pendidikan, mengambil manfaat dari pengalaman kerja, dan lain-lain. Bagi

13
guru menguasai bahan/materi merupakan suatu keharusan untuk
mempertahankan kewibawaan.
Selain ketiga hal diatas, Sadulloh (2011, hlm. 171) menyatakan
bahwa dalam mempertahankan kewibawaan tersebut perlu didukung oleh
keadaan batin pemilik kewibawaan (orang dewasa: orang tua, guru dan
yang lainnya), yaitu:
a. Adanya rasa cinta: Kewibawaan itu dapat dimiliki oleh
seseorang, apabila hidupnya penuh kecintaan dengan atau kepada
orang lain.
b. Adanya rasa demi kamu: Demi kamu atau you attitude, adalah
sikap yang dapat dilakukan sebagai suatu tindakan, perintah atau
anjuran bukan untuk kepentingan orang yang memerintah, tetapi
untuk kepentingan orang yang diperinta, menganjurkan demi orang
yang menerima anjuran, melarang juga demi orang dilarang.
Misalnya seorang guru yang memerintahkan agar anak didik
belajar keras dalam menghadapi ujian, bukan agar dirinya
mendapat nama karena anak didiknya banyak yang lulus,
melainkan agar anak didik mendapatkan nilai yang bagus dan
mudah untuk meneruskan sekolahnya.
c. Adanya kelebihan batin: Seorang guru yang menguasai bidang
studi yang menjadi tanggung jawabnya, bisa berlaku adil dan
obyektif, bijaksana, merupakan contoh-contoh yang dapat
menimbulkan kewibawaan batin.
d. Adanya ketaatannya kepada norma: Menunjukan bahwa dalam
tingkah lakunya dia sebagai pendukung norma yang sungguh-
sungguh selalu menepati janji yang pernah dibuat, disiplin dalam
hal-hal yang telah digariskan.
Selanjutnya Sadulloh (2011, hlm. 172) mengemukakan bahwa dalam
melaksanakan kewibawaan, pendidik hendaknya memperhatikan beberapa faktor
berikut:

14
1. Perkembangan anak sebagai pribadi. Pendidik hendaknya mengabdi
kepada perkembangan anak, mengembangkan seluruh pribadi anak,
intelektualnya, emosinya, dan spiritualnya. Anak yang seluruh potensi dan
kemampuannya berkembang secara optimal akan menjadikan anak
tersebut sebagai manusia mandiri.
2. Pendidik memberi kesempatan pada anak untuk berinisiatif, anak
melakukan kegiatan atas inisiatif sendiri. Makin berkembang anak,
memberi inisiatif padanya makin besar dan luas, dan akhirnya diharapkan
segala perbuatannya atas dasar inisiatif sendiri, bukan atas perintah orang
lain, dalam hal ini pendidik. Anak harus diberi kesempatan yang seluas-
luasnya untuk melatih diri bersikap patuh, sehingga kepatuhan anak
terhadap peraturan akan didasarkan atas pertimbangan nuraninya sendiri,
tidak karena paksaan atau pengaruh oranglain.
3. Kewibawaan dilaksanakan atas dasar kasih sayang pada anak. Pendidik
berbuat sesuatu demi kepentingan anak didik, mengabdi kepada anak
didik, bukan untuk kepentingan pendidik.
4. Mengurangi Kewibawaan dalam Pendidikan
Pendidik lama kelamaan harus mengurangi kewibawaannya, hal ini berarti,
bahwa semakin lama anak harus diberi kesempatan untuk berdiri sendiri. Anak
harus semakin diberi kesempatan mengambil keputusan atas tanggung jawabnya
sendiri. Pada akhirnya, bila anak sudah dewasa, kewibawaan pendidik harus sudah
dihilangkan sama sekali. Jika tidak demikian, justru dapat timbul konflik antara
pendidik dan anak didik, sebab yang sudah dewasa itu akan merasa diinjak
kedewasaannya, merasa dilanggar pribadinya.
Kewibawaan yang dimiliki pendidik, pada suatu saat akan mengalami masa-
masa krisis, kadang tampak melemah, tampak goyah. Maka, menjadi tugas
pendidik sendiri untuk tetap menegakkan kewibawaannya yang dimilikinya itu.
Sadulloh (2011, hlm. 173) menyatakan bahwa agar kewibawaannya yang dimiliki
oleh pendidik tidak goyah, tidak melemah, maka hendaknya pendidik itu selalu:
1. Bersedia memberi alasan.

15
Pendidik harus siap dengan alasan yang mudah diterima anak didik
supaya berlaku begini, mengapa pendidik melarang anak didik, mengapa
pendidik memberikan nasihat begitu, penjelasan hendaknya singkat dan
dapat diterima anak dengan jelas, menggunakan bahasa yang sesuai
dengan perkembangan anak. Dengan adanya kejelasan ini, akan membuat
anak didik menerima semuanya penuh dengan kerelaan dan kesadaran.
2. Bersikap demi kamu (You Attitude).
Pendidik selalu harus menunjukkan sikap demi kamu (you attitude). Sikap
ini tidak perlu ditonjolkan, tetapi harus dengan jelas nampak kepada anak, atau
mudah diketahui oleh anak. Pendidik menuntut anak didik, menasihati,
melarang memerintah berbuat itu, semuanya demi anak didik sendiri bukan
untuk kepentingan pendidik.
3. Bersikap sabar.
Pendidik harus selalu bersikap sabar, memberi tenggang waktu kepada
anak didik untuk mau menerima perintah dan nasihat yang diberikan oleh
pendidik. Mungkin pendidik harus memberikan nasihatnya berkali-kali kepada
seorang anak, pendidik dituntut kesabarannya sungguh-sungguh, tidak boleh
lekas putus asa. Putus asa adalah sikap yang salah.
4. Bersikap memberi kesabaran.
Semakin bertambah umur anak didik, atau semakin menuju dewasa,
pendidik hendaknya semakin memberi kebebasan, memberi kesempatan
kepada anak didik, agar belajar berdiri sendiri, belajar bertanggung jawab, dan
belajar mengambil keputusan, sehingga pada akhirnya anak tidak lagi
memerlukan nasihat dalam kewibawaan melainkan anak diberi kebebasan
untuk memilih mana yang paling baik sesuai dengan pilihan hati nuraninya,
pada saat itulah anak mencapai kedewasaannya, dan pada saat itu pulalah
kewibawaan pendidik berakhir.
E. Pengertian Tanggung Jawab
Dalam pergaulan sehari-hari bertanggung jawab pada umumnya diartikan
sebagai “berani menanggung resiko (akibat) dari suatu tindakan/perbuatan
yang di lakukan”. Atau sering pula diartikan sebagai berani mengakui suatu

16
perbuatan/tindakan yang telah dilakukan Sadulloh (2011, hlm. 176)
mengemukakan bahwa “bertanggung jawab dimaksudkan sebagai suatu
keadaan dimana semua perbuatan atau tindakan atau sikap merupakan
penjelmaan dari nilai-nilai moral serta nila-nilai luhur kesusilaan dan atau
keagamaan.” Bisa juga dikatakan bahwa bertanggung jawab berarti dapat di
dakwa berdasarkan nilai-nilai moral dan susila maupun nilai agama. Dengan
kata lain bertanggung jawab berarti berada dalam tatanan norma,nilai
kesusilaa, dan agam dan tidak diluarnya. Segala tindakan ,perbuatan atau sikap
yang berada di luar bidang nilai atau norma kesusilaan dan agama tidak dapat
di pertanggung jawabkan.
Dari contoh diatas, bahwa seseorang yang bertanggung jawab tidak akan
melakukan tindakan atau perbuatan atau sikap yang bertentangan atau
melanggar nilai-nilai susila maupun agama.
1. Tindakan yang Berkaitan dengan Bertanggung Jawab
Di kelas seorang guru harus seorang yang bertanggung jawab. Seorang
guru harus bertanggung jawab terhadap tugasnya sebagai guru, yaitu mendidik
dan mengajar anak-anak yang telah di percayakan orang tua anak kepadanya.
Sekarang sudah ada Undang-Undang No 14 Tahun 2005 tentang guru dan
dosen yang merupakan suatu landasan moral bagi guru untuk menjalankan
tugasnya secara professional. Oleh karena itu guru yang bertanggung jawab
senantiasa akan berbuat dan bertindak tidak keluar dari undang-undang
tersebut.
2. Tanggung Jawab dalam Pendidikan
Dalam Undang-Undang No 20 Tahun 2003 tentang System Pendidikan
Nasional disebutkan bahwa tujuan pendidikan adalah berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadi manusia beriman dan bertakwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan
menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab.
Di sekolah guru merupakan pendidik yang bertanggung jawab dalam
membimbing anak didik untuk mencapai tujuan pendidikan. Bagian akhir dari

17
tujuan pendidikan nasional adalah warga negara yang bertanggung jawab.
Dalam melaksanakan tanggung jawabnya.
F. Tanggung Jawab di Sekolah
Sebagian besar siswa, terkadang belum menyadari tanggung jawab
tersebut, maka kami akan sedikit membahas contoh tanggung jawab siswa
disekolah tersebut beserta alasannya.
1. Datang tepat waktu - Tidak terlambat merupakan tugas siswa setiap
harinya, karena datang tepat waktu secara tidak langsung mengajarkan siswa
kedisiplinan.
2. Mengerjakan tugas - Tugas yang diberikan guru merupakan pekerjaan
siswa yang harus dipenuhi, karena dengan tugas tugas tersebut, bisa
mengasah Logika, serta otak para siswa agar lebih pandai dan cerdas.
3. Memakai seragam dan Atribut yang sesuai peraturan - Misalnya memakai
baju pramuka di hari sabtu lengkap dengan kaus kaki hitam, peraturan
sederhana tersebut merupakan tanggung jawab yang harus dipenuhi siswa
4. Tidak keluar kelas disaat jam pelajaran atau tidak berisik atau bercanda
disaat jam pelajaran
5. Membersihkan ruang kelas sesuai jadwalnya - Kebersihan kelas harus
dijaga agar timbul suasana aman dan nyaman disaat pelajaran berlangsung
6. Tidak membuang sampah sembarangan - Sampah yang dibuang
sembarangan dapat menyebabkan lingkungan sekolah tidak nyaman untuk
dilihat, dan tidak baik untuk kesehatan murid ataupun guru yang berada di
sekolah.
7. Tidak mencontek disaat ujian - Ujian merupakan tes kemampuan atas apa
yang kita pelajari selama ini, mencontek berarti berlaku curang dan tidak
jujur yang merupakan sikap tercela.
8. Tidak berkelahi saat disekolah - Siswa harus bertanggung jawab atas
ketertiban sekolah dan Berkelahi merupakan tindakan yang mengganggu
ketertiban di sekolah.
9. Menghormati guru - Guru adalah orang tua saat disekolah.

18
10. Menghadiri upacara bendera setiap senin - Upacara adalah kewajiban bagi
setiap siswa di seluruh indonesia, maka dari itu menghadiri upacara
merupakan tanggung jawab yang harus dipenuh.

19
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Kasih Sayang, Kewibawaan, dan Tanggung Jawab Pendidikan, merupakan
ruh dari pendidikan, tidak dapat di pisahkan satu sama lainya . ketiga hal
tersebut dapat dikatakan merupakan prasyarat dalam melaksanakan
pendidikan. Pada praktiknya, ternyata menerapkan kasih sayang, kewibawaan,
dan tanggung jawab dalam proses pendidikan tidak mudah, banyak hambatan
dan kendala yang dihadapi pendidik, baik berkaitan dengan pemahaman
maupun kemampuan pendidik.
B. SARAN
Kita sebagai calon pendidik hendaknya mempunyai rasa kasih sayang
karena tanpa kasih sayanag anak akan berkembang menurut kemauanya
sendiri, maka dari itu seorang calon pendidik harus mempunyai rasa kasih
sayang terhadap anak didiknya. Seorang guru harus memilki kewibawaan tapa
kewibawaan pendidik akan kehilangan kepercayaan dari anak didiknya.
Seorang pendidik harus memiliki rasa tanggung jawab yang tinggi terhadap
tugasnya sebagi guru yaitu mendidik dan mengajar anak-anak yang telah
dipercayakan orang tua anak kepadanya.

20
DAFTAR PUSTAKA

Sadulloh, Uyoh. (2011). Pedagogik (Ilmu Mendidik). Bandung: ALFABETA

Pengaruh Sikap Kasih Sayang Guru Terhadap Perilaku Siswa Berbudi Pekerti
Dan Hasil Belajar Siswa Di Sma Perintis 2 Bandar Lampung. diakses pada 13
maret 2020 pukul 20:15 dari https://www.academia.edu/40760933/.

Khusnu Indrawati, Hubungan Kewibawaan Guru Dalam Mengajar Dengan


Ketaatan Siswa Mematuhi Tata Tertib Sekolah. di MTs Nu Salatiga.Skripsi
(jurnal):Sekolah Tinggi Agama Islam Salatiga,2011 diakses pada 13 maret 2020
pukul 21:15

21

Anda mungkin juga menyukai