Anda di halaman 1dari 22

SFC

Menghitung Biaya Listrik


Proses adalah kegiatan menaikkan nilai tambah. Dalam kehidupan sehari-
hari banyak contoh proses, misalnya beras di masak menjadi nasi, maka nilai
jual nasi sudah lebih mahal dari beras semula. Kedelai diolah menjadi tempe,
harga jual tempe lebih mahal dari kedelai semula. Pada industri otomotif, besi
diolah menjadi mobil, maka mobil mempunyai nilai jual jauh lebih mahal dari
besi semula.

Demikian halnya proses di pembangkit listrik (PLN), terdapat proses


menaikkan nilai tambah, bahan bakar (fuel) masuk ke dalam serangkaian
proses berubah menjadi listrik yang lebih tinggi nilainya.

Allah SWT telah menciptakan energi di alam berupa batubara, minyak bumi,
gas, panas surya, tenaga angin, energi potensial air, nuklir, dan lain
sebagainya, kesemuanya ini disebut  energi primer.
Melalui serangkaian proses yang rumit, jadilah energi listrik.

Energy perlu di ubah menjadi listrik untuk memudahkan dalam


pendistribusian ke konsumen. Bisa dibayangkan dunia tanpa listrik,
bagaimana  kita menghidupkan AC, computer, setrika, lampu, televisi, dan
lain sebagainya.

Tadi sudah dikatakan bahwa PROSES adalah menaikkan nilai tambah. Kalau
standar nilai adalah uang, berarti harga listrik yang diproduksi harus lebih
mahal daripada harga beli batubara / minyak.
Benarkah demikian?
Parameter yang sering digunakan untuk mengukur kinerja pembangkit PLTD
adalah SFC (specific Fuel Consumption) dengan satuan liter/KWh.

Pembangkit PLTD  terbaik di dunia saat ini mempunyai SFC 0,24 l/KWh,


artinya untuk menghasilkan 1 KWh membutuhkan minyak 0,24 liter.

PERTAMINA menjual solar tarif industri dengan sebesar Rp. 8500,- / liter,
maka biaya yang dibutuhkan untuk menghasilkan 1 KWh listrik adalah 0,24
liter/KWh x Rp. 8500 = Rp. 2125,-/KWh.  >>> MAHAL SEKALI!

Kita ambil contoh lainnya, PLTU batubara, parameter yang digunakan adalah
SCC (specific Coal Consumption) dengan satuan kg/KWh. PLTU batubara
kalori rendah (4500 KKal/kg), SCC empiris adalah 0,68 kg/KWh. Harga beli
batubara adalah 600 rupiah / Kg. Maka biaya yang dibutuhkan untuk
menghasilkan 1 KWh listrik adalah: 0,68 kg/KWh x Rp. 600/Kg = Rp 400 /
KWh. >>> JAUH LEBIH MURAH!

Kalau PLTA tentu tidak menggunakan minyak. Hanya saja biaya investasi
besar, banyak terkait masalah sosial pembebasan lahan, ditambah perijinan
yang rumit dari raja-raja kecil otonomi daerah. Selain itu tingkat
penggundulan hutan tinggi bisa menyebabkan sungai mengering 10 tahun
kemudian.

Contoh di atas menggambarkan betapa mahalnya penggunaan minyak sebagai


bahan baku pembangkit listrik. Belum termasuk biaya investasi (pembangkit
dan jaringan dan gedung), pemeliharaan, biaya SDM, dan administrasi.

Melihat hitungan di atas, hendaklah masyarakat menyadari bahwa listrik itu


bukan lagi biaya murah yang bisa dengan leluasa kita hamburkan.
Transformasi  Energi (Minyak – Listrik)
Hukum Kekekalan Energi mengatakan “Energi tidak dapat diciptakan atau
dimusnahkan, energi hanya dapat diubah dari satu bentuk ke bentuk
lainnya”. (James Prescott Joule, seorang ahli fisika Inggris)

Dalam kegiatan pembangkitan listrik, transformasi energi dapat digambarkan


dalam hitungan berikut ini:

Energi yang terkandung di dalam minyak dinyatakan dalam satuan kalori.


Dari literatur diketahui, minyak solar mempunyai kandungan kalori sekitar
9500 KKal/liter.

SFC Pembangkit Listrik Tenaga Diesel adalah 0,24 liter/KWh. Berarti Energi
kalor yang terkandung dalam 0,24 liter minyak adalah 0,24 liter x 9500
KKal/liter = 2375 KKal. Angka ini kita masukkan pada sisi input proses.

KWh bila dikonversi  1 KWh = 860 KKal (lihat literatur). Angka ini kita
masukkan pada sisi output proses.

Konversi energy minyak ke listrik bisa diilustrasikan sebagai berikut:

Jadi tidak seluruhnya energy yang terkandung di dalam minyak bisa diubah
menjadi listrik, hanya sekitar 30% saja terkonversi dan sisanya (1515 KKal)
terbuang ke udara atau lingkungan.

Hilangnya energy sebesar 70% itu bukan karena korupsi lho…normal saja
karena belum ada teknologi pembangkit listrik di dunia yang lebih baik dari
parameter di atas.
Standar Pemakaian Bahan Bakar
Spesifik (SFC) Mesin Diesel Sesuai
SPLN 79:1987
Bagi Anda yang berkecimpung di industri penyediaan energi listrik, khususnya yang
menangani mesin diesel tentunya sudah sangat familiar dengan istilah Spesific Fuel
Consumption (SFC) atau pemakaian bahan bakar spesifik.

SFC adalah ukuran efisiensi suatu mesin diesel yang menggambarkan rasio antara
jumlah pemakaian bahan bakar dan energi listrik yang dihasilkan. Semakin kecil nilai
SFC suatu mesin maka menunjukkan mesin tersebut semakin efisien.

PLN selaku pemain lama di dunia perdieselan telah lama mengeluarkan standard
tentang SFC ini, yaitu di dalam SPLN 79: 1987. Di dalam SPLN ini dijelaskan tentang
batasan nilai SFC untuk berbagai macam kapasitas mesin diesel, mulai Kelas 100 kW
sampai dengan 12 MW untuk berbagai variasi pembebanan (pembebanan 50%, 75%
dan 100%). Harga SFC dalam SPLN tersebut ditampilkan dalam tabel berikut.

Specific fuel consumption adalah rasio perbandingan total konsumsi


bahan bakar terhadap daya listrik yang dibangkitkan dalam sebuah
industri pembangkitan listrik, biasanya digunakan sebagai salah satu
cara untuk mengetahui seberapa efisien sebuah pembangkit listrik dan
untuk memprediksi nilai kalor bahan bakar yang digunakan untuk
pembakaran. Pengukuran SFC sebaiknya dilakukan pada beban yang
tetap selama minimum dua jam, kemudian diukur seberapa banyak
jumlah pemakaian bahan bakar selama periode dua jam tersebut. Jika
periode waktu ini dirasa terlalu lama, maka dapat dipersingkat dengan
pengambilan data minimum selama satu jam.

Pengukuran  SFC dilakukan dengan menggunakan formula sebagai


berikut :

SFC = FF / P

Dengan,

FF = Fuel Flow
P = Daya Listrik yang dibangkitkan (kWh)

Satuan pengukuran SFC  terutama pada fuel flow  berbeda-beda


tergantung dari jenis bahan bakar yang digunakan pada sebuah
pembangkit listrik, contohnya :

PLTU Minyak, SFC = Liter/kWH

PLTU Batubara, SFC = kg/kWH

PLTU Gas Alam, SFC = MSCF/kWH

Nilai pengukuran SFC bervariasi sesuai dengan beban unit yang


dibangkitkan, sebagai contoh apabila beban yang dibangkitkan adalah
sebesar 100%, 75% dan 50% dari daya maksimum (MCR) maka
nilai SFC  antara beban yang satu dengan yang lainnya akan tidak
sama, demikian juga apabila bahan bakar yang digunakan memiliki
nilai kalor yang tinggi, maka nilai SFC akan turun disebabkan oleh
kosumsi bahan bakar yang tidak banyak.
Semakin besar kapasitas dan tingkat pembebanan suatu mesin diesel, maka efisensi
mesin akan semakin tinggi, begitu pula sebaliknya. Dalam tabel di atas berlaku untuk
mesin diesel yang menggunakan bahan bakar HSD (solar). Untuk mesin diesel yang
menggunakan bahan bakar MFO harga yang ditampilkan dalam tabel tersebut akan
mengalami sedikit perubahan.

CF

CF PADA PEMBANGKIT
Akhir-akhir ini ramai di media massa kabar-kabari tentang Lease Back ataupun Buy Back
untuk pembangkit2 fast track untuk program PPDE tahap I. saya tidak akan membahas
tentang itu karena hal itu diluar kemampuan, pengetahun dan kapabilitas saya. Cuma
terdengar suing2 dari beberapa teman bahwa faktor CF merupakan salah satu perhatian
terkait pengoperasian pembangkit2 tersebut.
Banyak temen2 yang bertanya dan bertanya-tanya mungkin dalam hati terkait hal itu
mengapa menggunakan CF, kok nggak kinerja pembangkit lainnya yang diakui oleh NERC
(North America Electricity Reliabiility Council ) seperti EAF atau EFOR. Beberapa teman juga
bertanya kok CF bukan EAF atau EFOR. Trus apakah CF itu?? saya akan sedikit membahasan
CF ini seingat dan semengerti saya dengan ilmu yang sedikit ini tentang DKIKP, dan apabila
ada yang lebih mengerti seperti temen2 dari P3B bisa saling berbagi.

CF atau Capacity Factor merupakan perbandingan antara jumlah produksi listrik pada
periode operasi tertentu terhapat kemampuan produksi sesuai daya mampu. Bingung ya
baca penjelasannya. Mungkin bahasa mudahnya itu begini. Suatu pembangkit punya
kapasitas DMN 100 MW beroperasi pada periode tertentu ( 1 tahun ) itu 100 MW terus, maka
itu CF-nya itu 100%. Jadi CF itu perbandingan realisasi produksi pada periode tertentu
terhadap kemampuan produksi maksimal suatu pembangkit pada periode tersebut.

Trus kenapa kok CF untuk mengukur kinerja pembangkit itu?? sebelumnya saya jelaskan
bahwa EAF itu menghitung kesiapan pembangkit dalam hal ini ketika pembangkit itu operasi
atau stand by termasuk didalamnya ( enak tho klo pembangkit stand by terus EAF akan 100
% ), klo EFOR menghitung gangguan pembangkit jadi klo gangguan terus otomatis EFOR-
nya tinggi. Adapun klo CF menghitung kemampuan operasi pembangkit. Lho kan kenapa
pake CF satu jawaban sudah dketahui.
Perlu juga diketahui bahwasannya ketika membangun sebuah pembangkit itu pastilah
membutuhkan uang yang tidak sedikit, guide lan uakeh duite. Maka dari itu pasti sudah
dilakukan perhitungan berapa sih produksi minimal agar BEP-nya ( Break Event Point )
tercapai dengan memperhitungkan Pay Back Periode-nya. Sehingga dari biaya yang
dikeluarkan akan didapat berapa minimal produksi dalam periode tertentu ( ex. pertahun )
agar BEP itu terpenuhi, ditambah biaya operasional, pemeliharaan rutin dan biaya lainnya.
Maka untuk itu CF-lah yang berperan karena CF mengukur berapa kemampuan operasi
( produksi ) pada satu periode ( ex. 1 tahun ). Ketemu jawaban kedua

Trus alasan ketiga yaitu bahwa CF itu dapat mewakili EAF dan EFOR. Kok bisa?? Pasti
bertanya-tanya kan?? Sebagaimana penjelasan saya di atas mengenai ketiga, maka CF akan
terkoneksi kedalam keduanya. Detailnya mungkin begini :

 Apabila EFOR suatu pembangkit tinggi otomatis EAF dan CF pasti rendah.
 Apabila EAF suatu pembangkit tinggi belum tentu CF juga tinggi, dan pasti EFOR
rendah
 Apabila CF pembangkit itu tinggi maka otomatis EAF juga akan tinggi dan EFOR akan
rendah. Kok bisa begini. CF mengukur kemampuan operasi, EAF kesiapan termasuk
didalamnya operasi dan stand by. Jadi ketika CF suatu pembangkit sebesar 90%
otomatis EAF minimal 90% sisanya bisa berupa EFOR, RS atau karena Load
Demand, dimana CF menggambar EAF minimal untuk suatu pembangkit. Sehingga
terjawab sudah alasan berikutnya yaitu CF bisa mewakili EAF dan EFOR.
Sudah sedikit tahukan tentang CF dan kenapa alasan yang digunakan adalah CF bukan EAF
padahal EAF ini merupakan salah satu target World Class Services. Sehingga secara garis
besar kenapa dipakai CF yaitu

1. CF itu digunakan untuk mengukur kemampuan operasi suatu pembangkit


2. CF bisa digunakan sebagai tolak ukur untuk pengembalian modal
3. CF bisa digunakan untuk menilai kinerja pembangkit lainnya khususnya EAF.
EAF

EAF (Equivalent Availability Factor) dan EFOR (Equivalent


Force Outage Rate) pada Pembangkit Listrik Tenaga
Air (PLTA)
MATERISELAMASEKOLAH ♦ 13/10/2016 ♦ TINGGALKAN KOMENTAR

A.   Keandalan Sistem Tenaga Listrik


Keandalan Sistem Tenaga Listrik merupakan kemampuan sebuah sistem tenaga listrik yang terdiri dari Pusat
Pembangkit Listrik, Saluran Transmisi, dan Sistem Distribusi untuk melaksanakan suatu fungsi sesuai standar
(tanpa kegagalan) dalam keadaan yang ditentukan untuk jangka waktu tertentu.

Gambar Skema perwujudan keandalan


Dari definisi diatas untuk melakukan analisa kestabilan terhadap keandalan suatu sistem maka  terdapat empat
unsur yang penting di analisa.

1. Probabilitas
2. Kecukupan performance
3. Waktu
4. Kondisi Operasi
Komponen sistem tenaga listrik
Pusat Pembangkit Listrik (Power Plant)
Tempat energi listrik pertama kali dibangkitkan, dimana terdapat turbin sebagai penggerak mula (prime
mover) dan generator yang membangkitkan listrik. Biasanya di pusat pembangkit listrik juga terdapat gardu
induk (GI). Peralatan utama pada gardu induk antara lain: Transformer, yang berfungsi untuk menaikkan
tegangan generator (11,5 kV) menjadi tegangan transmisi / tegangan tinggi (154 kV) dan juga peralatan
pengaman dan pengatur. Jenis pusat pembangkit yang umum antara lain: PLTA (Pusat Listrik Tenaga Air),
PLTU (Pusat Listrik Tenaga Uap), PLTG (Pusat Listrik Tenaga Gas), PLTN (Pusat Listrik Tenaga Nuklir).

Saluran Transmisi (Transmission Line)


Berupa penghantar yang di pasang pada menara atau tiang dan bisa juga melalui kabel yang di pendam di
bawah permukaan tanah, saluran transmisi berfungsi menyalurkan energi listrik dari pusat pembangkit, yang
umumnya terletak jauh daripusat beban, ke gardu induk penurun tegangan yang memiliki transformer penurun
tegangan dari tegangan transmisi ke tegangan distribusi (menengah). Salurantransmisi ini mempunyai
tegangan yang tinggi agar dapat meminimalkan rugi-rugi daya (power losses) disaluran. Contoh dari saluran
transmisi di Indonesia adalah : SUTT (Saluran Udara Tegangan Tinggi, dengan tegangan kerja 70–150 kV),
SUTET (Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi, dengan tegangan kerja 500 kV).
Sistem Distribusi
Merupakan sub-sistem tersendiri yang terdiri dari: Pusat Pengatur Distribusi(Distribution Control Centre, DCC
), Saluran teganganmenengah (6 kV dan 20 kV, biasa juga disebut tegangan distribusi primer) yang merupakan
saluran udara atau kabel tanah, Gardu Distribusi (GD) tegangan menengah yang terdiri dari panel-panel
pengatur tegangan menengah dan trafo sampai dengan panel-panel distribusi tegangan rendah (380 V, 220 V)
yang menghasilkan tegangan kerja/tegangan jala-jala untuk industri dan konsumen perumahan.

Forced Outage Rate (FOR) adalah suatu faktor yang menggambarkan keandalan unit pembangkit. Dalam
sistem interkoneksi yang terdiri dari banyak unit pembangkit, maka keandalan unit-unit pembangkit yang
beroperasi dibandingkan dengan beban yang harus dilayani menggambarkan keandalan sistem tersebut.Ada
angka yang menggambarkan berapa besar probabilitas unit-unit pembangkit yang beroperasi tidak mampu
melayani beban. Angka probabilitas ini dalam bahasa Inggris disebut “loss of load probability” atau biasa
disingkat LOLP.
Nilai LOLP biasanya dinyatakan dalam hari per tahun. 
“Makin kecil nilai LOLP, makin tinggi keandalan sistem. Sebaliknya, makin besar nilai LOLP, makin rendah
keandalan sistem, karena hal ini berarti probabilitas sistem tidak dapat melayani beban yang makin besar.”
Nilai LOLP dapat diperkecil dengan menambah daya terpasang atau menurunkan nilai Forced Outage
Rate (FOR).
A. Definisi EAF
EAF (Equivalent Availability Factor) adalah faktor kesiapan unit pembangkit. Nilai EAF berupa perbandingan
yang didapat dari kesiapan pembangkit untuk beroperasi (baik dalam kondisi stand by ataupun operasi) dibagi
terhadap waktu.
Lebih detailnya lihat rumus berikut ini.

EAF = (PH-PO-PD/PH) x 100%

Keterangan:

PH       : Plant Hour (jam), PO       : Plant Outage (jam), D         : Derating (jam)

Di Indonesia, fungsi EAF tidak hanya sebagai salah satu parameter utama baik buruknya kinerja tetapi juga
berkontribusi sebagai salah satu sumber pendapatan Unit Pembangkit itu sendiri. Hal ini disebabkan sistem
kelistrikan di Indonesia menggunakan Model Komponen dimana tariflistrik dari Pembangkit kepada PLN
dinilai dari dua hal, yakni Kesiapan Unit Pembangkit (EAF) dan Penjualan Energi Listrik. Meskipun
pembangkit tersebut dalam keadaan stand by (tidak beroperasi tetapi tidak dalam kondisi Outage), pembangkit
tersebut sudah dibayar.

B.  Faktor yang mempengaruhi EAF


1. Plant Hour
Plant Hour adalah jumlah jam yang seharusnya bisa digunakan pembangkit untuk beroperasi.Karena
pembangkit listrik bekerja penuh 24 jam nonstop, maka Nilai Plant Hour dari semua pembangkit listrik adalah
sama 24 x 365 (jumlahhari dalam satu tahun) = 8760. Jika pembangkit tersebut mempunyai EAF 100 %
artinya Pembangkit tersebut mampu bekerja penuh selama 8760 jam tanpa berhenti.

2. Outage
Outage adalah kondisi saat pembangkit tidak beroperasi. Outage disebabkan bermacam-macam. Ada

 Plant Outage (PO) atau Outage yang memang diakibatkan adanya pekerjaan pemeliharaan periodik
pembangkit seperti inspeksi, overhaul atau pekerjaan lainnya yang sudah dijadwalkan sebelumnya dalam
rencana tahunan pemeliharaan pembangkit atau sesuai rekomendasi pabrikan.
 Maintenance Outage (MO), Outage jenis ini disebabkan karena pekerjaan maintenance yang urgent
dan harus dilakukan saat unit stop. Karena urgent itulah biasanya unit terpaksa di stop dulu beberapa jam
untuk memberi kesempatan teknisi pemeliharaan melakukan pekerjaannya.
 Forced Outage (FO), Outage jenis ini adalah Outage yang tidak diharapkan. Outage ini disebabkan
adanya gangguan dari luar sehingga menyebabkan unit stop.
3. Derating
Derating adalah penurunan kemampuan unit pembangkit karena gangguan. derating terjadi apabila daya
keluaran (MW) unit kurang dari DMN-nya, derating digolongkan menjadi beberapa kategori yang berbeda.
Derating dimulai ketika unit tidak mampu untuk mencapai 98 % DMN dan lebih lama dari 30 menit. Derating
berakhir ketika peralatan yang menyebabkan derating tersebut kembali normal, terlepas dari apakah pada saat
itu unit diperlukan sistim atau tidak.Misalnya PLTU Muara Karang Unit 1 dengan kapasitas 35 MW hanya
bisa memproduksi listrikmaksimal 33 MW. Itu artinya Unit 1 tsb mengalami derating sebesar 2 MW.Beberapa
kategori derating sebagai berikut  :

 Planned Derating (PD), Planned Derating merupakan derating yang dijadwalkan dan durasinya


sudahditentukan sebelumnya dalam rencana tahunan pemeliharaan pembangkit.Derating berkala untuk
pengujian, seperti test klep turbin mingguan, bukanmerupakan Plant Derating tetapi Maintenance
Derating.
 Maintenance Derating (MO), Maintenance Derating merupakan derating yang dapat ditunda
melampaui akhirperiode operasi mingguan (Kamis, pukul 24:00 WIB) tetapi memerlukanpengurangan
kapasitas sebelum Plant Outage berikutnya.
 Unplanned (Forced) Derating (UD), Unplanned Derating merupakan derating yang memerlukan
penurunan kapasitassegera atau tidak memerlukan suatu penurunan kapasitas segera tetapimemerlukan
penurunan dalam waktu enam jam atau lebih.
 Derating Paksa ( Forced Derating, FD ), Derating Paksa adalah bagian dari Derating Tak
Terencanakarena adanya gangguan peralatan Unit Pembangkit sehingga perlu penurunanbeban sebelum
Rencana Operasi Harian berakhir.
 Reserve Shutdown (Rs) & Non Curtailing (Nc), Reserve Shutdown adalah suatu kondisi apabila unit
siap operasi namun tidak disinkronkan ke sistim karena beban yang rendah. Kondisi ini dikenal
jugasebagai economy outage atau economy shutdown. Jika suatu unit keluar karenaadanya permasalahan
peralatan, baik unit diperlukan atau tidak diperlukan olehsistim, maka kondisi ini dianggap sebagai FO,
MO atau PO, bukan sebagaireserve shutdown (RS).
4. Outside Management Control Outages

Ada sumber penyebab dari luar yang mengakibatkan unit pembangkit Deratingatau Outage  yang ada diluar
kendali. Dari data diata diatas pada umumnya derating terjadi, disebabkan oleh beberapahal diantaranya:
 MVAR
 Naiknya arus generator
 Nilai CosQ (naik dan turun).
 Elevasi Air dan Penyumbatan air yang terjadi disaluran trash rack .
EAF – Equivalent Availability Factor Suatu unit pembangkitan merupakan aset investasi yang bernilai
besar. Dibutuhkan dana yang cukup signifikan untuk membangun suatu unit pembangkitan. Dengan
investasi yang cukup besar, maka diharapkan suatu unit pembangkit dapat beroperasi dengan baik atau
kinerjanya memuaskan. Kriteria keberhasilan suatu unit pembangkit dapat ditinjau dari berapa besar
nilai keandalan unit secara equivalen (EAF – Equivalent Availability Factor). Target dari suatu unit
pembangkit adalah mendapatkan nilai EAF seoptimal mungkin, dengan efisiensi setinggi mungkin (heat
rate yang rendah) pada kisaran operasi rata-rata (Rated Load yang umumnya diambil dari data
spesifikasi Daya Mampu Netto – DMN). Atau dengan kata lain, unit pembangkit dapat beroperasi
dengan optimal dalam jangka waktu yang tidak terputus atau kontinyu dengan biaya pengoperasian
yang rasional. Nilai EAF yang tinggi berarti potensial kehilangan keuntungan dari tidak beroperasinya
unit pembangkit bisa ditekan seminimal mungkin. Sedangkan Heat Rate merupakan perbandingan
berapa besar kalor yang dibutuhkan untuk menghasilkan daya yang diharapkan. Heat Rate rendah, maka
setiap volume bahan bakar bisa menghasilkan daya listrik yang lebih besar daripada unit pembangkit
yang memiliki Heat Rate yang tinggi (lebih boros). Salah satu cara mudah untuk mengetahui nilai Heat
Rate unit pembangkit adalah dengan mengetahui berapa besar bahan bakar yang digunakan (Specific
Fuel Consumption – SFC). Makin besar SFC pada beban yang sama, maka unit pembangkit tersebut
makin boros. Terdapat beberapa faktor yang bisa mempengaruhi keberhasilan/ kinerja suatu unit
pembangkit. Faktor-faktor tersebut bahkan sudah bisa terlihat sebelum unit pembangkit dibangun.
Secara garis besar, faktor yang mempengaruhi keberhasilan suatu unit pembangkit adalah : 1. Faktor
Desain Dapat terlihat, faktor ini diawali jauh sebelum unit pembangkit memasuki Commercial Operation
Date – COD. Bahkan jauh sebelum suatu unit pembangkit dibangun. Faktor desain akan sangat
mempengaruhi karakteristik dari faktor-faktor berikutnya. Kalau diibaratkan suatu rumah, maka faktor
desain adalah faktor yang menjadi azas suatu rumah dibangun. Pada suatu instalasi unit pembangkitan,
tinjauan dari faktor desain berupa : Faktor perancangan kapasitas Perancangan kapasitas pembangkit
akan mempengaruhi perancangan parameter-parameter operasi, misalnya tekanan, temperatur dan
flow main steam. Tipe turbin, Single cylinder, HP with reheat, atau double LP cylinder casing. Faktor
pemilihan bahan bakar Bahan bakar yang akan digunakan mempengaruhi jenis konversi energi yang
akan dikendalikan menjadi daya listrik. Ambil misal pemilihan batubara jenis sub-bituminous dengan
nilai kalor LHV 5000 kkal/kg. Dari spesifikasi kandungan batubara (carbon content, volatile, moisture,
ash content, etc) akan mempengaruhi secara spesifik perancangan pola pembakaran, baik itu
penanganan bahan bakar, maupun konstruksi furnace (ruang bakar) boiler. Selain itu, komponen
pendukung pengoperasian juga akan mengikuti tipe pemilihan bahan bakar. Misalnya, desain Air and
Flue Gas System, desain ash handling, bahkan desain sistem pengendalian pembakaran. Faktor lokasi/
lingkungan Faktor lokasi yang menjadi perhatian utama adalah : - reservoir pendingin, apakah
menggunakan air tawar, atau air laut - humidity - Corrosion Rate - seismic movement - wind velocity -
City Waste or Sedimentation - Tidal Faktor standar desain dan material yang digunakan Terdapat
beberapa referensi dalam perancangan unit pembangkit, bisa menggunakan ASME Code, ANSI, JIS, DIN
secara konsisten. Yang dimaksud secara konsisten disini adalah faktor aspek-aspek safety dan
kemudahan operasi dan pemeliharaan unit pembangkit di masa mendatang. Dengan menggunakan
standar yang jelas, akan didaptkan kemudahan dalam pemilihan material dan spare part yang
dibutuhkan. Faktor analisa biaya Perencanaan biaya akan mempengaruhidalam pengambilan keputusan
pemilihan unit pembangkit. Pada teori ekonomi konvensional, keuntungan didapatkan dengan
mengambil marjin yang besar antara biaya dan pendapatan. Tetapi pada pendekatan modern, akan
terlihat bahwa komponen ekonomi bukan hanya pada biaya dan pendapatan, akan tetapi juga pada
kemampuan unit pembangkit untuk mengurangi potensial loss berupa kegagalan beroperasi. Jika
menitikberatkan pada fixed cost yang rendah tanpa memperhatikan kualitas sesuai dengan proporsinya,
maka hampir bisa dipastikan akan berhadapan dengan variabel cost berupa biaya operasi pemeliharaan
yang tinggi, dan potensial loss yang tinggi pula. 2.  Faktor Konstruksi Setelah kaidah-kaidah desain yang
sesuai diterapkan, maka fase selanjutnya dalam siklus hidup pembangkit adalah fase konstruksi
(erection). Konstruktor dihadapkan pada suatu tanggung jawab untuk mewujudkan desain yang sudah
disepakati ke dalam bentuk nyata. Kecerobohan dalam fase konstruksi bisa membawa dampak yang
akan merugikan, bahkan bertahun-tahun sesudah COD. Hal ini sudah terbukti di banyak kasus.
Keteledoran pekerja konstruksi dalam menyimpan peralatan, bahkan tertinggal dalam tube boiler,
menyebabkan kebocoran yang selain menyebabkan downtime, juga bisa membahayakan keselamatan
kerja bagi pelaksana pekerjaan. Peran QC dan Safety engineer sangat vital dalam fase ini. Keseuaian
material, kesesuaian bentuk dengan desain, kesesuaian sistem kontrol dengan desain membuat umur
pembangkit bertahan sesuai dengan umur teknis dan ekonomis yang diharapkan. 3. Faktor Komisioning
Komisioning atau fase pengetesan menjadi titik awal keberhasilan atau kegagalan suatu unit
pembangkit. Fase ini dimulai dengan individual test masing-masing peralatan, menjadi individual test
system, dan akhirnya secara menyeluruh test performa unit pembangkitan. Pada fase ini dilakukan fine
tuning untuk mengatur sistem kontrol pembangkit agar berjalan sesuai dengan kriteria desain yang
diharapkan. Kegagalan operasi pada fase ini merupakan suatu petunjuk untuk melihat potensial-
potensial risk yang mungkin terjadi. Apakah unit pembangkit dapat menghadapi suatu kegagalan dengan
aman (fail-safe operation). Pelaksanaan komisioning secara serius bisa memberikan gambaran yang jelas
tentang kondisi awal unit pembangkit. Jika unit pembangkit lulus dari fase ini, maka unit pembangkit
siap memasuki periode komersial (COD) 4. Faktor Operasi dan Pemeliharaan Seperti mesin pada
umumnya, pola operasi dan pemeliharaan akhirnya menjadi suatu faktor yang vital pengaruhnya bagi
kinerja pembangkit. Pola operasi yang sesuai dengan desain (Standard Operation Procedure – SOP), pola
pemeliharaan yang sesuai dengan Standard Maintenance Procedure, dan continuous Improvement akan
membuat Unit Pembangkit beroperasi dengan kinerja yang baik. Dengan Kinerja yang baik, maka bisa
diharapkan keuntungan dari investasi yang telah ditanamkan akan bisa diraih. Telah banyak metoda
yang bagus yang sudah dikembangkan bisa diterapkan untuk mempertahankan dan meningkatkan
kinerja Unit Pembangkitan. Akan tetapi, faktor kunci dari Operasi dan Pemeliharaan yang baik adalah
SDM yang berkualitas dalam hal Soft Competence dan Hard Competence, Manajerial yang baik, serta
kesungguhan hati dan niat yang tulus dari tiap pelaksana pekerjaan untuk bekerja secara baik
NPHR
Menghitung Plant Heat Rate PLTU
March 30, 2015   Electrical, Mechanical   60 Comments

Suatu peralatan atau sistem yang menghasilkan output yang diinginkan misalnya listrik, uap,
gerak, dan lainnya tentunya memiliki performa terukur. Nilai performa ini didefinisikan sebagai
perbandingan antara usaha yang dilakukan dibandingkan dengan nilai posistif yang didapatkan.
Misalnya pada pompa diukur dengan effisiensinya, Air conditioner (AC) performanya diukur
berdasarkan Coefficient of performance (COP) , begitupun pembangkit listrik tentu ada suatu nilai
performa yang diukur.
Suatu pembangkit listrik diukur performanya berdasarkan suatu nilai yang disebut dengan Heat
rate dengan satuan yang biasa digunakan adalah  kKal/kW h. Parameter tersebut
merepresentasikan nilai energi input dibandingkan dengan energi yang dihasilkan dalam kilo watt
hour (kWh). Misalkan suatu PLTU memiliki heatrate 3000 kkal/ kW h artinya PLTU tersebut
membutuhkan bahan bakar dengan energi sebesar 3000 kkal untuk menghasilkan 1 kWh.
Pada PLTU ada beberapa heatrate berdasarkan posisi pengambilan titik pengukurannya:

1. Turbine Heat rate (THR)


2. Gross Plant Heat rate (GPHR)
3. Nett Plant Heat Rate (NPHR)
Representasi dari ketiga titik ini dapat dilihat pada gambar dibawah ini:
Dimana:

Eff B  : Effisiensi Boiler

GT     : generator transformer

UAT  : Unit Auxiliary transformer

Dari gambar diatas dapat dilihat definisi beberapa istilah heatrate dan dapat diformulasikan
sebagai berikut:

1. Turbine heat rate (THR)= Laju heat yang masuk ke Siklus Uap/Generator Output
Laju heat yang masuk ke siklus uap dapat di hitung dari perbedaan parameter fluida yang masuk
ke boiler dan steam yang keluar boiler, sehingga jika kita mengambil contoh heat & Mass Balance
Diagram postingan sebelumnya, maka dapat diformulasikan menjadi:
THR = m1 (H1 –  H2)/ Gross Output
Dimana:

 H1 = Enthalpy Steam Out Boiler (kJ/kg)


 H2 = Enthalpy Water In Boiler(kJ/kg)
 M1 = Laju Aliran massa fluida (kg/h
 Gross Output = Power output generator (kW)
Sehingga

THR = 35.9 ton/h* (3400-635.9 )kJ/kg  ÷ 8500 kW

= 35900 kg/h *(2764.1) kJ/kg ÷ 8500 kW= 11674.26 kJ/kW.h

= 2788.35 kKal/ kW.h


Formula tersebut hanya berlaku untuk boiler yang tidak menggunakan reheater, jika
menggunakan reheater, maka laju heat yang masuk ke reheater pun harus ditambahkan kedalam
formula.

2. Gross Plant Heat rate (GPHR) = Laju heat yang masuk ke Boiler/Generator Output
Laju heat yang masuk kedalam siklus uap tentu berbeda dengan laju heat yang masuk ke Boiler.
Setiap boiler memiliki nilai effisiensi sehingga tidak 100% heat yang masuk ke boiler akan
terserap kedalam siklus uap, sehingga jika dihitung secara termal saja dari Turbine Heatrate (THR)
dalam menghitung bahan bakar yang dibutuhkan tentunya tidak akan cukup untuk menghasilkan
daya (kW) yang sama sesuai Heat & mass balance diagram.

Untuk menghitung laju heat yang masuk ke Boiler, tinggal kita hitung Bahan bakar yang
dimasukkan kedalam boiler, sehingga dapat diformulasikan sebagai berikut:

GPHR = Cv bahan bakar * Flowrate / gross Out (KW)


Dimana:

Cv bahan bakar = Nilai Kalori Bahan bakar (kkal/kg)

Flowrate = laju aliran bahan Bakar (kg/h)

Akan tetapi formula ini hany bisa dipakai pada saat performance test, dimana parameter bahan
bakar terutama pengukuran flowrate bahan bakar sudah dilakukan,  sedangkan pada saat tahap
desain, dapat menggunakan formula sebagai baerikut:

GPHR = THR ÷ Eff Boiler


Dimana : Efisiensi Boiler diestimasikan terlebih dahulu oleh engineer desain, tentunya harus
dengan pengalaman dan perhitungan yang matang, sehingga tidak meleset jauh dari desain yang
diinginkan.  Karena biasanya parameter GPHR ini dalam proyek EPC  Powerplant menjadi suatu
garansi performance, jika tidak tercapai akan terkena denda performance.

kemudian sesuai dengan perhitungan THR diatas didapatkan THR =2788.35 kKal/ kW.h, dan
estimasi effisiensi Boiler 79% (HHV Basis)

Sehingga

GPHR = 2788.35 kKal/ kWh ÷ 79%

=3529. 56 kkal/kWh

3. Nett Plant Heat Rate (NPHR = Laju Heat yang masuk ke Boiler/ Nett Output
Laju heat yang masuk ke boiler sama dengan penjelasan  diatas, sedangkan yang dimaksud
dengan Nett Output adalah Daya (power) yang dihasilkan suatu pembangkit listrik setelah
dikurangi daya yang dipakai sendiri oleh pembangkit tersebut (Auxiliary Power) untuk
menjalankan berbagai peralatan didalamnya seperti pompa, motor-motor, Kompressor, Water
treatment, dan lainnya. Sehingga dapat diformulasikan sebagai berikut
NPHR = GPHR ÷ (1- Aux. Power/Gross  output)
Diimana :

 GPHR = 3529. 56 kkal/kWh


 Aux Power: asumsi 15% dari Gross Output 8500 kW = 1275 kW
Maka

NPHR = 3529. 56 kkal/kWh ÷ (1-0.15) =4152. 4 kkal/kwh

Anda mungkin juga menyukai