PENDAHULUAN
BAB II
STATUS PSIKIATRI
I. Identitas Pasien :
Nama : Tn. Samsun Bahri
Umur : 28 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : RT 06 Sungai Mancur Tanah Sepenggal Lintas Muaro
Bungo
Status Perkawinan : Cerai
Suku : Melayu
Bangsa : Indonesia
Agama : Islam
Pekerjaan : Petani
Pendidikan Terakhir : Tidak Sekolah
III. ANAMNESIS
Keterangan/anamnesis dibawah ini diperoleh dari :
1. Pasien sendiri (Autoanamnesis)
2. Informan (Alloanamnesis)
Dua tahun yang lalu Os di bawa keluarganya berobat ke RSJ dan berobat
rawat jalan. Namun, Os tidak teratur minum obat dan dalam 3 bulan ini Os
tidak lagi minum obat dikarenakan Os menolak minum obat. Os belum pernah
dirawat di RSJ.
Keluhan Os semakin parah dalam 3 minggu ini dimana Os sering
mengamuk, sulit tidur, nafsu makan menurun, mudah marah dan tidak mau
mandi. Tadi malam (Kamis, 27 Februari 2014) Os bertengkar dan memukul
kakaknya. Os juga membanting barang – barang di rumah.
Menurut Os, ia marah karena merasa ada yang sering mengganggu nya
dan merasa curiga dengan orang-orang disekitar. Os juga sering mendengar
bisikan suara “Bunuh Dia, Pukul Dia”. Selain itu, Os juga mengaku sulit untuk
tidur. Os merasa ada orang yang bertindak jahat terhadapnya, selain itu os juga
merasa seperti dikejar – kejar oleh penjahat. Pengakuannya tidak bisa
disangkal. Sebelum sakit, Os adalah orang yang ramah dan baik.
7. Riwayat Pribadi
1. Masa Kanak Awal (hingga usia 3 tahun)
Riwayat prenatal : Ibu Os hamil cukup bulan dan persalinan dibantu oleh
dukun beranak, dan Ibu Os tidak ada masalah kesehatan fisik dan psikis
ketika mengandung Os, Os lahir normal, tidak ada masalah tumbuh
kembang Os, Os anak yang diinginkan oleh orang tuanya.
Kebiasaan makan : Os mendapatkan ASI dari ibunya
Perkembangan awal : perkembangan bahasa, perkembangan motorik,
kecemasan terhadap orang asing, cemas berpisah : sulit dinilai
Toilet training : usia mulai dilakukan, sikap orang tua, perasaan tentang
hal ini, pengendalian urinasi dan defekasi : sulit dinilai
Gejala gangguan perilaku : mengisap jempol (-), membenturkan kepala
(-), ketakutan (-), mengompol atau defekasi di tempat tidur (-), menggigiti
kuku (-), masturbasi (-)
Temperamen : pemalu (-), gelisah (-), aktif (+), menarik diri (-), rajin (+),
senang bermain di luar (+)
A. Penampilan
1. Identifikasi pribadi :
Sikap tubuh : gelisah (+) diam (-), aneh (-)
Sikap terhadap pemeriksa : koperatif (-), tidak kooperatif (+), penuh
perhatian (-), penuh minat (-), jujur (-), menggoda (-), defensif (-),
bermusuhan (-), menyenangkan (-), manis (-), menghindar (+), berhati-
hati (-)
Kesehatan fisik : Sehat (+), marah-marah (-)
2. Perilaku dan aktivitas psikomotor :
Cara melangkah normal (+),gerak tubuh normal (+), ekopraksia (-),
katalepsi (-), luapan katatonik (-), stupor katatonik (-), rigiditas katatonik
(-), posturing katatonik (-), cerea flexibilitas (-), negativisme (-),
katapleksi (-), streotipik (-), mennerisme (-), otomatisme (-), otomatisme
perintah (-), mustisme (-), agitasi psikomotor (-), hiperaktivitas (-), tik (-),
ataksia (-), hipoaktivitas (-), agresi (-), acting out (-).
3. Gambaran umum :
Cara berpakaian : Pasien datang dengan pakaian cukup rapi, menggunakan
baju kaos dan celana hitam pendek
B. Bicara
Cepat (-), lantang (-), emosional (-), lambat (+), ragu-ragu (+), tertekan (-),
tertahan (-), monoton (-), keras (-), cadel (-), berbisik (-), pelo (-),
menggumam (-), gagap (-), ekolalia (-).
Mood : disforik (-), eutimik (-), exspansive (-), irritable (+), labil (+), elevated
(-), euphoria (-), ectasy (-), depresi (-), anhedonia (-), dukacita/berkabung (-),
aleksitimia (-)
Emosi lainnya : anxiety (-), free floating anxiety (-), agitasi (+), tension (-),
panic (-), apatis (-), ambivalensi (-), abreaksional (-), agresi (-), takut (-), putus
asa (-), marah (-), merasa kosong (-), merasa berdosa (-), malas (-), merasa
sia-sia (-), merasa rendah diri (-), simpati (-)
E. Sensorium
a. Alertness : compos mentis (+), somnolen (-), stupor (-), berkabut (-),
delirium (-), koma (-)
b. Orientasi :
Waktu : baik, Os mengetahaui saat pemeriksaan siang hari
Tempat : Terganggu, Os tidak mengatahui ia berada di RSJ Jambi
Orang : baik, Os mengetahui orang-orang yang mengantar Os ke RSJ
c. Konsentrasi dan kalkulasi : terganggu
d. Memori : gangguan memori jauh (+), gangguan memori agak lama (-),
gangguan memori baru saja (-), gangguan memori segera (-)
e. Pengetahuan umum : baik
f. Pikiran abstrak : terganggu
g. Tilikan
Derajat 1 dirinya menyangkal sepenuhnya bahwa dia sakit
h. Pengendalian impuls : terganggu
i. Daya nilai
Penilaian sosial : terganggu
V. RINGKASAN PENEMUAN
Tn. Samsun (28 tahun) datang ke Rumah Sakit Jiwa diantara oleh keluarganya
dengan keluhan sering berbicara sendiri, marah-marah, mengamuk dan mudah
curiga sejak ± 3 tahun yang lalu.
Dua tahun yang lalu Os di bawa keluarganya berobat ke RSJ dan berobat rawat
jalan. Namun, Os tidak teratur minum obat dan dalam 3 bulan ini Os tidak lagi
minum obat dikarenakan Os menolak minum obat. Os belum pernah dirawat di
RSJ.
Menurut Os, ia marah karena merasa ada yang sering mengganggu nya dan
merasa curiga dengan orang-orang disekitar. Os juga sering mendengar bisikan
suara “Bunuh Dia, Pukul Dia”. Selain itu, Os juga mengaku sulit untuk tidur. Os
merasa ada orang yang bertindak jahat terhadapnya, selain itu os juga merasa
seperti dikejar – kejar oleh penjahat. Pengakuannya tidak bisa disangkal.
Sebelum sakit, Os adalah orang yang ramah dan baik.
3.1 Definisi
Skizofrenia adalah sama prevalensinya antara laki-laki dan wanita. Tetapi, dua
jenis kelamin tersebut menunjukkan perbedaan dalam onset dan perjalanan penyakit.
Laki-laki mempunyai onset skizofrenia yang lebih awal dibandingkan wanita. Usia
puncak onset untuk laki-laki adalah 15 sampai 25 tahun, untuk wanita usia puncak
adalah 25 sampai 35 tahun. Onset skizofrenia sebelum usia 10 tahun atau sesudah 50
tahun adalah sangat jarang. Kira-kira 90 persen pasien dalam pengobatan skizofrenia
adalah antara usia 15 dan 55 tahun. Beberapa penelitian telah menyatakan bahwa
laki-laki adalah lebih mungkin dari pada wanita untuk terganggu oleh gejala negatif
dan bahwa wanita lebih mungkin memiliki fungsi sosial yang lebih baik daripada
laki-laki. Pada umumnya, hasil akhir untuk pasien skizofrenia wanita lebih baik
daripada hasil akhir untuk skizofrenia laki-laki.3
3.3 Etiologi
3.3.1 Stress – Diathesis Model
Merupakan integrasi faktor biologis, faktor psikososial, faktor lingkungan.
Model ini mendalilkan bahwa seseorang mungkin memiliki suatu kerentanan spesifik
(diathesis) yang jika dikenai oleh suatu pengaruh lingkungan yang menimbulkan
stress, memungkinkan perkembangan skizofrenia. Semakin besar kerentanan
seseorang, maka stressor kecilpun dapat menyebabkan menjadi skizofrenia. Semakin
kecil kerentanan, maka butuh stressor yang besar untuk membuatnya menjadi
penderita skizofrenia. Sehingga secara teoritis, seseorang tanpa diathesis tidak akan
berkembang menjadi skizofrenia, walaupun sebesar apapun stressornya.
3.3.2 Neurobiologi
Terdapat beberapa area tertentu dalam otak, yang berperan dalam membuat
seseorang menjadi patologis, yaitu: sistem limbik, korteks frontal, cerebellum, dan
ganglia basalis. Keempat area tersebut saling berhubungan, sehingga disfungsi pada
satu area mungkin melibatkan proses patologis primer pada area yang lain. 2 hal yang
menjadi sasaran penelitian, waktu dimana kerusakan neuropatologis muncul pada
otak, dan interaksi pada kerusakan tersebut dengan stressor lingkungan dan sosial.
- Ada korelasi antara efektivitaas dan potensi suatu obat antipsikotik dengan
kemampuannya bertindak sebagai antagonis reseptor dopamin D2.
- Obat yang meningkatkan aktifitas dopaminergik seperti amfetamin dapat
menimbulkan gejala psikotik pada siapapun.4
Jalur-Jalur Dopamin
a. Nigrostriatal pathway
Jalur ini juga terlibat dalam terjadi diskinesia Tardif, yng merupakan salah satu
efek samping obat-obat antipsikotik. Obat-obat ini (terutama obat-obat antipsikotik
lama) menghalangi reseptor dopamin D2 pada banyak jalur di otak.
b. Mesocortical pathway
Fungsi kognif normal dari korteks prefrontal dorsolateral (bagian dari lobus
frontalis) dan diperkirakan terlibat dalam respon motivasi dan emosional. Jalur ini
diperkirakan berhubungan dengan gejala-gejala negatif dari skizofrenia
c. Tuberoinfundibular pathway
Jalur tuberoinfundibular mengarah kepada neurodopamin pada nukleus
arquatus dari hipotalamus dari mediobasal yang menghubungkan eminensia
media. Kerja antipsikotik bekerja dengan cara menghalangi dopamin di jalur ini
sehingga menyebabkan hormon prolaktin meningkat di dalam darah
(hiperprolaktinemia).
d. Mesolimbic pathway
3.3.4 Neurotransmiter
a. Serotonin
b. Norepinephrine
Peningkatan jumlah data mengatakan bahwa sistem noradrenegic memodulasi
sistem dopaminegik dengan cara sistem noradrenegic yang abnormal
mempredisposisikan pasien untuk relaps lebih sering.
c. GABA
d. Glutamate
e. Neuropeptida
3.3.5 Neuropathologi
a. Sistem Limbik
3.3.7 Psikoneuroendokrinologi
Pusat teori Freud adalah suatu “decanthexis” objek dan suatu regresi
dalam respon terhadap frustasi dan konflik dengan orang lain. Banyak
gagasan Freud tentang skizofrenia diwarnai oleh tidak adanya keterlibatan
dirinya secara intensif dengan pasien skizofrenik.
2. Teori psikodinamika
3. Teori belajar
3.8 Penatalaksanaan
3.8.1 Psikofarmakoterapi
Medikasi antipsikotik diindikasikan untuk hampir semua episode psikosis akut
dari skizofrenia. Terapi harus dimulai sesegera mungkin karena penderita skizofrenia
mempunyai resiko mencelakai diri sendiri (atau bunuh diri) dan orang disekitarnya.
1,10
Pada pemberian peroral, dimulai dengan dosis awal sesuai dengan dosis
anjuran, umumnya untuk pasien dewasa diberikan klorpromazid 3 x 100 mg atau
antipsikotik lain dengan dosis ekivalennya. Dosis awal dapat dinaikan setiap 5 – 7
hari (2 – 3 hari bila ingin diperoleh respons yang cepat) sebesar 30 – 50% dosis awal
sampai mencapai dosis efektif (mulai timbul peredaan simtom target psikotik). Dosis
ini kemudian dievaluasi setiap 2 minggu (bila perlu dinaikan sebesar 30 – 50%)
sampai mencapai dosis optimal (keadaan dimana semua simtom target psikotik sudah
dapat diatasi atau hanya memperlihatkan gejala minimal). Dosis optimal ini
dipertahankan minimal 6 bulan (fase stabilisasi). 1,11
Jika remisi simptom akut psikotik tidak tercapai dengan dosis adekuat suatu
antipsikotik tipikal dalam waktu 6 minggu, perlu dipertimbangkan penggantian obat
ke obat antipsikotik atipikal. Pada kebanyakan kasus, pasien yang kurang berespons
terhadap suatu antipsikotik tipikal biasanya juga kurang berespons terhadap
antipsikotik tipikal lainnya. 1,11
Pada pasien non-kooperatif dengan simtom akut yang berat dan kecenderungan
melukai diri sediri atau orang lain disekitarnya (agitasi, hiperaktivitas psikomotor,
impulsif, menyerang, gaduh gelisah, destruktif dan lain-lain), dapat diberikan
neurelptisasi cepat. Neuroleptisasi cepat (Rapid Neuroleptization/Psikotolisis/
Digitalisasi) adalah pemberian dosis berulang suatu medikasi antipsikotik secara
intramuskular (IM) dalam waktu singkat (setiap 30 – 60 menit) sampai dicapai sedasi
yang jelas. 1,11
Pada fase ini simtom akut sudah dapat dikendalikan tetapi pasien masih
mempunyai resiko relaps jika pengobatan dihentikan atau dosis obat diturunkan
terlalu dini atau pasien berhadapan dengan stres yang berlebihan. Tujuan pengobatan
fase stabilisasi adalah untuk memfasilitasi kelanjutan pengurangan simtom yang telah
diperoleh dari pengobatan fase akut, mencegah relaps, mempertinggi adaptasi pasien
terhadap kehidupan di masyarakat dan konsolidasi menuju remisi.
Pengobatan dengan jenis dan dosis optimal obat yang sama pada fase akut harus
dipertahankan minimal 6 bulan. Penurunan dosis dan penghentian obat yang terlalu
dini akan memicu terjadinya relaps dalam waktu relatif singkat, biasanya 1 bulan
setelah penghentian obat. 10,12
Salah satu strategi menurunkan dosis yaitu dengan cara medikasi intermiten,
dimana antipsikotik hanya diberikan apabila pasien memerlukannya. Strategi ini
mengharuskan keluarga dan pasien mampu mengenali gejala dan tanda eksaserbasi
awal dari suatu relaps (misalnya ansietas, iritabilitas, gangguan tidur, tingkah laku
aneh, ide paranoid, gangguan persepsi). Bila hal ini dijumpai medikasi antipsikotik
harus mulai diberikan kembali untuk periode tertentu, biasanya 1 – 3 bulan.
Walaupun pendekatan ini dapat meningkatkan rehospitalisasi, pendekatan terapi ini
aman dan efektif untuk beberapa pasien. Banyak studi melaporkan bahwa terapi
intermiten kurang efektif dalam mengurangi kejadian relaps dibanding dengan
pemberian dosis pemeliharaan terus-menerus. 3
Strategi lain adalah dengan cara pemberian intermiten medikasi depot dalam
dosis yang sama dengan pemberian oral. Bila ditemukan gejala prodormal dini dari
kejadian relaps, dapat ditambahkan medikasi oral. Pendekatan ini merupakan strategi
efektif yang membuat terapi dengan dosis kecil menjadi lebih aman. 12
Dose Anjuran
Antipsikotik Group Kimia
(mg/hari p.o.)
Typical
Diphenilbutylpiperidine 2–4
Atypical
Gejala psikosis yang dominan, apabila gejala negatif (afek tumpul, penarikan
diri, hipobulia, isi pikiran miskin) lebih menonjol dari gejala positif (waham,
halusinasi, bicara kacau, perilaku tak terkendali) pada pasien skizofrenia, pilihan obat
antipsikotik atipikal perlu dipertimbangkan. Khususnya pada pasien skizofrenia yang
tidak dapat mentolelir efek samping ekstrapiramidal atau mempunyai resiko medik
dengan adanya gejala ekstrapiramidal. 10,12
Cara atau rute pemberian, pada kebanyakan kondisi, pasien mendapat terapi
dengan obat antipsikotik oral. Kebanyakan obat antipsikotik mempunyai waktu paruh
panjang yang memungkinkan pemberian dosis sehari. Pada keadaan dimana pasien
menolak makan obat atau diperlukan onset yang sangat cepat, dapat diberikan obat
bermasa kerja pendek secara intra muscular (IM). Pemberian antipsikotik secara IM
menghasilkan kadar puncak plasma dalam 30 menit dan efek klinis dihasilkan
dalam 15 – 30 menit. Pemberian antipsikotik secara oral menghasilkan kadar puncak
plasma dalam waktu 1 – 4 jam. Dosis antipsikotik untuk pemberian IM adalah kira-
kira ½ dosis yang diberikan secara oral. 12,14
BAB IV
ANALISIS KASUS
Dua tahun yang lalu Os di bawa keluarganya berobat ke RSJ dan berobat
rawat jalan. Namun, Os tidak teratur minum obat dan dalam 3 bulan ini Os
tidak lagi minum obat dikarenakan Os menolak minum obat. Os belum pernah
dirawat di RSJ.
Menurut Os, ia marah karena merasa ada yang sering mengganggu nya
dan merasa curiga dengan orang-orang disekitar. Os juga sering mendengar
bisikan suara “Bunuh Dia, Pukul Dia”. Selain itu, Os juga mengaku sulit untuk
tidur. Os merasa ada orang yang bertindak jahat terhadapnya, selain itu os juga
merasa seperti dikejar – kejar oleh penjahat. Pengakuannya tidak bisa disangkal.
Sebelum sakit, Os adalah orang yang ramah dan baik.
Riwayat penggunaan alkohol dan NAPZA disangkal. Riwayat gangguan
psikosomatik dan neurologi juga disangkal. Os merupakan anak ke 3 dari 3
bersaudara. Tidak terdapat riwayat keluarga Os yang menderita gangguan jiwa.