Anda di halaman 1dari 51

BAB I

PENDAHULUAN

Skizofrenia merupakan suatu deskirpsi sindrom dengan variasi penyebab


(banyak belum diketahui) dan perjalanan penyakit (tidak selalu bersifat kronis
“deteriorating”) yang luas, serta sejumlah akibat yang tergantung pada perimbangan
pengaruh genetik, fisik, dan sosial budaya.1

Pada umumnya ditandai oleh penyimpangan yang fundamental dan


karakteristik dari pikiran dan persepsi, serta afek yang tidak wajar (inappropriate)
atau tumpul (blunted). Kesadaran composmentis dan kemampuan intelektual biasanya
tetap terpelihara, walaupun kemunduran kognitif tertentu dapat terjadi dikemudian
hari.1

Skizofrenia adalah sama-sama prevalensinya antara laki-laki dan wanita.


Tetapi, dua jenis kelamin tersebut menunjukkan perbedaan dalam onset dan
perjalanan penyakit. Laki-laki mempunyai onset lebih awal daripada wanita. Usia
puncak onset untuk laki-laki adalah 15 sampai 25 tahun; untuk wanitausia puncak
adalah 25 sampai 35 tahun. Onset skizofrenia sebelum usia 10 tahun atau sesudah 50
tahun adalah sangat jarang.3

Penyebab skizofrenia sampai sekarang belum diketahui secara pasti. Namun,


berbagai teori telah berkembang seperti model diastasis-stes dan hipotesis dopamine.
Model diastasis stress merupakan satu model yang mengintegrasikan faktor biologis,
psikososial, dan lingkungan.4

Gangguan skizofrenia berdasarkan PPDGJ III yaitu skizofrenia paranoid,


skizofrenia hebefrenik, skizofrenia katatonik, skizofrenia tak terinci, depresi pasca
skizofrenia, skizofrenia residual, skizofrenia simpleks, skizofrenia lainnya,
skizofrenia ytt. Beberapa kriteria diagnostic untuk subtype skizofrenia menurut DSM-
IV yaitu tipe paranoid, tipe terdisorganisasi, tipe katatonik, tipe tak tergolongkan, dan
tipe residual.3,4

BAB II

STATUS PSIKIATRI

I. Identitas Pasien :
Nama : Tn. Samsun Bahri
Umur : 28 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : RT 06 Sungai Mancur Tanah Sepenggal Lintas Muaro
Bungo
Status Perkawinan : Cerai
Suku : Melayu
Bangsa : Indonesia
Agama : Islam
Pekerjaan : Petani
Pendidikan Terakhir : Tidak Sekolah

MRS : 28 Februari 2014

II. Identitas dari Alloanamnesis :


Nama : Ny. Saripah
Umur : 39 tahun
Alamat : RT 06 Sungai Mancur Tanah Sepenggal Lintas
Muaro Bungo
Pekerjaan : Petani
Pendidikan Terakhir : SD
Hubungan dengan pasien : Kakak Kandung
Keakraban dengan pasien : Akrab dengan pasien
Kesan pemeriksa terhadap keterangan yang diberikan : Dapat dipercaya

III. ANAMNESIS
Keterangan/anamnesis dibawah ini diperoleh dari :
1. Pasien sendiri (Autoanamnesis)
2. Informan (Alloanamnesis)

1. Pasien datang ke fasilitas kesehatan ini atas keinginan :


 Keluarga

2. Sebab utama pasien dibawa ke Rumah Sakit Jiwa Kota Jambi :


 Os mengamuk, merusak barang – barang, mengoceh, suka keluyuran, susah
tidur dan tidak mau makan
3. Keluhan Utama
 Os merasa pusing, gelisah, sulit tidur dan punggungya terasa berat

4. Riwayat Perjalanan Penyakit Sekarang


Os dibawa ke RSJ Kota Jambi pada tanggal 28 Februari 2014 dengan
keluhan Os sering terlihat berbicara sendiri,susah tidur dan mengamuk serta
mudah curiga pada istrinya sejak ± 3 tahun yang lalu.

Menurut kakak Os, keluhan Os berawal sejak Os bercerai dengan


istrinya. Os mudah curiga kepada oranglain dan selalu berpikir bahwa istrinya
telah berselingkuh. Semenjak itu, Os sering terlihat tertawa sendiri, berbicara
sendiri dan melamun. Os juga sering marah – marah tanpa sebab.

Dua tahun yang lalu Os di bawa keluarganya berobat ke RSJ dan berobat
rawat jalan. Namun, Os tidak teratur minum obat dan dalam 3 bulan ini Os
tidak lagi minum obat dikarenakan Os menolak minum obat. Os belum pernah
dirawat di RSJ.
Keluhan Os semakin parah dalam 3 minggu ini dimana Os sering
mengamuk, sulit tidur, nafsu makan menurun, mudah marah dan tidak mau
mandi. Tadi malam (Kamis, 27 Februari 2014) Os bertengkar dan memukul
kakaknya. Os juga membanting barang – barang di rumah.

Menurut Os, ia marah karena merasa ada yang sering mengganggu nya
dan merasa curiga dengan orang-orang disekitar. Os juga sering mendengar
bisikan suara “Bunuh Dia, Pukul Dia”. Selain itu, Os juga mengaku sulit untuk
tidur. Os merasa ada orang yang bertindak jahat terhadapnya, selain itu os juga
merasa seperti dikejar – kejar oleh penjahat. Pengakuannya tidak bisa
disangkal. Sebelum sakit, Os adalah orang yang ramah dan baik.

5. Riwayat Penyakit Dahulu


1. Gangguan mental emosional : Os pernah berobat jalan di RSJ ± 2 tahun yang
lalu dengan keluhan sering melamun, berbicara sendiri, tertawa sendiri dan
marah-marah lalu diberi pengobatan yaitu Risperidon, THP, CPZ. Awalnya
tampak efek pengobatan yaitu os terlihat lebih tenang. Namun Os tidak
teratur minum obat.
2. Gangguan psikosomatik (-), gangguan kondisi fisik (-),penggunaan alkohol
dan NAPZA (-),
3. Gangguan neurologis : sakit kepala (+), trauma kepala (-), kehilangan
kesadaran (-), gangguan penglihatan (-), gangguan pendengaran (-), kejang ()
6. Riwayat Keluarga
a. Budaya dan norma agama yang dianut : melayu dan agama Islam
b. Identitas Orang Tua
Identitas Bapak Ibu
Nama Tn. Sulmar Ny. Fatimah (alm)
Umur 69 tahun
Pendidikan SD SD
Pekerjaan Petani IRT
Alamat RT 06 Sungai Mancur Tanah RT 06 Sungai Mancur Tanah
Sepenggal Lintas Muaro Sepenggal Lintas Muaro
Bungo Bungo
Suku Melayu Melayu
Hubungan keakraban Akrab
dengan pasien

c. Os anak ke 3 dari 3 bersaudara,

 Riwayat gangguan jiwa dikeluarga Os ; Tidak ada riwayat gangguan jiwa


dalam keluarga
 Dampak yang dialami oleh Os : sejak 2 bulan ini Os tidak lagi bekerja.

7. Riwayat Pribadi
1. Masa Kanak Awal (hingga usia 3 tahun)
 Riwayat prenatal : Ibu Os hamil cukup bulan dan persalinan dibantu oleh
dukun beranak, dan Ibu Os tidak ada masalah kesehatan fisik dan psikis
ketika mengandung Os, Os lahir normal, tidak ada masalah tumbuh
kembang Os, Os anak yang diinginkan oleh orang tuanya.
 Kebiasaan makan : Os mendapatkan ASI dari ibunya
 Perkembangan awal : perkembangan bahasa, perkembangan motorik,
kecemasan terhadap orang asing, cemas berpisah : sulit dinilai
 Toilet training : usia mulai dilakukan, sikap orang tua, perasaan tentang
hal ini, pengendalian urinasi dan defekasi : sulit dinilai
 Gejala gangguan perilaku : mengisap jempol (-), membenturkan kepala
(-), ketakutan (-), mengompol atau defekasi di tempat tidur (-), menggigiti
kuku (-), masturbasi (-)
 Temperamen : pemalu (-), gelisah (-), aktif (+), menarik diri (-), rajin (+),
senang bermain di luar (+)

2. Masa Kanak Pertengahan (usia 3 sampai 11 tahun)


Ibu Os meninggal pada saat usia Os menginjak 3 tahun dan setelah itu Os
diasuh oleh kakaknya. Pertama masuk sekolah Os merasa senang, Os anak
yang pendiam.
3. Masa Kanak Akhir (prapubertas sampai remaja)
 Hubungan dengan teman sebaya : Os tidak memiliki banyak teman
 Riwayat Sekolah : hubungan dengan guru baik
 Perkembangan kognisi dan motorik : Os baru bisa membaca saat kelas 2
SD, Os Suka bermain bola
 Masalah emosional atau fisik pada remaja : mimpi buruk (+), fobia (-),
mengompol (-), melarikan diri (-), merokok (+), penggunaan obat
terlarang dan alkohol (-), masalah berat badan (-)
 Riwayat psikoseksual : Os mendapat pengetahuan seksual dari buku, Os
tidak tertarik sesama jenis, Os pernah pacaran.
 Latar belakang agama : tidak ada masalah
4. Masa Dewasa
 Riwayat pekerjaan : Os bekerja ± 4tahun sebagai pegawai rumah makan
di RM Bungo, kemudian Os berhenti dan menjadi petani. Os pernah
berkeinginan membuka kebun tetapi tidak tercapai.
 Aktivitas social: Os jarang bergaul dengan lingkungan
 Seksualitas dewasa : Os pernah pacaran dan sudah menikah
 Riwayat kemiliteran : tidak ada riwayat militer
 Sistem nilai : Os senang dengan pekerjaannya dan dia rajin bekerja, Os
percaya dengan adanya surga dan neraka, dimana surga tempat bagi
orang yang baik sedangkan neraka tempat bagi orang yang jahat

II. PEMERIKSAAN PSIKIATRI KHUSUS

A. Penampilan
1. Identifikasi pribadi :
Sikap tubuh : gelisah (+) diam (-), aneh (-)
Sikap terhadap pemeriksa : koperatif (-), tidak kooperatif (+), penuh
perhatian (-), penuh minat (-), jujur (-), menggoda (-), defensif (-),
bermusuhan (-), menyenangkan (-), manis (-), menghindar (+), berhati-
hati (-)
Kesehatan fisik : Sehat (+), marah-marah (-)
2. Perilaku dan aktivitas psikomotor :
Cara melangkah normal (+),gerak tubuh normal (+), ekopraksia (-),
katalepsi (-), luapan katatonik (-), stupor katatonik (-), rigiditas katatonik
(-), posturing katatonik (-), cerea flexibilitas (-), negativisme (-),
katapleksi (-), streotipik (-), mennerisme (-), otomatisme (-), otomatisme
perintah (-), mustisme (-), agitasi psikomotor (-), hiperaktivitas (-), tik (-),
ataksia (-), hipoaktivitas (-), agresi (-), acting out (-).
3. Gambaran umum :
Cara berpakaian : Pasien datang dengan pakaian cukup rapi, menggunakan
baju kaos dan celana hitam pendek

B. Bicara
Cepat (-), lantang (-), emosional (-), lambat (+), ragu-ragu (+), tertekan (-),
tertahan (-), monoton (-), keras (-), cadel (-), berbisik (-), pelo (-),
menggumam (-), gagap (-), ekolalia (-).

C. Mood dan Afek


Afek : appropriate (-), inappropriate (-), restriksi (-), tumpul (+), datar (-),
labil (+)

Mood : disforik (-), eutimik (-), exspansive (-), irritable (+), labil (+), elevated
(-), euphoria (-), ectasy (-), depresi (-), anhedonia (-), dukacita/berkabung (-),
aleksitimia (-)

Emosi lainnya : anxiety (-), free floating anxiety (-), agitasi (+), tension (-),
panic (-), apatis (-), ambivalensi (-), abreaksional (-), agresi (-), takut (-), putus
asa (-), marah (-), merasa kosong (-), merasa berdosa (-), malas (-), merasa
sia-sia (-), merasa rendah diri (-), simpati (-)

D. Pikiran dan persepsi


1. Gangguan umum dalam bentuk atau proses berpikir
Psikosis (+)
2. Gangguan spesifik bentuk pikiran
Neologisme (-), word salad (-), sirkumstansialitas (-), tangensialitas,
inkoheren (+), perservasi (-), verbigerasi (-), ekolalia (-), kondensasi (-) ,
jawaban tidak relevan (-), pengenduran asosiasi (-), keluar jalur (-), flight
of ideas (-), asosiasi bunyi (-), penghambatan (-), glossolalia (-)
3. Gangguan spesifik isi pikiran
Waham kejar (+), Waham curiga (+). Os merasa dikejar – kejar penjahat
dan ada yang ingin membunuhnya.
Waham cemburu (+),.Os merasa istrinya berselingkuh dengan mertuanya.
4. Gangguan persepsi
 Halusinasi auditorik (+), Os mendengar bisikan yang mengatakan
“Bunuh Dia, Pukul Dia”
 Ilusi (-)
5. Fantasi dan mimpi : Os ingin membuka lahan tetapi tidak tercapai.

E. Sensorium
a. Alertness : compos mentis (+), somnolen (-), stupor (-), berkabut (-),
delirium (-), koma (-)
b. Orientasi :
Waktu : baik, Os mengetahaui saat pemeriksaan siang hari
Tempat : Terganggu, Os tidak mengatahui ia berada di RSJ Jambi
Orang : baik, Os mengetahui orang-orang yang mengantar Os ke RSJ
c. Konsentrasi dan kalkulasi : terganggu
d. Memori : gangguan memori jauh (+), gangguan memori agak lama (-),
gangguan memori baru saja (-), gangguan memori segera (-)
e. Pengetahuan umum : baik
f. Pikiran abstrak : terganggu
g. Tilikan
Derajat 1 dirinya menyangkal sepenuhnya bahwa dia sakit
h. Pengendalian impuls : terganggu
i. Daya nilai
Penilaian sosial : terganggu

IV. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK LEBIH LANJUT


1. Pemeriksaaan Fisik
Keadaan umum
Kesadaran : Kompos mentis
TD : 130/100 mmHg
Nadi : 80 x/menit
Suhu : 37 C
RR : 24 x/menit
2. Pemeriksaan Neurologis : tidak ada kelainan
3. Pemeriksaan Psikometrik : Tidak dilakukan pemeriksaan
4. Pemeriksaan laboratorium : Tidak dilakukan pemeriksaan
5. Pemeriksaan Penunjang Lainnya : Tidak dilakukan pemeriksaan

V. RINGKASAN PENEMUAN
Tn. Samsun (28 tahun) datang ke Rumah Sakit Jiwa diantara oleh keluarganya
dengan keluhan sering berbicara sendiri, marah-marah, mengamuk dan mudah
curiga sejak ± 3 tahun yang lalu.

Menurut kakak Os, keluhan Os berawal sejak Os bercerai dengan istrinya. Os


mudah curiga kepada oranglain dan selalu berpikir bahwa istrinya telah
berselingkuh. Semenjak itu, Os sering terlihat tertawa sendiri, berbicara sendiri
dan melamun. Os juga sering marah – marah tanpa sebab.

Dua tahun yang lalu Os di bawa keluarganya berobat ke RSJ dan berobat rawat
jalan. Namun, Os tidak teratur minum obat dan dalam 3 bulan ini Os tidak lagi
minum obat dikarenakan Os menolak minum obat. Os belum pernah dirawat di
RSJ.

Keluhan Os semakin parah dalam 3 minggu ini dimana Os sering mengamuk,


sulit tidur, nafsu makan menurun, mudah marah dan tidak mau mandi. Tadi
malam (Kamis, 27 Februari 2014) Os bertengkar dan memukul kakaknya. Os
juga membanting barang – barang di rumah.

Menurut Os, ia marah karena merasa ada yang sering mengganggu nya dan
merasa curiga dengan orang-orang disekitar. Os juga sering mendengar bisikan
suara “Bunuh Dia, Pukul Dia”. Selain itu, Os juga mengaku sulit untuk tidur. Os
merasa ada orang yang bertindak jahat terhadapnya, selain itu os juga merasa
seperti dikejar – kejar oleh penjahat. Pengakuannya tidak bisa disangkal.
Sebelum sakit, Os adalah orang yang ramah dan baik.

Riwayat penggunaan alkohol dan NAPZA disangkal. Riwayat gangguan


psikosomatik dan neurologi juga disangkal. Os merupakan anak ke 3 dari 3
bersaudara. Tidak terdapat riwayat keluarga Os yang menderita gangguan jiwa.

Dari hasil observasi didapatkan kesadaran Os kompos mentis, Os datang


dengan pakaian cukup rapi, menggunakan baju kaos dan celana pendek, sikap
terhadap pemeriksa tidak koperatif dan perilaku dan aktivitas psikomotor
normal. Os berbicara lambat, dan ragu – ragu. Afek Os tumpul dan labil, mood
iritabel dan labil. Terdapat gangguan umum proses pikir Os yaitu psikosis,
gangguan spesifik bentuk pikiran yaitu inkoheren dan gangguan spesifik isi
pikiran yaitu waham kejar, waham curiga, waham cemburu. Os mengalami
gangguan persepsi berupa halusinasi auditorik. Orientasi waktu, dan orang baik,
orientasi tempat terganggu, konsentrasi dan kalkuulasi terganggu, memori jauh
terganggu, pikiran abstrak terganggu dan Os menyangkal sepenuhnya bahwa ia
sakit, pengendalian impuls terganggua dan daya nilai sosial Os terganggu.

VI. DIAGNOSIS BANDING


 F20.0 Skizofrenia Paranoid
 Gangguan Psikotik akibat obat
 Berpura-pura dan gangguan buatan

VII. DIAGNOSIS MULTIAKSIAL


Aksis I : F.20.0 Skizofrenia Paranoid
Aksis II : Tidak ada diagnosis
Aksis III : Tidak ada diagnosis
Aksis IV : Masalah psikososial dan lingkungan
Aksis V : GAF 60 - 51, gejala sedang (moderate), disabilitas berat
VIII. PROGNOSIS
 Qua ad vitam : ad bonam
 Qua ad functional : ad bonam

IX. RENCANA TERAPI MENYELURUH


 Rawat inap
Indikasi utama perawatan Os di rumah sakit adalah:
- Tujuan diagnostik
- Menstabilkan medikasi
- Keamanan pasien dan orang-orang disekitar pasien
- Perilaku yang kacau dan tidak sesuai
 Farmakoterapi :
Risperidon 2 mg, 2 x 1 tab/hari/Oral

Trihexyphenidyl 2 mg, 2 x 1 tab/hari/Oral

Chlorpromazine 100 mg, 1 x 1 tab malam/hari Oral

Inj Govotil 1 ampul


BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi

Menurut PPDGJ-III, Skizofrenia adalah suatu sindrom dengan variasi


penyebab dan perjalanan penyakit yang luas, serta sejumlah akibat yang tergantung
pada perimbangan pengaruh genetik, fisik dan sosial budaya. 1 Ciri gejala skizofrenia
adalah psikosis, seperti halusinasi auditorik (suara) dan delusi (keyakinan yang
salah). Gangguan kognisi atau gangguan dalam pengolahan informasi adalah gejala
yang mengganggu kehidupan sehari-hari. Orang dengan skizofrenia memiliki
penurunan fungsi dalam pekerjaan, pernikahan, dan hidup mandiri dibandingkan
dengan orang normal lainnya.2

Klasifikasi skizofrenia menurut DSM-IV, ada 5 yakni subtipe paranoid,


terdisorganisasi (hebefrenik), katatonik, tidak tergolongkan dan residual. Untuk
istilah skizofrenia simpleks dalam DSM-IV adalah gangguan deteriorative sederhana.
Sedangkan menurut Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ)
di Indonesia yang ke-III skizofrenia dibagi ke dalam 6 subtipe yaitu katatonik,
paranoid, hebefrenik, tak terinci (undifferentiated), simpleks, residual dan depresi
pasca skizofrenia. 3,4
3.2 Epidemiologi

Banyak penelitian yang telah dilakukan untuk mencari penyebab skizofrenia


dan diketahui bahwa faktor genetik memegang peranan penting dalam terjadinya
skizofrenia. Bukti adanya peran genetik tersebut dapat dilihat dari beberapa penelitian
seperti studi keluarga, studi anak kembar, dan anak angkat. Dari hasil penelitian
didapatkan bahwa resiko menderita skizofrenia pada saudara kandung (full siblings)
14,2%; saudara sepupu (half siblings) 7,1%; orang tua 9,2%; anak-anak 16,4%;
kembar dizigot 14,5%; kembar monozigot 46,1%; dan pada anak-anak yang kedua
orang tuanya menderita skizofrenia, risiko sebesar 39,2%.4

Skizofrenia adalah sama prevalensinya antara laki-laki dan wanita. Tetapi, dua
jenis kelamin tersebut menunjukkan perbedaan dalam onset dan perjalanan penyakit.
Laki-laki mempunyai onset skizofrenia yang lebih awal dibandingkan wanita. Usia
puncak onset untuk laki-laki adalah 15 sampai 25 tahun, untuk wanita usia puncak
adalah 25 sampai 35 tahun. Onset skizofrenia sebelum usia 10 tahun atau sesudah 50
tahun adalah sangat jarang. Kira-kira 90 persen pasien dalam pengobatan skizofrenia
adalah antara usia 15 dan 55 tahun. Beberapa penelitian telah menyatakan bahwa
laki-laki adalah lebih mungkin dari pada wanita untuk terganggu oleh gejala negatif
dan bahwa wanita lebih mungkin memiliki fungsi sosial yang lebih baik daripada
laki-laki. Pada umumnya, hasil akhir untuk pasien skizofrenia wanita lebih baik
daripada hasil akhir untuk skizofrenia laki-laki.3

Skizofrenia tidak terdistribusi rata secara geografis di seluruh dunia. Secara


historis, prevalensi skizofrenia di Timur Laut dan Barat Amerika Serikat lebih tinggi
dibandingkan daerah lainnya.3

Penelitian insiden pada gangguan yang relative jarang terjadi, seperti


skizofrenia, sulit dilakukan. Survei telah dilakukan diberbagai Negara, namun dan
hampir semua hasil menunjukkan tingkat insiden per tahun skizofrenia pada orang
dewasa dalam rentang yang sempit berkisar antara 0,1 dan 0,4 per 1000 penduduk. Ini
merupakan temuan utama dari penelitian di 10 negara yang dilakukan oleh WHO.
Untuk prevalensi atau insiden skizofrenia di Indonesia belum ditentukan sampai
sekarang, begitu juga untuk setiap subtipe skizofrenia.3

3.3 Etiologi
3.3.1 Stress – Diathesis Model
Merupakan integrasi faktor biologis, faktor psikososial, faktor lingkungan.
Model ini mendalilkan bahwa seseorang mungkin memiliki suatu kerentanan spesifik
(diathesis) yang jika dikenai oleh suatu pengaruh lingkungan yang menimbulkan
stress, memungkinkan perkembangan skizofrenia. Semakin besar kerentanan
seseorang, maka stressor kecilpun dapat menyebabkan menjadi skizofrenia. Semakin
kecil kerentanan, maka butuh stressor yang besar untuk membuatnya menjadi
penderita skizofrenia. Sehingga secara teoritis, seseorang tanpa diathesis tidak akan
berkembang menjadi skizofrenia, walaupun sebesar apapun stressornya.

3.3.2 Neurobiologi

Penelitian menunjukan bahwa pada pasien skizofrenia ditemukan adanya


kerusakan pada bagian otak tertentu. Namun, sampai kini belum diketahui bagaimana
hubungan antara kerusakan pada bagian otak tertentu dengan munculnya symptomp
skizofrenia.

Terdapat beberapa area tertentu dalam otak, yang berperan dalam membuat
seseorang menjadi patologis, yaitu: sistem limbik, korteks frontal, cerebellum, dan
ganglia basalis. Keempat area tersebut saling berhubungan, sehingga disfungsi pada
satu area mungkin melibatkan proses patologis primer pada area yang lain. 2 hal yang
menjadi sasaran penelitian, waktu dimana kerusakan neuropatologis muncul pada
otak, dan interaksi pada kerusakan tersebut dengan stressor lingkungan dan sosial.

3.3.3 Dopamin – Hypothesis

Menurut hipotesa ini, Schizophrenia terjadi akibat dari peningkatan aktifitas


neurotransmitter dopaminergik. Peningkatan ini mungkin merupakan akibat dari
meningkatnya pelepasan dopamin, terlalu banyaknya reseptor dopamin, turunnya
nilai ambang, atau hipersensitifitas reseptor dopamin, atau kombinasi dari faktor-
faktor tersebut. Munculnya hipotesa ini berdasarkan observasi bahwa :

- Ada korelasi antara efektivitaas dan potensi suatu obat antipsikotik dengan
kemampuannya bertindak sebagai antagonis reseptor dopamin D2.
- Obat yang meningkatkan aktifitas dopaminergik seperti amfetamin dapat
menimbulkan gejala psikotik pada siapapun.4

Jalur-Jalur Dopamin

a. Nigrostriatal pathway

Jalur nigrostriatal adalah jalur saraf yang menghubungkan substansia nigra


dengan striatum. Jalur ini merupakan salah satu dari empat jalur dopamin yang
utama didalam otak. Kehilangan neuron-neuron dopamin dalam substansia nigra
adalah salah satu dari penyebab penyakit Parkinson. Gejala penyakit biasa belum
muncul sampai terjadi kehilangan 70-80% fungsi dopamin.

Jalur ini juga terlibat dalam terjadi diskinesia Tardif, yng merupakan salah satu
efek samping obat-obat antipsikotik. Obat-obat ini (terutama obat-obat antipsikotik
lama) menghalangi reseptor dopamin D2 pada banyak jalur di otak.

b. Mesocortical pathway

Jalur mesokortikal adalah suatu jalur saraf yang menghubungkan tegmentum


ventra ke korteks, terutama lobus frontalis.

Fungsi kognif normal dari korteks prefrontal dorsolateral (bagian dari lobus
frontalis) dan diperkirakan terlibat dalam respon motivasi dan emosional. Jalur ini
diperkirakan berhubungan dengan gejala-gejala negatif dari skizofrenia

c. Tuberoinfundibular pathway
Jalur tuberoinfundibular mengarah kepada neurodopamin pada nukleus
arquatus dari hipotalamus dari mediobasal yang menghubungkan eminensia
media. Kerja antipsikotik bekerja dengan cara menghalangi dopamin di jalur ini
sehingga menyebabkan hormon prolaktin meningkat di dalam darah
(hiperprolaktinemia).

d. Mesolimbic pathway

Jalur mesolimbik menghubungkan tegmentum sentral di otak tengah dengan


nukleus arquatus. Jalur ini diduga terlibat di dalam terbentuknya perasaan-
perasaan yang berhubungan dengan kenikmatan dan nafsu. Jalur ini merupakan
salah satu target utama dari pengobatan antipsikotik.

Pada penyakit parkinson kehilanagan neuron-neuron dopamin terjadi lebih


cepat di jalur nigrostriatal dan karena defisit neuron belum menimbulkan gejala
sampai terjadi kehilangan 80-90%, angka kehilangan neuron pada jalur ini bersifat
asimptomatik.5

3.3.4 Neurotransmiter

a. Serotonin

Serotonin telah banyak perhatian dalam penelitian skizofrenia sejak penelitian


yang membuat bahwa serotonin-dopamin antagonists (SDA) contohnya: clozopine,
risperidone, sertindole mempunyai hubungan aktivitas serotonin yang poten.
Secara khusus antagonis dari serotonin 5-HT2 reseptor telah dianggap penting
dalam mengurangi gejalah-gejala psikotik dan mengurangi pertumbuhan kelainan-
kelainan yang berhubungan dengan D2 antagonis.

b. Norepinephrine
Peningkatan jumlah data mengatakan bahwa sistem noradrenegic memodulasi
sistem dopaminegik dengan cara sistem noradrenegic yang abnormal
mempredisposisikan pasien untuk relaps lebih sering.

c. GABA

Beberapa data secara konsisten dengan hipotesis bahwa beberapa pasien


dengan skizofrenia mempunyai kekurangan neuron GABA pada hipokampus.

d. Glutamate

Memproduksi sindrom akut yang mirip dengan skizofrenia.

e. Neuropeptida

Dua neuropeptida, cholecystokinin dan neurotensin ditemukan didaerah otak


yang berimplikasi pada skizofrenia.5,6

3.3.5 Neuropathologi

a. Sistem Limbik

Karena perannya dalam mengontrol emosi, sistem limbik telah dihipotesiskan


terlibat dalam dasar patologi terjadinya skizofrenia.

b. Ganglia basalis dan serebelum

Penelitian neuropatologis pada ganglia basalis telah menghasilkan berbagai


laporan yang tidak meyakinkan tentang hilangnya sel atau penurunan volume
globus palidus dan substansia nigra. Sebaliknya banyak penelitian telah
menunjukkan suatu peningkatan jumlah reseptor D2 di dalam kaudatus putamen,
dan nukleus accumbens, tetapi pertanyaan adalah apakah peningkatan tersebut
sekunder karena pasien telah mendapatkan medikasi antipsikotik.4,7
3.3.6 Psikoneuroimunologi

Sejumlah kelainan imunologis telah dihubungkan pada pasien skizofrenik.


Kelainan tersebut adalah penurunan produksi Interleukin-2 sel T, penurunan jumlah
dan responsivitas limfosit perifer, kelainan pada reaktivitas seluler dan humoral
terhadap neuron, dan adanya antibody yang diarahkan ke otak (antibrain antibodies).
Data dapat diinterpretasikan secara bervariasi mewakili suatu virus neurotoksik atau
suatu gangguan autoimun endogen. Penelitian yang dilakukan dengan sangat cermat
yang mencari adanya bukti – bukti infeksi neurotoksik pada skizofrenia telah
menghasilkan hasil yang negative, walaupun data epidemiologis menunjukkan
tingginya insidensi skizofrenia setelah pemaparan prenatal dengan influenza selama
beberapa episode penyakit. Data lain yang mendukung suatu hipotesis viral adalah
peningkatan jumlah anomali fisik saat lahir, peningkatan angka kehamilan dan
komplikasi kelahiran, musiman kelahiran yang konsisten dengan infeksi viral,
kumpulan geografis kasus dewasa, dan musiman perawatan dirumah sakit. Namun
demikian, ketidakmampuan untuk mendeteksi bukti – bukti genetik infeksi virus
menurunkan kepentingan dari semua data secara tidak langsung tersebut.
Kemungkinan adanya antibody otak autoimun memiliki beberapa data yang
menunjangnya; tetapi, proses patofisiologisnya, jika ada, kemungkinan menjelaskan
hanya sekumpulan kecil populasi skizofrenik.4,8

3.3.7 Psikoneuroendokrinologi

Banyak laporan menggambarkan perbedaan neuroendokrin antara kelompok


pasien dan kelompok subjek kontrol normal. Sebagai contohnya, tes supresi
deksametason telah dilaporkan abnormal pada berbagai subkelompok pasien
skizofrenik, walaupun nilai praktis atau nilai prediktif dari tes ini pada skizofrenik
telah dipertanyakan. Tetapi, satu laporan yang dilakukan secara cermat telah
menghubungkan nonsupresi persisten pada tes supresi deksametason pada skizofrenia
dengan hasil jangka panjang yang buruk.
Beberapa data menunjukkan penurunan konsentrasi leutinizing hormone-
follicle stimulating hormone (LH/FSH), kemungkinan dihubungkan dengan onset
usia dan lamanya penyakit. Dua kelainan tambahan yang dilaporkan adalah
penumpulan pelepasan prolaktin dan hormone pertumbuhan terhadap stimulasi
gonadotropin-relasing hormone (GnRH) atau thyrotropin-releasing hormone (TRH)
dan suatu penumpulan pelepasan hormone pertumbuhan terhadap stimulasi
apomorfin yang mungkin dikorelasikan dengan adanya gejala negatif. 4,5

3.3.8 Faktor Genetika

Berbagai macam penelitian telah dengan kuat menyatakan suatu komponen


genetik terhadap penurunan skizofrenia. Penelitian klasik awal tentang genetika dari
skizofrenia, dilakukan pada tahun 1930-an, menemukan bahwa seseorang
kemungkinan menderita skizofrenia jika anggota keluarga lainnya juga menderita
skizofrenia dan kemungkinan seseorang menderita skizofrenia adalah berhubungan
dengan dekatnya hubungan persaudaraan tersebut (sebagai contohnya, sanak saudara
derajat pertama atau derajat kedua). Kembar monozigot memiliki angka kesesuaian
yang tertinggi. Penelitian pada kembar monozigot yang diadopsi menunjukkan bahwa
kembar yang diasuh oleh orangtua angkat mempunyai skizofrenia dengan
kemungkinan yang sama besarnya seperti saudara kembarnya yang dibesarkan oleh
orangtua kandungnya. Temuan tersebut menyatakan bahwa pengaruh genetik
melebihi pengaruh lingkungan. Untuk mendukung lebih lanjut dasar genetika adalah
pengamatan bahwa semakin parah skizofrenia, semakin mungkin kembar adalah
sama – sama menderita gangguan. satu penelitian yang mendukung stress-diathesis
model menunjukkan bahwa kembar monozigot yang diadopsi yang kemudian
menderita skizofrenia kemungkinan telah diadopsi oleh keluarga yang telah
mengalami gangguan psikis.4

Banyak hubungan antara tempat kromosom tertentu dan skizofrenia telah


dilaporkan didalam literatur sejak penerapan luas teknik biologi molekuler. Lebih dari
setengah kromosom telah dihubungkan dengan skizofrenia dalam berbagai laporan
tersebut, tetapi lengan panjang kromosom 5,11, dan 18; lengan pendek kromosom 19;
dan kromosom X adalah yang paling banyak dilibatkan. Kromosom 6,8, dan 22 juga
telah dilibatkan. Literatur adalah pedoman terbaik sebagai dasar genetic heterogen
yang potensial untuk skizofrenia.4

Populasi Prevalensi (%)


Populasi umum 1,0
Bukan saudara kembar pasien 8,0
skizofrenik
Anak dengan satu orang tua skizofrenik 12,0
Kembar dizigot pasien skizofrenik 12,0
Anak dari kedua orang tua skizofrenik 40,0
Kembar monozigot pasien skizofrenik 47,0

3.3.9 Faktor Psikososial

Jika skizofrenia merupakan penyakit otak maka kemungkinan penyakit ini


sejalan dengan penyakit dari organ lain (misalnya infark miokard dan diabetes) yang
perjalanannya dipengaruhi oleh stress psikososial. Juga sejalan dengan penyakit
kronis lain (misal PPOK), terapi obat saja jarang mendapat perbaikan klinis yang
maksimal.

 Teori tentang pasien individual


1. Teori psikoanalitis

Sigmund Freud mendalilkan bahwa skizofrenia disebabkan karena


fiksasi dalam perkembangan yang terjadi lebih awal yang menyebabkan
perkembangan neurosis. Freud juga mendalilkan bahwa adanya defek ego
juga berperan dalam gejala skizofrenia. Disintegrasi ego merupakan suatu
pengembalian ke waktu dimana ego masih belum ditegakkan atau baru mulai
ditegakkan. Jadi, konflik intrapsikis yang disebabkan yang disebabkan dari
fiksasi awal dan defek ego, yang mungkin telah disebabkan oleh hubungan
objek awal yang buruk, merupakan bahan bakar gejala psikotik.

Pusat teori Freud adalah suatu “decanthexis” objek dan suatu regresi
dalam respon terhadap frustasi dan konflik dengan orang lain. Banyak
gagasan Freud tentang skizofrenia diwarnai oleh tidak adanya keterlibatan
dirinya secara intensif dengan pasien skizofrenik.

Pandangan psikoanalisis umum tentang skizofrenia menghipotesiskan


bahwa defek ego mempengaruhi interpretasi kenyataan dan pengendalian
dorongan – dorongan dari dalam (inner drives), seperti seks dan agresi.
Gangguan terjadi akibat penyimpangan hubungan timbal balik antara bayi dan
ibunya. Seperti yang dijelaskan oleh Margaret Mahler, anak – anak tidak
mampu untuk berpisah dan berkembang melebihi kedekatan dan
ketergantungan lengkap yang menandai hubungan ibu-anak dalam fase oral
perkembangan.

Orang skizofrenik tidak pernah mencapai ketetapan objek, yang


ditandai oleh suatu perasaan identitas yang pasti dan yang disebabkan
perlekatan erat dengan ibunya selama masa bayi. Paul Fedem menyimpulkan
bahwa gangguan mendasar pada skizofrenia adalah ketidakmampuan awal
pasien untuk mencapai perbedaan diri dan objek. Beberapa ahli psikoanalisis
menghipotesiskan bahwa defek dalam fungsi ego yang belum sempurna
memungkinkan permusuhan dan agresi yang hebat sehingga menganggu
hubungan ibu-bayi, yang menyebabkan suatu organisasi kepribadian menjadi
rentan terhadap stress. Onset gejala selama masa remaja terjadi pada suatu
saat jika orang memerlukan suatu ego yang kuat untuk berfungsi secara
mandiri, untuk berpisah dari orang tua, untuk mengidentifikasi kewajiban,
untuk mengendalikan dorongan intermal yang meningkat dan untuk mengatasi
stimulasi eksternal yang kuat.
Teori psioanalitik juga mendalilkan bahwa berbagai gejala skizofrenia
mempunyai arti simbolik bagi pasien individual. Sebagai contohnya, fantasi
tentang dunia yang akan berakhir mungkin menyatakan suatu perasaan bahwa
dunia internal seseorang telah mengalami kerusakan. Perasaan kebesaran dapat
mencerminkan narsisme yang direaktivasi, dimana orang percaya bahwa
mereka adalah maha kuasa. Halusinasi mungkin menggantikan
ketidakmampuan pasien untuk menghadap kenyataan objektif dan mungkin
mencerminkan harapan atau ketakutan dari dalam diri manusia. Waham,
serupa dengan halusinasi adalah usaha regresi dan pengganti untuk
menciptakan suatu kenyataan baru atau untuk mengekspresikan rasa takut atau
dorongan yang tersembunyi.

2. Teori psikodinamika

Pandangan psikodinamika cenderung menganggap hipersensitivitas terhadap


stimulus persepsi yang didasarkan secara konstitusional sebagai suatu defisit.4

3. Teori belajar

Anak-anak yang menderita skizofrenia mempelajari reaksi dan cara berfikir


yang irasional dengan meniru orang tuanya yang mungkin memiliki masalah
emosionalnya sendiri yang bermakna.4

 Teori tentang keluarga


Perilaku keluarga yang patologis bermakna meningkatkan stress emosional
yang harus dihadapi pasien skizofrenik yang rentan.4

Jadi, klinisi harus mempertimbangkan faktor psikologis yang mempengaruhi


skizofrenia. Walaupun, secara historis, telah diperdebatkan bahwa faktor psikososial
secara langsung dan kausatif berhubungan dengan perkembangan skizofrenia,
pandangan awal tersebut tidak boleh menghalangi klinis modern untuk menggunakan
teori dan pedoman relevan dari pengamatan dan hipotesis masa lalu.7,8
3.4 Patogenesis
Pada skizofrenia terdapat penururnan aliran darah dan ambilan glukosa,
terutama di korteks prefrontalis (pada pasien dengan gejala positif) dan juga terdapat
penurunan jumlah neuron (penurunana jumlah substansi grisea). Selain itu, migrasi
neuron yang abnormal selama perkembangan otak secara patofisiologis sangat
bermakna. (A2). 9
Atrofi penonjolan dendrit dari sel pyramidal telah ditemukan di korteks
prefrontalis dan girus singulata. Penonjolan dendrit mengandung sinaps
glutamatergik, sehingga transmisi glutamatergiknya terganggu (A1). Selain itu,
pada area yang terkena, pembentukan GABA dan/jumlah neuron GABAergik
tampaknya berkurang sehingga penghambatan sel pyramidal menjadi berkurang. 9
Makna patofisiologis yang khusus dikaitkan dengan dopamine, avaibilitas
dpamin atau agonis dopamine yang berlebihan dapat menimbulkan gejala
skizofrenia, dan penghambat reseptor dopamine-D2 telah sukses digunakan dalam
penatalaksanaan skizofrenia. Disisi lain, penurunan reseptor D2 yang ditemukan di
korteks prefrontalis (A1), dan penurunan reseptor D1 dan D2 berkaitan dengan
gejala negatif skizofrenia, seperti kurangnya emosi. Penurunan reseptor dopamine
mungkin terjadi akibat pelepasan dopamine meningkat dan hal ini tidak memiliki
efek patogenetik.9

Dopamin berperan sebagai transmitter melalui bebrapa jalur (B) :


1. Jalur nigrostriatal : dari substantia nigra ke basal ganglia fungsi
gerakan, EPS.
2. Jalur mesolimbik : dari tegmental area menuju ke sistem limbik 
memori, sikap, kesadaran, proses stimulus.
3. Jalur mesocortical : dari tegmental area menuju ke frontal cortex 
kognisi, fungsi.
sosial, komunikasi, respons terhadap stress
4. Jalur tuberoinfendibular : dari hipotalamus ke kelenjar pituitary 
pelepasan prolaktin.

Serotonin mungkin juga berperan dalam menimbulkan gejala skizofrenia.


Kerja serotonin yang berlebihan dapat menyebabkan halusinasi, dan banyak obat
antipsikosik akan menghambat reseptor 5 HT2A (A1). 9
Gambar. Patogenesis Skizofrenia

Hipotesis/teori tentang patofisiologi skizofrenia :9

- Hiperdopaminergia pada sistem mesolimbik berkaitan dengan gejala


positif
- Hipodopaminergia pada sistem mesocortis dan nigrostriatal 
bertanggungjawab terhadap gejala negatif dan gejala ekstrapiramidal
- Reseptor dopamine yang terlibat adalah reseptor dopamine-2 (D2) 
dijumpai peningkatan densitas reseptor D2 pada jaringan otak pasien
skizoprenia
- Peningkatan aktivitas sistem dopaminergik pada sistem mesolimbik
bertanggungjawab terhadap gejala positif
- Peningkatan aktivitas serotonergik  menurunkan aktivitas dopaminergik
pada sistem mesocortis  bertanggung-jawab terhadap gejala negatif

3.5 Gejala dan Diagnosis


 Penampilan dan perilaku umum
Pasien dengan skizofrenia kronis cenderung menelantarkan penampilannya.
Kerapian dan higienis pribadi juga terabaikan. Mereka juga cenderung
menarik diri secara sosial.4
 Gangguan pembicaraan
Intinya terdapat gangguan pada proses pikir :
o Yang terganggu terutama adalah asosiasi. Asosiasi longgar berarti tidak
adanya hubungan antar ide. Kalimat-kalimatnya tidak saling berhubungan.
Kadang-kadang satu ide belum selesai diutarakan, sudah ditemukan ide
lainnya.
o Inkoherensiasi
o Clang association : asosiasi bunyi: misalnya piring, miring
o Neologisme : membentuk kata baru untuk menyatakan arti yang hanya
dipahami oleh dirinya sendiri
o Mutisme : sering tampak pada pasein skizofrenia katatonik
o Blocking : kadang-kadang fikiran terhenti, tidak timbul ide lagi 4
 Gangguan perilaku
o Gejala katatonik yang dapat berupa stupor atau gaduh dan gelisah
o Stereotipi : berulang-ulang melakukan suatu gerakan atau mengambil
sikap badan tertentu misalnya menarik-narik rambut dapat berlangsung
beberapa hari atau beberapa tahun
o Manerisme : stereotipi tertentu pada skizofrenia yang dapat dilihat dalam
bentuk grimas pada mukanya atau keanehan berjalan dan gaya berjalan
o Negativism : melakukan hal yang berlawanan dengan apa yang disuruh
o Otomatisme komando : menentang atau justru melakukan; semua perintah
justru dituruti secara otomatis.4
 Gangguan afek
o Kedangkalan respon emosi : pasien acuh tak acuh
o Anhedonia : perasaan halus juga hilang
o Parathimi : apa yang seharusnya menimbulkan rasa senang dan gembira,
pada penderita timbul rasa sedih atau marah
o Paramimi : penderita merasa senang dan gembira akan tetapi ia menangis
o Ambivalensi : karena terpecah-pecahnya kepribadian, maka dua hal yang
berlawanan mungkin timbul bersama-sama
o Sensitivitas emosi : menunjukan hipersensitivitas pada penolakan sering
menimbulkan isolasi social untuk menghindari penolakan.4
 Gangguan persepsi
o Halusinasi
Halusinasi paling sering adalah auditorik dalam bentuk suara manusia,
halusinasi penciuman, halusinasi pengecapan, dan halusinasi rabaan jarang
dijumpai4
 Gangguan pikiran
o Waham : waham sering tidak logis sama sekali.mayer gross membagi
waham dalam 2 kelompok : waham primer dan waham sekunder
 Waham primer timbul secara tidak logis sama sekali, tanpa penyebab
apa-apa dari luar
 Waham sekunder biasanya logis kedengarannya dapat diikuti dan
merupakan cara bagi penderita untuk menerangkan gejala-gejala
skizofrenia lain.4

Kriteria Diagnosis menurut PPDGJ-III, adalah:


I. Harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini yang amat jelas dan biasanya
dua gejala atau lebih bila gejala-gejala itu kurang jelas :
(a) “Thought echo” : Isi pikiran dirinya sendiri yang berulang atau bergema
dalam kepalanya (tidak keras), dan isi pikiran ulangan, walaupun isinya
sama, namun kulitasnya berbeda; atau
“Thought insertion or withdrawal” : Isi pikiran yang asing dari luar
masuk kedalam pikirannya (insertion) atau isi pikirannya diambil keluar
oleh sesuatu dari luar (withdrawal); dan
“Thought broadcasting” : Isi pikirannya tersiar keluar sehingga
orang lain atau umum mengetahuinya;
(b) “Delusion of control” : waham tentang dirinya dikendalikan oleh suatu
kekuatan tertentu dati luar; atau
“Delusion of influence” : waham tentang dirinya dipengaruhi oleh suatu
kekuatan tertentu dari luar; atau
“Delusion of passivity” : waham tentang dirinya tidak berdaya dan
pasrah terhadap suatu kekuatan dari luar; (tentang ‘dirinya”: secara jelas
merujuk ke pergerakan tubuh/anggota gerak atau ke pikiran, tindakan
atau penginderaan khusus);
“Delusional perception” : pengalaman inderawi yang tak wajar, yang
bermakna sangat khas bagi dirinya, biasanya bersifat mistik atau
mukjizat;
(c) Halusinasi auditorik :
 Suara halusinasi yang berkomentar secara terus menerus terhadap
perilaku pasien, atau
 Mendiskusikan perihal pasien diantara mereka sendiri (diantara
berbagai suara yang berbicara), atau
 Jenis suara halusinasi lain yang berasal dari salah satu bagian tubuh.
(d) Waham-waham menetap jenis lainnya, yang menurut budaya setempat
dianggap tidak wajar dan sesuatu yang mustahil, misalnya perihal
keyakinan agama atau politik tertentu, atau kekuatan dan kemampuan
diatas manusia biasa (misalnya mampu mengendalikan cuaca, atau
berkomunikasi dengan makhluk asing dari dunia lain).
II. Atau paling sedikit dua gejala dibawah ini yang harus selalu ada secara jelas :
(e) Halusinasi yang menetap dari panca indera apa saja, apabila disertai baik
oleh waham yang mengambang mauupun yang setengah berbentuk tanpa
kandungan afektif yang jelas, ataupun disertai ole hide-ide berlebihan
(over-valued ideas) yang menetap, atau apabila terjadi setiap hari selama
berminggu-minggu atau berbulan-bulan terus menerus;
(f) Arus pikiran yang terputus (break) atau yang mengalami sisispan
(interpolation), yang berakibat inkoherensi atau pembicaraan yang tidak
relevan, atau neologisme;
(g) Perilaku katatonik, seperti keadaan gaduh-gelisah (excitement), posisis
tubuh tertentu (posturing), atau fleksibilitas cerea, negativisme, mutisme,
dan stupor;
(h) Gejala-gejala “negative” seperti sikap sangat apatis, bicara yang jarang,
dan respons emosional yang menumpul atau tidak wajar, biasanya yang
mengakibatkan penarikan diri dari pergaulan social dan menurunnya
kinerja social; tetapi harus jelas bahwa semua hal tersebut tidak
disebabkan oleh depresi atau medikasi neuroleptika;
III. Adanya gejala-gejala khas tersebut diatas telah berlangsung selama kurun
waktu satu bulan atau lebih (tidak berlaku untuk setiap fase nonpsikotik
prodromal).
IV. Harus ada suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu
keseluruhan (overall quality) dari beberapa aspek perilaku pribadai (personal
behaviour), bermanifestasi sebagai hilangnya minat, hidup tak bertujuan,
tidak berbuat sesuatu, sikap larut dalam diri sendiri (self absorbed attitude),
dan penarikan diri secara sosial.
Kritetria penegakkan diagnosa berdasarkan DSM-IV (Kriteria resmi dari American
Psychiatric Association), antara lain :
A. Gejala karakteristik : Dua (atau lebih) berikut, masing-masing ditemukan untuk
bagian waktu yang bermakna selama periode 1 bulan (atau kurang jika diobati
dengan berhasil)
1) Waham
2) Halusinasi
3) Bicara terdisorganisasi (misalnya sering menyimpang atau inkoheren)
4) Perilaku terdisorganisasi atau katatonik yang jelas
5) Gejala negatif, yaitu :
 Afek datar
 Alogia
 Tidak ada kemauan (avolition)
Catatan : Hanya satu gejala kriteria A yang diperlukan jika waham
adalah kacau atau halusinasi terdiri dari suara yang terus-menerus
mengomentari perilaku atau pikiran pasien, atau dua atau lebih suara
yang saling bercakap-cakap satu sama lainnya.
B. Disfungsi sosial/pekerjaan : Untuk bagian waktu yang bermakna sejak onset
gangguan, satu atau lebih fungsi utama, seperti pekerjaan, hubungan
interpersonal, atau perawatan diri, adalah jelas di bwah tingkat yang dicapai
sebelum onset (atau jika onset pada masa anak-anak atau remaja, kegagalan
untuk mencapai tingkat pencapaian interpersonal, akademik, atau pekerjaan
yang diharapkan)
C. Durasi : Tanda ganguan terus-menerus menetap selama sekurangnya 6 bulan.
Periode 6 bulan ini harus termasuk sekurangnya 1 bulan gejala (atau kurang
jika diobati dengan berhasil) yang memenuhi kriteria A (yaitu, gejala fase
aktif) dan mungkin termasuk periode gejala prodromal atau residual. Selama
periode prodromal atau residual, tanda gangguan mungkin dimanifestasikan
hanya oleh gejala negative atau 2 atau lebih gejala yang dituliskan dalam
kriteria A dalam bentuk yang diperlemah (misalnya, keyakinan yang aneh,
pengalaman persepsi yang tidak lazim)
D. Penyingkiran gangguan skizoafektif dan gannguan mood. Gangguan
skizoafektif dan ganggaun mood dengan cirri psikotik telah disingkirkan
karena:
(1) Tidak ada episode depresif berat, manic, atau campuran yang telah terjadi
bersama-sama dengan gejala fase aktif, atau
(2) Jika episode mood telah terjadi selama gejala fase aktif, durasi totalnya
adalah relative singakat dibandingkan durasi periode aktif dan residual
E. Penyingkiran zat / kondisi medis umum. Gangguan tidak disebabkan oleh efek
fisiologis lansung dari suatu zat (misalnya, obat yang disalahgunakan, suatu
medikasi) atau suatu kondisi medis umum
F. Hubungan dengan gangguan perkembangan pervasive. Jika terdapat riwayat
adanya gangguan autistic atau gangguan perkembangan pervasive lainnya,
diagnosis tambahan skizofrenia dibuat hanya jika waham atau halusinasi yang
menonjol juga ditemukan untuk sekurangnya satu bulan (atau kurang jika
diobati secara berhasil)
3.6 Subtipe Skizofrenia

3.6.1 Tipe Paranoid :


1. Preokupasi dengan satu atau lebih waham atau halusinasi dengar yang
berulang kali.
2. Gejala berikut tidak menonjol : bicara yang kacau, perilaku yang
kacau atau katatonik, afek yang mendatar atau tidak wajar (inappropriate).
3.6.2 Tipe Disorganisasi / Kacau
1. Semua gejala berikut menonjol :Bicara kacau
a. Perilaku kacau
b. Afek tidak memadai/wajar atau mendatar
2. Tidak memenuhi kriteria untuk type katatonik
3.6.3 Tipe Katatonik : Didominasi oleh sedikitnya dua gejala berikut
1. Immobilitas motorik : sebagai katapleksi (termasuk waxy flexibility) atau
stupor.
2. Aktivitas motorik yang berlebihan, tak bertujuan dan tidak berkaitan dengan
stimuli external.
3. Negativisme yang mencolok (resistensi tanpa motif terhadap semua instruksi,
atau mempertahankan posisi tubuh secara kaku terhadap usaha untuk
mengubahnya), atau mutisme (diam seribu bahasa).
4. Kejanggalan dalam gerakan-gerakan sadar, misalnya posturing (secara sadar
mengambil posisi tubuh yang tidak wajar atau bizarre), gerakan-gerakan
stereotipik, mannerisme yang mencolok, atau senyum yang tak wajar
(prominent grimacing).
5. Ekolalia (latah) atau ekopraksia (latah gerakan)
3.6.7 Tipe Tak Tergolongkan
Ada gejala-gejala A tetapi tidak memenuhi kritera untuk tipe paranoid,
disorganisasi maupun katatonik.
3.6.8 Tipe Residual
Tidak dijumpai delusi, halusinasi, bicara yang kacau, dan perilaku yang amat
kacau atau katatonia. Secara kontinu menunjukkan adanya gangguan, misal :
gejala-gejala negatif, atau adanya 2-3 gejala type A dalam derajat lebih lemah,
misal odd beliefs, unusual perceptual experiences.
3.6.9 Akut Delusional Psikosis
1. Latent Skizofrenia : bila pasien tidak memenuhi kritera yang jelas untuk
skizofrenia; mencakup misalnya kasus-kasus borderline skizoid dan gangguan
kepribadian skizotipal. Pasien-pasien ini sekali-sekali menunjukkan perilaku
yang ganjil, atau kelainan pikiran, tapi tidak secara konsisten menunjukkan
gejala-gejala psikotik. Pada waktu yang lalu sindroma ini disebut juga
Borderline skizofrenia.
2. Oneiroid : individu berada seolah dalam mimpi, tidak sepenuhnya sadar akan
waktu dan tempat (disorientasi waktu dan tempat). Istilah ini digunakan dalam
oneiroid schizophrenia dalam mana pasien sangat asyik terlibat dalam
halusinasinya sehingga seolah terlepas dari keterlibatan dengan dunia nyata.
Bila terjadi keadaan ini, dokter harus hati-hati sekali memeriksa pasien untuk
kemungkinan sebab-sebab medis-fisik atau kondisi neurologis sebagai
penyebab gejala tersebut.
3. Paraphrenia : digunakan untuk menggambarkan salah satu gejala skizofrenia
tipe paranoid, atau untuk menunjukkan perjalanan penyakit yang deterioratif
(makin parah) atau adanya sistem waham yang sistematis. Istilah yang
dianjurkan tidak digunakan lagi.
3.6.10 Pseudoneurotic Schizophrenia :
Kadang-kadang pasien yang biasanya menunjukkan gejala-gejala
ansietas, fobia, obsesi dan kompulsi kemudian mengembangkan gejala
kelainan pikiran dan psikosis. Secara khas pasien menunjukkan pananxiety,
panphobia, panambivalence dan kadang2 sexualitas yang kacau. Berbeda
dengan pasien gangguan cemas, pasien pseudoneurotic menunjukkan free-
floating anxiety yang jarang berkurang. Dalam klinik pasien jarang menjadi
amat parah atau amat psikotik. Kondisi ini dalam DSM-IV-TR akan
didiagnosis sebagai gangguan kepribadian ambang.

3.6.11 Simple Schizophrenia (Skizofrenia simplex; simple deteriorative


Disorder) :
Tanda khas : hilangnya secara lambat laun ambisi dan dorongan
kehendak pasien. Pasien tidak psikotik secara overt, juga tidak menunjukkan
gejala delusi dan halusinasi yang menetap. Gejala utama adalah penarikan
diri dari situasi terkait lingkungan sosial dan kerja.
3.6.12 Depresi Pasca-Skizofrenia.
Gejalanya dapat mirip dengan gejala-gejala tahap residual skizofrenia
atau efek samping daripada obat-obat antipsikotik yang umum digunakan,
istilah lain : post schizophrenic depression (ICD-X), merupakan hasil akhir
episode skizofrenia. Ini terjadi pada sekitar 25 % pasien dengan skizofrenia
dan makin sering berhubungan dengan risiko bunuh diri.
3.6.13 Skizofrenia Onset Dini (Early-Onset)
Sebagian pasien mulai mendapat skizofrenia pada masa kanak-kanak,
kadang-kadang sulit dibedakan dengan retardasi mental atau gangguan
autistik. Diagnosis berdasarkan gejala-gejala yang sama dengan skizofrenia
pada orang dewasa. Mulanya biasanya perlahan (insidious), cenderung
berjalan kronis dan prognosisnya tidak baik.
3.6.14 Skizofrenia Onset Lanjut (Late-Onset).
Mulanya sesudah usia 45 tahun. Lebih sering menyerang wanita dan
biasanya gejala paranoid lebih menonjol. Prognosis biasanya baik dan
respons baik terhadap antipsikotika.

3.7 Diagnosis Banding


1. Gangguan psikotik sekunder
Gejala psikosis dan katatonia dapat disebabkan oleh berbagai macam zat. Saat
memeriksa seseorang pasien psikotik, klinisi harus mengikuti tiga pedoman
umum tentang pemeriksan keadaan nonpsikiatri. (1) klinisi harus cukup
agresif dalam mengejar kondisi medis nonpsikiatri jika pasien menunjukkan
adanya gejala yang tidak lazim atau jarang atau adanya variasi dalam tingkat
kesadaran. (2) klinisi harus berusaha untuk mendapatkan riwayat keluarga
yang lengkap, termasuk riwayat gangguan medis, neurologis, dan psikiatri. (3)
klinisi harus mempertimbangkan kemungkinan suatu kondisi medis
nonpsikiatri, bahkan pada pasien dengan diagnosis skizofrenia sebelumnya.
Seorang pasien skizofrenia mempunyai kemungkinan yang sama untuk
menderita tumor otak yang menyebabkan gejala psikotik dibandingkan
dengan seorang pasien nonskizofrenik. Anamnesis lengkap dan pemeriksaan
penunjang diperlukan untuk menyingkirkan diagnosis banding.4
2. Gangguan psikotik lain
Gangguan psikotik yang mirip dengan skizofrenia adalah skizofrenoform,
gangguan psikotik singkat dan gangguan skizoafektif. Perbedaan skizofrenia
dengan skizofreniform dilihat dari durasi gejalanya. Pada skizofrenifom
gejalanya sekurangnya 1 bulan tetapi kurang dari 6 bulan. Gangguan psikotik
singkat bila gejala hanya berlangsung sekurangnya satu hari tetapi tidak lebih
dari satu bulan. Gangguan skizoafektif jika sindrom manik atau depresif
berkembang bersama-sama dengan gejala utama skizofrenia.4

3.8 Penatalaksanaan
3.8.1 Psikofarmakoterapi
Medikasi antipsikotik diindikasikan untuk hampir semua episode psikosis akut
dari skizofrenia. Terapi harus dimulai sesegera mungkin karena penderita skizofrenia
mempunyai resiko mencelakai diri sendiri (atau bunuh diri) dan orang disekitarnya.
1,10

Bila memungkinkan, sebelum pasien mulai mendapat medikasi antipsikotik


sebaiknya dilakukan pemeriksaan fisik, neurologis dan status mental serta
pemeriksaan laboratorium yang meliputi pemeriksaan darah lengkap, elektrolit,
glukosa darah, fungsi hati, fungsi ginjal, fungsi tiroid, skrining umum terhadap
penyalahgunaan zat, tes kehamilan pada pasien wanita, tes sipilis dan HIV bila
relevan. Pemeriksaan EKG dilakukan bila dicurigai adanya penyakit jantung dan pada
semua pasien yang berumur lebih dari 40 tahun. Perlu dinilai adanya gangguan
pergerakan, khususnya yang disebabkan diskinesia tardif untuk pedoman di dalam
memilih obat antipsikotik.1,11

Pada kondisi gawat darurat dimana pasien tidak kooperatif untuk


pemeriksaan, medikasi antipsikotik dapat diberikan mendahului evaluasi medis. Obat
antipsikotik bersifat relatif aman sehingga umumnya medikasi antipsikotik dapat
dimulai sebelum hasil tes laboratorium diketahui, kecuali terapi dengan clozapine,
dimana pemberiannya hanya dimulai setelah pasien diketahui mempunyai hasil
pemeriksaan jumlah dan hitung lekosit yang normal. 1,4
3.8.2 Prinsip-prinsip Terapetik

Medikasi antipsikotik pada skizofrenia harus mengikuti prinsip-prinsip terapetik


sebagai berikut:1,10,11
1. Pastikan diagnosis, singkirkan kemungkinan gangguan mental organik dan
penyalahgunaan zat (keadaan intoksikasi atau lepas zat).
2. Klinisi harus secara cermat menentukan gejala sasaran (target symtoms) yang
akan diobati.
3. Suatu antipsikotik yang telah terbukti efektif dan dapat ditolelir dengan baik
efek sampingnya oleh pasien, harus dipilih kembali untuk pemakaian
sekarang. Apabila tidak ada informasi tersebut, pemilihan antipsikotik
umumnya berdasarkan pertimbangan efek samping obat karena pada dasarnya
semua antipsikotik mempunyai efek klinis yang sama pada dosis ekivalen.
4. Lama minimal percobaan suatu antipsikotik adalah 4 – 6 minggu pada dosis
adekuat. Bila tidak memberikan respons klinis, dapat diganti dengan
antipsikotik lain (sebaiknya dari golongan yang berbeda) sesuai dosis
ekivalennya. Bila ditemukan efek samping yang parah (misalnya distonia
akut) yang mempengaruhi atau mengurangi kepatuhan berobat pasien,
pergantian obat dapat dipertimbangkan dalam waktu kurang dari 4 minggu.
5. Pada umumnya jarang diindikasikan penggunaan lebih dari satu medikasi
antipsikotik pada waktu bersamaan karena tidak terbukti lebih efektif (tidak
ada efek sinergis antara 2 obat antipsikotik) dan meningkatkan potensiasi efek
samping obat.
6. Harus dipertahankan dosis efektif serendah mungkin, yang diperlukan untuk
mengendalikan gejala selama episode psikotik.
7. Lakukan pemilihan obat antipsikotik berdasarkan pertimbangan: umur,
kondisi medis lain yang menyertai, kemungkinan interaksi obat, respons
pemakaian obat sebelumnya, profil efek samping obat, dan
kesukaan/kesenangan pasien.
3.8.3 Fase-Fase Pengobatan
3.8.3.1 Fase Akut
Fase akut umumnya ditandai oleh simtom psikotik yang memerlukan
penanganan klinis segera. Fase akut skizofrenia dapat muncul sebagai episode
pertama atau suatu relaps/eksaserbasi akut dari episode-episode multiple. Tujuan
pengobatan fase akut adalah untuk mengurangi/meredakan simtom-simtom akut dan
memperbaiki peran fungsional kehidupan pasien. Fase akut umumnya berlangsung
selama 4 – 8 minggu. 1,10,11
Kebanyakan simtom akut psikosis dapat diatasi dalam 1 – 2 hari sesudah
dimulai medikasi antipsikotik, dan mencapai respons maksimal dalam 6 minggu
setelah terapi dimulai (dari dosis awal sampai mencapai dosis optimal). Biasanya fase
akut dapat diatasi dengan dosis sedang obat antipsikotik tertentu, misalnya
klorpromazin 600 – 1200 mg atau antipsikotik lain dengan dosis ekivalen. 1,11

Pada pemberian peroral, dimulai dengan dosis awal sesuai dengan dosis
anjuran, umumnya untuk pasien dewasa diberikan klorpromazid 3 x 100 mg atau
antipsikotik lain dengan dosis ekivalennya. Dosis awal dapat dinaikan setiap 5 – 7
hari (2 – 3 hari bila ingin diperoleh respons yang cepat) sebesar 30 – 50% dosis awal
sampai mencapai dosis efektif (mulai timbul peredaan simtom target psikotik). Dosis
ini kemudian dievaluasi setiap 2 minggu (bila perlu dinaikan sebesar 30 – 50%)
sampai mencapai dosis optimal (keadaan dimana semua simtom target psikotik sudah
dapat diatasi atau hanya memperlihatkan gejala minimal). Dosis optimal ini
dipertahankan minimal 6 bulan (fase stabilisasi). 1,11

Jika remisi simptom akut psikotik tidak tercapai dengan dosis adekuat suatu
antipsikotik tipikal dalam waktu 6 minggu, perlu dipertimbangkan penggantian obat
ke obat antipsikotik atipikal. Pada kebanyakan kasus, pasien yang kurang berespons
terhadap suatu antipsikotik tipikal biasanya juga kurang berespons terhadap
antipsikotik tipikal lainnya. 1,11
Pada pasien non-kooperatif dengan simtom akut yang berat dan kecenderungan
melukai diri sediri atau orang lain disekitarnya (agitasi, hiperaktivitas psikomotor,
impulsif, menyerang, gaduh gelisah, destruktif dan lain-lain), dapat diberikan
neurelptisasi cepat. Neuroleptisasi cepat (Rapid Neuroleptization/Psikotolisis/
Digitalisasi) adalah pemberian dosis berulang suatu medikasi antipsikotik secara
intramuskular (IM) dalam waktu singkat (setiap 30 – 60 menit) sampai dicapai sedasi
yang jelas. 1,11

Cara umum tindakan neuroleptisasi cepat adalah dengan pemberian injeksi


haloperidol 5 – 10 mg per kali, dapat diulang tiap 30 – 60 menit samapi dicapai sedasi
yang jelas atau simtom akut psikotik dapat diatasi (pasien menjadi tenang/tertidur),
dengan dosis maksimal 100 mg dalam 24 jam. Perlu diingat bahwa sebelum
dilakukan pemberian dosis ulangan perlu dilakukan pemantauan vital sign. Umumnya
sebagian besar pasien sudah berespons sebelum mencapai dosis kumulatif 50 mg.
3,10,11

Pilihan utama obat pada neuroleptisasi cepat adalah antipsikotik berpotensi


tinggi seperti haloperidol atau serenace, walaupun dapat menimbulkan efek samping
simtom ekstrapiramidal. Simtom ekstrapiramidal yang muncul cenderung mudah
diatasi dengan pemberian antikolinegik, misalnya difenhidramin 50 mg IM atau IV,
benzodiazepine (cogentin) 2 mg peroral atau IM, diazepam 5 – 10 mg peroral/IV/IM.
Pada pasien yang lebih tenang dan kooferatif, neuroleptisasi cepat dengan pemberian
IM dapat diganti dengan pemberian oral haloperidol 5 – 10 mg. 1,4

Untuk mendapatkan hasil yang lebih efektif dalam pengendalian perilaku,


neuroleptisasi cepat dapat dikombinasi dengan pemberian golongan benzodiazepin,
misalnya lorazepam (ativan) 2 mg IM atau diazepam 5 – 10 mg IM. Kombinasi ini
adalah aman dan bahkan lebih efektif dibanding dengan pemberian masing-masing
obat secara sendiri-sendiri. 1,3

3.8.3.2 Fase Stabilisasi


Pada umumnya terjadi setelah 4 – 12 minggu setelah fase akut dikontrol.
Terdapat perbaikan gejala positif dengan regimen antipsikotik tertentu (sudah
mencapai dosis optimal), pada pasien mungkin terdapat gejala bingung, kekacauan
dan disfori. 10

Pada fase ini simtom akut sudah dapat dikendalikan tetapi pasien masih
mempunyai resiko relaps jika pengobatan dihentikan atau dosis obat diturunkan
terlalu dini atau pasien berhadapan dengan stres yang berlebihan. Tujuan pengobatan
fase stabilisasi adalah untuk memfasilitasi kelanjutan pengurangan simtom yang telah
diperoleh dari pengobatan fase akut, mencegah relaps, mempertinggi adaptasi pasien
terhadap kehidupan di masyarakat dan konsolidasi menuju remisi.

Pengobatan dengan jenis dan dosis optimal obat yang sama pada fase akut harus
dipertahankan minimal 6 bulan. Penurunan dosis dan penghentian obat yang terlalu
dini akan memicu terjadinya relaps dalam waktu relatif singkat, biasanya 1 bulan
setelah penghentian obat. 10,12

Setelah 6 bulan, dosis obat dapat diturunkan perlahan-lahan setiap 2 minggu


sebesar 30 – 50% sampai mencapai dosis pemeliharaan (dosis efektif terkecil yang
mampu mencegah repals). Dengan mencapai dosis pemeliharaan, pasien memasuki
fase stabil. 3,12

Salah satu strategi menurunkan dosis yaitu dengan cara medikasi intermiten,
dimana antipsikotik hanya diberikan apabila pasien memerlukannya. Strategi ini
mengharuskan keluarga dan pasien mampu mengenali gejala dan tanda eksaserbasi
awal dari suatu relaps (misalnya ansietas, iritabilitas, gangguan tidur, tingkah laku
aneh, ide paranoid, gangguan persepsi). Bila hal ini dijumpai medikasi antipsikotik
harus mulai diberikan kembali untuk periode tertentu, biasanya 1 – 3 bulan.
Walaupun pendekatan ini dapat meningkatkan rehospitalisasi, pendekatan terapi ini
aman dan efektif untuk beberapa pasien. Banyak studi melaporkan bahwa terapi
intermiten kurang efektif dalam mengurangi kejadian relaps dibanding dengan
pemberian dosis pemeliharaan terus-menerus. 3
Strategi lain adalah dengan cara pemberian intermiten medikasi depot dalam
dosis yang sama dengan pemberian oral. Bila ditemukan gejala prodormal dini dari
kejadian relaps, dapat ditambahkan medikasi oral. Pendekatan ini merupakan strategi
efektif yang membuat terapi dengan dosis kecil menjadi lebih aman. 12

Tujuan Intervensi dalam fase ini adalah meningkatkan keterampilan orang


dengan skizofrenia dan keluarga dalam mengelola gejala. Mengajak pasien untuk
mengenali gejala-gejala, melatih cara mengelola gejala, merawat diri,
mengembangkan kepatuhan menjalani pengobatan. Teknik intervensi perilaku
bermanfaat untuk diterapkan pada fase ini.12

3.8.3.3 Fase Pemeliharaan


Pada fase ini sudah dicapai remisi relatif. Tujuan pengobatan fase stabil adalah
untuk meminimalkan resiko dan konsekuensi relaps serta mengoptimalkan peran
fungsional dan kualitas hidup pasien.3,10

Pada fase stabil/pemeliharaan, diberi antipsikotik dengan dosis efektif terendah


yang dapat mencegah relaps (dosis pemeliharaan/maintenance dose). Dosis ini
dipertahankan selama 1 tahun sampai dengan sumur hidup tergantung episode
seangan skizofernia pasien, umunya dipertahankan 1 – 2 tahun untuk episode
pertama, 5 tahun untuk episode kedua, dan seumur hidup untuk episode ketiga atau
lebih. 10,11,12

Dalam medikasi, bila ditemukan pasien yang tidak mematuhi regimen


antipsikotik oral atau tidak efektif untuk medikasi oral dapat diberikan medikasi
depot. Tersedia dua macam preparat depot, yaitu haloperidol dekanoat (haldol
dekanoat) 50 mg/ml dan fluphenazine decanoat (modecate) 25 mg/ml, dapat
diberikan setiap 2 – 4 minggu secara IM. Bila ditemukan gejala eksaserbasi awal
pada pasien yang mendapat medikasi depot, penggunaan medikasi depot diteruskan
tetapi ditambah dengan pemberian medikasi oral atau tambahkan suntikan kecil depot
tambahan. 3,10,12
Psikoedukasi dalam fase ini bertujuan untuk mempersiapkan pasien kembali
pada kehidupan masyarakat. Modalitas rehabilitasi spesifik, misalnya remediasi
kognitif, pelatihan keterampilan sosial dan terapi vokasional, cocok diterapkan pada
fase ini. Pada fase ini pasien dan keluarga juga diajarkan mengenali dan mengelola
gejala prodromal, sehingga mereka mampu mencegah kekambuhan berikutnya.13

3.8.3.4 Obat Antipsikotik

Kepustakaan sekarang membagi obat antipsikotik menjadi antipsikotik tipikal


(antipsikotik konvensional/antipsikotik klasik) dan antipsikotik atipikal (novel
antipsychotics), dimana terdapat perbedaan mekanisme kerja dan profil efek samping
di antara kedua golongan tersebut. 10,12
Tabel di bawah ini memperlihatkan klasifikasi antipsikotik yang umum
dipergunakan beserta dosis pemakaiannya. 12

Dose Anjuran
Antipsikotik Group Kimia
(mg/hari p.o.)
Typical

 Chlorpromazine (Largactil) Phenothiazine (aliphatic) 150 – 600


 Thioridazine (Melleril)
Phenothiazine (piperidine) 150 – 600
 Trifluoperazine (Stelazine)
 Haloperidol (Serenace) Phenothiazine (piperazine) 10 – 15

 Pimozide (Orap Forte) Butyrophenone 5 – 15

Diphenilbutylpiperidine 2–4
Atypical

 Clozapine (Clozaril) Dibenzodiazepine 25 – 100


 Olazapine (Zyprexa)
Dibenzodiazepine 10 – 20
 Quetiapine (Seroquel)
 Risperidone (Risperdal) Dibenzothiazepine 50 – 400
 Sulpiride (Dogmatil Forte) Benzisoxazole 2–6

Benzamide 300 – 600

3.8.3.5 Mekanisme Kerja Antipsikotik


Antipsikotik tipikal mempunyai mekanisme kerja dengan memblokade
dopamin pada reseptor pascasinaptik di jalur limbik dan ekstrapiramidal otak.
Blokade ini dipikirkan memperantarai efikasi antipsikotik tipikal dalam kemampuan
mengurangi atau menghilangkan simtom positif psikotik.10,12

Efek terapetik antipsikotik atipikal dapat diterangkan dengan mekanisme kerja


sebagai berikut: 1) Blokade reseptor D2 pada jalur mesolimbik akan mengurangi
simptom positif; 2) Peningkatan pembebasan dopamin dan blokade reseptor 5 HT2A
pada jalur mesokortikal akan mengurangi simtom negatif; 3) Ikatan dengan reseptor
lain memberi kontribusi terhadap efikasi dalam pengobatan simtom kognitif, agresif
dan depresi; 4) Antagonisme 5 HT2A pada jalur nirostriatal akan mengurangi simtom
ekstrapiramidal dan diskinesia tardif; 5) Antagonisme 5 HT2A pada jalur tubulo
infundibular akan mengurangi hiperprolaktinemia.10,14

3.8.3.6 Profil Efek Samping Antipsikotik


Efek samping obat antipsikotik tipikal dapat berupa: Blokade reseptor dopamin-
2 (D2) pada jalur nigrostriatal menyebabkan simtom ekstrapiramidal, misalnya
distonia akut, akatisia, sindroma Parkinson (bradikinesia, rigiditas, resting tremor)
dan diskinesia tardif; Blokade reseptordopamin-2 (D 2) pada jalur tuberoinfundibular
menyebabkan hiperprolaktinemia dengan manifestasi galaktorea, ginekomastia,
amenorea, impotensi, infertilitas dan kemungkinan percepatan osteoporosis; Blokade
reseptor 1 menyebabkan hipotensi ortostatik, sedasi, dizziness, inhibisi ejakulasi dan
takikardia refleks; Blokade reseptor muskarinik/kolinergik (M 1) menyebabkan mulut
kering, pandangan kabur (blurred vision), konstipasi, retensi urin, sedasi, hidung
tersumbat, ejakulasi tertunda atau retrograde, disfungsi memori, delirium, sinus
takikardia dan kurang berkeringat; Efek terhadap kardiovaskuler, misalnya perubahan
EKG (pelebaran kompleks QRS, perpanjangan interval QT), takikardia, aritmia dan
miokarditis; Efek terhadap hati, misalnya gangguan ringan terhadap tes fungsi hati
dan joundice kolestatik; Efek hematologis dapat bervariasi dari lekopeni sampai
agranulositosis; Menurunkan ambang kejang; Sindroma neuroleptika maligna, yaitu
suatu reaksi idiosinkrasi yang jarang, dengan karakteristik berupa hipertermia,
rigiditas otot, iritabilitas otonomik, perubahan tingkat kesadaran, peningkatan kadar
kreatinin dan fosfokinase serum; bersifat fatal pada 20% kasus. 10,11,12

Efek samping antipsikotik atipikal berbeda-beda tergantung dari jenisnya,


seperti sebagai berikut: Clozapine: Sedasi, hipersalivasi, efek antikolinergik, kenaikan
berat badan, hipotensi posturnal. Efek yang serius: Agranulositosis, lowered sizure
threshold; Olazapine: Kenaikan berat badan, sedasi, pening, efek antikolinergik;
Quetiapine: Somnolen, pening, konstipasi, hipotensi posturnal, mulut kering;
Risperidol: Insomnia, ansietas, agitasi; Amisulpride: Insomnia, ansietas, agitasi.10,15

3.8.3.7 Kontra Indikasi Antipsikotik


1. Riwayat alergi yang serius terhadap antipsikotik.
2. Pada pasien yang mengkonsumsi zat yang akan berinteraksi dengan
antipsikotik sehingga menyebabkan depresi susunan saraf pusat (SSP)
(misalnya alkohol, opioid, barbiturat, benzodiazepin) atau delirium
antikolinergik (misalnya skopolamin dan kemungkinan fensiklidin/PCP).
3. Resiko tinggi timbulnya kejang akibat organik atau idiopatik, misalnya
epilepsi (antipsikotik berpotensi menurunkan ambang kejang).
4. Glaukoma sudut sempit (pada penggunaan antipsikotik yang mempunyai efek
kolinergik yang bermakna).
5. Penyakit hati (antipsikotik bersifat hepatotoksik).
6. Penyakit darah (antipsikotik bersifat hematotoksik); klozapin dikontra-
indikasikan pada pasien yang mempunyai riwayat netropeni atau
agranulositosis yang diinduksi obat dan penyakit mieloproliferatif).
7. Kelainan jantung (antipsikotik bersifat menghambat irama jantung).
8. Demam tinggi (antipsikotik bersifat mempengaruhi termolegulator di SSP).
9. Penyakit SSP (Parkinson, tumor otak, dan lain-lain). 12,14,15

3.8.3.8 Interaksi Obat


1. Antipsikotik + antipsikotik lain = potensiasi efek samping obat dan tidak ada
bukti lebih efektif (tidak ada efek sinergis antara 2 obat anti-psikotik).
2. Antipsikotik + antidepresan trisiklik = efek samping antikolinergik meningkat
(hati-hati pasien dengan hipertrofi prostat, glaukoma, ileus, penyakit jantung).
3. Antipsikotik + antianxietas = efek sedasi meningkat, bermanfaat untuk kasus
dengan gejala agitasi dan gaduh gelisah yang sangat hebat (acute adjunctive
therapy).
4. Antipsikotik + ECT = dianjurkan tidak memberikan obat antipsikotik pada
pagi hari sebelum dilakukan ECT (Electro Convulsive Therapy) oleh karena
angka mortalitas yang tinggi.
5. Antipsikotik + antikonvulsan = ambang konvulsi menurun, kemungkinan
serangan kejang meningkat. Oleh karena itu dosis antikonvulsan harus lebih
besar (dose-related). Yang paling minimal menurunkan ambang kejang adalah
obat antipsikotik Haloperidol.
6. Antipsikotik + antasida = efektivitas antipsikotik menurun disebabkan
gangguan absorpsi. 12

3.8.3.9 Pemilihan Obat Antipsikotik


Pada dasarnya semua obat antipsikotik mempunyai efek primer (efek klinis)
yang sama pada dosis ekivalen, perbedaan terutama pada efek sekunder (efek
samping: sedasi, otonomik, ekstrapiramidal). Onset efek sekunder (sekitar 2 – 6 jam)
bisa mendahului onset efek primer (sekitar 2 – 4 minggu). 12

Tabel di bawah ini memperlihatkan beberapa obat antipsikotik dengan efek


sekundernya/efek sampingnya: 12
Otonomi Eks.
Antipsikotik Gg-Eq Dosis (mg/h) Sedasi
k Piramidal
Chlorpromazine 100 150 – 1600 +++ +++ ++
+
Thioridazine 100 100 – 900 +++ +++
+++
Perphenazine 8 8 – 48 + + +++
+ +++
Trifluoperazine 5 5 – 60 +
+ ++++
Fluphenazine 5 5 – 60 ++ + ++
Haloperidol +
2 2 – 100 + –
Pimozide +
2 2–6 +
Clozapine
25 25 – 200 ++++
Eks.
Antipsikotik Gg-Eq Dosis (mg/h) Sedasi Otonomik
Piramidal
Levomepromazine 25 50 – 300 ++++ ++ +
+
Sulpiride 200 200 – 1600 + +
+
+ +
Risperidone 2 2–9 +
+
+ +
Quetiapine 100 50 – 400 +
+
Olazapine 10 10 – 20

Sebelum melakukan terapi, ada beberapa faktor yang mempengaruhi pemilihan


obat antipsikotik antara lain:

Gejala psikosis yang dominan, apabila gejala negatif (afek tumpul, penarikan
diri, hipobulia, isi pikiran miskin) lebih menonjol dari gejala positif (waham,
halusinasi, bicara kacau, perilaku tak terkendali) pada pasien skizofrenia, pilihan obat
antipsikotik atipikal perlu dipertimbangkan. Khususnya pada pasien skizofrenia yang
tidak dapat mentolelir efek samping ekstrapiramidal atau mempunyai resiko medik
dengan adanya gejala ekstrapiramidal. 10,12

Profil efek samping, misalnya pada contoh sebagai berikut: chlorpromazine


dan thioridazine yang efek samping sedatif kuat terutama digunakan terhadap
Sindrom Psikosis dengan gejala dominan gaduh gelisah, hiperaktif, sulit tidur,
kekacauan pikiran, perasaan, dan perilaku. Sedangkan trifluoperazine, fluphenazine,
dan haloperidol yang efek samping sedatif lemah digunakan terhadap Sindrom
Psikosa dengan gejala dominan apatis, menarik diri, perasaan tumpul, kehilangan
minat dan inisiatif, hipoaktif, waham, halusinasi. Tapi obat terakhir ini paling mudah
menyebabkan timbulnya gejala ekstrapiramidal, pada pasien yang rentan terhadap
efek samping tersebut perlu digantikan dengan thioridazine (dosis ekivalen) dimana
efek samping ekstrapiramidalnya sangat ringan. Untuk pasien yang sampai timbul
“tardive dyskinesia” obat antipsikotik yang tanpa efek samping ekstrapiramidal
adalah clozapine. 10,12

Respons pengobatan terdahulu, apabila dalam riwayat penggunaan obat


antipsikotik sebelumnya, jenis obat antipsikotik tertentu yang sudah terbukti efektif
dan ditolerir dengan baik efek sampingnya, dapat dipilih kembali untuk pemakaian
sekarang. 10,12

Kesukaan atau kecocokan pasien terhadap antipsikotik tertentu berdasarkan


pengalaman terdahulu. 12

Cara atau rute pemberian, pada kebanyakan kondisi, pasien mendapat terapi
dengan obat antipsikotik oral. Kebanyakan obat antipsikotik mempunyai waktu paruh
panjang yang memungkinkan pemberian dosis sehari. Pada keadaan dimana pasien
menolak makan obat atau diperlukan onset yang sangat cepat, dapat diberikan obat
bermasa kerja pendek secara intra muscular (IM). Pemberian antipsikotik secara IM
menghasilkan kadar puncak plasma dalam  30 menit dan efek klinis dihasilkan
dalam 15 – 30 menit. Pemberian antipsikotik secara oral menghasilkan kadar puncak
plasma dalam waktu 1 – 4 jam. Dosis antipsikotik untuk pemberian IM adalah kira-
kira ½ dosis yang diberikan secara oral. 12,14
BAB IV

ANALISIS KASUS

Pada kasus ini skrizofrenia paranoid ditegakkan berdasarkan anamnesa


dan status psikiatri. Tn. Samsun (28 tahun) datang ke Rumah Sakit Jiwa
diantara oleh keluarganya dengan keluhan sering berbicara sendiri, marah-
marah, mengamuk dan mudah curiga sejak ± 3 tahun yang lalu.

Menurut kakak Os, keluhan Os berawal sejak Os bercerai dengan


istrinya. Os mudah curiga kepada oranglain dan selalu berpikir bahwa istrinya
telah berselingkuh. Semenjak itu, Os sering terlihat tertawa sendiri, berbicara
sendiri dan melamun. Os juga sering marah – marah tanpa sebab.

Dua tahun yang lalu Os di bawa keluarganya berobat ke RSJ dan berobat
rawat jalan. Namun, Os tidak teratur minum obat dan dalam 3 bulan ini Os
tidak lagi minum obat dikarenakan Os menolak minum obat. Os belum pernah
dirawat di RSJ.

Keluhan Os semakin parah dalam 3 minggu ini dimana Os sering


mengamuk, sulit tidur, nafsu makan menurun, mudah marah dan tidak mau
mandi. Tadi malam (Kamis, 27 Februari 2014) Os bertengkar dan memukul
kakaknya. Os juga membanting barang – barang di rumah.

Menurut Os, ia marah karena merasa ada yang sering mengganggu nya
dan merasa curiga dengan orang-orang disekitar. Os juga sering mendengar
bisikan suara “Bunuh Dia, Pukul Dia”. Selain itu, Os juga mengaku sulit untuk
tidur. Os merasa ada orang yang bertindak jahat terhadapnya, selain itu os juga
merasa seperti dikejar – kejar oleh penjahat. Pengakuannya tidak bisa disangkal.
Sebelum sakit, Os adalah orang yang ramah dan baik.
Riwayat penggunaan alkohol dan NAPZA disangkal. Riwayat gangguan
psikosomatik dan neurologi juga disangkal. Os merupakan anak ke 3 dari 3
bersaudara. Tidak terdapat riwayat keluarga Os yang menderita gangguan jiwa.

Dari hasil observasi didapatkan kesadaran Os kompos mentis, Os datang


dengan pakaian cukup rapi, menggunakan baju kaos dan celana pendek, sikap
terhadap pemeriksa tidak koperatif dan perilaku dan aktivitas psikomotor
normal. Os berbicara lambat, dan ragu – ragu. Afek Os tumpul dan labil, mood
iritabel dan labil. Terdapat gangguan umum proses pikir Os yaitu psikosis,
gangguan spesifik bentuk pikiran yaitu inkoheren dan gangguan spesifik isi
pikiran yaitu waham kejar, waham curiga, waham cemburu. Os mengalami
gangguan persepsi berupa halusinasi auditorik. Orientasi waktu, dan orang baik,
orientasi tempat terganggu, konsentrasi dan kalkuulasi terganggu, memori jauh
terganggu, pikiran abstrak terganggu dan Os menyangkal sepenuhnya bahwa ia
sakit, pengendalian impuls terganggua dan daya nilai sosial Os terganggu.

Gambaran klinis Os memenuhi kriteria diagnosis skizofenia menurut


PPDGJ III yaitu adanya gejala yang yang amat jelas yaitu halusinasi auditorik
dan waham yang menetap, serta gejala yang harus selalu ada secara jelas yaitu
halusinasi yang menetap dari panca indera apa saja, apabila disertai baik oleh
waham yang mengambang mauupun yang setengah berbentuk tanpa kandungan
afektif yang jelas, ataupun disertai ole ide-ide berlebihan (over-valued ideas)
yang menetap, atau apabila terjadi setiap hari selama berminggu-minggu atau
berbulan-bulan terus menerus, inkoherensi atau pembicaraan yang tidak relevan.
Selain itu juga memenuhi kriteria bahwa adanya gejala-gejala khas tersebut
telah berlangsung selama kurun waktu satu bulan atau lebih (tidak berlaku
untuk setiap fase nonpsikotik prodromal), dimana pada kasus ini gejala telah
berlangsung ± 2 tahun.

Skizofreniaberdasarkan PPDGJ III dibagi menjadi skizofrenia paranoid,


herbefrenik, katatonik, tak terinci, depresi pasca skizofrenia, residual,
simpleks, lainnya dan YTT. Pada kasus ini memenuhi kriteria skizofrenia
paranoid dimana halusinasi dan atau waham yang paling menonjol dibanding
gambaran klinis lain pada pasien.

Tatalaksana Os berupa rawat inap di RSJ berdasarkan indikasi berupa tujuan


diagnostik, menstabilkan medikasi, dan keamanan pasien dan orang-orang
disekitar pasien karena Os beresiko mencelakakan orang lain akibat perilaku
Os yang kacau dan tidak sesuai. Adapun farmakoterapi yang diberikan pada Os
yaitu

a. Chlorpromazine 100 mg, 1 x 1 tab malam/hari Oral


Obat ini merupakan golongan antipsikosis tipikal yang bekerja dengan
memblokade Dopamine pada reseptor pasca-sinaptik neuron Otak,
khususnya di sistem limbik dan sistem ektrapiramidal (Dopamine D2
receptor antagonists) dan efektif untuk gejala positif skizofrenia. Adapun
sediaan Chlorpromazine adalah tab 25-100 mg dengan dosis anjuran 150-
600 mg/h.
b. Risperidon 2 mg, 2 x 1 tab/hari/Oral
Obat ini merupakan golongan antipsikosis merupakan golongan
antipsikosis atipikal yang bekerja dengan berafinitas terhadap Dopamine
D2 Receptors dan berafinitas terhadap Serotonin 5 HT2 Receptors
(Serotonin-dopamine antagonist) sehingga efektif juga untuk gejala negatif
skizofrenis. Adapun sediaan Risperidon adalah tab 1-2-3 mg dengan dosis
anjuran 2-6 mg/h.
c. Trihexyphenidyl 2 mg, 2 x 1 tab/hari/Oral
Obat ini merupakan obat antiparkinson untuk mengurangi gejala
ekstrapiramidal yang dapat muncul akibat penggunaan antipsikosis yang
kuat.
Adapun faktor yang mengarahkan kepada prognosis baik yaitu onset
yang lambat dan faktor pencetus yang jelas.

Anda mungkin juga menyukai