Anda di halaman 1dari 40

ASUHAN KEPERAWATAN CEPHALOPELVIC DISPROPORSIONAL

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Maternitas I (Small Grup Discussion)
Dosen Pembimbing : Yuyun Sarinengsih, S.Kep., M.Kep

Disusun Oleh:

Ghina Apriyanda Salsabila (AK118068)

Program Pendidikan S1 Keperawatan


UNIVERSITAS BHAKTI KENCANA BANDUNG
2019-2020
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahhirabbil’alamin. Puji syukur kami ucapkan kepada Allah


S.W.T, karena atas berkah rahmat dan karunianya kami dapat menyelesaikan
tugas makalah Small Group Discussion (SGD) mengenai “Asuhan Keperawatan
Kesehatan Jiwa pada Bayi” sesuai yang kami harapkan.

Tidak lupa shalawat serta salam kami curah limpahkan kepada junjunan
besar umat muslim, baginda Nabi Muhammad S.A.W, juga kepada keluarganya,
para sahabatnya dan kepada kita selaku umatnya hingga akhir zaman.

Dan tentunya kami tahu makalah ini masih sangat jauh dari kata sempurna,
mohon dimaklumi karena kami masih dalam proses pembelajaran. Dan
terimakasih banyak atas pihak pihak yang telah bercampur tangan dalam
pembuatan makalah ini sampai selesai.

Bandung, Mei 2020

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang masalah .............................................................................1
1.2 Rumusan masalah ......................................................................................1
1.3 Tujuan ........................................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN
2.1 Kata-Kata Medis dalam Kasus dan Definisi

Cephalopelvic Disproporsional

2.2 Bidang Panggul dan Diameter Pelvis .......................................................

2.3 Klasifikasi Bentuk Panggul dan Pengukuran Panggul Secara Klinis........

2.4 Etiologi Cephalopelvic Disproporsional

2.5 Diagnosis Cephalopelvic Disproporsional

2.6 Manifestasi Klinis Persalinan


2.7 Penatalaksanaan Persalinan dengan Cephalopelvic Disproporsional
2.8 Komplikasi Section Caesarea
2.9 Pengkajian Riwayat Kesehatan dan Riwayat Obstetric Sebelumnya
dan Saat Kasus Terjadi .............................................................................

2.10 Pemeriksaan Fisik Sistem Tubuh dan Pemeriksaan Obstetri (Sistem


Reproduksi Cephalopelvic Disproporsional..............................................

2.11 Asuhan Keperawatan Berdasarkan Kasus ...............................................

2.12 Peran Perawat pada Asuhan Keperawatan Cephalopelvic Disproporsional

2.13 Prinsip Legal Etik Keperawatan yang Relevan dengan Kasus ................

ii
BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan........................................................................................

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa saja Kata-kata medis dari kasus dan Definisi Cephalopelvic


Disproporsional?
2. Bagaimana Etiologi dan Manifestasi Klinis Cephalopelvic Disproporsional
?
3. Bagaimana Patofisiologi Cephalopelvic Disproporsional?
4. Bagaimana Patomekanisme dari Tanda dan Gejala Cephalopelvic
Disproporsional ?
5. Bagaimana Pengkajian Riwayat Kesehatan dan Riwayat Obstetric
Sebelumnya dan Saat Kasus Terjadi ?
6. Bagaimana Pemeriksaan Fisik Sistem Tubuh dan Pemeriksaan Obstetri
(Sistem Reproduksi) Cephalopelvic Disproporsional?
7. Bagaimana Terapi atau Penatalaksanaan secara Umum Cephalopelvic
Disproporsional ?
8. Bagaimana Asuhan Keperawatan Berdasarkan Kasus ?
9. Apa Peran Perawat pada Asuhan Keperawatan Cephalopelvic
Disproporsional ?
10. Bagaimana Prinsip Legal Etik Keperawatan yang Relevan dengan Kasus?

1.3 Tujuan

1. Mengetahui Kata-kata medis dari kasus dan Definisi Cephalopelvic


Disproporsional.
2. Mengetahui Etiologi dan Manifestasi Klinis Cephalopelvic
Disproporsional.

1
3. Mengetahui Patofisiologi Cephalopelvic Disproporsional.
4. Mengetahui Patomekanisme dari Tanda dan Gejala Cephalopelvic
Disproporsional.
5. Mengetahui Pengkajian Riwayat Kesehatan dan Riwayat Obstetric
Sebelumnya dan Saat Kasus Terjadi.
6. Mengetahui Pemeriksaan Fisik Sistem Tubuh dan Pemeriksaan Obstetri
(Sistem Reproduksi) Hyperemesis Gravidaru.
7. Mengetahui Terapi atau Penatalaksanaan secara Umum Cephalopelvic
Disproporsional.
8. Mengetahui Asuhan Keperawatan Berdasarkan Kasus.
9. Mengetahui Peran Perawat pada Asuhan Keperawatan Cephalopelvic
Disproporsional.
10. Mengetahui Prinsip Legal Etik Keperawatan yang Relevan dengan Kasus.

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Kata-kata medis dari Kasus dan Definisi Cephalopelvic Disproporsional

1. Aterm : Istilah-istilah yang berkaitan dengan periode kehamilan adalah:


Aterm: janin dikatakan cukup bulan apabila usia kehamilannya mencapai
38-42 minggu. Prematur/preterm: janin dengan usia kehamilan kurang dari
38 minggu. Postmatur/postterm: janin dengan usia kehamilan lebih dari 42
minggu.
2. Oksitosin : hormon pada manusia yang berfungsi untuk merangsang
kontraksi yang kuat pada dinding rahim/uterus sehingga mempermudah
dalam membantu proses kelahiran. Selain itu, Hormon ini juga berfungsi
untuk mensekresi air susu dengan merangsang kontraksi duktus laktiferus
kelenjar mammae pada ibu menyusui.
3. Ruang VK : ruang operasi,sedangkan VK singkatan dari Verlos Kamer
yang artinya ruang bersalin.
4. Dilatasi : Membuka leher rahim
5. Fase ekspulsi : kala 1 artinya kala 1 memanjang karena bayi besar
sehingga sulit untuk keluar melalui jalan lahir.
6. His : kontraksi ritmis otot polos uterus
7. Melenting : Apabila kepala janin teraba dibagian fundus yang akan teraba
adalah keras, bundar dan melenting seperti mudah digerakkan.
8. Fontanel posterior : ruang antara tulang parietal dan tulang occipital. Titik
ini berada pada bagian kepala belakang bayi.
9. Conjugata Vera : Panjang jarak dari pinggir posterior simfisis ke
promontorium (lebih kurang 11 cm)
10. Takikardi : keadaan di mana detak jantung melebihi 100 kali per menit.
11. Takipneu : pernapasan dengan frekuensi lebih dari 24 kali per merit.
12. Power : kekuatan mengejan ibu.
13. Passage : Keadaan jalan lahir

3
14. Passenger : Keadaan janin (letak, presentasi, ukuran/berat janin, ada/tidak
kelainan anatomik mayor)

CPD adalah keadaan yang menggambarkan ketidaksesuaian antara kepala


janin dan panggul ibu sehingga janin tidak dapat keluar melalui vagina,
biasanya di sebabkan oleh panggul sempit, janin yang besar ataupun
kombinasi keduanya.

Cephalovelvic Disproportion (CPD) adalah disproporsi antara ukuran janin


dan ukuran pelvis, yakni ukuran pelvis tertentu tidak cukup besar untuk
mengakomodasi keluarnya janin tertentu melalui pelvis sampai terjadi
kelahiran pervagina. Dari sini perlu dilakukan pembedahn yang disebut
dengan section caesarea. Section caesarea adalah pembedahan untuk
melahirkan janin dengan membuka perut dan dinding uterus atau vagina atau
suatu histerektomi untuk melahirkan janin dari dalam rahim.

2.2 Bidang Panggul dan Diameter Pelvis

Secara Konseptual, pelvis dibagi menjadi true pelvis dan false pelvis.
False pelvis terletak di atas linea innominata sementara true pelvis berada di
bawah linea innominate. False pelvis bersatu di daerah posterior dengan
vertebra lumbal dan didaerah lateral dengan fossa iliaca.

Untuk lebih mengerti bentuk dari panggul kecil dan untuk menentukan
tempat bagian depan anak dalam panggul, maka telah ditentukan 4 bidang,
yaitu:

1. Pintu atas panggul


2. Bidang luas panggul
3. Bidang sempit panggul
4. Pintu bawah panggul

4
1. Pintu atas panggul

Pintu atas panggul adalah batas atas dari panggul kecil, bentuknya bulat
oval. Batas-batasnya adalah promontorium, sayap sacrum, linea innominate,
ramus superior ossis pubis, dan pinggir atas simfisis. Terdapar 3 ukuran yang
ditentukan dari pintu atas panggul:

a. Diameter anteroposterior, conjugata vera (CV)

Dari promontorium ke pinggir atas sinfisis disebut sebagai conjugate


vera, ukurannya 11 cm. Ukuran ini merupakan ukuran yang terpenting dari
panggul. Pada pemeriksaan klinis yang dapat diukur dengan jari pemeriksa
adalah conjugate diagonalis (dari promontorium ke pinggir bawah simfisis).
Pada panggul yang sempit, conjugate vera dapat dihitung dengan mengurangi
conjugate diagonalis (CD) dengan 1,5-2 cm (CV=CD-1,5). Pada panggul
yang normal, jari pemeriksa tidak cukup panjang untuk mencari
promontorium.

b. Diameter transvera

Merupakan ukuran terbesar antara linea innominata diambil tegak lurus


dari conjugate vera (12,5 cm).

c. Diameter oblique

5
Dari articulation sacroiliacaka tuberculum pubicum dari bagian panggul
kontralateral (13 cm)

2. Bidang luas panggul

Bidang luas panggul adalah bidang-bidang dengan ukuran-ukuran yang


terbesar. Bidang ini terbentang antara pertengahan simfisis, pertengahan
acetabulum, dan pertemuan antara ruas sacral II dan III. Diameter
anteroposterior 12,75 cm dan diameter transversa 12,5 cm. Bidang ini tidak
menimbulkan kesukaran pada proses perslinan.

3. Bidang sempit panggul (bidang tengah panggul)

Bidang ini merupakan bidang dengan ukuran-ukuran yang terkecil.


Bidang ini terdapat setinggi pinggir bawah symphysis, kedua spina ischadica,
dan memotong sacrum ± 1-2 cm, diatas ujung sacrum. Diameter
antroposterior 11,5 cm, diameter transversa 10 cm, dan diameter sagitalis
posterior ialah dari sacrum ke pertengahan antara spina ischiadican 5 cm.
Kesempitan pintu bawah panggul biasanya disertai dengan kesempitan bidang
tengah panggul.

4. Pintu bawah panggul

Pintu bawah panggul terdiri dari dua segitiga dengan dasar yang sama,
yaitu garis yang menghubungkan kedua tuber ischiadicum kanan dan kiri.
Puncak dari segitiga yang belakang adalah ujung os sacrum, sisinya adalah
ligamentum sacrotuberosum kiri dan kanan. Segitiga depan dibatasi oleh
arcus pubis. Pada pintu bawah panggul ditentukan 3 ukuran yaitu:

6
a. Diameter anteroposterior, dari pinggir bawah simfisis ke ujung sacrum
(11,5 cm)

b. Diameter transversa, antara tuber ischiadicum kanan dan kiri (10,5 cm)

c. Diameter sagitalis posterior, dari ujung sacrum ke pertengahan


diameter transversa (7,5 cm)

2.3 Klasifikasi Bentuk Panggul dan Pengukuran Panggul Secara Klinis

2.3.1 Klasifikasi Bentuk Panggul

Klasifikasi Caldwell-Moloy membagi 4 bentuk panggul menjadi panggul


ginekoid, anthropoid, android, dan platypelloid. Pembagian ini didasarkan atas
bentuk segmen posterior dan anterior dari pintu atas panggul. Segmen posterior
menentukan tipe panggul dan segmen anterior menentukan tendensi. Hal ini
ditetapkan karena banyak panggul merupakan kategori campuran. Sebagai contoh,
panggul ginekoid dengan tendensi android berarti diameter pelvis termasuk
kategori gynecoid namun pelvis anterior berbentuk android.

1. Panggul Gynecoid

 Bentuk ini adalah yang khas bagi wanita.


 Diameter sagitalis posterior hanya sedikit lebih pndek dari diameter sagitalis
anterior.
 Batas samping segmen posterior membulat dan segmen anterior juga
membulat dan luas.
 Diameter transversa kira-kira sama panjangnya dengan diameter
anteroposterior hingga bentuk pintu atas panggul mendekati bentuk
lingkaran (bulat).
 Dinding samping panggul lurus, spina ischiadica tidak menonjol, diameter
interspinalis 10 cm atau lebih.
 Incisura ischiadica major bulat.
 Sacrum sejajar dengan simfisis dengan konkavitas yang normal
 Arcus pubis luas.

7
2. Panggul Android

 Diameter sagitalis posterior jauh lebih pendek dari diameter sagitalis


anterior.
 Batas samping segmen posterior tidak membulat dan membentuk sudut
yang runcing dengan pinggir samping segmen anterior.
 Segmen anterior sempit dan berbentuk segitiga.
 Dinding samping panggul konvergen, spina ischiadica menonjol, arcus
pubis sempit.
 Incisura ischiadica sempit dan dalam.
 Sacrum lataknya ke depan, hingga diameter anteroposterior sempit pada
pintu atas panggul maupun pintu bawah panggul.
 Bentuk sacrum lurus, kurang melengkung, sedangkan ujungnya menonjol ke
depan.

3. Panggul Anthropoid

• Diameter anteroposterior dari pintu atas panggul lebih besar dari diameter
transversa hingga bentuk pintu atas panggul lonjong ke depan.
• Bentuk segmen anterior dan runcing.
• Incisura ischiadica major luas.

8
• Dinding samping konvergen, sacrum letaknya agak ke belakang hingga
ukuran anteroposterior besar pada semua bidang panggul.
• Sacrum biasanya mempunyai 6 ruas, hingga panggul anthropoid lebih
dalam dari panggul-panggul lain.

4. Panggul Platypeloid

• Bentuk ini sebeyulnya panggul ginekoid yang picak, diameter


anteroposterior kecil, diameter transversa biasa.
• Segmen anterior lebar.
• Sacrum melengkung.
• Incisura ischiadica lebar.

2.3.2 Pengukuran Panggul Secara Klinis

Badang luas panggul biasanya tidak menimbulkan rintangan karena ukuran-


ukurannya besar, maka pengukuran panggul yang dilakukan secara klinis yaitu :

• Pintu atas panggul


• Bidang tengah panggul
• Pintu bahwa panggul

A. Pintu Atas Panggul

Pintu atas panggul dibentuk oleh promontorium corpus vertebra sacrum,


linea innominata, serta pinggir atas simfisis. Konjugata diagonalis adalah jarak
dari pinggir bawah simfisis ke promontorium, Secara klinis, konjugata diagonalis
dapat diukur dengan memasukkan jari telunjuk dan jari tengah yang dirapatkan
menyusur naik ke seluruh permukaan anterior sacrum, promontorium teraba
sebagai penonjolan tulang.

Dari ukuran-ukuran pintu atas panggul, conjugate vera merupakan ukuran


terpenting dan merupakan satu-satunya ukuran yang dapat diukur secara tidak
langsung dengan mengurangi conjungata diagonalis dengan 1,5-2 cm tergantung
dari lebar dan inklinasi simfisis.

9
Cara mengukur conjugate diagonalis :

 Menggunakan 2 jari ialah jari telunjuk, jari tengah melalui konkavitas dari
sacrum, jari tengah di gerakkan ke atas sampai dapat meraba promontorium.
 Sisi radial dari jari telunjuk ditempelkan pada pinggir bahwa simfisis dan
tempat ini ditandai dengan kuku jari telunjuk tangan kiri.

Promontorium hanya bisa tercapai oleh jari pemeriksa dengan pemeriksaan


dalam pada panggul yang sempit. Pada panggul dengan ukuran yang normal.
Promontorium tak tercapai, tapi ini menandakan bahwa CV cukup besar. Bila CV
lebih besar dari 10 cm, maka pintu atas panggul dianggap cukup luas (biasanya
CV= 11 cm). Selain dengan pengukuran CD, kita juga dapat mengetahui secara
klinis bahwa pintu atas panggul mencukupi bila kepala anak dengan ukuran
terbesarnya sudah melewati pintu atas panggul. Hal ini dapat diketahui dengan :

 Pemeriksaan Luar
Jika kepala dengan ukuran terbesarnya sudah melewati pintu atas panggul,
maka hanya bagian kecil saja dari kepala yang dapat diraba dari luar di atas
simfisis. Kedua tangan diletakkan pada pinggir bagian kepala ini divergen.

10
 Pemeriksaan Dalam
Bagian terendah kepala sampai spina ischiadica atau lebih. Caput
succedaneum yang besar dapat memberi kesan yang salah, seolah-olah
bagian terendah sudah sampai setinggi spina ischiadica, padahal kepala
masih tinggi. Oleh karena itu, hasil pemeriksaan dalam harus selalu
disesuaikan dengan pemeriksaan luar.

B. Bidang Tengah Panggul

Ukuran-ukuran bidang tengah panggul tidak dapat diukur secara klinis dan
memerlukan pengukuran secara rontgenologis. Terdapat penyempitan setinggi
spina isciadika, sehingga bermakna penting pada distosia setelah kepala
engagement. Jarak antara kedua spina ini yang biasa disebut distansia
interspinarum merupakan jarak panggul terkecil yaitu sebesar 10,5 cm. Diameter
anteroposterior setinggi spina isciadica berukuran 11,5 cm. Diameter sagital
posterior, jarak antara sacrum dengan garis diameter interspinarum berukuran 4,5
cm.3,4 .

C. Pintu Bawah Panggul

Diameter transversa dan diameter sagitalis posterior dan anterior dapat


diukur dengan pelvimeter dari Thoms. Namun, pengukuran ini merupakan
pengukuran yang kasar karena tuber ischiadicum tertutup oleh lapisan otot dan
lemak yang berbeda tebalnya dari setiap individu.

11
Ukuran yang lebih besar dari 8 cm dianggap mencukupi. Oleh karena
pengukuran diameter transversa kurang tepat, maka dianjurkan untuk
memperhatikan bentuk arcus pubis yang hendaknya merupakan sudut yang
tumpul.

2.4 Etiologi Cephalopelvic Disproportional

Sebab-sebab yang dapat menimbulkan kelainan panggul dapat dibagi


sebagai berikut Menurut Rachimhadi (2009) :

1. Kelainan karena gangguan pertumbuhan

1) Panggul sempit seluruh : semua ukuran kecil


2) Panggul picak : ukuran muka belakang sempit, ukuran melintang biasa
3) Panggul sempit picak : semua ukuran kecil tapi terlebih ukuran muka
belakang
4) Panggul corong : pintu atas panggul biasa, pintu bawah panggul sempit.
5) Panggul belah : symphysis terbuka

2. Kelainan karena penyakit tulang panggul atau sendi-sendinya

1) Panggul rachitis : panggul picak, panggul sempit, seluruh panggul


sempit picak dan lain-lain
2) Panggul osteomalacci : panggul sempit melintang
3) Radang articulatio sacroilliaca : panggul sempit miring

3. Kelainan panggul disebabkan kelainan tulang belakang

a) Kyphose didaerah tulang pinggang menyebabkan panggul corong

b) Sciliose didaerah tulang panggung menyebabkan panggul sempit


miring.

4. Kelainan panggul disebabkan kelainan anggota bawah Coxitis, luxatio,


atrofia. Salah satu anggota menyebabkan panggul sempit miring fraktura dari
tulang panggul yang menjadi penyebab kelainan panggul.

12
Penyebab dari Cephalopelvic Disproportion sendiri antara lain oleh karena :

a. Kapasitas panggul yang kecil atau ukuran panggul yang sempit


b. Ukuran janin yang terlalu besar atau yang paling sering menyebabkan
CPD.
c. Kedua hal di atas yang terjadi pada saat yang bersamaan.

2.5 Diagnosis Cephalopelvic Disproportional

Tanda klinis CPD yang dapat ditemukan saat intrapartum adalah kepala janin
tidak kunjung masuk PAP serta pendataran (effacement) dan dilatasi serviks
yang lambat walaupun kontraksi uterus baik. American Congress of
Obstetricians and Gynecologists (ACOG) dan beberapa literatur lain
menyetujui bahwa diagnosis CPD baru bisa ditegakkan pada saat inpartu/
percobaan persalinan.

Jika CPD dicurigai pada saat proses persalinan, evaluasi kembali hal-hal
berikut:

- Ukuran dan bentuk panggul


- Presentasi dan posisi janin
- Ada tidaknya molase atau caput succedaneum pada kepala janin
- Aktivitas janin
- Vesika urinaria dan rektum pasien terisi atau tidak
- Kualitas dan kuantitas kontraksi uterus
- Dilatasi dan pendataran serviks
- Penurunan kepala janin terhadap bidang Hodge atau terhadap spina
ischiadika (sistem station).

Jika terjadi hipoksia atau hipoglikemia pada janin, tanda yang dapat diamati
adalah penurunan denyut jantung janin (bradikardia) dan deselerasi lambat
pada cardiotocography (CTG).

Kriteria diagnosis CPD berdasarkan ACOG dan RTCOG (Royal Thai College
of Obstetricians and Gynecologists) harus memenuhi 3 kondisi di bawah ini:

13
- Dilatasi serviks ≥3 cm (ACOG) atau ≥4 cm (RTCOG) dan pendataran
serviks 100% (ACOG) atau 80% (RTCOG)
- Kontraksi uterus adekuat selama minimal 2 jam
- Kurva persalinan abnormal.

Beberapa literatur menyebutkan bahwa CPD baru bisa dicurigai jika dengan
penggunaan oksitosin tetap tidak ada kemajuan persalinan dan baru bisa
ditegakkan bila sudah ada perpanjangan kala I (>12 jam) atau perpanjangan
kala II (>2 jam) pada ibu hamil yang mendapat oksitosin.

Diagnosis Banding

Diagnosis banding CPD absolut adalah kelainan presentasi wajah, presentasi


occiput-posterior, dan presentasi alis posterior. Membedakan presentasi
tersebut dilakukan melalui pemeriksaan palpasi bagian janin pada dinding
abdomen bawah dan juga pemeriksaan dalam/ vaginal toucher meraba bagian
terbawah janin.

Adanya jaringan pada uterus seperti fibroid uterus atau kondisi plasenta
previa juga dapat menghambat penurunan kepala janin ke panggul. Massa di
luar uterus seperti tumor ovarium yang besar bahkan impaksi feses juga dapat
mengganggu proses penurunan janin saat inpartu. Pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang seperti ultrasonografi dapat digunakan untuk
mendeteksi kelainan-kelainan tersebut.

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang untuk CPD pada masa kini kurang begitu


berkembang oleh karena tingkat akurasi yang tidak begitu baik dan mayoritas
rumah sakit sudah mampu melakukan SC bila terjadi kegagalan pada
percobaan persalinan (trial of labor).

Diagnosis CPD sangat dibutuhkan pada saat akses ke fasilitas kesehatan


dengan kemampuan melakukan SC sangat terbatas atau jaraknya jauh, seperti
pada daerah pedesaan. Rekomendasi American College of Obstetricians and

14
Gynecology (ACOG) untuk mendiagnosis CPD adalah melalui tanda klinis
pada proses persalinan.

Pemeriksaan penunjang pada kasus CPD tidak terbukti efektif dapat


memprediksi CPD dan hasil yang negatif tidak menjamin nantinya tidak akan
terjadi distosia pada proses persalinan. Belum ada konsensus resmi mengenai
penggunaan CT-scan atau MRI untuk pelvimetri.

1. Pelvimetri X-ray

Indikasi dilakukannya pemeriksaan radiologi pelvimetri antenatal adalah


kecurigaan CPD dan presentasi sungsang yang menetap. Pemeriksaan
pelvimetri menggunakan sinar X digunakan untuk menentukan diameter
pelvis dan diameter kepala janin dan membantu untuk memutuskan metode
persalinan yang tepat.

Radiologi pelvimetri digunakan untuk mengevaluasi passageway dan


passenger. Beberapa parameter yang didapat dari pelvimetri adalah jarak
konjugata vera, diameter transversal PAP dan PBP, diameter interspinarum,
dan diameter sagital dari permukaan simfisis pubis ke permukaan sakrum
setinggi spinosus.

Lingkar PAP dan PBP dihitung dari ukuran anteroposterior pelvis dan
diameter transversal menggunakan rumus (ap + dt x 1,57). Pelvimetri dengan
sinar X dilakukan hingga tahun 2003, kemudian mulai digantikan dengan
magnetic resonance imaging (MRI) pelvimetri pada tahun 2004.

2. Coherence Tomography (CT) Pelvimetri

CT pelvimetri mulai digunakan sejak tahun 1990-an, menggunakan dosis


radiasi yang jauh lebih rendah dibanding sinar X dan waktu pemeriksaan
lebih singkat sehingga pasien lebih nyaman saat pemeriksaan. Namun, CT
pelvimetri tidak menunjukkan akurasi yang lebih baik dibandingkan dengan
pelvimetri X-ray.

3. MRI Pelvimetri

15
MRI pelvimetri pertama kali diperkenalkan oleh Stark, et al. MRI pelvimetri
digunakan sebagai pemeriksaan yang aman dan dapat diandalkan untuk
menilai keadaan pelvis pasien dibandingkan teknik radiologi menggunakan
sinar x. Banyak penelitian dilakukan untuk membuktikan potensi penggunaan
MRI pelvimetri pada antenatal untuk memperkirakan prognosis persalinan
per vaginam. Pemeriksaan MRI pelvimetri menurunkan jumlah sectio
caesarea emergensi secara signifikan.

Keuntungan MRI pelvimetri adalah tidak ada paparan radiasi pengion,


pengukuran lebih akurat, memperoleh gambaran keseluruhan janin, dan dapat
digunakan untuk mengevaluasi kemungkinan distosia akibat jaringan lunak.
Namun, beberapa penelitian gagal membuktikan akurasi MRI pelvimetri
untuk menentukan apakah seorang ibu hamil memerlukan tindakan SC atau
tidak.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pengukuran dimensi pelvis dan


perkiraan taksiran berat janin menggunakan MRI pelvimetri memiliki
sensitivitas yang rendah (15-62%) untuk mendeteksi CPD. MRI pelvimetri
tidak secara akurat dapat mendeteksi apakah persalinan dapat secara per
vaginam atau dengan SC.

Sampai saat ini penilaian kapasitas panggul menggunakan pelvimetri


radiologi belum menunjukkan keuntungan dan manfaat yang secara
signifikan lebih superior dibandingkan pelvimetri klinis.

4. Ultrasonograf

Ultrasonografi (USG) digunakan untuk memperkirakan ukuran kepala janin


dan taksiran berat badan janin.

Fetal Pelvic Index (FPI) , yang diperkenalkan pertama kali oleh Thurnau dan
Morgan, dapat memperhitungkan komponen lingkar kepala janin dan lingkar
abdomen dari hasil ultrasonografi dengan ukuran PAP dan PBP pasien dari
pelvimetri. Nilai FPI yang positif berarti ukuran janin lebih besar dari ukuran
pelvis, sedangkan hasil yang negatif berarti ukuran janin lebih kecil dari
ukuran pelvis.

16
Namun, hasil sebuah penelitian menunjukkan bahwa FPI adalah instrumen
yang buruk untuk menentukan apakah persalinan memerlukan secara SC atau
tidak. Sampai sekarang ini pun belum ada pemeriksaan penunjang untuk
mengukur kepala janin yang dapat secara akurat memprediksi CPD.

USG juga dapat mendeteksi kelainan kongenital seperti hidrosefalus yang


dapat menyebabkan CPD. Diameter biparietal kepala janin >12 cm
menunjukkan CPD absolut.

Taksiran berat janin >4.000 gram dari hasil ultrasonografi memperkirakan


janin makrosomia. Janin makrosomia umumnya memiliki ukuran kepala lebih
besar dan tengkorak yang mengalami kalsifikasi lebih dibanding janin ukuran
normal sehingga lebih sulit terjadi molase/ moulding yang kemudian dapat
menimbulkan CPD.

2.6 Manifestasi Klinis Persalinan

Tanda persalinan sudah dekat

1.) Terjadi lightening

Menjelang minggu ke–36 pada primigravida terjadi penurunan fundus uteri


karena kepala bayi sudah masuk pintu atas panggul yang disebabkan :

a. Kontraksi Braxtonhicks
b. Ketegangan dinding perut
c. Ketegangan ligamentum rotandum
d. Gaya berat janin dimana kepala kearah bawah

2.) Masuknya kepala bayi ke pintu atas panggul dirasakan ibu hamil:

a. Terasa ringan dibagian atas, rasa sesaknya berkurang


b. Dibagian bawah terasa sesak
c. Terjadi kesulitan saat berjalan
d. Sering miksi (beser kencing)
e. Terjadinya his permulaan

17
f. Rasa nyeri ringan di bagian bawah

Tanda – tanda persalinan

1) Terjadinya his persalinan , his persalinan mempunyai sifat:

a. Pinggang terasa sakit yang menjalar ke bagian depan


b. Sifatnya teratur interval makin pendek, dan kekuatannya makin besar
c. Mempunyai pengaruh terhadap perubahan serviks
d. Makin beraktifitas (jalan) kekuatan makin bertambah
e. Ibu merasa ingin meneran bersamaan dengan terjadinya kontraksi.
f. Ibu merasa adanya peningkatan tekanan pada rektum dan vagina.
g. Perenium menonjol.
h. Vulva-vagina dan spingter ani membuka.

2.) Pengeluaran lendir dan darah (pembawa tanda)

Dengan his persalinan terjadi perubahan pada servik yang menimbulkan :

a. Pendataran dan pembukaan


b. Pembukaan menyebabkan lender yang terdapat pada kanalis servikalis
lepas
c. Terjadi perdarahan karena kapiler pembuluh darah pecah. Bloody show
( pengeluaran lendir disertai darah melalui vagina ).

3.) Pengeluaran cairan

Pada beberapa kasus terjadi ketuban pecah yang menimbulkan pengeluaran


cairan. Pengeluaran cairan dari jalan lahir terjadi karena akibat pecahnya ketuban
atau selaput ketuban robek. Sebagian ketuban baru pecah menjelang pembukaan
lengkap. Dengan pecahnya ketuban diharapkan persalinan berlangsung dalam
waktu 24 jam.

2.7 Penatalaksanaan Persalinan dengan Cephalopelvic Disproportion

a. Persalinan Percobaan

18
Setelah dilakukan penilaian ukuran panggul serta hubungan antara kepala
janin dan panggul dapat diperkirakan bahwa persalinan dapat berlangsung
pervaginam dengan selamat dapat dilakukan persalinan percobaan. Cara ini
merupakan tes terhadap kekuatan his, daya akomodasi, termasuk moulage
karena faktor tersebut tidak dapar diketahui sebelum persalinan.

Persalinan percobaan hanya dilakukan pada letak belakang kepala, tidak


bisa pada letak sungsang, letak dahi, letak muka, atau kelainan letak lainnya.
Ketentuan lainnya adalah umur keamilan tidak boleh lebih dari 42 mingu
karena kepala janin bertambah besar sehingga sukar terjadi moulage dan ada
kemungkinan disfungsi plasenta janin yang akan menjadi penyulit persalinan
percobaan.

Pada janin yang besar kesulitan dalam melahirkan bahu tidak akan selalu
dapat diduga sebelumnya. Apabila dalam proses kelahiran kepala bayi sudah
keluar sedangkan dalam melahirkan bahu sulit, sebaiknya dilakukan
episiotomy mediolateral yang cukup luas, kemudian hidung dan mulut janin
dibersihkan, kepala ditarik curam kebawah dengan hati-hati dan tentunya
dengan kekuatan terukur. Bila hal tersebut tidak berhasil, dapat dilakukan
pemutaran badan bayi di dalam rongga panggul, sehingga menjadi bahu
depan dimana sebelumnya merupakan bahu belakang dan lahir dibawah
simfisis. Bila cara tersebut masih juga belum berhasil, penolong memasukkan
tangannya kedalam vagina, dan berusaha melahirkan janin dengan
menggerakkan dimuka dadanya. Untuk melahirkan lengan kiri, penolong
menggunakan tangan kanannya, dan sebaliknya. Kemudian bahu depan
diputar ke diameter miring dari panggul untuk melahirkan bahu depan.

Persalinan percobaan ada dua macam yaitu trial of labour dan test of
labour. Trial of labour serupa dengan persalinan percobaan di atas, sedangkan
test of labour sebenarnya adalah fase akhir dari trial of labour karena baru
dimulai pada pembukaan lengkap dan berakhir 2 jam kemudian. Saat ini test
of labour jarang digunakan karena biasanya pembukaan tidak lengkap pada
persalinan dengan pangul sempit dan terdapat kematian anak yang tinggi pada
cara ini.

19
Keberhasilan persalinan percobaan adalah anak dapat lahir sontan per
vaginam atau dibantu ekstraksi dengan keadaan ibu dan anak baik. Persalinan
percobaan dihentikan apabila pembukaan tidak atau kurang sekali
kemajuannnya, keadaan ibu atau anak kurang baik, ada lingkaran bandl,
setelah pembukaan lengkap dan ketuban pecah kepala tidak masuk PAP
dalam 2 jam meskipun his baik, serta pada forceps yang gagal. Pada keadaan
ini dilakukan seksio sesarea.

b. Seksio Sesarea

Seksio sesarea elektif dilakukan pada kesempitan panggul berat dengan


kehamilan aterm, atau disproporsi cephalopelvik yang nyata. Seksio juga
dapat dilakukan pada kesempitan panggul ringan apabila ada komplikasi
seperti primigravida tua dan kelainan letak janin yang tak dapat diperbaiki.

Seksio sesarea sekunder (sesudah persalinan selama beberapa waktu)


dilakukan karena peralinan perobaan dianggap gagal atau ada indikasi untuk
menyelesaikan persalinan selekas mungkin sedangkan syarat persalinan per
vaginam belum dipenuhi.

c. Simfisiotomi

Tindakan ini dilakukan dengan memisahkan panggul kiri dan kanan pada
simfisis. Tindakan ini sudah tidak dilakukan lagi.

d. Kraniotomi dan Kleidotomi

Pada janin yang telah mati dapat dilakukan kraniotomi atau kleidotomi.
Apabila panggul sangat sempit sehingga janin tetap tidak dapat dilahirkan,
maka dilakukan seksio sesarea.

2.8 Komplikasi Section Caesarea

Komplikasi yang sering terjadi pada ibu dengan section caesarea adalah
sebagai berikut :

a) Infeksi puerperal (nifas)

20
1. Ringan dengan kenaikan suhu beberapa hari saja
2. Sedang dengan kenaikan suhu yang lebih tinggi disertai dengan dehidrasi
dan perut sedikit kembung
3. Berat dengan peritonitis sepsis dan ileus paralitik

b) Perdarahan

1. Banyak pembuluh darah yang terputus dan terbuka


2. Atonia uteri
3. Perdarahan pada placental bed

c) Luka kandung kemih emboli paru dan keluhan kandung kemih bila
reperitonealisasi terlalu tinggi

d) Kemungkinan reptura uteri spontan pada kehamilan mendatang

2.9 Pengkajian Riwayat Kesehatan dan Riwayat Obstetric Sebelumnya dan Saat
ini.
Kaji riwayat persalinan dengan makrosomia atau kontraktur pelvis pada
pasien maupun keluarga pasien. Riwayat penyakit seperti diabetes gestasional
perlu ditanyakan karena dapat mengakibatkan makrosomia.
Riwayat penyakit lain yang dapat mempengaruhi kondisi panggul seperti
skoliosis, fraktur pelvis, dan rakitis juga harus ditanyakan karena akan
menjadi pertimbangan untuk dilakukan pelvimetri radiologi. Kaji juga metode
persalinan sebelumnya.
Pada proses kehamilan, terutama saat usia kehamilan lanjut >36 minggu,
PAP yang sempit membuat janin tidak dapat turun, sehingga fundus uteri
tetap tinggi dan ibu mengeluhkan sesak, sulit bernapas, rasa penuh di ulu hati,
dan perut yang besar membentuk abdomen pendulum (perut gantung).
Pada postpoliomyelitis masa kanak-kanak mengakibatkan panggul miring.
Fraktur pada ekstremitas timbul kallus atau kurang sempurna sembuhnya
dapat mengubah bentuk panggul. Penyakit rankitis pada masa kanak-kanak,
jika duduk tekanan badan pada panggul dengan tulang-tulang atau sendi-sendi

21
yang lembek menyebabkan sacrum dengan promontoriumnya bergerak ke
depan dan bagian bawahnya mendatar sehingga sacrum mendatar.

Kaji persalinan sebelumnya, apakah partus yang lalu berlangsung lama, ada
riwayat letak lintang atau sunsang, persalinan ditolong dengan alat atau
operasi.

2.10 Pemeriksaan Fisik Sistem Tubuh dan Pemeriksaan Obstetri (Sistem


Reproduksi Cephalopelvic Disproporsional
A. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik CPD dapat dilakukan saat antenatal atau melalui
pemeriksaan panggul saat inpartu. Pemeriksaan panggul dapat dilakukan
dengan cara pelvimetri klinis baik eksternal maupun internal.
1. Pemeriksaan Antropometri Antenatal
Selain ukuran panggul yang sempit, kriteria lain yang perlu dinilai pada
antropometri adalah tinggi badan ≤145 cm, pertambahan berat badan ibu
>15 kg (biasanya berhubungan dengan ukuran janin yang besar), dan BMI
ibu >30.
2. Pelvimetri Eksternal
Pemeriksaan pelvimetri eksternal dilakukan menggunakan instrumen yang
disebut Berisky pelvimeter. Pada pelvimetri eksternal dilakukan
pengukuran jarak antara krista iliaka, jarak antara spina iliaka anterior-
superior, jarak intertrokanter, jarak diagonal transversal area Michaelis-
sakrum, dan intertuberositas.
Sebuah penelitian melaporkan bahwa sensitivitas dan spesifisitas
pemeriksaan paling tinggi adalah jarak diagonal transversal Michaelis-
sakrum (60,7%, 84,1%). Namun, positive indicative value seluruh
paremeter pelvimetri eksternal tersebut relatif rendah yakni 12,6-35,4%.
Di daerah terpencil, di mana pelvimetri radiologi tidak tersedia, pelvimetri
eksternal dapat menjadi alternatif yang murah dan mudah digunakan untuk
memprediksi risiko distosia akibat CPD.
3. Pelvimetri Internal
Pemeriksaan fisik lain untuk memprediksi CPD adalah melalui pelvimetri
internal. Pelvimetri internal dilakukan dengan cara vaginal toucher (VT)/

22
pemeriksaan dalam menggunakan jari telunjuk dan tengah untuk
mengevaluasi kapasitas panggul, yakni bagian pintu atas panggul (PAP),
ruang tengah panggul (RTP), dan pintu bawah panggul (PBP).
Pelvimetri internal berbeda dengan VT biasa yang rutin dikerjakan pada
persalinan yang bertujuan mengevaluasi bukaan serviks, kantong amnion,
penurunan, dan posisi janin.
Menurut WHO, pelvimetri internal tidak dianjurkan untuk dilakukan
secara rutin pada ibu hamil yang sehat dengan kemajuan persalinan yang
normal. Pelvimetri internal umumnya dilakukan saat pasien mengalami
inpartu. Pemeriksaan ini dapat menimbulkan rasa tidak nyaman pada
pasien.
Pada pelvimetri internal dilakukan penilaian terhadap bentuk dan ukuran
rongga dalam pelvis. Walaupun akurasi diagnosis dengan cara ini tidak
pasti (tergantung kemahiran pemeriksa), beberapa penelitian melaporkan
bahwa pelvimetri internal berguna untuk memperkirakan CPD pada pasien
nulipara saat tidak ada modalitas pemeriksaan lain misalnya di daerah-
daerah pedesaan.
Hasil pelvimetri internal yang menunjukkan adanya panggul sempit antara
lain pemeriksa dapat meraba promontorium sakrum, tulang spina
ischiadika yang tajam dengan diameter interspinarum yang sempit, dinding
sisi pelvis yang konvergen, sakrum yang melengkung dan menonjol ke
depan, dan arkus pubis yang sempit (<90o).
Pelvimetri internal dapat digunakan untuk mendapatkan gambaran
kualitatif struktur panggul dan mengidentifikasi risiko distosia pada
pasien.
Mengukur konjugata diagonalis dilakukan dengan memasukkan dua jari
(jari telunjuk dan tengah) ke vagina dan meraba promontorium sakrum
dengan jari tengah. Menggunakan jari telunjuk raba bagian posterior
simfisis pubis. Ukuran konjugata diagonalis harus lebih besar dari 11,5
cm.
Bagian tulang PBP dapat diukur menggunakan kepalan tangan, kemudian
membandingkan dengan jarak antara tuberositas ischium yang teraba.

23
Ukuran lebih besar dari 8 cm dianggap normal. Lakukan perabaan spina
ischiadika apakah tajam atau mendatar. Perabaan bagian tepi pelvis
menilai bentuk lurus, divergen, atau konvergen.
Hasil pemeriksaan pelvimetri internal yang normal adalah :
- Bagian tepi atas tulang panggul bulat
- Konjugata diagonalis ≥12,5 cm
- Ketebalan simfisis pubis cukup, sejajar dengan sakrum
- Sakrum berongga, kelengkukngan cukup
- Dinding tepi panggul lurus
- Spina ischiadika tumpul
- Diameter interspinarum ≥10 cm
- Lebar tonjolan sakroskiatik 2,5-3 jari
- Sudut suprapubik >90 derajat (lebar 2 jari)
- Diameter antara tuberositas >8 cm (sekepalan tangan)
- Coccyx mobile
- Diameter anteroposterior PBP ≥11 cm

B. Pemeriksaan Obstetri
Pada pemeriksaan obstetri ibu nulipara bila bagian terbawah janin tidak
masuk ke PAP pada usia kehamilan >36 minggu, perlu dicurigai adanya CPD.
Pada keadaan multipara penurunan janin biasanya terjadi saat proses persalinan
dimulai. Pada pemeriksaan Leopold IV, penurunan kepala 2/5 menunjukkan
proses engagement sudah terjadi dan kemungkinan CPD setinggi PAP dapat
disingkirkan.
Penurunan kepala dapat dinilai melalui pemeriksaan dalam dengan parameter
spina ischiadika dan bagian terendah janin. Station 0 berada setinggi spina
ischiadika, station +4 dan +5 menunjukkan kepala sudah mencapai dasar
panggul. Pada nulipara, diagnosis CPD harus dipikirkan bila bagian terendah
janin masih berada pada station yang tinggi selama kala I dan II.
Pemeriksaan dengan manuver Mueller-Hillis atau Munro-Kerr's head-fitting
test dapat dilakukan untuk menilai kesempitan PAP pada usia kehamilan yang
cukup dan kepala belum engaged. Manuver Mueller-Hillis ini dilakukan

24
dengan mencekap bagian suboccipital janin dari dinding abdomen ibu
kemudian menekan ke arah bawah PAP. Jika tidak ada kesempitan pada PAP
maka kepala dapat memasuki panggul.
Munro Kerr's head-fitting test juga menguji apakah kepala janin dapat masuk
ke PAP, dengan cara memberikan penekanan pada kepala janin menggunakan
tangan kiri ke arah panggul (bawah) dan jari telunjuk dan tengah tangan kanan
di dalam vagina merasakan penurunan kepala dan ibu jari di bagian luar
simfisis pubis.
Bila kepala dapat masuk dan turun, maka kemungkinan PAP sempit dapat
disingkirkan. Bila kepala terasa overlapping ke arah simfisis (teraba oleh ibu
jari) maka dapat dicurigai adanya CPD.

2.11 Asuhan Keperawatan Berdasarkan Kasus

KASUS :

Ny. F, 27 thn, G2P1A0, aterm, mengeluh nyeri dan kelelahan, tampak terpasang
infus oksitosin pada lengan kiri. Ibu telah berada di ruang VK dengan dilatasi
serviks 10 cm, namun fase ekspulsi memanjang. Saat dikaji his menjadi tidak
terkoordinasi serta tampak ibu tidak mampu membuat posisi efektif untuk
mengedan. Pada pemeriksaan dalam teraba bagian keras melenting, dan teraba
fontanel posterior. Hasil pemeriksaan USG menunjukkan berat janin 3500 gr,
Conjugata Vera 10 cm, TD 100/70 mmhg, takikardi dan takipneu. Anamnesa
riwayat persalinan sebelumnya normal namun memiliki riwayat DM dalam
keluarganya. Pengkajian Power, Passenger, Passage dilakukan dan segera
rencanakan tindakan Operatif jika penatalaksaan partus normal gagal.

2.11.1 Asuhan Keperawatan Intrapartum

A. Pengkajian

1. Biodata :Ny. H berusia 20 tahun


2. Keluhan Utama : mual muntah

25
3. Riwayat Kesehatan sekarang : Mual muntah lebih dari 10 kali sejak pagi,
nyeri ulu hati,sudah beberapa hari yang lalu tidak nafsu makan, lemas dan
tidak bisa melakukan aktivitas seharihari.
4. Riwayat Obstetri : G1P0A0, HPHT : 13 Agustus 2018
5. Pemeriksaan fisik :
a. TTV : TD 90/70 mmHg, N : 102x/mnt, RR : 22x/mnt, S : 37 °c.
b. BB : 50 kg , TB :165
c. Keadaan umum : klien tampak lemah, kelopak mata cekung, bibir
kering dan terdapat halitosis
d. Tingkat kesadaran : Apatis
e. Sistem Integumen : turgor kulit menurun
f. Sistem Gastrointestinal : mual muntah, anorexia, nyeri ulu hati

B. Analisa Data

N DATA FOKUS ETIOLOGI MASALAH


O KEPERAWATAN
1. DS : Ny. F mengeluh nyeri Kehamilan aterm Nyeri Akut
DO :
- Terpasang infus oksitosin Penurunan kadar
pada lengan kiri. progesterone dan
- Takikardi dan Takipneu estrogen,
peningkatan
oksitosin dan
prostaglandin

Kontraksi uterus
kuat dan cepat,,
dilatasi serviks

Kompresi saraf,
Saraf aferen serviks
& uterus masuk ke
medulla spinalis

26
melalui akar
posterior T10-L1

Nyeri Akut

2. DS : fase ekspulsi Hambatan


DO : memanjang pertukaran gas
- fase ekspulsi memanjang (janin)
penurunan oksigen
kedalam plasenta

hambatan
pertukaran gas janin

C. Diagnosa Keperawatan

1. Nyeri akut berhubungan dengan kontaksi uterus yang cepat dan kuat,
dilatasi serviks, kompresi saraf yang ditandai dengan klien mengeluh
nyeri, takikardi, takipneu, terpasang oksitosin.
2. Hambatan pertukaran gas (janin) berhubungan dengan fase ekspulsi
memanjang, penurunan oksigen ke dalam plasenta yang ditandai dengan
fase ekspulsi memanjang

27
D. INTERVENSI
NO DIAGNOSA RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN RASIONAL
TUJUAN INTERVENSI
KEPERAWATAN
1. Nyeri akut 1. Monitor dan catat aktivitas uterus 1. Menyediakan
pada setiap kontraksi informasi/dokumentasi yang legal
berhubungan dengan • Klien akan
tentang kemajuan selanjutnya;
kontaksi uterus yang mengungkapkan nyeri Membantu mengidentifikasi pola
kontraksi abnormal, memungkinkan
cepat dan kuat, berkurang secara verbal
pengkajian dan intervensi yang
dilatasi serviks, • Klien akan menggunakan cepat
kompresi saraf yang teknik yang tepat untuk
ditandai dengan mempertahankan kontrol.
klien mengeluh • Klien akan beristirahat di
2. Identifikasi derajat 2. Mengklafikasi kebutuhan;
nyeri, takikardi, antara kontraksi. ketidaknyamanan klien dan memungkinkan intervensi yang
sumbernya tepat.
takipneu, terpasang
oksitosin.
3. Eversi (keluarnya) anal dan
3. Observasi keadaan perineum dan penonjolan perineum terjadi saat
anus menonjol, pembukaan vertex (titik pertemuan garis) janin
introitus vagina, dan perubahan turun, menunjukkan perlunya
tempat janin. mempersiapkan persalinan

1
4. Meskipun klien sedang dalam stress
persalinan dan ketidaknyamanan
4. Tinjau informasi dengan klien / juga gangguan kemampuan
pasangan tentang tahap tipe pengambilan keputusan, dia masih
spesifik pengaturan persalinan tetap berada dalam control dan
(misalnya lokal, blok pudendal, dapat membuat keputusan mengenai
penguat epidural lumbar) atau anestesia.
penggunaan stimulasi saraf listrik
transcutneous (TENS), akupresur
atau akupunktur, Informasikan 5. efek merugikan subarachnoid atau
keunggulan , dan / atau kerugian, peridural block adalah hipotensi
yang sesuai maternal yang disebabkan karena
penurunan resistensi perifer karena
5. Monitor TD dan Nadi ibu, DJJ, dilatasi pembuluh darah. Hipoksia janin
observasi efek samping yang tidak atau bradikardia dapat terjadi karena
biasa pada penggunaan medikasi, penurunan sirkulasi dari bagian dalam
seperti reaksi antigen-antibodi, ibu terhadap plasenta
paralisis pernafasan, atau
penyumbatan tulang belakang.
Catat reaksi merugikan seperti
nausea/vomiting retensi urin,
depresi pernafasan (hipoventilasi), 6. mengurangi ketidaknyamanan yang
dan pruritus pada muka, mata, atau berhubungan dengan episiotomy,
mulut aplikasi forceps, dan pengeluaran janin.
Reaksi merugikan termasuk hipotensi
6. Kaji penguatan medikasi via maternal, otot berkedut/tegang, hilang
indwelling lumbar epidural kesadaran, penurunan FHR dan irama
catheter Ketika kaput terlihat. jantung irregular.

2
Monitor TTV dan respon yang
merugikan. 7. meningkatkan kenyamanan,
memfasilitasi janin turun, dan
mengurangi resiko trauma bladder
akibat keluarnya janin.
7. Kaji kepenuhan bladder. Pasang
kateter diantara kontraksi jika 8. Anestesi dua pertiga bagian bawah
tercatat ada distensi dan klien tidak vagina dan perineum selama persalinan
mampu BAK. dan untuk perbaikan episiotomy.
Anestesi dapat mengganggu upaya ibu
8. Posisikan klien dorsal litotomi dan untuk mengedan tapi tidak ada efek
kaji kebutuhan pemberian anestesi terhadap variasi TD ibu dan DJJ.
pudendal.
9. Anestesi jaringan perineum untuk
insisi/tujuan perbaikan.

9. Kaji kebutuhan pemberian anestesi


local hanya sebelum episiotomy,
jika telah selesai

2. Hambatan  Klien akan terbebas dari 1. Kaji DJJ menggunakan fetoscope 1. Deselerasi dini terjadi karena
atau monitor digital janin, selama stimulasi vagal dari tekanan kepala
pertukaran gas variasi atau terlambatnya dan setelah kontraksi atau upaya harus kembali ke pola dasar diantara
(janin) berhubungan deselerasi mengedan. kontraksi.
dengan fase ekspulsi (Penurunan/perlambatan 2. Tentukan stasiun (tempat) janin,
memanjang, frekuensi DJJ sementara presentasi, dan posisi janin. Jika 2.

3
penurunan oksigen lebih dari sama dengan 15 janin dalam posisi posterior
oksiput, ubah posisi ke
ke dalam plasenta dpm di bawah frekuensi
semestinya.
yang ditandai DJJ basal, yang
dengan fase ekspulsi berlangsung selama lebih
memanjang dari sama dengan 15
detik. Terjadi.
 Klien akan menggunakan
posisi yang meningkatkan
sirkulasi kembalinya vena
dan sirkulasi plasenta.

4
2.12 Peran Perawat pada Asuhan Keperawatan Cephalopelvic Disproporsional

1. Peran Perawat sebagai advokat klien

Perawat harus memberikan informasi tambahan bagi Ny.F yang sedang berusaha
untuk memutuskan tindakan yang terbaik baginya dan perawat juga harus
melindungi hak-hak pasien Ny.F dengan cara menolak atau tindakan yang
membahayakan bagi kesehatan Ny.F

3. Peran Perawat sebagai Edukator

Memberikan pendidikan kesehatan (penkes) tentang cpd sehingga membantu


klien dalam meningkatkan tingkat pengetahuan kesehatan, gejala penyakit bahkan
tindakan yang diberikan, sehingga terjadi perubahan perilaku dari klien setelah
dilakukan pendidikan kesehatan

4. Peran Perawat sebagai coordinator

Perawat harus kordinasi terlebih dulu dengan dokter supaya tindakan kooperatif.

5. Peran Perawat sebagai kolaborator

Perawat bekerjasama dengan dokter , apoteker untuk memberikan obat oksitosin


sehingga merangsang persalinan dan menghentikan perdarahan setelah persalinan
Ny. F.

6. Peran Perawat sebagai Cosellor

Perawat harus mengidentifikasi perubahan pola interaksi klien terhadap keadaan


sehat sakitnya, klien harus konseling terhadap pengalaman kesehatan dahulu dan
sekarang.

7. Peran Perawat sebagai Pembaharuan

Perawat memodifikasi rencana asuhan keperawatan sesuai dengan perkembangan


atau perubahan yang ada. 

1
2.13 Prinsip Legal Etik Keperawatan yang Relevan dengan Kasus

1. Terhadap Individu

Menghormati nilai, adat, dan kepercayaan klien, memegang teguh rahasia klien,
tidak membentak klien, memastikan terjaganya privacy klien saat Tindakan
dilakukan.

2. Terhadap Praktek Keperawatan

Bertanggung jawab menjalankan tugas, wajib memelihara standar keperawatan,


melaksanakan intervensi sesuai SOP, mempertimbangkan kemampuan teman
sejawat dalam melimpahkan tanggung jawab.

3. Terhadap Profesi lain

Mampu bekerjasama dan membina hubungan baik demi meningkatkan Kesehatan


klien.

Prinsip Etik :

1. Otonomi

Perawat memberikan inform consent tentang asuhan yang akan diberikan, tujuan ,
manfaat dan prosedur tindakan kepada Ny.F. Sehingga, perawat semestinya tidak
marah saat keluarga menanyakan status kesehatan Ny.F, karena itu merupakan
kebebasan keluarga untuk mengetahui semua tindakan yang akan dilakukan.

2. Accountability

perawat bertanggung jawab pada diri sendiri, profesi, klien, sesame teman
sejawat, karyawan, dan masyarakat. Jika perawat salah memberi dosis obat
kepada klien perawat dapat digugat oleh klien yang menerima obat.

3. Confidentiality (kerahasiaan)

Perawat akan berpegang teguh dalam prinsip moral etik keperawatan yaitu
menghargai apa yang menjadi keputusan pasien dengan menjamin kerahasiaan
segala sesuatu yang telah dipercayakan pasien kepadanya kecuali seijin pasien.

2
4. Fidelity (menepati janji)

Perawat harus mempertahankan hubungan saling percaya antar perawat dan


pasien dan perawat tidak boleh menceritakan penyakit pasien Ny.F pada orang
yang tidak berkepentingan.

5. Beneficence (berbuat baik)

perawat memberikan oksitosin pada klien karena hal tersebut adalah yg terbaik
bagi klien dan janinnya, bila janin tidak segera dirangsang oleh oksitosin untuk
dikeluarkan, maka janin beresiko mati dijalan lahir

6. Justice (keadilan)

Perawat harus berlaku adil kepada semua orang, tidak boleh memilih klien
berdasarkan ekonomi, kasta, suku dan lain-lain. Ketika ada pasien baru masuk dan
di waktu yang sama ada pasien Ny.F datang dan membutuhkan bantuan maka
perawat harus segera pertimbangkan barbagai faktor sesuai dengan asas keadilan.

7. Non-malaficence (tidak merugikan)

Kewajiban bagi perawat untuk tidak menimbulkan kerugian atau cedera fisik
kepada klien, bila Ny.F mengalami penurunan kesadaran maka tindakan perawat
harus memasang side driil.

8. Veracity (kejujuran)

Perawat harus mengatakan kebenaran terhadap klien maupun keluarganya untuk


menyakinkan agar kedua belah pihak mengerti, bahwa Riwayat DM
mempengaruhi indikasi bayi besar.

3
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

4
DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai