Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

MAQASHIDUL AHKAM ( ‫) مقاصد األحكام‬

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Hikmatut Tasyri’

Dosen Pengampu :

Ulil Fauziyah, M.HI

Oleh :

Eko Sugiono (17110016)

M. Ridlo Alfian (17110024)

Wihdatus Syifa Anwar Sinaga (17110096)

KELAS B

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM

MALANG

2020
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas
limpahan rahmat, hidayah dan karunia-Nya sehingga kami selaku penulis dapat
menyelesaikan tugas berupa makalah yang berjudul “Maqashidul Ahkam” dengan
baik dan tepat waktu untuk memenuhi tugas pada mata kuliah Hikmatut Tasyri’
yang diampu oleh dosen kami ibu Ulil Fauziyah, M.HI.

Penulis berharap makalah ini dapat menambah wawasan pembaca


sekaligus penulis sendiri mengenai apa yang menjadi maksud atau tujuan
dirumuskan dan disyari’atkannya suatu hukum oleh sang pembuatnya, dalam hal
ini ialah Allah SWT. Penulis menyadari betul bahwa didalam penulisan makalah
ini masih jauh dari kata sempurna sebab keterbatasan dan pengalaman penulis,
sehingga masih banyak kekurangan dalam makalah ini. Oleh sebab itu, penulis
sangat mengharapkan sebuah kritik dan saran yang baik sekaligus bersifat
membangun dari para pembaca demi kesempurnaan makalah dimasa-masa yang
akan datang.

Malang, 24 Februari 2020

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

KATA PENGANTAR ................................................................................... ii

DAFTAR ISI .................................................................................................. iii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang .................................................................................... 1


1.2 Rumusan Masalah ............................................................................... 2
1.3 Tujuan Penulisan ................................................................................ 2

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Kebutuhan Dlaruriyat.......................................................................... 3


2.2 Kebutuhan Hajiyat .............................................................................. 4
2.3 Kebutuhan Tahsiniyat.......................................................................... 5
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan ......................................................................................... 7
3.2 Saran ................................................................................................... 7
DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Setiap peraturan yang dibuat pasti memiliki tujuan yang hendak dicapai
oleh sang pembuat. Jika ditinjau berdasarkan tata aturan hukum positif maka
dapat diketahui bahwa tujuan dibuatnya peraturan tiada lain adalah untuk
mewujudkan ketenteraman masyarakat. Dalam arti lain untuk mengatur dan
menentukan batas-batas hak dan kewajiban setiap anggota masyarakat dengan
sebaik-baiknya. Kehadiran agama Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin
memberikan pedoman bagi umat manusia secara keseluruhan menuju
pencapaian kebahagiaan jasmani dan ruhani serta menawarkan tata kehidupan
yang baik dalam kehidupan individual ataupun bermasyarakat.
Secara global, penetapan hukum Islam oleh Allah SWT bertujuan untuk
kemaslahatan, kepentingan dan kebahagiaan umat manusia seluruhnya baik
dimensi duniawi maupun ukhrawi. Perwujudan kemaslahatan yang dimaksud
adalah kemaslahatan yang berpegang teguh pada kepentingan umum bukan
kemaslahatan yang didasari pada kepentingan individu ataupun kelompok
tertentu apalagi atas dorongan hawa nafsu belaka.
Tujuan hukum Islam ( ‫ ) مقاص د األحك ام‬bersifat abadi dan umumnya lebih

tinggi dibandingkan dengan hukum positif. Alasannya karena tujuan hukum


Islam tidak terbatas pada kajian materi yang sifatnya sementara atau
singkatnya kajian tujuan hukum Islam lebih universal dibandingkan hukum
positif. Sejalan dengan pemikiran Ibnul Qayyim, kepentingan atau kebutuhan
hidup manusia terbagi menjadi 3 macam yaitu kebutuhan primer (dlaruriyat),
kebutuhan sekunder (hajiyat) dan kebutuhan tersier (tahsiniyat). Dalam
makalah ini, penulis mencoba memberi penjelasan cukup rinci terkait 3
kebutuhan manusia sebagaimana telah disebutkan dengan perspektif tujuan
hukum Islam.

1
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, maka yang menjadi rumusan
masalah dalam makalah ini sebagai berikut:
1. Apa maksud di balik kebutuhan dlaruriyat ?
2. Apa maksud dibalik kebutuhan hajiyat ?
3. Apa maksud dibalik kebutuhan tahsiniyat ?
1.3 Tujuan Penulisan
Berdasarkan adanya rumusan masalah tersebut, maka yang menjadi tujuan
penulisan makalah ini adalah untuk:
1. Mengetahui dan memahami maksud kebutuhan dlaruriyat.
2. Mengetahui dan memahami maksud kebutuhan hajiyat.
3. Mengetahui dan memahami maksud kebutuhan tahsiniyat.

2
BAB II

PEMBAHASAN

Imam Asy-Syatibi menyatakan bahwa tujuan utama pensyariatan hukum


Islam ialah semata-mata untuk mewujudkan kemaslahatan manusia baik di dunia
ataupun di akhirat. Sedangkan kemaslahatan tersebut dapat tercapai apabila cara
meraihnya dilakukan dengan cara memelihara dan menjaga 3 macam kebutuhan
manusia yaitu kebutuhan dlaruriyat, hajiyat dan tahsiniyat. Berikut akan dirinci
tiga macam kebutuhan tersebut.

2.1 Kebutuhan Dlaruriyat


Kebutuhan dlaruriyat adalah segala hal yang menjadi sendi eksistensi
kehidupan manusia yang harus ada demi kemaslahatan manusia.
Kemaslahatan Dlaruriyat meliputi lima hal, yaitu memelihara agama, jiwa,
keturunan, harta dan akal. Kelima hal tersebut menjadi tujuan utama dari
agama Islam. Berikut penjelasan lebih rinci terkait kelima macam
kemaslahatan atau kebutuhan dlaruriyat.
a. Untuk memelihara agama, Allah SWT memerintahkan agar menegakkan
syiar-syiar Islam seperti shalat, puasa, zakat, haji, memerangi (jihad)
orang yang menghambat dakwah Islam, dan lain sebagainya.
b. Untuk memelihara jiwa, Allah SWT melarang segala perbuatan yang akan
merusak jiwa, seperti pembunuhan terhadap orang lain atau diri sendiri,
disyariatkan qishas bagi pelaku pembunuhan dan tindak makar,
sebaliknya dituntut melakukan sesuatu yang mengarah pada
terpeliharanya jiwa, seperti makan, minum, memelihara kesehatan dan
lain-lain.
c. Untuk memelihara keturunan, Allah SWT melarang berbuat dan
menjatuhkan hukuman berat bagi orang yang menuduh seseorang berbuat
zina dan tidak dapat menunjukkan bukti yang sah. Sebaliknya Allah SWT
memerintahkan untuk melakukan pernikahan secara sah. Dalam kaitannya
dengan pemeliharaan harta, Allah SWT menetapkan hukum potong
tangan bagi pencuri dan melarang berjudi, sebaliknya disyariatkan untuk
memiliki dan mengembangkan harta.

3
d. Untuk memelihara akal, Allah SWT melarang untuk meminum khamar
dan semua perbuatan yang dapat merusak akal, sebaliknya mensyariatkan
untuk menggunakan akal sehat untuk memikirkan ciptaan Allah SWT dan
menuntut ilmu pengetahuan.1
2.2 Kebutuhan Hajiyat
Kebutuhan hajiyat adalah jenis kebutuhan untuk mempermudah dan
mengangkat segala hal yang dapat melahirkan kesulitan, namun tidak sampai
ke tingkat dlaruri. Hajiyat juga dapat diartikan dengan kebutuhan sekunder, di
mana seandainya kebutuhan itu tidak terpenuhi, tidak sampai merusak
kehidupan, namun keberadaannya sangat dibutuhkan untuk memberikan
kemudahan dalam kehidupan manusia. Prinsip utama aspek hajiyat ini adalah
meringankan kesulitan dan memudahkan urusan manusia serta meringankan
beban taklif. Berdasarkan segi penetapan hukum hajiyat terbagi menjadi tiga:
1. Muqodima wajib yaitu hal yang dibutuhkan untuk membantu pelaksanaan
sesuatu yang diperintkan oleh syari’at. Seperti mendirikan sekolah untuk
menunjang aktifitas belajar yang merupakan kewajiban manusia.
Kebutuhan kepada sekolah ini dianggap besar, namun ketiadaan sekolah
tidak berarti terputusnya jalan untuk menuntut ilmu.
2. Sesuatu yang dibutuhkan untuk menghindari secara tidak langsung
pelanggaran-pelanggaran agama yang bersifat dharuri, seperti dilarangnya
berduaan sebagai antisipasi terjadinya perbuatan zina yang merupakan
pelanggaran bersifat dlaruri. Secara teori tidaklah setiap kali berduaan
(laki-perempuan) berarti akan terjadi perzinaan, hanya saja hal itu dilarang
untuk menutup kemungkinan terjadinya, dan kepentingan dari adanya
tindakan antisipasi ini berada pada tingkat hajiyat.
3. Segala bentuk kemudahan (rukhsat al-syar’iyyat) yang memberikan
kelapangan bagi kehidupan manusia. Pada hakikatnya ketiadaan rukhsah
tidak akan menghilangkan unsur dharuri, namun manusia akan berada
dalam kesulitan. Maka dari itu keberadaan rukhsah terdapat dalam semua
aspek seperti ibadah, muamalah dan jinayah.2

1
Muhammad Mawardi Djalaludin, Pemikiran Abu Ishaq Al-Syatibi Dalam Kitab Al-
Muwafaqat. Jurnal Al-Daulah, Vol. 4, No.2, hlm. 297.
2
Amir Syarifuddin, Usul Fiqih Jilid 2, (Jakarta: Kencana, 2008), hlm. 228.

4
2.3 Kebutuhan Tahsiniyat
Kebutuhan tahsiniyat adalah tindakan atau sifat-sifat yang pada prinsipnya
berhubungan dengan al-mukarimul akhlaq atau budi pekerti mulia dan
pemeliharaan tindakan-tindakan utama dalam bidang ibadah, adat dan
muamalah.3 Maksudnya, jika aspek tahsiniyat ini tidak tercapai maka
kehidupan manusia tidak akan terancam kacau dan berbahaya sebagaimana
tidak terpenuhinya aspek dlaruriyat serta tidak akan menyusahkan kehidupan
manusia sebagaimana tidak terpenuhinya aspek hajiyat. Walau demikian,
tidak terpenuhinya aspek tahsiniyat ini akan menimbulkan kondisi yang
kurang indah dalam perspektif akal sehat dan adat kebiasaan. Maka bisa
ditarik benang merah bahwa kebutuhan tahsiniyat ini adalah segala hal yang
layak dan pantas menurut akal sehat dan adat kebiasaan serta menjauhi segala
hal yang bertentangan dengannya.
Pemahaman tentang aspek tahsiniyat ini dapat diperjelas melalui contoh
fenomena yang terdapat dalam kehidupan sehari-hari. Dalam lingkup ibadah,
seorang muslim memiliki kewajiban untuk bersuci dari hadas baik hadas kecil
ataupun hadas besar ketika melaksanakan shalat. Bagaimana jika seorang
muslim melaksanakan ibadah shalat tanpa bercuci terlebih dahulu, bukankah
itu telah menyalahi aturan yang sudah ditetapkan oleh ajaran Islam.
Sedangkan kewajiban bersuci tersebut sudah bukan lagi rahasia umum artinya
hal itu sudah menjadi hal yang lumrah di masyarakat. Maka bisa dipastikan,
seorang muslim yang melaksanakan ibadah shalat tanpa bersuci terlebih
dahulu berarti dia telah menyalahi aturan secara akal sehat dan adat kebiasaan.
Contoh lainnya adalah ketika hendak pergi ke masjid disunnahkan untuk
berhias. Hal itu menandakan bahwa aspek tahsiniyat sangat diperlukan.
Contoh fenomena tahsiniyat dalam bidang muamalah ialah keharaman jual
beli dengan cara menimbun barang dengan maksud untuk menaikkan harga
dari harga yang semestinya. Tentu jika fenomena itu terjadi, maka
ketidakharmonisan ditengah-tengah masyarakat akan muncul sebagai akibat
dari ketidakpedulian terhadap aspek tahsiniyat dalam berjual beli.

3
Alaiddin Koto, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2012), hlm.
52.

5
Tiga macam kebutuhan manusia sebagaimana yang telah disebutkan di
awal merupakan paket komplit yang sulit dipisahkan antara satu sama lain.
Meskipun aspek dlaruriyat adalah aspek yang paling utama, namun untuk
mencapai kesempurnaannya membutuhkan aspek hajiyat dan tahsiniyat. Aspek
hajiyat menjadi aspek penyempurna bagi aspek dlaruriyat, aspek tahsiniyat
menjadi aspek penyempurna bagi aspek hajiyat. Sedangkan aspek dlaruriyat
adalah dasar dari kemaslahatan umat manusia4. Perlu ditegaskan, tidak
terpenuhinya aspek hajiyat dan tahsiniyat tidak akan mengganggu eksistensi
aspek dlaruriyat secara keseluruhan.

4
Ibid., hlm. 53.

6
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Berdasarkan materi yang dipaparkan di awal, maka kesimpulan dari makalah
ini ialah sebagai berikut:
1. Kebutuhan dlaruriyat adalah segala hal yang menjadi sendi eksistensi
kehidupan manusia yang harus ada demi kemaslahatan manusia.
Kemaslahatan Dlaruriyat meliputi lima hal, yaitu memelihara agama,
jiwa, keturunan, harta dan akal.
2. Hajiyat dapat diartikan dengan kebutuhan sekunder, di mana seandainya
kebutuhan itu tidak terpenuhi, tidak sampai merusak kehidupan, namun
keberadaannya sangat dibutuhkan untuk memberikan kemudahan dalam
kehidupan manusia. Prinsip utama aspek hajiyat ini adalah meringankan
kesulitan dan memudahkan urusan manusia serta meringankan beban
taklif.
3. Kebutuhan tahsiniyat adalah segala hal yang layak dan pantas menurut
akal sehat dan adat kebiasaan serta menjauhi segala hal yang bertentangan
dengannya. jika aspek tahsiniyat ini tidak tercapai maka kehidupan
manusia tidak akan terancam kacau dan tidak akan menyusahkan
kehidupan manusia, namun akan memicu timbulnya kondisi kurang indah
atau harmonis berdasarkan perspektif akal sehat dan adat kebiasaan yang
ada.
3.2 Saran
Makalah ini membahas seputar hakikat tujuan adanya hukum Islam.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, penulis menyarankan agar pembaca tidak menjadikan isi makalah
ini sebagai rujukan utama, melainkan hanya sebatas pembanding atau
penambahan informasi dengan tema yang sama. Selain itu, penulis juga
mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi sempurnanya
penulisan makalah dimasa yang akan datang.

7
DAFTAR PUSTAKA

Ali, Zainuddin. 2006. Hukum Islam:Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia.


Jakarta: Sinar Grafika.

Djalaludin, Muhammad Mawardi. ”Pemikiran Abu Ishaq Al-Syatibi Dalam Kitab


Al-Muwafaqat”. Jurnal Al-Daulah. Vol. 4 No. 2.

Koto, Alaiddin. 2006. Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqh. Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada.

Koto, Alaiddin. 2012. Filsafat Hukum Islam. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.

Syarifuddin, Amir. 2008. Usul Fiqih jilid 2. Jakarta: Kencana.

Anda mungkin juga menyukai