5. مقاصد الأحكام
5. مقاصد الأحكام
Dosen Pengampu :
Oleh :
KELAS B
MALANG
2020
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas
limpahan rahmat, hidayah dan karunia-Nya sehingga kami selaku penulis dapat
menyelesaikan tugas berupa makalah yang berjudul “Maqashidul Ahkam” dengan
baik dan tepat waktu untuk memenuhi tugas pada mata kuliah Hikmatut Tasyri’
yang diampu oleh dosen kami ibu Ulil Fauziyah, M.HI.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, maka yang menjadi rumusan
masalah dalam makalah ini sebagai berikut:
1. Apa maksud di balik kebutuhan dlaruriyat ?
2. Apa maksud dibalik kebutuhan hajiyat ?
3. Apa maksud dibalik kebutuhan tahsiniyat ?
1.3 Tujuan Penulisan
Berdasarkan adanya rumusan masalah tersebut, maka yang menjadi tujuan
penulisan makalah ini adalah untuk:
1. Mengetahui dan memahami maksud kebutuhan dlaruriyat.
2. Mengetahui dan memahami maksud kebutuhan hajiyat.
3. Mengetahui dan memahami maksud kebutuhan tahsiniyat.
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
d. Untuk memelihara akal, Allah SWT melarang untuk meminum khamar
dan semua perbuatan yang dapat merusak akal, sebaliknya mensyariatkan
untuk menggunakan akal sehat untuk memikirkan ciptaan Allah SWT dan
menuntut ilmu pengetahuan.1
2.2 Kebutuhan Hajiyat
Kebutuhan hajiyat adalah jenis kebutuhan untuk mempermudah dan
mengangkat segala hal yang dapat melahirkan kesulitan, namun tidak sampai
ke tingkat dlaruri. Hajiyat juga dapat diartikan dengan kebutuhan sekunder, di
mana seandainya kebutuhan itu tidak terpenuhi, tidak sampai merusak
kehidupan, namun keberadaannya sangat dibutuhkan untuk memberikan
kemudahan dalam kehidupan manusia. Prinsip utama aspek hajiyat ini adalah
meringankan kesulitan dan memudahkan urusan manusia serta meringankan
beban taklif. Berdasarkan segi penetapan hukum hajiyat terbagi menjadi tiga:
1. Muqodima wajib yaitu hal yang dibutuhkan untuk membantu pelaksanaan
sesuatu yang diperintkan oleh syari’at. Seperti mendirikan sekolah untuk
menunjang aktifitas belajar yang merupakan kewajiban manusia.
Kebutuhan kepada sekolah ini dianggap besar, namun ketiadaan sekolah
tidak berarti terputusnya jalan untuk menuntut ilmu.
2. Sesuatu yang dibutuhkan untuk menghindari secara tidak langsung
pelanggaran-pelanggaran agama yang bersifat dharuri, seperti dilarangnya
berduaan sebagai antisipasi terjadinya perbuatan zina yang merupakan
pelanggaran bersifat dlaruri. Secara teori tidaklah setiap kali berduaan
(laki-perempuan) berarti akan terjadi perzinaan, hanya saja hal itu dilarang
untuk menutup kemungkinan terjadinya, dan kepentingan dari adanya
tindakan antisipasi ini berada pada tingkat hajiyat.
3. Segala bentuk kemudahan (rukhsat al-syar’iyyat) yang memberikan
kelapangan bagi kehidupan manusia. Pada hakikatnya ketiadaan rukhsah
tidak akan menghilangkan unsur dharuri, namun manusia akan berada
dalam kesulitan. Maka dari itu keberadaan rukhsah terdapat dalam semua
aspek seperti ibadah, muamalah dan jinayah.2
1
Muhammad Mawardi Djalaludin, Pemikiran Abu Ishaq Al-Syatibi Dalam Kitab Al-
Muwafaqat. Jurnal Al-Daulah, Vol. 4, No.2, hlm. 297.
2
Amir Syarifuddin, Usul Fiqih Jilid 2, (Jakarta: Kencana, 2008), hlm. 228.
4
2.3 Kebutuhan Tahsiniyat
Kebutuhan tahsiniyat adalah tindakan atau sifat-sifat yang pada prinsipnya
berhubungan dengan al-mukarimul akhlaq atau budi pekerti mulia dan
pemeliharaan tindakan-tindakan utama dalam bidang ibadah, adat dan
muamalah.3 Maksudnya, jika aspek tahsiniyat ini tidak tercapai maka
kehidupan manusia tidak akan terancam kacau dan berbahaya sebagaimana
tidak terpenuhinya aspek dlaruriyat serta tidak akan menyusahkan kehidupan
manusia sebagaimana tidak terpenuhinya aspek hajiyat. Walau demikian,
tidak terpenuhinya aspek tahsiniyat ini akan menimbulkan kondisi yang
kurang indah dalam perspektif akal sehat dan adat kebiasaan. Maka bisa
ditarik benang merah bahwa kebutuhan tahsiniyat ini adalah segala hal yang
layak dan pantas menurut akal sehat dan adat kebiasaan serta menjauhi segala
hal yang bertentangan dengannya.
Pemahaman tentang aspek tahsiniyat ini dapat diperjelas melalui contoh
fenomena yang terdapat dalam kehidupan sehari-hari. Dalam lingkup ibadah,
seorang muslim memiliki kewajiban untuk bersuci dari hadas baik hadas kecil
ataupun hadas besar ketika melaksanakan shalat. Bagaimana jika seorang
muslim melaksanakan ibadah shalat tanpa bercuci terlebih dahulu, bukankah
itu telah menyalahi aturan yang sudah ditetapkan oleh ajaran Islam.
Sedangkan kewajiban bersuci tersebut sudah bukan lagi rahasia umum artinya
hal itu sudah menjadi hal yang lumrah di masyarakat. Maka bisa dipastikan,
seorang muslim yang melaksanakan ibadah shalat tanpa bersuci terlebih
dahulu berarti dia telah menyalahi aturan secara akal sehat dan adat kebiasaan.
Contoh lainnya adalah ketika hendak pergi ke masjid disunnahkan untuk
berhias. Hal itu menandakan bahwa aspek tahsiniyat sangat diperlukan.
Contoh fenomena tahsiniyat dalam bidang muamalah ialah keharaman jual
beli dengan cara menimbun barang dengan maksud untuk menaikkan harga
dari harga yang semestinya. Tentu jika fenomena itu terjadi, maka
ketidakharmonisan ditengah-tengah masyarakat akan muncul sebagai akibat
dari ketidakpedulian terhadap aspek tahsiniyat dalam berjual beli.
3
Alaiddin Koto, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2012), hlm.
52.
5
Tiga macam kebutuhan manusia sebagaimana yang telah disebutkan di
awal merupakan paket komplit yang sulit dipisahkan antara satu sama lain.
Meskipun aspek dlaruriyat adalah aspek yang paling utama, namun untuk
mencapai kesempurnaannya membutuhkan aspek hajiyat dan tahsiniyat. Aspek
hajiyat menjadi aspek penyempurna bagi aspek dlaruriyat, aspek tahsiniyat
menjadi aspek penyempurna bagi aspek hajiyat. Sedangkan aspek dlaruriyat
adalah dasar dari kemaslahatan umat manusia4. Perlu ditegaskan, tidak
terpenuhinya aspek hajiyat dan tahsiniyat tidak akan mengganggu eksistensi
aspek dlaruriyat secara keseluruhan.
4
Ibid., hlm. 53.
6
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan materi yang dipaparkan di awal, maka kesimpulan dari makalah
ini ialah sebagai berikut:
1. Kebutuhan dlaruriyat adalah segala hal yang menjadi sendi eksistensi
kehidupan manusia yang harus ada demi kemaslahatan manusia.
Kemaslahatan Dlaruriyat meliputi lima hal, yaitu memelihara agama,
jiwa, keturunan, harta dan akal.
2. Hajiyat dapat diartikan dengan kebutuhan sekunder, di mana seandainya
kebutuhan itu tidak terpenuhi, tidak sampai merusak kehidupan, namun
keberadaannya sangat dibutuhkan untuk memberikan kemudahan dalam
kehidupan manusia. Prinsip utama aspek hajiyat ini adalah meringankan
kesulitan dan memudahkan urusan manusia serta meringankan beban
taklif.
3. Kebutuhan tahsiniyat adalah segala hal yang layak dan pantas menurut
akal sehat dan adat kebiasaan serta menjauhi segala hal yang bertentangan
dengannya. jika aspek tahsiniyat ini tidak tercapai maka kehidupan
manusia tidak akan terancam kacau dan tidak akan menyusahkan
kehidupan manusia, namun akan memicu timbulnya kondisi kurang indah
atau harmonis berdasarkan perspektif akal sehat dan adat kebiasaan yang
ada.
3.2 Saran
Makalah ini membahas seputar hakikat tujuan adanya hukum Islam.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, penulis menyarankan agar pembaca tidak menjadikan isi makalah
ini sebagai rujukan utama, melainkan hanya sebatas pembanding atau
penambahan informasi dengan tema yang sama. Selain itu, penulis juga
mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi sempurnanya
penulisan makalah dimasa yang akan datang.
7
DAFTAR PUSTAKA
Koto, Alaiddin. 2006. Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqh. Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada.
Koto, Alaiddin. 2012. Filsafat Hukum Islam. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.