Anda di halaman 1dari 31

LAPORAN PENDAHULUAN DAN KONSEP ASUHAN

KEPERAWATAN HIV/AIDS PADA ANAK DAN BAYI

KEPERAWATAN HIV/AIDS

Disusun oleh:
Kelompok 11/ Kelas C 2017

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
2020
LAPORAN PENDAHULUAN DAN KONSEP ASUHAN
KEPERAWATAN HIV/AIDS PADA ANAK DAN BAYI

Keperawatan HIV/AIDS
Disusun untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah Keperawatan HIV/AIDS
dengan dosen pengampu Ns. Nuning Dwi Merina S.Kep., M.Kep

Disusun oleh:
Kelompok 11 / Kelas C 2017
Binti Nur Faida Arfianti 172310101115
Aisyah Lely Trisnindasari 172310101127
Isnaini Eva Nursyamsiah 172310101135

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
ii

2020
Page

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah Swt. yang melimpahkan karunia-Nya sehingga


penulis dapat menyelesaikan tugas yang berjudul “Laporan Pendahuluan Dan
Konsep Asuhan Keperawatan Hiv/Aids Pada Anak Dan Bayi”. Tugas ini disusun
untuk memenuhi salah satu tugas dalam mata kuliah Keperawatan HIV AIDS
Fakultas Keperawatan Universitas Jember.
Penyusunan tugas ini tentunya tidak lepas dari kontribusi berbagai pihak.
Oleh karena itu, penulis menyampaikan terima kasih kepada:
1. Ns. Ahmad Rifai, S.Kep., M.S selaku dosen penanggung jawab dan
pembimbing mata kuliah HIV AIDS,
2. Ns. Nuning Dwi Merina, S.Kep., M.Kep selaku dosen pengampu
3. Keluarga di rumah yang senantiasa memberikan dorongan dan doanya demi
terselesaikannya tugas ini,
4. Semua pihak yang secara tidak langsung membantu terciptanya tugas ini
yang tidak dapat disebutkan satu per satu.
Penulis juga menerima segala kritik dan saran dari semua pihak demi
kesempurnaan tugas ini. Akhirnya penulis berharap, semoga dapat bermanfaat
bagi pembaca.

Jember, 21 April 2020

Penulis
iii
Page

iii
DAFTAR ISI

Halaman Judul.................................................................................................. i

Kata Pengantar ................................................................................................. iii

Daftar Isi .......................................................................................................... iv

BAB 1. PENDAHULUAN ............................................................................. 1

1.1 Latar Belakang............................................................................. 1


1.2 Rumusan Masalah....................................................................... 2
1.3 Tujuan ......................................................................................... 2
1.4 Manfaat........................................................................................ 2

BAB 2. PEMBAHASAN ................................................................................ 3

2.1 Definisi HIV AIDS...................................................................... 3


2.2 Etiologi HIV AIDS...................................................................... 4
2.3 Patofisiologi HIV AIDS.............................................................. 5
2.4 Manifestasi HIV AIDS................................................................ 6
2.5 Pemeriksaan Diagnostic.............................................................. 6
2.6 Penatalaksanaan .......................................................................... 7

BAB 3. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN......................................... 9

3.1 Pengkajian................................................................................... 9
3.2 Diagnosa...................................................................................... 10
3.3 Intervensi dan implementasi........................................................ 13
3.4 Evaluasi....................................................................................... 16

BAB 4. PENUTUP ......................................................................................... 18

3.1 Kesimpulan.................................................................................. 18
3.2 Saran............................................................................................ 18

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 19


LEMBAR EVALUASI................................................................................... 20
iv
Page

iv
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penyakit HIV/AIDS merupakan suatu penyakit yang terus berkembang
dan menjadi masalah global yang melanda dunia. Masalah HIV/AIDS
diyakini bagaikan fenomena gunung es karena jumlah kasus yang dilaporkan
tidak mencerminkan masalah yang sebenarnya (Hardisman, 2009). Pada akhir
tahun 2016 diestimasikan 36,7 juta orang di dunia hidup dengan HIV,
sebanyak 1,8 juta orang baru terinfeksi HIV, dan menyebabkan 1 juta
kematian pada tahun 2016 (WHO, 2017). Di dunia tercatat 34,5 juta orang
terjangkit HIV dengan penderita wanita sebesar 17,8 juta sedangkan penderita
anak berusia kurang dari 15 tahun 2,1 juta (UNAIDS, 2017). Asia Tenggara
menduduki peringkat kedua sebagai penderita HIV terbanyak setelah Afrika,
yakni sebesar 3,5 juta orang dengan 39% penderita HIV merupakan wanita
dan anak perempuan (WHO, 2016).
Pada tahun 2015, Indonesia menduduki peringkat kedua yang
diestimasikan sebagai penyumbang orang dengan HIV/AIDS terbanyak di
Asia Tenggara setelah India (60%) yakni sebesar 20% atau 690.000 ODHA
(WHO, 2016). Tahun 2016, Indonesia mengalami kenaikan kejadian insiden
HIV menjadi 41.250 orang yang sebelumnya sebesar 30.935 orang pada
tahun 2015 (Ditjen P2P Kemenkes RI, 2016). 2 Hasil estimasi dan proyeksi
jumlah orang dengan HIV/AIDS pada umur > 15 tahun di Indonesia pada
tahun 2016 sebanyak 785.821 orang dengan jumlah infeksi baru sebanyak
90.915 orang dan kematian sebanyak 40.349 orang (Ditjen P2P Kemenkes
RI, 2016).
Menurut jenis kelamin, penderita HIV/AIDS pada laki-laki masih lebih
besar dibandingkan perempuan. HIV positif pada laki-laki sebesar 63,3% dan
pada perempuan sebesar 36,7%. Sedangkan penderita AIDS pada laki-laki
sebesar 67,9% dan pada perempuan sebesar 31,5%. Proporsi HIV/AIDS
terbesar masih pada penduduk usia produktif (15-49 tahun) yang dibagi
dalam tiga golongan umur yaitu 15-19 tahun (3,7%), 20-24 tahun (17,3%),
dan 25-49 tahun (69,3%), dimana kemungkinan penularan terjadi pada usia
remaja (Kemenkes RI, 2017)
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Apa yang dimaksud dengan HIV AIDS?
1.2.2 Bagaimana etiologi HIV AIDS?
1.2.3 Bagaimana patofisiologi HIV AIDS?
1.2.4 Bagaimana manifestasi penyakit HIV AIDS pada anak?
1.2.5 Bagaimana pemeriksaan diagnostic HIV/AIDS pada anak?
1.2.6 Bagaiaman penatalaksanaan HIV AIDS pada anak?
1.2.7 Bagaimana konsep asuhan keperawatan HIV AIDS pada anak?
1.3 Tujuan
1.3.1 Mengetahui yang dimaksud dengan HIV AIDS?
1.3.2 Mengetahui etiologi HIV AIDS?
1.3.3 Mengetahui patofisiologi HIV AIDS?
1.3.4 Mengetahui manifestasi penyakit HIV AIDS pada anak?
1.3.5 Mengetahui pemeriksaan diagnostic HIV/AIDS pada anak?
1.3.6 Mengetahui penatalaksanaan HIV AIDS pada anak?
1.3.7 Mengetahui konsep asuhan keperawatan HIV AIDS pada anak?
1.4 Manfaat
1.4.1 Bagi Mahasiswa
Mahasiswa dapat mengetahui lebih dalam mengenai konsep HIV AIDS
pada anak.
1.4.2 Bagi Tenaga Kesehatan
Tenaga kesehatan dapat lebih memahami konsep penyakit HIV AIDS
pada anak.
1.4.3 Bagi Masyarakat
Masyarakat dapat mengetahui penanggulangan HIV AIDS merupakan
salah satu tujuan dari program SDG’s, sehingga masyarakat dapat
berperan serta dalam penanggulangan HIV AIDS.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi
Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan virus yang menyerang
sistem kekebalan tubuh manusia yang menimbulkan komplikasi AIDS. Sel
virus HIV menyerang sel darah putih yang bertugas menangkan infeksi. Sel
darah putih tersebut terutama limfosit yang memiliki CD4 sebagai sebuah
marker atau penanda yang berada di permukaan sel limfosit. Karena
berkurangnya nilai CD4 dalam tubuh manusia menunjukkan berkurangnya
sel-sel darah putih atau limfosit yang seharusnya berperan dalam mengatasi
infeksi yang masuk ke tubuh manusia. Pada orang dengan sistem kekebalan
yang baik, nilai CD4 berkisar antara 1400-1500. Sedangkan pada orang
dengan sistem kekebalan yang terganggu (misal pada orang yang terinfeksi
HIV) nilai CD4 semakin lama akan semakin menurun (bahkan pada beberapa
kasus bisa sampai nol).
Aquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS) merupakan sekumpulan
gejala karena penurunan kekebalan tubuh karena infeksi virus HIV. Tubuh
manusia mempunyai kekebalan untuk melindungi diri dari serangan luar
seperti kuman, virus, dan penyakit. AIDS melemahkan atau merusak sistem
pertahanan tubuh ini, sehingga akhirnya berdatanganlah berbagai jenis
penyakit lain).

2.2 Etiologi
Human Immunodeficiency Virus (HIV) dianggap sebagai virus penyebab
AIDS. Virus ini termaksuk dalam retrovirus anggota subfamili lentivirinae.
Ciri khas morfologi yang unik dari HIV adalah adanya nukleoid yang
berbentuk silindris dalam virion matur. Virus ini mengandung 3 gen yang
dibutuhkan untuk replikasi retrovirus yaitu gag, pol, env. Terdapat lebih dari
6 gen tambahan pengatur ekspresi virus yang penting dalam patogenesis
penyakit. Satu protein replikasi fase awal yaitu protein Tat, berfungsi dalam
transaktivasi dimana produk gen virus terlibat dalam aktivasi transkripsional
dari gen virus lainnya. Transaktivasi pada HIV sangat efisien untuk
menentukan virulensi dari infeksi HIV. Protein Rev dibutuhkan untuk
ekspresi protein struktural virus. Rev membantu keluarnya transkrip virus
yang terlepas dari nukleus. Protein Nef menginduksi produksi khemokin oleh
makrofag, yang dapat menginfeksi sel yang lain.

2.3 Patofisiologi
Setelah virus masuk dalam tubuh maka target utamanya adalah limfosit
CD4 karena virus mempunyai afinitas terhadap molekul permukaan CD4.
Virus ini mempunyai kemampuan untuk mentransfer informasi genetik
mereka dari RNA ke DNA dengan menggunakan enzim yang disebut reverse
transcriptase. Limfosit CD4 berfungsi mengkoordinasikan sejumlah fungsi
imunologis yang penting. Hilangnya fungsi tersebut menyebabkan gangguan
respon imun yang progresif.
Setelah infeksi primer, terdapat 4-11 hari masa antara infeksi mukosa dan
viremia permulaan yang dapat dideteksi selama 8-12 minggu. Selama masa
ini, virus tersebar luas ke seluruh tubuh dan mencapai organ limfoid. Pada
tahap ini telah terjadi penurunan jumlah sel-T CD4. Respon imun terhadap
HIV terjadi 1 minggu sampai 3 bulan setelah infeksi, viremia plasma
menurun, dan level sel CD4 kembali meningkat namun tidak mampu
menyingkirkan infeksi secara sempurna. Masa laten klinis ini bisa
berlangsung selama 10 tahun. Selama masa ini akan terjadi replikasi virus
yang meningkat. Diperkirakan sekitar 10 milyar partikel HIV dihasilkan dan
dihancurkan setiap harinya. Waktu paruh virus dalam plasma adalah sekitar 6
jam, dan siklus hidup virus rata-rata 2,6 hari. Limfosit T-CD4 yang terinfeksi
memiliki waktu paruh 1,6 hari. Karena cepatnya proliferasi virus ini dan
angka kesalahan reverse transcriptase HIV yang berikatan, diperkirakan
bahwa setiap nukleotida dari genom HIV mungkin bermutasi dalam basis
harian.
Akhirnya pasien akan menderita gejala-gejala konstitusional dan penyakit
klinis yang nyata seperti infeksi oportunistik atau neoplasma. Level virus
yang lebih tinggi dapat terdeteksi dalam plasma selama tahap infeksi yang
lebih lanjut. HIV yang dapat terdeteksi dalam plasma selama tahap infeksi
yang lebih lanjut dan lebih virulin daripada yang ditemukan pada awal
infeksi.
Infeksi oportunistik dapat terjadi karena para pengidap HIV terjadi
penurunan daya tahan tubuh sampai pada tingkat yang sangat rendah,
sehingga beberapa jenis mikroorganisme dapat menyerang bagian-bagian
tubuh tertentu. Bahkan mikroorganisme yang selama ini komensal bisa jadi
ganas dan menimbulkan penyakit.
Lebih dari 90% anak yang terinfeksi HIV didapat dari ibunya, penularan
melalui ibu kepada anaknya. Transmisi vertikal dapat terjadi secara
transplasental, antepartum, maupun postpartum. Mekanisme transmisi
intauterin diperkirakan melalui plasenta. Hal ini dimungkinkan karena adanya
limfosit yang terinfeksi masuk kedalam plasenta. Transmisi intrapartum
terjadi akibat adanya lesi pada kulit atau mukosa bayi atau tertelannya darah
ibu selama proses kelahiran. Beberapa faktor resiko infeksi antepartum adalah
ketuban pecah dini, lahir per vaginam. Transmisi postpartum dapat juga
melalui ASI yakni pada usia bayi menyusui, pola pemberian ASI, kesehatan
payudara ibu, dan adanya lesi pada mulut bayi. Seorang bayi yang baru lahir
akan 21 membawa antibodi ibunya, begitupun kemungkinan positif dan
negatifnya bayi tertular HIV adalah tergantung dari seberapa parah tahapan
perkembangan AIDS pada diri sang ibu.
Faktor yang berperan dalam penularan HIV dari ibu ke anak.
Ada tiga faktor utama yang berpengaruh pada penularan HIV dari ibu ke
anak, yaitu faktor ibu, bayi/anak, dan tindakan obstetrik.
1. Faktor Ibu

a. Jumlah virus (viral load)


Jumlah virus HIV dalam darah ibu saat menjelang atau saat
persalinan dan jumlah virus dalam air susu ibu ketika ibu menyusui
bayinya sangat mempengaruhi penularan HIV dari ibu ke anak.
Risiko penularan HIV menjadi sangat kecil jika kadar HIV rendah
(kurang dari 1.000 kopi/ml) dan sebaliknya jika kadar HIV di atas
100.000 kopi/ml.
b. Jumlah Sel CD4
Ibu dengan jumlah sel CD4 rendah lebih berisiko menularkan HIV
ke bayinya. Semakin rendah jumlah sel CD4 risiko penularan HIV
semakin besar.
2. Status gizi selama hamil
Berat badan rendah serta kekurangan asupan seperti asam folat,
vitamin D, kalsium, zat besi, mineral selama hamil berdampak bagi
kesehatan ibu dan janin akibatntya dapat meningkatkan risiko ibu
22 untuk menderita penyakit infeksi yang dapat meningkatkan
jumlah virus dan risiko penularan HIV ke bayi.
3. Penyakit infeksi selama hamil
Penyakit infeksi seperti sifilis, infeksi menular seksual,infeksi
saluran reproduksi lainnya, malaria,dan tuberkulosis, berisiko
meningkatkan jumlah virus dan risiko penularan HIV ke bayi.
4. Gangguan pada payudara
Gangguan pada payudara ibu dan penyakit lain, seperti mastitis,
abses, dan luka di puting payudara dapat meningkatkan risiko
penularan HIV melalui ASI sehingga tidak sarankan untuk
memberikan ASI kepada bayinya dan bayi dapat disarankan
diberikan susu formula untuk asupan nutrisinya.
2. Faktor Bayi
a. Usia kehamilan dan berat badan bayi saat lahir Bayi lahir prematur
dengan berat badan lahir rendah (BBLR) lebih rentan tertular HIV
karena sistem organ dan sistem kekebalan tubuhnya belum
berkembang dengan baik.
b. Periode pemberian ASI Semakin lama ibu menyusui, risiko
penularan HIV ke bayi akan semakin besar.
c. Adanya luka dimulut bayi Bayi dengan luka di mulutnya lebih
berisiko tertular HIV ketika diberikan ASI.
3. Faktor obstetrik
Pada saat persalinan, bayi terpapar darah dan lendir ibu di jalan
lahir. Faktor obstetrik yang dapat meningkatkan risiko penularan
HIV dari ibu ke anak selama persalinan adalah
a. Jenis persalinan Risiko penularan persalinan per vagina
lebih besar daripada persalinan melalui bedah sesar (seksio
sesaria).
b. Lama persalinan Semakin lama proses persalinan
berlangsung, risiko penularan HIV dari ibu ke anak semakin
tinggi, karena semakin lama terjadinya kontak antara bayi
dengan darah dan lendir ibu.
c. Ketuban pecah lebih dari 4 Jam sebelum persalinan
meningkatkan risiko penularan hingga dua kali lipat
dibandingkan jika ketuban pecah kurang dari 4 jam.
d. Tindakan episiotomi, ekstraksi vakum dan forceps
meningkatkan risiko penularan HIV karena berpotensi
melukai ibu

Waktu dan resiko penularan HIV dari ibu ke Anak

Pada saat hamil, sirkulasi darah janin dan sirkulasi darah ibu dipisahkan oleh
beberapa lapis sel yang terdapat di plasenta. Plasenta melindungi janin dari infeksi
HIV. Tetapi, jika terjadi peradangan, infeksi ataupun kerusakan pada plasenta,
maka HIV bisa menembus plasenta, sehingga terjadi penularan HIV dari ibu ke
anak. Penularan HIV dari ibu ke anak pada umumnya terjadi pada saat persalinan
dan pada saat menyusui. Risiko penularan HIV pada ibu yang tidak mendapatkan
penanganan PPIA saat hamil diperkirakan sekitar 15-45%. Risiko penularan 15-
30% terjadi pada saat hamil dan bersalin, sedangkan peningkatan risiko transmisi
HIV sebesar 10-20% dapat terjadi pada masa nifas dan menyusui.
2.4 Manifestasi
Gejala klinis terdiri dari 2 gejala yaitu gejala mayor (umum terjadi) dan
gejala minor (tidak umum terjadi):
1. Gejala mayor:
a. Berat badan menurun lebih dari 10% dalam 1 bulan
b. Diare kronis yang berlangsung lebih dari 1 bulan
c. Demam berkepanjangan lebih dari 1 bulan
d. Penurunan kesadaran dan gangguan neurologis
e. Demensia/ HIV ensefalopati
2. Gejala minor:
a. Batuk menetap lebih dari 1 bulan
b. Dermatitis generalisata
c. Adanya herpes zoster multisegmental dan herpes zoster berulang
d. Kandidias orofaringeal
e. Herpes simpleks kronis progresif
f. Limfadenopati generalisata
g. Retinitis virus Sitomegalo
Menurut Mayo Foundation for Medical Education and Research
(MFMER) (2008), gejala klinis dari HIV/AIDS dibagi atas beberapa
fase.
a. Fase awal
Pada awal infeksi, mungkin tidak akan ditemukan gejala dan
tanda-tanda infeksi. Tapi kadang-kadang ditemukan gejala mirip
flu seperti demam, sakit kepala, sakit tenggorokan, ruam dan
pembengkakan kelenjar getah bening. Walaupun tidak mempunyai
gejala infeksi, penderita HIV/AIDS dapat menularkan virus kepada
orang lain.
b. Fase lanjut
Penderita akan tetap bebas dari gejala infeksi selama 8 atau 9
tahun atau lebih. Tetapi seiring dengan perkembangan virus dan
penghancuran sel imun tubuh, penderita HIV/AIDS akan mulai
memperlihatkan gejala yang kronis seperti pembesaran kelenjar
getah bening (sering merupakan gejala yang khas), diare, berat
badan menurun, demam, batuk dan pernafasan pendek.
c. Fase akhir
Selama fase akhir dari HIV, yang terjadi sekitar 10 tahun atau
lebih setelah terinfeksi, gejala yang lebih berat mulai timbul dan
infeksi tersebut akan berakhir pada penyakit yang disebut AIDS.

2.5 Pemeriksaan Diagnostic


Langkah pertama untuk mendiagnosis HIV/AIDS adalah anamnesis secara
keseluruhan kemudian dilakukan pemeriksaan diagnostik infeksi HIV dapat
dilakukan secara virologis (mendeteksi antigen DNA atau RNA) dan
serologis (mendeteksi antibodi HIV) pada spesimen darah. Pemeriksaan
diagnostik infeksi HIV yang dilakukan di Indonesia umumnya adalah
pemeriksaan serologis menggunakan tes cepat (Rapid Test HIV) atau ELISA.
Pemeriksaan diagnostik tersebut dilakukan secara serial dengan menggunakan
tiga reagen HIV yang berbeda dalam hal preparasi antigen, prinsip tes, dan
jenis antigen, yang memenuhi kriteria sensitivitas dan spesifitas.

a. Serologis
1. Tes antibody serum : Skrining Human Immunodeficiency Virus
(HIV) dan ELISA. Hasil tes positif, tapi bukan merupakan diagnosa
2. Tes blot western : Mengkonfirmasi diagnosa Human
Immunodeficiency Virus (HIV)
3. Sel T limfosit :Penurunan jumlah total
4. Sel T4 helper ( CD 4 ) :Indikator system imun (jumlah <200 )
5. T8 ( sel supresor sitopatik ) :Rasio terbalik ( 2 : 1 ) atau lebih besar
dari sel suppressor pada sel helper ( T8 ke T4 ) mengindikasikan
supresi imun.
6. Kadar Ig : Meningkat, terutama Ig A, Ig G, Ig M yang normal atau
mendekati normal
7. Pemeriksaan antibody HIV. Terdapat IgG antibody HI pada darah
bayi belum berarti tertular, oleh karena antibody IgG dari ibu dapat
melalui plasenta dan baru akan hilang pada usia kurang lebih 15
bulan. Bila setelah 15 bulan di dalam darah bayi masih ditemukan
antobody IgG HIV baru dapat disimpulkan bahwa bayi tertular.
Untuk dapat mengetahui bayi kurang dari 15 bulan terinfeksi atau
diperlukan pemeriksaan lain yaitu IgM antibody HIV, biakan HIV
dari sel mononuklear darah tepi bayi, mengukur antigen p24 HIV
dari serum dan pemeriksaan provirus dengan reaksi rantai
polimerase. Bila bayi tertular HIV in utero, maka baik biakan
maupun PCR akan menunjukan hasil positif dalam 48 jam pertama
setelah lahir. Bila bayi tertular pada aktu intrapartum maka biakan
HIV maupun PCR dapat menunjukan hasil yang negatif pada
minggu pertama. Reaksi baru akan positif setelah bayi berumur 7-90
hari.
b. Histologis : pemeriksaan sitologis urine, darah, feces, cairan spina,
luka, sputum, dan sekresi, untuk mengidentifikasi adanya infeksi :
parasit, protozoa, jamur, bakteri, viral.
d. Neurologis : EEG, MRI, CT Scan otak, EMG (pemeriksaan saraf)
e. Sinar X dada ; Menyatakan perkembangan filtrasi interstisial tahap
lanjut atau adanya komplikasi lain
ELISA, untuk HIV 1 dan HIV
Screening Aglutinasi latek untuk HIV 1
Western Blot untuk HIV 1 dan HIV 2
Indirect immunofluorescence antibody assay (IFA)
Konfirmasi untuk HIV-1
Radioimmunoprecipitation antibody assay (RIPA)
untuk HIV-1
ELISA untuk HIV-1 p24 antigen
Lain-lain
Polymerase chain reaction (PCR) untuk HIV-1
2.6 Penatalaksanaan
1. Pengobatan Antiretroviral
Obat antiretroviral yang dipakai pada bayi atau anak adalah
Zidovudine. Obat tersebut diberikan bila sudah terdapat gejala seperti
infeksi oportunistik, sepsis, gagal tumbuh, ensefalopati progresif,
jumlah trombosit < 75.000/mm3 selama 2 minggu atau terdapat
penurunan status imunologis.
Pemantauan status imunologis yang dipakai adalah jumlah CD4 atau
kadar imunoglobin <250 mg/mm3. Jumlah sel CD4 untuk umur <
tahun, 1-2, 3-6, >6 tahun berturut-turut adalah <1750, <1000,
<750mmm3 dan <500/mm3. Pengobatan diberikan seumur hidup.
Dosis pada bayi < 4 minggu adalah 3 mg/kg BB per oral setiap 6 jam,
untuk anak lebih besar usianya 180 mg/m2; dosis dikurangi menjadi
90-120 mgm2 setiap 6 jam apabila terdapat tanda-tanda efek samping
atau intoleransi seperti kadar hemoglobin dan jumlah leukosit
menurun, ata adanya gejala mual.
2. Pencegahan dengan Kotrimoksazol
Pencegahan dengan Kotrimoksazol terbukti sangat efektif pada bayi dan
anak dengan infeksi HIV untuk menurunkan kematian yang disebabkan
oleh pneumonia berat. PCP saat ini sangat jarang di negara yang
memberikan pencegahan secara rutin. Anak yang mendapatkan terapi:
a. Semua anak yang terpapar HIV (anak yang lahir dari ibu dengan
infeksi HIV) sejak umur 4-6 minggu (baik merupakan bagian
maupun tidak dari program pencegahan transmisi ibu ke anak =
prevention of mother-to-child transmission [PMTCT]).
b. Setiap anak yang diidentifikasi terinfeksi HIV dengan gejala
klinis atau keluhan apapun yang mengarah pada HIV, tanpa
memandang umur atau hitung CD4.

Kotrimoksazol harus diberikan kepada:


a. Anak yang terpapar HIV – sampai infeksi HIV benar-benar
dapat disingkirkan dan ibunya tidak lagi menyusui
b. Anak yang terinfeksi HIV— terbatas bila ARV tidak
tersedia
c. Jika diberi ART—Kotrimoksazol hanya boleh dihentikan
saat indikator  klinis dan imunologis memastikan perbaikan
sistem kekebalan selama 6 bulan atau lebih (lihat juga di
bawah). Dengan bukti yang ada, tidak jelas apakah
kotrimoksazol dapat terus memberikan perlindungan setelah
perbaikan kekebalan.

Kontrimoksazol dihentikan jika:

a. Terdapat reaksi kulit yang berat seperti Sindrom Stevens


Johnson, insufisiensi ginjal atau hati atau keracunan
hematologis yang berat
b. Pada anak yang terpajan HIV, hanya setelah dipastikan
tidak ada infeksi HIV
Pada anak umur < 18 bulan yang tidak mendapat ASI—
yaitu dengan tes virologis HIV DNA atau RNA yang
negatif.
Pada anak umur < 18 bulan yang terpajan HIV dan
mendapat ASI. Tes virologis negatif dapat dipercaya
hanya jika dilaksanakan 6 minggu setelah anak disapih.
Pada anak umur > 18 bulan yang terpajan HIV dan
mendapat ASI – tes antibodi HIV negatif setelah disapih
selama 6 minggu.
c. Pada anak yang terinfeksi HIV
Jika anak mendapat ART, kotrimoksazol dapat
dihentikan hanya jika terdapat bukti perbaikan sistem
kekebalan. Melanjutkan pemberian Kotrimoksazol
memberikan keuntungan bahkan setelah terjadi
perbaikan klinis pada anak.
Jika ART tidak tersedia, pemberian kotrimoksazol tidak
boleh dihentikan.

Dosis yang direkomendasikan 6–8 mg/kgBB Trimetoprim sekali dalam


sehari. Bagi anak umur < 6 bulan, beri 1 tablet pediatrik (atau ¼ tablet
dewasa, 20 mg Trimetoprim/100 mg sulfametoksazol); bagi anak umur
6 bulan sampai 5 tahun beri 2 tablet pediatrik (atau ½ tablet dewasa);
dan bagi anak umur 6-14 tahun, 1 tablet dewasa dan bila > 14 tahun
digunakan 1 tablet dewasa forte. Gunakan dosis menurut berat badan
dan bukannya dosis menurut luas permukaan tubuh. Jika anak alergi
terhadap Kotrimoksazol, alternatif terbaik adalah memberi Dapson.

Penilaian terhadap toleransi dan ketaatan: Pencegahan dengan


Kotrimoksazol harus merupakan bagian rutin dari perawatan terhadap
anak dengan infeksi HIV dan dilakukan penilaian pada semua
kunjungan rutin ke klinik atau kunjungan tindak lanjut oleh tenaga
kesehatan dan/atau anggota lain dari tim pelayanan multidisiplin.
Tindak lanjut klinis awal pada anak, dianjurkan tiap bulan, selanjutnya
tiap 3 bulan, jika Kotrimoksazol dapat ditoleransi dengan baik.

2. Pemberian Makanan
Kemungkinan transmisi vertikal intrapartum dapat diturunkan 2-4%
dengan menggunakan cara pencegahan seperti pengobatan
antiretrovirus, persalinan secara sectio caesarea, maka sebaiknya bayi
tidak diberikan ASI. Namun pemberian makanan pengganti ASI perlu
diperhatikan agar tidak berdampak lebih buruk. Apabila ibu diketahui
mengidap HIV/AIDS terdapat alternatif yang dapat diberikan:
1. Bila ibu memilih tidak memberikan ASI maka ibu diajarkan
untuk memberikan makanan alternatif yang baik dengan cara
yang benar, misalnya pemberian dnegan wadah cangkir jauh
lebih baik dibanding dengan wadah botol.
2. Bila ibu memilih memberikan ASI walaupun sudah dijelaskan
kemungkinan yang terjadi maka dianjurkan untuk memberikan
ASI secara eksklusif selama 3-4 bulan kemudian
menghentikan ASI dan bayi diberikan makanan alternatif.
Perlu diperhatikan bahwa puting ibu tidak boleh terluka karena
virus dapat menular dengan adnaya luka tersebut. Jangan pula
memberikan ASI dengan susu formula karena susu formula
akan menyebabkan luka pada dinding usus yang menyebabkan
viru dalam ASI lebih mudah masuk.

3. Imunisasi
Seorang anak dengan infeksi HIV atau diduga dengan infeksi
HIV tetapi belum menunjukkan gejala, harus diberi semua
jenis vaksin yang diperlukan (sesuai jadwal imunisasi
nasional), termasuk BCG. Berhubung sebagian besar anak
dengan HIV positif mempunyai respons imun yang efektif
pada tahun pertama kehidupannya, imunisasi harus diberikan
sedini mungkin sesuai umur yang dianjurkan.
Jangan beri vaksin BCG pada anak dengan infeksi HIV yang
telah menunjukkan gejala.
Berikan pada semua anak dengan infeksi HIV (tanpa
memandang ada gejala atau tidak) tambahan imunisasi
Campak pada umur 6 bulan, selain yang dianjurkan pada umur
9 bulan.
BAB III
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 Pengkajian

Pengkajian yang dilakukan perawat pada anak dan bayi dengan


HIV/AIDS menggunakan proses pengkajian berupa menanyakan keluhan dan
menanyakan adakah perubahan tubuh maupun fungsi yang terjadi pada klien,
menanyakan juga menganai penyakit terdahulu yang dimiliki oleh klien
maupun orang tua klien. Pengumpulan data tersebut dapat dibagi menjadi
keterangan data data subjektif maupun objektif. Pengumpulan data
pengkajian secara subjektif dapat mencakup:
a. Pengetahuan keluarga klien tentang HIV/AIDS.
b. Data nutrisi pada klien (masalah cara makan dan BB yang turun).
c. Adanya rasa ketidaknyamanan yang dialami oleh klien yang
berhubungan dengan lokasi, karakteristik, lamanya terjadi.
Kemudian adapun pengumpulan data pengkajian data secara objektif dapat
meliputi:
a. Adanya permasalahan pada integritas kulit seperti lesi,dsb.
b. Mengkaji bunyi nafas klien, kondisi mulut dan genetalia.
c. Mengkaji apakah terdapat gejala kecemasan pada klien.
d. Gambaran klinis pada klien (adakah perubahan fisik pada klien).

Kemudian dilakukan juga pengkajian yakni berupa pemeriksaan fisik pada


anak dan bayi tersebut yang dapat meliputi:
1) Pengukuran TTV
2) Pemeriksaan kepala
1) Pemeriksaan mata (mata perih, merah, gatal, dan banyak sekret).
2) Pemeriksaan mulut (Adanya stomatitis gangrenosa, lesi pada mulut,
sariawan pada mulut dan lidah, dsb).
3) Pemeriksaan pada telinga (Adanya rasa nyeri dan penurunan
pendengaran).
3) Pengkajian Kardiovaskuler
Adanya peningkatan suhu tubuh, tekanan darah meningkat dan nadi
cepat.
4) Pengkajian Respiratori/Sistem pernapasan
Adanya batuk lama dengan atau tanpa sputum, sesak napas, nyeri dada
dan gagal napas.
5) Pengkajian Neurologik
Adanya gejala sukar untuk dapat konsentrasi, adanya perubahan perilaku,
nyeri otot, penurunan kesadaran dan adanya keterlambatan
perkembangan.
6) Pengkajian Gastrointestinal/Pencernaan
Timbulnya nyeri saat akan menelan, menurunnya berat badan, anoreksia,
candidisiasis mulut, mual, muntah, dan pembesaran limfa.
7) Pengkajain Renal/Perkemihan
Menurunnya produksi urin (annuria, proteinurria), adanya pembesaran
kelenjar parotis, dsb.
8) Pengkajian pada integumen (adanya lesi, scabies, dsb).
9) Pengkajaian Muskuloskeletal (nyeri otot, nyeri persendian, dan
keletihan).

Selanjutnya dikaji pula riwayat imunisasi yang dimiliki oleh anak/bayi


tersebut. Pengkajian riwayat imunisasi dapat berhubungan dengan faktor
resiko terhadap HIV/AIDS pada anak (tingkat pejanan/komtak dengan darah,
faktor resiko yang dapat ditularkan oleh ibu, dsb.), adanya infeksi bakteri
yanng berulang, adanya diare kronis dan lainnya.

3.2 Diagnosa
Beberapa diagnosa keperawatan yang dapat muncul pada kelompok anak
dan bayi dengan HIV/AIDS menurut North American Nursing Diagnosis
Association (2017 – 2020), antara lain:
1. Domain 11: Keamanan/perlindungan
Kelas 2: Cedera fisik
Ketidakefektifan bersihan jalan napas (00031)
Definisi: Ketidakmampuan membersihkan sekresi atau obstruksi dari
saluran napas untuk mempertahankan bersihan jalan napas.
Batasan karakteristik:
a. Suara napas tambahan
b. Perubahan pola napas
c. Perubahan frekuensi napas
d. Sputum dalam jumlah yang berlebihan
e. Gelisah
Faktor yang berhubungan:
a. Mukus berlebihan
b. Sekresi yang tertahan
2. Domain 2: Nutrisi
Kelas 1: Makan
Ketidakseimbangan Nutrisi: Kurang dari kebutuhan tubuh (00002)
Definisi: Asupan nutrisi tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan
metabolik.
Batasan karakteristik:
a. Diare
b. Enggan makan
c. Kurang minat pada makanan
d. Membran mukosa pucat
e. Sariawan rongga mulut
Faktor yang berhubungan :
a. Asupan diet kurang
3. Domain 9: Koping/toleransi stres
Kelas 2: Respon koping
Ketidakmampuan koping keluarga (00073)
Definisi: Perilaku individu pendukung (anggota keluarga, orang terdekat,
atau teman dekat) yang membatasi kapasitas/kemampuannya dan
kemampuan klien untuk secara efektif melakukan tugas penting untuk
adaptasi keduanya terhadap masalah kesehatan.
Batasa karakteristik:
a. Penolakan
b. Agresi
c. Depresi
d. Perilaku keluarga yang mengganggu kesejahteraan
e. Intoleransi
f. Mengabaikan hubungan dengan anggota keluarga
g. Mengabaikan program pengobatan
Faktor yang berhubungan:
a. Hubungan keluarga ambivalen
b. Gaya koping yang tidak sesuai diantara individu pendukung
c. Perasaan yanng tidak diungkapkan secara kronis oleh individu
pendukung
4. Domain 7: Hubungan peran
Kelas 3: Penampilan peran
Hambatan interaksi sosial (00052)
Definisi: Kurang atau kelebihan kuantitas, atau tidak efektif kualitas
pertukaran sosialnya.
Batasan karakteristik:
a. Ketidaknyamanan dalam situasi sosial
b. Ketidakpuasan dengan hubungan sosial
c. Disfungsi interaksi dengan orang lain
d. Ganggguan fungsi sosial
Faktor yang berhubungan:
a. Kendala komunikasi
b. Gangguan konsep diri
c. Kendala lingkungan
5. Domain 11: Keamanan/perlindungan
Kelas 1: Infeksi
Risiko infeksi (00004)
Definisi: Rentan mengalami invasi dan multiplikasi organisme patogenik
yang dapat mengganggu kesehatan.
Faktor resiko :
a. Gangguan integritas kulit
b. Vaksinasi tidak adekuat
c. Malnutrisi

3.3 Intervensi dan Implementasi


Pelayanan yang diberikan oleh perawat pada kelompok anak dan bayi
dengan HIV/AIDS antara lain:
1. Ketidakefektifan bersihan jalan napas
Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan mukus
berlebihan.
a) Tujuan:
Menjaga kepatenan jalan napas dengan beberapa kriteria hasil:
1) Frekuensi pernapasan berada dalam rentang tidak ada deviasi dari
kisaran normal
2) Kemampuan untuk mengeluarkan sekret berada dalam rentang
deviasi ringan dari kisaran normal
3) Akumulasi sputum menjadi ringan
b) Rencana tindakan keperawatan dan diimplementasikan:
1) Gunakan teknik yang menyenangkan untuk memotivasi bernapas
dalam kepada anak-anak (misal: meniup gelembung, meniup
kincir, peluit, harmonika, balon, meniup layaknya pesta, buat
lomba meniup dengan bola ping pong, meniup bulu).
2) Monitor status pernapasan dan oksigenasi, sebagaimana mestinya.
3) Instruksikan orang tua/pengasuh untuk mengatur suhu pemanas air
dirumah 120° sampai 130°F.
4) Auskultasi suara napas, catat area yang ventilasinya menurun atau
tidak ada dan adanya suara tambahan.
5) Kelola nebulizer ultrasonik, sebagaimana mastinya.
2. Ketidakseimbangan Nutrisi: Kurang dari kebutuhan tubuh
Ketidakseimbangan Nutrisi: Kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan asupan diet kurang
c) Tujuan:
Kebutuhan nutrisi klien dapat terpenuhi dengan beberapa kriteria
hasil:
1) Intake nutrisi berada dalam rentang sebagian besar adekuat.
2) Toleransi dalam makanan juga berada dalam rentang sebagian
besar adekuat.
3) Hidrasi berada dalam skala 4 yakni sebagian besar adekuat.
d) Rencana tindakan keperawatan dan diimplementasikan:
1) Anjurkan klien untuk mencoba menghindari makanan yang
mengandung laktosa.
2) Ukur diare/output pencernaan.
3) Timbang klien secara berkala.
4) Rundingkan dengan ahli gizi dalam menentukan asupan kalori
harian yang diperlukan untuk mempertahankan berat badan yang
sudah ditentukan.
5) Koreksi konsepsi yang salah, informasi yang salah dan
ketidaktepatan mengenai menyusui.
3. Ketidakmampuan koping keluarga
Ketidakmampuan koping keluarga berhubungan dengan gaya koping
yang tidak sesuai diantara individu pendukung.
e) Tujuan:
Koping yang dimiliki keluarga dapat lebih efektif dengan beberapa
kriteria hasil yakni:
1) Menghadapai masalah keluarga berada dalam rentang skala 4 yakni
sering menunjukkan.
2) Mengelola maslaah keluarga dalam skala 4 yakni sering
menunjukkan.
3) Mengungkapkan perasaan dan emosi secara terbuka diantara
anggota keluarga.
f) Rencana tindakan keperawatan dan diimplementasikan:
1) Berikan suasana penerimaan.
2) Cari jalan untuk memahami perspektif klien terhadap situasi yang
penuh stress.
3) Dukung penggunaan sumber-sumber spiritual, jika diperlukan.
4) Bangun hubungan pribadi dengan klien dan anggota keluarga yang
akan terlibat dalam perawatan.
5) Dorong anggota keluarga dan klien untuk bersikap asertif dalam
berinteraksi dengan pemberi layanan kesehatan profesional.
4. Hambatan interaksi sosial
Hambatan interaksi sosial berhubungan dengan dangguan konsep diri dan
kendala lingkungan.
g) Tujuan:
Interaksi sosial dapat berjalan dengan sewajarnya dan baik dengan
beberapa kriteria hasil yakni:
1) Sering menunjukkan penggunaan perilaku asertif secara tepat.
2) Sering menunjukkan sensitivitas pada orang lain.
3) Sering menunjukkan penggunaan konfrontasi secara tepat.
h) Rencana tindakan keperawatan dan diimplementasikan:
1) Dukung klien/keluarga dalam mengevaluasi hasil dari interaksi
sosial, memberikan reward pada diri sendiri terhadap hasil yang
positif dan penyelesaian masalah yang hasilnya masih kurang dari
yang diharapkan.
2) Instruksikan orang tua mengenai pentingnya minat dan dukungan
mereka dalam mengembangkan konsep diri positif anak-anak.
3) Instruksikan orang tua untuk menetapkan harapan yang jelas dan
untuk mendefinisikan batasan yang ada pada anak.
4) Instruksikan orang tua untuk mengetahui pencapaian anak.
5) Monitor tingkat harga diri klien dan keluarga dari waktu ke waktu
dengan tepat.
5. Risiko infeksi
Risiko infeksi berhubungan dengan adanya penurunan daya tubuh klien
dengan HIV/AIDS.
i) Tujuan:
Risiko infeksi dapat diminimalkan terjadi pada kelompok bayi dan
anak dengan HIV/AIDS dengan beberapa kriteria hasil yakni:
1) Integritas kulit berada dalam skala sedikit terganggu.
2) Imunisasi saat ini berada dalam skala 4 yakni sedikit terganggu.
3) Kehilangan berat badan berada dalam skala 4 yakni ringan.
j) Rencana tindakan keperawatan dan diimplementasikan:
1) Ajarkan pada orangtua imunisasi yang direkomendasikan bagi
anak, cara imunisasinya, alasan dan kegunaan dari imunisasi, efek
samping dan mungkin reaksi yang akan terjadi (misalnya hepatitis
B, diptheria, tetanus, pertussis, H. Influenza, polio, campak,
gondok, rubella dan varicella).
2) Pahami bahwa keterlambatan pemberian imunisasi pada satu seri
bukan berarti harus mengulang jadwal.
3) Ajarkan klien dan keluarga mengenai bagaimana menghindari
infeksi.
4) Lakukan tindakan-tindakan pencegahan yang bersifat universal.
5) Ajarkan pada keluarga mengenai tanda dan gejala infeksi dan
kapan harus melaporkannya kepada penyedia perawatan kesehatan.

3.4 Evaluasi
Beberapa perawat dapat melakukan evaluasi terhadap pelayanan yang
telah diberikan serta dapat diisi setelah intervensi keperawatan telah selsai
dilaksanakan, disini perawat dapat menilai apakah beberapa intervensi yang
telah dilakukan pada klien dengan tanggal dan jam yang sudah diberikan,
sampai dengan lamanya pemberian yang telah dihitungkan apakah efektif dan
dapat optimal fungsinya. Apabila sampai batas waktu yang memang telah
ditentukan kemudian hasil yang ditunjukkan oleh klien dengan adanya
intervensi tersebut belum mencapai target (kriteria hasil) maka dalam evaluasi
dapat ditulis untuk intervensi tertentu (yang belum tercapai) dapat diteruskan,
namun apabila terdapat intervensi yang memang sudah tercapai maka dapat
dihentikan pemberian intervensinya. Didalam evaluasi juga kita bisa
menambahkan intervensi ulang/baru yang dapat lebih meningkatkan
kesehatan klien tentunya agar dicapai hasil yang lebih optimal lagi yang
berpengaruh terhadap status kesehatan klien (anak dan bayi).
Dalam evaluasi tentu penting untuk dapat kita tentukan, karena
perawatan yang diberikan dapat menyokong kehidupan klien. Apabila yang
memang sudah terpenuhi namun tetap dilakukan maka juga akan berdampak
pada kesehatan tubuh/organ yang lainnya yang sebelumnya tidak bermasalah
dan menjadi bermasalah. Maka dari itu diperlukan ketepatan dalam menilai
evaluasi keadaan status kesehatan yang dimiliki oleh klien.
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Human Immunideficiency Virus (HIV) adalah sebuah virus golongan
RNA jenis retrovirus, anggota subfamili lentivirinae, yang menyerang
sistem kekebalan tubuh manusia. Penyerangan terhadap sistem kekebalan
tubuh akan menyebabkan berkurangnya jumlah kekebalan tubuh sehingga
dapat menyebabkan berbagai infeksioportunistik. AIDS adalah komplikasi
yang ditimbulkan akibat penurunan kekebalan tubuh akibat yang ditandai
dengan gejala-gejala khusus dan mengalami setidaknya minimal satu
infeksi oportunistik. Virus ini akan berikatan dengan permukaan limfosit
CD4 dan menginjeksikan materi genetik kedalam sel. Dengan reverse
transkriptase, RNA HIV dapat berubah menjadi DNA. Kemudian DNA
CD4 akan menyatu dengan DNA sel inang, dan membuat virus HIV muda
dengan cara mereplikasi komponen-komponen HIV. Manifestasi klinik
dari HIV/AIDS terdiri dari gejala mayor (demam, berat badan turun
drastis, dll) dan gejala minor (limfadenopati generalisata, batuk yang
persisten selama 1 bulan, dan gejala yang lain). Untuk mengetahui apakah
bayi terjangkit HIV, dokter akan meyarankan pemeriksaan serologi
(pemeriksaan CD4, antibodi HIV, western blot), foto x-ray toraks,
histologi. Pemberian ARV, imunisasi untuk mencegah infeksi, pemberian
makanan secara khusus merupakan penatalaksanaan anak dengan
HIV/AIDS.

4.2 Saran
Untuk ibu dengan HIV, penatalaksanaan pemberian ASI pada bayi
tidak diwajibkan karena dikhawatirkan akan menularkan pada bayi.
Keluarga anak dengan HIV/AIDS diharapkan memperlakukan mereka
dengan baik dan penuh kasih sayang, agar mereka dapat bertumbuh sesuai
dengan anak seusianya dan terhindar dari stress. Untuk perawat,
diharapkan perawat memberikan informasi lengkap pada keluarga dan
masyarakat mengenai cara penularan HIV, cara merawat anak dengan
HIV/AIDS yang tepat, dan informasi lainnya seputar HIV untuk
meminimalisir pengucilan dan penelantaran terhadap anak dengan
HIV/AIDS atau keluarganya, dan mengentaskan stigma yang salah.
Perawat juga dapat menyarankan keluarga untuk mengikuti kelompok
dukungan anak dengan HIV/AIDS agar mereka bisa saing berbagi
pengalaman, mendapatkan suport sosia, dan ilmu mengenai cara merawat
anak dengan HIV/AIDS. Pada penatalaksanaan pemberian ARV pada anak
dengan HIV/AIDS, penentuan dosis ditentukan berdasarkan usia anak
tersebut.
DAFTAR PUSTAKA

Bulechek, Gloria M., Howard K. Butcher, J. N. Dochterman dan C. M. Wagner.


2016. Nursing Intervention Classification (NIC) 6th edition. Singapore:
Elsevier.
Herdman, T. Heather dan S. Kamitsuru. 2018. NANDA-I Diagnosis Keperawatan:
Definisi dan Klasifikasi 2018-2020, Ed. 11. Jakarta: EGC.
Moorhead, S., M. Johnson, M. L. Maas dan E. Swanson. 2016. Nursing Outcomes
Classification (NOC) 5th edition. Singapore: Elsevier.
Nurarif dan Hardhi Kusuma. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan
Diagnosa Medis & Nanda (North American Nursing Diagnosis
Association) Nic-Noc. Yogyakarta : Mediaction.
Rachmadani, P. P. 2020. Pencegahan Penularan HIV/AIDS pada Ibu hamil ke
Bayi dengan PMTCT (Prevention Mother To Child Transmission). DOI:
10.31219/osf.io/zq4rn. https://osf.io/zq4rn [Diakses pada 27 April 2020].
Sugiharti, S., R. S. Handayani, H. Lestary, M. Mujiati dan A. L. Susyanti. 2019.
Stigma dan Diskriminasi pada Anak dengan HIV/AIDS (ADHA) di
Sepuluh Kabupaten/Kota di Indonesia. Jurnal Kesehatan reproduksi.
10(2): 153-161.
WHO. 2005. Hospital Care For Childen Guidelines For Management Of
Common Illnesses With Limited Resources. WHO publication: Jenewa.
LEMBAR EVALUASI (MATRIK PENILAIAN)

Mata Kuliah : Keperawatan HIV AIDS

Dosen Pengampu : Ns. Ira Rahmawati, S.Kep., M.Kep., Sp.Kep.A. (A & B)

Ns. Nuning Dwi Merina, S.Kep., M.Kep. (C & D)

Skala penilaian Skor


No Aspek yang dinilai 1 2 3 4 5 Keterangan
total
1 Ketepatan dan kelengkapan isi makalah:
a) Relevansi
b) Urutan penyajian pembahasan
c) Sumber yang digunakan
d) Daftar pustaka
e) Kerapihan pengaturan penulisan
2 Ketepatan waktu pengumpulan tugas

3 Penyajian / Presentasi:
a) Media menarik
b) Komunikatif
c) Sikap kritis
d) menghargai pendapat
4 Kerjasama

5 Disiplin

Jumlah
Rata rata

Keterangan :
1. sangat kurang
2. kurang
3. cukup
4. baik
5. sangat baik

Anda mungkin juga menyukai