KEPERAWATAN HIV/AIDS
Disusun oleh:
Kelompok 11/ Kelas C 2017
Keperawatan HIV/AIDS
Disusun untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah Keperawatan HIV/AIDS
dengan dosen pengampu Ns. Nuning Dwi Merina S.Kep., M.Kep
Disusun oleh:
Kelompok 11 / Kelas C 2017
Binti Nur Faida Arfianti 172310101115
Aisyah Lely Trisnindasari 172310101127
Isnaini Eva Nursyamsiah 172310101135
2020
Page
ii
KATA PENGANTAR
Penulis
iii
Page
iii
DAFTAR ISI
Halaman Judul.................................................................................................. i
3.1 Pengkajian................................................................................... 9
3.2 Diagnosa...................................................................................... 10
3.3 Intervensi dan implementasi........................................................ 13
3.4 Evaluasi....................................................................................... 16
3.1 Kesimpulan.................................................................................. 18
3.2 Saran............................................................................................ 18
iv
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penyakit HIV/AIDS merupakan suatu penyakit yang terus berkembang
dan menjadi masalah global yang melanda dunia. Masalah HIV/AIDS
diyakini bagaikan fenomena gunung es karena jumlah kasus yang dilaporkan
tidak mencerminkan masalah yang sebenarnya (Hardisman, 2009). Pada akhir
tahun 2016 diestimasikan 36,7 juta orang di dunia hidup dengan HIV,
sebanyak 1,8 juta orang baru terinfeksi HIV, dan menyebabkan 1 juta
kematian pada tahun 2016 (WHO, 2017). Di dunia tercatat 34,5 juta orang
terjangkit HIV dengan penderita wanita sebesar 17,8 juta sedangkan penderita
anak berusia kurang dari 15 tahun 2,1 juta (UNAIDS, 2017). Asia Tenggara
menduduki peringkat kedua sebagai penderita HIV terbanyak setelah Afrika,
yakni sebesar 3,5 juta orang dengan 39% penderita HIV merupakan wanita
dan anak perempuan (WHO, 2016).
Pada tahun 2015, Indonesia menduduki peringkat kedua yang
diestimasikan sebagai penyumbang orang dengan HIV/AIDS terbanyak di
Asia Tenggara setelah India (60%) yakni sebesar 20% atau 690.000 ODHA
(WHO, 2016). Tahun 2016, Indonesia mengalami kenaikan kejadian insiden
HIV menjadi 41.250 orang yang sebelumnya sebesar 30.935 orang pada
tahun 2015 (Ditjen P2P Kemenkes RI, 2016). 2 Hasil estimasi dan proyeksi
jumlah orang dengan HIV/AIDS pada umur > 15 tahun di Indonesia pada
tahun 2016 sebanyak 785.821 orang dengan jumlah infeksi baru sebanyak
90.915 orang dan kematian sebanyak 40.349 orang (Ditjen P2P Kemenkes
RI, 2016).
Menurut jenis kelamin, penderita HIV/AIDS pada laki-laki masih lebih
besar dibandingkan perempuan. HIV positif pada laki-laki sebesar 63,3% dan
pada perempuan sebesar 36,7%. Sedangkan penderita AIDS pada laki-laki
sebesar 67,9% dan pada perempuan sebesar 31,5%. Proporsi HIV/AIDS
terbesar masih pada penduduk usia produktif (15-49 tahun) yang dibagi
dalam tiga golongan umur yaitu 15-19 tahun (3,7%), 20-24 tahun (17,3%),
dan 25-49 tahun (69,3%), dimana kemungkinan penularan terjadi pada usia
remaja (Kemenkes RI, 2017)
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Apa yang dimaksud dengan HIV AIDS?
1.2.2 Bagaimana etiologi HIV AIDS?
1.2.3 Bagaimana patofisiologi HIV AIDS?
1.2.4 Bagaimana manifestasi penyakit HIV AIDS pada anak?
1.2.5 Bagaimana pemeriksaan diagnostic HIV/AIDS pada anak?
1.2.6 Bagaiaman penatalaksanaan HIV AIDS pada anak?
1.2.7 Bagaimana konsep asuhan keperawatan HIV AIDS pada anak?
1.3 Tujuan
1.3.1 Mengetahui yang dimaksud dengan HIV AIDS?
1.3.2 Mengetahui etiologi HIV AIDS?
1.3.3 Mengetahui patofisiologi HIV AIDS?
1.3.4 Mengetahui manifestasi penyakit HIV AIDS pada anak?
1.3.5 Mengetahui pemeriksaan diagnostic HIV/AIDS pada anak?
1.3.6 Mengetahui penatalaksanaan HIV AIDS pada anak?
1.3.7 Mengetahui konsep asuhan keperawatan HIV AIDS pada anak?
1.4 Manfaat
1.4.1 Bagi Mahasiswa
Mahasiswa dapat mengetahui lebih dalam mengenai konsep HIV AIDS
pada anak.
1.4.2 Bagi Tenaga Kesehatan
Tenaga kesehatan dapat lebih memahami konsep penyakit HIV AIDS
pada anak.
1.4.3 Bagi Masyarakat
Masyarakat dapat mengetahui penanggulangan HIV AIDS merupakan
salah satu tujuan dari program SDG’s, sehingga masyarakat dapat
berperan serta dalam penanggulangan HIV AIDS.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi
Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan virus yang menyerang
sistem kekebalan tubuh manusia yang menimbulkan komplikasi AIDS. Sel
virus HIV menyerang sel darah putih yang bertugas menangkan infeksi. Sel
darah putih tersebut terutama limfosit yang memiliki CD4 sebagai sebuah
marker atau penanda yang berada di permukaan sel limfosit. Karena
berkurangnya nilai CD4 dalam tubuh manusia menunjukkan berkurangnya
sel-sel darah putih atau limfosit yang seharusnya berperan dalam mengatasi
infeksi yang masuk ke tubuh manusia. Pada orang dengan sistem kekebalan
yang baik, nilai CD4 berkisar antara 1400-1500. Sedangkan pada orang
dengan sistem kekebalan yang terganggu (misal pada orang yang terinfeksi
HIV) nilai CD4 semakin lama akan semakin menurun (bahkan pada beberapa
kasus bisa sampai nol).
Aquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS) merupakan sekumpulan
gejala karena penurunan kekebalan tubuh karena infeksi virus HIV. Tubuh
manusia mempunyai kekebalan untuk melindungi diri dari serangan luar
seperti kuman, virus, dan penyakit. AIDS melemahkan atau merusak sistem
pertahanan tubuh ini, sehingga akhirnya berdatanganlah berbagai jenis
penyakit lain).
2.2 Etiologi
Human Immunodeficiency Virus (HIV) dianggap sebagai virus penyebab
AIDS. Virus ini termaksuk dalam retrovirus anggota subfamili lentivirinae.
Ciri khas morfologi yang unik dari HIV adalah adanya nukleoid yang
berbentuk silindris dalam virion matur. Virus ini mengandung 3 gen yang
dibutuhkan untuk replikasi retrovirus yaitu gag, pol, env. Terdapat lebih dari
6 gen tambahan pengatur ekspresi virus yang penting dalam patogenesis
penyakit. Satu protein replikasi fase awal yaitu protein Tat, berfungsi dalam
transaktivasi dimana produk gen virus terlibat dalam aktivasi transkripsional
dari gen virus lainnya. Transaktivasi pada HIV sangat efisien untuk
menentukan virulensi dari infeksi HIV. Protein Rev dibutuhkan untuk
ekspresi protein struktural virus. Rev membantu keluarnya transkrip virus
yang terlepas dari nukleus. Protein Nef menginduksi produksi khemokin oleh
makrofag, yang dapat menginfeksi sel yang lain.
2.3 Patofisiologi
Setelah virus masuk dalam tubuh maka target utamanya adalah limfosit
CD4 karena virus mempunyai afinitas terhadap molekul permukaan CD4.
Virus ini mempunyai kemampuan untuk mentransfer informasi genetik
mereka dari RNA ke DNA dengan menggunakan enzim yang disebut reverse
transcriptase. Limfosit CD4 berfungsi mengkoordinasikan sejumlah fungsi
imunologis yang penting. Hilangnya fungsi tersebut menyebabkan gangguan
respon imun yang progresif.
Setelah infeksi primer, terdapat 4-11 hari masa antara infeksi mukosa dan
viremia permulaan yang dapat dideteksi selama 8-12 minggu. Selama masa
ini, virus tersebar luas ke seluruh tubuh dan mencapai organ limfoid. Pada
tahap ini telah terjadi penurunan jumlah sel-T CD4. Respon imun terhadap
HIV terjadi 1 minggu sampai 3 bulan setelah infeksi, viremia plasma
menurun, dan level sel CD4 kembali meningkat namun tidak mampu
menyingkirkan infeksi secara sempurna. Masa laten klinis ini bisa
berlangsung selama 10 tahun. Selama masa ini akan terjadi replikasi virus
yang meningkat. Diperkirakan sekitar 10 milyar partikel HIV dihasilkan dan
dihancurkan setiap harinya. Waktu paruh virus dalam plasma adalah sekitar 6
jam, dan siklus hidup virus rata-rata 2,6 hari. Limfosit T-CD4 yang terinfeksi
memiliki waktu paruh 1,6 hari. Karena cepatnya proliferasi virus ini dan
angka kesalahan reverse transcriptase HIV yang berikatan, diperkirakan
bahwa setiap nukleotida dari genom HIV mungkin bermutasi dalam basis
harian.
Akhirnya pasien akan menderita gejala-gejala konstitusional dan penyakit
klinis yang nyata seperti infeksi oportunistik atau neoplasma. Level virus
yang lebih tinggi dapat terdeteksi dalam plasma selama tahap infeksi yang
lebih lanjut. HIV yang dapat terdeteksi dalam plasma selama tahap infeksi
yang lebih lanjut dan lebih virulin daripada yang ditemukan pada awal
infeksi.
Infeksi oportunistik dapat terjadi karena para pengidap HIV terjadi
penurunan daya tahan tubuh sampai pada tingkat yang sangat rendah,
sehingga beberapa jenis mikroorganisme dapat menyerang bagian-bagian
tubuh tertentu. Bahkan mikroorganisme yang selama ini komensal bisa jadi
ganas dan menimbulkan penyakit.
Lebih dari 90% anak yang terinfeksi HIV didapat dari ibunya, penularan
melalui ibu kepada anaknya. Transmisi vertikal dapat terjadi secara
transplasental, antepartum, maupun postpartum. Mekanisme transmisi
intauterin diperkirakan melalui plasenta. Hal ini dimungkinkan karena adanya
limfosit yang terinfeksi masuk kedalam plasenta. Transmisi intrapartum
terjadi akibat adanya lesi pada kulit atau mukosa bayi atau tertelannya darah
ibu selama proses kelahiran. Beberapa faktor resiko infeksi antepartum adalah
ketuban pecah dini, lahir per vaginam. Transmisi postpartum dapat juga
melalui ASI yakni pada usia bayi menyusui, pola pemberian ASI, kesehatan
payudara ibu, dan adanya lesi pada mulut bayi. Seorang bayi yang baru lahir
akan 21 membawa antibodi ibunya, begitupun kemungkinan positif dan
negatifnya bayi tertular HIV adalah tergantung dari seberapa parah tahapan
perkembangan AIDS pada diri sang ibu.
Faktor yang berperan dalam penularan HIV dari ibu ke anak.
Ada tiga faktor utama yang berpengaruh pada penularan HIV dari ibu ke
anak, yaitu faktor ibu, bayi/anak, dan tindakan obstetrik.
1. Faktor Ibu
Pada saat hamil, sirkulasi darah janin dan sirkulasi darah ibu dipisahkan oleh
beberapa lapis sel yang terdapat di plasenta. Plasenta melindungi janin dari infeksi
HIV. Tetapi, jika terjadi peradangan, infeksi ataupun kerusakan pada plasenta,
maka HIV bisa menembus plasenta, sehingga terjadi penularan HIV dari ibu ke
anak. Penularan HIV dari ibu ke anak pada umumnya terjadi pada saat persalinan
dan pada saat menyusui. Risiko penularan HIV pada ibu yang tidak mendapatkan
penanganan PPIA saat hamil diperkirakan sekitar 15-45%. Risiko penularan 15-
30% terjadi pada saat hamil dan bersalin, sedangkan peningkatan risiko transmisi
HIV sebesar 10-20% dapat terjadi pada masa nifas dan menyusui.
2.4 Manifestasi
Gejala klinis terdiri dari 2 gejala yaitu gejala mayor (umum terjadi) dan
gejala minor (tidak umum terjadi):
1. Gejala mayor:
a. Berat badan menurun lebih dari 10% dalam 1 bulan
b. Diare kronis yang berlangsung lebih dari 1 bulan
c. Demam berkepanjangan lebih dari 1 bulan
d. Penurunan kesadaran dan gangguan neurologis
e. Demensia/ HIV ensefalopati
2. Gejala minor:
a. Batuk menetap lebih dari 1 bulan
b. Dermatitis generalisata
c. Adanya herpes zoster multisegmental dan herpes zoster berulang
d. Kandidias orofaringeal
e. Herpes simpleks kronis progresif
f. Limfadenopati generalisata
g. Retinitis virus Sitomegalo
Menurut Mayo Foundation for Medical Education and Research
(MFMER) (2008), gejala klinis dari HIV/AIDS dibagi atas beberapa
fase.
a. Fase awal
Pada awal infeksi, mungkin tidak akan ditemukan gejala dan
tanda-tanda infeksi. Tapi kadang-kadang ditemukan gejala mirip
flu seperti demam, sakit kepala, sakit tenggorokan, ruam dan
pembengkakan kelenjar getah bening. Walaupun tidak mempunyai
gejala infeksi, penderita HIV/AIDS dapat menularkan virus kepada
orang lain.
b. Fase lanjut
Penderita akan tetap bebas dari gejala infeksi selama 8 atau 9
tahun atau lebih. Tetapi seiring dengan perkembangan virus dan
penghancuran sel imun tubuh, penderita HIV/AIDS akan mulai
memperlihatkan gejala yang kronis seperti pembesaran kelenjar
getah bening (sering merupakan gejala yang khas), diare, berat
badan menurun, demam, batuk dan pernafasan pendek.
c. Fase akhir
Selama fase akhir dari HIV, yang terjadi sekitar 10 tahun atau
lebih setelah terinfeksi, gejala yang lebih berat mulai timbul dan
infeksi tersebut akan berakhir pada penyakit yang disebut AIDS.
a. Serologis
1. Tes antibody serum : Skrining Human Immunodeficiency Virus
(HIV) dan ELISA. Hasil tes positif, tapi bukan merupakan diagnosa
2. Tes blot western : Mengkonfirmasi diagnosa Human
Immunodeficiency Virus (HIV)
3. Sel T limfosit :Penurunan jumlah total
4. Sel T4 helper ( CD 4 ) :Indikator system imun (jumlah <200 )
5. T8 ( sel supresor sitopatik ) :Rasio terbalik ( 2 : 1 ) atau lebih besar
dari sel suppressor pada sel helper ( T8 ke T4 ) mengindikasikan
supresi imun.
6. Kadar Ig : Meningkat, terutama Ig A, Ig G, Ig M yang normal atau
mendekati normal
7. Pemeriksaan antibody HIV. Terdapat IgG antibody HI pada darah
bayi belum berarti tertular, oleh karena antibody IgG dari ibu dapat
melalui plasenta dan baru akan hilang pada usia kurang lebih 15
bulan. Bila setelah 15 bulan di dalam darah bayi masih ditemukan
antobody IgG HIV baru dapat disimpulkan bahwa bayi tertular.
Untuk dapat mengetahui bayi kurang dari 15 bulan terinfeksi atau
diperlukan pemeriksaan lain yaitu IgM antibody HIV, biakan HIV
dari sel mononuklear darah tepi bayi, mengukur antigen p24 HIV
dari serum dan pemeriksaan provirus dengan reaksi rantai
polimerase. Bila bayi tertular HIV in utero, maka baik biakan
maupun PCR akan menunjukan hasil positif dalam 48 jam pertama
setelah lahir. Bila bayi tertular pada aktu intrapartum maka biakan
HIV maupun PCR dapat menunjukan hasil yang negatif pada
minggu pertama. Reaksi baru akan positif setelah bayi berumur 7-90
hari.
b. Histologis : pemeriksaan sitologis urine, darah, feces, cairan spina,
luka, sputum, dan sekresi, untuk mengidentifikasi adanya infeksi :
parasit, protozoa, jamur, bakteri, viral.
d. Neurologis : EEG, MRI, CT Scan otak, EMG (pemeriksaan saraf)
e. Sinar X dada ; Menyatakan perkembangan filtrasi interstisial tahap
lanjut atau adanya komplikasi lain
ELISA, untuk HIV 1 dan HIV
Screening Aglutinasi latek untuk HIV 1
Western Blot untuk HIV 1 dan HIV 2
Indirect immunofluorescence antibody assay (IFA)
Konfirmasi untuk HIV-1
Radioimmunoprecipitation antibody assay (RIPA)
untuk HIV-1
ELISA untuk HIV-1 p24 antigen
Lain-lain
Polymerase chain reaction (PCR) untuk HIV-1
2.6 Penatalaksanaan
1. Pengobatan Antiretroviral
Obat antiretroviral yang dipakai pada bayi atau anak adalah
Zidovudine. Obat tersebut diberikan bila sudah terdapat gejala seperti
infeksi oportunistik, sepsis, gagal tumbuh, ensefalopati progresif,
jumlah trombosit < 75.000/mm3 selama 2 minggu atau terdapat
penurunan status imunologis.
Pemantauan status imunologis yang dipakai adalah jumlah CD4 atau
kadar imunoglobin <250 mg/mm3. Jumlah sel CD4 untuk umur <
tahun, 1-2, 3-6, >6 tahun berturut-turut adalah <1750, <1000,
<750mmm3 dan <500/mm3. Pengobatan diberikan seumur hidup.
Dosis pada bayi < 4 minggu adalah 3 mg/kg BB per oral setiap 6 jam,
untuk anak lebih besar usianya 180 mg/m2; dosis dikurangi menjadi
90-120 mgm2 setiap 6 jam apabila terdapat tanda-tanda efek samping
atau intoleransi seperti kadar hemoglobin dan jumlah leukosit
menurun, ata adanya gejala mual.
2. Pencegahan dengan Kotrimoksazol
Pencegahan dengan Kotrimoksazol terbukti sangat efektif pada bayi dan
anak dengan infeksi HIV untuk menurunkan kematian yang disebabkan
oleh pneumonia berat. PCP saat ini sangat jarang di negara yang
memberikan pencegahan secara rutin. Anak yang mendapatkan terapi:
a. Semua anak yang terpapar HIV (anak yang lahir dari ibu dengan
infeksi HIV) sejak umur 4-6 minggu (baik merupakan bagian
maupun tidak dari program pencegahan transmisi ibu ke anak =
prevention of mother-to-child transmission [PMTCT]).
b. Setiap anak yang diidentifikasi terinfeksi HIV dengan gejala
klinis atau keluhan apapun yang mengarah pada HIV, tanpa
memandang umur atau hitung CD4.
2. Pemberian Makanan
Kemungkinan transmisi vertikal intrapartum dapat diturunkan 2-4%
dengan menggunakan cara pencegahan seperti pengobatan
antiretrovirus, persalinan secara sectio caesarea, maka sebaiknya bayi
tidak diberikan ASI. Namun pemberian makanan pengganti ASI perlu
diperhatikan agar tidak berdampak lebih buruk. Apabila ibu diketahui
mengidap HIV/AIDS terdapat alternatif yang dapat diberikan:
1. Bila ibu memilih tidak memberikan ASI maka ibu diajarkan
untuk memberikan makanan alternatif yang baik dengan cara
yang benar, misalnya pemberian dnegan wadah cangkir jauh
lebih baik dibanding dengan wadah botol.
2. Bila ibu memilih memberikan ASI walaupun sudah dijelaskan
kemungkinan yang terjadi maka dianjurkan untuk memberikan
ASI secara eksklusif selama 3-4 bulan kemudian
menghentikan ASI dan bayi diberikan makanan alternatif.
Perlu diperhatikan bahwa puting ibu tidak boleh terluka karena
virus dapat menular dengan adnaya luka tersebut. Jangan pula
memberikan ASI dengan susu formula karena susu formula
akan menyebabkan luka pada dinding usus yang menyebabkan
viru dalam ASI lebih mudah masuk.
3. Imunisasi
Seorang anak dengan infeksi HIV atau diduga dengan infeksi
HIV tetapi belum menunjukkan gejala, harus diberi semua
jenis vaksin yang diperlukan (sesuai jadwal imunisasi
nasional), termasuk BCG. Berhubung sebagian besar anak
dengan HIV positif mempunyai respons imun yang efektif
pada tahun pertama kehidupannya, imunisasi harus diberikan
sedini mungkin sesuai umur yang dianjurkan.
Jangan beri vaksin BCG pada anak dengan infeksi HIV yang
telah menunjukkan gejala.
Berikan pada semua anak dengan infeksi HIV (tanpa
memandang ada gejala atau tidak) tambahan imunisasi
Campak pada umur 6 bulan, selain yang dianjurkan pada umur
9 bulan.
BAB III
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 Pengkajian
3.2 Diagnosa
Beberapa diagnosa keperawatan yang dapat muncul pada kelompok anak
dan bayi dengan HIV/AIDS menurut North American Nursing Diagnosis
Association (2017 – 2020), antara lain:
1. Domain 11: Keamanan/perlindungan
Kelas 2: Cedera fisik
Ketidakefektifan bersihan jalan napas (00031)
Definisi: Ketidakmampuan membersihkan sekresi atau obstruksi dari
saluran napas untuk mempertahankan bersihan jalan napas.
Batasan karakteristik:
a. Suara napas tambahan
b. Perubahan pola napas
c. Perubahan frekuensi napas
d. Sputum dalam jumlah yang berlebihan
e. Gelisah
Faktor yang berhubungan:
a. Mukus berlebihan
b. Sekresi yang tertahan
2. Domain 2: Nutrisi
Kelas 1: Makan
Ketidakseimbangan Nutrisi: Kurang dari kebutuhan tubuh (00002)
Definisi: Asupan nutrisi tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan
metabolik.
Batasan karakteristik:
a. Diare
b. Enggan makan
c. Kurang minat pada makanan
d. Membran mukosa pucat
e. Sariawan rongga mulut
Faktor yang berhubungan :
a. Asupan diet kurang
3. Domain 9: Koping/toleransi stres
Kelas 2: Respon koping
Ketidakmampuan koping keluarga (00073)
Definisi: Perilaku individu pendukung (anggota keluarga, orang terdekat,
atau teman dekat) yang membatasi kapasitas/kemampuannya dan
kemampuan klien untuk secara efektif melakukan tugas penting untuk
adaptasi keduanya terhadap masalah kesehatan.
Batasa karakteristik:
a. Penolakan
b. Agresi
c. Depresi
d. Perilaku keluarga yang mengganggu kesejahteraan
e. Intoleransi
f. Mengabaikan hubungan dengan anggota keluarga
g. Mengabaikan program pengobatan
Faktor yang berhubungan:
a. Hubungan keluarga ambivalen
b. Gaya koping yang tidak sesuai diantara individu pendukung
c. Perasaan yanng tidak diungkapkan secara kronis oleh individu
pendukung
4. Domain 7: Hubungan peran
Kelas 3: Penampilan peran
Hambatan interaksi sosial (00052)
Definisi: Kurang atau kelebihan kuantitas, atau tidak efektif kualitas
pertukaran sosialnya.
Batasan karakteristik:
a. Ketidaknyamanan dalam situasi sosial
b. Ketidakpuasan dengan hubungan sosial
c. Disfungsi interaksi dengan orang lain
d. Ganggguan fungsi sosial
Faktor yang berhubungan:
a. Kendala komunikasi
b. Gangguan konsep diri
c. Kendala lingkungan
5. Domain 11: Keamanan/perlindungan
Kelas 1: Infeksi
Risiko infeksi (00004)
Definisi: Rentan mengalami invasi dan multiplikasi organisme patogenik
yang dapat mengganggu kesehatan.
Faktor resiko :
a. Gangguan integritas kulit
b. Vaksinasi tidak adekuat
c. Malnutrisi
3.4 Evaluasi
Beberapa perawat dapat melakukan evaluasi terhadap pelayanan yang
telah diberikan serta dapat diisi setelah intervensi keperawatan telah selsai
dilaksanakan, disini perawat dapat menilai apakah beberapa intervensi yang
telah dilakukan pada klien dengan tanggal dan jam yang sudah diberikan,
sampai dengan lamanya pemberian yang telah dihitungkan apakah efektif dan
dapat optimal fungsinya. Apabila sampai batas waktu yang memang telah
ditentukan kemudian hasil yang ditunjukkan oleh klien dengan adanya
intervensi tersebut belum mencapai target (kriteria hasil) maka dalam evaluasi
dapat ditulis untuk intervensi tertentu (yang belum tercapai) dapat diteruskan,
namun apabila terdapat intervensi yang memang sudah tercapai maka dapat
dihentikan pemberian intervensinya. Didalam evaluasi juga kita bisa
menambahkan intervensi ulang/baru yang dapat lebih meningkatkan
kesehatan klien tentunya agar dicapai hasil yang lebih optimal lagi yang
berpengaruh terhadap status kesehatan klien (anak dan bayi).
Dalam evaluasi tentu penting untuk dapat kita tentukan, karena
perawatan yang diberikan dapat menyokong kehidupan klien. Apabila yang
memang sudah terpenuhi namun tetap dilakukan maka juga akan berdampak
pada kesehatan tubuh/organ yang lainnya yang sebelumnya tidak bermasalah
dan menjadi bermasalah. Maka dari itu diperlukan ketepatan dalam menilai
evaluasi keadaan status kesehatan yang dimiliki oleh klien.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Human Immunideficiency Virus (HIV) adalah sebuah virus golongan
RNA jenis retrovirus, anggota subfamili lentivirinae, yang menyerang
sistem kekebalan tubuh manusia. Penyerangan terhadap sistem kekebalan
tubuh akan menyebabkan berkurangnya jumlah kekebalan tubuh sehingga
dapat menyebabkan berbagai infeksioportunistik. AIDS adalah komplikasi
yang ditimbulkan akibat penurunan kekebalan tubuh akibat yang ditandai
dengan gejala-gejala khusus dan mengalami setidaknya minimal satu
infeksi oportunistik. Virus ini akan berikatan dengan permukaan limfosit
CD4 dan menginjeksikan materi genetik kedalam sel. Dengan reverse
transkriptase, RNA HIV dapat berubah menjadi DNA. Kemudian DNA
CD4 akan menyatu dengan DNA sel inang, dan membuat virus HIV muda
dengan cara mereplikasi komponen-komponen HIV. Manifestasi klinik
dari HIV/AIDS terdiri dari gejala mayor (demam, berat badan turun
drastis, dll) dan gejala minor (limfadenopati generalisata, batuk yang
persisten selama 1 bulan, dan gejala yang lain). Untuk mengetahui apakah
bayi terjangkit HIV, dokter akan meyarankan pemeriksaan serologi
(pemeriksaan CD4, antibodi HIV, western blot), foto x-ray toraks,
histologi. Pemberian ARV, imunisasi untuk mencegah infeksi, pemberian
makanan secara khusus merupakan penatalaksanaan anak dengan
HIV/AIDS.
4.2 Saran
Untuk ibu dengan HIV, penatalaksanaan pemberian ASI pada bayi
tidak diwajibkan karena dikhawatirkan akan menularkan pada bayi.
Keluarga anak dengan HIV/AIDS diharapkan memperlakukan mereka
dengan baik dan penuh kasih sayang, agar mereka dapat bertumbuh sesuai
dengan anak seusianya dan terhindar dari stress. Untuk perawat,
diharapkan perawat memberikan informasi lengkap pada keluarga dan
masyarakat mengenai cara penularan HIV, cara merawat anak dengan
HIV/AIDS yang tepat, dan informasi lainnya seputar HIV untuk
meminimalisir pengucilan dan penelantaran terhadap anak dengan
HIV/AIDS atau keluarganya, dan mengentaskan stigma yang salah.
Perawat juga dapat menyarankan keluarga untuk mengikuti kelompok
dukungan anak dengan HIV/AIDS agar mereka bisa saing berbagi
pengalaman, mendapatkan suport sosia, dan ilmu mengenai cara merawat
anak dengan HIV/AIDS. Pada penatalaksanaan pemberian ARV pada anak
dengan HIV/AIDS, penentuan dosis ditentukan berdasarkan usia anak
tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
3 Penyajian / Presentasi:
a) Media menarik
b) Komunikatif
c) Sikap kritis
d) menghargai pendapat
4 Kerjasama
5 Disiplin
Jumlah
Rata rata
Keterangan :
1. sangat kurang
2. kurang
3. cukup
4. baik
5. sangat baik