Anda di halaman 1dari 7

HUBUNGAN TIMBAL BALIK ANTARA UDARA, AIR DAN HUTAN,

DAMPAK ATAS PERUBAHAN BAIK KUALITAS MAUPUN KUANTITAS (AIR),


SERTA KAITANNYA DENGAN REGULASI YANG BERLAKU

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah


Ilmu Lingkungan

Disusun oleh:

Titik Puspitasari

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU LINGKUNGAN


SEKOLAH PASCA SARJANA UNIVERSITAS PADJADJARAN
2019
Hubungan Timbal Balik antara Udara, Air dan Hutan, Dampak atas Perubahan Baik
Kualitas Maupun Kuantitas (Air), serta Kaitannya dengan Regulasi yang Berlaku

A. Hubungan Timbal Balik antara Udara, Air dan Hutan


Udara, air dan hutan merupakan sumber daya alam yang sangat vital bagi seluruh kehidupan
mahluk hidup di bumi. Udara sendiri terdiri dari campuran berbagai macam gas antara lain
nitrogen (N2), oksigen (O2), argon (Ar), karbon dioksida (CO2), uap air (H2O), dan beberapa
unsur minor lainnya serta partikel padat. Air adalah zat cair yang tidak mempunyai rasa, bau, dan
warna yang terbentuk dari hidrogen dan oksigen (H 2O) yang sangat esensial bagi semua bentuk
kehidupan, sedangkan hutan merupakan suatu ekosistem yang didominasi oleh pohon-pohon atau
tumbuhan berkayu yang tumbuh secara bersama-sama dan cenderung rapat. Udara yang
mengandung oksigen adalah sumber pernafasan mahluk hidup setiap detiknya, sedangkan air dan
hutan sebagai sumber daya yang mendukung agar mahluk hidup dapat terus hidup dan
beraktivitas dalam memperoleh kebutuhan dasar kehidupan berupa pangan, sandang dan papan.
Ketiga sumber daya tersebut saling terkait dalam bentuk hubungan timbal balik seperti
ditunjukkan dalam siklus air pada gambar berikut:

Gambar 1. Siklus Air

Siklus air atau siklus hidrologi adalah sirkulasi yang tidak pernah berhenti dari atmosfer ke bumi
dan kembali ke atmosfer melalui kondensasi, presipitasi, evaporasi dan transpirasi. Pemanasan
air laut oleh sinar matahari merupakan kunci proses siklus hidrologi tersebut dapat berjalan
secara terus menerus. Siklus hidrologi berawal dari air pada tumbuhan di hutan atau daratan
lainnya, tanah dan air permukaan (laut, danau, sungai, dan air terbuka lainnya) mengalami
penguapan ke atmosfer dalam bentuk uap air dan terkondensasi di udara membentuk awan. Pada
keadaan jenuh, uap air (awan) itu akan menjadi bintik-bintik air yang selanjutnya akan turun
(presipitasi) dalam bentuk hujan, salju, hujan es.
Air hujan tersebut dapat langsung jatuh ke permukaan tanah sehingga terjadi aliran permukaan
berupa surface run-off atau snowmelt run-off. Air yang sudah berada di bumi akibat proses
presipitasi, tidak semuanya mengalir di permukaan bumi dan mengalami run-off. Sebagian kecil
dari air tersebut akan bergerak menuju ke pori- pori tanah, merembes, dan terserap kedalam
tanah (infiltration) menjadi aliran bawah permukaan (sub-surface run-off), atau tersimpan dalam
tanah menjadi air tanah (ground water). Proses infiltrasi akan secara lambat membawa air tanah
untuk
1
menuju kembali ke laut. Setelah melalui proses run-off dan infiltrasi, kemudian air yang telah
mengalami siklus hidrologi akan kembali berkumpul ke lautan. Selanjutnya secara berangsur-
angsur dalam waktu tertentu, air tersebut akan kembali mengalami siklus hidrologi yang baru.
Berdasarkan siklus air tersebut menggambarkan udara, air dan hutan saling mempengaruhi satu
dengan yang lain. Air berperan memberikan sumber kehidupan bagi mahluk hidup di bumi
seperti air pada tumbuhan dipakai dalam proses biokimia untuk menghasilkan energi. Energi
tersebut kemudian dimanfaatkan mahluk hidup lainnya. Air yang tersimpan dalam tanah akan
diserap oleh akar tumbuhan di hutan dan bersama CO 2 juga energi matahari proses fotosintesis
pun berlangsung. Fotosintesis akan menghasilkan zat gula sebagai molekul penyimpan energi
dan zat lain berupa O2 dan H2O yang dilepaskan ke atmosfer. Sehingga udara akan terus menerus
memiliki suplai O2 dan H2O dalam komposisinya karena daur terus berulang. Hal ini juga
menunjukkan bahwa kawasan hutan dengan berbagai macam vegetasi yang tumbuh didalamnya
sebagai penghasil utama oksigen yang sangat dibutuhkan untuk kelangsungan kehidupan mahluk
hidup di bumi.
Apabila udara, air dan hutan mengalami gangguan walaupun hanya pada salah satunya maka
akan berpengaruh dalam interaksinya karena siklus air akan selalu berlangsung melibatkan ketiga
sumber daya tersebut. Selanjutnya gangguan tersebut juga akan memberikan pengaruh dan
berdampak langsung bagi kehidupan manusia dan mahluk hidup lainnya.
Sebagai contoh gangguan pada sumber daya hutan. Keberadaan hutan dapat memperbesar suplesi
air tanah dan mengurangi laju air larian (run-off) sehingga dapat membantu persediaan air tanah
pada musim kemarau dan bahaya banjir dalam musim hujan berkurang. Namun, Bank Dunia
memperkirakan luas penyusutan dan kerusakan hutan dalam tahun 1970-an adalah 300.000
ha/tahun, dalam tahun 1981 naik menjadi 800.000 ha/tahun dan dalam tahun 1990 naik lagi
menjadi 1 juta ha/tahun dan cenderung meningkat seiring pertambahan jumlah penduduk.
Kenaikan laju penyusutan hutan itu disebabkan konversi hutan menjadi tataguna lahan untuk
memenuhi kebutuhan penduduk dimana luasan hutan berkurang secara signifikan. Jika luas hutan
berkurang, laju resapan air ke dalam tanah menurun, laju air larian naik dan bahaya banjir
meningkat. Laju air larian makin besar, jika hutan dikonversi menjadi bangunan fisik seperti
pemukiman, gedung dan jalan. Kondisi tersebut mengakibatkan bencana banjir serta longsor di
musim hujan dan kekeringan di musim kemarau. Selain itu, dengan berkurangnya luasan hutan
maka penyerapan CO2 dari udara oleh tumbuhan juga ikut berkurang yang selanjutnya akan
meningkatkan Gas Rumah Kaca (GRK) dan memicu pemanasan global.

B. Dampak Perubahan baik Kualitas maupun Kuantitas pada Air


1. Dampak atas Perubahan Kualitas Air
Air yang kita pergunakan harus memenuhi kualitas sesuai dengan peruntukkannya. Apabila
air tercemar maka pemanfaatan atas air tersebut juga akan berkurang karena perubahan
kualitasnya. Pencemaran air menurut Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2001 tentang
Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air adalah masuknya atau
dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi dan atau komponen lain ke dalam air oleh
kegiatan manusia, sehingga kualitas air turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan
air tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya.
Sumber pencemaran air dapat berasal dari limbah industri, limbah domestik rumah tangga,
limbah pertanian, transportasi air dan erosi sedimen akibat gundulnya hutan. Indikator air
telah tercemar dapat diketahui antara lain dengan pengukuran derajat keasaman (pH), adanya

2
perubahan warna, bau, rasa air, timbulnya endapan, dan adanya mikroorganisme. Ukuran
batas atau kadar unsur pencemar diatur dalam baku mutu air limbah sebagai dasar penetapan
pencemaran.
Dampak atas perubahan kualitas air dapat dibagi menjadi 4 kategori menurut Kementerian
Lingkungan Hidup (2004), yaitu:
a) Dampak kerusakan kehidupan biota air
Banyaknya zat pencemar di dalam air akan menyebabkan menurunnya kadar oksigen
terlarut sehingga akan mengakibatkan kehidupan dalam biota air yang membutuhkan
oksigen terganggu serta mengurangi perkembangannya. Selain itu, adanya zat beracun
juga menyebabkan kerusakan pada tumbuhan air serta kematian biota air.
b) Dampak menurunnya kualitas air tanah
Air tanah yang tercemar akan mengganggu peruntukan air dalam memenuhi kebutuhan
rumah tangga. Air tanah yang tercemar dapat diketahui dengan adanya perubahan warna,
bau atau timbulnya endapan. Air tersebut tidak dapat dimanfaatkan misalnya untuk air
minum karena baku mutunya lebih ketat daripada baku mutu peruntukan yang lain.
c) Dampak gangguan kesehatan
Peran air yang tercemar sebagai pembawa penyakit menular bermacam-macam antara
lain air sebagai media untuk hidup mikroba patogen dan penularan berbagai penyakit.
d) Dampak kurangnya keindahan estetika lingkungan
Kondisi lingkungan perairan yang tercemar akibat pembuangan limbah aktivitas manusia
mengakibatkan pemandangan yang terlihat kumuh dan kotor. Hal ini terlihat dari
tumpukan limbah seperti sampah dan adanya bau yang menyengat.
Pencemaran air salah satunya dipengaruhi oleh derajat keasaman (pH). Makin rendah nilai
pH, makin tinggi derajat keasamannya. Air hujan yang menjadi bagian dari siklus air
mempunyai pH sedikit di bawah 7 karena adanya CO 2 yang terlarut di dalamnya dan
membentuk asam lemah. Semakin banyak pembakaran bahan bakar untuk industri dan
transportasi, emisi oksida belerang dan nitrogen ke udara makin meningkat dan tersebar oleh
angin. Kedua oksida itu di dalam udara mengalami oksidasi menjadi asam sulfat dan asam
nitrat yang merupakan asam yang kuat. Asam di dalam udara itu terbawa oleh air hujan yang
jatuh sehingga pH air hujan turun dan terjadilah apa yang disebut hujan asam. Hujan asam ini
dapat mengancam kelestarian hutan karena menghambat pertumbuhan akar dan menurunkan
kesuburan tanah, selain bersifat korosif dan mengganggu kesehatan manusia.
Pemantauan air hujan menurut Soemarwoto (2009) di kota-kota besar yaitu Jakarta,
Bandung, Surabaya, Denpasar, Medan, Bengkulu, Makasar, Banjarbaru, Pontianak, dan
Jayapura menunjukkan rata-rata pH di kota-kota tersebut cenderung menurun.
Selain itu, adanya pencemaran terhadap kualitas air misalnya dari buangan limbah pabrik ke
sungai yang mengandung zat pencemar dan berbau menyengat akan mempengaruhi udara
yang dihirup manusia sehingga berdampak pada kesehatan. Air sungai yang membawa bahan
pencemar selanjutnya akan mempengaruhi kondisi tanah yang dilewatinya dan akan
mengganggu zat hara yang diperlukan tumbuhan sehingga akan mengancam kelestarian
hutan sepanjang aliran sungai yang tercemar.

3
2. Dampak atas Perubahan Kuantitas Air
Siklus air mempengaruhi kuantitas atau ketersediaan air yang berasal dari proses presipitasi.
Adanya perubahan luasan hutan maka akan terjadi juga perubahan pola peredaran air dalam
siklus air. Penyusutan luasan hutan tersebut mengakibatkan tidak adanya tumbuhan yang
dapat menahan air sehingga memperbesar air larian permukaan dan memicu terjadinya erosi,
banjir dan longsor.
Selain itu, kuantitas air salah satunya dipengaruhi oleh curah hujan. Curah hujan pada
umumnya tidak terbagi rata sepanjang tahun yaitu ada musim hujan dan musim kemarau.
Oleh karena itu pasokan air juga tidak merata, banyak pada musim hujan dan sedikit pada
musim kemarau. Fenomena yang seringkali terjadi adalah pada saat musim hujan berbagai
wilayah di Indonesia mengalami banjir dan atau longsor, sedangkan musim kemarau terjadi
kekeringan. Kondisi tersebut terjadi karena luasan hutan tempat air terinfiltrasi semakin
berkurang karena adanya alih fungsi lahan di hutan untuk memenuhi kebutuhan manusia
antara lain menjadi kawasan industri dan pemukiman berupa bangunan fisik yang menutup
permukaan tanah tempat air dapat meresap ke dalam tanah.
Selanjutnya, pengambilan air tanah secara masif baik oleh penduduk untuk kebutuhan rumah
tangga maupun industri yang tidak memperhatikan pemanfaatan dan konservasinya
menurunkan ketersediaan air. Ditjen SDA dalam Maghfira (2018) mengungkapkan bahwa
penurunan tanah di Jakarta terjadi sebesar 5 – 12 cm per tahun. Selain karena beban
bangunan, penyebab utama adalah karena adanya pengambilan air tanah secara berlebihan.
Selain penurunan tanah, beberapa penelitian mengungkapkan adanya kemungkinan
terjadinya rembesan air laut di kawasan pesisir. Air tanah pada lapisan akuifer yang dipompa
ke permukaan tergantikan oleh air laut. Air laut bergerak mendekat ke arah daratan. Pada
tahun 2010, Prof Dr Otto SR Ongkosongo, peneliti utama Pusat Penelitian Oseanografi LIPI,
mengungkapkan bahwa intrusi air laut di pesisir Jakarta mencapai 3 km, bahkan pada air
tanah dalam telah mencapai 10 km. Sifat air laut yang asin (salinitas tinggi) akan merusak
atau mengkorosi infrastruktur bangunan seperti fondasi, dan tiang pancang.

C. Regulasi Terkait Pengelolaan dan Pemanfaatan Air


Pemerintah telah membuat regulasi terkait pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya air melalui
beberapa peraturan berikut dalam rangka menjaga kualitas dan kuantitas ketersediaan sumber
daya air yaitu:
1. Undang-undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup. Undang-undang ini merupakan pedoman dan rujukan utama bagi setiap pihak di
Indonesia termasuk pemerintah, pengusaha dan masyarakat umumnya dalam pendayagunaan
lingkungan untuk mendukung kehidupan. Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
merupakan upaya sistematis dan terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan
mencegah terjadinya pencemaran dan atau kerusakan lingkungan dengan mengatur tata cara
dalam perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan
hukum.
2. Undang-undang No. 37 Tahun 2014 tentang Konservasi Tanah dan Air. Undang-undang ini
merupakan upaya perlindungan, pemulihan, peningkatan dan pemeliharaan fungsi tanah pada
lahan sesuai dengan kemampuan peruntukan lahan untuk mendukung pembangunan yang
berkelanjutan dan kehidupan yang lestari. Penyelenggaraan konservasi antara lain bertujuan
untuk melindungi permukaan tanah dari pukulan air hujan yang jatuh dengan meningkatkan
4
kapasitas infiltrasi tanah, dan mencegah terjadinya konsentrasi aliran permukaan. Ruang
lingkupnya meliputi perencanaan, penyelenggaraan, serta pembinaan dan pengawasan
konservasi tanah dan air.
3. Undang-undang No. 11 Tahun 1974 tentang Pengairan, kembali menjadi pedoman dalam
perencanaan pengelolaan sumber daya air sejak dicabutnya Undang-Undang No. 7 Tahun
2004 tentang Sumber Daya Air. Undang-undang ini mempunyai fungsi sosial karena air
beserta sumber-sumbernya termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya digunakan
untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Undang-undang ini berisi tentang perencanaan
teknis, pembinaan, pengusahaan, eksploitasi dan pemeliharaan, perlindungan, pembiayaan
serta ketentuan pidana dalam rangka memanfaatkan sumber daya air.
4. Peraturan Pemerintah No. 121 Tahun 2015 tentang Pengusahaan Sumber Daya Air
merupakan pelaksanaan ketentuan Pasal 11 dari Undang-undang No. 11 Tahun 1974.
Peraturan ini mengatur terkait perizinan pengusahaan sumber daya air, pengawasan dan
penerapan sanksi administratif atas pelanggaran dalam aktivitas pengusahaan sumber daya
air.
5. Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan
Pengendalian Pencemaran Air. Pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran
diselenggarakan dengan pendekatan ekosistem di setiap tahap perencanaan, pelaksanaan,
pengawasan, dan evaluasi. Pengelolaan kualitas air dilakukan untuk menjamin kualitas air
yang diinginkan sesuai peruntukannya agar tetap dalam kondisi alamiahnya. Pengendalian
pencemaran air dilakukan untuk menjamin kualitas air agar sesuai dengan baku mutu air
melalui upaya pencegahan dan penanggulangan pencemaran air serta pemulihan kualitas air.
Peraturan ini berisi tentang pengelolaan dan pengendalian kualitas air, pelaporan, hak dan
kewajiban pihak yang terkait, persyaratan pemanfaatan dan pembuangan air limbah,
pembinaan dan pengawasan, serta sanksi.
6. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.68/
Menlhk-Setjen/2016 tentang Baku Mutu Air Limbah Domestik yang merupakan peraturan
teknis berdasarkan pertimbangan bahwa air limbah domestrik dari rumah tangga dan usaha
berpotensi mencemari lingkungan, sehingga perlu pengolahan air limbah sebelum dibuang ke
media lingkungan.
Aturan ini sebagai acuan mengenai baku mutu air limbah domestik bagi pemerintah pusat,
pemerintah daerah dan penanggung jawab usaha atau kegiatan. Pemerintah Daerah Provinsi
dalam menetapkan baku mutu air limbah domestik yang lebih ketat. Pemerintah Pusat,
Pemerintah Daerah provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, dalam menerbitkan
izin lingkungan, SPPL dan/atau izin pembuangan air limbah. Penanggung jawab usaha
dan/atau kegiatan pengolahan air limbah domestik dalam menyusun perencanaan pengolahan
air limbah domestik, dan penyusunan dokumen lingkungan hidup.

D. Referensi
Ardiansyah, T. (2016). Pengertian Hutan. https://foresteract.com/pengertian-hutan/. Diakses
tanggal 30 September 2019.
Kementerian Lingkungan Hidup. (2004). Pengendalian Pencemaran Air. Jakarta.
Maghfira. (2018). Beginilah Akibat Memompa Air Tanah secara Berlebih.
https://geologi.co.id/2018/07/23/12279/. Diakses tanggal 30 September 2019.

5
Republik Indonesia. (1974). Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan.
Republik Indonesia. (2001). Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang
Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air. Lembaran Negara
RI Tahun 2001, Nomor 153.
Republik Indonesia. (2009). Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Lembaran Negara RI Tahun
2009, Nomor 140.
Republik Indonesia. (2014). Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2014 tentang Konservasi
Tanah dan Air. Lembaran Negara RI Tahun 2014, Nomor 299.
Republik Indonesia. (2015). Peraturan Pemerintah Nomor 121 Tahun 2015 tentang
Pengusahaan Sumber Daya Air. Lembaran Negara RI Tahun 2015, Nomor 344.
Republik Indonesia. (2016). Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Nomor P.68/Menlhk-Setjen/2016 tentang Baku Mutu Air Limbah Domestik.
Berita Negara RI Tahun 2016, Nomor 1323.
Saddoen, A. (2019). Siklus Hidrologi, Pengertian, Proses Terjadinya, dan Penjelasan.
https://moondoggiesmusic.com/siklus-hidrologi/. Diakses tanggal 30 September 2019.
Soemarwoto, O. (2009). Atur Diri Sendiri Paradigma Baru Pengelolaan Lingkungan
Hidup. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Suyitno, Al. Ms. (2005). Fotosintesis.

Anda mungkin juga menyukai