Anda di halaman 1dari 29

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Berdasarkan penelitian World health organization (WHO), angka kematian ibu (AKI) ditahun
2013 mencapai 389 per 100.000 KH. Perempuan meninggal diakibatkan karena komplikasi
selama kehamilan, persalinan, dan nifas. Bahkan sebagian besar dari kematian ibu disebabkan
karena perdarahan dan infeksi, perdarahanan yang terjadi pada ibu diantara akibat kelainan
plasenta seperti terhambatnya kelahiran plasenta melebihi 30 menit. AKI di indonesia pada tahun
2012 adalah 359/100.000 kelahiran hidup dan angka kematian bayi (AKB) 32/1000 kelahiran
hidup (Kemenkes, 2012).
Safe motherhood merupakan upaya untuk menyelamatkan wanita agar kehmailan dan
persalinan sehat dan aman serta melahirkan bayi yang sehat.Upaya safe motherhood dicanangkan
pada tahun 1987 oleh Badan Interenasional dan Pemerintah guna meningkatkan kesadaran dunia
tentang pengaruh kematian dan kesakitan ibu serta untuk mendapatkan pemecahan masalahnya.
Tujuan utamanya adalah mengurangi kematian dan kesakiitan ibu. Upaya ini terutama ditujukan
kepada negara yang sedang berkembang karna 99% kematian ibu di dunia terjadi di negara-
Negara tersebut (Kusmiran, 2012).
Persalinan adalah proses penipisan dan membukanya leher rahim, yang diikuti oleh turunnya
janin ke jalan lahir, dan kemudian disusul oleh kelahiran, yaitu proses keluarnya bayi dari rahim.
Dimana hal ini merupakan hal yang fisiologis. Namun tidak semua proses persalinan berjalan
normal tanpa komplikasi, dan akibat dari komplikasi tersebut adalah kematian ibu.
Retensio plasenta merupakan komplikasi persalinan yang cukup serius, karena dalam waktu
singkat ibu bisa mengalami perdarahan post partum dan hal ini juga dapat menyebabkan ibu jatuh
dalam keadaan syok, anemis, infeksi, bahkan kematian. Upaya yang dilakukan dalam
menurunkan angka kejadian retensio plasenta antara lain dengan meningkatkan penerimaan
keluarga berencana sehingga memperkecil terjadinya retensio plasenta, meningkatkan penerimaan
pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan yang terlatih, pada waktu melakukan pertolongan
persalinan kala III tidak diperkenankan untuk melakukan masase dengan tujuan mempercepat
persalinan plasenta. Masase yang tidak tepat waktu dapat mengacaukan kontraksi otot rahim dan
mengganggu pelepasan plasenta (Manuaba, 2010).
I.2 Tujuan Penulisan

I.2.1 Tujuan umum

Diharapkan mahasiswa mampu melaksanakan asuhan kebidanan pada ibu Inpartu


kala III dengan retensio uteri di Ruang Bersalin RS. Gambiran tahun 2017.

I.2.2 Tujuan Khusus

1. Mahasiswa mampu melaksanakan pengkajian pada ibu Inpartu Kala III Fase dengan
Retensio Plasenta, di Ruang Bersalin RS. Gambiran Tahun 2017.
2. Mahasiswa mampu melakukan menegakan diagnosa pada ibu Inpartu Kala III dengan
Retensio Plasenta, di Ruang Bersalin, RS. Gambiran, Tahun 2017.
3. Mahasiswa mampu mengidentifikasi diagnosa/masalah potensial pada ibu Inpartu Kala
III dengan Retensio Plasenta, di Ruang Bersalin, RS Gambiran, Tahun 2017.
4. Mahasiswa mampu menetapkan kebutuhan segera pada ibu Inpartu Kala III dengan
Retensio Plasenta, di Ruang Bersalin, RS. Gambiran, Tahun 2013.
5. Mahasiswa mampu menyusun rencana asuhan kebidanan/intervensi berdasarkan
diagnosa pada ibu Inpartu Kala III dengan Retensio Plasenta, di Ruang Bersalin, RS.
Gambiran Tahun 2017.
6. Mahasiswa mampu melaksanakan rencana asuhan yang telah disusun pada ibu Inpartu
Kala III dengan Retensio Plasenta, di Ruang Bersalin, RS. Gambiran, Tahun 2017.
7. Mahasiswa mampu mengevaluasi hasil asuhan kebidanan yang telah dilaksanakan
pada ibu Inpartu Kala III dengan Retensio Plasenta, di Ruang Bersalin, RS. Gambira,
Tahun 2017.
8. Mahasiswa mampu melaksanakan pendokumentasian asuhan kebidanan pada ibu
Inpartu Kala III dengan Retensio Plasenta, di Ruang Bersalin, RS. Gambiran, Tahun
2017.

I.3. Teknik Pengumpulan Data

I.3.1 Wawancara

Mengadakan tanya jawab langsung kepada ibu atau keluarga untuk mengetahui keluhan dan
mengumpulkan data sehingga dapat memberikan intervensi yang sesuai dengan keadaan.

I.3.2 Observasi

Melakukan pengamatan langsung dan pemeriksaan (data objektif) pada ibu inpartu kala III
dengan Retensio Plasenta, di Ruang Bersalin, RS. Gambiran, Tahun 2017.
I.3.3 Studi dokumentasi

Membaca dan mempelajari status pasien catatan medis dan catatan perkembangan yang
dapat mendukung terlaksananya asuhan dan dapat membandingkan teori dan praktek.

I.3.4 Studi pustaka

Membaca sumber buku sebagai pedoman dalam melakukan asuhan kebidanan.

I.4 Sistematika Penulisan

BAB I PENDAHULUAN

Terdiri dari latar belakang, tujuan, teknik pengambilan data dan sistematika penulisan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Terdiri dari konsep persalinan, Retensio Plasenta dan Manajemen Varney

BAB III TINJAUAN KASUS

Terdiri dari pengkajian, interpretasi data dasar, identifikasi diagnosa dan masalah
potensial, menetapkan kebutuhan segera, intervensi, implementasi dan evaluasi.

BAB IV PEMBAHASAN

BAB V PENUTUP

Terdiri dari kesimpulan dan saran.

DAFTAR PUSTAKA
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Persalinan

II.1.1 Pengertian

Persalinan adalah proses dimana bayi, plasenta dan selaput ketuban keluar dari uterus
ibu (Asuhan Persalinan Normal, 2008).
Persalinan adalah rangkaian peristiwa mulai dari kenceng-kenceng teratur sampai
dikeluarkannya produk konsepsi (janin, plasenta, ketuban dan cairan ketuban) dari uterus
ke dunia luar melalui jalan lahir atau melalui jalan lain, dengan bantuan atau dengan
kekuatan sendiri (Sumarah, 2009).
Persalinan adalah proses pengeluaran hasil konsepsi (janin dan plasenta) yang telah
cukup bulan atau dapat hidup di luar kandungan melalui jalan lahir atau melalui jalan
lain, dengan bantuan atau tanpa bantuan (kekuatan sendiri) (Manuaba, 2010).

II.1.2 Etiologi

Teori Kemungkinan Terjadinya Persalinan


1. Teori keregangan
Otot rahim mempunyai kemampuan meregang dalam batas tertentu. Setelah
melewati batas waktu tersebut terjadi kontraksi sehingga persalinan dapat mulai.
Keadaan uterus yang terus membesar dan menjadi tegang mengakibatkan iskemia otot-
otot uterus. Hal ini mungkin merupakan faktor yang dapat mengganggu sirkulasi
uteroplasenter sehingga plasenta mengalami degenerasi. Pada kehamilan ganda
seringkali terjadi kontraksi setelah keregangan tertentu, sehingga menimbulkan proses
persalinan.
2. Teori penurunan progesterone
Proses penuaan plasenta terjadi mulai umur kehamilan 28 minggu, dimana terjadi
penimbunan jaringan ikat, pembuluh darah mengalami penyempitan dan buntu. Villi
koriales mengalami perubahan-perubahan dan produksi progesteron mengalami
penurunan, sehingga otot rahim lebih sensitif terhadap oksitosin. Akibatnya otot rahim
mulai berkontraksi setelah tercapai tingkat penurunan progesterone tertentu.
3. Teori oksitosin internal
Oksitosin dikeluarkan oleh kelenjar hipofise parst posterior. Perubahan
keseimbangan estrogen dan progesterone dapat mengubah sensitifitas otot rahim,
sehingga sering terjadi kontraksi braxton hicks. Menurunnya konsentrasi progesterone
akibat tuanya kehamilan maka oksitosin dapat meningkatkan aktivitas, sehingga
persalinan dimulai.
4. Teori prostaglandin
Konsentrasi prostaglandin meningkat sejak umur kehamilan 15 minggu, yang
dikeluarkan oleh desidua. Pemberian prostaglandin pada saat hamil dapat menimbulkan
kontraksi otot rahim sehingga terjadi persalinan. Prostaglandin dianggap dapat
merupakan pemicu terjadinya persalinan.
5. Teori hipotalamus-pituitari dan glandula suprarenalis
Teori ini menunjukkan pada kehamilan dengan anensefalus sering terjadi
keterlambatan persalinan karena tidak terbentuk hipotalamus. Teori ini dikemukakan
oleh Linggin (1973). Malpar tahun 1993 mengangkat otak kelinci percobaan, hasilnya
kehamilan kelinci menjadi lebih lama. Pemberian kortikosteroit yang dapat
menyebabkan maturitas janin, induksi persalinan. Dari beberapa percobaan tersebut
disimpulkan ada hubungan antara hipotalamus-pituitari dengan mulainya persalinan.
Glandula suprarenal merupakan pemicu terjadinya persalinan.
6. Teori berkurangnya nutrisi
Berkurangnya nutrisi pada janin dikemukakan oleh hippokrates untuk pertama
kalinya. Bila nutrisi pada janin berkurang maka hasil konsepsi akan segera dikeluarkan.
7. Faktor lain
Tekanan pada ganglion servikale dari pleksus frankenhauser yang terletak
dibelakang serviks. Bila ganglion ini tertekan, maka kontraksi uterus dapat
dibangkitkan.

II.1.3 Perubahan Fisiologis dan Psikologis Pada Persalinan

1. Perubahan Fisiologis
a. Perubahan tekanan darah
Tekanan darah meningkat selama kontraksi uterus dengan kenaikan sistolik
rata-rata sebesar 10-20 mmHG dan kenaikan diastolikrata-rata 5-10 mmHG.
Diantara kontraksi-kontraksi uterus, tekanan darah akan turun seperti sebelum
masuk persalinan dan akan naik lagi bila terjadi kontraksi. Perubahan metabolism
b. Perubahan suhu badan
Suhu badan akan sedikit meningkat selam persalinan,suhu mencapai tertinggi
selama persalinan dan segera setelah kelahiran.kenaikan ini dianggap normalasla
tidak melebihi 0,5-1ºC. Suhu badaan yang naik sedikit merupakan keadaan yang
wajar, namun bila keadaan ini berlangsung lama akan mengindikasikan adanya
dehidrasi.
c. Denyut jantung
Perubahan yang menyolok selama kontraksi dengan kenaikan denyut jantung,
penururnan selam acme sampai satu angka yang lebih rendah dan angka antara
kontraksi. Denyut jantung yang sedikit naik merupakan keadaan yang normal,
namun meskipun demikian harus tetap dikontrol untuk mengidentifikasikan
adanya infeksi.
d. Pernafasan
Pernafasan menjadi naik sedikit dibandingkan sebelum persalinan, kenaikan
pernafasan ini dapat disebabkan karena adanya rasa nyeri kekawatiran serta
penggunakan tehnik pernafasan yang tidak benar. Untuk itu diperlukan tindakan
untuk mengendalikan pernafasan(untuk menghindari hiperventilisasi) yang
ditandai oleh adanya persaan pusing.
e. Kontraksi uterus
Kontraksi uterus terjadi karena adanya rangsangan pada otot polos uterus dan
penurunan hormon progesteron yang menyebabkan keluarnya homon oksitosin.
Kontraksi uterus dimulai dari undus uteri menjalar kebawah, fundus uteri bekerja
kuat dan lama untuk mendorong janin ke bawah, sedangkan uterus bagian bawah
pasif hanya mengikuti tarikan dan segmen atas rahim, akhirnya menyebabkan
serviks menjadi lembek dan membuka. Kerjasama antara uterus bagian atas dan
uterus bagian bwah disebut polaritas.
f. Penarikan serviks
Pada akhir kehamilan otot yang mengelilingi ostium uteri internum ditarik
oleh segmen atas rahim yang menyebabkan serviks menjadi pendek dan menjadi
bagian dari serviks menghilang karena segmen bawah rahim. Bentuk serviks
menghilang karena canalis sevikalis membesar.
g. Pembukaan ostium uteri interna dan ostium uteri eksterna
Pembukaan serviks disebabkan oleh karena membesarnya OUE yang
melingkar disekitar ostium, dan meregang untuk dapat dilewati kepala.
Pembukaan uteri tidak saja karena penarikan SAR akan tetapi juga karena tekanan
isi uterus yaitu kepala dan kantong amnion.
h. Show
Show adalah pengeluaran dari vagina yang terdiri dari lendir yang bercampur
darah, lendir ini bersal dari ekstruksi lendir yang menyumbat canalis sevikalis
sepanjang kehamilan, sedangkan darah berasal dari desidua vera yang lepas.
2. Perubahan psikologi
a. Perasaan tidak enak
b. Takut dan ragu-ragu akan persalinan yang akan dihadapi
c. Apakah persalinannya normal
d. Menganggap persalinan sebagai percobaan

II.1.4 Mekanisme Persalinan

Mekanisme persalinan merupakan gerakan janin dalam menyesuaikan dengan


ukuran panggul saat kepala melewati panggul. Mekanisme ini sangat diperlukan
mengingat diameter janin yang lebih besar harus berada pada satu garis lurus dengan
diameter paling besar dari panggul. Diameter kepala janin yang perlu diperhatikan:

1. Diameter bipariental. Diameter bipariental yaitu jarak antara dua pariental (9,5 cm).
2. Diameter suboccipito bregmantika yaitu jarak antar pertemuan leher dan oksiput ke
bregma (ubun-ubun besar 9,5 cm).
3. Diameter occipitofrontalis. Jarak dari oksiput ke sinsipal (11,5 cm).
4. Occipitomento yaitu jarak pertemuan leher dan rahang bawah ke bregma 9,5 cm.
5. Submentobregmantik yaitu jarak pertemuan leher dan rahang bawah ke bregma 9,5
cm.

Adapun gerakan-gerakan janin dalam persalinan/gerakan kardial adalah sebagai berikut:

1. Engangement
Engangement pada primigravida terjadi pada bulan terakhir kehamilan,
sedangkan pada multigravida dapat terjadi pada awal persalinan. Engangement adalah
peristiwa ketika diameter bipariental melewati pintu atas panggul dengan sutura
sagitalis melintang/oblik di dalam jalan lahir dan sedikit fleksi. Masuknya kepala
akan mengalami kesulitan bila saat masuk ke dalam panggul dengan sutura sagitalis
dalam antero posterior. Jika kepala masuk ke dalam pintu atas panggul dengan sutura
sagitalis melintang di jalan lahir, tulang pariental kanan dan kiri sama tinggi, maka
keadaan ini disebut sinklitismus.
2. Penurunan Kepala
Dimulai sebelum onset persalinan/inpartu. Pertemuan kepala terjadi
bersamaan dengan mekanisme lainnya.Kekuatan yang mendukung menurut
Cuningham dalam buku Obstetri William yang diterbitkan tahun 1995 dari Ilmu
Kebidanan Varney 2002:
a. Tekanan cairan amnion
b. Tekanan langsung fundus pada bokong.
c. Kontraksi otot-otot abdomen
d. Ekstensi dan pelurusan badan janin atau tulang belakang janin
3. Fleksi
Gerakan fleksi diebabkan karena janin terus di dorong maju tetapi kepala
janin tehambat oleh serviks, dinding panggul atau dasar panggul.Pada kepala janin,
dengan adanya fleksi maka diameter oksipitobregmatika 9 cm. Posisi dagu bergeser
ke arah dada janin. Pada pemeriksaan dalam ubun-ubun kecil lebih jelas teraba
daripada ubun-ubun besar.
4. Rotasi Dalam
Rotasi dalam atau putar paksi dalam adalah pemutaran bagian terendah janin
dari posisi sebelumnya ke arah depan sampai di bawah simpisis. Bila presentasi
belakang kepala di mana bagian terendah janin adalah ubun-ubun kecil maka ubun-
ubun kecil memutar kedepan sampai berada di bawah simpisis. Gerakan ini adalah
upaya kepala janin untuk menyesuaikan dengan bentuk jalan lahir yaitu bentuk
bidang tengah dan pintu bawah panggul. Rotasi dalam terjadi bersamaan dengan
majunya kepala. Rotasi ini terjadi setelah kepala melewati Hodge III (setinggi spina)
atau setelah didasar panggul. Pada pemeriksaan dalam ubun-ubun kecil mengerah ke
jam 12.
5. Ekstensi
Gerakan ekstensi merupakan gerekan dimana oksiput berhimpit langsung
pada margo inferior simpisis pubis. Gerakan ekstensi ini mengakibatkan
bertambahnya penegangan pada perinium dan introitus vagina. Ubun-ubun kecil
semakin banyak terlihat dan sebagai hypomochlion atau pusat pergerakan maka
berangsur-angsur lahirlah ubun-ubun kecil, ubun-ubun besar, dahi, mata, hidung,
mulut, dan dagu. Pada saat kepala sudah lahir seluruhnya, dagu bayi berada di atas
anus ibu.
6. Rotasi Luar
Terjadinya gerakan rotasi luar atau putar paksi luar dipengaruhi oleh faktor-
faktor panggul, sama seperti pada rotasi dalam. Merupakan gerakan memutar ubun-
ubun kecil ke arah punggung janin, bagian belakang kepala berhadapan dengan tiber
iskhiadikum kanan atau kiri, sedangkan muka janin menghadap salah satu paha ibu.
Bila ubun-ubun kecil pada mulanya disebelah kiri maka ubun-ubun kecil akan
berputar ke arah kiri, bila pada mulanya ubun-ubun kecil disebelah kanan maka ubun-
ubun kecil berputar ke kanan.
7. Ekspulsi
Setelah terjadinya rotasi luar, bahu depan berfungsi sebagai hypomochlion
untuk kelahiran bahu belakang. Kemudian setelah kedua bahu lahir disusul lahirlah
trochanter depan dan belakang sampai lahir janin seluruhnya. Gerakan kelahiran
depan, bahu belakang, badan seluruhnya.

II.1.5 Faktor yang Mempengaruhi Persalinan

1. Passage ( Jalan lahir)


Jalan lahir terdiri dari panggul ibu, yakni bagian tulang padat, dasar panggul,
vagina, dan introitus (lubang luar vagina). Meskipun jaringan lunak, khususnya
lapisan-lapisan otot dasar panggul ikut menunjang keluarnya bayi, tetapi panggul ibu
jauh lebih beperan dalam proses persalinan. Janin harus berhasil menyesuaikan diri
terhadap jalan lahir yang relative kaku. Oleh kaena itu ukuran panggul harus
ditentukan sebelum persalinan dimulai.
2. Passenger (janin dan plasenta)
Passenger atau janin bergerak sepanjang jalan lahir merupakan akibat interaksi
beberapa faktor, yakni ukuran kepala janin, presentasi, letak, sikap, dan posisi janin.
Karena plasenta juga harus melewati jalan lahir, maka ia di anggap juga sebagai
bagian dari passenger yang menyertai janin. Namun plasenta jarang menghambat
proses persalinan pada kehamilan normal.
3. Power
Kekuatan terdiri dari kemampuan ibu melakukan kontraksi involunterbsecara
bersamaan untuk mengeluarkan janin dan plasenta dari uterus. Kontraksi involuter
disebut juga kekuatan primer, menandai dimulainya persalinan. Apabila serviks
berdilatasi, usaha volunter dimulai untuk mendorong, yang disebut kekuatan sekunder,
dimana kekuatan ini memperbesar kekuatan kontraksi involunter.
4. Posisi Ibu
Posisi ibu mempengaruhi adaptasi anatomi dan fisisologis persalinan. Posisi
tegak memberi sejumlah keuntungan. Mengubah posisi membuat rasa letih hilang,
memberi rasa nyaman, dan memperbaiki sirkulasi. Posisi tegak meliputi posisi berdiri,
berjalan, duduk, jongkok. Posisi tegak memungkinkan gaya gravitasi membantu
penurunan janin. Kontraksi uterus lebih kuat dan lebih efisien untuk membantu
penipisan dan dilatasi srcviks, sehingga persalinan lebih cepat.
5. Psikologi
Tingkat kecemasan wanita selama bersalin akan meningkat jika ia tidak
memahami apa yang terjadi atau yang disampaikan kepadanya. Dukungan psikologis
dari orang terdekat akan membantu memperlancar proses persalinan yang sedang
berlangsung. Tindakan mengupayakan rasa nyaman dengan menciptakan suasana yang
nyaman dalam kamar bersalin, member sentuhan, member penanganan nyeri non
farmakologi, memberikan analgesia jika diperlukan, dan yang paling penting berada
disisi pasien adalah bentuk dukungan psikologis. Dengan keadaan psikologis yang
positif proses persalinan akan berjalan lebih mudah. (Sumarah, 2009)

II.1.6 Tanda dan gejala Persalinan

1. Tanda permulaan persalinan


Menurut Mochtar (2002), Sebelum terjadi persalinan sebenarnya beberapa
minggu sebelumnya wanita memasuki ”bulannya” atau ”minggunya” yang disebut
kala pendahuluan (preparatory stage labor). Ini memberikan tanda sebagai berikut :
a. Lightening atau settling atau dropping yaitu kepala turun memasuki pintu atas
panggul terutama pada primigravida. Pada multigravida tidak begitu terlihat.
b. Perut kelihatan melebar, fundus uteri turun.
c. Perasaan sering atau susah kencing (polakisuria) karena kandung kemih tertekan
oleh bagian bawah janin.
d. Perasaan sakit di perut dan di pinggang oleh adanya kontraksi lemah dari uterus,
kadang disebut “false labor pains”.
e. Serviks menjadi lembek, mulai mendatar, dan sekresinya bertambah bisa
bercampur darah (bloody show).
2. Tanda persalinan
a. His adekuat, hal ini terjadi jika bersifat teratur minimal 2x tiap 10 menit, kuat,
mengeras saat kontraksi sehingga tidak ada cekungan lagi bila ditekan dengan
ujung jari, nyeri melingkar dari punggung memancar ke perut bagian depan.
b. Serviks membuka. Penipisan dan pembukaan serviks sekurang-kurangnya 3 cm.
c. Keluar lendir dan darah dari vagina (Bloody show) atau keluar air secara
mendadak.
II.1.7 Kala Persalinan
Menurut Sumarah, Dkk (2008), persainan di bagi menjadi 4 kala. Pada kala 1
membuka dari 0 sampai 10 cm dan dinamakan juga kala pembukaan. Kala II disebut
juga dengan kala pengluaran, oleh karena kekuatan his dan kekuatan mengedan, janin
didorong keluar sampai lahir. dalam kala III atau disebit juga kala uri, plasenta terlepas
dari dinding utersus dan dilahirkan. Kala IV mulai dari lahirnya plasenta sampai 2 jam
kemudian. Dalam kala IV diobservasi apakah terjadi perdarahan postpartum.
1. Kala I
Persalinan kala I adalah kala pembukaan yang berlangsung antara pembukaan
nol sampai pembukaan lengkap (10 cm). Pada kala I dibagi menjadi 2 fase yaitu
Fase laten dan fase aktif.
a. Fase laten yaitu pembukaan 0 cm sampai pembukaan 3 cm, berlangsung selama
8 jam.
b. Fase Aktif yaitu pembukaan 4 cm sampai lengkap (10 cm), berlangsung selama
7 jam. Dalam fase ini masih dibagi menjadi 3 fase lagi yaitu: fase akelerasi
dimana dalam waktu 2 jam pembukaan 3 cm menjadi 4 cm, fase dilatasi
maksimal yakni dalam waktu 2 jam pembukaan berlangsung sangat cepat, dari
pembukaan 4 cm menjadi 9 cm, dan fase deselerasi dimana pembukaan
menjadi lambat lagi. Dalam waktu 2 jam pembukaan 9 cm sampai 10 cm.
2. Kala II
Dimulai dari pembukaan lengkap 10 cm sampai bayi lahir. Proses ini
berlangsung 2 jam pada primigravida dan 1 jam pada multigravida. Pada kala ini
his menjadi lebih kuat dan cepat, kurang lebih 2-3 menit sekali. Dalam kondisi
normal pada kala ini kepala janin sudah masuk dalam ruang panggul, maka pada
saat his dirasakan tekanan pada otot-otot dasar panggul, yang secara reflektoris
menimbulkan rasa mengedan. Wanita merasa adanya tekanan pada rektum dan
seperti akan buang air besar. Kemudian perinium mulai menonjol dan menjadi lebar
dengan membukanya anus. Labia mulai membuka dan tidak lama kemudian kepala
janin tampak dalam vulva pada saat ada his. Jika dasar panggul sedah berelaksasi,
kepala janin tidak masuk lagi di luar his. Dengan kekuatan his dan mengedan
maksimal kepala janin dilahirkan dengan suboksiput di bawah simpisis dan dahi,
muka, dagu melewati perinium. Setelah his istirahat sebentar, maka his akan mulai
lagi untuk mengeluarkan anggota badan bayi.
3. Kala III
Dimulai segera setelah bayi lahir sampai lahirnya plasenta, yang berlangsung
tidak lebih dari 30 menit. Setelah bayi lahir uterus teraba keras dengan fundus uteri
agak di atas pusat. Beberapa menit kemdian uterus berkontraksi lagi untuk
melepaskan plasenta dari dindingnya.
a. Tanda lepasnya plasenta :
b. Rahim naik, disebabkan karena placenta yang telah lepas jatuh ke dalam
segmen bawah rahim atau bagian atas vagina dan mengangkat rahim.
c. Bagian tali pusat yang lahir menjadi lebih panjang.
d. Rahim menjadi lebih bundar bentuknya dan lebih keras.
e. Keluarnya darah dengan mendadak
f. Dengan perasat Kustner : tali pusat diregangkan dengan satu tangan, tangan
yang lainnya menekan perut di atas sympisis. Kalau tali pusat masuk, maka
placenta belum lepas. Kalau tetap atau keluar, maka placenta sudah lepas.
4. Kala IV
Dimulai dari saat lahirnya plasenta sampai 2 jam pertama post partum.
Tujuan asuhan persalinan adalah memberikan asuhan yang memadahi selama
persalinan dalam upaya mencapai ertolongan persalinan yang bersih dan aman,
dengan memperhatikan aspek sayang ibu dan sayang bayi.Observasi yang harus
dilakukan pada kala IV adalah:
a. Tingkat kesadaran ibu
b. Pemeriksaan tanda-tanda vital: tekanan darah, nadi, dan pernafasan.
c. Kontraksi uterus
d. Terjadinya perdarahan. Perdarahan dianggap masih normal jika jumlahnya
tidak melebihi 400-500 cc.

II.1.8 Penatalaksanaan

1. Mendengar dan melihat adanya tanda persalinan kala 2


a. Ibu merasa ada dorongan kuat untuk meneran
b. Ibu merasakan tekanan yang meningkat pada rectum dan vagina
c. Perenium tampak menonjol
d. Vulva dan sfingter ani membuka
2. Pastikan kelengkapan peralatan, bahan dan obat-obatan esensial untuk menolong
persalinan dan menatalaksana komplikasi ibu dan bayi baru lahir. Untuk asfiksia 
tempat datar dan keras, 2 kain dan 1 handuk bersih dan kering, lampu sorot 60 watt
dengan jarak 60 cm dari tubuh bayi
a. Menggelar kain di atas perut ibu dan tempat resusitasi serta ganjal bahu bayi
b. Menyiapkan oksitosin 10 unit dan alat suntik steril sekali pakai di dalam partus set
3. Pakai celemek plastik
4. Melepaskan dan menyimpan semua perhiasan yang dipakai, cuci tangan dengan sabun
dan air bersih mengalir kemudian keringkan tangan dengan tissue atau handuk pribadi
yang bersih dan kering
5. Pakai sarung tangan DTT pada tangan yang akan digunakan untuk periksa dalam
6. Memasukkan oksitosin ke dalam tabung suntik (gunakan tangan yang memakai sarung
tangan DTT dan steril (pastikan tidak terjadi kontaminasi pada alat suntik)
7. Membersihkan vulva dan perineum, menyekanya dengan hati-hati dari depan ke
belakang dengan menggunakan kapas atau kasa yang dibasahi air DTT
a. Jika introitus vagina, perineum atau anus terkontaminasi tinja, bersihkan dengan
seksama dari arah depan ke belakang
b. Buang kapas atau kasa pembersih (terkontaminasi) dalam wadah yang tersedia
c. Ganti sarung tangan jika terkontaminasi (dekontaminasi, lepaskan dan rendam
dalam larutan klorin 0,5%  langkah 9)
8. Lakukan periksa dalam untuk memastikan pembukaan lengkap
a. Bila selaput ketuban belum pecah dan pembukaan sudah lengkap maka lakukan
amniotomi
9. Dekontaminasi sarung tangan dengan cara mencelupkan tangan yang masih memakai
sarung tangan ke dalam larutan klorin 0,5% kemudian lepaskan dan rendam dalam
keadaan terbalik dalam larutan klorin 0,5% selama 10 menit. Cuci kedua tangan
setelah sarung tangan dilepaskan
10. Periksa denyut jantung janin (DJJ) setelah kontraksi/ saat relaksasi uterus untuk
memastikan bahwa DJJ dalam batas normal (120-160x/ menit)
a. Mengambil tindakan yang sesuai jika DJJ tidak normal
b. Mendokumentasikan hasil-hasil pemeriksaan dalam, DJJ dan semua hasil-hasil
penilaian serta asuhan lainnya pada partograf
11. Beritahukan bahwa pembukaan sudah lengkap dan keadaan janin baik dan bantu ibu
dalam menemukan posisi yang nyaman dan sesuai dengan keinginannya
a. Tunggu hingga timbul rasa ingin meneran, lanjutkan pemantauan kondisi dan
kenyamanan ibu dan janin ( ikuti pedoman penatalaksanaan fase aktif) dan
dokumentasikan semua temuan yang ada
b. Jelaskan pada anggota keluarga tentang bagaimana peran mereka untuk
mendukung dan memberi semangat pada ibu untuk meneran secara benar
12. Minta keluarga membantu menyiapkan posisi meneran. (Bila ada rasa ingin meneran
dan terjadi kontraksi yang kuat, bantu ibu ke posisi setengah duduk atau posisi lain
yang diinginkan dan pastikan ibu merasa nyaman)
13. Laksanakan bimbingan meneran pada saat ibu merasa ada dorongan kuat untuk
meneran:
a. Bimbing ibu agar dapat meneran secara benar dan efektif
b. Dukung dan beri semangat pada saat meneran dan perbaiki cara meneran apabila
caranya tidak sesuai
c. Bantu ibu mengambil posisi yang nyaman sesuai pilihannya (kecuali posisi
berbaring terlentang dalam waktu yang lama)
d. Anjurkan ibu untuk beristirahat diantara kontraksi
e. Anjurkan keluarga memberi dukungan dan semangat untuk ibu
f. Berikan cukup asupan cairan per-oral (minum)
g. Menilai DJJ setiap kontraksi uterus selesai
h. Segera rujuk jika bayi belum atau tidak akan segera lahir setelah 120 menit (2 jam)
meneran (primigravida) atau 60 menit (1 jam) meneran (multigravida)
14. Anjurkan ibu untuk berjalan, berjongkok atau mengambil posisi yang nyaman, jika ibu
belum merasa ada dorongan untuk meneran dalam 60 menit
15. Letakkan handuk bersih (untuk mengeringkan bayi) di perut ibu, jika kepala bayi telah
membuka vulva dengan diameter 5-6 cm
16. Letakkan kain bersih yang dilipat 1/3 bagian dibawah bokong ibu
17. Buka tutup partus set dan perhatiakan kembali kelengkapan alat dan bahan
18. Pakai sarung tangan DTT pada kedua tangan
19. Setelah tampak kepala bayi dengan diameter 5-6 cm membuka vulva maka lindungi
perineum dengan satu tangan yang dilapisi dengan kain bersih dan kering. Tangan
yang lain menahan kepala bayi untuk menahan posisi defleksi dan membantu lahirnya
kepala. Anjurkan ibu untuk meneran perlahan atau bernafas cepat dan dangkal.
20. Periksa kemungkinan adanya lilitan tali pusat dan ambil tindakan yang sesuai jika hal
itu terjadi, dan segera lanjutkan proses kelahiran bayi
a. Jika tali pusat melilit leher secara longgar, lepaskan lewat bagian atas kepala bayi
b. Jika tali pusat melilit leher secara kuat, klem tali pusat di dua tempat dan potong di
antara dua klem tersebut
21. Tunggu kepala bayi melakukan putaran paksi luar secara spontan
22. Setelah kepala melakukan putar paksi luar, pegang secara biparental. Anjurkan ibu
untuk meneran saat kontraksi. Dengan lembut gerakkan kepala ke arah bawah dan
distal hingga bahu depan muncul di bawah arkus pubis dan kemudian gerakkan arah
atas dan distal untuk melahirkan bahu belakang
23. Setelah kedua bahu lahir, geser tangan bawah ke arah perineum ibu untuk menyanggah
kepala, lengan dan siku sebelah bawah. Gunakan tangan atas untuk menelusuri dan
memegang lengan dan siku sebelah atas.
24. Setelah tubuh dan lengan lahir, penelusuran tangan atas berlanjut ke punggung,
bokong, tungkai dan kaki. Pegang kedua mata kaki (masukkan telunjuk diantara kaki
dan pegang masng-masing mata kaki dengan ibu jari dan jari-jari lainnya)
25. Lakukan penilaian (selintas)
a. Apakah bayi menangis kuat dan/ bernafas tanpa kesulitan?
b. Apakah bayi bergerak dengan aktif?
c. Jika bayi tidak menangis, tidak bernafas atau megap-megap lakukan langkah
resusitasi (lanjut ke langkah resusitasi pada asfiksia bayi baru lahir)
26. Keringkan tubuh bayi
27. Periksa kembali uterus untuk memastikan tidak ada lagi bayi dalam uterus (hamil
tunggal)
28. Beritahu ibu bahwa ia akan disuntik oksitosin agar uterus berkontraksi baik
29. Dalam waktu 1 menit setelah bayi lahir, suntikkan oksitosin 10 unit IM di 1/3 paha
atas bagian distal lateral (lakukan aspirasi sebelum menyuntikkan oksitosin)
30. Setelah 2 menit pasca persalinan, jepit tali pusat dengan klem kira-kira 3 cm dari pusat
bayi, mendorong isi tali pusat ke arah distal (ibu) dan jepit kembali tali pusat ada 2 cm
distal dari klem pertama
31. Pemotongan dan pengikatan tali pusat
a. Dengan satu tangan, pegang tali pusat yang telah dijepit ( lindungi perut bayi), dan
lakukan pengguntingan tali pusat di antara 2 klem tersebut
b. Ikat tali pusat dengan benang DTT atau steril pada satu sisi kemudian
melingkarkan kembali benang tersebut dan mengikatnya dengan simpul kunci
pada sisi lainnya.
c. Lepaskan klem dan masukkan dalam wadah yang telah disediakan
32. Letakkan bayi agar ada kontak kulit ibu dan kulit bayi
Letakkan bayi tengkurap di dada ibu. Luruskan bahu bayi sehingga bayi menempel di
dada/ perut ibu. Usahakan kepala bayi berada diantara payudara ibu dengan posisi
lebih rendah dari puting payudara ibu
33. Selimuti ibu dan bayi dengan kain hangat dan pasang topi di kepala bayi
34. Pindahkan klem pada tali pusat hingga berjarak 5-10 cm dari vulva
35. Letakkan satu tangan di atas kain pada perut ibu, di tepi atas syimfisis, untuk
mendeteksi. Tangan lain menegangkan tali pusat
36. Setelah uterus berkontraksi, tegangkan tali pusat ke arah bawah sambil tangan yang
lain mendorong uterus e arah belakang-atas (dorsokranial) secara hati-hati (untuk
mencegah inversio uteri). Jika plasenta tidak lahir setelah 30-40 detik, hentikan
penegangan tali pusat dan tunggu hingga timbul kontraksi berikutnya dan ulangi
prosedur di atas. Jika uterus tidak segera berkontraksi, minta ibu, suami atau anggota
keluarga untuk melakukan stimulasi puting susu
37. Lakukan penegangan dan dorongan dorsokranial hingga plasenta terlepas, minta ibu
meneran sambil penolong menarik tali pusat dengan arah sejajar lantai dan kemudian
ke arah atas, mengikuti poros jalan lahir (tetap lakukan tekanan dorsokranial)
a. Jika tali pusat bertambah panjang, pindahkan klem hingga berjarak sekitar 5-10
cm dari vulva dan lahirkan plasenta
b. Jika plasenta tidak lepas setelah 15 menit menegangkan tali pusat:
c. Beri dosis ulangan oksitosin 10 unit IM
d. Lakukan kateterisasi (aseptik) jika kandung kemih penuh
e. Minta keluarga untuk menyiapkan rujukan
f. Ulangi penegangan tali pusat 15 menit berikutnya
g. Jika plasenta tidak lahir dalam 30 menit setelah bayi lahir atau bila terjadi
perdarahan, segera lakukan plasenta manual
38. Saat plasenta muncul di introitus vagina, lahirkan plasenta dengan kedua tangan.
Pegang dan putar plasenta hingga selaput ketuban terpilin kemudian lahirkan dan
tempatkan plasenta pada wadah yang telah disediakan.
39. Segera setelah plasenta dan selaput ketuban lahir, lakukan masase uterus, letakkan
telapak tangan di fundus dan lakukan masase dengan gerakan melingkar dengan
lembut hingga uterus berkontraksi (fundus teraba keras). Lakukan tindakan yang
diperlukan jika uterus tidak berkontraksi setelah 15 detik masase
40. Periksa kedua sisi plasenta baik bagian ibu maupun bayi dan pastikan selaput ketuban
lengkap dan utuh. Masukkan plasenta ke dalam kantung plastik atau tempat khusus.
Jika selaput ketuban robek, pakai sarung tangan DTT atau steril untuk melakukan
eksplorasi sisa selaput kemudian gunakan jari-jari tangan atau klem DTT atau steril
untuk mengeluarkan bagian selaput yang tertinggal
41. Evaluasi kemungkinan laserasi pada vagina dan perineum. Lakukan penjahitan bila
laserasi menyebabkan perdarahan.
42. Pastikan uterus berkontraksi dengan baik dan tidak terjadi perdarahan pervaginam
43. Biarkan bayi tetap melakukan kontak kulit ke kulit di dada ibu paling sedikit 1 jam
a. Sebagian besar bayi akan berhasil melakukan IMD dalam waktu 30-60 menit.
Menyusu pertama biasanya berlangsung sekitar 10-15 menit. Bayi cukup menyusu
dari 1 payudara
b. Biarkan bayi tetap di dada ibu selama 1 jam walaupun bayi sudah berhasil
menyusu
44. Setelah 1 jam, lakukan penimbangan/ pengukuran bayi, beri tetes mata antibiotik
profilaksis, dan Vit K1 1 mg IM di paha kiri anterolateral
45. Setelah 1 jam pemberian Vit K1 berikan suntikan imunisasi hepatitis B di paha kanan
anterolateral
46. Lanjutkan pemantauan kontraksi dan mencegah perdarahan pervaginam
47. Ajarkan ibu/ keluarga cara melakukan masase uterus dan menilai kontraksi
48. Evaluasi dan estimasi umlah kehilangan darah
49. Memeriksa nadi ibu dan keadaan kandung kemih setiap 15 menit selama 1 jam
pertama pascapersalinan dan setiap 30 menit selama jam kedua pascapersainan
50. Periksa kembali bayi untuk pastikan bahwa bayi bernafas dengan baik (40-60x/menit)
serta suhu tubuh normal (36,5-37,5)
51. Tempatkan semua peralatan bekas pakai dalam larutan klorin 0,5% untuk
dekontaminasi (10 menit). Cuci bilas peralatan setelah dekontaminasi
52. Buang bahan-bahan yang terkontaminasi ke tempat sampah yang sesuai
53. Bersihkan ibu dengan menggunakan air DTT. Bersihkan sisa cairan ketuban, lendir
dan darah. Bantu ibu memakai pakaian yang bersih dan kering
54. Pastikan ibu merasa nyaman. Bantu ibu memberikan ASI. Anjurkan keluarga untuk
memberi ibu minuman dan makanan yang diinginkannya
55. Dekontaminasi tempat bersalin dengan larutan klorin 0,5%
56. Celupkan sarung tangan kotor ke dalam larutan klorin 0,5%, balikkan bagian dalam
keluar dan rendam dalam larutan klorin 0,5% selama 10 menit
57. Cuci kedua tangan dengan sabun dan air mengalir
58. Lengkapi partograf (halaman depan dan belakang), periksa tanda vital dan asuhan kala
IV

II.2 Retensio Plasenta

II.2.1 Definisi

Retensio plasenta adalah tertahannya atau belum lahirnya plasenta hingga atau waktu
setengah jam setelah bayi lahir (Prawirohardjo, 2010).

II.2.2 Etiologi

Menurut Manuaba (2010), sebab- sebab terjadinya retensio plasenta:

1. Fungsional
a. His kurang kuat (penyebab terpenting)
b. Plasenta sukar terlepas (plasenta adhesiva), tempatnya (insersi disudut tuba),
bentuknya (plasenta membranasea, plasenta anularis) dan ukurannya (plasenta
yang sangat kecil).
2. Patologi-anatomi
a. Plasenta akreta
b. Plasenta inkreta
c. Plasenta perkreta
d. Plasenta inkraserata
II.2.3 Penatalaksanaan retensio plasenta

Menurut Rohani dkk. (2011), penatalaksanaan retensio plasenta disesuaikan dengan


jenis retensio yang terjadi :

1. Retensio plasenta dengan separasi parsial


a. Penilaian keadaan umum, kesadaran, tanda-tanda vital, kontraksi uterus dan
perdarahan (Manuaba, 2010).
b. Jelaskan pada ibu prosedur dan tujuan tindakan yaitu dilakukan manual plasenta
untuk melepaskan plasenta secara manual (menggunakan tangan) dari tempat
implantasinya dan kemudian melahirkannya keluar dari kavum uteri (Rohani dkk.,
2011).
c. Tentukan jenis retensio yang terjadi karena berkaitan dengan tindakan yang akan
diambil.
d. Regangkan tali pusat dan minta pasien untuk meneran. Bila ekspulsi tidak terjadi,
coba traksi terkontrol tali pusat.
e. Pasang infus dalam 500 cc NS/RL dengan 40 tetes per menit. Bila perlu,
kombinasikan dengan misopostrol 400 mg rektal (sebaiknya tidak menggunakan
ergometrin karena kontraksi tonik yang timbul dapat mengakibatkan plasenta
terperangkap dalam kavum uteri).
f. Bila traksi terkontrol gagal untuk melahirkan plasenta, lakukan manual plasenta
secara hati-hati dan halus (melahirkan plasenta yang melekat erat secara paksa
dapat menyebabkan perdarahan atau perforasi).
2. Plasenta Inkarserata
Menurut Rohani dkk. (2011), penatalaksanaan penanganan retensio plasenta
berdasarkan patofisiologi plasenta antara lain:
a. Tentukan diagnosis kerja melalui anamnesis, gejala klinik, dan pemeriksaan.
b. Siapkan peralatan dan bahan yang dibutuhkan untuk menghilangkan konstriksi
serviks dan melahirkan plasenta.
c. Pilih fluothane atau eteruntuk kontriksi serviks yang kuat, tetapi siapkan infus
oksitosin 20 IU dalam 500 ml NS/RL dengan tetesan 40 permenit untuk
mengatisipasi gangguan kontraksi yang disebabkan bahan anastesi tersebut.
d. Bila prosedur anastesi tidak tersedia, tetapi serviks dapat dilalui oleh cunam ovum,
lakukan maneuver skrup untuk melahirkan plasenta. Untuk prosedur tersebut,
berikan analgetik (tramadol 100 mg IV dan pethidine 50 mg IV) dan sedatif
(diazepam 5 mg IV) pada tabung terpisah. Teknik dalam melakukan maneuver
skrup diantaranya :
1) Pasang spekulum sims sehingga ostium dan sebagian plasenta tampak dengan
jelas.
2) Jepit portio dengan klem ovum pada 12, 4, dan 8 kemudian lepaskan
spekulum.
3) Tarik ketiga klem ovum agar tali pusat dan plasenta terlihat jelas.
4) Tarik tali pusat kearah lateral sehingga menampakkan plasenta disisi
berlawanan agar dapat dijepit sebanyak mungkin. Minta asisten memegang
klem tersebut.
5) Lakukan hal yang sama pada plasenta pada sisi yang berlawanan.
6) Satukan kedua klem tersebut sambil diputar searah jarum jam, tarik plasenta
perlahan-lahan melalui pembukaan ostium.
e. Pengamatan dan perawatan lanjutan meliputi pemantauan tanda vital, kontraksi
uterus, tinggi fundus uteri, dan perdarahan pasca tindakan. Tambahan
pemantauan adalah pemantauan efek samping atau komplikasi dari bahan-bahan
sedativa, analgetik, atau anastesi umum (mual dan muntah, cegah aspirasi bahan
muntahan, halusinasi, pusing, mengantuk dan lain-lain).
3. Plasenta akreta
Plasenta akreta merupakan perlekatan plasenta yang abnormal, baik
seluruhnya maupun sebagian, pada dinding rahim yang ada dibawahnya villi plasenta
melekat memasuki dan menembus miometrium. Dalam keadaan normal, desidua
basalis terletak diantara miometrium dan plasenta. Lempeng pembelahan bagi
pemisahan plasenta berada dalam lapisan desidua basalis yang mirip spon, pada
plasenta akreta tidak ada desidua basalis sebagian atau seluruhya sehingga plasenta
melekat langsung pada miometrium. Villi tersebut bisa tetap superfisial pada otot
uterus atau dapat menembus lebih dalam. Keadaan ini bukan terjadi karena sifat
invasif trofoblas yang abnormal. Melainkan karena adanya defak pada desidua.Pada
daerah superfisial miometrium tumbuh sejumlah besar saluran vena dibawah plasenta.
Ruptur sinus-sinus ini yang terjadi ketika plasenta dikeluarkan secara paksa dan
menimbulkan perdarahan dalam jumlah yang banyak (Oxorn dan Forte, 2010).
Tanda penting untuk didiagnosis pada pemeriksaan luar adalah ikutan fundus
atau korpus apabila tali pusat ditarik. Pada pemeriksaan dalam sulit ditentukan tepi
plasenta karena implantasi yang dalam. Upaya yang dapat dilakukan pada fasilitas
pelayanan dasar adalah menentukan diagnosis, stabilisasi pasien, dan rujuk ke rumah
sakit rujukan karena kasus ini memerlukan tindakan operatif yaitu histerektomi
(Rohani dkk., 2010).
Menurut Oxorn dan Forte (2010), Indikasi dilakukan histerektomi antara lain :
a. Kehamilan selanjutnya tidak dikehendaki
b. Perdarahan tidak terkendalikan
c. Penanganan secara konservatif tidak berhasil
d. Suppurasi intra uteri
e. Plasenta previa akreta
f. Komplikasi

Menurut Manuaba (2010), plasenta harus dikeluarkan karena dapat menimbulkan


bahaya diantaranya:

a. Perdarahan
Bila retensio plasenta terdapat sedikit perlepasan hingga kontraksi terus memompa
darah tetapi bagian yang melekat membuat luka tidak menutup.
b. Infeksi
Benda mati yang tertinggal di dalam rahim meningkatkan pertumbuhan bakteri.
c. Dapat terjadi plasenta inkarserata
Dimana plasenta melekat terus sedangkan kontraksi pada ostium baik sehingga
plasenta tertahan dalam uterus.
d. Terjadi polip plasenta
Sebagai massa proliferatif yang mengalami infeksi sekunder dan nekrosis.
e. Terjadi degenerasi (keganasan) koriokarsinoma
Dengan masuknya mutagen, perlukaan yang semula fisiologik dapat berubah
menjadi patologik dan akhirnya menjadi karsinoma invasif. Sekali menjadi mikro
invasif atau invasif, proses keganasan akan berjalan terus. Sel ini tampak abnormal
tetapi tidak ganas. Para ilmuwan yakin bahwa beberapa perubahan abnormal pada
sel-sel ini merupakan langkah awal dari serangkaian perubahan yang berjalan
lambat, yang beberapa tahun kemudian bisa menyebabkan kanker. Karena itu
beberapa perubahan abnormal merupakan keadaan prekanker, yang bisa berubah
menjadi kanker.

II.3 Manajemen Asuhan Kebidanan

II.3.1 Pengertian

Manajemen kebidanan adalah bentuk pendekatan yang digunakan bidan dalam


memberikan alur pikir bidan, pemecahan masalah atau pengambilan keputusan klinis.
Asuhan yang dilakukan harus dicatat secara benar, sederhana, jelas, logis sehingga perlu
sesuatu metode pendokumentasian (Varney, 2008).
II.3.2 Langkah-langkah dalam manjemen kebidanan

Agar proses manajemen kebidanan pada ibu dapat dilaksanakan dengan baik maka
diperlukan langkah-langkah sistematis. Adapun langkah-langkah yang harus
dilaksanankan menurut Varney (2008), adalah sebagai berikut:

1. Langkah I : Pengkajian Data


Pengkajian adalah tahap awal yang dipakai dalam menerapkan asuhan
kebidanan pada pasien dan merupakan suatu proses pengumpulan data yang
sistematis dari berbagai sumber data untuk mengevaluasi dan mengidentifikasi status
kesehatan klien (Nursalam, 2009).
a. Data Subyektif
Data subyektif adalah data yang didapatkan dari pasien sebagai suatu pendapat
terhadap suatu situasi dan kejadian, informasi tersebut tidak dapat ditemukan oleh
tim kesehatan secara independen tetapi melalui suatu interaksi atau komunikasi
(Nursalam, 2009).
1) Biodata yang menyangkut identitas pasien (Ambarwati, 2008) yaitu :
a) Nama
Nama jelas dan lengkap bila perlu nama panggilan sehari-hari agar tidak
keliru dalam memberikan pelayanan.
b) Umur
Dicatat dalam tahun untuk mengetahui adanya resiko seperti kurang dari
20 tahun, alat-alat reproduksi belum matang, mental dan psikisnya belum
siap sedangkan umur lebih dari 35 tahun rentan sekali untuk terjadi
perdarahan masa nifas.
c) Agama
Untuk mengetahui pasien tersebut dalam membimbing atau mengarahkan
pasien dalam berdoa.
d) Suku Bangsa
Berpengaruh pada adat istiadat atau kebiasaan sehari-hari.
e) Pendidikan
Berpengaruh pada tindakan kebidanan dan mengetahui sejauh mana
tingkat intelektualnya, sehingga bidan dapat memberikan konseling
sesuai dengan pendidikannya.
f) Pekerjaan pasien
Gunanya untuk mengetahui dan mengukur tingkat sosial ekonominya,
karena ini mempengaruhi dalam gizi pasien tersebut.
g) Alamat
Ditanyakan karena mungkin memiliki nama yang sama dengan alamat
yang berbeda.
2) Keluhan utama
Keluhan yang terjadi pada ibu nifas dengan retensio plasenta adalah
mengalami perdarahan yang lebih banyak, pasien mengeluh lemah, limbung,
berkeringat dingin, menggigil (Saifuddin, 2010).
3) Riwayat menstruasi
Umur menarche, siklus, lamanya haid, banyaknya darah, haid teratur atau
tidak, sifat darah (cair atau ada bekuan, warnanya), adanya dismenorhoe
(Rohani dkk., 2011).
4) Riwayat perkawinan
Perlu dikaji tentang berapa kali menikah, status menikah syah atau tidak,
karena bila melahirkan tanpa status yang jelas akan berkaitan dengan
psikologinya, sehingga akan mempungaruhi proses nifas (Ambarwati, 2008).
5) Riwayat kehamilan, persalian dan nifas yang lalu (Manuaba, 2010)
a) Kehamilan salah satu penyebab perdarahan postpartum adalah
grandemultipara
b) Persalinan riwayat persalinan perlu dikaji karena faktor penyebab
perdarahan postpartum adalah persalinan yang dilakukan
dengan tindakan : Pertolongan kala uri sebelum waktunya, persalinan
oleh dukun, persalinan dengan tindakan, persalinan dengan narkosa.
c) Nifas, apakah terjadi perdarahan, infeksi dan bagaimana laktasinya.
d) Anak, jenis kelamin, berat badan waktu lahir, hidup atau meninggal,
kalau meninggal pada usia berapa, dan sebab meninggal. Jarak yang
terlalu pendek, kurang dari 2 tahun juga merupakan penyebab perdarahan
postpartum.
6) Riwayat kehamilan sekarang
Menurut Rohani dkk. (2011), data subyektif dari riwayat kehamilan antara
lain :
a) Haid pertama dan haid terakhir merupakan data dasar yang diperlukan
untuk menentukan usia kehamilan, apakah cukup bulan atau prematur.
b) Kapan bayi lahir (menurut taksiran ibu) merupakan data dasar untuk
menentukan usia kehamilan menurut taksiran atau perkiraan ibu.
c) Tafsiran persalinan.
d) Keluhan pada waktu trimester I, II, dan III.
e) Apakah ibu pernah memeriksakan kehamilannya dan dimana ibu
memeriksakan kehamilannya. Hal ini diperlukan untuk mengidentifikasi
masalah potensial yang dapat terjadi pada persalinan kali ini.
f) Imunisasi TT. Sudah pernah diimunisasi TT atau belum, berapa kali,
dimana, teratur atau tidak (Winkjosastro, 2008).
7) Riwayat keluarga berencana
Jenis kontrasepsi yang pernah dipakai, efek samping, alasan berhentinya
penggunaan alat kontrasepsi, dan lama penggunaan alat kontrasepsi (Rohani
dkk., 2011).
8) Riwayat penyakit
a) Riwayat penyakit sekarang
Untuk mendeteksi adanya komplikasi pada persalinan dan kehamilan,
dengan menanyakan apakah ibu mengalami sakit kepala hebat,
pandangan berkunang-kunang, atau nyeri epigastrium, sehingga dapat
mempersiapkan bila terjadi kegawatan dalam persalinan (Rohani dkk.,
2011).
b) Riwayat penyakit sistemik
Riwayat penyakit sistemik yang perlu ditanyakan adalah apakah ibu
mempunyai penyakit yang berbahaya seperti jantung, paru-paru,
pernapasan, atau perkemihan. Hal ini digunakan untuk mendeteksi
adanya komplikasi pada persalinan dan kehamilan, serta berpengaruh
terhadap pertumbuhan dan perkembangan janin (Rohani dkk.,
2011).
c) Riwayat penyakit keluarga dan keturunan kembar Untuk mengetahui
apakah dalam keluarga ada yang menderita penyakit menular, penyakit
keturunan ataupun keturunan kembar (Rohani dkk., 2011).
9) Pola kebiasaan sehari-hari :
a) Nutrisi
Menggambarkan tentang pola makanan dan minum, frekuensi
banyaknya, jenis makanan, makanan pantangan (Ambarwati, 2008).
b) Eliminasi
BAB harus ada dalam 3 hari postpartum dan BAK harus sudah dilakukan
spontan dalam 6 jam post partum (Wiknjosastro, 2008).
c) Pola istirahat
Istirahat cukup untuk mencegah kelelahan yang berlebihan, tidur siang
atau beristirahat selagi bayi tidur (Saifuddin, 2010).
10) Penggunaan obat-obatan dan rokok
Istirahat cukup untuk mencegah kelelahan yang berlebihan, tidur siang atau
beristirahat selagi bayi tidur (Saifuddin, 2010). Menurut Winkjosastro (2008),
harus dikaji apakah ibu perokok dan pemakai obat-obatan atau jamu-jamuan
selama hamil atau tidak. Jamu-jamuandapat menyebabkan perlekatan
plasenta semakin kuat sehingga memicu tejadinya retensio plasenta.
11) Keadaan psikososial
Menurut Rohani dkk., (2011), untuk mengetahui tentang perasaan ibu
sekarang, apakah ibu takut, cemas atau bingung.
b. Data obyektif
Data obyektif adalah data yang dapat diobservasi dan diukur oleh tenaga
kesehatan (Nursalam, 2009).
1) Keadaan umum Keadaan umum ini meliputi : Baik, sedang, atau jelek. Pada
pasien retensio plasenta keadaan umumnya sedang (Manuaba, 2010).
2) Kesadaran
Kesadaran adalah kemampuan individu mengadakan hubungan dengan
lingkungannya, serta dengan dirinya sendiri melalui panca indranya dan
mengadakan pembatasan terhadap lingkungannya serta terhadap dirinya
sendiri melalui perhatian (Ambarwati, 2008). Menurut Ambarwati, (2008),
tingkatan menurunnya kesadaran dibedakan menjadi 6 diantaranya :
a) Composmentis, suatu bentuk kesadaran normal yang ditandai individu
sadar tentang diri dan lingkunganya sehingga ingat, perhatian dan
orientasinya mencakup ruang, waktu, dan dalam keadaan baik.
b) Amnesia, menurunnya kesadaran ditandai dengan hilangnya ingatan atau
lupa tentang suatu kejadian tertentu.
c) Apatis, menurunnya kesadaran ditandai dengan acuh tak acuh terhadap
stimulus yang masuk (mulai mengantuk).
d) Samnolensi, menurunnya kesadaran ditandai dengan mengantuk (rasa
malas dan ingin tidur).
e) Spoor, menurunnya kesadaran ditandai dengan hilangnya ingatan,
orientasi, dan pertimbangan.
f) Subkoma dan koma, menurunnya kesadaran ditandai dengan tidak ada
respon terhadap rangsangan yang keras.
b) Perdarahan postpartum yang hebat menyebabkan
c) kehilangan kesadaran sampai dengan kematian (Rohani dkk., 2011).
3) Pemeriksaan fisik
Untuk menilai kondisi kesehatan ibu dan bayi serta tingkat kenyamanan fisik
ibu bersalin serta mendeteksi dini adanya komplikasi, informasi dari hasil
pemeriksaan fisik dan anamnesa digunakan dalam menentukan diagnosa,
mengembangkan rencana, dan pemberian asuhan yang sesuai (Hidayat dan
Sujiyatini, 2010).
4) Tanda-tanda vital :
a) Tekanan darah
Pada pasien dengan perdarahan postpartum karena retensio plasenta
terjadi hipotensi (Saifuddin, 2010).
b) Suhu
Suhu badan wanita inpartu tidak melebihi 37,20C umumnya sesudah
partus dapat naik + 0,50C dari keadaan normal, pasien dengan retensio
plasenta suhu tubuh meningkat tidakmelebihi 380C, sedangkan suhu
normal adalah 36-370C (Marmi dkk., 2011).
c) Nadi
Pasien dengan retensio plasenta bisa terjadi bradikardi bila banyak
kehilangan darah (Saifuddin, 2010).
5) Tinggi badan
Untuk mengetahui tinggi badan ibu. Tinggi badan yang kurang dari 145 cm
tergolong resiko tinggi karena kemungkinan besar persalinan berlangsung
kurang lancar (Rohani dkk., 2011).
6) Berat badan
Pada perdarahan lanjut dapat menurunkan berat badan sampai cachexia
(Manuaba, 2010).
d) Lila, untuk mengetahui status gizi (Varney, 2008).
7) Inspeksi
Menurut Nursalam (2009), inspeksi adalah proses observasi secara sistematis
yang dilakukan dengan menggunakan indra penglihatan, pendengaran, dan
penciuman sebagai alat menggumpulkan data untuk menentukan ukuran
tubuh, bentuk tubuh, warna kulit, dan kesimetrisan posisi :
a) Kepala, untuk mengetahui kebersihan rambut, rontok atau tidak.
b) Muka, untuk mengetahui tampak pucat atau tidak. Pada pasien dengan
retensio plasenta, muka pasien terlihat pucat karena perdarahan yang
dialaminya.
c) Mata, untuk mengetahui conjungtiva pucat atau tidak. Sklera ikterik atau
tidak. Pada pasien dengan retensio plasenta, konjungtiva terlihat pucat
karena perdarahan yang dialaminya.
d) Mulut dan gigi, untuk mengetahui ada karies gigi atau tidak, lidah bersih
atau kotor, ada stomatitis atau tidak.
e) Kelenjar tyroid, untuk mengetahui ada pembesaran kelenjar tyroid atau
tidak.
f) Kelenjar getah bening, untuk mengetahui ada pembesaran kelenjar getah
bening atau tidak.
g) Dada, untuk mengetahui retraksi dada kanan-kiri saat bernafas sama atau
tidak.
h) Payudara, untuk mengetahui simetris atau tidak, areola berpigmentasi
atau tidak, puting susu menonjol atau tidak, kolostrum sudah keluar atau
belum.
i) Perut, untuk mengetahui ada bekas operasi atau tidak, ada strie atau tidak,
ada linea atau tidak.
j) Vulva, untuk mengetahui ada oedema atau tidak, ada varices atau tidak,
laserasi atau tidak, dan pada retensio plasenta untuk menilai pengeluaran
pervaginam ada perdarahan atau tidak, darah banyak atau tidak, ada
perubahan panjang tali pusat atau tidak.
k) Anus, untuk mengetahui ada haemoroid atau tidak.
l) Ekstremitas, untuk mengetahui ada oedema atau tidak, ada varices atau
tidak, hofmansign atau mengetahui tanda tromboflebitis.
8) Palpasi
Palpasi adalah teknik pemeriksaan yang menggunakan indra peraba
untuk mengumpulkan data tentang suhu, turgor, bentuk, kelembapan, variasi,
dan ukuran (Nursalam, 2009).
a) Leher, untuk mengetahui adanya pembengkakan pada kelenjar getah
bening atau tidak.
b) Dada, untuk mengetahui bentuk dan ukuran payudara, puting susu
menonjol atau tidak, adanya retraksi, masa dan pembesaran pembuluh
limfe (Marmi dkk., 2011).
c) Perut, untuk mengetahui ukuran, bentuk uterus, dan TFU.
Pada pasien retensio plasenta dengan uterus yang kenyal pada plasenta
inkreta parsial, uterus yang keras pada plasenta Inkarserata dan uterus
yang cukup pada plasenta akreta (Rohani dkk., 2011).
9) Auskultasi
Auskultasi merupakan teknik pemeriksaan dengan menggunakan stetoskop
untuk mendengarkan bunyi yang dihasilkan oleh tubuh meliputi auskultasi
jantung dan napas, apakah ada bunyi rales, ronchi, wheezing, dan
pleuralfrictionrub (Nursalam, 2009).
10) Perkusi
Pada kasus ibu bersalin dengan perdarahan karena retensio plasenta
dilakukan pemeriksaan perkusi dengan cara Strassman yaitu dengan
menegangkan tali pusat kemudian ketok pada fundus, untuk mengetahui
plasenta sudah lepas atau belum (Rohani dkk.,2011).
c. Data pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium dengan sampel darah diambil dan diperiksa untuk
mengetahui golongan darah kadar hemoglobin (Hb), dan pembekuan darah
(Saifuddin, 2010).
d. Data penunjang
USG untuk mengetahui apakah ada massa atau sisa plasenta di dalam uterus dan
dengan USG dapat diketahui jenis perlekatan plasenta (Wiknjosastro, 2008).
2. Langkah II : Interpretasi Data
Interpretasi data adalah langkah yang kedua bergerak dari data interpretasi menjadi
masalah atau diagnosa yang teridentifikasi secara spesifik. Interpretasi data ini
meliputi :
a. Diagnosa
Diagnosa kebidanan adalah diagnosa yang ditegakkan bidan dalam lingkup
praktek kebidanan dan memenuhi standar nomenklatur diagnosa kebidanan
(Varney, 2008).
b. Masalah
Masalah adalah hal-hal yang berkaitan dengan pengalaman klien yang ditemukan
dari hasil pengkajian atau yang menyertai diagnosa (Varney, 2008). Masalah
yang muncul pada ibu dengan perdarahan postpartum dalam kecemasan terhadap
keadaan yang dialami pasien berupa perdarahan (Saifuddin, 2010).
c. Kebutuhan
Kebutuhan adalah hal-hal yang dibutuhkan klien dan belum teridentifikasi dalam
diagnosa dan masalah didapatkan dengan analisa data (Varney, 2008). Kebutuhan
yang muncul pada ibu dengan perdarahan postpartum (Varney, 2008) adalah :
1) Informasi tentang keadaan ibu.
2) Informasi tentang tindakan yang akan dilakukan oleh bidan.
3) Dorongan moril dari keluarga dan tenaga kesehatan. d) Pemenuhan
kebutuhan cairan.
3. Langkah III : Diagnosa Potensial
Diagnosa potensial adalah suatu hal untuk antisipasi, pencegahan jika mungkin,
penantian dengan pengawasan penuh dan persiapan untuk kejadian apapun (Varney,
2008). Diagnosa potensial :
a. Potensi terjadinya infeksi puerpurieum : Pada tindakan manual plasenta
(Saifuddin, 2010).
b. Potensial terjadi syok haemorhagie : Karena adanya perdarahan postpartum.
c. Retensio sisa plasenta (Oxorn dan Forte, 2010)
d. Inversio uteri akibat penarikan tali pusat yang kuat pada plasenta akreta (Rohani
dkk., 2011).

4. Langkah IV : Antisipasi
Tindakan yang dilakukan berdasarkan data baru yang diperoleh secara terus-menerus
dan dievaluasi supaya bidan dapat melakukan tindakan segera dengan tujuan agar
dapat mengatisipasi masalah yang mungkin muncul sehubungan dengan keadaan
yang dialami ibu (Varney, 2008). Dalam kasus perdarahan postpartum karena
retensio plasenta, antisipasi yang dilakukan adalah pemeriksaan keadaan umum ibu,
tanda-tanda vital (tekanan darah, nadi, respirasi, dan suhu), kontraksi uterus, dan
perdarahan, kemudian dilakukan pemberian dalam 500cc NS/RL dengan tetesan 40
tetes permenit pemberian antibiotik profilaksis (ampicilin 2 gram IV/oral +
metronidazol 1 gram per oral) serta dilakukan manual plasenta (Rohani dkk.,2011).

5. Langkah V : Rencana Tindakan


Sebuah perluasan dari mengidentifikasi masalah dan diagnosa yang telah diantisipasi
(Varney, 2008). Pada langkah ini meliputi hal-hal yang diindikasikan oleh kondisi
pasien dan masalah lain yang berkaitan dan berdasarkan kerangka pedoman antisipasi
terhadap pasien, seperti apa yang akan dilakukan lebih lanjut, apakah kolaborasi atau
tidak dan disetujui oleh kedua belah pihak, baik dari pihak keluarga maupun petugas
kesehatan.
Pada langkah ini seorang bidan merumuskan rencana tindakan yang sebelumnya telah
didiskusikan dengan pasien dan kemudian membuat kesepakatan bersama sebelum
melaksanakannya. Semua keputusan berdasarkan pengetahuan dan prosedur yang
telah ditetapkan dengan pertimbangan. Apakah hal ini perlu dilakukan atau tidak.
6. Langkah VI : Pelaksanaan
Pelaksanaan adalah pelaksanaan semua asuhan menyeluruh seperti pada langkah
perencanaan (Varney, 2008). Langkah ini dapat dilakukan pada wanita yang
bersangkutan, bidan atau tim kesehatan lain.

7. Langkah VII : Evaluasi


Merupakan salah satu pemeriksaan dari rencana perawatan, apakah kebutuhan yang
terindentifikasi dalam masalah dan diagnose sudah terpenuhi atau belum. Didalam
evaluasi diharapkan mendapat hasil (Saifuddin, 2006) :
a. Keadaan umum ibu baik.
b. Tanda-tanda vital kembali normal.
c. Plasenta dapat dikeluarkan dengan lengkap.
d. Perdarahan dapat teratasi.
e. Syok haemorhagie tidak terjadi. 6) Kontraksi uterus kuat.
f. Ibu merasa nyaman.

Anda mungkin juga menyukai