Anda di halaman 1dari 9

AKHLAK BERNEGARA

MAKALAH INI DISUSUN SEBAGAI TUGAS KELOMPOK MATA KULIAH IBADAH DAN AKHLAK

DISUSUN OLEH :
1.    Asri Azizah        (15611017)
2.    Arief Hadi P      (15611125)
3.    Ardjun Wibowo (15611160)
4.    Runike Putri      (15611046)
5.    Anggraini K T   (15611080)

JURUSAN STATISTIKA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
YOGYAKARTA
2016

BAB I
PENDAHULUAN

Negara merupakan suatu wadah tempat berlindung para bangsa. Negara terdiri dari
masyarakat, wilayah dan pemerintah yang berdaulat. Didalam negara pula terdapat peraturan-
peraturan yang mengikat baik secara tertulis maupun secara lisan. Negara mempunyai tujuan
untuk mensejahterakan rakyatnya baik secara materiil maupun non materiil.
Terhadap negara yang mempunyai tujuan semacam ini, maka sebagai seorang muslim
memikul tanggung jawab pula untuk memelihara dan menjaga agar sebuah negara bisa
melindungi dan menjaga warganya seperti yang tertera pada QS.Al An’am ayat 165
bahwasannya manusia diciptakan untuk menjadi seorang khalifah dimuka bumi.
Dalam kaitannya dengan akhlaq seorang muslim terhadap negara, haruslah dilihat pada
posisi yang mana seorang muslim berada. Dalam masalah kenegaraan, setiap warga hanya
memiliki salah satu dari dua posisi, yakni menjadi pemimpin atau menjadi warga (rakyat).
Dengan memahami posisi tersebut, seharusnya setiap muslim bisa menentukan bagaimana dia
bersikap dan berakhlaq.
Namun akhir-akhir ini, masyarakat kurang memahami akhlak secara essensial, dalam arti
bahwa masyarakat hanya memahami akhlak sebagai sikap/perilaku saja bukan sebagai
implementasi dalam kehidupan sehari–hari. Pemimpin yang sejatinya merupakan wakil rakyat,
malah beberapa kali tertangkap tangan melakukan berbagai tindak kriminal seperti korupsi,
pelecehan seksual, penghinaan nama baik, dan lain sebagainya. Tidak jauh beda dengan
masyarakatnya yang sekarang ini lebih sering menghujat dan mengkritik pemimpinnya tanpa
dirinya melakukan suatu perubahan apa pun. Kedua hal ini dapat menghambat tercapainya dari
tujuan suatu negara, maka perlu ditegakkan akhlak-akhlak bernegara supaya kedua elemen yang
merupakan pembentuk negara ini dapat saling bersinergi dengan baik untuk kebaikan dan
kemajuan bangsa.
Selain akhlaq dari dalam diri manusianya, perlu ditanamkan pula sikap bermusyawarah
dan menegakkan keadilan serta menumbuhkan sikap amar ma’ruf nahi munkar.
Oleh sebab itu, pada makalah ini penulis akan memaparkan beberapa sikap akhlaq
bernegara yang baik bagi pemimpin dan warga negaranya serta sikap-sikap yang seharusnya
ditumbuhkan pada kehidupan berbangsa dan bernegara.

BAB II
PERMASALAHAN

1.      Rumusan masalah:
1.1.            Apakah pengertian dari Akhlaq?
1.2.            Bagaimana akhlaq yang baik bagi seorang pemimpin?
1.3.            Bagaimana akhlaq yang baik bagi warga negara?
1.4.            Apa yang dimaksud dengan sikap musyawarah dan menegakkan keadilan?
1.5.            Apa yang dimaksud dengan sikap amar ma’ruf nahi munkar?

2.      Tujuan dan manfaat
2.1.            Mengetahui pengertian dari Akhlaq
2.2.            Mengetahui akhlaq yang baik bagi seorang pemimpin
2.3.            Mengetahui akhlaq yang baik bagi warga Negara
2.4.            Mengetahui sikap musyawarah dan menegakkan keadilan
2.5.            Mengetahui sikap amar ma’ruf nahi munkar

BAB III
PEMBAHASAN
3.1.Akhlak
Akhlak secara terminologi berarti tingkah laku seseorang yang didorong oleh suatu keinginan secara
sadar untuk melakukan suatu perbuatan yang baik.
Akhlak merupakan bentuk jamak dari kata khuluk, berasal dari bahasa Arab yang berarti perangai,
tingkah laku, atau tabiat. Cara membedakan akhlak, moral dan etika yaitu, dalam etika untuk menentukan nilai
perbuatan manusia baik atau buruk menggunakan tolok ukur akal pikiran atau rasio, sedangkan dalam moral
dan susila menggunakan tolok ukur norma-norma yang tumbuh dan berkembang dan berlangsung dalam
masyarakat (adat istiadat), dan dalam akhlaq menggunakan ukuran Al-Qur’an dan Al Hadits untuk menentukan
baik-buruknya.
Tiga pakar di bidang akhlak yaitu Ibnu Miskawaih, Al Ghazali, dan Ahmad Amin menyatakan bahwa
akhlak adalah perangai yang melekat pada diri seseorang yang dapat memunculkan perbuatan baik tanpa
mempertimbangkan pikiran terlebih dahulu.
3.2.Akhlak Seorang Pemimpin
Suatu masyarakat dan bangsa akan disebut sebagai masyarakat dan bangsa yang maju manakala
memiliki peradaban yang tinggi dan akhlak yang mulia, meskipun dari segi ilmu pengetahuan dan teknologi
masih sangat sederhana. Sedangkan pada masyarakat dan bangsa yang meskipun kehidupannya dijalani
dengan teknologi yang modern dan canggih, tapi tidak memiliki peradaban atau akhlak yang mulia, maka
masyarakat dan bangsa itu disebut sebagai masyarakat dan bangsa yang terbelakang dan tidak menggapai
kemajuan.
Untuk bisa mewujudkan masyarakat dan bangsa yang berakhlak mulia dengan peradaban yang tinggi,
diperlukan pemimpin dengan akhlak yang mulia. Khalifah Abu Bakar Ash Siddiq ketika menyampaikan pidato
pertamanya sebagai khalifah mengemukakan hal-hal yang mencerminkan bagaimana seharusnya akhlak
seorang pemimpin. Dalam pidato itu beliau mengemukakan:
"Wahai sekalian manusia, kalian telah sepakat memilihku sebagai khalifah untuk memimpinmu. Aku ini
bukanlah yang terbaik diantara kamu, maka bila aku berlaku baik dalam melaksanakan tugasku, bantulah aku,
tetapi bila aku bertindak salah, betulkanlah. Berlaku jujur adalah amanah, berlaku bohong adalah khianat.
Siapa saja yang lemah diantaramu akan kuat bagiku sampai aku dapat mengembalikan hak-
haknya, insyaallah. Siapa saja yang kuat diantaramu akan lemah berhadapan denganku sampai aku
kembalikan hak orang lain yang dipegangnya, insyaallah.  Taatlah kepadaku selama aku taat kepada Allah dan
Rasul-Nya. Apabila aku tidak taat lagi kepada Allah dan Rasul-Nya, maka tidak ada kewajibanmu untuk taat
kepadaku".
Dari pidato Khalifah Abu Bakar di atas, kita bisa menangkap keharusan seorang pemimpin untuk memiliki
tujuh sifat sebagai bagian dari akhlak yang mulia.
1. Tawadhu.
Secara harfiyah tawadhu artinya rendah hati, lawannya adalah tinggi hati atau sombong. Dalam
pidatonya, Khalifah Abu Bakar tidak merasa sebagai orang yang paling baik, apalagi menganggap sebagai
satu-satunya orang yang baik. Sikap tawadhu bagi seorang pemimpin merupakan sesuatu yang sangat
penting. Hal ini karena seorang pemimpin membutuhkan nasihat, masukan, saran, bahkan kritik.  Kalau ia
memiliki sifat sombong, jangankan kritik, saran dan nasihatpun tidak mau diterimannya. Akibat selanjutnya
adalah ia akan memimpin dengan hawa nafsunya sendiri dan ini menjadi sangat berbahaya. Karena itu
kesombongan menjadi kendala utama bagi manusia untuk bisa masuk ke dalam surga.  Karena itu, Allah
SWT sangat murka kepada siapa saja berlaku sombong dalam hidupnya, apalagi para pemimpin. Sejarah
telah menunjukkan kepada kita bagaimana Fir’aun yang begitu berkuasa dimata rakyatnya, tapi berhasil
ditumbangkan dengan penuh kehinaan melalui dakwah yang dilakukan oleh Nabi Musa dan Harun as.
2. Menjalin Kerjasama.
Dalam pidato Khalifah Abu Bakar di atas, tercermin juga akhlak seorang pemimpin yang harus dimiliki
yakni siap, bahkan mengharapkan kerjasama dari semua pihak, beliau mengatakan: “maka bila aku berlaku
baik dalam melaksanakan tugasku, bantulah aku”. Ini berarti kerjasama yang harus dijalin antar pemimpin
dengan rakyat adalah kerjasama dalam kebaikan dan taqwa sebagaimana yang ditentukan Allah SWT dalam
firman-Nya: “Tolong menolonglah kamu dalam kebaikan dan taqwa dan jangan tolong menolong dalam dosa
dan permusuhan” (QS 5:2).
Seorang pemimpin tentu tidak mungkin bisa menjalankan tugasnya sendirian, sehebat apapun dirinya.
Karenanya Rasulullah SAW telah menunjukkan kepada kita bagaimana beliau menjalin kerjasama yang baik,
mulai dari membangun masjid di Madinah hingga peperangan melawan orang-orang kafir, bahkan dalam
suatu peperangan yang kemudian disebut dengan perang Khandak, Rasulullah menerima dan melaksanakan
pendapat Salman Al Farisi untuk mengatur strategi perang dengan cara menggali parit.
3. Mengharap Kritik dan Saran.
Seorang pemimpin, karena kedudukannya yang tinggi dan mulia dihadapan orang lain, iapun
mendapatkan penghormatan dari banyak orang, kemana pergi selalu mendapatkan pengawalan yang ketat
dan setiap ucapannya didengar orang sedangkan apapun yang dilakukannya mendapatkan liputan media
massa yang luas. Dari sinilah banyak pemimpin sampai mengkultuskan dirinya sehingga ia tidak suka dengan
kritik dan saran. Hal itu ternyata tidak berlaku bagi Khalifah Abu Bakar, maka sejak awal kepemimpinannya, ia
minta agar setiap orang mau memberikan kritik dan saran dengan membetulkan setiap kesalahan yang
dilakukan, Abu Bakar berpidato dengan kalimat: “Bila aku bertindak salah, betulkanlah”.
Sikap seperti ini dilanjutkan oleh Umar bin Khattab ketika menjadi Khalifah sehingga saat Umar
mengeluarkan kebijakan yang meskipun baik maksudnya tapi menyalahi ketentuan yang ada, maka Umar
mendapat kritik yang tajam dari seorang ibu yang sudah lanjut usia, ini membuat Umar harus mencabut
kembali kebijakan tersebut. Kebijakan itu adalah larangan memberikan mahar atau mas kawin dalam jumlah
yang banyak.
4. Berkata dan Berbuat Yang Benar.
Khalifah Abu Bakar juga sangat menekankan kejujuran atau kebenaran dalam berkata maupun
berbuat, bahkan hal ini merupakan amanah dari Allah SWT, hal ini karena manusia atau rakyat yang dipimpin
kadangkala bahkan seringkali tidak tahu atau tidak menyadari kalau mereka sedang ditipu dan dikhianati oleh
pemimpinnya. Dalam pidato saat pelantikannya sebagai khalifah, Abu Bakar menyatakan: “Berlaku jujur adalah
amanah, berlaku bohong adalah khianat”.
Manakala seorang pemimpin memiliki kejujuran, maka ia akan dapat memimpin dengan tenang,
karena kebohongan akan membuat pelakunya menjadi tidak tenang sebab ia takut bila kebohongan itu
diketahui oleh orang lain yang akan merusak citra dirinya. Disamping itu, kejujuran akan membuat seorang
pemimpin akan berusaha untuk terus mencerdaskan rakyatnya, sebab pemimpin yang tidak jujur tidak ingin
bila rakyatnya cerdas, karena kecerdasan membuat orang tidak bisa dibohongi.
5. Memenuhi Hak-Hak Rakyat.
Setiap pemimpin harus mampu memenuhi hak-hak rakyat yang dipimpinnya, bahkan bila hak-hak
mereka dirampas oleh orang lain, maka seorang pemimpin itu akan berusaha untuk mengembalikan
kepadanya. Karena itu bagi Khalifah Abu Bakar, tuntutan terhadap hak-hak rakyat akan selalu diusahakannya
meskipun mereka adalah orang-orang yang lemah sehingga seolah-olah mereka itu adalah orang yang kuat,
namun siapa saja yang memiliki kekuatan atau pengaruh yang besar bila mereka suka merampas hak orang
lain, maka mereka dipandang sebagai orang yang lemah dan pemimpin harus siap mengambil hak orang lain
dari kekuasaannya. Akhlak pemimpin seperti ini tercermin dalam pisato Khalifah Abu Bakar yang menyatakan:
“Siapa saja yang lemah diantaramu akan kuat bagiku sampai aku dapat mengembalikan hak-haknya,
insyaallah”.
Akhlak yang seharusnya ada pada pemimpin tidak hanya menjadi kalimat-kalimat yang indah dalam
pidato Khalifah Abu Bakar, tapi beliau buktikan hal itu dalam kebijakan-kebijakan yang ditempuhnya sebagai
seorang pemimpin. Satu diantara kebijakannya adalah memerangi orang-orang kaya yang tidak mau bayar
zakat, karena dari harta mereka terdapat hak-hak bagi orang yang miskin.
6. Memberantas Kezaliman.
Kezaliman merupakan sikap dan tindakan yang merugikan masyarakat dan meruntuhkan kekuatan
suatu bangsa dan negara. Karena itu, para pemimpin tidak boleh membiarkan kezaliman terus berlangsung. Ini
berarti, seorang pemimpin bukan hanya tidak boleh bertindak zalim kepada rakyatnya, tapi justru kezaliman
yang dilakukan oleh orang lain kepada rakyatnyapun menjadi tanggungjawabnya untuk diberantas. Karenanya
bagi Khalifah Abu Bakar, sekuat apapun atau sebesar apapun pengaruh pelaku kezaliman akan dianggap
sebagai kecil dan lemah, dalam pidato yang mencerminkan akhlak seorang pemimpin, beliau berkata: “Siapa
saja yang kuat diantaramu akan lemah berhadapan denganku sampai aku kembalikan hak orang lain yang
dipegangnya, insyaallah”.
7. Menunjukkan Ketaatan Kepada Allah.
Pemimpin yang sejati adalah pemimpin yang mengarahkan rakyatnya untuk mentaati Allah SWT dan
Rasul-Nya.Oleh karena itu, iapun harus menunjukkan ketaatan yang sesungguhnya. Namun bila seorang
pemimpin tidak menunjukkan ketaatannya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka rakyatpun tidak memiliki
kewajiban untuk taat kepadanya. Dalam kaitan inilah, Khalifah Abu Bakar menyatakan dalam pidatonya:
“Taatlah kepadaku selama aku taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Apabila aku tidak taat lagi kepada Allah dan
Rasul-Nya, maka tidak ada kewajibanmu untuk taat kepadaku”.
Dengan demikian, ketataan kepada pemimpin tidak bersifat mutlak sebagaimana mutlaknya ketaatan
kepada Allah dan Rasul-Nya, inilah diantara isyarat yang bisa kita tangkap dari firman Allah yang tidak
menyebutkan kata taat saat menyebut ketataan kepada pemimpin (ulil amri) dalam firman-Nya: “Hai orang-
orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya) dan ulil amri diantara kamu” (QS 4:59).
Dari uraian di atas dapat kita simpulkan betapa penting bagi kita untuk memiliki pemimpin dengan
akhlak yang mulia. Kerancuan dan kekacauan dengan berbagai krisis yang melanda negeri kita dan umat
manusia di dunia ini karena para pemimpin dalam tingkat nagara dan dunia tidak memiliki akhlak seorang
pemimpin yang ideal. Karenanya, saat kita memilih pemimpin dalam seluruh tingkatan di masyarakat jangan
sampai memilih mereka yang tidak berakhlak mulia.Wallohu a'lam.
3.3.Akhlak Sebagai Warga Negara
Di Indonesia berpartisipasi politik dijamin oleh Negara, tercantum dalam UUD 1945 pasal 28
yang berbunyi “kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan
sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”.
Dan diatur secara jelas dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 mengenai jaminan hak-hak sipil dan
politik, dimana poin-poin hak yang harus dilindungi oleh Negara mengenai hak berpendapat, hak berserikat,
hak memilih dan dipilih, hak sama dihadapan hukum dan pemerintahan, hak mendapatkan keadilan, dll.
Sedangkan, bentuk partisipasi masyarakat dalam pemilihan umum, adalah merupakan salah satu
implementasi nilai-nilai  demokrasi di Indonesia, yang mencerminkan nilai kebebasan, dimana  masyarakat
diberi kebebasan penuh untuk memilih, dan mendukung calon yang di inginkan.
Disisi yang lain, masyarakat Indonesia juga menunjukkan nilai kebebasan demokrasi dalam hal melakukan
protes terhadap pemerintah. Ini menunjukkan bahwa partisipasi masyarakat dalam politik di Indonesia
mengalami peningkatan.Tingginya partisipasi atau peran serta masyarakat, dianggap sebagai satu hal yang
positif.
Didalam konteks pemikiran ini, tingginya tingkat partisipasi masyarakat, ditunjukkan pada sikap warga
negara untuk mengikuti dan memahami masalah politik dan ingin melibatkan diri dalam kegiatan itu  (Budiarjo
1996:185). Sebagai bentuk pelaksanaan nilai demokrasi, partisipasi masyarakat dalam politik memiliki peran
penting. Karena demokrasi dapat diartikan sebagai pemerintahan atau kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat,
untuk rakyat. Disertai nilai-niai yang terkandung dalam demokrasi, yaitu kebebasan dan kesetaraan.
Selain mendapatkan hak-hak dalam berpendapat maupun demokrasi, sebagai warga negara
yang baik harus pula selalu melindungi negaranya seperti yang tertera pada surat At-Taubah ayat
41, yang artinya: “Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan maupun berat, dan
berjihadlah kamu dengan harta dan dirimu di jalan Allah.Yang demikian itu adalah lebih baik
bagimu, jika kamu Mengetahui”.
Dalam kehidupan bernegara, seorang warga negara tentunya harus juga mengikuti
pemimpinnya selama pemimpin itu masih mentaati perintah Allah seperti yang tertera pada surat
An-Nisa ayat 59, yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul
(nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu,
Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar
beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih
baik akibatnya (Q.S. An-Nisa :59).
Jika suatu negara telah salah dalam mengambil suatu kebijakan yang tidak pro rakyat, maka
sudah seharusnya sebagai warga negara ikut memberikan masukan dan kritik yang membangun.
Hal ini telah dijelaskan dalam surat Al-‘Asr ayat 1-3 yang artinya: (1) Demi
masa (2) Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian (3)Kecuali orang-orang yang
beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan
nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.
3.4.Musyawarah dan Menegakkan Keadilan
Musyawarah berasal dari kata Syawara yaitu berasal dari Bahasa Arab yang berarti berunding, urun
rembuk atau mengatakan dan mengajukan sesuatu. Istilah-istilah lain dalam tata Negara Indonesia dan
kehidupan modern tentang musyawarah dikenal dengan sebutan “syuro”, “rembug desa”, “kerapatan nagari”
bahkan “demokrasi”. Kewajiban musyawarah hanya untuk urusan keduniawian.
Keadilan adalah kata kunci yang menentukan selamat tidaknya manusia di muka
bumi. Tanpa keadilan manusia pasti hancur. Karena itu tugas utama pokok manusia adalah
menegakkan keadilan. Adil terhadap diri, keluarga dan masyarakatnya.
Allah SWT mengingatkan manusia agar tidak keluar dari prinsip keadilan. Sebab keluar dari
prinsip keadilan adalah kezhaliman. Sebaliknya istiqamah menegakkan keadilan adalah
taqwa. Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang
selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil, dan janganlah sekali-
kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku
adil lah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, Sesungguhnya
Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Al-Maidah:8)
Menegakkan keadilan adalah kewajiban setiap manusia. Keadilan adalah risalah universal
yang harus diperjuangkan oleh setiap manusia. Keadilan adalah satu-satunya jalan selamat
menuju kebahagiaan hidup dan kedamaian. Seorang yang paham akan makna keadilan pasti
beriman kepada Allah dan kekafiran identik dengan kezhaliman. Allah berfirman, ”Dan siapakah
yang lebih zhalim dari pada orang yang telah diperingatkan dengan ayat-ayat Tuhannya lalu dia
berpaling dari padanya dan melupakan apa yang telah dikerjakan oleh kedua tangannya?
Sesungguhnya kami telah meletakkan tutupan di atas hati mereka, (sehingga mereka tidak)
memahaminya, dan (Kami letakkan pula) sumbatan di telinga mereka; dan kendatipun kamu
menyeru mereka kepada petunjuk, niscaya mereka tidak akan mendapat petunjuk selama-
lamanya.” (Al-Kahfi:57).
Keadilan akan tegak dengan kerja nyata dan harus ada sinergi yang kompak antar hamba
Allah yang bertekad menegakkan ajaran-Nya. Sinergi kolosal ini pasti membutuhkan
pengorbanan. Sejarah mencatat bahwa tidak sedikit jiwa-jiwa suci para sahabat yang berguguran
di medan pertempuran, melawan tirani dan kezhaliman. Allah berfirman dalam Surat At-Taubah:
111 ”Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan
memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh
atau terbunuh. (itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al-
Quran. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah
dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar. ”Akan terasa
mendalam, bila kita renungkan bahwa setiap perjuangan menegakkan keadilan pasti butuh
pengorbanan. Bahwa untuk mencapai surga tidak mungkin dengan hanya mengkhayal,
melainkan harus bergerak dengan penuh pengorbanan, baik harta maupun jiwa.

3.5.Amar Ma’ruf Nahi Munkar


Amar ma'ruf nahi munkar (al`amru bil-ma'ruf wannahyu'anil-mun'kar) adalah sebuah frasa
dalam Bahasa Arabyang maksudnya sebuah perintah untuk mengajak atau menganjurkan hal-
hal yang baik dan mencegah hal-hal yang buruk bagi masyarakat. Frasa ini dalam syariat
Islam hukumnya adalah wajib.
Dalil amar ma'ruf nahi munkar adalah pada surah Luqman, yang berbunyi sebagai berikut:

“ Hai anakku, dirikanlah salat dan suruhlah manusia mengerjakan yang baik dan
cegahlah mereka dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang
menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan
(oleh Allah)”. (Luqman 17) ”
Jika kita tidak mau melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar, maka Allah akan menyiksa
kita dengan pemimpin yang zhalim dan menindas kita dan tidak mengabulkan segala doa kita:
Hendaklah kamu beramar ma’ruf (menyuruh berbuat baik) dan bernahi mungkar
(melarang berbuat jahat). Kalau tidak, maka Allah akan menguasakan atasmu orang-orang yang
paling jahat di antara kamu, kemudian orang-orang yang baik-baik di antara kamu berdo’a dan
tidak dikabulkan (do’a mereka). (HR. Abu Dzar).
Amar ma'ruf nahi munkar dilakukan sesuai kemampuan, yaitu dengan tangan
(kekuasaan) jika dia adalah penguasa/punya jabatan, dengan lisan atau minimal membencinya
dalam hati atas kemungkaran yang ada, dikatakan bahwa ini adalah selemah-lemahnya iman
seorang mukmin.
Bekal-bekal amar ma’ruf nahi munkar dibagi menjadi 3, yaitu :
         Pertama: Bekal Ilmu di Awal
‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz mengatakan,
‫َم ْن َعبَ َد هللاَ بِ َغي ِْر ِع ْل ٍم َكانَ َما يُ ْف ِس ُد أَ ْكثَ َر ِم َّما يُصْ لُ ُح‬
“Barangsiapa yang beribadah pada Allah tanpa ilmu, maka ia akan membuat banyak kerusakan
dibanding mendatangkan banyak kebaikan.”
Begitu pula  Mu’adz bin Jabal pernah mengatakan,
ُ‫الع ْل ُم إِ َما ُم ال َع َم ِل َوال َع َم ُل تَابِ ُعه‬
ِ
”Ilmu adalah pemimpin amalan.  Sedangkan amalan itu berada di belakang ilmu.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Ini memang benar. Yang namanya maksud dan
amalan tanpa disertai ilmu, maka hanya mengakibatkan kebodohan, kesesatan dan sekedar
mengikuti hawa nafsu sebagaimana telah dijelaskan. Inilah beda antara orang Jahiliyah dan
seorang muslim. Seorang muslim haruslah membekali dirinya dengan ilmu dalam beramar
ma’ruf nahi mungkar dan harus bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk.
Seseorang juga harus mengetahui bagaimana kondisi orang yang akan diajak pada kebaikan dan
dilarang dari kemungkaran. Di antara bentuk mendatangkan kebaikan adalah melakukan amar
ma’ruf nahi mungkar sesuatu tuntutan yang diajarkan  dalam Islam (jalan yang lurus). Jika
seseorang membekali dirinya dengan ilmu, maka itu akan membuat lebih cepat mengantarkan
pada tujuan.
         Kedua: Lemah Lembut di Tengah-Tengah Amar Ma’ruf Nahi Mungkar
Dalam amar ma’ruf nahi mungkar hendaklah ada sikap lemah lembut. Sebagaimana sabda
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
ُ‫ع ِم ْن َش ْى ٍء إِالَّ َشانَه‬
ُ ‫ق الَ يَ ُكونُ فِى َش ْى ٍء إِالَّ َزانَهُ َوالَ يُ ْن َز‬ َ ‫إِ َّن الرِّ ْف‬
“Sesungguhnya jika lemah lembut itu ada dalam sesuatu, maka ia akan senantiasa
menghiasanya. Jika kelembutan itu hilang, maka pastilah hanya akan mendatangkan kejelekan.”
Begitu pula beliau bersabda,
ِ ‫ق َما الَ يُ ْع ِطى َعلَى ْال ُع ْن‬
‫ف‬ ِ ‫ق َويُ ْع ِطى َعلَى الرِّ ْف‬ َ ‫ق يُ ِحبُّ ال ِّر ْف‬ ٌ ‫إِ َّن هَّللا َ َرفِي‬
“Sesungguhnya Allah itu Maha Lembut. Dia menyukai kelembutan dan Dia akan memberi
kepada kelembutan yang tidak diberikan jika seseorang bersikap kasar.
         Ketiga: Bersabar di Akhir
Setelah melakukan amar ma’ruf nahi mungkar, haruslah ada sikap sabar terhadap setiap
gangguan.Syaikhul Islam mengatakan, “Setiap orang yang ingin melakukan amar ma’ruf nahi
mungkar pastilah mendapat rintangan. Oleh karena itu, jika seseorang tidak bersabar, maka
hanya akan membawa dampak kerusakan daripada mendatangkan kebaikan”.
Luqman pernah mengatakan pada anaknya,
ِ ‫ك ِم ْن ع َْز ِم األ ُم‬
‫ور‬ َ ِ‫صابَكَ إِ َّن َذل‬ َ َ‫ُوف َوا ْنهَ َع ِن ْال ُم ْن َك ِر َواصْ بِرْ َعلَى َما أ‬ ِ ‫َو ْأ ُمرْ بِ ْال َم ْعر‬
“Dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang
mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu
termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah)”. (QS. Luqman: 17)
Oleh karena itu, Allah memerintahkan kepada para Rasul dan mereka adalah imam
(pemimpin) dalam amar ma’ruf nahi mungkar untuk bersabar, sebagaimana hal ini Allah
perintahkan pada penutup Rasul (yakni MuhammadSAW). Bahkan perintah ini Allah sandingkan
dengan penyampaian kerasulan. Hal ini dapat kita lihat dalam surat Al Mudatsir (surat yang
merupakan tanda Muhammad menjadi Rasul), yang turun setelah surat Iqro’ (surat yang
merupakan tanda Muhammad diangkat sebagai Nabi).
َ ِّ‫ َولِ َرب‬,ُ‫ َوالرُّ جْ َز فَا ْهجُرْ َوال تَ ْمنُ ْن تَ ْستَ ْكثِر‬, ْ‫ك فَطَهِّر‬
ْ‫ك فَاصْ بِر‬ َ َّ‫ َو َرب‬, ْ‫ قُ ْم فَأ َ ْن ِذر‬,ُ‫يَا أَيُّهَا ْال ُم َّدثِّر‬
َ َ‫ َوثِيَاب‬, ْ‫ك فَ َكبِّر‬
“Hai orang yang berkemul (berselimut), bangunlah, lalu berilah peringatan! dan Rabbmu
agungkanlah, dan pakaianmu bersihkanlah, dan perbuatan dosa (menyembah berhala)
tinggalkanlah, dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang
lebih banyak. Dan untuk (memenuhi perintah) Rabbmu, bersabarlah.” (QS. Al Mudatsir: 1-7)
Allah membuka surat yang merupakan pertanda beliau diangkat menjadi Rasul dengan
perintah memberikan peringatan (indzar). Di akhirnya, Allah tutup dengan perintah untuk
bersabar.Yang namanya memberi peringatan (indzar) adalah melakukan amar ma’ruf dan nahi
mungkar. Maka ini menunjukkan bahwa sesudah seseorang melakukan amar ma’ruf nahi
mungkar, hendaklah ia bersabar.

BAB IV
KESIMPULAN
            Dalam menumbuhkan akhlaq bernegara yang baik, perlu memperhatikan beberapa hal.
Hal pertama adalah akhlaq seorang pemimpin. Seorang pemimpin yang baik dan amanah harus
memiliki jiwa yang tawadlu, menjalin kerjasama yang baik dengan kawan maupun lawan, jujur,
selalu terbuka dengan kritik dan saran, memenuhi hak-hak pengikutnya, memberantas
kezaliman, dan tentunya selalu taat kepada Allah SWT.
            Selain itu sebagai seorang warga negara, perlu pula ditumbuhkan sikap menghormati
pemimpinnya, menumbuhkan sikap kritis yang membangun pada negaranya, serta harus selalu
siap melindngi negaranya meskipun dengan taruhan nyawa. Hal inilah yang akan menumbuhkan
akhlaq bernegara yang baik bagi seorang warga negara.
            Dalam kehidupan bernegara, harus selalu dijalankan musyawarah dalam setiap
pengambilan keputusan. Agar nantinya keputusan yang diambil tidak saling merugikan satu
sama lain dan negara tersebut bisa mewujudkan cita-citanya untuk mensejahterakan warga
negaranya. Selain itu keadilan harus selalu ditegakkan, jangan sampai suatu aturan atau hukum
yang berlaku disuatu negara membeda-bedakan antar golongan. Suatu negara juga harus
menumbuhkan sikap amar ma’ruf nahi munkar agar selalu dalam lindungan Allah SWT dan
negara tersebut bisa mendapat rahmat-Nya.

Daftar Pustaka
Sidik Tono, M. S. (2002). Ibadah & Akhlak dalam Islam. Yogyakarta: UII Press.
Mubarok, Z. (2014). Akidah Islam. Yogyakarta: UII Press.
https://id-id.facebook.com/lebihdarisahabat/posts/10151858858976491
https://www.facebook.com/notes/hargo-widyanto/peran-serta-warga-negara-dalam-
sistem-politik-coretan-ringan/681717051865901/
https://id.wikipedia.org/wiki/Musyawarah
http://www.dakwatuna.com/2007/08/06/219/menegakkan-keadilan/#axzz4AtnXEjVn
https://rumaysho.com/682-3-bekal-amar-maruf-nahi-mungkar.html
https://id.wikipedia.org/wiki/Amar_ma'ruf_nahi_munkar

Anda mungkin juga menyukai