Penulis
ii
DAFTAR ISI
Halaman
Kata Pengantar................................................................................................ii
Daftar Isi........................................................................................................iii
Pendahuluan....................................................................................................1
Faktor-Faktor yang mempegaruhi data analitis..................................2
Ketelitian, Ketepatan dan Kesalahan dalam analisis..........................3
Gravimetri.......................................................................................................6
Volumetri......................................................................................................10
Pembuatan larutan standar dan standarisasi.....................................12
Cara-cara menyatakan konsentrasi...................................................13
Dasar perhitungan dalam analisis volumetri.....................................14
Penggolongan analisis volumetri......................................................14
Asidimetri dan alkalimetri (titrasi penetralan)..............................................16
Indikator universal............................................................................18
Kurva titrasi......................................................................................19
Titrasi dengan indikator gabungan...................................................23
Analisis campuran Na2CO3 dan NaHCO3.................................................................... 24
Oksidimetri...................................................................................................26
Permanganometri..............................................................................27
Pengaruh lingkungan pada titrasi permanganometri........................30
Iodometri dan iodimetri....................................................................31
Cara menentukan titik ekivalen dalam proses iodometri dan
iodimetri............................................................................................31
Argentometri.................................................................................................33
Hubungan hasil kali kelarutan dengan kelarutan..............................33
Pengaruh ion senama........................................................................35
Indikator yang digunakan pada argentometri...................................37
Kompleksometri...........................................................................................41
Syarat-syarat terbentuknya komplek khelat......................................43
Gejala-gejala yang mengikuti pembentukan komplek khelat...........45
Indikator logam.................................................................................45
iii
Masking-Demasking.........................................................................47
Analisis Instrumental....................................................................................48
Alat-alat pengukuran serapan cahaya di daerah tampak dan di daerah
ultra lembayung................................................................................48
Komponen-komponen alat spektrofotometer...................................51
Hukum serapan dan analisis kuantitatif............................................52
Keuntungan-keuntungan spektrofotometer sinar tampak dan
spektrofotometer ultra violet untuk keperluan analisis kuantitatif...54
Hal-hal yang harus diperhatikan pada penyusunan prosedur analisis
kuantitatif secara spektrofotometri sinar tampak..............................54
Pustaka..........................................................................................................57
iv
I. PENDAHULUAN
Analisis kimia merupakan bagian dari ilmu kimia yang mempelajari cara
menentukan atau mengetahui komponen dari suatu zat,yang didasarkan pada
pemisahan-pemisahan dan analisis bahan. Tujuannya untuk melihat penyususun
bahan, jumlah maupun penentuan struktur. Analisis dibedakan antara analisis
kualitatif yang bertujuan indentifikasi dan analisis kuantitatif dimaksudkan untuk
menentukan banyaknya suatu zat tertentu ada didalam suatu contoh. Zat yang
ditentukan sering ditunjuk sebagai zat yang diinginkan atau analit.
Untuk melakukan analisis kuantitatif pada prinsipnya didahului dengan
analisis kualitatif, sebab tanpa pengetahuan tentang apa yang ada, tidak masuk
akal bila berusaha menentukan berapa yang ada.
Suatu analisis kimia sebenarnya terdiri dari empat langkah utama, yaitu (1)
Sampling, memilih suatu contoh yang menggambarkan materi yang akan
dianalisis, (2) Pengubahan analit ke dalam bentuk yang sesuai guna pengukuran,
(3) Pengukuran dan (4) Perhitungan dan penafsiran dari pengukuran.
Dalam analisis kimia banyak usaha telah dicurahkan untuk mengumpulkan
data dan karena kimia telah berkembang menjadi ilmu modern, kebanyakan dari
data telah menjadi kuantitatif, yaitu berasal dari pengukuran. Apakah suatu
pengukuran sains telah dilakukan, maka adalah perlu untuk memperhatikan
kenyataan bahwa suatu kesalahan telah dibuat dan adalah penting untuk
mengembangkan kemampuan untuk mengadakan penilaian terhadap data, untuk
belajar mengambil kesimpulan-kesimpulan yang terbukti dan membuang tafsiran
yang tak dapat dijamin, karena keterbatasan di dalam pengukuran.
Hasil suatu pengukuran yang dianggap benar biasanya dicapai dengan
berbagai cara dengan banyak keterbatasan dan jebakan yang cukup berbeda,
sehingga kecocokan diantaranya secara wajar tidak dapat dianggap disebabkan
oleh suatu kebetulan. Bahkan adalah baik untuk tetap menaruh syak tentang
standar, harga yang diterima tau yang diberi sertifikat, karena itu berasal dari
pengukuran-pengukuran eksperimental yang dilakukan oleh manusia walaupun
oleh tangan-tangan para ahli.
1
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI DATA ANALITIS
Bahan
Lingkungan
kimia yang
tercemar
dipakai
(air,udara,dll)
Penarikanlaboratorium
sampel
Persiapan sampel
Instrumen/alat ukur
Analis/peneliti
Kalibrasi
Standar data
kalibrasi
2
kesalahan yang dapat ditimbulkannya dan menyiapkan kegiatan analisisnya secara
sistematik dan tercatat.
3
Gambar 2. Ilustrasi target
Dalam menguji data dan keandalan suatu metoda analisis, dari gambar
diatas dapat dimisalkan sasaran panah adalah titik sentral atau target dan dalam
analisis dianggap sebagai harga yang benar. Apabila harga yang diperoleh dari
analisis yang berulang kali berfluktuasi besar dan jauh dari sasaran (target) seperti
terlihat pada gambar 2a, maka dikatakan metoda tersebut mempunyai kedapat
ulangan (presisi=ketelitian) dan ketepatan atau akurasi yang rendah. Metoda yang
demikian tak perlu dipakai atau harus diperbaiki. Setelah metoda tadi diperbaiki,
mungkin saja dapat dihasilkan data analisis yang tidak banyak berfruktuasi
(menggerombol), tetapi masih jauh dari sasaran (gambar 2b). Ini berarti metoda
tersebut mempunyai kedapat ulangan yang baik, tetapi ketepatan yang rendah.
Kemungkinan yang lain, dapat juga suatu metoda yang berfluktuasi besar, tetapi
harga rata-ratanya mendekati sasaran (gambar 2c). Dalam hal ini metoda yang
dipakai mempunyai kedapat ulangan yang rendah tetapi ketepatan tinggi. Yang
paling diharapkan adalah apabila metoda yang terus diperbaiki tersebut
mendapatkan hasil yang tidak banyak berfluktuasi dan harga rata-ratanya
mendekati sasaran (gambar 2d). Ini adalah metoda andal yang perlu diperoleh dari
seorang analis atau ahli analisis kimia.
Berdasarkan pada cara pengukuran akhir dari senyawa yang akan
ditentukan di dalam suatu analisis kimia, cara analisis kuantitatif dapat dibedakan
atas:
1. Cara-cara klasik (konvensional), didasarkan pada penggunaan reaksi-
reaksi kimia (cara stoikiometri) atau terjadi interaksi antara materi dengan
materi, seperti cara volumetri, gravimetri.
2. Cara-cara modern (instrumental), didasarkan pada pengukuran besaran
fisika untuk menentukan jumlah zat yang dicari (cara non stoikiometri)
4
atau terjadi interaksi antara energi dengan materi, seperti kolorimetri,
spektrofotometri.
5
II.GRAVIMETRI
6
Untuk mendapatkan hasil analisis yang baik, maka faktor-faktor
seperti kesempurnaan pengendapan, kemurnian endapan dan susunan
endapan hendaknya perlu diperhatikan.
(1) Kesempurnaan endapan
Bila semua NaCl dalam sampel sudah terendapkan secara
sempurna atau semua Cl- yang ada dalam larutan sampel sudah
mengendap sempurna membentuk AgCl (kelarutan endapan dibuat
sekecil mungkin), hal ini dapat dicapai dengan mengatur faktor-faktor
kelarutan zat,diantaranya
a) Sifat endapan (dapat dilihat dari Ksp nya), untuk mengendapkan
NaCl (Cl-) lebih baik diendapkan dengan AgNO3 sebagai AgCl dari
pada Pb(NO3)2, sebagai PbCl2, (AgCl kelarutan kecil dari PbCl2).
b) Pemberian ion pengendap yang berlebih, misalnya
Ag+ berlebih + Cl- → AgCl
Sehingga ion Cl- dapat mengendap secara sempurna.
c) Temperatur dibuat rendah, karena pada umumnya kelarutan
endapan besar pada temperatur tinggi.
d) Kepolaran larutan diubah (dikurangi),dengan menambahkan
misalnya alkohol maka endapan elektrolit sebagai suatu senyawa
polar juga berkurang kelarutannya.
(2) Kemurnian endapan
Merupakan endapan yang tidak mengandung molekul-molekul lain
(pengotor), maka diusahakan mendapatkan endapan semurni mungkin.
(3) Susunan endapan
Sebagai contoh, analisis senyawa besi, yang diendapkan sebagai
Fe(OH)3 nH2O. Karena nilai n tidak tentu maka berdasarkan berat
endapan tidak dapat dihitung berapa banyaknya Fe dalam sampel.
Untuk itu harus diusahakan susunan yang konstan dan tertentu, dalam
senyawa yang diatas dapat dipijarkan pada suhu tinggi (900-
1000˚C),sehingga;
2Fe(OH)3 nH2O → Fe2O3 + m H2O
7
Yang ditimbang adalah Fe2O3, dan dapat dihitung banyaknya Fe yang
ada dalam contoh.
PERHITUNGAN GRAVIMETRI
8
Perbandingan berat atom Cl terhadap berat molekular AgCl,35,45/143,32 adalah
faktor gravimetrik, yaitu berat Cl dalam 1 g AgCl. Faktor demikian sering
dituliskan sebagai Cl/AgCl, yaitu berat atom Cl ditunjukan oleh Cl dan AgCl
berarti berat molekul AgCl.
Selama melaksanakan analisis gravimetri, banyak kesalahan yang
mungkin timbul antara lain:
a) Cara tidak sesuai (kadar terlalu rendah)
b) Penyiapan contoh tidak tepat, tercemar, tidak mencerminkan keseluruhan
bahan, contoh berubah selama penyimpanan.
c) Penimbangan yang salah, pengeringan bahan atau wadah belum cukup
d) Kurang sempurna melarutkan komponen yang dicari.
e) Pemisahan, pengendapan, penyaringan, pencucian dan pemijaran kurang
sempurna.
f) Perhitungan yang tidak tepat.
Selain endapan yang dibentuk dari reaksi antara analit dengan pereaksi
yang biasa disebut gravimetri. Cara pengendapan lain melalui proses elektrolisis,
endapan terjadi pada katoda dan disebut cara elektrogravimetri.
9
III.VOLUMETRI
Analisis volumetri atau juga disebut analisis titrimetri merupakan satu dari bagian
utama dari kimia analisis dan bahwa perhitungannya yang tersangkut berdasarkan hubungan
stoikiometri sederhana dari persamaan reaksi kimia, seperti :
aA + tT ------------ hasil reaksi
dengan keterangan : a molekul analit A bereaksi dengan t molekul pereaksi. Pereaksi T
disebut titran, ditambahkan sedikit demi sedikit, biasanya dari sebuah buret, dalam bentuk
larutan dengan konsentrasi yang diketahui. Larutan yang disebut belakangan disebut larutan
standar, dan konsentrasi nya ditentukan dengan suatu proses, disebut standarisasi.
Penambahan titran dilanjutkan hingga sejumlah T yang kimia ekivalen dengan A telah
ditambahkan, maka dikatakan bahwa titik ekivalen telah tercapai. Untuk mengetahui bila
penambahan titran dihentikan , kimiawan dapat menggunakan sebuah zat kimia yang disebut
indikator, yang bertanggap terhadap adanya titran berlebih dengan perubahan warna.
Perubahan warna ini hendaknya terjadi pada titik ekivalen. Titik titrasi pada saat indikator
berubah warna disebut titik akhir. Tentunya merupakan suatu harapan titik akhir ada sedekat
mungkin ekivalen. Memilih indikator untuk membuat kedua berimpitan (atau mengadakan
koreksi untuk selisih antara keduanya) merupakan salah satu aspek penting dari analisis
volumetri.
Dalam suatu titrasi yang ideal,saat akhir titrasi akan bersamaan dengan saat akhir
teoritis atau stoikiometri, tetapi dalam prakteknya hal ini sulit dicapai, melainkan akan selalu
terdapat sedikit perbedaan,sehingga akan menyebabkan terjadinya suatu kesalahan, disebut
dengan kesalahan titrasi, yang merupakan selisih ml untuk titik ekivalen ml untuk titik akhir
dibagi dengan ml untuk titik ekivalen dikali 100%.
Agar kesalahan titrasi ini menjadi sekecil mungkin hingga akibatnya dapat diabaikan,
maka sangatlah penting untuk memilih dan menentukan jenis indikator yang paling sesuai,
karena tidak setiap titrasi dapat digunakan sembarang jenis indikator dan juga kondisi kerja
harus diatur sedemikian rupa.
Untuk menyatakan titik akhir titrasi diamati perubahan sifat larutan dekat titik
ekivalen,
10
(a). Perubahan warna larutan/indikator yang ditambahkan
(b). Terjadinya kekeruhan
(c). Perubahan potensial elektroda-elektroda yang dicelupkan dalam larutan (titrasi
potensiometri)
(d). Perubahan konduktivitas larutan (titrasi konduktometri)
(e). Perubahan arus listrik dalam larutan dalam larutan (titrasi amperometri).
Tidak semua reaksi dapat digunakan sebagai reaksi titrasi. Untuk itu reaksi harus
memenuhi syarat-syarat :
(1). Reaksi harus berlangsung cepat
(2). Reaksi haruslah tidak mempunyai reaksi samping, zat lain dalam larutan tidak boleh
mengganggu reaksi utama
(3). Salah satu sifat pada sistem harus mengalami perubahan yang sekonyong-konyong pada
perubahan sejumlah ekivalen dari zat pentitrasi.
(4). Harus ada indikator yang digunakan untuk menunjukkan perubahan diatas. Apabila
ternyata tidak ada indikator yang mampu, maka proses ini dapat di kerjakan dengan cara
(a) titrasi potensiometri, (b) titrasi konduktometri atau (c) titrasi amperometri.
Dibandingkan dengan cara analisis gravimetri, analisis secara volumetri lebih banyak
keuntungannya dan dapat mencapai ketelitian yang tinggi. Pada umumnya bila mungkin
maka lebih baik dan lebih sering orang memilih cara volumetri atau titrimetri daripada
gravimetri. Dan beberapa keuntungan lainnya adalah :
(a). Volumetri lebih sederhana dari gravitmetri, karena pekerjaan-pekerjaan seperti
membentuk endapan, penyaringan, pencucian, pemijaran, penimbangan hasil tidak perlu
dikerjakan. Karena itu pula maka titrasi lebih cepat danlebih mudah melakukannya.
Selain itu pada umumnya semakin sedikit tahap-tahap perlakuan yang diperlukan
semakin sedikit pula kemungkinan terjadi kesalahan.
(b). Kadang-kadang titrasi lebih mudah menghindari gangguan. Misalnya dalam penetapan
Ca dalam batuan, SiO2 merupakan gangguan karena ikut mengendap dengan endapan
Ca-oksalat yang terbentuk itu, maka dalam titrasi SiO 2 dapat dibuat tidak mengganggu
dan tidak memerlukan pemisahan yang sulit.
(c). Larutan standar untuk titrasi dapat dibuat bermacam konsentrasi yang disesuaikan dengan
jumlah analit yang dianalisis. Bila jumlah analit sedikit dapat digunakan larutan standar
yang encer dan sebaliknya.
11
(d). Alat-alat yang digunakan sangat sederhana, yaitu :
- alat-alat pengukur volume, seperti labu ukur, burat, pipat dan gelas ukur.
- alat-alat gelas yang lain, seperti gelas piala, gelas erlenmeyer, coronggelas,gelas arloji
dan gelas pengaduk.
(e). Bahan-bahan yang digunakan juga lebih sederhana, yaitu :
- zat-zat murni (kemurnian tinggi), untuk pembuatan larutan sekunder
- zat atau indikator untuk menentukan saat dimana reaksi sempurna telah tecapai.
(f). Pemisahan-pemisahan yang sukar dan biasanyamenjemukan dapat dihilangkan.
(g). Biasanya secara relatif lebih mudah dan lebih cepat dikerjakan.
Dalam pekerjaan volumetri, ada tiga hal penting yang sering menjadi problem yaitu
(1). bagaimana cara menentukan titik akhir yang tepat, (2) cara menghitung jumlah analit dan
(3) cara menentukan konsentrasi larutan standar dengan teliti. Dan cara-caranya berbeda
menurut macam titrasi yang dihadapi.
Sudah diutarakan bahwa dalam titrasi analit direaksikan dengan suatu pereaksi,
sehingga jumlah kedua zat tersebut sampai ekivalen. Bila pereaksi digunakan dalam bentuk
padat maka beratnya harus diketahui dengan tepat. Ini berarti bahwa zat tersebut harus sangat
murni, sebaliknya bila pereaksi dipergunakan dalam bentuk larutan, maka volume dan
konsentrasinya harus diketahui dengan tepat kedua-duanya. Volume yang tepat relatif mudah
diketahui (diukur dengan buret atau pipet). Untuk mengetahui konsentrasinya yang tepat
maka berat zat yang dilarutkan dan volume larutan yang terjadi juga harus diketahui dengan
tepat. Jadi tetap ada kebutuhan mengetahui berat yang tepat dari pereaksi tersebut. Dan
seperti disebutkan di atas zat tersebut harus mempunyai kemurnian yang sangat tinggi.
Suatu contoh dari zat yang tidak dapat dianggap cukup murni ialah NaOH. Dalam
pembuatannya mungkin NaOH mengalami perubahan, antara lain karena ia higroskopis, jadi
menarik uap air dari udara, selain itu juga mudah bereaksi dengan CO 2 dari udara. Kedua
proses ini menyebabkan NaOH tidak murni lagi dan bila ditimbang sejumlah tertentu sukar
untuk mengetahui berapa sebenarnya NaOH murni yang terkandung didalamnya, karena
jumlah H2O maupun CO2 yang ditarik oleh NaOH tidak dapat ditentukan (tidak tertentu),
dengan kata lain bila ditimbang 40 gram NaOH (= 1 gram mol), maka sesungguhnya isinya
kurang dari 1 gram mol, jika dilarutkan menjadi 1 liter larutan tepat maka konsentrasinya
12
tidak dapat dinyatakan 1,00 M tanpa mengetahui konsentrasi NaOH yang setepat-tepatnya,
maka titrasi dengan menggunakan NaOH itu juga tidak dapat dipakai untuk menghitung
dengan tepat jumlah analit dalam suatu contoh. Maka untuk itu perlu dilakukan standarisasi
terhadap larutan NaOH tersebut. Standarisasi dalam hal ini ialah suatu usaha untuk
menentukan konsentrasi calon larutan standar (larutan baku) yang tepat, sehingga dapat
dipergunakan untuk menentukan konsentrasi larutan contoh.
Untuk melakukan hal ini dapat dengan cara titrasi, asal tersedia suatu larutan yang
jelas konsentrasinya, atau bahan penstandarisasinya haruslah suatu bahan baku primer, yaitu
bahan yang konsentrasin larutannya dapat langsung ditentukan dari berat bahan yang
dilarutkan dan volume larutan yang terjadi. Larutan yang dibuat dari bahan baku primer
tersebut dinamakan larutan standar primer (larutan baku primer).
Karena titrasi merupakan jalan yang paling sederhana untuk standarisasi, maka
penting untuk diketahui sifat zat atau syarat-syarat yang diperlukan untuk bahan baku primer,
yaitu:
(a). Zat tersebut harus murni atau mudah dimurnikan dan mempunyai rumus molekul yang
pasti
(b). Harus mudah didapat
(c). Zat tersebut harus mudah dikeringkan, tidak menyerap air atau CO 2 dari udara dan mudah
ditimbang
(d). Zat tersebut hendaknya mempunyai beratekuivalen yang tinggi, sehingga kesalahan
waktu penimbangan sekecil mungkin
(e). Zat tersebut harus stabil
(f). Reaksi dengan larutan standar harus cepat berlangsung.
(g). Zat dapat larut segera dalam pelarut yang dipakai
Zat-zat berikut adalah beberapa contoh yang dapat digunakan sebagai larutan standar primer ;
natrium karbonat (Na2CO3), borak B(OH)3, asam benzoat C6H5COOH, oksalat H2C2O4,
kalium bikromat K2Cr2O7, kalium iodida KI dan lain sebagainya.
Sedangkan zat berikut termasuk sebagai larutan standar sekunder ; natrium hidroksida
NaOH, kalium hidroksida KOH, kalium permanganat KMnO4, kalium peroksida K2O2 dan
lain sebagainya.
13
(1). % volume, yaitu volume zat cair dalam hal yang terdapat didalam tiap 100 mllarutan.
Misalnya larutan H2SO4 5 % berarti 5 ml H2SO4 dalam 100 ml larutan.
(2). % berat-volume, yaitu berat zat terlarut dalam gram yang terdapat dalam tiap 100 ml
larutan.misalnya KCl 5 % berarti 5 g KCl dalam 100 ml larutan.
(3). Molar (M), yaitu banyaknya mol zat terlarut dalam tiap liter larutan. Misalnya KOH 2 M
berarti ada 2 mol KOH dalam satu liter larutan.
(4). Normal (N), yaitu banyaknya gram ekivalen zat terlarut dalam tiap liter larutan.berat
ekivalen suatu zat bukanlah besaran yang selalu tetap, demikian juga nilai N akan
berubah menurut reaksi yang terjadi didalamnya.
Pada saat tercapai titik ekivalen pada suatu titrasi sejumlah ekivalen dari zat-zat yang
bereaksi tepat sam atau ekivalen titrat telah sama dengan ekivalen titran
Grek A = grek B (grek = gram ekivalen)
Grek = volume x normalitas
Volume A x normalitas A = volume B x normalitas B
V1 x N1 = V2 x N2
Keadaan ekivalen ini dapat digunakan untuk menghitung konsentrasi salah satu
pereaksi (sampel) dari pereaksi lain (standar). Persamaandiatas juga dapat digunakan dalam
perhitungan pembuatan larutan melalui pengenceran larutan yang lebih pekat.
Contoh. Untuk menetralisasi 10 ml larutan NaOH dibutuhkan 15 ml 0,1 N HCl sampai titik
akhir (ekivalen dicapai) berapa normalitas larutan NaOH.
(V x N) HCl = (V x N) NaOH
15 x 0,1 = 10 x NNaOH --------- NNaOH = 0,15
Jadi konsentrasi NaOH = 0,15 N
Untuk mengetahui gram NaOH dalam satu liter larutan adalah 1 x 0,15 x 40 = 6 gram
(gram = V x N x BM)
Berdasarkan reaksi yang terjadi, maka cara-cara volumetri ini dapat dibagi atas :
A. Berdasarkan reaksi metatesis (kombinasi ion), yaitu tidak mengalami perubahan valensi
(bilangan oksidasi), dan ini dapat dipecah lagi menjadi :
14
(a). reaksi penetralan (asidimetri dan alkalimetri)
Dalam kelompok ini dimasukkan titrasi basa dengan larutan standar asam disebut dengan
asidimetri, dan titrasi asam dengan larutan standar basa dikenal dengan alkalimetri.
Dasar reaksi ini ialah penggabungan gugus ion hidrogen dan gugus ion hidroksil, untuk
membentuk gugus air.
H+ + OH- H2O
(b). Reaksi pengendapan (argentometri)
Berupa penggabungan ion-ion (diluar ion hidrogen dan hidroksil), untuk membentuk
endapan sederhana, misalnya ;
Ag+ + Cl- AgCl
(c). Reaksi pembentukan komplek (kompleksometri)
Berupa penggabungan ion-ion (diluar ion hidrogen dan ion hidroksil), untuk membentuk
ion atau senyawa yang sedikit terdisosiasi atau larut dalam air atau pembentukan
senyawa komplek, misalnya;
Ag+ + 2CN- Ag(CN)2-
Ag+ + Cl- AgCl
B. Berdasarkan reaksi-reaksi yang mengalami perpindahan elektron (redoks).
Dalam kelompok ini termasuk semua jenis reaksi yang melibatkan perubahan dalam
bilangan oksidasi atau melibatkan perpindahan elektron.
Dasar reaksi ialah : Oks + n e Red
Contoh reaksi:
MnO4- + 5Fe+2 + 8H+ Mn+2 + 5 Fe+3 + 4H2O
I2 + 2Na2S2O3 2NaI + Na2S4O6
Sebagai larutan standar dalam kelompok ini, harus bersifat oksidator atau reduktor.
Yang termasuk didalamnya antaranya: permanganometri dan iodometri atau iodimetri.
15
IV. ASIDIMETRI DAN ALKALIMETRI (TITRASI PENETRALAN)
16
tambahan senyawa (dengan konsentrasi rendah), yang mengalami perubahan
warna di daerah pH sekitar titik ekivalen. Senyawa ini disebut indikator asam basa
atau indikator netralisasi. Saat teramatinya perubahan warna dinamakan titik
akhir. Perubahan pH larutan yang menyebabkan terjadinya perubahan warna
indikator, disebut daerah (interval) pH yang biasanya terletak antara dua satuan
pH, sedangkan perubahan warna indikator dalam daerah pH tertentu disebut
daerah (interval) perubahan warna.
Tidak semua daerah perubahan warna indikator terletak pada daerah pH
yang sama, artinya tidak setiap indikator mempunyai daerah perubahan warna
pada daerah pH yang sama, maka untuk sebagian besar titrasi asam basa
(netralisasi) dapatlah dipilih satu indikator yang perubahan warnanya terletak pada
daerah pH sekitar pH titik ekivalen.
Bila kondisi pengerjaan sangat ideal, maka letak titik ekivalen tepat
berimpit dengan letak titik akhir. Dalam praktek keadaan seperti ini jarang terjadi,
dan selisish antara titik akhir dan titik ekivalen dinamakan kesalahan titrasi.
Untuk pengamatan titik akhir titrasi, indikator yang paling tepat digunakan
ialah indikator yang menunjukkan perubahan warna paling dekat dengan harga pH
dititik ekivalen titrasi yang sedang dilakukan, seperti dapat dilihat beberapa
indikator dalam tabel di bawah ini:
indikator Daerah pH Warna asam Warna basa
Brom fenol biru 3,0 – 4,6 Kuning Biru
Metil jingga 3,1 – 4,4 Merah Jingga
Bromo kresol hijau 3,8 – 5,4 Kuning Biru
Metil merah 4,2 – 6,3 Merah Kuning
Bromo kresol ungu 5,2 – 6,8 Kuning Ungu
Bromo fenol merah 5,2 – 6,8 Kuning Merah
Brom timol biru 6,0 – 7,6 Kuning Biru
Fenol merah 6,8 – 8,4 Kuning Merah
Fenolftalein 8,3 – 10,0 Tak berwarna Merah
Timol biru 8,0 – 9,6 kuning biru
Dan lain-lain
17
INDIKATOR UNIVERSAL
Indikator universal adalah indikator yang dapat mempunyai beberapa
trayek perubahan warna. Indikator ini dapat dibuat dengan jalan mencampur
beberapa jenis indikator yang perubahan warnanya sesuai. Meskipun sebenarnya
indikator ini tidak sesuai untuk titrasi kuantitatif, namun demikian dapat
dipergunakan untuk menentukan pH larutan yang sangat mendekati secara
kolorimetri.
Beberapa contoh dari pada indikator universal ialah seperti yang telah
dibuat oleh:
1. Bogen(1927), yaitu dengan mencampurkan:
0,1 gram fenolftalein + 0,2 gram metil merah + 0,3 gram metil kuning +
0,4 gram bromo timol biru dan +0,5 gram timol biru, kemudian campuran
dari bahan-bahan tersebut dilarutkan dalam 500ml alkohol absulut, dan
ditambah dengan larutan natrium hidroksida sampai lerutan berwarna
kuning. Indikator ini mempunyai perubahan warna pada harga-harga pH
sebagai berikut: pada pH =2 berwarna merah, pada pH =4 berwarna
orange, pada pH = 6 berwarna kuning, pada pH = 8 berwarna hijau dan
pada pH = 10 berwarna biru.
2. T.B. Smith (1929), yaitu melarutkan campuran antara: 0,05 gram metil
orange + 0,15 gram metil merah + 0,3 gram bromo timol biru dan 0,35
gram fenolftalein dalam 1 L larutan alkohol 66%. Adapun perubahan
warna indikator ini adalah sebagai berikut:
Pada pH = 3 berwarna merah, pada pH = 4 berwarna merah orange, pada
pH = 5 berwarna orange, pada pH = 6 berwarna kuning, pada pH = 7
berwarna hijau kekuning-kuningan, pada pH = 8 berwarna biru kehijau-
hijauan, pada pH =9 berwarna biru, pada pH =10 berwarna ungu dan pada
pH = 11 berwarna ungu kemerah-merahan.
KURVA TITRASI
Dalam proses titrasi asidimetri atau alkalimetri, perubahan besarnya
konsentrasi ion hidrogen (H+) atau perubahan pH adalah penting, terutama di
daerah sekitar titik ekivalen.
18
Bila suatu indikator pH kita pergunakan untuk menunjukkan titik akhir
titrasi, maka:
1. Indikator harus berubah warna tepat pada saat titik ekivalen tercapai.
2. Perubahan warna harus terjadi dengan mendadak, agar tidak ada keragu-
raguan tentang kapan titrasi harus dihentikan. (yaitu tetes terakhir
menyebabkan warna sama sekali lain), maka dikatakan bahwa titik
akhirnya tegas (sharp). Untuk memenuhi hal tersebut, maka:
- Trayek indikator harus mencakup pH larutan pada titik ekuivalen
atau sangat mendekati.
- Trayek indikator tersebut harus memotong bagian yang sangat
curam dari kurva.
19
Pada titik ekuivalen pH larutan berbeda-beda yang tergantung dari
macam titran dan titrat, dan sering juga tergantung dari konsentrasi titran dan
titrat.
(1) Larutan garam (dalam titrasi asam oleh basa atau sebaliknya)
a. Asam kuat dan basa kuat, larutan garamnya mempunyai pH = 7,
sehingga indicator agak leluasa memilihnya, baik yang bertrayek pH
dibawah 7 ataupu diatas 7 dapat dipakai.
b. Asam kuat dan basa lemah, larutan garamnya mempunyai pH kecil 7
karena garam tersebut mengalami hidrolisis sehingga terjadi kelebihan
ion H+.
1
[H+] = (√ Kw
Kb )
Cg atau pH = (14 – pKb + pCg)
2
Indicator yang cocok mempunyai trayek pH kecil 7 misalnya jingga
metal.
c. Asam lemah dan basa kuat, larutan garamnya mempunya pH besar 7,
karena garam tersebut terjadi dari asam lemah dan basa kuat dan
terhidrolisis, sehingga:
[OH−] = (√ Kw
Ka )
Cg atau
1
pOH = (14 – pKa + pCg)
2
indikator yang cocok mempunyai trayek pH besar 7 misalnya
fenolftalein.
(2) Larutan asam lemah dan garam (dalam titrasi garam asam lemah oleh
asam kuat), dengan sendirinya pH larutan rendah, indicator yang cocok
trayek pH < 7.
1
[H+] = √ Ka. Ca atau pH = (pKa + pCa)
2
(3) Larutan basa lemah dan garam (dalam titrasi garam dari basa lemah oleh
basa kuat), maka pH larutan tinggi, trayek pH indicator yang cocok diatas
7
1
[OH−] = √ Kb. Cb atau pOH = (pKb + pCb)
2
20
Dalam pembuatan kurva titrasi, besarnya pH larutan selama titrasi
berlangsung pada dasarnya dapat dihitung secara teori dan dapat dibedakan atas :
(1) Titik awal (sebelum titrasi), pH disini pH titrat.
(2) Pada setiap penambahan volume titrasi sampai sebelum, titik ekuivalen.
Larutan berisi sisa titrat dan hasil reaksi dan pH adalah pH campuram larutan
tersebut.
(3) Titik ekuivalen (pada saat titik ekuivalen tercapai).
(4) Setelah lewat titik ekuivalen. Larutan berisi hasil reaksi dan kelebihan titran,
pH adalah pH larutan campuran tersebut.
Sebagai contoh, pembuatan kurva titrasi antara 100 mL 0,1 N dengan NaOH 0,1
N.
(1) Awal. Penambahan NaOH = 0 mL HCl → H+ + Cl−
[H+] = 10−1 --------- pH = − log [H+]
= − log 10−1 = 1
(2) Sebelum titik ekuivalen
a. Penambahan 10 mL 0,1 N NaOH
90 9
[H+] = x 0,1=
110 110
9
pH = − log = 1,08
110
b. Penambahan 50 mL 0,1 N NaOH
50 1
[H+] = x 0,1=
150 30
1
pH = − log = 1,48
30
c. Penambahan 90 mL 0,1 N NaOH
10 1
[H+] = x 0,1=
190 190
pH = 2,28
d. Penambahan 99 mL 0,1 N NaOH
1 0,1
[H+] = x 0,1=
199 199
pH = 3,3
e. Penambahan 99,5 mL 0,1 N NaOH
21
0,5 0,05
[H+] = x 0,1=
199,5 199 , 5
pH = 3,6
(3). Pada saat titik ekuivalen, yaitu penambahan 100 ml NaOH 0,1 N, pada saat
ini terjadi netralisasi sempurna dan pH larutan = 7,
(4). Penambahan setiap kelebihan pereaksi NaOH
a. penambahan 101 ml NaOH 0,1 N
1
maka : [OH-] = x 0,1 = 4,9 . 10-4
201
pOH = - log [OH-]
pH = 14 – pOH
= 10,7
Untuk mendapatkan gambar grafik yang lebih baik, maka harus juga lebih
banyak harga-harga pH larutan yang dicari terutama harga-harga pH larutan di
sekitar titik ekivalen.
Dari gambar kurva di atas, tampak bahwa permulaan penambahan larutan
pereaksi NaOH, bertambah besarnya pH larutan sangat lambat, tetapi pada
penambahan pereaksi atau larutan NaOH disekitar titik ekivalen bertambah
besarnya harga pH larutan sangat cepat. Hal ini berarti untuk menitrir larutan HCl
22
dengan larutan NaOH atau sebaliknya kita dapat memilih indikator yang trayek
perubahan pHnya sekitar pH = 3 sampai dengan pH = 10, sebagai petunjuk saat
tercapainya titik ekivalen, kurva di atas antara asam kuat dengan basa kuat dengan
konsentrasi masing-masing larutan 0,1 N. Dengan memilih indikator yang sesuai,
perubahan warna dapat diamati dengan jelas, sehingga kesalahan titrasi dapat
sekecil mungkin.
Sebagai contoh untuk titrasi ini adalah titrasi Na2CO3 dengan suatu asam.
Reaksi berlangsung dalam 2 tingkat, pertama terbentuk Na-bikarbonat.
CO32- + H+ HCO3- (1)
HCO3- + H+ H2CO3 (2)
H2O CO2
23
Gambar 4. Titrasi Na2CO3 dengan asam kuat menggunakan indikator gabungan
Campuran Na2CO3 dan NaHCO3 jika dititrasi dengan HCl standar terjadi
reaksi :
(1) Na2CO3 + HCl -------- NaHCO3 + NaCl
(2) NaHCO3 + HCl -------- NaCl + H2O + CO2
NaHCO3 (asli) + HCl ---- NaCl + H2O + CO2
Ketentuan :
Reaksi (1) menggunakan indikator pp
HCl 0,1 N = V1. ml
Reaksi (2) menggunakan indikator metil orange
24
HCl 0,1 N = V2. ml
V2>V1
→ Na2CO3 = 2 V1 x 0,1 x ½ x 8M Na2CO3 mg
→ NaHCO3 = (V2 - V1) x 0,1 x 8M NaHCO3 mg
25
V. OKSIDIMETRI
Zat reduktor :
- Natrium tiosulfat Na2S2O3
- Arsen trioksida As2O3
- Natrium oksalat Na2C2O4
- Dan lain sebagainya.
26
Berdasarkan atas perbedaan jenis larutan standar, proses oksidiametri
dapat dibagi atas bagian-bagian :
- Permanganometri
- Iodimetri
- Iodametri
- Dan lain-lain.
PERMANGANOMETRI
Setiap reaksi reduksi oksidasi (redoks) antara ion-ion dalam larutan dapat
digunakan untuk analisa volumetri jika memenuhi syarat sebagai berikut:
1. Dalam keadaan tertentu harus hanya ada satu reaksi yang terjadi.
2. Pada titik ekivalen pereaksi tersebut haruslah berkesudahan.
3. Harus ada indikator yang dapat digunakan untuk petunjuk akhir titrasi.
Dalam permanganometri KMnO4, disamping sebagai larutan standar juga
sekaligus merupakan indikator (atau disebut dengan auto indikator), oleh karena
27
dalam larutan encer 1 tetes KMnO4 akan memberikan warna pink, sehingga 1
tetes kelebihan KMnO4 terhadap larutan yang dititar memberikan warna pink.
Analisa-analisa redoks dapat dibagi atas 3 bagian:
1. Larutan suatu zat yang mudah dioksidasi dapat dititrasi dengan oksidator kuat.
Oksidator kuat mempunyai daya penarik elektron besar, seperti: KMnO4,
K2Cr2O7.
Pada titrasi suatu larutan reduktor dengan oksidator kuat, haruslah tidak ada
reduktor lain dari pada reduktor tersebut, lagi pula semua reduktornya haruslah
pada tingkat oksidasi yang lebih rendah.
Misalnya: jika larutan mengandung Fe++, haruslah semua Fe yang ada dalam
larutan tersebut berada dalam tingkat oksidasi +2.
2. Jika cuplikan sampel merupakan oksidator kuat, larutan dapat dianalisa dengan
mentitrasinya dengan larutan reduktor.
Reduktor yang sering dipakai: larutan Fe++ (garam mohr).
3. Sering juga dipakai cara tidak langsung untuk menganalisis suatu oksidator.
Kepada cuplikan ditambahkan larutan kalium iodida (KI) berlebih, sehingga
dapat dihasilkan I2 (iodium) dan I2 yang terbentuk ini dititrasi dengan larutan
tiosulfat (Na2S2O3).
Oksidator + I- hasil + I2
I2 + Na2S2O3 jadi jumlah tio setara dengan oksidator.
28
Reduktor(indikator) harus lebih lemah dari
reduktor(sampel)
Agar oksidator dapat bereaksi dulu dengan reduktor (sampel) atau
reduktor dari sampel.
Titrasi permanganomatri dapat digunakan untuk penentuan-penetuan:
(a) Fe++ , Sn++, Hg2++, C2O4=, NO2, SO3=
dengan cara titrasi langsung.
29
1
1 grek = mol
3
1 mol = 3 grek
Dalam larutan sangat basa :
MnO4− + e → MnO4=
Eo = 0,56 volt
1 grek = 1 mol
1 mol = 1 grek
Kebanyakan titrasi dilakukan dalam suasana asam, tapi ada juga yang
dilakukan dalam suasana basa, misalnya pada penentuan alkohol dan akdehid.
Oleh karena daya oksidasinya besar, maka banyak sekali titrasi yang dpat
dilakukan dengan KMnO4.
KMnO4 yang merupakan oksidator kuat ini adalah merupakan standar
sekunder, maka untuk menstanoari KMnO4 dapat digunakan larutan standar
primer (zat-zat reduktor), seperti yang sudah disebutkan didepan.
- Apabila titrasi akan dilakukan dalam suasana asam maka HCl tidak dapat
dipakai, oleh karena ion Cl− dari HCl akan dioksidir oleh KMnO4 menjadi Cl2.
Cl− + MnO4− ¿ ¿ ¿ Cl2 + Mn++
- Begitu juga HF tidak dapat digunakan oleh karena HF akan merusak kaca.
- Namun demikian HCl dapt juga digunakan bila ditambahkan garam MnSO 4
untuk mencegah teroksidasinya Cl− oleh KMnO4.
30
IODOMETRI DAN IODIMETRI
Dalam analisis, secara volumetri, yang dimaksud dengan iodimetri adalah
titrasi langsung yang berdasarkan titrasi reduksi oksidasi dengan I2 sebagai
oksidator atau titrasi terhadap iodium (I2) bebas yang terdapat dalam larutan.
Dapat dikatakan juga bahwa sebagai larutan standar I 2 atau I2/KI atau sering juga
ditulis dengan I3- (tri iodida). Sedangkan iodometri adalah titrasi tidak langsung
yang berdasarkan reaksi reduksi oksidasi dengan larutan iodide sebagai reduktor,
kemudian I2 yang terbentuk dititrasi kembali dengan larutan standar natrium
tiosulfat (Na2S2O3).
Misalnya :
2 Cu+ + 4 I- berlebih ------------- 2 CuI + I2
I2 + 2 S2O3= ------------- S4O6= + 2 I-
Potensial reduksi normalnya dapat ditunjukkan dengan sistim reversibel
sebagai berikut :
I2 + 2 e 2 I-
dan besarnya = 0,54 volt
I2 hanya sedikit dapat larut dalam air, akan tetapi larutan iodium (tri
iodida) dapat dibuat dengan melarutkannya dalam larutan KI pekat.
I2 + KI (I-) I3- atau I2/KI
Untuk mengetahui normalitet atau konsentrasi larutan tri iodida (I 3-) yang
terbentuk dapat distandarisasi dengan menggunakan larutan standar primer,
seperti AS2O3.\
31
lebih baik untuk pengamatan titik akhir titrasi dalam iodo/iodimetri adalah
amilum, karena dengan iodium dalam larutan iodida, amilum akan bereaksi
menjadi kompleks iodide amilum yang berwarna biru meskipun konsentrasi I2 nya
sangat kecil.
Kanji atau pati (C6H10O5)n dapat dipisahkan menjadi dua penyusun utama
yaitu amilosa dan amilopektin. Amilosa dapat mengadsorpsi iod membentuk
warna biru, sedangkan amilopektin memberikan warna violet lemah. Warna biru
akan hilang bila dipanaskan pada 70˚ dan akan ditimbul kembali bila didinginkan.
Berdasarkan pada sifat amilum yang dapat mengadsorpsi iod, maka digunakan
sebagai indikator pada titrasi iodimetri dan iodometri.
Dalam pembuatan indikator amilum, 1 gram amilum diaduk lebih dulu
dengan 20 ml air, kemudian adukan ini ke dalam 80 ml air mendidih, biarkan
campuran mendidih lebih kurang 2 menit, didinginkan dan tambahkan sejumlah
tertentu HgI2 sebagai pengawet.
Pada titrasi iodimetri (metode langsung), indikator kanji dapat
ditambahkan kapan saja, sebab iodium baru ada setelah titik akhir tercapai.
Sedangkan pada titrasi dengan metode iodometri (tidak langsung), indikator kanji
jangan ditambahkan lebih dulu, tetapi kanji ditambahkan pada saat titik akhir
titrasi hampir tercapai, yaitu bila warna iodium hampir hilang. Jika kepada larutan
iodium yang agak pekat ditambahkan kanji akan terjadi warna kemerah-merahan
yang tidak mudah hilang pada titik akhir titrasinya.
Sumber kesalahan yang sering terjadi pada metode titrasi iodometri dan
iodimetri ini antara lain adalah :
- adanya penguapan I2 dan
- oksidasi iodida oleh udara/cahaya
4 I- + 4 H+ + O2 --------- 2 I2 + 2 H2O
dengan adanya sinar matahari reaksi ini akan dipercepat.
VI. ARGENTOMETRI
32
Titrasi pengendapan merupakan bagian dari metoda volumetri yang
didasarkan atas pembentukkan endapan yang sukar larut.
Titrasi yang meliputi reaksi-reaksi pengendapan tidak banyak
penggunaannya dalam analisa titrimetrik seperti yang meliputi reaksi-reaksi
redoks dan reaksi asam basa. Sesungguhnya titrasi pengendapan ini terbatas
sampai yang melibatkan pengendapan ion perak dengan anion seperti halogen dan
tiosianat. Salah satu alasan untuk penggunaan terbatas dari metoda ini adalah
tiadanya indikator yang sesuai untuk menentukan titik akhir titrasi.
Oleh karena pada cara-cara analisa ini melibatkan penggunaan larutan
AgNO3 sebagai larutan standar, maka dinamakan titrasi argentometri.
Agar lebih efektif, suatu titrasi pengendapan harus cepat terutama
menjelang titik akhir titrasi. Agar pengendapan dapat dipercepat sehingga titik
akhir mudah diketahui, dapat dilakukan antara lain dengan menambahkan pelarut
organik yang dapat bercampur, misalnya penambahan etanol ke dalam air,
pemanasan atau penambahan zat penitrasi berlebih kemudian dititrasi kembali.
Seperti halnya dengan metoda titrasi yang lain, reaksi pengendapan harus
stoikhiometris. Kesalahan pada titrasi pengendapan dapat disebabkan oleh adanya
ion asing yang kuat mengendap, perubahan pH atau suhu.
33
pp. qq
p+q S
maka: x = APBq
pp. qq
dimana : x = kelarutan garam APBq
p = banyaknya ion A+
q = banyaknya ion B-
contoh :
1. Tentukan kelarutan AgCl, bila diketahui hasil kali kelarutan = 10-10.
Jawab :
AgCl Ag+ + Cl-
2. Tentukan kelarutan garam Ce2(C2O4)3, bila diketahui hasil kali kelarutan garam
tersebut = 2,6 . 10-29
Jawab :
Ce2(C2O4)3 2Ce+3 + 3C2O4=
Andaikan kelarutan sero oksalat = x grol/l
Maka [Ce+3] = 2x
[C2O4=] = 3x
s Ce2(C2O4)3 = [Ce+3]2 [C2O4=]3
maka :
2,6 . 10-29 = (2x)2 . (3x)3
= 22 . 33 . (x)5
5
x = 2,6 . 10-29
22 . 33
34
x = 7,5 . 10-7
Contoh : Kelarutan BaSO4( s = 1.10-10) adalah 1.10-5M dalam air pada 250C.
Berapa kelarutan garam ini dalam Na2SO4 0,001 M.
Dengan adanya Na2SO40,001 M maka dalam larutan terjadi penambahan SO4=.
Andaikan kelarutan BaSO4dalam Na2SO4= x, maka :
SO4= =( x + 0,001 M )
Ba++ =x.M
BaSO4 Ba+++ SO4--
BaSO4 = [SO4=] [Ba++]
1.10-10=x ( x + 0,001 )
1.10-10= x2 + 0,001x
35
X = 10-7
Jadi kelarutan BaSO4 mula-mula 10-5 grol/l dalam larutan Na2SO4 0,001 M turun
menjadi 10-7 grol/l
Atau :
SBaSO 10−10
4 −7
++ ¿= = −3 =10 ¿
SO4 10
Ba
Perubahan konsentrasi ion Cl- selama titrasi 100 ml 0,1 N NaCl dengan
larutan 0,1 N AgNO3, (SAgCl = 10-10).
0,1 N AgNO3 Cl- pCl- pAg+
ditambahkan
0 10-1 1 0
90 10/190 x 10-1 2,3 7,7
98 2/198 x 10-1 3 7
99 1/199 x 10-1 3,3 6,7
99,8 0,2/199,8 x 10-1 4 6
99,9 0,1/199,9 x 10-1 4,3 5,7
100 10-5 5 5
100,1 5,7 4,3
36
setelah penambahan (lewat titik ekivalen), konsentrasi ion perak berlebih adalah :
¿
= 4,99 x 10-5
pAg = 4,3
karena : pCl + pAg = 10
pCl = 5,7
Dari data-data pada tabel di atas kurva titrasinya dapat di gambarkan
seperti pada gambar di sebelah ini :
8
7
6
pCl 5
4
3
2
1
0 20 40 60 80 100
ml 0,1 N AgNO3
Gambar 5. Titrasi 100 ml NaCl 0,1 N dengan AgNO3 0,1 N
37
Br - + Ag+ AgBr
Putih kuning
2AgCl + K2CrO4 Ag2CrO4 + 2 KCl
Merah
Selama titrasi berlangsung semua klorida harus mengendap sebagai AgCl secara
kuantitatif sebelum terbentuknya Ag2CrO4. Setelah kelebihan sedikit ion Ag+ baru
dapat dilihat warna merah dari Ag2CrO4.
Titrasi cara mohr ini titik ekivalen atau titik akhir titrasi ditunjukkan oleh
permulaan terbentuknya endapan merah dari Ag2CrO4.
Pada waktu AgCl dan Ag2CrO4 dalam keadaan seimbang maka :
S AgCl SAg CrO
[ Ag+]=
[ Cl ]-
=
√ CrO 4
2
¿
4
SAgCl = 1. 10−10 =¿
S +2
= [ Ag ] [ CrO4¿ ]
−12
Ag 2 CrO 4=1,2 .10
√CrO4 ¿
¿¿
¿ √ 1,2 . 10−12
10−10
1
¿
7 .10−5
Maka sekarang :
1
√ CrO 4 = 7.10−5 x ¿
1 1
= −5 x
10−5 =
7.10 7
1
[CrO4] = =0,02
49
Titrasi mohr titiak ekuivalen atau titik akhir titrasi ditunjukkan oleh permulaan
trbentuknya endapan merah dari Ag2CrO4.
38
2. Ph antara 7- 10,5
Dalam suasana asam titik akhir tidak dapat diamati, oleh karena Ag2CrO4 akan
larut, dengan perkataan lain Ag2Cr4 tidak akan mengendap.
Ag2CrO4 + H+ →H2CrO4 + 2Ag+
Karena H2CrO4 adalah asam lemah, akibatnya CrO4 dalam larutan akan menjadi
berkurang, sehingga menyebabkan besarnya tetapan hasil kali kelarutan dari
Ag2CrO2 tidak dapat terlampaui.
Sedangkan dalam suasana terlalu basa, akan terbentuk endapan hitam Ag 2O.
Menurut reaksi :
Ag+ + OH- AgOH
Ag2O H2O
Maka bila larutan yang akan dititer terlalu asam, netralkan dengan menambahkan
CaCO3 berlebih atau Na2CO3 berlebihan atau Na2CO3 dan bila terlalu alkalis
tambahkan CH3COOH.
39
Prinsip : Berdasarkan pada sifat berbagai zat warna. (seperti, fluoresin,
diklorfluorensein, eosin) yang oleh perak halogenida daapat diadsorbsi dan proses
ini menimbulkan perubahan warna yang spesifik.
Titrasi jenis ini menggunakna duankenyataan beriut :
a. Endapan mempunyai kecendrungan untuk mengadsorbsi ion-ion yang terdapat
dalam endapan. Dengan demikian partikel menjadi bermuatan listrik, positif
bila kation yang diadsorbsi dan negatif bila anion yang diserap.
b. Endapan mempunyai kecendrungan untuk mengadsorbsi ion-ion yang senama
dengan garam tersebut. Karena ini garam AgCi mempunyai kecenderungan
untuk mengadsorbsi pada permukaan ion-ion perak atau ion klorida. Karena
itu titrasi AgNO3 dengan larutan NaCl dalam keadaan netral dengan
terdapatnya zat warna fluoresein sebagai indikator dapat dilakukan.
VII. KOMPLEKSOMETRI
Kompleksometri merupakan suatu analisis volumetri yang berdasarkan
pada pembentukkan komplek atau ion komplek.
Contoh : M+n + :L M:L
(logam) (ligand) (ion Komplek)
Ag+ + 2 CN- Ag(CN)2-
40
Pada pembentukan komplek harus ada :
- Ion pusat, merupakan logam-logam
- Ligan, yang mengelilingi ion pusat.
Ion logam dapat menerima pasangan elektron dari donor elektron untuk
membentuk senyawa koordinasi (ion komplek).
Zat yang memberikan pasangan elektron disebut ion pusat, sedangkan zat
yang menerima pasangaan elektron dikenal dengan ligan.
Reaksi yang membentuk komplek dapat dianggap sebagai reaksi asam basa lewis
dengan ligan bekerja sebagai basa dengan memberikan sepasang elektron kepada
kation yang merupakan suatu asam.
Ligan dari senyawa komplek adalah kelompok yang terikat pada atom
pusat atau gugus yang mempunyai lebih dari satu pasangan elektron bebas.
Ligan dpat dibagi :
1. Ligan unidentad (mono) yaitu ligan yang hanya sanggup membentuk
satu ikatan koordinasi.
Contoh ligan monodentat adalah:
H 20, NH 3,CN,SCN −¿¿,F−¿¿,Cl−¿¿,Br−¿¿,I −¿¿,OH −¿¿,CO,NO, dan lain-
lain.
2. ligan polydentat.
Yaitu ligan yang sanggup membentuk lebih dari satu ikatann koordinasi.
Misalnya, CO 3,C 2 O4 ,O2, NH 2-CH 2-CH 2- NH 2
¿ ¿ ¿
(atilen diamin).
Ligan polydentat dapat membentuk lingkaran yang menyempit. Ion logam
yang dihasilkan disebut senyawa sipit (khelat).
Jadi yang dimaksud dengan khelat adalah ion logam yang dihasilkan oleh ligan
polydentat, yang dapat memberikan lebih dari 1 pasangan elektron,sehingga dapat
membentuk komplek.
41
Pada dasarnya kompleksometri adalah penentuan ion komplek oleh zat
yang dianalisa oleh zat pentiter.
Contoh ligan multidentat (polydentat)
Etilen diamin CH 2 CH 2
NH 2 NH 2
42
dengan ligan polydetat lebih stabil dibandingkan dengan komplek yang terjadi
antara ion logam dengan ligan monodentat.
Pada titrasi khalatometri akan terbentuk komplek dari reaksi ion logam dengan
ligan,dimana komplek yang terbentuk stabil dan reaksi berjalan cepat.
43
Golongan hidroksil enolis (-OH)
2.Golongan fungsionil yang bersifat netral ialah :
Amina primer, sekunder dan ttersier
Golongan imino (-C-NH)
Tioeten (R1-S-R2)
Thion (R1-CS-R2)
Keton (R1-CO-R2)
44
dapat mengetahui terbentuknya suatu persenyawaan komplek khelat. Dimana
gejal-gejala memang harus dipelajari, gejala-gejala tersebut adalah;
1. Sifat –sifat kimia ion logam kurang tampak (hilang)
2. Terjadinya perubahan kelarutan
3. Terjadinya perubahan pH larutan
4. perubahan spektrum absorpsi
5. perubahan konduktivitas listrik larutannya
6. perubahan sifat redoks
7. timbulnya isomer optis
Etilen diamin tetra asetat (EDTA) adalah reagen yang paling banyak
digunakan sebagai pengomplek dalam titrasi kompleksometris, mengingat :
1. Ekonomis, relatif lebih murah dari pada komplekson-komplekson yang
lainnya
2. Mudah didapat
3. EDTA dapat bereaksi dengan hampir setiap ion logam dari sistim periodik
4. Ligandanya membentuk senyawa kompleks ke helat yang heksadentat,
yang sesuai dengan bilangan koordinasi dari ion-ion logam pada umumnya
INDIKATOR LOGAM
Zat-zat yang dengan logam tertentu dapat mementuk suatu kompleks yang
warnanya berbeda dengan warna indikator (ionnya) dalam keadaan bebas. Pada
indikator pH kesetimangan bergeser ke kiri dengan penambahan basa (OH-),
sedangkan pada titrasi logam dengan indikator logam kesetimbangan begeser
kekiri dengan penambahan komplekson. Tergantung pada letak kesetimbangan
kita mempunyai warna yang berbeda-beda :
Mm+ + indi- Mindm+ + i-
(warna I) (warna II)
H+ + Ind- Hind.
45
Jadi warna indikator asam basa tergantung pada pH, sedangkan warna indikator
logam sampai batas-batas tertentu tergantung dari Pm (=-log CMm+).
Karena itu indikator logam disebut juga pM sensitive indicators atau metillo
chrone indocators. Harus diingat bahwa indikator logam pada umumnya adalah
indikator pH, sehingga kita yakin bahwa perubahan warna indikatornya betul-
betul disebabkan oleh pM larutan, karena itulah maka sistim larutannya harus
dibuffer.
Banyak zat baik organik maupun anorganik yang dapat memberikan reaksi-
reaksi warna dengan sesuatu atau berbagai kation logam, tetapi tidak semuanya
dapat dipergunakan sebagai indikator logam, karena itu pada garis besarnya ada
tiga syarat yang harus dipenuhi oleh indikator logam :
a. Kstab Mind < Kstab M komplekson
Stabilita dari komplek logam dengan indikator harus lebih kecil dari pada
stabilita komplek logam dengan komplekson, tetapi stabilita komplek
logam dengan indikator ini harus cukup besar, karena disosiasi dari
komplek ini mengurangi ketajaman perubahan warna pada titik akhir
titrasinya. Dengan demikian masih mungkin terjadi reaksi pengusiran
indikator oleh komplekson dari komplek logamnya.
b. Reaksi substitusi indikator dari komplek logam oleh komplekson harus
berlangsung cukup cepat, sehingga titik akhir titrasi tajam. Untuk
memperoleh maksud ini maka dipakai indikator logam yang sifatnya
mudah larut
c. Warna yang terjadi harus tajam, perubahan warna dalam keadaan terikat
dan bebas harus cukup jelas.
MASKING – DEMASKING
Sebaiknya dalam titrasi kompleksometri kation-kation yang akan
ditentukan tidak usah dipisahkan lebih dahulu. Misalnya : Ca++, Mg+2, Al+3, Zn++
Bila untuk menentukan Ca++, ke dalam campuran harus ditambahkan suatu
zat agar Al+3, Mg+2, Zn++ tidak ikut bereaksi dengan EDTA atau tidak mengganggu
dalam penentian Ca+2.
46
Zat yang ditambahkan tersebut disebut dengan masking agent.
Contoh – contoh masking.
Lebih dulu diatur pH larutan baru ditambahkan masking. Misalnya, Fe+3, Ca++.
Untuk menentukan Ca++, diatur pH larutan = 10, dimana pada pH tersebut Ca+2
dapat membentuk komplek dengan EDTA sedangkan Fe+3 tidak. Jadi dalam
penentuan Ca++, tidak perlu penambahan masking karena dengan pengaturan
pH dapat berfungsi sebagai masking.
Penambahan reagen.
Misalnya : Ca++, Al+3
Yang ingin ditentukan Ca++, maka ditambahkan tri etanol amin, dimana tri
etanol amin ini mereduksi Al+3 sehingga tidak bereaksi dengan EDTA, disebut
masking agent. Yang lain dalam penentuan Ca++ dalam campuran Ca++ dengan
Zn++, maka disini ditambahkan KCN yang dapat mengomplekan Zn ++ sehingga
dapat ditentukan Ca++.
Untuk mengembalikan zat dalam keadaan semula setelah penambahn masking
agent disebut demasking.
47
pada interaksi antara materi (analit) dengan berbagai bentuk energi, seperti energi
panas, energi sinar, energi kimia maupun energi listrik.
Dari berbagai macam energi yang dapat digunakan pada peralatan-
peralatan instrumen untuk tujuan diatas, maka analisa yang berdasarkan pada
pengukuran sifat fisika ini banyak macam pula kemungkinan metoda analisa yang
dapat dibahas.
Pengukuran banyaknya emisi cahaya maupun pengukuran banyaknya
serapan cahaya oleh suatu analit adalah salah satu penggunaan energi sinar pada
penentuan kadar analit tersebut dengan menggunakan peralatan instrumen.
48
a) Alat pembanding warna visuil
Alat pembanding warna visuil ini berdasarkan pada pengamatan dengan mata
(visual color comparators). Kalorimetri dengan menggunakan alat pembanding
warna visuil ini dapat dibedakan atas dua metoda yang dilakukan yaitu:
- Metoda tinggi larutan konstan (constant depth method) Karen panjang
jalan sianar (= tinggi larutan ) dalam tabung berisi larutan cuplikan dengan
tabung berisi larutan standar dibuat sama seperti menggunakan alat tabung
Nessler.
- Metode tinggi larutan berubah-ubah (variable depth method). Misalnya
alat silinder Hehner dan alat kalorimeter Duboscq.
b) Alat Fotometer filter (filter photometers)
49
- Fotometer filter menggunakan detector fotolistrik (photo electric detector)
sedangkan alat kolorimeter visuil menggunakan mata sebagai detektor.
Diamana mata mempunya kelemahan-kelemahan seperti:
Responnya terbatas pada sinar tampak
Responnya lambat
Cepat lelah
Responnya condong pada warna yang dominan
Tak dapat mengukur intensitas (P) hanya dapat membandingkan
warna.
c) Alat spektrofotometer
50
Spektrofotometer inframerah digunakan pemijar nernst (Nernst
Glower) dan untuk
Spektrofotometer sinar tampak tetap digunakan lampu kawat wolfram
sebagai sumber energi sinar.
- Alat pemilih pita panjang gelombang pada fotometer filter adalah filter,
sedangkan Spektrofotometer adalah alat monokromator yang lebih banyak
daya pisahnya dibandingkan dengan filter.
- Alat detector sinar pada fotometer filter adalah fotot sel, dan pada alat
Spektrofotometer adalah tabung foton hampa atau photomultiplier tube
atau tabung foton pelipat ganda, yang mempunyai kepekaan jauh lebih
besar dari foto sel.
- Bahan pembuat sel atau kuvet pada fotometer filter dapat digunakan kaca,
demikian juga dengan Spektrofotometer sinar tampak, karena kaca tidak
menyerap sinar tampak tersebut, sedangkan untuk Spektrofotometer
ultraviolet adalah kwarsa dan Kristal garam-garam halogenida seperti
NaCl tidak menyerap sinar inframerah, maka digunakan untuk bahan
pembuatan kuvet pada alat Spektrofotometer inframerah.
- Dalam penggunaan, fotometer filter hanya untuk analisa kuantitatif,
sedangkan spektrofotometer selain analisa kuantitatif juga dapat untuk
analisa identifikasi walaupun tidak begitu penting
51
Gambar 6. Bagan alat spektrofometer
Keterangan:
a. Sumber energi sinar (cahaya) yang stabil
b. Alat monokromator untuk menguraikan sinar dari sumber sinar tersebut
menjadi komponen-komponen panjang gelombangnya sekaligus memilih
panjang gelombang yang paling sesuai untuk tujuan analisa.
c. Sel atau kuvet yang terbuat dari bahan yang tembus cahaya (transparan)
untuk tempat larutan yang diperiksa.
d. Alat detektor sinar yang dilengkapi dengan sistem pembesaran sinyal
(amplifiar).
e. Sistem pembacaan yang berupa alat meter atau berupa rekorder.
Pada prinsipnya, kerja alat dari pektrofometer ini adalah sumber sinar
yang telah dihidupkan akan memancarkan sinar polikoromatis, sinar ini
dilewatkan ke monokromator, di monokromator sinar tersebut diseleksi untuk
pemilihan panjang gelombang yang sesuai untuk tujuan analisa atau sinar
dimonokromatiskan, setelah itu terus ke kuvet yang sebelumnya kuvet telah diisi
dengan larutan standar ataupun larutan cuplikan yang akan dianalisa, di sini akan
terjadi penyerapan sebagian sinar oleh analit, kemudian sinar yang tidak diserap
akan diteruskan dan dideteksi oleh detektor dan dicatat oleh rekorder.
52
E = energi
h = tetapan plank = 6,63 . 10-27 erg dtk
c = kesepatan cahaya = 3 . 10-10 cm dt-1
ʋ = angka gelombang
v = frekuensi
Hubungan antara konsentrasi dengan penyerapan cahaya di dalam metoda
spektrofotometri dapat dinyatakan dengan hukum Lambert-Beer, yang telah
diturunkan dari persamaan Beer yang memberikan hasil sebagai berikut:
log P0 / Pt = A = a.b.c atau
A = ε. b. c
Dimana:
A = absorban
a = absorbtivitas (bila c dalam g/l)
ε = koefisien akstingsi (bila c dalam mol/l)
b = tebal kuvet (panjang jalan sinar)
c = konsentrasi
P0 = intensitas mula-mula
Pt = intensitas yang diteruskan
Pada keadaan tertentu dan kondisi yang sama, nilai absorptivitas dan
panjang jalan sinar di dalam cuplikan adalah sama untuk setiap kali pengukuran
(a.b = konstan) sehingga A = a.b.c menjadi A = k.c dimana nilai k adalah suatu
konstanta.
Maka menurut hukum Lambart-Beer di atas, absorban dibanding dengan
konsentrasi pada panjang gelombang tertentu. Untuk menentukan konsentrasi
suatu unsur dalam cuplikan biasanya digunakan atau dibuat lebih dulu kurva
kalibrasi standar, yaitu kurva antara absorban (A) terhadap konsentrasi (C) atau
log T terhadap C.
53
KEUNTUNGAN-KEUNTUNGAN SPEKTROFOMETER SINAR TAMPAK
DAN SPEKTROFOMETER ULTRA VIOLET UNTUK KEPERLUAN
ANALISIS KUANTITATIF
54
menyerap dengan kuat dan dapat digunakan untuk analisa besi dalam
kadar kecil.
2. Pemilihan panjang gelombang.
Panjang gelombang yang digunakan untuk keperluan analisa kuantitatif
secara spektrofometri, biasanya adalah panjang gelombang yang sesuai
dengan absorban maksimum, sebabnya adalah :
- Perubahan absorban untuk setiap satuan konsentrasi adalah paling
besar pada panjang gelombang maksimum, maka kepekaan analisa
akan menjadi maksumum pula.
- Sekitar panjang gelombang maksimum, kurva serapan datar atau
hukum Lambert-Beer dipenuhi dengan baik.
Dari gambar di bawah ini, bika dipakai pita A, kurva Lambert-Beer lurus,
tidak menyimpang, karena ε tidak berubah banyak dalam pita tersebut,
tetapi simpangan kurva B besarm karena ε mengalami perubahan besar
pada pita B.
55
digunakan untuk analisa cuplikan. Paling baik kurva kerja dibuat setiap
kali melakukan analisa.
4. Pengukuran absorban cuplikan.
Pembentukan warna pada cuplikan harus dilakukan pada kondisi-kondisi
yang sama seperti pada pembentukan warna pada standar. Konsentrasi
komponen yang dicari dalam larutan cuplikan yang diukur dengan
spektrofotometer, harus dibuat sedemikian rupa hingga absorban yang
dihasilkan berada antara 0,2 – 0,8.
56
PUSTAKA
Day, R. A. dan Underwood, 1974, Quantitative analysis, Prectice Hall, New York.
Day, R.A. dan Underwood, 1983, Analisa kimia kuantitatif, edisi ke 4, Erlangga,
Jakarta.
Dick, J.G., 1973, Analytical chemistry, McGraw Hill, New York.
Fritz, J.S dan G.H. Schenk, 1979, Quantitative analytical chemistry, 4 th ad.,
Allyn and Bacon, Inc, Boston.
Hargins, C.G., 1988, Analytical chemistry, Principles and techniques, Prentice
Hall, Englewood Cliffs, New York.
Ismono, 1985, Cara-cara optik dalam analisa kimia, Jurusan Kimia ITB, Bandung.
Lagowsky, J.J., 1977, Semi micro qualitative analysis, 4 th ed., Pretice Hall, New
Jersey.
Pescok, R.L. et al., 1976, Modern methods of chemical analysis, 2 nd ed., John
Wiley and Sons, New York.
Ramette, 1981, Chemical equilibrium and analysis, Reading, Addison Wesley,
Mass.
Skoog, D.A., 1980, Principles of quantitative analytical chemistry, Holt-Saunders
Intertational Editions.
Skoog, D.A., 1980, Principles of instrumental analysis, Holt-Saunders
International Editions.
Vogel A.I., 1978, A text book of quantitative inorganic analysis, 2 nd ad.,
Longmans, London.
Willard, H.H. et al., 1985, Element of quantitative analysis, 7 th ed., Wodsworth
publishing Co, California.
57