Anda di halaman 1dari 22

PENGELOLAAN PARIWISATA INDONESIA MELALUI

PROGRAM “WONDERFUL INDONESIA” DITINJAU DARI


PERSPEKTIF HUKUM DI BIDANG KEPARIWISATAAN

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena
dengan rahmat dan karunia-Nya penulis masih diberi kesempatan untuk
menyelesaikan tugas ini. Cita-cita untuk menjadikan sektor pariwisata sebagai
garda terdepan pemasukan kas negara nampaknya masih menemui banyak halang
rintang. Banyaknya regulasi yang ada, tidak sejalan dengan pemerataan
pembangunan kepariwisataan di Indonesia.
Dari berbagai banyak program yang penulis amati, penulis memilih untuk
menganalisis program “Wonderful Indonesia” yang digagas oleh Kementerian
Pariwisata sejak tahun 2011. Sebagai bentuk promosi, program ini dibentuk untuk
membentuk identitas pariwisata Indonesia dalam berbagai bentuk manifestasinya
seperti karakter bangsa, budaya dan tradisi Indonesia kepada dunia luar. Program
ini diharapkan mampu mencitrakan Indonesia di mata turis mancanegara agar
mereka menikmati pariwisata di Indonesia dan tentunya menambah pemasukan
bagi negara.
Walaupun program ini sudah dicanangkan sejak tahun 2011, namun
ternyata tidak serta merta menunjukkan kemajuan. Peningkatan angka 9 juta turis
mancanegara dirasa masih cukup kecil dibanding negara lain yang berada di
dalam region Asia Tenggara. Maka dari itu, penulis akan berusaha memaparkan
analisis terhadap permasalahan bidang pariwisata di Indonesia dilihat dari
program “Wonderful Indonesia”.
Akhir kata, penulis berharap penelitian ini dapat bermanfaat bagi siapa
saja yang membacanya terkhusus yang memiliki ketertarikan khusus di bidang
kepariwisataan Indonesia. Demikian kata pengantar ini penulis susun dengan
segala keterbatasan yang penulis miliki. Penulis sangat terbuka dengan saran dan
kritik yang membangun guna perkembangan penulis. Terima kasih.

Bandung, 17 November 2017


ii
Penulis

iii
DAFTAR ISI

Kata Pengantar.................................................................................................ii
Daftar Isi..........................................................................................................iii
Bab I Pendahuluan
A. Latar Belakang...............................................................................................1
B. Identifikasi Masalah.......................................................................................2
Bab II Pembahasan
A. Analisis terhadap permasalahan pariwisata di Indonesia melalui program
“Wonderful Indonesia” ditinjau dari UU Kepariwisataan.............................3
B. Urgensi untuk melibatkan pihak swasta dan pemerintah daerah dalam
memajukan potensi pariwisata Indonesia......................................................10
Bab III Penutup
A. Kesimpulan.....................................................................................................14
B. Rekomendasi...................................................................................................15
Daftar Pustaka.....................................................................................................xvi
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kepariwisataan adalah salah satu bagian yang tidak dapat dipisahkan dari
pembangunan nasional sehingga pelaksanaannya harus dilakukan secara
integratif, sistematis, terpadu, berkelanjutan dan bertanggung jawab.1 Maka dari
itu, kepariwisataan merupakan urusan yang wajib dikelola baik oleh pemerintah
pusat maupun pemerintah daerah menurut asas-asas pembagian kewenangan.
Dikarenakan urusan kepariwisataan menjadi tanggung jawab bersama antara
pemerintah pusat dan pemerintah daerah, dibutuhkan pengaturan melalui
peraturan perundang-undangan agar terlihat jelas bidang-bidang mana saja yang
harus dikelola dan bagaimana tata kelola daerah-daerah yang memiliki potensi
pariwisata yang besar.
Indonesia, sebagai negara kesatuan yang terbagi atas 17.508 pulau
memiliki berjuta potensi pariwisata yang dapat menjadi daya tarik utama turis
mancanegara untuk datang. Atas potensi tersebut, dibentuklah Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan (untuk
selanjutnya disebut dengan UU Kepariwisataan) sebagai bentuk perlindungan dan
penjaminan mutu pariwisata Indonesia. Undang-Undang ini kemudian berlaku
dibawah pengawasan langsung Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif
(selanjutnya disebut Kemenparekraf).
Melalui Kemenparekraf, dibentuklah berbagai program pariwisata yang
tujuannya untuk meningkatkan pendapatan negara. Hingga akhirnya pada tahun
2011, dicanangkan nation branding melalui program “Wonderful Indonesia”.
Program ini sendiri merupakan program utama Kemenparekraf dalam mendorong
pemasukan negara melalui sektor pariwisata. Nyatanya, sejak program ini
dijalankan terlihat jelas peningkatan turis mancanegara menjadi 6 juta di tahun

1
Konsideran huruf c Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2009 tentang
Kepariwisataan

1
2011, 8,04 juta di tahun 2012, 8,8 juta di tahun 2013, 9,44 juta di tahun 2014 dan
10,98 juta di tahun 2016 kemarin.2
Peningkatan jumlah turis mancanegara ini jelas menunjukkan peningkatan
pendapatan negara juga. Namun, tren peningkatan jumlah turis mancanegara ini
juga harus diikuti dengan pembangunan sektor pariwisata yang berkelanjutan
juga. Banyak sekali potensi wisata yang tidak dikelola dengan standar yang baik
atau bahkan tidak dikelola sama sekali. Hal ini menandakan masih belum
tercapainya tujuan yang tercantum dalam UU Kepariwisataan. Sehingga, selain
perlunya pembentukan peraturan yang lebih jelas lagi mengenai tata kelola
pariwisata Indonesia, perlu juga strategi pemosisian (positioning) agar
3
peningkatan tren pariwisata Indonesia terus meningkat dalam jangka panjang.
Maka dari itu, penelitian ini akan membahas mengenai permasalahan
kepariwisataan Indonesia ditinjau dari sudut pandang hukum positif Indonesia
beserta solusi terhadap permasalahan yang dapat membantu mencapai target-
target yang ingin dicapai oleh Kemenparekraf.

B. Identifikasi Masalah
1. Bagaimana peran Kemenparekraf dalam mengatasi permasalahan pariwisata
di Indonesia melalui program “Wonderful Indonesia” ditinjau dari UU
Kepariwisataan?
2. Apa urgensi untuk melibatkan peran swasta dan pemerintah daerah dalam
memajukan potensi kepariwisataan?

2
Badan Statistik Pariwisata 2016.
3
Hawkins D.I., Consumer Behaviour: Building Marketing Strategy, Amerika: McGraw-
Hill Companies, 1998, hlm. 352.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Analisis terhadap permasalahan pariwisata di Indonesia melalui program


“Wonderful Indonesia” ditinjau dari UU Kepariwisataan
Aktivitas pariwisata di Indonesia mulai terlihat sejak diundangkannya
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1960 tentang
Kepariwisataan. Latar belakang pembentukan undang-undang ini adalah karena
banyaknya potensi wisata di Indonesia yang belum dikelola dengan baik. Melalui
undang-undang ini juga Indonesia diakui oleh dunia sebagai negara yang memiiki
aset sangat banyak dalam jumlah situs warisan dan budaya. Namun, jumlah situs
wisata yang sangat banyak ini tidak sejalan dengan jumlah turis mancanegara dan
pendapatan negara dari sektor pariwisata. Terjadi ketimpangan antara hal-hal yang
nyata terjadi (Das Sein) dengan hal-hal yang seharusnya terjadi (Das Sollen) serta
kesenjangan yang terjadi diantara keduanya.4
Hal yang sangat menjadi perhatian khusus adalah bagaimana bisa jumlah
potensi wisata yang sangat banyak ini tidak bisa mendatangkan target pencapaian
pendapatan negara yang telah direncanakan. Dan yang lebihnya lagi,
permasalahan kepariwisataan yang dialami tadi terus terjadi hingga tahun ini.
Dimana, semakin banyaknya potensi wisata yang ada tidak sebanding dengan
target pendapatan negara yang ingin dicapai. Penulis menyimpulkan ada beberapa
permasalahan utama yang dihadapi Indonesia sebagai negara yang sedang
berkembang diantaranya:
- Belum stabilnya kondisi masyarakat yang ada di daerah sehingga konflik
bisa terjadi kapan saja tanpa diprediksi;
- Situs wisata yang ada tidak menimbulkan kenyamanan bagi turis
mancanegara sehingga tidak banyak respon positif terhadap situs wisata di
Indonesia;

4
Violetta Simatupang, Pengaturan Hukum Kepariwisataan Indonesia, Bandung: PT
Alumni, 2009, hlm.7.
- Minimnya promosi dan keterbukaan informasi terhadap situs wisata di
Indonesia membuat turis mancanegara tidak mengetahui bahwa Indonesia
kaya dengan situs wisata.
Masalah-masalah di atas jelas akan sangat merugikan citra pariwisata
Indonesia sehingga dapat berujung dengan surutnya minat wisatawan untuk
datang ke Indonesia karena merasa haknya tidak terlindungi. Hal inilah yang
menunjukkan bahwa kondisi yang semestinya (Das Sollen) adalah wisatawan
memperoleh informasi terhadap semua situs wisata di Indonesia namun
kenyataannya (Das Sein) informasi terhadap situs wisata itu tidak dapat diakses
dan dirasakan oleh wisatawan. Kesenjangan-kesenjangan inilah yang seharusnya
dapat diatasi baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah melalui
pembentukan peraturan perundang-undangan.
Kedudukan negara Indonesia sebagai salah satu negara berkembang di
dunia seharusnya menunjukkan antusiasmenya dalam melaksanakan
pembangunan negara dari berbagai aspek kehidupan masyarakatnya.
Pembentukan peraturan adalah salah satu cara untuk mendobrak perkembangan
pembangunan negara khususnya bagi negara yang sedang berkembang. 5 Sehingga
dalam penelitian ini, peran peraturan perundang-undangan khususnya UU
Kepariwisataan menjadi tolak ukur yang sangat vital untuk menyelesaikan
permasalahan yang ada. Terlebih lagi Indonesia berdasarkan konstitusi
6
menyatakan diri sebagai negara hukum sehingga keberadaan peraturan
perundang-undangan adalah sebuah kewajiban di Indonesia.
Kedudukan sebuah undang-undang hanya menjadi hukum apabila
memenuhi prinsip keadilan. Atau secara sederhana dapat diaratkan bahwa
keadilan yang tertuang dalam ketentuan perundang-undangan merupakan unsur
7
konstitutif tentang pengertian hukum itu sendiri. Melihat kondisi yang ada
sekarang, perwujudan dari UU Kepariwisataan adalah lahirnya program

5
Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep Hukum dalam Pembangunan, Bandung: PT
Alumni, 2004, hlm. 35.
6
Pasal 1 ayat (3) UUD 1945.
7
Theo Hujibers, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, Yogyakarta: Kanisius, 1995,
hlm. 70.
pemerintah yaitu “Wonderful Indonesia”. Program ini lahir sebagai upaya
pembentukan citra pariwisata Indonesia ke mata dunia. Program yang dijalankan
sejak tahun 2011 ini berperan sangat positif bagi sektor pariwisata Indonesia,
namun masih menghadapi 3 permasalahan utama yang penulis sampaikan di atas.
Kepariwisataan Indonesia dulu dan sekarang dinilai belum memiliki
sistem hukum tersendiri dan karakter perdagangan jasa dalam kegiatan bisnis
pariwisata disamakan objeknya dengan perdagangan jasa pada umumnya. 8 UU
Kepariwisataan yang terbaru pun dirasa belum mencakup seluruh aspek
keterkaitan pariwisatan dengan aspek bisnis lain, berbagai bidang hukum dan
peraturan perundang-undangan lain seperti Hukum Perlindungan Konsumen,
Hukum Perdata Internasional, Hukum Lingkungan, Hukum Keimigrasian dan
Hukum Hak Atas Kekayaan Intelektual.
Program “Wonderful Indonesia” sendiri sudah menuju kepada kondisi
yang semestinya (Das Sein) namun belum mampu menyelesaikan 3 masalah
utama di atas. Pertama, belum stabilnya kondisi masyarakat di daerah sehingga
konflik bisa datang tanpa diprediksi. Kondisi perekonomian di Indonesia yang
fluktuatif menyebabkan ketidakstabilan sosial di dalam masyarakat. Pendekatan
hukum melalui program pemerintah yang tidak tepat sasaran sangat lumrah terjadi
di Indonesia. Dampaknya, investor asing menjadi enggan untuk menanamkan
modalnya di Indonesia. Alasannya satu, ketidakstabilan sosial masyarakat
Indonesia tidak menguntungkan untuk melakukan investasi. Padahal hubungan
antara kepariwisataan dengan bisnis sangatlah erat. Salah satu alasan utama
mengapa negara maju sektor kepariwisataannya maju adalah tingginya tingkat
investasi.9 Apabila dianalisis selama periode 20 tahun terakhir, kepariwisataan
dunia menunjukkan peningkatan yang sangat besar terkhusus pada negara-negara
yang kondisi masyarakatnya stabil dan tingkat investasi asingnya tinggi.
Sehingga, dalam hal ini telah jelas terbukti bahwa kestabilan kondisi
masyarakat dan kondisi ekonomi akan beriringan dengan arus investasi asing

8
Ida Bagus Wyasa Putra dkk, Hukum Bisnis Pariwisata, Bandung: PT Refika Aditama,
2003, hlm. 24.
9
Oka A. Yoeti, Pemasaran Pariwisata, Bandung: Angkasa, 2010, hlm. 33.
yang masuk ke dalam negeri. Arus investasi asing yang masuk ke dalam negara
akan berguna untuk memajukan aspek-aspek dalam kehidupan bernegara dimana
terdapat kesesuaian antara permintaan dan persediaan baik barang ataupun jasa.10
Dilihat dari permasalahan yang pertama, seharusnya Indonesia melalui
Kemenparekraf dapat memanfaatkan program “Wonderful Indonesia” sebagai
wadah untuk mempromosikan sektor pariwisata di Indonesia khususnya kepada
wisatawan dalam negeri terlebih dahulu. Hal ini sejatinya telah diatur dalam Pasal
29 huruf J UU Kepariwisataan yang menyatakan bahwa, “Pemerintah provinsi
berwenang untuk memfasilitasi promosi destinasi pariwisata yang berada di
wilayahnya”. Melalui ketentuan ini telah diejawantahkan kepada pemerintah
provinsi dan instansi vertikal di bawahnya bahwa setiap promosi kepariwisataan
wajib difasilitasi.
Adapun cara lain yang dapat digunakan untuk menyelesaikan
ketidakstabilan sosial dan ekonomi tadi adalah dengan membentuk peraturan
pelaksana dari UU Kepariwisataan baik melalui PP atau dalam bentuk Perda
Provinsi/Kabupaten. Kedua instrumen hukum dibawah tadi dapat memfokuskan
objek bisnis pariwisata sebagai fokus utamanya. Apalagi potensi setiap daerah di
Indonesia yang berbeda-beda tidak memungkin hanya diatur melalui 1 ketentuan
umum yang sifatnya abstrak.
Yang kedua adalah ketidaknyamanan wisatawan baik dalam negeri
ataupun mancanegara ketika berada di situs wisata Indonesia. Permasalahan ini
merupakan masalah klasik bidang kepariwisataan Indonesia dari dulu hingga
sekarang. Kesenjangan antara peraturan dengan kenyataan jelas terlihat dalam
masalah ini. Seringkali banyak objek wisata yang tidak dikelola dengan baik atau
bahkan tidak dikelola sama sekali. Hal ini disebabkan oleh miskoordinasi antara
pemerintah pusat dan pemerintah daerah terhadap urusan-urusan pemerintah yang
beririsan diantara keduanya.
Ketidakharmonisan hubungan antara pemerintah pusat dan daerah ini
dapat terjadi karena ada kekosongan hukum dan salah penafsiran mengenai

10
Karl E Case & Ray C Fair, Prinsip-Prinsip Ekonomi Makro, Jakarta: PT Prenhallindo,
2006, hlm. 57.
ketentuan dalam Pasal 18 UUD 1945. Padahal, ada banyak sekali prinsip
pembagian tugas dan wewenang yang tercantum dalam pasal tersebut,
diantaranya:11
- Prinsip daerah provinsi, daerah kabupaten/kota diberikan kewenangan
untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya menurut
asas otonomi dan tugas pembantuan (medebewind). Ini bermakna bahwa
pemerintah daerah merupakan bagian yang lebih kecil dari negara Indonesia
yang tidak berbentuk negara (staat), namun memiliki kemampuan untuk
mengembangkan diri secara mandiri.
- Prinsip menjalankan otonomi daerah seluas-luasnya sesuai potensi yang
ada. Dikarenakan tiap-tiap daerah memiliki potensi sumber daya yang
berbeda-beda, maka tidak mungkin diberikan pengaturan yang sama antar
daerah karena akan mengakibatkan ketidakoptimalan sumber daya.
Kondisi di atas memang lumrah terjadi di negara-negara yang wilayahnya
terbagi atas banyak daerah. Dimana seringkali pemerintah pusat terlihat
mendominasi roda penyelenggaraan negara sedangkan pemerintah daerah diberi
porsi yang sangat sedikit.12 Dalil pemerintah pusat untuk mendominasi dilakukan
untuk tetap menjaga kesatuan negara dan integritas negara. Padahal, untuk
membangun sebuah negara dibutuhkan sinergitas, tidak hanya dilakukan oleh
pemerintah pusat namun pemerintah daerah juga. Apalagi sumber daya potensial
(yang jumlahnya sangat besar) berada dalam yurisdiksi pemerintah daerah,
apabila tidak dimanfaatkan secara efektif dan optimal, alhasil tujuan utama
pembangunan nasional dan pemerataan antar daerah akan sangat sulit dicapai.
Maka dari itu, untuk mencegah terjadinya kekuasaan yang terlalu dominan
dipegang oleh pemerintah pusat yang ujungnya mengakibatkan perpecahan13,

11
Bagir Manan, Menyongsong Otonomi Daerah, Pusat Studi Hukum FH UII,
Yogyakarta, hlm. 5-17.
12
Jimly Asshidiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Mahkamah Konstitusi
RI dan Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UI, Jakarta, 2004, hlm. 218.
13
Indah Qurbani, Hubungan Wewenang Antara Pemerintah Pusat dan Daerah dalam
Negara Kesatuan Republik Indonesia, Jurnal Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Vol.
9 No.2, Desember 2014, hlm. 141.
dilakukanlah pembagian urusan pemerintahan, antara pemerintah pusat dan
pemerintah daerah.
Pelimpahan urusan pemerintahan jelas diperbolehkan mengingat urusan
kepariwisataan merupakan bagian dari urusan pemerintahan konkuren. Urusan
pemerintahan konkuren adalah urusan pemerintahan yang terbagi atas pemerintah
pusat dan pemerintah daerah. Pembagian tugas kepada pemerintah daerah menjadi
dasar penyelenggaraan otonomi daerah. Urusan konkuren terbagi lagi menjadi 2
(dua) yaitu urusan pemerintahan wajib dan urusan pemerintahan pilihan. 14 Urusan
pemerintahan wajib adalah urusan yang berkaitan dengan pelayanan dasar kepada
warga negara seperti pelayanan kesehatan, pendidikan, perumahan rakyat,
pekerjaan umum dan lain sebagainya. Sedangkan urusan pemerintahan pilihan
contohnya adalah pariwisata, pertanian, kelautan, kehutanan dan lain sebagainya.
Alasan mengapa perlu adanya pembagian tugas antara pemerintah pusat dengan
daerah adalah agar tercapai efektivitas, akuntabilitas dan efisiensi dalam
penyelenggaraan negara.
Dari kedua prinsip-prinsip yang tercantum dalam ketentuan Pasal 18 UUD
1945, seharusnya pemerintah pusat memberikan kebebasan yang seluas-luasnya
kepada pemerintah daerah untuk memanfaatkan potensi daerah dengan sebaik-
baiknya. Dikarenakan setiap daerah memiliki potensi daerah yang berbeda,
pemerintah daerah juga harus membuat pengaturannya sendiri sesuai kebutuhan
daerah agar potensi yang ada dapat dimanfaatkan dengan baik. Atau pemerintah
daerah dapat melibatkan pihak swasta untuk melakukan pengelolaan potensi
wisata agar baik wisatawan dalam negeri atau mancanegara dapat datang dan
memberikan pemasukan kepada negara.
Permasalahan ketiga adalah minimnya promosi dan keterbukaan informasi
terhadap situs wisata di Indonesia membuat turis mancanegara tidak mengetahui
bahwa Indonesia kaya dengan situs wisata. Permasalahan ini sangat lumrah terjadi
di negara yang sedang berkembang dimana keterbukaan teknologi akan

14
Abdul Rauf Alauddin Said, Pembagian Kewenangan Pemerintah Pusat-Daerah dalam
Otonomi Seluas-Luasnya Menurut UUD 1945, Jurnal FH Unila Fiat Justitia, Volume 9
No. 4 Oktober, 2015, hlm. 593.
menunjukkan kemudahan untuk mengakses sebuah informasi di suatu negara.
Indonesia, negara yang terdiri dari 250 juta penduduk yang tersebar dari Sabang
sampai Merauke tidak memiliki hak yang sama terhadap teknologi. Bagi mereka
yang bertempat tinggal di Pulau Jawa sangat mudah untuk memperoleh informasi
karena akses teknologi yang merata. Namun, bagi mereka yang tinggal di luar
Pulau Jawa tidaklah demikian. Mereka masih sangat memiliki keterbatasan untuk
mengakses teknologi. Hal ini jelas belum sejalan dengan grand design yang
dicita-citakan bangsa Indonesia karena masih belom tercapainya pemerataan
teknologi bagi seluruh masyarakat.
Ketidakserasian antara grand design dengan kenyataan yang ada
senyatanya sejalan dengan pendapat Sudikno Mertokusumo yang menyatakan
bahwa hukum bukanlah tujuan akhir, tapi hukum ada sarana untuk mencapai
tujuan yang sifatnya non-yuridis dan berkembang berdasarkan rangsangan dari
luar hukum, sehingga hukum akan terus berjalan secara dinamis. 15 Dalam hal ini
pemerintah pusat sebagai roda utama penggerak negara memang harus
mengupayakan hak yang sama terhadap teknologi kepada seluruh warganegara
karena keadilan merupakan hak setiap warga negara. Bagaimana mungkin suatu
negara akan memiliki akses terhadap teknologi yang sama apabila pemerintah
pusatnya tidak memprioritaskan permasalahan ini menjadi prioritas utama bangsa.
Sehingga, untuk menyelesaikan permasalahan ini pemerintah harus berupaya
keras untuk menempatkan keterbukaan terhadap teknologi dan informasi yang
sama secara nasional agar pembangunan kepariwisataan Indonesia dapat berjalan
sesuai grand design yang dicita-citakan.

15
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum: Suatu Pengantar, Yogyakarta: Liberty,
2002, hlm. 40.
B. Urgensi untuk melibatkan pihak swasta dan pemerintah daerah
dalam memajukan potensi pariwisata Indonesia
Menurut Satjipto Rahardjo, politik hukum adalah aktivitas memilih suatu
tujuan sosial tertentu dan keharusan untuk menentukan suatu pilihan mengenai
tujuan maupun cara-cara yang hendak dicapai untuk mencapai tujuan tersebut.16
Demikian pula alasan dibentuknya UU Pariwisata merupakan bentuk komitmen
pemerintah untuk memajukan kesejahteraan rakyat lewat bidang pariwisata.
Politik hukum adalah dasar dari dibentuknya suatu undang-undang, dalam
konteks ini adalah UU Pariwisata, untuk mencapai suatu cita-cita atau tujuan
tertentu yakni pembangunan nasional.
Guna mencapai cita-cita tersebut, terdapat urgensi untuk melibatkan pihak
swasta dan pemerintah daerah untuk memajukan potensi kepariwisataan. Pada
dasarnya, tidak ada negara yang mampu memenuhi kebutuhan negaranya hanya
dengan mengandalkan peran pemerintah. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007
tentang Penanaman Modal (selanjutnya disebut sebagai UUPM) diundangkan
untuk membuka kesempatan bagi penanam modal asing untuk berinvestasi di
bidang usaha pariwisata.
Peran sektor swasta dalam pariwisata dapat membawa perubahan yang
signifikan terhadap perekonomian nasional. Dalam Pasal 30 UUPM diamanatkan
agar pemerintah daerah lebih diberdayakan, baik dalam pengembangan potensi di
setiap daerah maupun dalam hal koordinasi promosi mengenai kepariwisataan
serta pelayanan penanaman modal.17 Secara obyektif dapat dikatakan bahwa
pengembangan penanaman modal khususnya penanaman modal asing dalam
bidang pariwisata sangatlah menjanjikan dan memberi peluang besar, dengan
syarat pemerintah mampu membuat berbagai kebijakan yang dapat mendukung

16
Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2000, hlm. 35.

17
Kezia Frederika Wasiyono & I Ketut Sudiarta, “Upaya Pencapaian Iklim Usaha
Kondusif Bagi Penanaman Modal (Investasi) Dalam Kegiatan Bisnis Pariwisata”, Kertha
Negara, Volume 01 Nomor 01, hlm. 4, 2013.
kegiatan pariwisata secara adil dan tanpa mengandung unsur diskriminasi di
dalamnya.18
Investor asing maupun dalam negeri membutuhkan jaminan atas
perlindungan hukum yang diberikan oleh pemerintah Indonesia. Pemerintah harus
mampu memberikan kepastian hukum bagi calon investor untuk mencegah
investor menjadi enggan untuk menanamkan modalnya dikarenakan tidak adanya
kepastian hukum dan jaminan perlindungan dari pemerintah. Pemerintah perlu
meregulasikan peraturan perundang-undangan berstrategi mengundang minat
calon investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia.
Selain dari sisi birokrasi, investor juga sering tersandung pada
permasalahan-permasalahan untuk berinvestasi di bidang pariwisata.
Permasalahan-permasalahan yang menghambat pembangunan pariwisata antara
lain adalah: (1) belum pulihnya citra keamanan nasional akibat beberapa aksi
terorisme di dalam maupun di luar negeri; (2) belum optimal dan efektifnya
pengelolaan pemasaran baik dalam maupun luar negeri, (3) belum optimalnya
pengembangan dan pengelolaan destinasi pariwisata.19 Peran pemerintah untuk
menjaga stabilitas negara dalam bidang pertahanan, politik dan ekonomi sangat
krusial dalam memajukan potensi pariwisata Indonesia.
Kehadiran sektor swasta dalam memajukan potensi pariwisata Indonesia
dengan mematuhi segala kebijakan pemerintah dapat memberikan keuntungan
kepada kedua belah pihak. Pemerintah daerah akan merasakan peningkatan
pendapatan daerah dan pihak swasta mendapatkan keuntungan dari investasinya.
Selain itu, masyarakat sekitar obyek wisata juga dapat merasakan peningkatan
ekonomi atas pembangunan pariwisata prakarsa dari pihak swasta. Kerja sama
antara pihak swasta dan pemerintah diharapkan dapat memberikan manfaat untuk
mencapai tujuan yang optimal sesuai dengan filsafat Pancasila dan UUD 1945.

18
Aminuddin Ilmar, Hukum Penanaman Modal di Indonesia, Kuwais: 2010, hlm 263-
264.
19
Arie Chandra & Atom Ginting Munthe, “Profil Kesiapan Daerah Dalam Memasuki
Masyarakat Ekonomi ASEAN Studi kasus: Sektor Kepariwisataan Jawa Barat 2012”,
Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Universitas Katolik Parahyangan, hlm.
17, 2012.

11
Berlandaskan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Otonomi
Daerah (selanjutnya disebut sebagai UU Otonomi Daerah), pergeseran dari era
sentralisasi menuju desentralisasi memberikan pemerintah daerah kewenangan
secara mandiri dan untuk memberdayakan segala potensi yang ada di daerahnya
sebagai sumber pendapatan daerah. Pariwisata adalah salah satu bidang
dikategorikan sebagai urusan pemerintah daerah menurut Pasal 12 ayat 3 huruf b
UU Otonomi Daerah yang menyatakan bahwa, “Urusan Pemerintahan Pilihan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) meliputi: b. pariwisata.”
Pariwisata merupakan sumber pendapatan daerah yang akan berkontribusi
pula terhadap pendapatan kota. Oleh karena itu, partisipasi pemerintah daerah
dalam memajukan potensi pariwisata daerah sangat dibutuhkan. Upaya yang dapat
dilakukan oleh pemerintah daerah untuk mengembangkan potensi pariwisata
adalah melalui legislasi dari peraturan daerah (Perda) mengenai pariwisata daerah.
Dengan diundangkannya Perda mengenai pariwisata akan memberikan kepastian
hukum dan kejelasan tugas dan pemerintah daerah dalam memajukan potensi
pariwisata daerah.
Perencanaan sistematis yang dituangkan dalam Perda dapat menjadi
pedoman bagi pemerintah daerah, masyarakat, dan pihak swasta untuk
memajukan potensi pariwisata. Kebijakan tersebut diharapkan dapat mempercepat
tujuan dah arah pengembangan potensi pariwisata. Pemerintah wajib
memperhatikan bahwa pengembangan potensi pariwisata tersebut dapat
membawa keuntungan yang berdampak bagi pembangunan nasional. Tak lupa,
kebijakan tersebut menjadi garda bagi pihak swasta dalam berkegiatan usaha.
Pemerintah daerah dapat pula melakukan city branding dalam rangka
promosi pariwisata daerahnya. Konsep city branding memiliki kesamaan dengan
nation branding “Wonderful Indonesia”, namun memiliki cakupan yang lebih
sempit. Jika nation branding merupakan strategi untuk meningkatkan
pengetahuan masyarakat internasional mengenai pariwisata Indonesia, sasaran
dari city branding adalah meningkatkan kesadaran masyarakat Indonesia akan
pariwisata daerah. Di Indonesia, kota Bandung adalah kota yang sukses dalam
melakukan promosi pariwisata melalui city branding.

12
Terdapat beragam rangkaian upaya yang dapat dilakukan oleh pemerintah
daerah untuk mewujudkan pengelolaan atas sumber daya yang berpotensi sebagai
obyek wisata. Upaya-upaya tersebut dapat dimulai dari pembangunan
infrastruktur, perbaikan fasilitas transportasi dan penyediaan informasi
kepariwisataan daerah untuk mengundang wisatawan berkunjung. Intinya,
pemerintah daerah harus berusaha menyajikan daya tarik pariwisata daerah
tersebut kepada wisatawan.
Pengembangan potensi pariwisata memiliki dampak dan manfaat yang
besar terhadap pendapatan daerah. Pendapatan daerah tersebut terdiri dari pajak
dan retribusi daerah. Sektor pariwisata adalah salah satu sumber dari pendapatan
daerah tersebut melalui retribusi dari wisatawan yang berkunjung ke obyek wisata
daerah. Selain itu, pajak juga merupakan sumber pendapatan daerah dari sektor
pariwisata salah satunya pajak hotel.
Peran swasta dan pemerintah daerah sangat strategis dalam memajukan
potensi pariwisata, terlebih lagi apabila terjadi kemitraan atau kerja sama antara
pihak swasta dan pemerintah daerah. Pihak swasta dapat membangun
infrastruktur dan pemerintah daerah menyediakan layanan publik. Kerja sama
tersebut akan menguntungkan kedua belah pihak serta mempercepat pergerakan
pembangunan nasional.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Pembangunan sektor pariwisata Indonesia memang tidak bisa terlepas dari
peran pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Sinergitas diantara keduanya
harus terjalin dengan baik agar permasalahan-permasalahan klasik di bidang
pariwisata dapat terpecahkan. Akhir kata, penulis sampai pada kesimpulan dimana
Indonesia memiliki 3 permasalahan utama untuk memajukan sektor pariwisata,
diantaranya:
1. Belum stabilnya kondisi masyarakat yang ada di daerah sehingga konflik
bisa terjadi kapan saja tanpa diprediksi;
2. Situs wisata yang ada tidak menimbulkan kenyamanan bagi turis
mancanegara sehingga tidak banyak respon positif terhadap situs wisata di
Indonesia;
3. Minimnya promosi dan keterbukaan informasi terhadap situs wisata di
Indonesia membuat turis mancanegara tidak mengetahui bahwa Indonesia
kaya dengan situs wisata.
Tiga permasalahan sektor pariwisata di atas terjadi karena ada kesenjangan
antara hal yang semestinya terjadi (Das Sollen) dengan kenyataan yang ada di
lapangan (Das Sein). Kesenjangan antara kenyataan dan realitas yang terjadi di
sektor pariwisata ini terjadi karena politik hukum Indonesia tidak menempatkan
urusan kepariwisataan sebagai prioritas utama bangsa ini. Selain itu, terjadinya
kekosongan hukum dalam tata kelola potensi wisata yang menyebabkan situs
wisata tidak dikelola dengan baik atau bahkan tidak dikelola sama sekali.
Selanjutnya, kekosongan hukum yang terjadi menyebabkan arus investasi dan
arus masuk wisatawan menjadi rendah sehingga tujuan yang dicita-citakan
melalui program kerja “Wonderful Indonesia” menjadi sangat sulit tercapai.
B. Rekomendasi
Akhir kata, penulis menawarkan 4 (empat) solusi atas permasalahan yang
dialami sektor kepariwisataan Indonesia diantaranya:
1. Dilihat dari permasalahan yang pertama, seharusnya Indonesia melalui
Kemenparekraf dapat memanfaatkan program “Wonderful Indonesia”
sebagai wadah untuk mempromosikan sektor pariwisata di Indonesia
khususnya kepada wisatawan dalam negeri terlebih dahulu.
2. Membentuk peraturan pelaksana dari UU Kepariwisataan baik melalui PP
atau dalam bentuk Perda Provinsi/Kabupaten. Kedua instrumen hukum
dibawah tadi dapat memfokuskan objek bisnis pariwisata sebagai fokus
utamanya. Apalagi potensi setiap daerah di Indonesia yang berbeda-beda
tidak memungkin hanya diatur melalui 1 ketentuan umum yang sifatnya
abstrak.
3. Pemerintah pusat memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada
pemerintah daerah untuk memanfaatkan potensi daerah dengan sebaik-
baiknya. Dikarenakan setiap daerah memiliki potensi daerah yang berbeda,
pemerintah daerah juga harus membuat pengaturannya sendiri sesuai
kebutuhan daerah agar potensi yang ada dapat dimanfaatkan dengan baik.
Atau pemerintah daerah dapat melibatkan pihak swasta untuk melakukan
pengelolaan potensi wisata agar baik wisatawan dalam negeri atau
mancanegara dapat datang dan memberikan pemasukan kepada negara.
4. Menempatkan keterbukaan teknologi dan informasi sebagai prioritas utama
bangsa Indonesia. Keterbukaan informasi dan teknologi yang baik akan
berjalan beriringan dengan arus investasi dan arus masuk wisatawan baik
dalam negeri maupun mancanegara.
DAFTAR PUSTAKA
A. Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Dasar 1945
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2014 tentang Otonomi Daerah

B. Buku
Aminuddin Ilmar, Hukum Penanaman Modal di Indonesia, Jakarta: Kuwais,
2010.
Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Yogyakarta: Pusat Studi
Hukum FH UII, 2001.
Case, Karl E & Ray C Fair, Prinsip-Prinsip Ekonomi Makro, Jakarta: PT
Prenhallindo, 2006.
Hawkins, D.I., Consumer Behaviour: Building Marketing Strategy, Amerika:
McGraw-Hill Companies, 1998.
Huijbers, Theo, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, Yogyakarta: Kanisius,
1995.
Ida Bagus Wyasa Putra dkk, Hukum Bisnis Pariwisata, Bandung: PT Refika
Aditama, 2003.
Jimly Asshidiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Mahkamah
Konstitusi RI dan Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UI,
Jakarta, 2004.
Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep Hukum dalam Pembangunan,
Bandung: PT Alumni, 2004.
Oka A. Yoeti, Pemasaran Pariwisata, Bandung: Angkasa, 2010.

Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000.

Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum: Suatu Pengantar, Yogyakarta:


Liberty, 2002.
Violetta Simatupang, Pengaturan Hukum Kepariwisataan Indonesia, Bandung:
PT Alumni, 2009.

C. Jurnal
Abdul Rauf Alauddin Said, Pembagian Kewenangan Pemerintah Pusat-Daerah
dalam Otonomi Seluas-Luasnya Menurut UUD 1945, Jurnal FH Unila Fiat
Justitia, Volume 9 No. 4 Oktober, 2015.
Arie Chandra & Atom Ginting Munthe, “Profil Kesiapan Daerah Dalam
Memasuki Masyarakat Ekonomi ASEAN Studi kasus: Sektor
Kepariwisataan Jawa Barat 2012”, Lembaga Penelitian dan Pengabdian
Masyarakat Universitas Katolik Parahyangan, 2012.
Indah Qurbani, Hubungan Wewenang Antara Pemerintah Pusat dan Daerah
dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, Jurnal Fakultas Hukum
Universitas Brawijaya Vol. 9 No.2, 2014.

xvi
Kezia Frederika Wasiyono & I Ketut Sudiarta, “Upaya Pencapaian Iklim Usaha
Kondusif Bagi Penanaman Modal (Investasi) Dalam Kegiatan Bisnis
Pariwisata”, Kertha Negara, Volume 01 Nomor 01, 2013.

xvii
View publication stats

Anda mungkin juga menyukai