Anda di halaman 1dari 19

SEJARAH PERKEMBANGAN STASIUN SOLO BALAPAN

Dosen Pengampu : Dr. H. Purwanta, M.A

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Sejarah Kebudayaan

Oleh : Kelompok 4

Muharika Adi Wiraputra K4418054


Rahmad Aji S K4418060
Sendya Izzatul Ula K4418070
Venial Noer Rachma P K4418075
Vivian Aditania K4418076

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

2020

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah berkat rahmat, karunia, taufik serta
hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah kami yang berjudul
“Perkembangan Stasiun Solo Balapan” ini dengan baik meskipun banyak
kekurangan di dalamnya. Kedua, Shalawat serta salam kita panjatkan kepada suri
tauladan kita Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alayhi Wasallam yang telah
mengantarkan kita dari zaman yang penuh dengan kegelapan hingga ke zaman
penuh peradaban ini. Semoga kita termasuk ummat yang kelak mendapat
syafaatnya di Yaumul Akhir nanti. Aamiin. Dan juga kami berterima kasih pada
Bapak Dr. H. Purwanta, M.A selaku dosen mata kuliah Sejarah Kebudayaan yang
telah memberikan tugas ini kepada kami.
Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah
wawasan serta pengetahuan kita mengenai perkembangan stasiun Solo Balapan.
Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat
kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap adanya
kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang telah kami buat serta untuk
pedoman di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna
tanpa saran yang membangun.
Semoga makalah ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya.
Sekiranya makalah yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri
maupun pembaca. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-
kata yang kurang berkenan dan kami mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dari pembaca demi perbaikan makalah ini di waktu yang akan datang

Surakarta, Maret 2020

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ...............................................................................................i


KATA PENGANTAR.............................................................................................ii
DAFTAR ISI..........................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
A. Latar Belakang.................................................................................................1
B. Rumusan Masalah............................................................................................2
C. Tujuan Penelitian.............................................................................................2
D. Narasumber......................................................................................................3
BAB II PEMBAHASAN........................................................................................4
A. Sejarah Stasiun Kereta Api di Indonesia.........................................................4
B. Latar Belakang Penamaan Stasiun Solo Balapan............................................5
C. Perkembangan Proses Pembangunan Stasiun Solo Balapan...........................5
D. Kondisi Lingkungan di Sekitar Stasiun Solo Balapan....................................7
BAB III PENUTUP................................................................................................8
A. Kesimpulan......................................................................................................8
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................iv
LAMPIRAN............................................................................................…………v

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Jatuhnya kota Konstantinopel ke tangan Turki Utsmani tahun 1843 dan bersamaan
dengan dikeluarkannya kebijakan penutupan jalur perdagangan Laut Hitam
mengharuskan bangsa Eropa memutar otak untuk tetap mendapatkan rempah –
rempah, yang sebelumnya dengan mudah didapatkan melalui perdagangan dengan
bangsa Cina dan Arab.
Dampak penutupan jalur perdagangan tersebut mendorong bangsa Eropa untuk
melakukan penjelajahan ke dunia Timur dimana daerah tersebut merupakan
sumber dari rempah – rempah yang mereka inginkan. Salah satu daerah yang
menjadi ladang rempang itu ialah Nusantara. Kedatangan bangsa Eropa pada
awalnya bertujuan untuk mengeksplorasi kekayaan alam yang ada. Namun,
melihat kekayaan alamnya yang melimpah, bangsa barat mulai melakukan
eksploitasi besar – besaran.
Seiring berjalannya waktu, bangsa Eropa yang melakukan kolonilisasi di
Nusantara merasa bahwa kondisi sarana prasarana pada saat itu sangatlah tidak
mendukung proses kolonialisasi yang dilakukannya. Sehingga mulai berfikir
untuk merancang, merombak, dan membangun fasilitas yang mendukung
kepentingan mereka. Salah satu bentuk fasilitas yang dibangun kolonial adalah
sarana transportasi.
Pada awalnya, sarana transportasi yang digunakan oleh pemerintah kolonial
adalah transportasi laut yang berada di sekitaran Pantai Utara Pulau Jawa, di mana
yang terbesar berada di kota Semarang. Penggunaan jalur laut sebagai sarana
utama perdagangan, lambat laun dirasa tidak efektif dan efisien. Hal ini
dibuktikan dengan membengkaknya ongkos angkut tahun 1840 dari pusat dagang
ke pelabuhan yang semula hanya 1.50 gulden menjadi 3.30 gulden per pikul.
Ongkos itu dianggap tinggi dan tidak ada jaminan bahwa barang bisa sampai ke
tempat tujuan tepat waktu. Tak heran jika kapal-kapal harus menanti tiga sampai
lima bulan hingga muatan penuh dan siap untuk diperdagangkan. Sampai pada
tahun 1860, terjadilah peningkatan hasil perkebunan dari wilayah Vorstenlanden

1
(kerajaan – kerajaan) yang membuat pemerintah kolonial makin kewalahan. Di
tahun yang sama pula, Hindia Belanda mengutus insinyur bernama Stieltjes untuk
mulai memikirkan kemungkinan perencanaan pembangunan jalur perkeretaapian
di Pulau Jawa.
Akhirnya, tahun 1862 sebuah persetujuan diberikan Pemerintah Kolonial
kepada Nederlandsche Indische Spoorweg Maatschappij (NIS). Perusahaan itu di
izinkan untuk membangun rel kereta api dari Semarang ke Solo dan Yogya,
dengan percabangan ke arah Ambarawa—demi mobilitas militer Belanda.
Salah satu wilayah yang direncanakan akan dilakukan pembangunan rel kereta
api tersebut ialah Kota Solo. Dimana saat itu, bersamaan dengan kota Solo yang
sedang melakukan rencana perubahan dari pola pedesaan menjadi pola perkotaan.
Tentu saja, ide ini dianggap sebagai angin segar bagi NIS untuk merealisasikan
pembangunan rel kereta api tersebut.
Lokasi yang dianggap strategis untuk dibangun stasiun, menurut pemerintah
kolonial sesuai dengan jalur di Semarang ialah alun – alun utara Solo milik
Keraton Mangkunegaran. Bangunan stasiun ini akhirnya dikenal dengan nama
Stasiun Solo Balapan

B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, disusunlah rumusan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana sejarah stasiun kereta api di Indonesia ?
2. Bagaiman latar belakang penamaan Stasiun Solo Balapan ?
3. Bagaimana perkembangan proses pembangunan Stasiun Solo Balapan ?
4. Bagaimana kondisi lingkungan di sekitar Stasiun Solo Balapan ?

C. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui sejarah stasiun kereta api di Indonesia
2. Mengetahui latar belakang penamaan Stasiun Solo Balapan
3. Mengetahui perkembangan proses pembangunan Stasiun Solo Balapan
4. Mengetahui kondisi lingkungan di sekitar Stasiun Solo Balapan

2
D. Narasumber
1. Bapak Muji : putra dari mantan pekerja PT. KAI di Stasiun Balapan
2. Ibu Sri Redjeki : ketua RT di kampung Punggawan

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. Sejarah Stasiun Kereta Api di Indonesia


Stasiun adalah tempat menunggu bagi calon penumpang kereta api dan
sebagainya, tempat pemberhantian kereta api, dan sebagainya (Kamus Besar
Bahasa Indonesia).
Stasiun-stasiun di Indonesia dibangun antara tahun 1880-1940 pada zaman
Hindia Belanda dengan arsitektur Eropa, misalnya stasiun Tugu Yogyakarta,
Stasiun Tanjung Priok dan Jakarta Kota, Stasiun Bogor, bahkan stasiun kecil
antara Semarang dan Solo dibangun sangat indah seperti Kedung Jati, Salem,
Gundih, Sumberlawang (perlu dilestarikan untuk pariwisata bersama Yogya dan
Solo serta Semarang: Joglosemar). Berita teakhir bahwa di Solo akan
dioperasikan lagi lokomotif uap untuk pariwisata melalui Jl. Slamet Riyadi
(september 2009). Selain Baramex, maka (kalau jembatan Magelang telah
dibangun kembali), maka perlu dibuka lagi untuk pariwisata dengan lokomotif
uap Wonogiri-Solo-Yogyakarta-Magelang-Borobudur (buat jalur baru ke
Borobudur). Mengingat lamanya bagunan stasiun tersebut, dapat kita telusuri
bagunan stasiun pertama yang ada di Indonesia, yang dimulai dari stasiun
Semarang Gudang di Tambaksari, Kemijen. Kota Semarang, Jawa Tengah
merupakan titik awal jalur kereta api penumpang dan barang, namun apabila kita
mencari posisi pasti kompleks dimana stasiun kereta api pertama di Indonesia
masih terjadi perbedaan pendapat, tapi hal ini justru malah menarik. Stasiun yang
ada di Semarang tersebut berawal dari informasi yang dihimpun dari peta-peta
kuno koleksi Koninklijk Instituut voor de Tropen dan foto-foto koleksi
Koninkjilk Instituut voor Tall, Land- en Volkenkinde (KITLV) yang kemudian
dipadupadankan dengan peta dari citra satelit melalui program Google Earth. Dari
rujukan buku yang diambil (buku Spoorwegstations op Java tulisan Michien van
Ballegoijen de Jong Amsterdam, 1993), pada tanggal 10 Agustus 1867, untuk
pertama kali resmi dioperasikan angkutan penumpang kereta api dari Stasiun
Samarang menuju Tangoeng (Tanggung) sepanjang 25 kilometer melintasi Halte
Allas-Toewa (Alas Tua) dan Broemboeng (Brumbung) Pembangunan stasiun dan

4
jalur relnya berlangsung tiga tahun. Pencangkulan pertama pada 17 Juni 1864 oleh
Gubernur Jenderal Hindia Belanda LAJW Baron Sloet va Beele. Nederlandsch-
Indische Spooerweg Maatschappij, disingkat NIS, disebut sebagai perusahaan
swasta Belanda yang memiliki dan mengoperasikan kereta api angkutan
penumpang dan barang untuk jalur Samarang-Tangoeng.
Sejarah keberadaan transportasi kereta api di Indonesia sangat
berkaitan dengan kegiatan pembangunan kota, karena dengan adanya fasilitas
kereta api, kegiatan ekonomi di perkotaan semakin maju di Indonesia, terutama
pulau Jawa pada saat itu. Perkembangan perkeretapian di Indonesia ditandai
dengan keberadaan 70 kelas lokomatif uap yang pernah beroperasi di Hindia
Belanda. Lokomotif uap ini mempunyai ukuran yang bervariasi, mulai dari yang
berukuran kecil untuk term uap pada perkebunan dan untuk transportasi
penumpang di kota besar serta lokomotif ukuran besar yang digunakan untuk
mengangkut hasil bumi dan barang tambang dari wilayah pedalaman ke
pelabuhan.
Perkembangan transportasi darat di Solo tahun 1860 sampai 1920 sudah semakin
maju, hal ini ditandai dengan ditemukannya alat transportasi lain seperti
kendaraan roda dua dan mobil. Pada masa ini, angkutan berupa kereta api dan
angkutan darat mulai memegang peranan penting karena angkutan jalur sungai
sudah tidak berfungsi lagi untuk kegiatan ekonomi dan distribusi barang.
Hingga pada tahun 1860, diadakanlah penelitian dalam rangka rencana
pembangunan jalur rel kereta api antara Semarang, Solo, dan Yogyakarta yang
dilakukan oleh Ir. Thomas Joannes Stieltjes atas usulan dari pemerintah dan
kalangan penguasaha.
Masuknya transportasi kereta api di Kota Solo disebabkan karena daerah
Vorstenlanden yang mempunyai hasil pertanian dan perkebunan yang sangat
menguntungkan bagi pihak kolonial Belanda. Di sisi lain, kebutuhan akan adanya
transportasi yang lebih cepat untuk menempuh perjalanan menuju pelabuhan
sangat diperlukan agar barang hasil alam tidak rusak atau membusuk di tengah
perjalanan dalam proses pengiriman.
Dengan masuknya transportasi kereta api di kota Solo ini berdampak pada
perubahan pandangan masyarakat, yang pada awalnya menggunakan transportasi

5
jalur air kemudian berubah ke transportasi jalur darat. Di sisi lain, sungai
Bengawan Solo yang mulai mengalami pendangkalan juga menjadi alasannya,
karena banyak barang yang hanya bisa diangkut pada musim hujan saja. Oleh
karena itu, pilihan lain beruha transportasi jalur daratlah yang menjadi pilihannya.
Bahwa pembangunan perluasan jaringan kereta api kolonial di Jawa berlangsung
dari abad 19 sampai abad 20 yang berujuan untuk memodernisasi system
transportasi dan pengangkutan secara masal yang cepat, serta bertujuan untuk
membuka daerah pedalaman, terutama wilayah Vorstenlanden untuk
pengangkutan hasil alam dari pedalaman menuju pelabuhan.

B. Latar Belakang Penamaan Stasiun Solo Balapan


Lahan yang sekarang menjadi Stasiun Balapan, sebelumnya merupakan alun
utara milik Keraton Mangkunegaran. Di dalam alun-alun terdapat pacuan kuda
Balapan, pada masa Mangkunegara IV.
Pemerintah Kolonial Belanda sudah menggagas jalur rel kereta api dari
Semarang (sebagai Ibu Kota Provinsi) menuju Solo, maka Solo harus punya
stasiun kereta api. Lokasi lapangan pacuan kuda yang dalam bahasa Jawa disebut
Balapan dianggap paling pas untuk menjadi sebuah stasiun, karena jalur rel bisa
langsung mengarah ke Semarang. Akhirnya, pacuan kuda itu diubah menjadi
sebuah stasiun, dan nama Balapan tetap dipertahankan.
Adapun alasan pemerintah kolonial tetap mempertahankan nama Balapan,
yaitu untuk menghormati Mangkunegara IV yang telah suka rela memberikan
“tanah”nya kepada kolonial untuk dibangun stasiun demi kemaslahatan bersama.

C. Perkembangan Proses Pembangunan Stasiun Solo Balapan


Pada awal proses pembangunan, Stasiun Solo Balapan ini berada di bawah
wewenang perusahaan kereta api Hindia Belanda yaitu Nederlandsch – Indische
Spoorweg maatschappij atau yang disingkat NIS. Arsitek Belanda yang
merancang pembangunan Stasiun Solo Balapan ini bernama Herman Thomas
Karsten, seorang arsitek berdarah Indisch.

6
Peletakan batu pertama berlangsung pada tahun 1864 yang dihadiri oleh
Mangkunegara IV serta turut hadir pula Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Baron
van de Beele.
Stasiun Solo Balapan pada awal pembangunan sangat berbeda jauh dengan
sekarang, apalagi dengan ditambahnya bangunan baru untuk lahan parkir serta
pembangunan skybridge.
Rancangan oleh Thomas Karsten adalah sebagai berikut :
1. Bangunan utama : berfungsi sebagai bangunan penerima, dengan bentang yang
lebar dan struktur atap dari rangka baja
2. Kolom pada tepi bangunan (untuk memberikan efek luas dan lapang)
3. Struktur atap yang menempel beserta talang air yang menempel pada kolom
besi baja
4. Atap bangunan : dengan system susun 3, yang difungsikan sebagai ventilasi
udara dan cahaya secara alami, karena Kartsen melihat kondisi udara Solo yang
panas. Selain itu menurut narasumber, atap susun 3 ini sebagai bentuk akulturasi
antara budaya Eropa dengan budaya Jawa, dalam rangka menghornati
Mangkunegara IV.
Hingga akhirnya cecara resmi, Stasiun Solo Balapan dibuka pada tanggal 10
Februari 1870 dan menjadi stasiun kereta api kelas besar tipe A setelah stasiun
Semarang dan sampai saat ini masih di bawah operator Daerah Operaso VI
Yogyakarta.
Stasiun Solo Balapan ini juga merupakan stasiun kedua di Indonesia yang
menggunakan system persignalan elektrik setelah Stasiun Bandung. Signal ini
mulai dinyalakan pada tahun 1973.
Dalam perkembangannya, Stasiun Solo Balapan telah mengalami perombakan
sebanyak tiga kali, yaitu pada tahun 1927, 2017, dan 2019, tetapi tetap dengan
mempertahankan atap bersusun tiganya. Selain itu penambahan tempat parkir di
Stasiun Balapan ini berkaitan dengan bertambahnya tujuan pemberhentian kereta
api dari kota Solo menuju kota yang lain.
Fasilitas dari stasiun Solo Balapan dari tahun ke tahun juga makin signifikan.
Diantaranya adalah pembangunan pusat oleh – oleh di dalam stasiun, hal ini
dilakukan untuk mendorong ukm masyarakat kota Solo. Selain itu dibangun pula

7
fasiltas seperti toilet, mushola, fasilitas kesehatan, dan ruang ibu menyusui untuk
penunjang para penumpang.
Salah satu pembangunan yang baru saja selesai dan diremsikan yaitu skybridge
atau jembatan gantung. Jembatan ini terletak di sebelah timur stasiun yang
berfungsi sebagai penghubung antarmoda antara Stasiun Balapan dengan
Tirtonardi Solo. Jembatan ini telah beroperasi sejak Juni 2017 lalu. Namun,
menurut opini narasumber, masih sangat minim masyarakat yang memanfaatkan
skybridge ini, dikarenakan kurangnya sosialisasi dari pihak terkait kepada
masyarakat akan adanya tambahan fasilitas ini

D. Kondisi Lingkungan di Sekitar Stasiun Solo Balapan


Pada awal pembangunan stasiun balapan, kondisi lingkungan belumlah terlalu
berpengaruh. Namun seiring berkembangnya zaman, dan perkembangan pola
pedesaan menjadi pola perkotaan, pembangunan juga semakin digalakkan. Salah
satu bangunan itu ialah Pasar Ayu. Pasar Ayu ini terletak di timur Stasiun
Balapan. Dibangun tahun 1986. Pasar ini semenjak dulu hingga sekarang
fungsinya tidak banyak berubah yaitu sebagai pasar kuliner dan jasa pengiriman
paket ekspedisi via kereta api.
Selain itu, pembangunan hotel, warung makan, pusat oleh – oleh, hingga
minimarketpun kian menjamur seiring perkembangan zaman. Apalagi sejak
adanya UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang penataan ruang .
Menurut salah satu narasumber kami, pembangunan minimarket pada awalnya
memberikan dampak yang negatif bagi warga sekitar. Dikarenakan banyak
penjual sembako di sekitar Stasiun Balapan menjadi sepi dan gulung tikar.
Banyak masyarakat yang lebih memilih membeli perlengkapan di minimarket,
dengan alasan tempat yang lebih dingin, bersih dan nyaman.

8
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Demi mendukung proses kolonialsme yang dilakukan oleh pihak Belanda,
dibangunlah saran prasarana transportasi di beberapa wilayah jajahannya. Salah
satunya berada di Surakarta yaitu pembangunan Stasiun Solo Balapan.
Pemberian nama Stasiun Solo Balapan ini digunakan untuk menghormati
penguasa Surakarta pada saat itu, yaitu Mangkunegara IV, yang mana telah
merelakan alun alun “balapan” kudanya untuk dibangun menjadi sebuah stasiun.
Adapun arsitektur yang merancang bernama Thomas Karsten. Dalam
rancangannya membangun Stasiun Solo Balapan yang terkenal ialah atapa susun
tiga yang masih dipertahankan hingga sekarang.
Pembangunan Stasiun Solo Balapan ini sangat berdampak bagi kehidupan
sekitar. Salah satunya dengan adanya pembangunan Pasar Ayu, sebagai pasar
penerima logistic barang.
Hingga saat ini, Stasiun Solo Balapan telah mengalami perombakan sebanyak
tigas kali. Pengembangan pembangunan yang terakhir kali dilakukan ialah
pembangunan skybridge untuk menghubungkan Stasiun Solo Balapan dengan
Terminal Tirtonardi.

9
DAFTAR PUSTAKA

Wirjomartono, Bagoes, dkk. Sejarah Kebudayaan Indonesia : Arsitektur. 2009.


PT RajaGrafindo Persada : Jakarta.
Sidharta. Eko Budiharjo. Konservasi Lingkungan dan Bangunan Kuno Bersejarah
di Surakarta. 1989. Gadjah Mada University Press : Jogjakarta.
Martin, Auditya. Transportasi Kereta Api Dalam Pembangunan Kota Solo Tahun
1900 – 1940. 2010. Skripsi Fakultas Sastra dan Seni Rupa.
Universitas Sebelas Maret : Surakarta.
Sefaji, Ghavi Yuda, dkk. Kesiapan Aksesibilitas Stasiun Solo Balapan dalam
Melayani Trayek Kereta Api Penghubung Bandara Adi
Soemarmo dan Kota Surakata. 2018. Region Volume 13, Nomor
1 (2018).
Ardiyanto, Antonius, dkk. Thomas Karsten and the Java Traditional Architecture
Development and Innovation. 2015. The International Journal of
Humanities and Social Studies (ISSN 2321 – 9203)
Zaida, Suci N. 2010. Surakarta: Perkembangan Kota sebagai Akibat Pengaruh
Perubahan Sosial pada Bekas Ibukota Kerajaan di Jawa. Jurnal
Lanskap Indonesia,vol. 2 no. 2. Institut Pertanian Bogor: Bogor
Darini, Ririn, dkk. 2014. Pengaruh Sosial Ekonomi Transportasi Kereta Api di
Jawa Tengah dan Yogyakarta tahun 1864-1930. Laporan
Penelitian melibatkan Mahasiswa FIS UNY: Yogyakarta

iv
LAMPIRAN
A. LAMPIRAN FOTO HASIL PENELITIAN

Foto bersama Ibu Sri Rejeki

Foto bersama Bapak Muji

Tangki air yang sudah dari tahun 1970-an Namun masih disimpan untuk
jadi cagar budaya di Solo Balapan

v
B. LAMPIRAN HASIL WAWANCARA
Informasi Narasumber I
Nama : Sri Rejeki
Alamat : Rt 01/Rw01
Profesi/Jabatan : Ketua Rt01/Rw01 Kel. Punggawan, Banjarsari

Informasi Narasumber II
Nama : Muji
Alamat : Jl. S Parman Gang. Selayar 1, Kestalan, Banjarsari,
RT02/RW05
Profesi/Jabatan : -

Narasumber I
Hari/tanggal : Rabu, 10 Maret 2020
Waktu : 12.30 WIB
1. Sejak kapan Ibu Sri tinggal di lingkungan ini?
Jawaban: sejak tahun 1979 Ibu Sri sudah tinggal di kelurahan
Punggawan, Banjarsari tepatnya di sebelah Barat bibir sungai
Kalipepe. Dimana lokasi tersebut bersebelahan dengan StasiunSolo
Balapan.
2. Bagaimana keadaan lingkungan sekitar Stasiun Balapan yang ibu
tahu sejak ibu tinggal disini?
Jawaban: dahulu lingkungan dan tanah sebelah selatan sungai
Kalipepe yang berbatasan langsung dengan Stasiun Balapan
merupakan milik PT. KAI. Sebelum menjadi perumahan warga
dulunya terdapat rumah Tangki dan kebon. Rumah tangki tersebut
merupakan tempat untuk penampungan air dan tangki yang
digunakan untuk menyedot air dari sungai Kalipepe lalu di alirkan
ke jumbleng dan dinaikkan ke tangki, proses ini bertujuan
menampung air dari sungai untuk dialirkan ke depo (tempat
pencucian gerbong kereta api). Sehingga saat kerta singgah lalu
masuk ke depo dan dibersihkan.

vi
Selain itu disebelah rumah tangki juga terdapat gudang kecil yang
digunakan oleh PT. KAI untuk penyimpanan besi dari rel kereta
api namun terjadi perpindahan tempat penyimpanan saat dilakukan
perombakan. Namun lambat laun lahan di sebelah Timur sungai
Kalipepe itu disewakan untuk perumahan penduduk yang
rumahnya sebagian tidak bersertifikat.
3. Bagaimana perubahan perkembangan stasiun Balapan sejak ibu
mulai tinggal hingga sekarang?
Jawaban: di area dalam Stasiun Solo Balapan, bangunan utamanya
tidak terlalu berubah masih sama sejak pertama pembangunan,
hanya saja direnovasi untuk lantai dan pengecatan. Lorong yang
terdapat di stasiun di Barat dan Timur juga sudah dari dulu ada,
namun juga direnovasi untuk kenyamanan pengunjung dan calon
penumpang kereta api. Selain itu juga ada perluasan lahan parkir
yang sebelumnya berada di sebelah Barat pasar Ayu, menjadi lebih
luas dengan ditambahkan di sebelah Barat bangunan utama
Stasiun. Ada juga penambahan rel kereta api menjadi 3 jalur dan
untuk jalur kearah Semarang sudah ada sejak awal pembangunan
stasiun. Perubahan pembangunan yang signifikan berlangsung saat
kepemimpinan Joko Widodo sebagai walikota Solo.
4. Apa saja dampak dari perubahan pembangunan di Stasiun Solo
Balapan bagi lingkungan sekitarnya?
Jawaban: menurut bu Sri Rejeki, dampak yang dari perkembangan
pembangunan Stasiun Balapan kurang signifikan. Untuk aspek
ekonomi juga tidak terlalu menguntungkan dan tidak merugikan,
sehingga menurut bu Sri Rejeki lebih tergantung setiap individu
yang tinggal di sekitarnya bagaimana beradaptasi pada perubahan
pembangunan Stasiun Solo Balapan.
Narasumber II
Hari/Tanggal : Jumat. 12 Maret 2020
Waktu : 10.30 WIB
1. Sejak kapan bapak tinggal di lingkungan ini?

vii
Jawaban: sejak tahun 1980, dulunya bapak Muji tinggal di
Boyolali, namun sering ke Solo karena ayah dari bapak Muji
menjadi teknisi bagian rel PT. KAI di stasiun Solo Balapan. Lalu
kemudian pindahan pada tahun 1980.
2. Bagaimana keadaan lingkungan sekitar Stasiun Balapan yang
bapak tahu sejak bapak tinggal disini?
Jawaban: disekitar lingkungan rumah pak Muji memang dulunya
adalah kompleks rumah dinas untuk bagian atasan stasiun Balapan.
Namun seiring berjalannya waktu rumah tersebut ada yang
diwariskan ke sanak saudaranya ada juga yang disewakan dan ada
pula yang ditinggalkan. Termasuk rumah yang ditempati pak Muji
dulunya adalah bagian gudang dari kantor Stasiun Balapan di jl. S
parman, namun karena ada renovasi kantor dipindah dan bangunan
tersebut disewakan. Karena ayah pak Muji yakni Bapak Suratman
menjadi pegawai di stasiun solo Balapan bagian teknisi rel maka
dapat menyewa tanah di belakang bangunan bekas kantor tersebut.
Terdapat 70 Katu Keluarga di Rt02/ Rw05 pemukiman pak Muji,
namun hanya ada sekitar 40 rumah yang tidak bersertifikat. Rumah
tersebut ada yang sebagianmasih bangunan utuh dan ada juga yang
direnovasi tergantung pemiliknnya. Ketika aka nada penggusuran
rumah oleh pihak PT KAI warga sudah dihimbau dan disosialisasi
untuk ikhlas jika ada penggusuran dengan syarat penggusuran yang
manusiawi tidak dengan kekerasan. Namun setidaknya mereka
diberikan kompensasi sejumlah uang ataupun rumah sementara.
Di depan pekarangan rumah pak Muji terdapat tangki yang
dibawahnya terdapat sumur dan dulunya juga digunakan untuk
mengisi stok air di dalam kerta seperti MCK dan dapur, namun
sekarang sudah lapuk dan di tidak dapat digunakan. Bahkan pak
Muji sudah mengajukan ke stasiun Lempuyangan Yogyakarta
(pusat PTKAI Solo dan sekitarnya) untuk di rubuhkan karena takut
menimpa rumah tetangganya namun mendapat penolakan

viii
dikarenakan setelah dilakukan survey itu sudah menjadi cagar
budaya dan tidak dapat di hancurkan.
3. Bagaimana perubahan perkembangan stasiun Balapan sejak bapak
mulai tinggal hingga sekarang?
Jawaban: perubahan yang terjadi sangat Nampak, terlebih renovasi
pada bagian lorong barat dan timur yang dijadikan kios oleh-oleh
dan fasilitas untuk pengunjung stasiun yang lebih memadai
disbanding sejak awal didirikan yang lebih sederhana. Terlebih
adanya pembangunan sky bridge yang menghubungkan stasiun
Solo Balapan ke terminal Tirtonadi, menjadi alternatif yang baik
untuk pengunjung dan penumpang kereta api.
4. Apa saja dampak dari perubahan pembangunan di Stasiun Solo
Balapan bagi lingkungan sekitarnya?
Jawaban: menurut bapak Muji, karena peraturan yang tidak
memperbolehkan adanya penjual asongan masuk ke dalam kereta
itu dirasa merugikan pedagang kecil, namun jug amenguntungkan
kenyamanan penumpang kereta. Selain itu juga pak Muji merasa
kecewa karena adanya pembatasan pengantaran penumpang yang
sudah tidak bias lagi masuk ke peron, hal ini membuat pak Muji
sedih saat mengantarkan saudaranya ke stasiun namun hanya
sampai ke bagian pengecekan tiket saja.
Selain hal itu karena adanya teknologi yang semakin maju maka
ada rencana pengembangan kereta listrik di stasiun Solo Balapan
namun belum ada kepastian waktunya. Oleh sebab itu, dari pihak
PT KAI sudah menghimbau kepada warga rt02/rw05 untuk
bersiap-siap karena sewaktu-waktu akan aka nada penggusuran,
dan terbukti sudah ada 3 rumah yang digusur untuk pembangunan
rumah sinyal nantinya.
Penggusuran 3 bangunan itu sang pemilik juga mendapatkan uang
kompensasi sebesar Rp 64.000.000 untuk bangunan yang lebih
besar yakni dulunya klinik, lalu ada yang Rp 38.000.000 dan Rp

ix
35.000.000, pak Muji sendiri kurang mengetahui secara detail
mengapa ada perbedaan kompensasi di tiga bangunan terebut.

Anda mungkin juga menyukai