KELOMPOK 8A :
ANGGA GIAN PRATAMA 01311640000053
AVIANNITA PUJI R. 01311640000007
BRILLIANCY P.P 01311640000027
RAFIKA T.P 01311640000069
DEPARTEMEN BIOLOGI
INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER
SURABAYA
2018
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT, karena dengan rahmat dan karunia-
Nya penulis dapat diberi kesempatan untuk bekerja sama menyelesaikan makalah ini berjudul
“Genetically Modified Organism (GMO)”, dimana makalah ini merupakan salah satu tugas
dari mata kuliah Bioteknologi.
Tidak lupa penulis ucapkan terimakasih kepada Bapak Dr. Nurul Jadid, M.Sc., dan
Ibu Noor Nailis Sa’adah, S.Si., M.Si. selaku dosen mata kuliah Bioteknologi dan teman-
teman Biologi ITS angkatan 2016 yang telah memberikan dukungan dalam menyelesaikan
makalah ini. Penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini masih banyak kekurangan.
Oleh sebab itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun. Semoga dengan
selesainya makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan teman-teman. Amin. Atas
perhatiannya penulis ucapkan terimakasih.
Produk rekayasa genetik atau organisme hasil modifikasi adalah organisme hidup, yang
bagian-bagiannya, dan atau hasil olahannya mempunyai susunan genetik baru dari hasil
penerapan bioteknologi modern, melalui serangkain teknik/metode yang digunakan untuk
mengidentifikasi, meniru, memodifikasi dan mentransfer materi genetik dari sel, jaringan
atau mahluk hidup lengkap dari satu mahluk hidup ke mahluk hidup lainnya. Prinsip dasar
teknologi rekayasa genetika adalah menggunakan rekombinasi DNA (DNA recombinant),
merupakan suatu metode yang digunakan untuk memanipulasi langsung DNA yang
berorientasi pada ekspresi gen tertentu. Teknik ini melibatkan kemampuan untuk
mengisolasi, memotong dan memindahkan potongan DNA tertentu sesuai dengan gen-gen
yang menjadi target, bertujuan untuk meningkatan kehidupan dan kesejahteraan manusia
dengan memproduksi berbagai zat seperti enzim, antibodi monoklonal, nutrisi, hormon, dan
berbagai produk farmasi termasuk obat dan vaksin dalam jumlah besar (Klug dan Cummings,
2002; Singh et al., 2006; Artanti et al., 2010).
Pada awalnya, rekayasa genetika hanya dilakukan pada tanaman untuk memecahkan
kekurangan pangan penduduk dunia, dan dalam pengembangannya rekayasa genetika tidak
hanya berlaku untuk tanaman dan hewan yang serupa, tetapi telah berevolusi pada manusia
dan lintas jenis. Teknologi rekayasa genetik dapat digunakan untuk meningkatkan ketahanan
tanaman terhadap cekaman biotik dan abiotik, biofortifikasi dan produksi bahan farmasi.
Padi tahan hama penggerek batang, pepaya tahan penyakit papaya ringspot virus, kedelai
toleran herbisida, dan Golden rice yang mengandung beta carotene adalah contoh-contoh
PRG yang telah dikembangkan. Namun, pemanfaatan tanaman PRG masih mengundang
kekhawatiran masyarakat bahwa produk tersebut mungkin dapat menimbulkan risiko
terhadap lingkungan, keanekaragaman hayati, kesehatan manusia dan hewan.
Kontroversi produk-produk hasil rekayasa genetik sampai sekarang masih terus
berlangsung. Berbagai isu global telah menjadikan produk ini aman bagi sebagian orang,
tetapi dianggap berbahaya bagi sebagian orang. Mengingat masih banyaknya perbedaan
pendapat maka masih diperlukan sikap hati-hati dan waspada. Untuk itulah pemerintah dan
dunia internasional umumnya menangani hal ini dengan pendekatan kehati-hatian
(precautionary approach) dan menyiapkan perangkat hukum untuk melindungi masyarakat
dari akibat negatif produk-produk hasil rekayasa genetik.
Beragam manfaat dari produk tanaman transgenik yang diklaim oleh pihak peneliti dan
praktisi rekayasa genetika ternyata tidak mampu meredam pertentangan penerapan teknologi
ini sebagai alternatif baru komoditi pangan. Penolakan terhadap budidaya tanaman transgenik
ini karena dianggap dapat membahayakan kesehatan manusia dan mengganggu
keseimbangan ekosistem. ketidakadilan bagi negara agraris berkembang karena adanya
kesenjangan teknologi yang sangat jauh dengan negara maju. Kesenjangan tersebut timbul
karena bioteknologi modern sangatlah mahal sehingga sulit bagi negara berkembang untuk
mengembangkannya. Hak paten yang dimilik produsen produk transgenik juga semakin
menambah dominasi negara maju. Petani yang menanam benih transgenik tanpa ijin dapat
dituntut ke pengadilan karena dianggap melanggar property rights. Pertentangan tersebut
wajar adanya mengingat setiap orang memiliki sudut pandangnya masing-masing. Penerapan
teknologi sangat diperlukan dalam upaya mencari alternatif pemenuhan kebutuhan pangan,
akan tetapi ilmiah saja tidaklah cukup, diperlukan etika mengenai norma dan nilai-nilai moral
yang melindungi hak-hak asasi manusia serta makhluk hidup lainnya. Pengembangan
teknologi dan pemanfaatan sumber daya hayati diperuntukkan seluas-luasnya bagi
kepentingan manusia dan makhluk hidup lainnya, wajib menghindari konflik moral dan tidak
boleh menimbulkan dampak negatif terhadap harkat manusia dan perlindungan lingkungan
hidup.
Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah yang menjadi pokok pembahasan
dalam kajian ini adalah:
1.3 Tujuan
Tujuan dari penyusuan makalah ini antara lain :
1. Mengetahui Pengertian Genetically Modified Organism (GMO) ?
2. Mengetahui Bagaimana Sejarah Genetically Modified Organism (GMO) ?
3. Mengetahui Bagaimana Klasifikasi Genetically Modified Organism (GMO) ?
4. Mengetahui Bagaimana Proses pembuatan Genetically Modified Organism (GMO) ?
5. Mengetahui Contoh Produk GMO?
6. Mengetahui Bagaimana Dampak positif dan negatif Genetically Modified
Organism (GMO) terhadap kehidupan ?
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Pada awalnya, rekayasa genetika hanya dilakukan pada tanaman untuk memecahkan
kekurangan pangan penduduk dunia, dan dalam pengembangannya rekayasa genetika tidak
hanya berlaku untuk tanaman dan hewan yang serupa, tetapi telah berevolusi pada manusia
dan lintas jenis (Mahrus, 2014). Dimulai dari prinsip penurunan sifat dilakukan
mendel,revolusi genetika yang menguraikan stuktur DNA serta proses transkripsi dan
translasi,pada tahun1971 genetika maju pesat revolusi biologi modern munculnya teknologi
dna rekombinan. Teknologi rekayasa genetik dapat digunakan untuk meningkatkan
ketahanan tanaman terhadap cekaman biotik dan abiotik, biofortifikasi dan produksi bahan
farmasi. Padi tahan hama penggerek batang, pepaya tahan penyakit papaya ringspot virus,
kedelai toleran herbisida, dan Golden rice yang mengandung beta carotene adalah contoh-
contoh PRG yang telah dikembangkan. Namun, pemanfaatan tanaman PRG masih
mengundang kekhawatiran masyarakat bahwa produk tersebut mungkin dapat menimbulkan
risiko terhadap lingkungan, keanekaragaman hayati, kesehatan manusia dan hewan(Mahrus,
2014).
Gambar 2. Tahap dasar dalam transformasi sel tanaman oleh A. tumefaciens (Zupan dan
Zambryski 1995).
Tumor tanaman oleh A. tumefaciens berasal dari stimulasi bagian sel tanaman oleh
produk gen yang dikodekan oleh bagian DNA (T-DNA) yang ditransfer dari bakteri ke
tanaman. T-DNA Agrobacterium tipe liar memiliki gen IaaM, IaaH, dan ipt yang
menghasilkan fitohormon auksin dan sitokinin. Interaksi auksin dan sitokinin tersebut
menghasilkan kalus kompak berupa tumor. Pengolahan dan transfer T-DNA diperantarai oleh
produk yang dikodekan oleh wilayah vir (virulensi) yang juga bagian dari Ti-plasmid.
Proses transformasi genetik oleh A. tumefaciens pada sel tanaman diawali dengan pelukaan
pada tanaman. Luka pada jaringan tanaman berfungsi sebagai jalur masuk bakteri menuju
tempat yang dikenali pada permukaan sel tanaman, sehingga sel tanaman menjadi kompeten
untuk ditransformasi. Luka menyebabkan tanaman menghasilkan senyawa fenolik
(Asetosiringone) yang menarik A. tumefaciens dan menginduksi gen-gen vir tadi yang
diperlukan dalam proses transfer T-DNA (Gelvin 2003).
Gen vir berperan secara langsung dalam transfer gen. Pengontrolan ekspresi gen
diperantarai oleh protein VirA dan VirG (Winans 1992). VirA mendeteksi senyawa fenolik
yang dikeluarkan oleh tanaman yang luka dan juga mengakibatkan autofosforilasi (Gambar 4,
tahap 1). Fosforilasi VirA pada VirG kemudian menyebabkan aktivasi transkripsi gen vir.
Transfer intermediet dimulai dengan menggenerasikan T-strand, yaitu salinan untai tunggal
dari T-DNA (Stachel et al. 1986). VirD1 dan VirD2 sangat penting untuk proses ini
(Filichkin dan Gelvin 1993). VirDl/D2 mengenali urutan border 25 pb dan menghasilkan
pembelahan untaian tunggal endonukleolitik pada untaian bawah setiap border (Gambar 4,
tahap 2). Pembelahan ini digunakan sebagai inisiasi dan terminasi situs untuk menghasilkan
T-strand (Zupan dan Zambryski 1995).
Setelah pembelahan terjadi, VirD2 tetap terkait erat dengan ujung 5 'dari T-strand. VirD2
pada ujung 5' memberikan karakter polar pada T-complex yang dapat menjamin bahwa ujung
5' adalah ujung terdepan dalam tahap berikutnya. T-strand harus melewati berbagai membran
dan ruang selular sebelum masuk ke inti sel tanaman. Dengan demikian, untuk melindungi
integritasnya, hal tersebut dihipotesiskan bahwa T-strand kemungkinan ditransfer sebagai
sebuah kompleks.
protein ssDNA. VirE2 adalah protein asam nukleat untaian tunggal yang dikodekan oleh
lokus VirE yang mengikat tanpa spesifisitas sekuen. VirE2 mengikat dengan erat yang berarti
bahwa T-strand akan benar-benar dilindungi (Gambar 4, tahap 3). Akibatnya degradasi oleh
nuclease dapat dicegah dan VirE2 menjadikan ssDNA tahan terhadap degradasi nukleolitik.
Selanjutnya, T-complex harus keluar dari sel bakteri (Gambar 4, tahap 4), melewati membran
dalam dan luar serta dinding sel bakteri. Kemudian harus menyeberangi dinding dan
membran sel tanaman (Gambar 4, tahap 5). Setelah berada di dalam sel tanaman, T-complex
ditargetkan ke inti sel tanaman dan melintasi membran nukleus (Gambar 4, tahap 6), setelah
itu T-strand menjadi terintegrasi ke dalam kromosom tanaman (tahap 7) (Zupan dan
Zambryski 1995).
(a) (b)
Gambar 3. Tahapan Penyisipan Gen (a) dan tahap setelah penyisipan (b)
Tahapannya meliputi : Ti-plasmid yang terdapat pada bakteri agrobacterium
dikeluarkan dari sel bakteri agrobacterium kemudian dipotong dengan menggunakan enzim
endonuclease restriksi, Isolasi dna pengkode protein (gen) yang kita inginkan dari organisme
tertentu, Sisipkan gen yang kita inginkan tersebut pada plasmid dan rekatkan dengan enzim
DNA ligase dan dilanjutkan Masukkan kembali plasmid yang sudah disisipi gen ke dalam
bakteri agrobacterium, Plasmid yang sudah disisipi gen akan terduplikasi pada bakteri
agrobaterium Selanjutnya , bakteri akan masuk ke dalam sel tanaman dan mentransfer gen,
Kemudian, sel tanaman akan membelah. Tiap-tiap sel anak akan memperoleh gen baru dalam
kromosom dari sel tanaman dan membentuk sifat/karakteristik yang baru (yang sesuai dengan
gen yang disisipkan).
Konstruk gen yang diintroduksi ke tanaman pada umumnya mengandung 3 elemen,
yaitu (1) promoter yang berfungsi untuk mengaktifkan dan menidakaktifkan gen yang
diintroduksikan, (2) gen yang diintroduksi yang mengekspresikan sifat yang diinginkan, dan
(3) terminator, yaitu untuk menghentikan signal pembacaan dari sekuen gen yang
diintroduksi dalam proses pembentukan protein (Viljoen 2005). Ada beberapa promoter yang
sering digunakan dalam perakitan tanaman transgenik, tetapi yang umumnya digunakan
adalah P-35S yang berasal dari Cauliflower Mosaic Virus. Sekuen untuk terminator adalah T-
NOS yang umumnya berasal dari Agrobacterium tumefacien.
Hampir seluruh tanaman transgenik yang telah dikomersialkan mengandung promoter
P-35S dan terminator T-Nos atau T-35S. Oleh sebab itu, sekuen P- 35S dan T-Nos ini sering
dipakai untuk skrining GMO. Namun demikian, skrining dengan cara ini sering menimbulkan
false positif yang berasal dari kontaminasi tanaman dengan virus atau bakteri yang berada di
tanaman sampel. Walaupun suatu GMO mempunyai gen yang insersi, promoter dan
terminator yang sama, maka mereka dipertimbangkan sebagai tanaman transgenik yang
berbeda (dengan event yang berbeda) dan diberi nama yang berbeda pula karena mereka
berbeda pada lokasi genom tanaman di mana gen diinsersikan.
Deteksi GMO atau derivatnya dapat dilakukan umumnya melalui deteksi baik dari
DNA, dan/atau protein. Mayoritas metode adalah DNA, hanya sedikit saja metode yang
menggunakan protein. Umumnya metode yang didasarkan protein lebih sederhana, mudah,
dan murah untuk dilakukan, namun ia mempunyai beberapa kelemahan, seperti hanya dapat
mendeteksi bahan dasar (biji-bijian dan tepung), dan tidak dapat dipakai pada makanan yang
mengalami proses panjang seperti tahu, tempe, dan makanan lainnya. Perbedaan antara kedua
metode ini dapat dilihat pada Tabel 2 (Bahagiawati dan Sutrisno, 2007)
Tabel 2. Persamaan dan Perbedaan Antara metode deteksi GMO berdasarkan DNA dan
protein
Dari beberapa metode yang digunakan untuk mendeteksi keberadaan GMO, seperti PCR,
LCR,
fingerprint (RFLP, AFLP, dan RAPD), PCR adalah metode yang banyak digunakan dan
umumnya diterima untuk memenuhi peraturan-peraturan (legalitas) untuk mendapatkan
persetujuan (approval) penggunaan GMO dan derivatnya untuk pangan dan pakan dan untuk
label produk di pasar (Bahagiawati dan Sutrisno, 2007)
Saat ini ada dua metode isolasi DNA yang banyak digunakan, yaitu metode CTAB
dan DNA binding silica column yang umumnya diproduksi secara komersil tes kit oleh
perusahaan di luar negeri. Metode CTAB berdasarkan inkubasi sampel pada detergen
hexadecyltrimethylammonium bromide. Beberapa kit ekstraksi DNA berdasarkan DNA-
binding silica yang dijual adalah WizardTM yang diproduksi oleh Promega (Wisconsin,
USA) dan Dneasy Plant mini kit dari Qiagen (Hilden, Germany). Efesiensi dari PCR, seperti
pada metode DNA lainnya sangat tergantung pada kualitas dan kemurnian DNA yang
diisolasi. Kualitas DNA ditentukan oleh ukuran fragmen (utas) DNA dan tingkat
kerusakannya. Kerusakan DNA dapat terjadi karena ia terhidrolisis karena panas, pH rendah,
dan nuklease dan degradasi yang disebabkan oleh enzim lainnya. Kemurnian DNA
tergantung adanya kontaminan seperti polisakarida, lemak dan poliphenol atau bahan kimia
lainnya yang digunakan sewaktu proses isolasi. Taq polymerase dapat dihambat kerjanya
oleh polisakarida, EDTA, phenoldan SDS sehingga produk PCR tidak bias didapatkan.
Metode ekstraksi dan purifikasi yang benar dan terpercaya sangat dibutuhkan terutama untuk
menghilangkan efek matriks, yaitu bentuk makanan yang telah mengalami proses pembuatan
yang panjang, misalnya sirup jagung, minyak jagung, susu kedelai, tempe, kecap, tahu dari
kedelai dan lain sebagainya. Beberapa aspek yang krusial dalam pendeteksian GMO adalah
jumlah atau kuantifikasi dari GMO dalam suatu sampel, karena maksimal konsentrasi GMO
dalam suatu bahan makanan, makanan setengah jadi dan makanan jadi merupakan dasar pada
peraturan pemberian label yang diberlakukan di beberapa negara seperti Uni Eropa, Jepang,
Korea Selatan, dan Taiwan. Oleh sebab itu, pendekatan PCR secara kuantitatif sangat
diperlukan (Bahagiawati dan Sutrisno, 2007)
Kualitatif PCR
Teknik PCR yang pertama kali dikenal dan digunakan secara luas adalah end-point
PCR. End-point PCR ini adalah PCR di mana hasil/produk hanya bias dilihat dan diamati
apabila proses PCR telah selesai. Pengamatan dilakukan dengan gel elektroforesis. Pada end-
point PCR digunakan dua buah primer. Kedua primer tersebut didesain untuk berhibridisasi
pada dua buah sekuen utas DNA yang berlawanan dari gen yang diintroduksi dan kemudian
memperbanyak sekuen diantara kedua primer beberapa juta kali melalui siklus yang
berulang-ulang. Perbanyakan utas DNA ini kemudian ditelaah dengan gel-elektroforesis yang
dapat memisahkan DNA berdasarkan ukurannya. Biasanya endpoint PCR ini digunakan
untuk analisis kualitatif deteksi GMO pada bahan makanan dan makanan jadi. Proses ini di
dalam alur pendeteksian dikenal dengan istilah skrining di mana gen targetnya adalah gen-
gen yang umum digunakan dalam proses transformasi tanaman seperti 35S dan Nos. Skrining
ini hanya dipakai
untuk menentukan keberadaan GMO pada sampel tanpa bisa mengetahui secara spesifik
event mana yang terdeteksi, serta tidak dapat digunakan untuk mengetahui ketidakberadaan
GMO pada sampel yang diuji. Untuk mengetahui apakah sampel mengandung GMO dari
event-event tertentu maka digunakan PCR dengan memakai primer spesifik dari event
tertentu. Biasanya primer ini mempunyai target sekuen dari sebagian promoter dan gen yang
diinsersi (Bahagiawati dan Sutrisno, 2007).
Metode yang umum dipakai untuk analisis kuantitatif PCR adalah real-time PCR.
Tidak seperti PCR konvensional (end-point PCR) di mana visualisasi dari hasil amplifikasi
hanya dapat dilakukan sewaktu proses PCR telah selesai, maka pada real-time PCR ini proses
proses amplifikasi tiap siklus amplifikasi dapat diamati. Amplifikasi PCR dapat diamati
dengan menggunakan dye fluorensent atau fluorensent probe. Dye (pewarna) yang dapat
mewarnai double-stranded DNA (SYBR Green I) dapat digunakan sebagai nonspesifik sistem
untuk mendeteksi amplifikai semua DNA target. Deteksi spesifik dilakukan dengan memakai
probe fluoresent untuk mengenal segmen internal dari sekuen target, yaitu baik dengan probe
hibridisasi (FRET) atau probe hidrolisis (TaqMan). Untuk kuantifikasi GMO lebih disenangi
menggunakan deteksi spesifik untuk menghindarkan masalah yang disebabkan oleh non-
spesifik amplifikasi. Penggunaan probe ini mempunyai kelebihan, yaitu dapat mendeteksi dan
sekalian memverifikasi sekuen target. Salah satu teknik probe hidrolisis TaqMan adalah
memakai mesin
ABI Prism 7700 yang dapat mendeteksi 2 pg dalam 1 gram MM dan RRS setelah 3 jam
setelah DNA ekstrasi.
Beberapa hasil penelitian yang menunjukkan bahwa penggunaan metode real-time PCR dapat
mendeteksi GMO secara kuantitatif dengan hasil yang akuratPada akhir-akhir ini metode ini
merupakan metode yang paling umum dipakai untuk deteksi GMO secara kuantitatif,
walaupun metode ini memerlukan biaya yang relatif mahal dibandingkan dengan metode
lainnya. Di samping itu, juga memerlukan pelaksana (SDM) yang telah terlatih. Metode
deteksi GMO terus berkembang, di mana beberapa penelitian dilakukan misalnya deteksi
GMO dengan multiplex PCR di mana dipakainya beberapa primer dalam satu kali PCR
running sehingga dapat menghemat biaya dan waktu, deteksi GMO dengan mikroarray,
capilary gel electrophoresis, biosensor dan genosensor. Teknologi-teknologi tersebut baru
pada tahap perkembangan dan akan memerlukan waktu beberapa tahun lagi untuk dapat
digunakan secara rutin dan ekonomis yang nantinya akan melengkapi atau menggantikan
metode yang digunakan sekarang ini (Viljoen 2005).
Tanaman transgenik di Indonesia yang dikembangkan di antaranya adalah padi, tomat, tebu,
pepaya, singkong, dan kentang, dengan menambahkan gen yang memiliki sifat resisten
terhadap salinitas, hama, dan kekeringan. Pengembangan produk tanaman transgenik di
Indonesia melibatkan beberapa universitas, seperti UNPAD, IPB dan Universtias Jember,
serta peran aktif Lembaga riset LIPI dan ICABIOGRAD.
STUDI KASUS
3.1 PENDAHULUAN
Latar belakang:
Gen Bt-cry1Ac telah dianggap efektif melawan Helicoverpa armigera yang merupakan
hama serangga lepidoptera yang terkenal. Laporan tentang ekspresi gen cry1Ac full-
length dan terpotong pada tanaman memberikan resistensi yang efektif terhadap
Helicoverpa sp. namun, kinerja mereka masih ambigu. Terlebih lagi, bahwa pemotongan
gen pada ujung 3 ′ disarankan untuk menghasilkan insektisida aktif untuk menghasilkan
produksi racun sementara secara transgenik pada tanaman kapas yang dikomersialkan
didasarkan pada gen cry 1Ac full length (panjang penuh). Oleh karena itu, kami
melakukan studi komparatif tentang kemanjuran dari dua versi gen cry1Ac (full-length:
3,510 bp dan dipotong: 1,845 bp) di T0 dan T1 tanaman tomat transgenik dan dianalisis
tingkat perlindungan terhadap H. armigera dan juga membandingkan hasil dengan temuan
kami sebelumnya terkait dengan tomat transgenik sukses Ab25E, mengekspresikan gen
cry1Ab. Integrasi gen cry1Ac (s) di T0 tanaman transgenik dan warisan di T1 progeni
adalah diamati dengan PCR, RT-PCR dan Hibridisasi Southernbolt analisis sementara,
integritas toksin, ekspresi dan toksisitas dipantau oleh Western immunoassay, DAS-
ELISA dan bioassay serangga.
3.2 TUJUAN
Tujuan Penelitian:
Memperkenalkan strategi yang lebih untuk mengatasi masalah serangga hama dan
manajemen resistensi, untuk produktivitas pertanian berkelanjutan dengan cara
menciptakan biopestisida.
3.3 HASIL
Diagram skematik daerah T-DNA dari vektor ekspresi yang digunakan untuk transformasi tomat
pRD400. B pNBRI–1. RB and LB kanan dan kiri batasan sekuens; nptII koding wilayah gen
neomisin fosfotransferase; DECaMV35S-CaMV35S promotor ganda; cry1Ac-sequence
pengkodean untuk gen cry1Ac; Pnos-promoter sekuens dari nopaline synthase; Tnos-terminator
sekuens dari sintesis nopaline. Garis tebal ( ---) menunjukkan fragmen yang digunakan untuk
probe DNA dan panah ( )menunjukkan situs primer oligo digunakan untuk amplifikasi
PCR dilambangkan sebagai A1 B1, A2 B2 dan A3 B3.
a.) Secara keseluruhan rata-rata hari onset berbunga, di 30 tanaman tomat transgenik dari
masing-masing kelompok.
b.)Jumlah buah rata-rata per tanaman di 30 tanaman tomat transgenik dari masing-masing
kelompok.
c.)Berat kering rata-rata 30 tanaman tomat transgenik dari setiap kelompok tanaman.
d.)Jumlah rata-rata biji (per gram buah) dalam delapan buah tanaman transgenik individu, di
30 tanaman dari setiap kelompok. Nilai dalam kurung menunjukkan probabilitas yang terkait
dengan t-test berpasangan siswa dengan distribusi dua buah. Ketika P <0,05 perbedaan nilai
parametrik individu dengan nilai kontrol signifikan.
Ekspresi gen Trcry1Ac pada tanaman transgenik. A.) Tiga Puluh T0. B.) Transgenik T1
terpilih. Bilah vertikal berarsir abu-abu melambangkan kandungan rata-rata protein Bt-
Cry1Ac. Kotak (persegi hijau) mewakili rata-rata status kematian% H. armigera, ketika
dikenai daun T0 dan tanaman tomat transgenik T1 masing-masing. ‘N’ adalah jumlah
populasi transgenik T1 dari masing-masing orang tua.
Ekspresi gen Flcry1Ac pada tanaman transgenik. A.) Tiga puluh T0 transgenik. BC.) T1
progeni FLAc 7 dan 11. Batang vertikal berarsir abu-abu melambangkan kandungan rata-rata
protein dan kotak Bt-Cry1Ac (persegi hijau) mewakili rata-rata status kematian% H.
armigera, ketika dikenai daun T0 tanaman transgenik.
Karakterisasi molekuler dari T0 dan T1 progeni tanaman tomat transgenik FlAc7 dan
FlAc11.
A.) Analisis PCR komparatif real-time dari transkrip di T0 Flcry1Ac tanaman transgenik
menunjukkan perubahan kali lipat dalam ekspresi sehubungan dengan FlAC 9 (tanaman
transgenik mengekspresikan rendah diambil sebagai referensi). Kontrol: kontrol non-
transgenik.
B-C.) RT-PCR dan cDNA amplifikasi gen nptII 678 bp dan gen Flcry1Ac 768 bp dari
progeni T1 menggunakan primer spesifik. M: 100 bp DNA ladder (NEB, USA). -C: tanaman
kontrol non transgenik, + C: gen DNA plasmid Flcry1Ac sebagai kontrol positif. D.)
Southern blot diperiksa dengan 3.510 bp sinar radiolabelled BamHI gen FlCry1Ac.
E.) Uji imunoblot Barat dilakukan dengan ekstrak protein daun mentah, lane1 protein toksin
Cry1Ac yang dimurnikan, jalur 12: kontrol yang tidak ditransformasi, jalur 2–11: ekstrak
protein daun dari progeni T0 FlAc7 dan FlAc11. Pita protein ~ 130 kDa dalam tanaman
transgenik menunjukkan hibridisasi dengan antibodi Cry1Ac, serupa dengan kontrol positif
3.4 KESIMPULAN
Gen cry1Ac full-length dapat didesain ulang agar ekspresi dan kinerja yang dihasilkan lebih
tinggi dalam dikot atau hibrida gen dapat dirancang supaya memiliki campuran strong
receptor dan menghasilkan karakteristik ekspresi stabil yang dapat meningkatkan toksisitas
terhadap serangga.
Daftar Pustaka