Anda di halaman 1dari 24

FILSAFAT: PERADABAN RASIONALITAS / STFT-WIDYA SASANA / 1

ARMADA CM

FILSAFAT: PERADABAN RASIONALITAS


- Mengenal kajian disiplin filsafat dari mitos ke
pencerahan

Dr. Armada Riyanto CM


STFT Widya Sasana, Malang

Mitos. Peradaban rasionalitas pada awalnya adalah mitos. Bukan dogma.


Peradaban itu
berawal dari Bukan hukum. Bukan syariat. Mitos berupa kisah, cerita, dongeng,
MITOS. legenda. Tetapi tidak sekedar itu. Mitos adalah ekspresi yang sangat hidup
Mitos tidak mengenai relasi manusia dengan ruang lingkupnya. Keseluruhan lingkup
sekedar cerita hidupnya. Ia menjelaskan tentang dirinya, asal-usulnya, legitimasi
khayal kekuasaannya, nasib dan keberuntungannya. Bahkan hidup dan
melainkan kematiannya. Tetapi tidak hanya mengenai dirinya. Melainkan relasi
pemahaman dirinya dengan alam di mana dia tinggal. Air, api, angin, laut, gunung,
relasional. hujan, petir, dan semuanya – dalam mitos – bukanlah tampil sebagaimana
Ada sekian adanya. Mereka merupakan entitas yang relasional dengan manusia. Deru
rincian angin bergemuruh, ombak menggunung sampai menggusur kampung
ketidakpastian
dekat pantai bukanlah peristiwa netral, alamiah. Peristiwa itu mengatakan
keseharian
dalam hidup sesuatu yang relasional dengan eksistensi manusia. Laut marah dipahami
yang perlu sebagai akibat kelalaian upacara larung untuk menghormati dewa laut.
dipahami Demikian juga kala gunung meletus. Atau tanah bergeser. Dalam mitos
dalam sesungguhnya alam semesta memiliki peran luar otonom. Atau paling
keterbatasan. sedikit, bukanlah manusia tuan atas alam semesta. Manusia sekedar bagian
Mitos menjadi dari alam. Sementara alam memiliki otoritasnya sendiri. Penghormatan
salah satu manusia atas alam adalah pengakuan otoritas alam atas dirinya. Mitos oleh
cetusan paling peradaban rasionalisme disebut irasional. Tidak ilmiah. Tapi sebutan ini
dominan. tidak sepenuhnya tepat. Sebab mitos bukanlah berhubungan dengan
metodologi. Pun bukan suatu rival dari rasionalitas. Mitos lebih tepat
disebut sebagai yang beyond rasionalitas. Ia mengatasi kepastian-kepastian
logis akal budi manusia. Dari sendirinya juga lantas ia, mitos itu, kadang-
kadang menghadirkan ketidakpastian. Lebih dari sekedar ketidak-masuk-
akal-an. Atau lebih dari semata-mata kemustahilan. Seorang Dionisius
yang terombang-ambing oleh angin laut selama bertahun-tahun dalam
perjalanan pulang dari Troas ke kotanya Atena, dipahami sebagai yang
terjadi karena dia lupa mempersembahkan korban sapi ke dewa laut. Tentu
itu sebuah kemustahilan dalam kaca mata akal sehat. Tetapi, kisah itu
Menyusul, melukiskan ketidakpastian. Apa yang tidak pasti? Hidup itu sendiri. Dan,
tentu saja, begitu dengan dentuman mematikan dari letusan dahsyat gunung Visuvio
FILSAFAT.
dekat Napoli yang mengubur penduduk seluruh kota Pompei. Sebuah
Filsafat
berurusan kemarahan alam. Sekaligus melukiskan ketidakpastian hidup manusia.
dengan Paradigma mitos adalah paradigma yang tidak mungkin dirangkum dalam
terminologi
ilmiah.
FILSAFAT: PERADABAN RASIONALITAS / STFT-WIDYA SASANA / 2
ARMADA CM

jalan pikiran logika. Pengembaraan akal budi manusia berlanjut pada


filsafat.

Filsafat. Bagaimana mendefinisikan filsafat? Peradaban Yunani Awali


menyebut filsafat sebagai suatu pengembaraan akal budi manusia sesudah
mitologi. “Sesudah” mengatakan tahapan, proses, perkembangan. Benar
demikian, karena filsafat bukan terjadi mendadak. Filsafat bukan wahyu
yang datang dari “atas.” Filsafat merupakan suatu pergumulan.
Pengembaraan. Awal filsafat sering dirujukkan pada peradaban para
filosof alam Yunani pada waktu itu. Para tokoh pionir filsafat, di
antaranya Thales, menggagas dunia yang menjadi ruang hidupnya secara
baru. “Baru” artinya berbeda dengan mitos. Dalam terminologi “baru”
dicakup pengertian ilmiah.

Filsafat mulai Filsafat mulai dengan keheranan. Tetapi rasa heran bukanlah dominasi
dari awal filsafat. Mitos pun memiliki asal usul keheranan. Bedanya dengan
keheranan. filsafat? Mitos selesai dalam kisah. Tuntas dalam cerita atau narasi.
Dan, berlanjut Filsafat, sementara itu, mengelaborasi keheranan menjadi suatu jalinan
dalam pencarian tak kunjung henti. Filsafat itu aktivitas pencarian. Filsafat tidak
pencarian.
selesai dalam kisah. Nantinya seorang tokoh postmodern, Lyotard,
Tidak pernah
tuntas. menyindir filsafat Enlightenment sebagai himpunan dari kisah-kisah.
Hegel, misalnya, yang oleh Habermas disebut sebagai filosof yang
melukiskan sistem filsafat secara lengkap, atau malah seakan-akan Hegel
identik dengan filsafat itu sendiri – oleh Lyotard – dipandang semata-mata
sebagai suatu grand narrative belaka. Dalam Hegel, filsafat seakan-akan
Filsafat selesai, sempurna, tuntas. Tetapi justru karena itu filsafat Hegel dalam
sebagai kaca mata postmodern Lyotardian tampil bagai kisah belaka. Meskipun
peradaban
kisah itu filosofis.
rasionalitas
MULAI DARI
jaman Yunani. Panorama filsafat umumnya dipahami berangkat dari jaman klasik
Yunani pada Yunani. Filsafat meninggalkan gaya berpikir mitologis. Karena mitos-
waktu itu. mitos berkaitan dengan alam, maka filsafat kala itu merupakan filsafat
Filsafat tali alam. Filosof-filosof pertama Yunani adalah para pemikir yang mencoba
temali dengan menjelaskan alam semesta secara baru dalam proposisi-proposisi yang
ilmu. “ilmiah.” Artinya proposisi itu tidak tunduk pada cerita, takhayul,
dongeng, legenda, atau ajaran agamis. Berfilsafat berarti menggunakan
akal budi sehat, bukan menyerah kepada aneka kisah yang dipegang
kebanyakan.

ILMU Inilah asal mula dari “ilmu.” Ia berasal dari realitas pencarian tak kenal
merupakan lelah. Ia tidak pernah berupa copy-an atas opini kebanyakan. Ilmu
pencarian akal merupakan terminologi yang melukis pencarian budi tak kunjung selesai.
budi yang tak Peradaban Yunani awali hampir tidak membedakan apa yang disebut
kunjung henti. dengan ilmu dan filsafat. Filsafat adalah ilmu. Dan kebalikannya. Dari
Sebuah aktivitas pencarian terus-menerus inilah diproduksi metodologi. Suatu
Pencarian pencarian dalam ilmu tidak dijalankan sembarangan melainkan dengan
dengan
mengajukan
metodologi-
metodologi.
FILSAFAT: PERADABAN RASIONALITAS / STFT-WIDYA SASANA / 3
ARMADA CM

metode-metode. Sesuatu disebut ilmu karena memiliki metodologi yang


demikian.

Terminologi “ilmiah” tak bisa dibayangkan dalam periode mitos.


Keilmiahan tidak berkaitan dengan cerita, kisah, roman. Tidak ada cerita
ilmiah. “Ilmiah” berkaitan langsung dan menunjuk secara tegas pada
metodologi. Bila mana sesuatu disebut ilmiah? Bila memiliki metode,
prosedur, tata tertib jalan pikiran yang rinci, koheren, sistematis. Dan bila
mana tidak ilmiah? Bila kebalikan dari semuanya itu.

Filsafat Yunani awali bergumul – dalam metodologinya yang khas –


FILSAFAT dengan perkara kosmos. Karena itu filsafat bersoal jawab tentang alam,
YUNANI dunia, ruang lingkup hidup manusia. Filsafat pada waktu itu juga
AWALI menampilkan suatu cara pandang yang menyeluruh. Tidak terbatas pada
memiliki
pencarian sebab-sebab fisik. Melainkan mengatasi elemen-elemen fisik.
karakter
metodologi
Karena itu, filsafat Yunani awali juga memiliki karakter pengembaraan
kosmologis- metafisis, selain kosmologis. Filsafat kosmologis-metafisis Yunani awali
metafisis. ini memiliki metodologi sendiri. Yakni pencarian rasional akan arché atau
prinsip yang menjelaskan realitas secara menyeluruh, mendasar dan
mendalam. Filsafat metafisis yang dipioniri oleh Parmenides menampilkan
metode penjelajahan rasional monistis. Artinya, penjelasan tentang “ada”
tidak dijalankan lewat pencerapan sensibilis melainkan lewat instrumen
rasional secara menyeluruh.

Berikutnya, filsafat antropologis-politis Sokratian bertengkar dengan


SOKRATES
tentang makna filsafat para sufis yang dipandang kurang ilmiah. Pendekatan Sokratian
“ilmiah” dan adalah pendekatan yang mengedepankan natura. Argumentasinya
obyektivitas. bertumpu pada dasar-dasar natural, dan bukan konvensional sebagaimana
Ciri khas ilmu diyakini oleh kaum sufis. Kaum sufis merupakan sebutan sindiran untuk
pengetahuan. sekian filosof yang – menurut Sokrates – melakukan pencarian dasar-dasar
kebenaran secara kurang ilmiah. Maksudnya, kurang bisa dipertanggung-
jawabkan. Sebutan “kurang ilmiah,” pada waktu itu, bukan karena cara
berpikir kaum sufis itu kembali pada mitos-mitos. Melainkan karena kaum
sufis menampilkan cara-cara berpikir yang skeptis, subyektif, tidak
obyektif. Dengan demikian, perihal kebenaran dalam filsafat Sokrates
memiliki makna obyektif. Apa yang benar adalah apa yang obyektif. Dan,
obyektivitas dalam Sokrates memaksudkan kebenaran kodrati, natural,
esensial.

SUFISME Kaum sufis, rekan diskusi dan pertengkaran Sokrates, memakai filsafat
dan filsafat untuk melakukan kritik-kritik keras dan tajam pada jamannya. The Cloud
skeptis. (mendung), drama karya Aristophanes, misalnya, mengkritik tata
kehidupan kaum muda yang telah rusak. Pelaku perusakannya – dalam
drama itu – adalah sang tokoh yang bernama Sokrates. Sebab ia telah
mengajarkan bahwa matahari bukanlah dewa melainkan cuma sebuah
bintang. Bahwa hujan hanyalah jatuhnya uap-uap di udara yang
FILSAFAT: PERADABAN RASIONALITAS / STFT-WIDYA SASANA / 4
ARMADA CM

mengembun dalam temperatur tertentu. Bahwa bintang-bintang yang


bertebaran di langit hanyalah batu-batu. Dan seterusnya. Di tangan kaum
sufis, pendek kata, filsafat adalah metode berpikir kritis. Dan, terutama
skeptis.

SOKRATES Sementara itu, Sokrates, yang menurut para dewa merupakan orang yang
dan filsafat paling bijak, memandang filsafat sebagai suatu pengembaraan tanpa batas.
pencarian Pengembaraan akal budi. Sebab dalam sosok Sokrates, akal budi manusia
kebijaksanaan. terus lapar dan dahaga akan kebijaksanaan. Dalam Apology dan Crito (dua
Tak kunjung
dialog yang menggambarkan lebih kurang otentik mengenai siapakah
selesai.
Sokrates dan ditulis oleh salah satu muridnya, Plato), sosok Sokrates
menjadi monumen pengejaran kebijaksanaan. Dalam Apology, kita
menyaksikan bagaimana pengembaraan Sokrates untuk mengejar
kebijaksanaan dibayar mahal. Ia dijatuhi hukuman mati karena filsafat.
Sungguh suatu tragedi filsafat paling memilukan sepanjang peradaban
sejarah manusia. Hanya Nietzsche – yang kemudian berkata bahwa
Sokrates memang pantas dihukum mati karena pandangan-pandangan
filosofisnya. Dari pengalaman Sokrates, orang makin menyadari bahwa
berfilsafat itu memang riskan. Artinya, aktivitas mengejar kebenaran dan
kebijaksanaan itu berbahaya. Sering kali tidak disukai oleh penguasa. Juga
oleh kaum kebanyakan, pengagung kemapanan. Apology adalah
pembeberan pengembaraan Sokrates yang diperkarakan oleh para musuh
intelektualnya. Sokrates dituding menyebarluaskan ideologi baru yang
melawan agama negara (kota) Athena. Pandangan-pandangannya telah
dituduh merusak kaum muda. Dan, ia juga dianggap subversif dengan
melawan dan mengkritik para penguasa. Apakah jawaban Sokrates atas
semua tuduhan itu? Ia hanya berkata bahwa aktivitasnya selama ini
hanyalah mencari kebijaksanaan. Dan, ia sampai pada penemuan bahwa
ternyata dirinya tidak bijak, tidak tahu apa-apa. Atau, yang ia ketahui
dengan baik ialah bahwa dirinya tidak tahu apa-apa.

Adagium filsafat kebijaksanaan Sokratian, “yang saya ketahui ialah bahwa


KEBIJAKSA
saya tidak tahu apa-apa,” merupakan emblem filsafat itu sendiri.
NAAN
SOKRATES: Kebijaksanaan dalam pembatinan Sokrates ialah penemuan diri. Dirinya
Yang saya bukan apa-apa. Dirinya bukanlah bijaksana. Dirinya bukanlah yang selama
ketahui ialah ini dia cari. Ungkapan [ternyata] “yang saya ketahui bahwa saya tidak tahu
bahwa saya apa-apa” melukiskan kebijaksanaan yang sesungguhnya. Yaitu,
tidak tahu apa- kebijaksanaan itu mesti dicari bukan pada diri sendiri. Pada siapa? Pada
apa. siapa pun. Asal bukan pada dirinya sendiri. Tidak masuk akal orang
merasa bijaksana oleh dirinya sendiri. Maka, Sokrates mencari siapa pun
Tentang yang dipandang bijaksana. Pada akhir pengembaraannya Sokrates
Apologia mengisahkan pengalamannya. Ternyata tak satu pun dari mereka yang
Sokrates. ditemuinya bijaksana. Mereka cuma dianggap bijaksana, atau menganggap
diri bijaksana. Lantas kepada siapa lagi Sokrates harus mencari
kebijaksanaan itu? Apology merekam pengakuan Sokrates. Dia makin
sadar bahwa sebenarnya yang dikehendaki oleh para dewa ialah bahwa
FILSAFAT: PERADABAN RASIONALITAS / STFT-WIDYA SASANA / 5
ARMADA CM

Sokrates mesti mencarinya pada Sang Kebijaksanaan itu sendiri. Atau,


kepada Tuhan. Bukan kepada manusia. Sokrates tidak memiliki
terminologi “Tuhan” seperti yang kita punya. Tapi, dengan Sang
Kebijaksanaan itu sendiri jelas dimaksudkkan entitas yang mengatasi
segalanya. Sokrates – dengan kesadaran bahwa tidak ada yang bijaksana
selain Tuhan – lalu makin menemukan dirinya. Bahwa dia sedang diutus
oleh Tuhan untuk mewartakan kebijaksanaan baru. Yaitu, agar manusia
jangan memeluk apa pun sebagai sebuah kebijaksanaan kecuali pada
Tuhan. Jangan pada kekayaan. Jangan pada kehormatan. Jangan pada
kecantikan. Jangan pada kemuliaan duniawi. Jangan pada kehebatan
sendiri. Atau jangan kepada luas dan mendalamnya pengetahuan yang
dimiliki. Melainkan pada Tuhan sendiri. Dalam arti inilah, sejarah filsafat
mengukir Sokrates sebagai sang guru kebijaksanaan, kendati yang dia
ketahui ialah bahwa dirinya tidak tahu apa-apa. Etienne Gilson menyebut
Sokrates sebagai sang martir kebijaksanaan.

Pengejaran Sokrates akan kebijaksanaan unik. Sokrates mulai dengan


pertanyaan apakah. Kepada orang yang memandang dirinya ahli hukum,
ia bertanya apakah hukum. Kepada ahli politik, ia bertanya apakah politik.
Kepada orang yang dipandang adil, benar, baik, ia mengajukan pertanyaan
APAKAH. apakah keadilan, kebenaran, kebaikan. Dalam pengamatan Sokrates dan
Sebuah setelah melakukan diskusi, orang yang tadinya ahli hukum ternyata tidak
pertanyaan tahu benar tentang hukum itu. Juga yang semula dipandang ahli politik
pertama
ternyata tidak tahu apa-apa mengenai politik. Hal yang sama terjadi pula
filsafat
Sokratian.
pada orang yang diyakini oleh kebanyakan orang sebagai baik, benar, dan
adil. Akibatnya, Sokrates mendapat banyak kecaman. Sokrates menjadi
APA pribadi yang membahayakan tata kehidupan bersama. Ia menjadi musuh
QUID kebanyakan, terutama mereka yang berpikiran tidak luas tetapi puas
QUIDDITAS dengan dirinya sendiri karena orang lain menghormatinya sebagai bijak.
ESSENTIA
NATURA Pertanyaan Sokratian, apakah, adalah pertanyaan filosofis pertama.
Merupakan Pertanyaan ini tidak sekedar meminta definisi, melainkan memicu
terminologi- pencarian mengenai esensi pengertian yang mendalam. Bahasa Latin dari
terminologi apa ialah quid. Quidditas merupakan terminologi filosofis untuk esensi.
yang akan Maka, pertanyaan apakah menjadi emblem pencarian filosofis akan esensi
berkembang pengertian. Dalam filsafat politik, Sokrates adalah filosof politik pertama
pada
justru karena dialah yang pertama-tama mengajukan metode pengejaran
peradaban
filsafat
masalah-masalah kehidupan bersama dalam polis secara mendalam, yaitu
skolastik. dengan bertanya apakah. Apakah keadilan. Apakah hukum. Apakah
pemerintahan yang baik. Dan seterusnya. Sokrateslah filosof pertama yang
mencari esensi pengertian tentang keadilan, hukum, pemerintahan, dan
segala sesuatu yang berkaitan dengan perkara kehidupan politik, tata hidup
bersama. Dia disebut filosof politik pertama, karena pencarian esensinya
dijalankan dalam kapasitasnya sebagai manusia yang mencintai
kebijaksanaan. Sebuah pencarian tanpa pretensi. Tanpa kepura-puraan.
FILSAFAT: PERADABAN RASIONALITAS / STFT-WIDYA SASANA / 6
ARMADA CM

Tanpa reserve. Tanpa pembelaan atas kepentingan kekuasaan. Sepenuhnya


merupakan pencarian yang didasarkan pada cita rasa cinta kebenaran.

Jika dalam Apology Sokrates dihukum mati karena filsafatnya yang


menjebol kebekuan manusia yang cenderung puas diri dalam kesempitan
cara berpikir (dan karenanya juga melukai cita rasa publik bahkan juga
cita rasa religius kebanyakan pada waktu itu), dalam Crito ia
mensharingkan kepada sahabatnya, Crito, mengenai komitmennya untuk
tetap setia pada filsafatnya meskipun itu berarti ia harus menghadapi
akibat paling fatal bagi dirinya, yaitu kematian. Sokrates rela mati demi
kebenaran yang dipegangnya. Dialog Crito mengingatkan kita bahwa
kebenaran itu amat mahal, beresiko tinggi. Kemahalannya tidak hanya
berkaitan dengan konsekuensi kematiannya, melainkan juga pada proses
pengejaran dan pembelaannya. Kebenaran itu sangat bernilai, bukan hanya
karena isi dari kebenaran itu melainkan terutama ketekunan pencariannya
dan kekonstanan penghayatannya. Sampai pada saat kematiannya tiba,
Kebijaksanaan Sokrates belum merasa telah menggapai kebijaksanaan. Tetapi, ketekunan
kemartiran dan kesetiaan selama hidup untuk mencarinya adalah kebijaksanaan itu
dan filsafat sendiri.
adalah hidup
itu sendiri. Dalam kemartiran Sokrates, filsafat menginkarnasi kurang lebih secara
lengkap dalam hidup. Filsafat adalah hidup itu sendiri. Filsafat bukanlah
ilmu di antara ilmu-ilmu lain yang menjadi ruang belajar akal budi
manusia. Filsafat identik dengan hidup yang terus-menerus menjadi,
mencari, mengejar, menggapai, menghayati, membela, memanusiawi.

Sokrates memiliki murid-murid, meskipun tidak pernah merasa telah


PLATO DAN mendirikan suatu institut filsafat. Di antaranya: Plato dan Aristoteles.
ARISTOTEL
Plato dan Aristoteles mengikuti jejak sang guru, Sokrates. Keduanya
ES tentang
obyektivitas. menggarap filsafat untuk kehidupan manusia yang lebih baik, adil,
manusiawi. Seperti Sokrates, baik Plato maupun Aristoteles memandang
Soal filsafat sebagai ilmu pengetahuan yang kurang lebih lengkap. Filsafat
korespondensi membuat hidup manusia bermakna, bukan hanya secara pribadi dalam
/ diskrepansi hidup studi melainkan dalam hubungannya dengan hidup bersama.
ide akal budi
dengan obyek. Orang yang belajar filsafat, bagi Plato, adalah orang yang telah “keluar”
dari kegelapan gua dan melihat “cahaya”. Maksudnya, filosof ialah
seorang pribadi yang karena “diterangi” cahaya kebijaksanaan mampu
membeda-bedakan segala sesuatu secara benar. Sementara orang yang
tidak belajar, menurut Plato, bagaikan orang yang tinggal dalam gua.
Tinggal dalam kegelapan ketidaktahuan yang menyesatkan. Karenanya dia
tidak mampu membedakan mana yang baik dan yang buruk, yang benar
dan yang salah. Penjelasan analogal Plato ini menentukan tesis
filosofisnya tentang hidup bersama, yaitu bahwa filosoflah yang pantas
menjadi raja atau pemimpin. Sebab hanya filosof yang tahu mengambil
dan memutuskan apa yang baik dan benar untuk hidup bersama. Dalam
FILSAFAT: PERADABAN RASIONALITAS / STFT-WIDYA SASANA / 7
ARMADA CM

Plato, filsafat menemukan maknanya di sini, dalam penerapannya untuk


penataan hidup bersama.

Aristoteles memikirkan filsafat secara lebih luas dalam konteks hidup


manusia yang kompleks. Bagi Aristoteles, filsafat adalah bagian dari
hidup manusia. “Manusia dari kodratnya ingin tahu,” tegasnya dalam
pembukaan buku Metaphysics. Artinya, manusia senantiasa memiliki
kodrat mengetahui, berpikir, belajar, berfilsafat. Kodrat manusia sebagai
yang “belajar”– menurut Aristoteles – terarah kepada penggapaian apa
yang diidam-idamkan, yaitu felicitas (kebahagiaan). Dalam buku ke
sepuluh dari Nicomachean Ethics dikatakan bahwa tiada hidup yang
paling manusiawi selain hidup belajar. Belajar memiliki keluhuran dan
martabat tersendiri sekaligus menawarkan kebahagiaan yang tiada tara.
Bagi Aristoteles, filsafat menjangkau secara luas ilmu-ilmu alam, politik,
etika, puisi, metafisika dan seterusnya. Fungsi filsafat lantas menyentuh
setiap bidang kesibukan manusia dalam hidupnya.

PLATO DAN Metodologi filsafat Plato memiliki karakter dialogal. Filsafat Aristoteles
ARISTOTEL memiliki tampilan metodologi sistematis. Filsafat dialogal Platonian dan
ES tentang filsafat sistematis Aristotelian merupakan pondasi pengembangan ilmu
metodologi pengetahuan. Kedua-duanya memiliki metodologi yang dalam peradaban
filsafat. filsafat memberi kontribusi yang kepentingannya sangat dominan.
Keduanya menggarap serangkaian tema yang berkisar pada obyektivitas.
Maksudnya, metodologi memiliki kesempurnaan target pada pencapaian
obyektivitas. Yang disebut ilmiah adalah yang obyektif. Ilmu mesti
merujuk pada obyektivitas. Dan, kebalikannya, bila tidak obytektif, tidak
ilmiah. Bila tidak obyektif, itu bukan ilmu. Apa yang disebut dengan
kebenaran obyektif? Bagaimana verifikasi metodologis sesuatu itu dapat
dikatakan obyektif? Obyektif berarti memiliki karakter kesesuaian dengan
realitas/obyeknya. Tidak obyektif berarti tidak sesuai dengan realitasnya.
Maka, verifikasi metodologis ilmu pengetahuan berarti perkara prosedur
pemahaman korespondensi atau diskrepansi pengetahuan itu dengan
realitas. Misalnya, bila mana suatu cahaya itu disebut gelombang? Bila
realitasnya (realitas cahaya tersebut) mencetuskan karakter-karakter
sebagai gelombang. Bila tidak, statement ilmiah bahwa cahaya itu
gelombang, salah. Salah artinya tidak bermakna. Plato dan Aristoteles
memang tidak bisa disebut sebagai inspirator ilmu pengetahuan
FILSAFAT eksperimental. Inspirasi Aristotelian, misalnya, jelas tampak dalam aneka
PATRISTIK
rincian pemahaman yang rasional, logis, argumentatif. Artinya, filsafat
dan metode
alegoris. Platonian dan Aristotelian mengedepankan pendekatan bukan
eksperimental melainkan argumentatif rasional. Maka, logika menjadi
ALEGORISM suatu instrumen yang amat penting untuk mengerti filsafat Plato dan
E Aristoteles. Sekali lagi logika, bukan metodologi experimentasi empiris.
dan tentang Sumbangan filsafat Platonian dan Aristotelian terletak pada sense atau
makna ilmiah yang menunjuk kepada terminologi obyektif. Dalam Plato,
FILSAFAT: PERADABAN RASIONALITAS / STFT-WIDYA SASANA / 8
ARMADA CM

realitas obyektif secara filosofis identik dengan realitas universal. Dan


universalitas – di sini – menunjuk pada dunia Idea atau Forma. Dalam
Aristoteles, realitas obyektif memaksudkan obyek realnya atau res-nya
yang konkret.

Sementara itu, filsafat teologis para Patristik, semacam filsafat Filo dan
Agustinus, memiliki corak metode alegoris. Keilmiahan metodologis
mendapat pemaknaan maksud hermeneutis alegoris. Alegoria adalah
terminologi yang melukiskan hermeneutika atau ilmu penafsiran. Dengan
penafsiran dimaksudkan eksegese biblis / teologis. Adalah khas peradaban
Patristik bahwa penafsiran biblis memiliki metode alegoris. Alegoria
adalah suatu metode yang menghubungkan “gambar” atau “lukisan”
dengan konsep filosofis. Suatu lukisan dipandang sebagai simbol. Artinya
lukisan itu tidak cuma mencetuskan realitas (yang dilukiskan) melainkan
menghadirkan makna (yang dikonsepkan secara filosofis). Contoh: lukisan
bahtera Nabi Nuh (yang dalam kisah Kitab Suci menjadi satu-satunya
entitas yang selamat dalam bencana banjir atas hukuman Tuhan). Dalam
hermeneutika alegoris, bahtera Nuh tidak hanya merupakan sebuah perahu
penyelamat keluarga Nuh. Melainkan, dalam kaca mata penafsiran para
Patristik, bahtera itu menghadirkan simbol Gereja. Gereja adalah bahtera
komunitas keselamatan. Sebagai bahtera, Gereja mengarungi lautan
peradaban sejarah yang sering kali amat berbahaya. Demikian filsafat para
Bapa Gereja (Patristik) mengelaborasi aneka penggambaran dan pelukisan
iman sebagaimana ditulis dalam Kitab Suci. Cyprianus, Ireneus, Clemens
dari Alexandria, Origenes malahan memanfaatkan simbolisme alegoris
bahtera Nuh ini sebagai suatu ajaran bahwa di luar Gereja, maksudnya di
luar bahtera Nuh yang sejati, tidak ada keselamatan. Dan, memang dalam
bencana air bah itu yang selamat hanya segala yang ada dalam bahtera
Nuh. Ajaran ini menjadi suatu adagium yang menyemburkan semangat
berabad-abad, extra ecclesiam nulla salus. Di luar Gereja tidak ada
keselamatan. Para Bapa Gereja tentu maksudnya bukan seekstrim yang
kita kira. Adagium itu dalam sejarah awali kekristenan merupakan
adagium apologetis. Untuk pembelaan iman. Keluar dari Gereja bagaikan
keluar dari bahtera Nuh. Karena itu implikasinya: “Jangan melepaskan diri
dari komunitas keselamatan.” Dalam Patristik, filsafat memang mengabdi
teologi kristiani. Semacam terjadi pengkristianian filsafat. Metodologi
PATRISTIK filsafat dipakai untuk membela kebenaran iman.
adalah
peradaban Disebut pengkristianian filsafat karena tema-tema filosofis pada jaman
pengkristiania Patristik “dialihkan” pada tema-tema iman kristiani. Tetapi tetap dalam
n filsafat. pembahasan dan pembahasaan filosofis. Indikasi tentang pembicaraan
Iman perkara dewa-dewa, seperti dalam filsafat Yunani awali, tidak ada lagi.
dibahas dan Tema-tema yang didiskusikan menyentuh perkara Allah dengan misteri
dibahasakan inkarnasiNya yang agung. Filsafat sibuk bagaimana membahasakan iman
secara Allah Tritunggal. Kisah penciptaan tidak lagi dipahami dari prinsip entis
filosofis. yang abstrak rasional, melainkan dari prinsip Sang Ada yang mempribadi
Tema-tema
pencarian
rasional
manusia
bergeser dari
helenistik ke
FILSAFAT: PERADABAN RASIONALITAS / STFT-WIDYA SASANA / 9
ARMADA CM

dalam Sang Sabda. Yaitu Allah yang menjelma menjadi manusia. Dialah
prinsip dari segala ciptaan yang ada. Dialah sang Pencipta, yang
menciptakan segala dari ketiadaan. Konsep creatio ex nihillo (penciptaan
dari ketiadaan) menggeser konsep Aristotelian tentang dunia dan segala
isinya yang selalu ada dan akan terus ada. Selain itu, konsep filosofis
Patristik – juga nantinya Mediovale – mengedepankan tema-tema
antroposentris. Sementara filsafat Yunani awali memberi artikulasi
kosmosentris. Tema-tema ini akan menyusul juga dalam tema-tema
pengertian hukum natural. Tema hukum natural dalam filsafat Yunani
berkaitan sangat erat dengan kosmos (alam). Sementara hukum natural,
dalam Patristik, dielaborasi dari rasionalitas yang diasalkan pada Tuhan
sendiri. Sebab rasionalitas (rasionalitas manusia) mengalir dari sang
Penciptanya. Dengan demikian, konsep hukum natural lebih ditarik dari
perintah Allah atau kehendak ilahi yang dapat ditemukan oleh akal budi
manusia. Dari sebab itu, arti dosa memaksudkan penolakan atas kehendak
Allah. Manusia pertama jatuh dosa semata-mata karena dia tidak menaati
kehendak Allah. Prinsip semacam ini belum dijumpai pada filsafat Yunani
Awali.

Filsafat pada jaman Patristik mengalami perkembangan sangat penting


PATRISTIK dalam hubungannya dengan iman kristiani. Terjadi inkulturasi atau
dan pergeseran akulturasi iman. Iman mendapat warna baru, mendapat pembahasaan
filsafat dari filosofis. Pergumulan filsafat menjadi pergumulan iman. Agustinus
tema-tema
merupakan salah satu sosok terkenal yang mewakili jaman ini dan
helenistik ke
iman kristiani. menampilkan sekaligus pengembaraan budi manusia yang haus dan rindu
akan Tuhannya. Dia pulalah yang secara menyolok melakukan interpretasi
dan pembahasan iman yang sangat menyentuh dari sudut pandang filsafat.
Jaman ini mengubah pergumulan filsafat dari aneka urusan penghayatan
iman politeistis kepada penghayatan agama kristiani yang monoteistis.
Sejak jaman Patristik, filsafat tidak lagi bersoal jawab mengenai aneka
MEDIOVALE macam tuhan-tuhan, melainkan berurusan dengan Pribadi yang Satu, yaitu
dan
Allah yang mencintai segala manusia sedemikian rupa sehingga
sistematisasi
iman. memberikan Putra tunggal-Nya.
Fides
quaerens Dalam Mediovale atau peradaban Abad Pertengahan, filsafat memiliki
intellectum. keterpaduan dengan teologi. Dan teologinya sangat berkarakter filosofis.
Filsafat Thomas Aquinas menjadi emblem peradaban ini, fides quaerens
intellectum. Artinya, iman tidak membabi buta. Tidak ngawur. Iman
mencari pengertian yang mendalam. Filsafat mengabdi teologi. Dan
kebalikannya, teologi tidak bisa dipertanggung-jawabkan tanpa
metodologi refleksi filosofis. Pendek kata, peradaban rasio manusia sejak
Refleksi Yunani awali sampai Mediovale selalu menegaskan prinsip-prinsip
kerygmatis rasional metodologis. Apa perbedaan antara peradaban Mediovale dan
jaman Patristik Patristik? Barangkali lebih tepat kalau tidak dikatakan perbedaan. Sebab
dan
Mediovale merupakan kelanjutan Patristik.
sistematisasi
iman
peradaban
MEDIOVALE
.
FILSAFAT: PERADABAN RASIONALITAS / STFT-WIDYA SASANA / 10
ARMADA CM

Filsafat Mediovale menaruh perhatian pada sistematisasi refleksi iman.


Dalam peradaban Patristik refleksi iman banyak didominasi oleh
metodologi alegoris. Dalam Mediovale refleksi iman makin sistematis.
Teologi Patristik lebih pada penekanan kerygmatis, pewartaan iman.
Karena itu sekolah Alexandria pada waktu itu disebut sekolah kateketik.
Sementara sekolah Kapadokia lebih merupakan sekolah pastoral. Teologi
Mediovale, pada gilirannya, memberi ruang pada sistematisasi refleksi.
Dari mana perkembangan “makin sistematis refleksi iman” ini diasalkan?
Peradaban Mediovale adalah peradaban di mana filsafat dijalankan dalam
sekolah, dalam universitas. Ada suatu sistematisasi bagaimana berfilsafat
MEDIOVALE dielaborasi. Karena itu, filsafat pada jaman Mediovale disebut filsafat
: skolastik. Filsafat dikembangkan dalam institusi-institusi pendidikan
Filsafat adalah universiter, dalam sekolah-sekolah (dari schola-ae yang berarti sekolah).
Praeambulum
fidei dan Pada jaman ini tugas filsafat ialah mensistemasi iman. Berbeda dengan
ancilla
jaman sebelumnya, “keunggulan” Abad Pertengahan ialah secara
theologiae.
akademis para filosof jaman ini sudah dapat “menikmati” karya-karya
Ada sekian monumental filsafat Aristoteles dalam bahasa Latin, bahasa Abad
rincian Pertengahan. Tidak kecil sumbangan para filosof Islam dalam me-Latin-
penjelasan kan karya-karya filsafat Yunani. Sintesis filsafat dan iman menjadi
tentang lapangan studi yang tiada batasnya. Filsafat sampai disimpulkan sebagai
praeambulum preambulum fidei dan ancilla theologiae. Yang pertama memaksudkan
fidei. filsafat adalah pembuka atau pendahuluan bagi iman. Yang kedua
menggagas bakti filsafat pada teologi, filsafat adalah pembantu wanita
bagi teologi. Bilamana filsafat menjadi pembuka iman? Masih ingat
Sokrates? Dialah salah satu contoh seorang manusia yang memiliki segala
elemen pembuka bagi iman. Cinta kebijaksanaan. Ketekunan sampai akhir
hidupnya dalam mengejarnya. Kesaksian yang berani untuk membela
kebenaran, bahwa kebijaksanaan sejati tidak ditemukan dalam manusia
melainkan dalam Tuhan. Filsafat yang semacam itu memang klop dengan
segala yang diperlukan untuk beriman Kristiani.

Contoh paling Di lain pihak, orang menyaksikan bagaimana Aristoteles menjelaskan


menyolok: metafisika. Sebuah tema yang terbilang sulit. Tapi sangat perlu. Metafisika
metafisika dapat diringkas sebagai pengembaraan akal budi manusia untuk mencari
Aristoteles dan dasar-dasar realitas. Kala dasar-dasar itu ditelusuri sampai sedalam-
penemuan
dalamnya, dijumpai suatu pemahaman rasional bahwa apa yang paling
tentang Prinsip
Kesempurnaan
dasar ialah actus purus. Terminologi actus barangkali agak sukar untuk
dari segala apa dijelaskan secara ringkas. Actus adalah prinsip realitas yang
yang ada. mengaktualkan. Lawannya, potentia, prinsip pasif yang diaktualkan,
Yaitu ACTUS menunggu untuk diadakan. Actus adalah prinsip, bukan res (benda).
PURUS Dalam bahasa Yunani prinsip berarti itu yang dapat menjelaskan segala
apa yang ada. Atau itu yang darinya mengalir segala apa yang ada.
Apakah itu di sini? Aristoteles menyebut itu ialah prinsip pertama
sekaligus terakhir. Dia memberi terminologi Actus purus. Maksudnya
prinsip pertama sekaligus terakhir dari segala apa yang ada, yang murni.
FILSAFAT: PERADABAN RASIONALITAS / STFT-WIDYA SASANA / 11
ARMADA CM

Tanpa campuran sedikit pun. Tanpa campuran prinsip potensial. Indikasi


penemuan akal budi akan prinsip yang sama sekali tanpa campuran inilah
yang oleh para filosof disebut – antara lain – sebagai kebenaran bahwa
filsafat itu “pendahuluan bagi filsafat.” Adalah Paulus yang memakai jalan
pikiran demikian. Di depan para filosof di sidang Areopagus, Atena,
Paulus menjelaskan iman Kristiani. Paulus mulai dengan konteks (sebuah
pendekatan kontekstual). Mulai dengan apresiasi filsafat, pengembaraan
akal budi mereka: “... aku lihat bahwa dalam segala hal kamu sangat
beribadah kepada dewa-dewa ... Aku menjumpai sebuah mezbah [di
tengah kota] dengan tulisan: Kepada Allah yang tidak dikenal” (Kis
17:23). Penyebutan bahwa para pendengar merupakan orang-orang yang
sangat beribadah, jelas manampilkan apresiasi kontekstual pewartaan.
Pewartaan itu berangkat dari nilai-nilai kultural/kontekstual setempat.
Kemudian sampailah Paulus pada inti sari penjelasannya, yaitu Yesus
Kristus. Siapa Kristus? Dengan keyakinan yang mantap Paulus
mengatakan bahwa Yesus Kristus adalah “Nama” dari pribadi Allah yang
mereka sembah, yang creator, inkarnatoris, menderita, wafat, dan bangkit
dari antara orang mati. “Apa yang kamu sembah tanpa mengenalnya,
itulah yang kuberitakan kepada kamu,” tegas Paulus (Kis 17: 23). Prinsip
pertama dan terakhir, yang oleh Aristoteles diterminologikan Actus purus,
disebut oleh orang-orang Yunani “Allah tanpa nama.” Pengandaian dari
para filosof Abad Pertengahan ialah demikian: filsafat mengantar orang
pada penemuan dan penyembahan Allah tanpa nama. Sementara teologi,
melanjutkannya, dengan pewartaan revelasi “nama” Allah yang benar
dengan segala implikasi relasionalNya dengan manusia. Dan, itulah
sebabnya filsafat ialah praeambulum fidei.

Sementara bila filsafat disebut ancilla theologiae, itu memaksudkan peran


Tentang filsafat sebagai instrumen penjelasan atas rincian refleksi teologi. Filsafat
Filsafat
tampil bak metode penguraian aneka misteri iman yang sering kali amat
sebagai
Ancilla sulit. Bahkan mustahil dipahami oleh akal budi manusia. Misteri Kristus
Theologiae Yesus – yang dalam iman Kristiani – dipahami sebagai pribadi sekaligus
Allah sekaligus manusia. Bagaimana menjelaskan semua ini, filsafat
mengambil peran ancilla. Bagaikan “pembantu wanita,” filsafat
menolong akal budi manusia melahirkan pengertian-pengertian yang benar
tentang misteri iman. Pengertian yang benar diperlukan, agar penghayatan
dalam hidup kokoh. Demikian seterusnya dengan misteri-misteri Ekaristi,
Tritunggal Mahakudus, Maria Bunda Allah, ekonomi keselamatan, dll.

Di lain pihak, pada jaman ini kita juga menyaksikan aneka tindakan
pembelaan iman yang kelewat batas sampai pada rupa-rupa tindakan
kekerasan. Barang kali fundamentalisme dalam arti yang ketat belum
muncul pada jaman ini, tetapi pengunggulan iman di atas segala-galanya
telah memicu mentalitas baru yang kadang-kadang memiliki konsekuensi
kebrutalan. Jaman ini adalah jaman inkuisisi, yaitu pengadilan iman yang
secara tegas membela kebenaran (kebenaran dogmatis iman) dan
FILSAFAT: PERADABAN RASIONALITAS / STFT-WIDYA SASANA / 12
ARMADA CM

karenanya setiap penyimpangan adalah kesesatan yang harus dibasmi,


dihukum, dibakar, dan seterusnya. Jaman ini adalah jaman kejayaan
perkawinan antara filsafat dan iman di satu pihak, dan radikalisme
pembelaan kemurnian iman di lain pihak. Nilai-nilai manusia dipikirkan
dalam kaitannya dengan iman. Kepenuhan hidup manusia berada pada
kutup-kutup keilahian. Representasi jaman ini menjadi sangat jelas dalam
filsafat dan teologi Santo Thomas Aquinas, yang dapat disebut sebagai
salah satu dari tokoh yang paling besar sepanjang sejarah Gereja Katolik.
Teologi Aquinas adalah teologi filosofis, dan sebaliknya filsafatnya
memiliki warna kental teologis.
RENAISAN Sesudah Aquinas, gaya berfilsafat yang mengawinkan antara iman dan
PERADABAN filsafat mengendor. Berbarengan dengan itu, muncul jaman baru yang
HUMANISME lebih mengedepankan nilai-nilai kodrati manusiawi. Abad ini disebut
KELAHIRAN
Abad Renaisan. Renaisan berarti “lahir kembali”. Artinya, manusia mulai
KEMBALI
memiliki kesadaran-kesadaran baru yang mengedepankan nilai dan
Manusia bernilai keluhuran manusia. Manusia seperti mengalami kelahiran kembali dalam
dalam dirinya menggarap kehidupannya. Jika dalam Abad Pertengahan, nilai-nilai
sendiri. manusia direlatifkan pada nilai-nilai keilahian dalam iman, Renaisan
memegang teguh kodrat manusia yang luhur dalam dirinya sendiri. Jaman
Renaisan ini lebih merupakan gerakan kebudayaan daripada aliran filsafat.
menyentuh Keluhuran dan kehebatan manusia dalam dirinya sendiri tampak dalam
berbagai bidang produk-produk seni pahat, lukis, sastra, puisi, dan seterusnya. Politik pun
kehidupan: dipikirkan tidak lagi dalam hubungannya dengan iman atau agama,
Politik, melainkan dalam kaitannya dengan politik itu sendiri. Politik memiliki
Ilmu
etika dan moralnya sendiri yang tidak boleh direduksi dalam iman atau
pengetahuan,
Seni sastra,
agama. Machiavelli adalah salah satu wakil paling representatif pada
Filsafat jaman ini. Moral dan etika keutamaan yang diproduksi oleh Abad
Moral / etika. Pertengahan dan dikaitkan dengan iman kurang mendapat tempat. Etika
Dan seterusnya. politik adalah etika kekuasaan. Artinya, etika politik tunduk pada
pertimbangan-pertimbangan kestabilan dan keselamatan negara / bangsa /
Machiavelli pemerintahan / kekuasaan, bukan iman. Jaman Renaisan disebut jaman
Hobbes “kelahiran kembali”, karena suasana gaya dan budaya berpikirnya
Galileo Galilei memang melukiskan “kembali kepada semangat awali.” Yaitu semangat
Copernicus jaman filsafat Yunani awali yang mengedepankan penghargaan kodrat
Newton manusia, tidak dalam hubungannya dengan agama. Jadi, Renaisan adalah
jaman pendobrakan manusia untuk menemukan dengan setia dan konstan
jati dirinya. Jaman ini sekaligus menggulirkan alur semangat baru yang
menghebohkan terutama dalam hubungannya dengan karya seni, ilmu
pengetahuan, sastra dan aneka kreativitas manusia yang lain. Galileo
Galilei adalah contoh filosof dan ilmuwan sekaligus yang revolusioner
produk dari abad Renaisan. Ia mengembangkan metodologi keilmiahan
berpikir. Ia mengajukan metode eksperimentasi matematis sebagai dasar
penemuan obyektivitas. Aneka statement kebenaran matematis – sejak
Galileo – bertabrakan dengan kebenaran dogmatis. Pada peradaban
Mediovale kebenaran dogmatis revelatif (yang diwahyukan dalam Kitab
FILSAFAT: PERADABAN RASIONALITAS / STFT-WIDYA SASANA / 13
ARMADA CM

Suci) mencakup sekaligus kebenaran argumentatif. Artinya, apa yang


dilukis dalam Kitab Suci adalah kebenaran ilmu pengetahuan.
Sungguhpun pemahaman semacam ini rancu, tetapi pada masa di mana
prinsip-prinsip ilmiah tunduk pada keabsolutan kebenaran iman, tabrakan
semacam ini sangat menyolok. Robertus Bellarminus merupakan pembela
kebenaran iman yang gigih. Di lain pihak Copernicus dan Galileo Galilei
dikejutkan oleh penemuannya sendiri bahwa secara matematis bumi
bukanlah pusat segala ciptaan. Dalam matematika segala rincian tarik
menarik antara bumi dan segala planet yang jelas meneguhkan kesimpulan
bahwa mataharilah yang dikelilingi oleh semuanya, termasuk bumi. Pada
jaman sekarang, dengan mudah kita bisa memahami semuanya ini. Tetapi,
pada peradaban kala itu, kesimpulan ilmiah semacam ini merupakan
sebuah kemurtadan. Paling sedikit dari sisi kebenarannya, bukan imannya.

Demikian pula Thomas Hobbes, salah satu perintis filsafat politik modern
Hobbes tentang yang menjadi cikal bakal teori-teori individualisme dan liberalisme berada
manusia dalam pada suasana jaman ini. Dalam filsafat Hobbes terjadi revolusi konsep
filsafat politik hipotetis tentang manusia sebagai dasar uraian filsafat politik. Konsep
yang manusia dipikirkan jauh dari apa yang dimengerti dalam iman Kristiani.
mengedepankan Dalam pemahaman Kristiani, manusia adalah makhluk rasional, sosial,
konsep manusia. dan politis (kesempurnaannya ada dalam hidup bersama dengan yang lain
dalam polis, seperti digagas oleh Aristoteles-Thomas Aquinas). Dalam
filsafat Hobbesian, manusia adalah makhluk passional, asosial, dan
sendirian. Gagasan “murtad” Hobbes semacam ini mengejutkan telinga
kaum beriman. Tetapi, dari gagasan ini dimungkinkan rincian pandangan
yang dalam filsafat politik disebut sebagai prinsip-prinsip demokrasi
modern. HAM atau hak asasi manusia. Pemahaman kekuasaan sebagai
kontrak sosial. Dan seterunya. Hal yang tidak bisa diandaikan pada aneka
rincian filsafat sebelumnya.

Newton Sementara itu, Newton, salah satu pendekar ilmu fisika dan pencetus teori
tentang ilmu gravitasi, juga hadir pada jaman ini. Lantas, Bacon dengan jargon
fisika. kritisnya bahwa science is power mendobrak kebekuan cara berpikir
Dan Bacon: tradisional (Abad Pertengahan). Bila Abad Pertengahan memegang teguh
science is konsep ilmu pengetahuan sebagai rangkaian argumentasi, peradaban
power. Renaisan merombaknya dengan paham baru bahwa ilmu pengetahuan itu
soal eksperimentasi. Pembuktian kebenaran bukan lagi pembuktian
argumentatif-logis-spekulatif, melainkan eksperimentatif-matematis-
kalkulatif. Di mana filsafat pada jaman ini? Filsafat memegang fungsi
baru. Filsafat meletakkan dasar-dasar bangunan pengembangan aneka
ilmu alam / ilmu pasti yang merintis hadirnya teknologi-teknologi modern
seperti yang kita nikmati saat ini.
PERADABA
N BARU: Sesudah Renaisan, muncul gelombang cara berpikir baru yang disebut
FILSAFAT peradaban “filsafat modern.” Rene Descartes adalah perintisnya. Dengan
MODERN Descartes, filsafat tidak lagi bertolak dari esse (ada), melainkan coscientia

Rene
Descartes atau
Renatus
Cartesius
FILSAFAT: PERADABAN RASIONALITAS / STFT-WIDYA SASANA / 14
ARMADA CM

(kesadaran). Dengan kata lain, berfilsafat tidak lagi berangkat dari obyek
yang dipikirkan, melainkan dari subyek yang memikirkan. Pengetahuan
budi manusia tidak lagi mengedepankan pengetahuan “obyektif” dalam
jalan pikiran filsafat Aristotelian, melainkan pengetahuan intuitif atau
subyektif. Artinya, jika dalam Aristoteles pengetahuan budi manusia
pertama-tama adalah soal korespondensi dengan realitas obyektif, dalam
Descartes pengetahuan manusia berangkat dari kesadaran sendiri
mengenai ada (bukan pertama-tama berkaitan dengan realitas obyektif).
Cogito ergo sum. Saya (subyek) berpikir atau menyadari, maka saya ada.
Pandangan ini memiliki konsekuensi revolusioner. Penegasan cogito ergo
sum dapat dikatakan membalik gaya berpikir Aristotelian. Dengan
Descartes, pengembaraan budi manusia tidak lagi berurusan dengan
realitas obyektifnya, melainkan menemukan pusatnya pada rasionalitas
manusia. Filsafat mengalami revolusi metodologis (beranjak dari subyek,
bukan dari obyeknya) sekaligus perubahan obyek materialnya (bukan lagi
mempersoalkan korespondensi atau diskrepansi budi manusia dengan
realitas, melainkan menguji rasionalitas manusia). Mulai dari jaman inilah
rasionalisme mulai menguasai pengembaraan budi manusia. Manusia
secara tegas dimengerti sebagai res cogitans, entitas yang berpikir, yang
rasional. Rasionalisme mengalami puncaknya pada Immanuel Kant yang
memproklamasikan bahwa kebenaran sejati pengetahuan manusia ialah
pengetahuan a priori, pengetahuan yang diproduksi oleh struktur akal
budi manusia sebelum (atau tidak berdasarkan) pengalaman. Kant bukan
saja menegaskan bahwa kita tidak dapat mengetahui apa-apa tentang res
in se (realitas obyektif di dalam dirinya sendiri), melainkan juga
mengunggulkan rasionalitas manusia.

Filsafat dalam Perubahan metodologi sangat dahsyat terjadi. Cartesius, nama Latin dari
sistem Descartes, mengajukan metodologi baru. Yaitu, metode meragu-ragukan.
CARTESIAN. Descartes mengolah kesadaran. Sekaligus memurnikannya. Dan berusaha
Revolusi menemukannya kembali. Filsafat kesadaran ini diterminologikan dengan
metodologi apa yang disebut filsafat cogito. Realitas obyektif tidak lagi populer.
dalam filsafat. Realitas subyektif perlahan-lahan menjadi bahan permenungan filosofis.
Tampilnya Metodologi Cartesian bukan lagi untuk menemukan obyektivitas,
peradaban melainkan untuk menggarap wilayah subyektivitas. Cogito ergo sum. Saya
modernitas. berpikir maka saya ada.

Apa yang disebut dengan berpikir? Pertanyaan inilah yang menyembulkan


Mengapa
filsafat revolusi-revolusi filosofis yang tak terbayangkan imbasnya. Descartes
Cartesian adalah seorang “Sokrates baru” dalam tataran epistemologis. Filsafat
disebut Cartesian adalah filsafat kesadaran. Persis. Cartesius menerbitkan
FILSAFAT renungan filsafat yang sangat penting dalam wilayah filsafat, Discorso sul
MODERN? metodo (Diskursus tentang Metode). Sebuah karya yang dapat disebut
sebagai Magna Charta dari sebuah filsafat modern. Sebuah karya yang
mematri filsafat modern sebagai suatu refleksi tentang metodologi-
Filsafat metodologi. Dalam berpikir. Dalam mengetahui. Dan dalam mencerap,
Cartesian
Filsafat
modern:
Cogito
Conscientia
Kesadaran
FILSAFAT: PERADABAN RASIONALITAS / STFT-WIDYA SASANA / 15
ARMADA CM

dalam menggagas pengetahuan. Barangkali ada keterkaitannya antara


tema “metode” dalam filsafat Cartesian dengan sebutan filsafat “modern.”
Terminologi modern memiliki akar kata dalam bahasa Latin, modus, yang
memaksudkan makna cara, prosedur, metode. Filsafat Descartes disebut
filsafat modern, karena secara amat gamblang membaktikan diri pada
perkara refleksi metodologi-metodologi. Bagaimana berpikir dijalankan.
Bagaimana mengetahui dilakukan. Dan dengan demikian tentang perkara
pendasaran ilmu pengetahuan. Tentang pencarian dasar-dasar rasionalitas.
Tentang filsafat kesadaran (Cogito).

Kesadaran awal manusia ialah kesadaran tentang dirinya. Manusia


berpikir mengenai siapa dirinya, mengenai segala sesuatu yang
berhubungan dengan dirinya. Dengan singkat kata, mengenai being-nya.
Descartes mengajar kebenaran filosofis bahwa pemahaman manusia
tentang being-nya (esse) didahului oleh aktivitas kesadarannya (cogito).
Ini berarti, cogito ergo sum. Saya berpikir maka saya ada. Descartes
mengukir kepentingan cogito (kesadaran) sebagai titik tolak dari filsafat
esse. Ia mengajar bahwa rasionalitas mendahului being. Filsafat bagi
filosof pakar matematika ini berarti pemeriksaan kesadaran manusia
(Conscientia). Bukan kesadaran dalam arti keterjagaan manusia dari tidur
atau melamun. Melainkan kesadaran dalam arti aktivitas berpikir,
mengetahui, mencerap sebagai demikian. Keilmiahan dalam filsafat
Cartesian, dengan demikian, berurusan dengan segala prosedur berpikir.

Dan seterusnya. Pendek kata, filsafat mematri karakter ilmiah, karakter


Dan yang belum terbayangkan pada peradaban mitos. Ilmiah artinya memiliki
seterusnya. metode atau prosedur. Pengembangan metodologi makin menghebat
Rasionalisme seiring dengan hadirnya Cartesius, yang mengajak orang untuk bertolak
Cartesian dan dari kesadaran. Bukan dari obyek realitas dunia. Bukan pula dari ambisi
filsafat rasional untuk memahami Allah. Dalam Descartes pencarian rasio
sesudahnya. manusia seakan melaju sangat kencang, tak bisa dikendalikan. Tanpa
batas. Leibniz bahkan berkata bahwa sejak Cartesius dapat dikatakan
hampir setiap filosof adalah Cartesian. Termasuk dirinya (Leibniz),
demikian pengakuannya. Filsafat Cartesian adalah pondasi dari hampir
seluruh peradaban filsafat sesudahnya. Dari filsafat rasionalisme Cartesian
itulah, ilmu-ilmu modern tumbuh dan berkembang sangat hebat.

PERADABA Berikutnya setelah Cartesius disebut jaman Pencerahan, Enlightenment


N atau Iluminisme (atau dalam bahasa Jerman Aufklärung), merupakan
PENCERAHA tonggak lain yang sangat penting dalam pengembaraan budi manusia.
N Dalam filsafat. Khususnya dalam filsafat Barat. Kultur Barat yang
rasionalis seringkali dipahami sebagai yang diasalkan dari peradaban
Rasio adalah
Iluminisme ini. Dalam panorama sejarah filsafat, peradaban ini dapat
“dewa agung” dibagi dalam Aufklärung di Perancis, Aufklärung di Jerman, Aufklärung di
kehidupan. Inggris, dan Aufklärung di Italia. Namun demikian keserupaan dari
pembagian ini ialah bahwa abad Pencerahan merupakan abad
FILSAFAT: PERADABAN RASIONALITAS / STFT-WIDYA SASANA / 16
ARMADA CM

Rasionalisme. Karakter emblematisnya ialah pengedepanan sepenuhnya


rasio manusia. Manusia makin hebat dalam mengelaborasi rasionya.
PENCERAHA Sapere aude! Beranilah untuk menggunakan akal budi sendiri (atau
N beranilah berpikir sendiri)! Demikian slogan abad Pencerahan. Manusia
Dan
tidak lagi tunduk pada apa-apa yang berlaku, dianut, dipercayai oleh
Sapere aude!
kebanyakan, melainkan berani dan bertanggung jawab atas pemikiran
sendiri. Immanuel Kant mendefinisikan jaman Pencerahan sebagai

Sebuah jaman di mana manusia tidak lagi tunduk pada norma-


norma agama atau doktrin-doktrin kepercayaan yang dianut oleh
kebanyakan yang mengekang manusia untuk berpikir dan
bertindak sendiri secara manusiawi dan bertanggung jawab. Jaman
ini menjebol ketertutupan budi manusia yang pada waktu itu
cenderung sekedar menyerah pada apa-apa yang mapan dan
konstan. Sapere aude! Bukan terutama jaman perlawanan terhadap
agama, melainkan justru jaman di mana manusia mulai secara
hampir serentak memproklamasikan dirinya sebagai pribadi yang
dapat bertanggung jawab dan berdiri di atas kaki sendiri serta
bertindak secara lebih manusiawi.

Filsafat pada jaman ini menjadi pembangun budi manusia yang tertidur
lelap oleh kemapanan dan kenyamanan yang ditawarkan oleh kebanyakan.
Filsafat mendesak manusia untuk bangkit dari inferiotasnya di hadapan
struktur massa yang dikuasai oleh masyarakat agamis.
PENCERAHA
N What is Enlightenment? Kant answers, enlightenment is man’s
Dan release from his self-incurred tutelage. Tutelage is man’s inability
Release from to make use of his understanding without direction from another.
self-incurred Self-incurred is this tutelage when its cause lies not in lack of
Tutelage. reason but in the lack of resolution and courage to use it without
direction from another. Sapere aude! Have courage to use your
own reason! – that is the motto of enlightenment.

Peradaban Pencerahan adalah peradaban ekstrim dalam menaruh


kepercayaan pada kekuatan rasio manusia. Lagi, jaman ini adalah
percikan-percikan hebat dari Modernitas Cartesian. Di sini ilmu-ilmu
menggebrak tatanan kehidupan. Produk yang dihasilkan tidak hanya
teknologi. Melainkan juga segala rincian tata hidup bersama. Wilayah
politik mendapat pemahaman rasional yang sangat hebat. Tema-tema
seperti hak asasi manusia menemukan elaborasi nyaris lengkap. Di lain
pihak orang menyaksikan pula tampilnya bentuk-bentuk sistematisasi
hidup bersama yang akan mengkristal dalam ideologi-ideologi. Ideologi
adalah produk peradaban rasionalisme. Hadir seiring dengan munculnya
perubahan tatanan kehidupan yang dipicu oleh industrialisasi.
FILSAFAT: PERADABAN RASIONALITAS / STFT-WIDYA SASANA / 17
ARMADA CM

The period of Enlightenment refers to the European culture of the


18th century. The people of Enlightenment believed the
almightiness of human knowledge and defied the tradition and the
pre-established thoughts of the past. This is the period in which the
humans became overconfident in the human Reason an rationality.

PENCERAHA Pemikiran Cartesius merupakan cikal bakal pengagungan rasio peradaban


N Pencerahan. Dalam Aufklärung apa yang tidak rasional, tidak bermakna.
Dan Maka, mitos, dongeng, kisah, legende dan yang sejenisnya tidak
Pengagungan bermakna. Juga agama. Agama kehilangan pamornya. Maka, rasio benar-
Rasio benar menjadi dewa agung bagi peradaban Aufklärung. Nietzsche pada
Manusia. gilirannya akan “membunuh” dewa agung ini di kemudian hari. Bagi
Akan Nietzsche rasio hanyalah komplementer. Bukan segala-galanya. Dan,
PENCERAHA
“dibunuh” karena itu, kaum postmodernis memandang Nietzsche sebagai inspirator
N
utamanya.
DESCARTES
JOHN
LOCKE Selain Descartes, adalah John Locke yang sering-sering disebut sebagai
NEWTON peletak dasar cara berpikir iluministis. Locke – dalam An Essay on Human
Merupakan Understanding – menggagas dasar-dasar empirisme. Empirisme
pembangun merupakan paham baru dalam metodologi pengetahuan. Dengan
Mentalitas empirisme dimaksudkan segala rincian pengertian yang mengaitkan
Iluminisme. kebenaran pengetahuan dengan pengalaman, dengan eksperimentasi.
Pengetahuan sejati harus melewat eksperimentasi. Dan, eksperimentasi
mengandaikan prosedur, metode, instrumen rasional untuk analisis.
Empirisme Lockean menjadi peletak dasar pengembangan ilmu-ilmu yang
dipakai untuk mengeksplorasi alam. Locke tidak sendirian. Ada pula
Newton yang terlebih dulu mempraktekkannya dalam ilmu fisika. Maka,
Aufklärung Inggris sering kali menunjuk pada filsafat keduanya, Lockean
dan Newtonian. Jika ilmu fisika (juga dari sendirinya matematika)
berkembang, maka pemahaman manusia tentang alam makin menghebat.
Ilmu pengetahuan dalam Aufklärung lantas benar-benar dipakai untuk
memajukan kehidupan. Teknologi makin nyata. Ia mengubah hidup
manusia. Selain juga mengurungnya. Sebuah realitas yang akan banyak
dikoreksi oleh filsafat Postmodernisme nantinya. Karena teknologi
khususnya dan rasionalisme umumnya tampil tidak memanusiawikan
hidup manusia.
PENCERAHA
N Enlightenment di Inggris dengan demikian identik dengan empirisme.
DAN Karena empirisme mengalirkan eksperimentasi, gaya berpikir ilumisnistis
VOLTAIRE merupakan gaya berpikir yang induktif. Kebenaran ditarik dari berbagai
sebagai eksperimentasi berkali-kali. Dalam wilayah peradaban gaya berpikir
emblem semacam ini, metafisika jelas kehilangan popularitasnya. Sebab metafisika
peradaban mengedepankan argumentasi deduktif dan sistematis. Di Perancis,
Pencerahan di
sementara itu, Voltaire tampil sebagai sosok yang amat dipengaruhi oleh
Perancis.
empirisme Inggris. Voltaire sangat memuja Locke dan Newton, tanpa
menjadi ilmuwan semacam fisikawan atau kimiawan. Dia de facto seorang
FILSAFAT: PERADABAN RASIONALITAS / STFT-WIDYA SASANA / 18
ARMADA CM

filosof yang menyibukkan diri pada tema-tema tentang Allah, kebebasan,


keabadian jiwa, dan seterusnya. Khas filosof pada waktu itu.

Voltaire discussed on may topics such as on God, freedom,


immortality of soul. Voltaire holds that it is the true religion that
one loves God and loves others like one's own siblings and that
VOLTAIRE less dogmas it has, the better and true it becomes. Thus Voltaire
Tentang fought against the traditional established Christianity. On the
God, freedom, other hand, he criticized d'Hollbach's La Systeme de la nature,
immortality of and attacked Pascal's Christianity. Influenced by British Deism,
soul. Voltaire maintained that religion must be a moral, rationalistic
natural religion. He did not support the cosmological and
teleological argument and yet considered the moral argument for
the existence of God to be most useful. Voltaire maintained that
without God morality is not possible, therefore God must exist. "If
God did not exist, we must invent God!" Voltaire considers that it
is not possible to theoretically demonstrate the immortality of soul
and yet without the immortality of soul, morality is also not
possible.(VERY KANTIAN). Voltaire contends that the basis of
metaphysics consists in morality and that the obscurity and
incompleteness of metaphysics will be clarified by morality. In his
early period, Voltaire held the freedom of will, but abandoned it in
his later years as meaningless and recognized only the freedom of
action. According to Voltaire, freedom is when one can do what
one wants to do. Whether or not what one wants is free, the
answer is not, but what wants to desire is to necessarily desire.
Otherwise, we desire to do something without reason or cause,
that is impossible. Thus Voltaire proposed the psychological
determinism. Regarding the problem of evil, he was optimistic, but
after Lisbon's earthquakes Voltaire abandoned optimism.

Pada kutipan di atas, terdapat artikulasi Iluminisme yang sangat penting.


Yaitu peran Tuhan. Tuhan dalam peradaban rasionalisme tidak disangkal.
Malah, dalam bahasa Voltaire, tanpa Tuhan moralitas tidak mungkin.
VOLTAIRE Akan kita jumpai nantinya bahwa ketika Nietzsche membunuh Tuhan, dia
Tentang membunuh rasionalitas. Dan, juga dari sendirinya mengobrak-abrik
Prinsip-prinsip moralitas. Maksudnya, dasar-dasar rasional bagi moralitas.
politik.
Voltaire juga menaruh perhatian pada politik dan problem societas.
Bahkan dia disebut sebagai salah satu figur paling representatif untuk
peradaban Pencerahan di Perancis. Teristimewa dalam wilayah politik.
Darinya, kita mewarisi prinsip-prinsip kebebasan, martabat, dan berbagai
rincian pengedepanan kemanusiaan.

In relation to politics and society, Voltaire insisted freedom of


reason, freedom of consciousness and particularly the freedom of
FILSAFAT: PERADABAN RASIONALITAS / STFT-WIDYA SASANA / 19
ARMADA CM

research which contributed the further development of the


contemporary european culture. Voltaire was the representative of
the 18th century Enlightenment Spirit and enormously influenced
the intellectuals of the days, according to Thomas Carlyle. Du
Bois-Reymond said, "The reason why we do not consider Voltaire
as a very important Enlightenment philosopher is because we
unconsciously and implicitly have been a Voltaire ourselves. What
Voltaire had fought and won such as culture, freedom of spirit, the
dignity of humanity and justice have become some of the essential
elements of our natural everyday life today." Voltaire was highly
treated by Friedrich the Great at Prussian Sansoun Palace as an
important guest.
Sekali lagi
tentang Karakter Enlightenment sangat menonjol. Yaitu, mengedepankan rasio.
karakter Dasar-dasarnya ditemukan terutama pada paradigma pemikiran Locke dan
Enlightenment Newton. Selain Descartes. “Rasio iluministis” kontra sistem metafisis. Ini
. disebabkan oleh pengaruh empirisme Locke dan investigasi saintific
Newton. Rasio manusia terbatas dan “dikontrol” oleh pengalaman empiris
Rasio dan eksperimental. “Rasio iluministis” kontra takhayul dan aneka sugesti
iluministis: religius (agama-agama). Di lain pihak menjamur paham-paham “deisme”
Rasio sebagai reaksi dari sikap kontra terhadap agama. Selain sudah barang tentu
Cartesian- kehadiran ateisme iluministis. Empirisme Lockean mengobrak-abrik
Lockean-
kepercayaan tradisional. Agama harus beranjak dari dan menyentuh pada
Newtonian.
Perpaduan
pengalaman manusia.
ketiganya
dalam cara Iluminisme adalah jaman hegemoni rasio dan dengan demikian juga
kebudayaan pengetahuan ilmiah Eropa. Makin maraknya akademi-
akademi, universitas-universitas. Tampilnya untuk pertama kali
ensiklopedia (Perancis) yang menawarkan sarana dan metode baru dalam
mempelajari ilmu pengetahuan. Di samping itu juga muncul aneka macam
buletin, jurnal, majalah ilmiah yang semuanya menawarkan keilmiahan
pemikiran jaman ini. Karena perhatiannya yang sangat menonjol pada
rasio manusia dan riset ilmiah, jaman ini juga disebut masa kontra-sejarah.
Artinya, sejarah tidak lagi memiliki pamor. Riset ilmu pengetahuan
empiris yang menjadi aktivitas paling dominan. Filsafat dengan karakter
kokoh rasional yang bermunculan pada jaman ini memenangkan perhatian
sejarah peradaban manusia pada umumnya. Sejak kisah penciptaan,
bahkan!

ILUMINISME Iluminisme di Perancis: Voltaire & Montesquieu. Pencerahan di Perancis


PERANCIS hadir dalam pemikiran-pemikiran baru mengenai filsafat sebagai “ilmu
Dan beberapa tentang peristiwa-peristiwa” (D’Alembert). Dunia adalah materia yang
filosof. senantiasa bergerak (Denis Diderot). Manusia adalah sebuah mesin (La
Mettrie). Penginderaan mendasari pemikiran (Helvetius). Manusia adalah
produk alam (d’Holbach). Voltaire, pada gilirannya, menjadi figur
terkenal pada peradaban Iluminisme. Ia meletakkan dasar-dasar toleransi.
FILSAFAT: PERADABAN RASIONALITAS / STFT-WIDYA SASANA / 20
ARMADA CM

Voltaire berjuang keras bagi penegakan toleransi kehidupan bersama.


Prinsip pertama toleransi ialah “marilah kita saling mengampuni
kebodohan kita!” Akal budi kita sangat terbatas. Dengan mudah orang
dapat menjadi pelaku utama aneka kesalahan mengenai apa saja, maka
marilah kita saling mengampuni! Voltaire terbilang sebagai filosof
terdepan dalam menegakkan prinsip-prinsip toleransi.

Montesquieu. Karya utamanya, The Spirit of Lex, menggariskan pokok-


pokok pikiran yang bersoal jawab tentang hukum, bentuk-bentuk negara,
dan pengaturan pemerintahannya. Ia mengajukan state of justice (lo stato
del diritto atau negara hak – yang dalam terminologi kita menjadi “negara
hukum.” Artinya negara yang tidak didasarkan pada kekuasaan melainkan
hukum. Filosof ini adalah tokoh utama pembagian kekuasaan politik
dalam apa yang disebut dengan trias-politica: legislatif, eksekutif, dan
yudikatif.

Jean-Jacques Rousseau. Pandangannya yang sangat terkenal ialah


tentang manusia dalam the state of nature. Rousseau berada dalam jaman
di mana perbincangan tentang the state of nature merupakan premis dasar
hipotetis untuk masuk ke antropologi, pengertian kodrat keluhuran
manusia dengan segala haknya, paham tentang etika dan politik, pendirian
negara dst. (bdk. the state of nature dari Hobbes dan Locke). The state of
nature ialah keadaan asli, orisinal yang melukiskan bagaimana manusia
hidup. Dan dengan demikian melukiskan siapakah manusia dalam
orisinalitasnya. Manusia dalam kondisi ini, menurut hipotesis Rousseau,
memiliki karakteristik liar, innocent, self-sufficient, tapi secara moral baik,
bebas (berbeda dengan Hobbes dan Locke).

Social Contract: manusia dari kodratnya lahir bebas, tetapi di mana-mana


terantai. Tujuan kontrak sosial ialah melepaskan diri dari belenggu rantai
dan memulihkan kebebasannya. Prinsip yang melegitimasi hadirnya suatu
pemerintahan politik ialah kehendak umum/general dari rakyat yang
menginginkan kesejahteraan bersama. Kontrak sosial adalah kontrak untuk
membangun suatu masyarakat politik, yang oleh Rousseau disebut sebagai
sosialisasi radikal manusia dalam kebersamaannya. Kehendak General
atau Kehendak Umum rakyatlah yang melahirkan pemerintahan. Dalam
sejarah revolusi Perancis, prinsip general will ini akan dipakai sebagai
senjata murahan bagi para eksekutor kekejaman penyembelihan mereka
yang dicurigai sebagai kontra-revolusi.

Iluminisme di Inggris. Pemandangan umum Iluminisme Inggris berkisar


ILUMINISME
INGGRIS pada paham-paham empiris Lockean dan Newtonian, yang secara serentak
Dan beberapa menyebabkan kemandulan kemandulan budi manusia dalam memahami
filosof. misteri iman. Tokoh-tokohnya pada umumnya tidak terkenal dalam
lapangan sejarah filsafat. Namun ada baiknya disebut: John Toland,
Samuel Clarke, Anthony Collins, Matthew Tindal, Joseph Butler, Francis
FILSAFAT: PERADABAN RASIONALITAS / STFT-WIDYA SASANA / 21
ARMADA CM

Hutcheson, Bernard de Mandeville, Thomas Reid, Dugald Stewart, dan


seterusnya.

Iluminisme di Jerman. Aneka pemikiran filsafat yang mempersiapkan


ILUMINISME
Aufklärung Jerman dapat disebut, antara lain: filsafat Leibniz, teori sains
JERMAN Newton, filsafat Spinoza dan aneka pandangan rasional-empiris Perancis
Dan beberapa dan Inggris. Karakter yang menonjol ialah pengedepanan rasio manusia.
filosof. Aufklärung mengajukan rincian pemahaman yang makin sistematis
tentang natural right dan moral right. Tokoh utama sudah barang tentu
Kant. Tapi orang tidak boleh melupakan pula Pufendorf, Wolff, Lessing.

Samuel Pufendorf. Ia mengajukan pembahasan tentang natural right


sebagai persoalan yang ada dalam lapangan rasio manusia. Dengan
Christian Thomasius, kita diajak untuk menggumuli distingsi antara
natural right dan moral right. Dengan berkata “ada dalam lapangan
rasio”, Pufendorf memaksudkan bukan dalam lapangan agama atau aneka
kepercayaan apa pun, karena setiap manusia itu berbeda (dalam agama)
sementara ia memiliki right yang sama. Berbeda dengan para filosof
sebelumnya (misalnya Thomas Aquinas yang rasional), dalam menggagas
natural right Pufendorf adalah seorang voluntaristik.

Christian Wolff. Dialah yang pertama yang menggarap ensiklopedi


mengenai pengetahuan (epistemologi). Ia mengupayakan elaborasi tentang
distingsi antara ilmu pengetahuan rasional dan empiris, antara teoritis dan
praktis. Ia menekankan logika sebagai disiplin yang perlu untuk seluruh
sistem ilmu pengetahuan, prinsip non-kontradiksi untuk pemikiran
rasional dan prinsip cukup-alasan (“sufficient reason”) untuk pemikiran
IMMANUEL empiris. Bersama dengan Leibniz, pengaruh Wolffian atas kultur Jerman
KANT sangat besar dalam jamannya dan sesudahnya. Gotthold Ephraim
Sebagai Lessing pada gilirannya mengkayakan peradaban Aufklärung dengan
PUNCAK menyoal problem estetis dan religius. Tentang agama, Lessing
ILUMINISME melawankan aspek etis dengan aspek dogmatis-doktrinalnya.
JERMAN
Kant dan pendirian FILSAFAT TRANSENDENTAL. Filsafat Kantian
merupakan salah satu puncak Iluminisme. Filsafat Kant dapat disejajarkan
Filsafat dengan “revolusi Copernican” yang mengatasi rasionalisme, empirisme,
Transendental dogmatisme, skeptisme. Filsafat transendental Kant diajukan terutama
Kantian
dalam karya utamanya Kritik der reinen Vernunft (kritik budi murni):
terminologi “budi murni” memaksudkan aspek akal budi manusia yang
memiliki kapasitas mengetahui (menghasilkan pengetahuan). Terminus
reinen, “murni”, menunjuk pada budi manusia semurni mungkin (tak ada
campuran apa pun dengan pengalaman empiris) dalam aktivitasnya untuk
mengetahui. “Kemurniannya” diterminologikan dengan a priori. Terminus
“Kritik” hendak menegaskan penggarapan secara kritis aspek akal budi
manusia tersebut [filsafat Kant sangat luas, pokok-pokok pikiran yang
diajukan di sini hanya untuk memberi gambaran skematis sekilas, sangat
FILSAFAT: PERADABAN RASIONALITAS / STFT-WIDYA SASANA / 22
ARMADA CM

mungkin kurang lengkap, maka tema-tema lain diharapkan didalami dan


dikembangkan sendiri].

Kritik Akal Budi Murni (Kritik Der Reinen Vernunft): Filsafat


KANT:
Kritik Akal
Transendental. Arti Kantian “transendental” berbeda dari makna
Budi Murni. “transendental” dalam metafisika tradisional Aristotelian. Terminus
Kantian “transendental” menunjuk pada struktur atau forma a priori yang
Dan berada dalam manusia yang memungkinkan budi kita memiliki
seterusnya ... pengetahuan, yang tidak mengandaikan pengalaman. Jadi, transendental di
sini bukan berarti yang mengatasi partikularitas segala apa yang ada
(Aristotelian), melainkan kondisi struktural a priori pengetahuan budi
manusia. Karena budi manusia berperan sebagai kondisi a priori
pengetahuan, maka soal pengetahuan bukan lagi soal diskrepansi atau
korespondensi isi pemikiran budi kita dengan obyek (realitas yang
dipikirkan), MELAINKAN soal bagaimana obyek masuk dalam budi
subyek. Maka, bukan subyek yang sibuk untuk menyesuaikan diri dengan
obyek, melainkan obyek yang mesti lolos dalam syarat-syarat yang
digariskan oleh kesadaran budi manusia. Inilah revolusi Copernikan dari
filsafat Kant, bahwa pondasi pengetahuan tentang obyek berada sama
sekali pada subyeknya. Filsafat Kant disebut filsafat transendental, karena
menggarap kondisi a priori akal budi manusia sedemikian rupa. Tanpa
sangkut paut dengan realitas.

Dalam Kant, pengetahuan sejati ialah pengetahuan sintesis a priori. Yang


dimaksud pengetahuan sejati ialah pengetahuan tentang universalitas,
tentang necesitas. Jadi kesejatian pengetahuan Kantian tidak bersangkut
paut dengan soal salah benar. Kesejatian pengetahuan universalitas dan
necesitas digaransi oleh kondisi transendental budi manusia. Dan hanya
berkaitan dengan fenomen-fenomen (karena noumenon atau res in se tidak
dapat diketahui). Sedangkan pengetahuan a posteriori ialah pengetahuan
yang mengandaikan pengalaman. Pengetahuan semacam ini (yang
meminta pengalaman) tidak pernah bisa menyentuh universalitas dan
necesitas.

Konsep “transendental” Kantian merevolusi pencarian filsafat akan


kebenaran pengetahuan. Akal budi manusia atau intelektualitas manusia
ialah budi murni yang memiliki struktur 12 kategori (unitas, pluralitas,
totalitas, realitas negasi, limitasi, substansi-aksidens, kausalitas,
reciprositas, posibilitas-imposibilitas, esistensi-inesistensi, necesitas-
contingensi). Makna “kategori” yang dalam Aristoteles merupakan
struktur untuk memahami yang ada (leges entis), dalam Kant menjadi
struktur budi murni (leges mentis). Struktur tansendental dengan demikian
adalah the necessary conditions of knowing objects, baik dalam artian
mengetahui secara intuitif maupun dalam artian berpikir tentang obyek
tersebut.
FILSAFAT: PERADABAN RASIONALITAS / STFT-WIDYA SASANA / 23
ARMADA CM

Perbedaan antara fenomenon dan noumenon. Yang pertama adalah res in


apparitione (dalam penampakannya) yang menjadi obyek dari intuisi
sensibilis kita, sedangkan noumenon ialah res in se (dalam dirinya sendiri)
tak pernah kita tangkap/persepsi. Yang pertama adalah res sensibile
sedangkan yang kedua adalah res intelligibile (hanya dapat dipikirkan)
tetapi tidak conoscibile (tidak dapat diketahui). Kant membedakan antara
obyek sejauh dalam dirinya sendiri (di luar budi subyek) dan obyek sejauh
yang ada dalam budi manusia (yang tidak sama dengan obyek dalam
dirinya sendiri). Karena realitas tertutup bagi budi manusia (realitas in se
tidak dapat diketahui), maka refleksi tentang ada sejauh ada (metafisika)
menemukan kerumitannya, untuk tidak mengatakan impossible. Tetapi,
Kant mengafirmasi mungkinnya metafisika sejauh merupakan refleksi
tentang Allah, yang adalah realitas supremus dan absolut tanpa syarat apa
pun. Maksudnya akal budi kita, tanpa perlu menegaskan syarat apa pun,
sudah harus yakin bahwa ada realitas absolut dan paling tinggi, Allah.
Bagi Kant, ada semacam ketidakmungkinan membuktikan eksistensi
Allah.

Kritik Budi Praktis (Kritik der praktischen Vernunft) & the Groundwork
KANT:
Kritik Akal
of the Metaphysics of Morals. Terminologi “budi praktis” (praktischen
Budi Praktis. Vernunft) dibedakan dari “budi murni” (reinen Vernunft). Menurut Kant,
akal budi manusia tidak hanya merupakan akal budi teoritis, yang
Dan menunjuk pada reinen Vernunft (yang memiliki kapasitas mengetahui atau
seterusnya ... knowing object). Melainkan juga merupakan akal budi praktis, yang
menunjuk pada praktischen Vernunft (yang memiliki kapasitas
mendeterminasi kehendak, determining will). Yang pertama (reinen
Vernunft) soal pengetahuan sejati, yang kedua (praktischen Vernunft)
merujuk pada tindakan moral atau etika. Seperti yang pertama
memproduksi pengetahuan yang mengatasi pengalaman, demikian pula
praktischen Vernunft mengajukan bahwa hanya budi manusia (seperti
reinen Vernunft tanpa dorongan penginderaan sensibilis) sanggup
menggerakkan kehendak untuk bertindak. Kant yakin bahwa hanya
apabila moral didasarkan pada budi “murni” semacam ini, prinsip-prinsip
etis dapat berlaku untuk segala dan seluruh manusia dan memiliki nilai-
nilai universal dan necessary.

Dalam Kant, hukum moral (yaitu “kewajiban”) adalah imperatif kategoris.


KANT: Hanya kategori-kategori imperatif merupakan hukum-hukum moral,
Tentang karena hanya kategori imperatif (yang lahir dalam “budi murni”)
HUKUM
mendeterminasi kehendak sejauh kehendak. Jadi determinasi
MORAL.
“kewajibannya” memiliki karakter necessary, obyektif, universal, valid
Dan untuk semua. Kant membedakan antara maxims dan imperatif kategoris:
seterusnya ... jika maxims adalah prinsip-prinsip moral subyektif, maka categories
merupakan prinsip-prinsip moral yang valid untuk semua manusia.
Hukum moral tidak tergantung pada isinya hukum itu atau siapa yang
membuatnya (karena jika tergantung, jatuh pada empirisme / utilitarisme /
FILSAFAT: PERADABAN RASIONALITAS / STFT-WIDYA SASANA / 24
ARMADA CM

positivisme). Nilai hukum moral bergantung pada rasionalitas hukumnya.


Hukum moral adalah demikian, karena mewajibkan. Jadi wajib karena
wajib. Inilah letak rigorisme moral Kantian. Dan hanya apabila demikian,
menurut Kant, prinsip moral berlaku untuk segala manusia. Adanya
hukum moral hanya dapat dijelaskan jika diakui adanya kebebasan.
Dengan demikian, ambisi Kant ialah menggariskan konsep mengenai
“kebaikan moral” yang memiliki karakter universal.

Universalitas ambisi filosofis Kant khususnya dan pendewaan rasio


RASIOANALIT manusia pada umumnya adalah emblem bagi peradaban Aufklärung.
AS Rasionalitas – apa pun uraian penjabarannya – selalu dan akan selalu
PENCERAHAN
mengurung manusia pada ruang universal. Dalam paham yang sangat
Yang kerap
dikatakan dramatis, yang tampak dalam panorama sejarah filsafat, para filosof akan
sebagai ASAL bertengkar tentang bagaimana universalitas dipondasikan. Filsafat
USUL postmodern menangkap ambisi impossible ini dalam realitas hidup
kebudayaan manusia. Universalitas kerap merupakan sebuah ambisi kekuasaan.
Eropa akan Universalitas malah paradoks rasionalitas. Artinya, kalau rasionalitas
DIKRITIK oleh melukiskan keluhuran manusia, universalitas sering kali malah menggiring
POSTMODER manusia pada pencarian kesempitan dan kehancuran. Para penggagas
N ideologi adalah contohnya. Siapa seorang ideolog yang mau berkata
nantinya. bahwa pemikirannya hanya pas untuk wilayah Jerman dan bukan
Polandia. Atau seorang ideolog yang berkata bahwa gagasannya pas untuk
Cina dan bukan untuk Indonesia. Tidak ada. Nah ideologi adalah khas
rekayasa rasionalitas manusia untuk simplifikasi kekayaan kehidupan
manusia dengan kedok demi universalitas. Postmodern yang menggugat
paradigma rasional universal Aufklärung – nantinya – akan menohok cara
berpikir ambisius model semacam ini. Universalitas tidak diperlukan,
kalau orang mau menggarap kekayaan kehidupan manusia. ***

Anda mungkin juga menyukai