Ahmad Rafani, Dr. Milda Ernita, S.Si. MP, Dr. Ir. Fatimah, MP
PENDAHULUAN
tanaman terhambat dan kualitas buah tidak maksimal, terutama pada waktu
berkembang menjadi warna kuning sangat jelas, tulang daun menebal dan helai
daun menggulung ke atas (cupping). Gejala lanjut penyakit ini menunjukan daun-
daun muda menjadi kecil-kecil, helai daun berwarna kuning cerah atau hijau muda
yang berseling dengan warna kuning dan cerah yang akhirnya tanaman kerdil
(Sulandari, et al.,2001).
pada Kabupaten Pesisir Selatan, Solok, Tanah Datar dan Kota Padang, insiden
penyakit tersebut adalah 60-100 %, pada tahun 2007 dilaporkan bahwa penyakit
tersebut sudah tersebar hampir diseluruh per tanaman cabai Sumatera Barat
tanaman yang terserang penyakit disebabkan beberapa faktor biotik seperti jamur,
bakteri dan virus serta faktor abiotik seperti kekurangan air, kelebihan atau
bertujuan untuk meningkatkan daya tumbuh dan survival tanaman baik dalam
mikoriza yang sudah dikemas dalam bentuk kapsul dengan cara menaburkannya
pada lubang tanam sebelum penanaman dengan cara menaburkan tanah yang
2018.
cendawan mikoriza arbuskular jenis Glomus sp dari Labor Tanah Faperta Unand,
pupuk kandang. Alat yang digunakan dalam percobaan adalah cangkul, parang,
meteran, polibag ukuran 5 kg, bambu, label, tali rafia, timbangan, ember, hand
C. Rancangan Percobaan
Lengkap (RAL), percobaan yang dilakukan terdiri dari 7 taraf dengan pemberian
ulangan, jumlah petak perlakuan adalah 21 petak, setiap petak perlakuan terdiri
dari 4 tanaman dan 3 sebagai tanaman sampel. Data diolah dengan menggunakan
statistik uji F, jika F hitung lebih besar dari F tabel akan dilanjutkan dengan
D. Pelaksanaan Percobaan
genangan air ketika hujan. Media tanam terdiri dari tanah dicampur pupuk
kandang sapi dengan perbandingan 1/1 diaduk secara merata untuk diayak terlebih
2. Penyemaian benih
Benih yang digunakan adalah benih cabai merah lokal, penyeleksian
benih dilakukan dengan cara merendam benih kedalam air dingin, benih yang
tanam yang digunakan adalah tanah dan pupuk kandang yang sudah dicampur
dengan perbandingan 1:1. Benih yang telah berkecambah tidak dicabut tetapi pada
Sedangkan pemasangan ajir dilakukan pada saat tanaman cabai merah berumur 30
hari setelah tanam, jarak ajir dari batang tanaman 10 cm. Pada ketinggian 10 cm
dari permukaan tanah diberi tanda, tujuan pemasangan ajir sebagai dasar
4. Perlakuan
5. Penanaman
sebaiknya tempat semai dilepas terlebih dahulu. Setelah itu, bibit ditanam
kelobang tanam yang telah disiapkan. Bibit yang akan ditanam dalam 1 polibag
hanya berisi 1 bibit saja, dengan kriteria bibit telah berdaun sejati 2 helai dan
6. Pupuk dasar
Pupuk dasar yang digunakan adalah, Urea, Sp-36, Kcl dengan dosis 300
kg Urea/ha atau setara dengan 0,75 g per polybag, 300 kg Sp-36/ha atau setara
dengan 0,75 g per polybag dan 250 kg Kcl/ha setara dengan 0,63 g per polybag
7. Pemeliharaan
a. Penyiraman
Penyiraman dilakukan secara rutin pagi dan sore hari sesuai kebutuhan
tanaman dan keadaan tanah, tanaman cabai membutuhkan pengairan yang cukup
b. Penyiangan
secara perlahan-lahan agar perakaran yang terdapat didalam media tidak mudah
rusak.
c. Penyulaman
dan tanaman yang kurang seragam, dengan tanaman yang baru dan seragam.
Penyulaman dilakukan setelah tanaman berumur 21 hari setelah tanam (hst), jika
setelah umur 28 hari masih ada tanaman yang mati, maka tidak perlu dilakukan
penyulaman karena dapat menghasilkan tanaman yang tidak seragam, baik umur
seperti: kutu daun, trips dan kutu kebul dapat dikendalikan dengan pemasangan
e. Panen
dengan adanya perubahan pada buah dimana buah berwarna merah mengkilat,
E. Pengamatan
1. Tinggi Tanaman
dari permukaan tanah, kemudian diukur sampai titik tumbuh tertinggi batang
sekali dimulai dari minggu ke 2 setelah tanam, sampai tinggi tanaman tidak
bertambah lagi
2. Jumlah cabang
dan akar. Pengamatan rasio tajuk dan akar merupakan perbandingan bobot kering
tajuk dan akar tanaman (Kramer dan Twigg, 1983). Perhitungan RTA diperoleh
dengan memisahkan bagian tajuk dan akar, bagian akar dan tajukdimasukkan
kedalam amplop dan dilobangi lalu dimasukkan kedalam oven pada suhu 70° c
selama 2× 24 jam, kemudian ditimbang berat kering tajuk dan berat kering akar
lalu dibandingkan. Pengamatan rasio tajuk dan akar dilakukan bersamaan dengan
Pengamatan pada akar tanaman cabai merah yang terinfeksi oleh CMA
dilakukan pada akhir percobaan setelah panen, dengan mengambil akar tanaman
sampel. Alat yang digunakan dalam pengamatan akar yang terinfeksi CMA adalah
mikroskop dan zat warna dengan mengamati perubahan pada akar tanaman yang
diberikan perlakuan.
6. Umur Panen
mencapai umur panen bila 75 % dari seluruh tanaman sampel telah memenuhi
kriteria panen yaitu adanya perubahan pada buah berwarna merah mengkilap.
sampai panen terakhir, pada interval 4 hari dilakukan penghitungan pada saat
panen. kriteria buah yang akan dipanen memperlihatkan adanya perubahan pada
dari panen pertama hingga panen terakhir, nilai bobot buah pertanaman yang
didapatkan dengan menjumlahkan bobot buah tiap panen dengan jumlah tanaman
sampel.
Jumlah TanamanTerserang
Dengan rumus ¿ ×100%
Jumlah Total Tanaman
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Tinggi Tanaman
Berdasarkan hasil analisis sidik ragam tinggi tanaman cabai merah dengan perlakuan
dosis Cendawan Mikoriza Arbuskular (CMA) berpengaruh tidak nyata (Lampiran 5.a). Pada
Tabel 1 dapat dilihat bahwa tinggi tanaman pada pemberian dosis 0 g/tanaman CMA dengan
tinggi tanaman 53,00 cm berikutnya pada dosis 90 g/tanaman CMA dengan tinggi tanaman
48,60 cm.
Rata - rata tinggi tanaman cabai merah pada pemberian dosis CMA tidak berpengaruh
nyata, tetapi secara umum pertumbuhan tinggi tanaman dalam penelitian ini telah maksimum,
hal ini sejalan dengan hasil penelitian Widi (2011) bahwa pertumbuhan tinggi tanaman cabai
CMA dapat mengkolonisasi bagian akar, dimana kolonisasi tersebut dipengaruhi oleh
hasil pada tanaman cabai merah, karena dengan mengurangi pertumbuhan tajuk dan
keseimbangan dengan mempertahankan kemampuan menyerap air dan bersamaan itu juga
Berdasarkan hasil analisis sidik ragam jumlah cabang cabai merah dengan pemberian
dosis Cendawan Mikoriza Arbuskular (CMA) berpengaruh tidak nyata (Lampiran 5.b).
Tabel 2 memperlihatkan bahwa dosis CMA berpengaruh tidak nyata pada jumlah
cabang cabai merah. Terlihat pada jumlah cabang pada pemberian dosis CMA 0 g memiliki
jumlah cabang 10,25; 15 g memiliki jumlah cabang 9,42; 30 g memiliki jumlah cabang
11,00; 45 g memiliki jumlah cabang 9,08; 60 g memiliki jumlah cabang 10,50; 75 g memiliki
Jumlah cabang cabai merah yang tertinggi pada pemberian dosis CMA 30 g dan
terendah pada pemebrian dosis CMA 45 g. Secara nyata CMA tidak berpengaruh terhadap
jumlah cabang pada tanaman cabai, hal ini diduga bahwa media sebagai tempat tumbuh dan
berkembanganya tanaman menjadi salah satu faktor, kecil besarnya wadah tempat tumbuh
akan berdampak pada pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Pada penelitian ini wadah
yang digunakan adalah polibag ukuran 5 kg, sehingga mempengaruhi ruang gerak pada
tanaman cabai.
C. Rasio Tajuk dan Akar
Rasio akar tajuk merupakan perbandingan antara berat kering tajuk dibagi berat
kering akar. Rasio akar tajuk dilakukan untuk mengetahui tingkat perkembangan tanaman
baik akar maupun tajuk pada perlakuan yang diberikan. Hasil analisis ragam (Lampiran 5.c)
berbeda nyata dibandingkan dengan pemberian dosis CMA 15 g dan 0 g sebesar 5,20 dan
4,50. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Halis (2008) bahwa pemberian berbagai jenis
mikoriza pada dosis 0; 5 dan 10 g tidak nyata pengaruhnya terhadap rasio tajuk akar tanaman
cabai.
Tabel 3. Rasio tajuk dan akar cabai merah dengan perlakuan dosis CMA
pertumbuhan antara bagian tajuk dan bagian akar tanaman. Dari pengamatan di atas dapat
dilihat bahwa CMA efektif dalam meningkatkan rasio tajuk dan akar pada tanaman cabai,
diduga bahwa CMA memiliki peran sebagai pupuk hayati, sehinga dapat mendorong
pertumbuhan tanaman bagian atas dan akar. Menurut Devita (2013) secara umum, semakin
besar persentase perlakuan pupuk hayati akan memperbesar rasio bobot kering tajuk dan
akar. Besarnya akumulasi berat kering akar dan tajuk sangat berpengaruh terhadap rasio tajuk
akar. Nilai rasio akar tajuk yang tinggi dapat diperoleh dari berat kering tajuk yang tinggi dan
Berdasarkan hasil analisis sidik ragam presentase akar terifeksi CMA dengan
perlakuan dosis Cendawan Mikoriza Arbuskular (CMA) menunjukan pengaru yang berbeda
nyata, (Lampiran 5.d). persentase akar terinfeksi CMA disajikan pada Tabel 4.
Pada Tabel 4 dapat dilihat bahwa persentase akar terinfeksi CMA pada pemberian
dosis CMA 90 g berbeda nyata dengan pemberian dosis CMA 0 g, 15 g, 60 g, dan 75 g, tetapi
tidak berbeda nyata dengan pemberian dosis CMA 30 g dan 45 g. Rata-rata akar yang
terinfeksi CMA pada pemberian dosis CMA menunjukan ada peningkatan dan hasil yang
cukup baik, hal ini dapat dilihat dari klasifikasi tingkat ketergantungan tananaman terhadap
FMA yang dikemukakan oleh Cruz et al., (1995) dibagi menjadi tiga kelas yaitu rendah
Pengujian kadar yang terinfeksi mikoriza pada tanaman cabai merah termasuk
kategori tingkat infeksi yang sangat tinggi dibandingkan tanpa pemberian mikoriza yang
termasuk kategori sangat rendah. Hal ini diduga karena mikoriza dapat berkembang dengan
baik di tanah sehingga dapat meningkatkan perbanyakan inokulum CMA di tanah dan di
serap oleh akar. Menurut Gashua et al., (2015) kehadiran kolonisasi CMA jenis Glomus yang
diamati pada tanaman cabai berkisar antara 35 dan 65% pada individu tanaman.
Berdasarkan hasil sidik ragam umur muncul bunga pertama dengan perlakuan dosis
Cendawan Mikoriza Arbuskular (CMA) berpengaruh tidak nyata (Lampiran 5.e). Umur
Tabel 5. Umur muncul bunga pertama cabai merah dengan perlakuan dosis CMA
dengan taraf 0 g/tanaman memiliki umur muncul bunga pertama 45,75 hari sedangkan pada
dosis taraf 90 g/tanaman CMA memiliki umur muncul bunga pertama 47,10 hari.
Tanaman akan berbunga apabila telah mencapai umur fisiologis dimana fase
pembungaan dimulai dari inisiasi bunga yaitu suatu perubahan fisiologis yang diikuti oleh
perubahan morfologis. Darjanto dan Satifah (1990) menyatakan bahwa tanaman dapat
menghasilkan bunga apabila mempunyai zat cadangan dan ditentukan oleh sifat genetis
tanaman. Kemudian Suprapto (1993) menyatakan bahwa umur berbunga tergantung pada
varietas tanaman. Varietas yang digunakan pada penelitian ini adalah varietas lokal Kuranji,
yang mempunyai sifat genetik yang sama, sehingga umur berbunga tidak berbeda nyata pada
semua perlakuan.
Darjanto dan Satifah (1990) bahwa peralihan dari masa vegetatif kemasa generatif
sebagian ditentukan oleh genotip atau faktor dalam seperti sifat genetik dan faktor lingkungan
seperti suhu, cahaya, dan lain-lain, kelembaban dan suhu merupakan faktor lingkungan yg
F. Umur Panen
Berdasarkan hasil sidik umur panen cabai merah dengan perlakuan dosis Cendawan
Mikoriza Arbuskular (CMA) berpengaruh tidak nyata (Lampiran 5.f). Umur panen cabai
memiliki umur panen pertama 115,17 hst sedangkan pada taraf 90 g/tanaman CMA memiliki
umur panen 120,80 hst, sehingga memiliki umur panen berpengaruh tidak nyata, hal ini
Umur berbunga tanaman cabai akan berpengaruh terhadap kecepatan umur panen
karena Menurut Syukur et al., (2012) umur panen merupakan karakter yang digunakan untuk
mengukur keunggulan suatu tanaman. Terjadinya perbedaan waktu berbunga pada genotip
cabai yang diamati disebabkan karena faktor genetik dari tanaman itu sendiri dan lingkungan
(suhu, pemberian pupuk). Menurut Edmond et al., (1964), suhu, cahaya matahari dan genotip
mempengaruhi umur berbunga pada tanaman hortikultura. Menurut Harpenas dan Dermawan
(2009), bunga pada tanaman cabai terbentuk ketika tanaman cabai berumur 23-31 hst.
Terjadinya perbedaan umur panen pada genotip yang diuji disebabkan oleh cepatnya tanaman
berbunga, dimana semakin cepat muncul bunga pertama maka semakin cepat pula umur
panen. Menurut penelitian Rostini (2011), waktu panen tanaman cabai tergantung varietas
yang digunakan dan lingkungan tumbuh tanaman cabai. Faktor lingkungan seperti iklim dan
Berdasarkan hasil sidik ragam jumlah buah pertanaman dengan perlakuan dosis
Cendawan Mikoriza Arbuskular (CMA) berpengaruh tidak nyata (Lampiran 5.g). Jumlah
Tabel 7. Jumlah buah pertanaman cabai merah 5 kali panen dengan perlakuan dosis CMA
Berdasarkan Tabel 7 menunjukan bahwa pemberian dosis CMA terhadap jumlah buah
pertanaman cabai merah berpengaruh tidak nyata, namun secara umum dosis CMA
meningkatkan jumlah buah pertanaman, kecuali pada dosis CMA 60 g jumlah buah lebih
sedikit dibandingkan pemberian dosis CMA 0 g. Apabila pertumbuhan vegetatif baik, maka
cadangan makanan yang terbentuk dapat dialokasikan pada saat pengisian buah, sehingga
akan digunakan pada masa reproduktif, terutama pembentukan dan perkembangan buah
cabai. Dengan demikian, pertumbuhan yang baik mengakibatkan produksi juga meningkat
karena cadangan makanan yang dibentuk selama proses per-tumbuhan akan didistribusikan
pada masa reproduktif, yang berakibat pada peningkatan jumlah buah per tanaman.
Arbuskular (CMA) berpengaruh nyata terhadap bobot buah pertanaman (Lampiran 5.h).
Tabel 8. Bobot buah pertanaman cabai merah dengan perlakuan dosis CMA
terhadap bobot buah pertanaman dengan bobot 56,53 g per tanaman, sedangkan pemberian
dosis CMA 75 g berbeda tidak nyata dengan pemberian 90 g dosis CMA. Menurut Supriono,
(2010) berdasarkan hasil penelitiannya menyatakan bahwa, pemberian mikoriza yang efektif
bagi tanaman mampu meningkatkan berat tanaman segar dan hasil cabai merah per petak.
Menurut Abdel latef and Chaoxing, (2014) pembarian mikoriza Glomus dapat
meningkatkan hasil buah pada tanaman cabai. Erman et al., (2011) menjelaskan bahwa
inokulasi mikoriza arbuskular pada tanaman sangat efektif dalam peningkatan bobot hasil
tanaman, kolonisasi akar dan penyerapan fosfor dalam biji dan tunas. Menurut penelitian oleh
Syafruddin et al., (2010) bahwa pemberian mikoriza pada cabai dan sayuran lain yang
ditanam di andisol dan entisol di Lampuuk Aceh Besar memiliki efek positif pada
Berdasarkan hasil analisis sidik ragam presentase tanaman cabai yang terserang
keriting dengan perlakuan dosis Cendawan Mikoriza Arbuskular (CMA) menunjukan hasil
yang berbeda nyata (Lampiran 5.i). Persentase tanaman terserang keriting disajikan pada
Tabal 9.
Data di atas menunjukan bahwa persentase tanaman cabai yang terserang keriting
pada pemberian dosis CMA 0 g sebesar 83,33%, 15 g sebesar 58,33%, 30 g sebesar 75,00%,
Tanaman cabai yang terserang keriting paling tinggi pada tanpa pemberian dosis CMA, hal
ini dapat dilihat bahwa tanaman tanpa dosis CMA lebih rentan oleh penyakit keriting
tanaman cabai, sedangkan pada pemberian 15 g, 30 g, dan 45 g memiliki rata-rata 50% yang
terserang keriting, hal ini diduga media tanaman yang digunakan pada tanaman cabe tidak
dilkakukan sterilisasi terlebih dahulu, sehinngga menyebabkan pemberian dosis CMA yang
tidak sesuai akan memiliki efek terserang oleh penyakit, hal ini dapat dilahat pada pemberian
dosis CMA 60 g, 75 g dan 90 g lebih sedikit terserang penyakit keriting. Sejalan dengan
penelitian Norma et al., (2017) menyatakan bahwa aplikasi CMA pada tanah steril
memberikan efek yang baik pada persentase intensitas penyakit dibandingkan perlakuan
lainnya, ini merupakan efek mikoriza dalam menghambat laju perkembangan penyakit.
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. KESIMPULAN
berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman cabai merah dengan parameter
sebagai berikut: Rasio akar tajuk, presentase akar terifeksi CMA, bobot buah pertanaman,
presentase tanaman cabai yang terserang keriting, dan berpengaruh tidak nyata terhadap
beberapa variabel pengamatan tinggi tanaman cabai merah, jumlah cabang cabai merah, umur
muncul bunga pertama, umur panen cabai dan jumlah buah pertanaman.
B. SARAN
merah perlu di tingkatkan, sehingga dengan pertambahan dosis CMA adanya peningkatan
pada parameter tanaman dan menggunakan jenis CMA yang dapat menekan penyakit.
DAFTAR PUSTAKA
Abdel Latef Aah, Chaoxing H. 2014. Does Inoculation With Glomus Mosseae Improve Salt
Tolerance In Pepper Plants. Journal Of Plant Growth Regulation 33(3), 644-653.
Darjanto dan S. Satifah. 1990. Pengetahuan Dasar Biologi Bunga dan Teknik Penyerbukan
Silang Buatan. PT Gramedia, Jakarta.
Devita Noti Wijaya. 2013. Efisiensi Hara Pada Rumput Golf Dengan Pemberian Pupuk
Hayati. Departemen Agronomi Dan Hortikultura Fakultas Pertanian Institut
Pertanian. Bogor.
Edmond JB, Senn TL, Andrews FS, Halfacere RG. 1964. Fundamental Of Horticulture. Mc.
Graw – Hill. Book Co.Ltd. New Delhi.
Erman M, Demir S, Ocak E, Tufenkci S, Oguz F, Akkopru AH. 2011. Effect Of Rhizobium,
Arbuscular Mycorrhiza And Whey Application On Some Properties In Chickpea
(Cicer Arietinum L.) Under Irrigated And Rainfed Conditions. 1-Yield, Yield
Components, Nodulation And Amf Colonization. Field Crops Research 122(1), 14-
24.
Gashua I.B., A.M. Abba and G.A. Gwayo. 2015. Occurrence Of Arbuscular Mycorrhizal
Fungi In Chilli Peppers (Capsicum Annuum L.) Grown In Sahelian Soil.
Int.J.Curr.Microbiol.App.Sci 4(2): 419-425.
Gerling D, Alomar O & Arno J. 2001. Biological control of Bemisia tabaci using predator
and parasitoids. J. Crop Protection 20(9): 779–799.
Halis, Pinta Murni dan Ayu Billy Fitria. 2008. Pengaruh Jenis Dan Dosis Cendawan Mikoriza
Arbuskular Terhadap Pertumbuhan Cabai (Capsicum Annuum L.) Pada Tanah
Ultisol. Biospecies Volume 1 No 2, hlm 59 – 62.
Nazir N; Prisdiminggo; M Nazam. 2004. Teknologi Pengadaan Bibit Pisang Sehat Secara
Cepat, Sederhana dan ber CMA untuk Lahan Marjinal. Diakses dari ntb. Litbag.
Deptan. Go.id pada tanggal 8 Mei 2018.
Rostini N. 2011. Jurus Bertanam Cabai Bebas Hama Dan Penyakit. Agromedia Pustaka,
Jakarta.
Syafruddin, Langer I, Schweiger P, Puschenreiter M dan Wanzel WW, 2010. Crude oil
contamination and arbuscular mychoriza differentially affect on Phaseolus vulgaris
root morfology. Proceedings of the International Symposium on Land Use after the
Tsunami-Supporting Education, Research and Development in the Aceh Region,
November 4-6, 2008, Banda Aceh, Indonesia, pp: 97
Trisno, J., Charnita, R. & Hanafiah, A. 2005. Karakteristik gejala dan deteksi virus kuning
tanaman cabai di Sumatera Barat. Laporan Penelitian. Jur. HPT Faperta Unand.
Padang. 14.