Anda di halaman 1dari 5

RESUME MAKALAH TEORI PENDIDIKAN DARI

BEHAVIORISME DALAM PRESPEKTIF ISLAM


Disusun untuk memenuhi Ujian Tengah Semester
Mata Kuliah Filsafat Kemuhammadiyahan

Dosen Pengampu:
Dr. Ferihan, M.A.

Disusun Oleh:

MURDIYANTO
NIM: 2018920041

MAGISTER STUDI ISLAM PASCA SARJANA


FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2020
RESUME MAKALAH
TEORI PENDIDIKAN DARI BEHAVIORISME
DALAM PRESPEKTIF ISLAM

Behaviorisme merupakan salah satu aliran psikologi yang meyakini bahwa untuk mengkaji
perilaku individu harus dilakukan terhadap setiap aktivitas individu yang dapat diamati,
bukan pada peristiwa hipotetis yang terjadi dalam diri individu. Oleh karena itu, penganut
aliran behaviorisme menolak kerasadanya aspek-aspek kesadaran atau mentalitas dalam
individu. Pandangan ini sebetulnya sudah berlangsung lama sejak jaman Yunani Kuno, ketika
psikologi masih dianggap bagian dari kajian filsafat. Namun kelahiran behaviorisme sebagai
aliran psikologi formal diawali oleh J.B. Watson pada tahun 1913 yang menganggap
psikologi sebagai bagian dari ilmu kealaman yang eksperimental dan obyektif, oleh sebab itu
psikologi harus menggunakan metode empiris, seperti : observasi, conditioning, testing, dan
verbal reports.
Teori utama dari Watson yaitu konsep stimulus dan respons (S-R) dalam psikologi. Stimulus
adalah segala sesuatu obyek yang bersumber dari lingkungan. Sedangkan respon adalah
segala aktivitas sebagai jawaban terhadap stimulus, mulai dari tingkat sederhana hingga
tingkat tinggi. Watson tidak mempercayai unsur herediter (keturunan) sebagai penentu
perilaku dan perilaku manusia adalah hasil belajar sehingga unsur lingkungan sangat penting.
Pemikiran Watson menjadi dasar bagi para penganut behaviorisme berikutnya.
Teori-teori yang dikembangkan oleh kelompok behaviorisme terutama banyak dihasilkan
melalui berbagai eksperimen terhadap binatang. Berikut ini disajikan beberapa teori penting
yang dihasilkan oleh kelompok behaviorisme:
1. Connectionism ( S-R Bond) menurut Thorndike.
Dari eksperimen yang dilakukan Thorndike terhadap kucing menghasilkan hukum-
hukumbelajar, diantaranya:
1. Law of Effect; artinya bahwa jika sebuah respons menghasilkan efek yang
memuaskan, maka hubungan Stimulus – Respons akan semakin kuat. Sebaliknya,
semakin tidak memuaskan efek yang dicapai respons, maka semakin lemah
pulahubunganyang terjadi antara Stimulus- Respons.
2. Law of Readiness; artinya bahwa kesiapan mengacu pada asumsi bahwa kepuasan
organisme itu berasal dari pemdayagunaan satuan pengantar (conduction unit),
dimana unit-unit ini menimbulkan kecenderungan yang mendorong organisme untuk
berbuat atau tidak berbuat sesuatu.
3. Law of Exercise; artinya bahwa hubungan antara Stimulus dengan Respons akan
semakin bertambah erat, jika sering dilatih dan akansemakin berkurang apabila jarang
atau tidak dilatih.
2. Classical Conditioning menurut Ivan Pavlov
Dari eksperimen yang dilakukan Pavlov terhadap seekor anjing menghasilkan hukum-
hukumbelajar, diantaranya :
1. Law of Respondent Conditioning yakni hukum pembiasaan yang dituntut. Jika dua
macam stimulus dihadirkan secara simultan (yang salah satunya berfungsi sebagai
reinforcer), maka refleks dan stimulus lainnya akan meningkat.
2. Law of Respondent Extinction yakni hukum pemusnahan yang dituntut. Jika refleks
yang sudah diperkuat melalui Respondent conditioning itu didatangkan kembali tanpa
menghadirkan reinforcer, maka kekuatannya akan menurun.
3. OperantConditioning menurut B.F. Skinner
Dari eksperimen yang dilakukan B.F. Skinner terhadap tikus dan selanjutnya terhadap burung
merpati menghasilkan hukum-hukumbelajar, diantaranya :
1. Law of operant conditining yaitu jika timbulnya perilaku diiringi dengan stimulus
penguat, maka kekuatan perilaku tersebut akan meningkat.
2. Law of operant extinction yaitu jika timbulnya perilaku operant telah diperkuat
melalui proses conditioningitu tidak diiringi stimulus penguat, maka kekuatan
perilaku tersebut akan menurun bahkan musnah.
Reber (Muhibin Syah, 2003) menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan operant adalah
sejumlah perilaku yang membawa efek yang sama terhadap lingkungan. Responsdalam
operant conditioning terjadi tanpa didahului oleh stimulus, melainkan oleh efek yang
ditimbulkan oleh reinforcer. Reinforcer itu sendiri pada dasarnya adalahstimulus yang
meningkatkan kemungkinan timbulnya sejumlah responstertentu, namun tidak sengaja
diadakan sebagai pasangan stimulus lainnya seperti dalam classical conditioning.
4. Social Learning menurut Albert Bandura
Teori belajar sosial atau disebut juga teori observational learning adalah sebuah teori belajar
yang relatif masih baru dibandingkan dengan teori-teori belajar lainnya. Berbeda dengan
penganut Behaviorisme lainnya,Banduramemandang Perilaku individu tidak semata-mata
refleks otomatis atas stimulus (S-R Bond), melainkan juga akibat reaksi yang timbul sebagai
hasil interaksi antara lingkungan dengan skema kognitif individu itu sendiri. Prinsip dasar
belajar menurut teori ini, bahwa yang dipelajari individu terutama dalam belajar sosial dan
moral terjadi melalui peniruan (imitation) dan penyajian contoh perilaku (modeling). Teori
ini juga masih memandang pentingnya conditioning. Melalui pemberian reward dan
punishment, seorang individu akan berfikir dan memutuskan perilaku sosial manayang perlu
dilakukan.
Kaidah dan hukum belajar ini dapat dianggap sebagai keunggulan dari aliran
behaviorisme dalam menelaah konsep manusia yang dikaitkan dengan dengan salah satu
fenomena sunnatullah, yaitu bahwa manusia dapat mengubah nasib dirinya sendiri.Seperti
firman Allah SWT pada QS Ar – Ra’d ayat 11 yang memiliki arti : “ Bagi manusia ada
malaika – malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan dibelakangnya, mereka
menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum
sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah
menghendaki keburukan terhadap suatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan
sekali – kali tak ada pelindung mereka selain Dia ”.
Sayangnya, teori-teori di atas datangnya dari Barat yang tentunya mempunyai
orientasi yang berbeda dengan Islam. Kita ambil contoh konsep tentang ”benar dan salah”.
Aliran behavioristik memandang benar dan salah itu bergantung
pada reinforcement (penguat) positif maupun negatif. Artinya jika ada stimulus dan setelah
direspon ternyata menimbulkan ”keenakan”, maka tingkah laku itu dikatakan benar, dan jika
respon tersebut menimbulkan reinforcement negatif, maka perbuatan tersebut salah. Hal di
atas jelas sangat berbeda dengan Islam. Dalam Islam, baik dan buruk sudah ditentukan dan
ditunjukkan, kembali kepada individu masing-masing untuk memilih yang mana (QS. Ali
Imran: 256 dan Al-Kahfi: 29), bukan semata-mata karena murni perbuatan menguntungkan
dirinya sendiri. Akibatnya, bisa jadi seseorang menyakiti orang lain, tetapi ia tidak
menyadarinya.
Maka dalam mempelajari disiplin ilmu pengetahuan Barat, – dalam hal ini psikologi
– cendikiawan muslim harus berusaha mempelajari landasan filosofis dan latar belakang
sejarahnya. Ia harus waspada, jangan menerima seutuhnya teori serta praktiknya (Badri,
1986: 15) tanpa adanya penyeleksian mana yang sesuai dengan ajaran Islam dan yang tidak.
Melihat fenomena tersebut, maka muncullah istilah “islamisasi pengetahuan” sebagai upaya
membangun kembali semangat umat Islam dalam mengkaji pengetahuan,
mengembangkannya melalui kebebasan ilmiah (scientific inquiry) dan filosofis yang
merupakan perwujudan dari komitmen terhadap doktrin dan nilai-nilai yang terkandung
dalam al-Qur’an dan al-Sunah (Muhaimin, 2003: 337).
 Menurut Tobroni & Arifin (2008) dalam Hidayat, Ara (2015) Agenda masa depan
pendidikan agama adalah bagaimana mengembalikan agama pada kekuatan teologis-historis.
Hal ini diperlukan untuk menyambut babak baru sejarah manusia yang mulai mencari
keamanan ontologism (ontological security). Dengan demikian, akan mampu dikembangkan
sebuah masyarakat dan peradaban dimana moral transendental menjadi asas utama. Islam
melalui Al-Qur’an mengandung cita-cita besar dan mulia untuk menciptakan tatanan sosial
dan kehidupan yang berkeadilan dan beretika Pendidikan mestinya dapat meningkatkan
kapasitas pemahaman yang pada giliranya dapat membentuk kesadaran baru. Kesadaran yang
dapat mendorong bagi mereka, baik secara individual atau kelompok memiliki sikap dan
perilaku yang mencerminkan watak Islami. Melalui sikap personal dan komunal yang
demikian, akan membentuk habitus harian yang berwawasan keagamaan.

Anda mungkin juga menyukai