Anda di halaman 1dari 13

1.

Tindak Tutur Direktif

Tindak tutur direktif merupakan tindak tutur yang diklasifikasikan oleh

Searle. Fungsi tindak tutur menurut Searle adalah memengaruhi mitra tutur

agar melakukan tindakan seperti yang diungkapkan oleh si penutur (Searle

dalam Rahardi, 2003:73). Dengan mengacu pada pendapat Searle (1979)

tersebut, Yule (dalam Firdaus dkk, 2012:145) mendefinisikan bahwa tindak

tutur direktif adalah tindak tutur yang dipakai oleh penutur untuk menyuruh

orang lain melakukan sesuatu, misalnya permohonan, perintah, dan

pemberian saran. Tindak tutur direktif ini menginginkan penutur (lawan tutur)

melakukan tindakan sebagai efek dari tuturan tersebut.

Tuturan direktif memiliki fungsi komunikatif, yaitu memohon,

menanyakan, memerintah, meminta dengan tegas, dan lain-lain. Fungsi

tersebut untuk mendorong mitra tutur melakukan apa yang diinginkan oleh

penutur (Arief, 2015:21)

Dari ketiga pendapat di atas, bahwa tindak tutur direktif dimaksudkan

untuk memberikan pengaruh terhadap mitra tutur agar mitra tutur melakukan

sesuatu sesuai dengan kehendak penutur.

Saat penutur melakukan tindak tutur kepada lawan tutur, di balik

tuturannya itu terdapat maksud yang disampaikan pada lawan tutur dan

penutur menginginkan lawan tutur atau mitra tuturnya melakukan sesuatu

sesuai dengan maksud yang diterkandung dalam tuturannya (Gunarwan

dalam Chairil, 2018:5). Selanjutnya, Searle (dalam Nawir, 2018:17)

mengemukakan tindak tutur direktif terbagi atas enam macam yaitu sebagai

berikut.
1) Permintaan (requstives) adalah menunjukkan dalam mengucapkan

suatu tuturan, penutur memohon kepada mitra tutur untuk melakukan

suatu perbuatan. Fungsi tindakan requstives antra lain meliputi:

meminta, memohon, mendoa, dan mengajak. Agar memeperjelas tindak

tutur direktif permintaan Rahardi (2005:97) memberikan contoh berikut.

(4) Totok: “pak, saya minta diantar ke sekip dulu, pak! [21]

(5) Tukang becak: “Wa, lha, ongkosnya lain, Mas.” [22]

Tuturan ini disampaikan oleh seorang mahasiswa kepada seorang

tukang becak. Mahasiswa meminta diantar ke suatu tempat. Tuturan

[21] merupakan tindak tutur direktif meminta karena makna meminta

lazimnya terdapat ungkapan penanda kesantunan tolong atau makna

lain yang bermakna minta, dan makna permintaan yang lebih halus

diungkapkan dengan penanda mohon.

2) Pertanyaan (questions) adalah pengertian bahwa dalam mengucapkan

suatu tuturan, penutur menanyakan pada mitra tutur apakah suatu

proposisi itu benar. Questions mengandung pengertian bahwa penutur

memohon kepada mitra tutur agar memberikan informasi tertentu.

Fungsi tindakan ini meliputi bertanya dan mengintrogasi.

Agar memeperjelas tindak tutur direktif pertanyaan Rahardi

(2005:97) memberikan contoh berikut.

(6) “Pagi ini saya akan banyak menyampaikan kuliah dengan

banyak menjelaskan. Mike dan Wirelesnya sudah siap

ataukah belum?” [23]

Dituturkan oleh seorang dosen terhadap siswanya di dalam ruang kuliah

kampus pada saat ia akan mengawali perkuliahannya. Tuturan [23] di


atas merupakan tuturan perintah atau imperatif yang menggunakan

modus bertanya.

3) Perintah (requirements) adalah tindakan yang mengindikasikan bahwa

ketika mengucapkan suatu tuturan, penutur menghendaki mitra tutur

untuk melakukan perbuatan. Penutur memberi anggapan bahwa dia

memiliki kewenangan yang lebih tinggi daripada mitra tutur, misalnya,

fisik, psikologis, atau institusional yang memberikan bobot pada ujaran.

Fungsi tindakan yang termasuk dalam requirement adalah

menghendaki, mengomando, menuntut, mendikte, mengarahkan,

mengilustrasikan, mengatur dan mensyaratkan. Agar memeperjelas

tindak tutur direktif perintah, Rahardi (2005:96) menjelaskan bahwa

kalimat yang bermakna memerintah itu, digunakan bersama penanda

kesantunan “coba” seperti dapat dilihat pada contoh berikut:

(7) “Coba hapus papan tulisnya” [24]

Jenis tindak tutur yang dituturkan oleh guru kepada salah seorang anak

didiknya adalah jenis tindak tutur direktif memerintah. Sebab guru

mengharapkan kerjasama anak didiknya agar segera melakukan

tindakan untuk menghapus papan tulis.

4) Larangan (prohibitive) adalah suatu tindakan yang menunjukkan bahwa

ketika mengucapkan suatu ekspresi penutur melarang mitra tutur untuk

melakukan tindakan. Penutur mengekspresikan otoritas kepercayaan

bahwa ujarannya menunjukan alasan yang cukup bagi mitra tutur untuk

tidak melakukan tindakan. Fungsi tindakan prohibitive meliputi, melarang

dan membatasi. Agar memperjelas tindak tutur direktif larangan, Rahardi

(2005:109) menjelaskan bahwa makna larangan dalam bahasa


indonesia biasanya ditandai oleh pemakaian kata jangan, seperti pada

contoh berikut.

(8) “Jangan berkata begitu Satilawati, hatiku bertambah rusak!”

[25]

Tuturan [25] merupakan bentuk tindak tutur direktif melarang. Hal itu

terjadi dalam perbincangan yang bersifat pribadi antara seorang dan

orang lainnya pada saat bertemu di kantin perguruan tinggi.

5) Pemberian izin (permissives) adalah tindakan ketika mengucapkan

suatu tuturan menghendaki mitra tutur untuk melakukan perbuatan

(tindakan). Penutur mengekspresikan kepercayaan bahwa ujarannya

dalam hubungannya dengan posisi penutur di atas mitra tutur,

membolehkan mitra tutur untuk melakukan tindakan. Fungsi tindakan

permissives meliputi menyetujui, membolehkan, menganugerahi, dan

memaafkan. Berkaitan dengan hal itu, Rahardi (2005:108)

mengemukakan bahwa memberikan izin ditandai oleh pemakaian

penanda kesantunan silakan, seperti pada contoh berikut.

(9) “Silakan merokok di tempat ini!” [26]

Tuturan [26] terjadi ditempat yang khusus disediakan khusus untuk para

perokok. Di lokasi itu orang yang diperkenankan merokok selain di

tempat itu.

6) Nasihat (advisories) adalah tindak ketika mengucapkan suatu ekspresi,

penutur menasehati mitra tutur untuk melakukan tindakan. Penutur

mengekspresikan kepercayaan bahwa terdapat alasan bagi mitra tutur

untuk melakukan tindakan dan penutur mengekspresikan maksud agar

mitra tutur mengambil kepercayaan penutur sebagai alasan baginya


untuk melakukan tindakan. Fungsi tindakan advisories meliputi

menasehati dan menyarankan. Berbicara mengenai tindak tutur direktif

menasihati, Rahardi (2005:114) mengemukakan bahwa kalimat yang

bermakna menasihati biasanya ditandai dengan penanda kesantunan

kata “hendaknya” dan “sebaiknya” seperti contoh berikut.

(10) “Ketika ada kegiatan ada baiknya kita mulai dengan

bissmilah” [27]

Tuturan [27] dituturkan oleh guru kepada anak didiknya, guru menasihati

kepada anak didiknya jika ingin melakukan kegitan hendaknya

membaca bismillah.

Berdasarkan pendapat para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa

tindak tutur direktif merupakan tindak tutur yang memengaruhi mitra tuturnya

untuk melakukan suatu tindakan seperti yang dianjurkan oleh penutur. Selain

itu, direktif juga dapat diartikan bahwa kalimat yang dianjurkan bukan hanya

untuk melakukan sesuatu, tetapi juga dapat membuat seseorang melakukan

sesuatu. Fungsi komunikatif yang dapat mempengaruhi mitra tutur melakukan

tindakan sesuai dengan yang dituturkan terdapat enam fungsi, yaitu

permintaan, pertanyaan, perintah, larangan, pemberian izin, dan nasihat. Ke

enam bentuk tindak tutur direktif di atas merupakan bentuk tuturan yang

sering ditemukan dalam kegiatan kimunikasi sehari-hari.

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teori Searle untuk

mendeskripsikan dan menjelaskan jenis dan fungsi tindak tutur direktif. Selain

mengkaji tindak tutur direktif, penelitian ini pun mengkaji implikatur yang

dihasilkan oleh tindak tutur direktif dalam rapat dinas di lingkungan MAN 3

Pandeglang.
2. Implikatur

Makhluk sosial tidak terlepas dari kegiatan komunikasi. Dalam

berkomunikasi, bagi penutur dan petutur sangat penting untuk saling

memahami makna dari tuturan yang diujarkan. Berbicara secara langsung

dengan apa adanya dan tanpa basa-basi merupakan beberapa faktor yang

dapat membuat tuturan menjadi tindak sopan. Untuk menghindari hal itu,

penutur cenderung menyiratkan tuturannya dengan menggunakan implikatur

percakapan. Implikatur percakapan merupakan makna tersirat atau ungkapan-

ungkapan maksud hati yang tersembunyi (Grice dalam Prativi, Yuliani Giri, dan

Ni Made Andry Anita Dewi, 2016: 193).

Dalam penelitian ini teori implikatur digunakan untuk mengkaji maksud

tuturan yang dituturkan oleh pemimpin rapat. Menggunakan teori implikatur

dapat diketahui implikatur yang dihasilkan oleh tindak tutur direktif pemimpin

rapat dinas dalam peristiwa rapat dinas di lingkungan MAN 3 Pandeglang.

1. Pengertian implikatur

Konsep implikatur mula-mula diperkenalkan oleh Herbert Paul Grice

(1975) untuk memecahkan mesalah mengenai makna bahasa yang tidak

mampu diselesaikan oleh teori semantik biasa. Implikatur merupakan makna

yang terkandung lebih dari satu dalam informasi yang diujarkan. Artinya,

Implikatur merupakan informasi yang memiliki makna lebih dari yang

diuajarkan (Yule, 2006:69). Senada dengan pengertian selanjutnya,

Levinson (dalam Nadar, 2009:61) mengemukakan bahwa implikatur

merupakan gagasan hal terpenting dalam pragmatik karena implikatur

memberikan tafsiran menganai makna atau maksud lebih banyak dari pada
yang dituturkan. Tidak jauh berbeda dengan yang dikemukakan oleh

Levinson, Mey (Nadar, 2009: 60) mengemukakan implikatur “implicature”

berasal dari kata kerja to imply sedangkan kata bendanya adalah

implication. Kata ini berasal dari bahasa latin plicare yang berarti to fold

“melipat”, sehingga untuk mengerti apa yang dilipat atau disimpan tersebut

haruslah dilakukan dengan cara membukanya. Dalam rangka memahami

apa yang dimaksudkan oleh seorang penutur, penutur harus selalu

melakukan interpretasi pada tuturan-tuturannya.

Implikatur digunakan untuk “memperhitungkan” apa yang diartikan

atau apa yang dimaksudkan oleh seorang penutur secara berbeda dari apa

yang dinyatakannya secara harfiah dalam tuturan (Brown dan Yule dalam

Bachari dan Juansah, 2017:82).

Dari keempat pendapat ahli di atas mengenai implikatur bahwa

implikatur adalah makna yang tersembunyi atau terselubung dalam suatu

tuturan. Makna yang terkandung dalam tuturan lebih banyak dari kalimat

yang dituturkan. Maka pada saat bertutur harus disesuaikan dengan konteks

dan penutur serta lawan tutur harus saling memahami konteks.

Menurut Bachari dan Juansah, (2017:83), konsep implikatur yang

dikemukakan oleh Grice (1975) dapat ditempatkan secara oposisional dari

‘apa yang dituturkan’, yaitu sebagai komponen ‘apa yang dimaksudkan’

secara inklusif dalam sebuah tuturan. Konsep mengenai ‘apa yang

dimaksudkan’ sama dengan makna ujaran yang didasarkan ‘pada segala hal

yang dimaksud penutur untuk dideskripsikan melalui perangkat linguistik

yang tersurat. Berkaitan dengan konsep tentang ‘apa yang dituturkan’ harus

dapat dipertentangkan (secara oposisi) dengan kalimat lain, Bachari dan


Juansah, (2017:83) memberikan contoh, yaitu pada kalimat “Andri memakai

baju batik”, misalnya, dapat dipertentangkan dengan kalimat “Andri tidak

memakai baju batik” (Andri memakai baju batik ˃< Andri tidak memakai baju

batik). Kalimat tersebut jelas “apa yang dituturkan”, dan bukan “apa yang

diamksudkan” karena dapat dioposisikan dengan kalimat lainnya.

Sementara ‘apa yang diimplikasikan’ atau ‘apa yang dimaksudkan’ tidak

dapat dipertentangkan secara oposisional.

Dari penjelasan ilustrasi tersebut bahwa makna atau maksud di dalam

sebuah tuturan tidak dapat dipertentangkan dengan kalimat lain. Implikatur

merupakan salah satu kajian pragmatik yang lebih mengkhususkan kajian

pada suatu makna yang implisit dari suatu percakapan yang berbeda

dengan makna harfiah dari suatu percakapan.

Pendapat selanjutnya mengenai implikatur dikemukakan oleh, Brown

dan Yule (dalam Bachari dan Juansah, 2017:82) mengemukakan bahwa

implikatur digunakan untuk “memperhitungkan” apa yang diartikan atau apa

yang dimaksudkan oleh seorang penutur secara berbeda dari apa yang

dinyatakannya secara harfiah dalam tuturan. Sementara itu, Gunarwan

(dalam Sunarni dan Rosidin, 2019:71) mengemukakan bahwa istilah

implikatur (implicature) adalah derivasi kata implicate, implicate, yang

semula bermakna ‘menuduh seseorang terlibat dalam perbuatan yang

melanggar hukum’ kemudian makna tersebut diubah oleh Grice menjadi

“sinonim” kata imply. Imply bermakna ‘menyiratkan secara umum’

sedangkan implicate bermakna ‘menyiratkan secara kebahasaan’.

Dari kedua pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa implikatur

adalah makna tuturan yang dituturkan secara tersirat dalam suatu


pembicaraan. Makna yang disampaikan kepada lawan tutur berbeda dengan

apa yang diujarkan. Makna akan tersampaikan dengan baik apabila kedua

belah pihak saling memahmi konteks dan saling bekerja sama dalam

berkomunikasi.

Agar memperjelas implikatur, Gunarwan (Sunarni dan Rosidin,

2019:72) menyampaikan contoh implikatur dengan memodifikasi contoh-

contoh yang dikemukakan Yule (1996) berikut ini.

(11) A: apakah saudara mengundang Ali dan Ahmad? [28]

B: saya mengundang Ali [29]

Saya sedang duduk-duduk di sebuah taman. Tiba-tiba

seorang anak muncul di atas pagar. [30]

(Implikatur anak itu bukan anak si penutur hal ini karena di

dalam ujaran itu dipakai kata seorang).

Berdasarkan contoh yang disampaikan di atas, tuturan [29] menjawab

pertanyaan [28], tetapi jawaban B hanya menyebutkan Ahmad yang

diundang. Padahal A bertanya Ali dan Ahmad. Dari jawaban tersebut

tampak tuturan B memiliki maksud yang tidak dibicarakan secara eksplisit.

Tuturan yang tersirat itu mengandung maksud bahwa B tidak mengundang

Ahmad. Tuturan [30] memiliki maksud yang tidak disampaikan secara

langsung bahwa anak yang muncul di atas pagar bukan anaknya. Hal

tersebut ditandai oleh penggunaan kata seorang.

Berdasarkan contoh implikatur di atas, semakin dipertegas bahwa

implikatur adalah maksud yang tersurat dibalik tuturan. Apabila tuturan

melanggar salah satu dari ke empat maksim kerja sama Grice. Maka dalam

tuturannya tersebut terdapat maksud yang berbeda dari yang dituturkan.


Oleh sebab itu agar berkomunikasi dapat berjalan dengan baik, penutur dan

petutur harus saling menjalin kerja sama dalam berkomunikasi.

2. Jenis-jenis Implikatur

Pendapat mengenai implikatur, Rohmadi (2017:60), menyatakan

bahwa Grice (1975), membedakan implikatur menjadi dua bagian, yaitu

konvensional dan nonkonvensional. Implikatur konvensional adalah makna

suatu ujaran yang secara konvensional atau secara umum diterima oleh

masyarakat. Misalnya: Sebagai orang Jawa tentunya ia akan bertindak

dengan sopan, penuh pengertian, dan tidak suka menonjolkan diri.

Implikatur konvensional ini sering disebut dengan prinsip kerja sama.

Implikatur non konvensional yang dimaksud adalah ujaran yang

menyiratkan sesuatu yang berbeda dengan yang sebenarnya. Sebagai

contoh, seorang ibu yang menyuruh anak gadisnya untuk membuatkan

minum ayahnya cukup diimpliaksikan sebagai berikut:

(25) I : Yul air yang direbus di dapur sudah mendidih. [31]

A : Ya bu, Bapak kopi atau susu? [32]

Dari ilustrasi di atas informasi yang diberikan ibu kepada anaknya sekaligus

menyiratkan perintah untuk membuatkan minum ayahnya, dan sang anak

dapat mengerti implikasi yang diberikan oleh ibunya.

Berbeda dengan, Sperber dan Wilson (dalam Nadar, 2009:62)

membedakan implikatur menjadi dua macam, yaitu implicated premises dan

implicated conclusion dengan menjelaskan mengenai perbedaannya

sebagai berikut: implicated premises harus dilakukan oleh pendengar yang

harus memperolehnya dari ingatannya atau menyusunnya dengan


ingatannya atau menyusunnya dengan mengembangkan acangan-

ancangan asumsi yang diperoleh dari ingatannya, sedangkan implicated

conclusion diperoleh dengan jalan yang menyimpulkan dari keterangan

tuturan dengan konteksnya.

Ilustrasi mengenai perbedaan implicated premises dan implicated

conclusion yang diberikan oleh kedua linguis, yaitu Sperber dan Wilson

(Nadar, 2009:62) dengan contoh dialog berikut.

(26) Pater : “Would you drive a Mercedes?” [33]

(“Maukah Anda mengendarai Mercedes?”)

Mary : “I wouldn’t drive any expensive car”. [34]

(“Saya tak mau mengendarai mobil mewah manapun.”)

Sebagaimana dapat dilihat, jawaban Mary bukanlah merupakan

jawaban yang langsung terhadap pertanyaan Peter. Namun demikian, Peter,

melalui ingatan dan pengetahuannya dapat menyimpulkan sebuah

informasi, yaitu: A Mercedes is an expensive car. Pemahaman Peter bahwa

A Mercedes is an expensive car inilah yang disebut dengan implicated

premises. Peter terus melanjutkan proses berpikirnya, mengapa jawaban

Mary seperti itu, yaitu I wouldn’t drive any expensive car dan

mengambungkan pengetahuannya bahwa A Mercedes is an expensive car.

Proses ini melahirkan penyimpulan bahwa Mary wouldn’t drive a Mercedes,

yang disebut sebagai implicated conclusion.

Berbicara mengenai implikatur, Purwo (1990:20) menyatakan

sebagait berikut.

Jika ada dua orang yang bercakap-cakap, percakapan itu dapat


berlangsung dengan lancar berkat adanya semacam “kesepakatan
bersama”. Kesepakatan itu harus saling berhubungan atau berkaitan.
hubungan atau keterkaitan itu sendiri tidak terdapat pada masing-
masing kalimat (yang dipersambungkan itu) secara lepas maksudnya,
makna berkaitan itu tidak tersungkapkan secara “literal” pada kalimat itu
sendiri. Ini yang disebut implikatur percakapan.

Berdasarkan pelbagai pendapat di atas mengenai jenis-jenis

implikatur terdapat kesamaan dan perbedaan, yaitu Grice (1975)

membedakan implikatur menjadi dua bagian, yaitu konvensional dan

nonkonvensional. Sperber dan Wilson (1986) membagi implikatur menjadi

dua, yaitu implicated primises dan implicated conclusion. Pendapat

keduanya jika dibandingkan memiliki persamaan dan perbedaan.

Persamaanya, yaitu implikatur konvensional yang mengimplikasikan bahwa

suatu konsep atau pengertian bersifat umum dan maknanya sesuai dengan

apa yang dituturkan. Jenis implikatur konvensional menutut Grice (1975) ini

hampir sama dengan jenis implikatur implicated premises yang dikemukakan

oleh Sperber dan Wilson (1986). implicated premises adalah proses

pemahaman berpikir mengenai makna tuturan yang dituturkan oleh penutur,

sedangkan konvensional makna tuturan sesuai dengan apa yang dituturkan

oleh penutur. Sedangkan jenis implikatur non konvensioanal yang menurut

Grice (1975) tidak berbeda dengan jenis implikatur yang dikemukakan oleh

Sperber dan Wilson (1986), yaitu implicated conclusion, keduanya memiliki

pengertian yang sama, yaitu tuturan yang tersirat, dalam memahami makna

atau maksud dari tuturan penutur dan petutur harus saling memahami

konteks. Implikatur jenis ini dihasilkan karena adanya tuturan dari suatu

konteks. Implikatur non konvensional sama dengan implikatur percakapan

yang diungkapkan oleh purwo.

Berdasarkan jenis-jenis implikatur di atas, teori implikatur yang

digunakan untuk mengkaji penelitian ini, yaitu implikatur menurut Grice


(1975). Hal ini dikarenakan teori implikatur tersebut dapat mengungkap

makna atau maksud yang dituturkan dalam tuturan pemimpin rapat dinas di

lingkungan MAN 3 Pandeglang.

Anda mungkin juga menyukai