Fotogrametri I
Penyusun:
Ir. Prijono Nugroho Dj., MSP., Ph.D
Dany Puguh Laksono, ST., M. Eng.
3. Kurikulum : 2016
4. Penyusun :
Ir. Prijono Nugroho Dj., MSP., Ph.D Ir. Prijono Nugroho Dj., MSP., Ph.D
NIP.: 195802051984031002 NIP.: 195802051984031002
ii
KATA PENGANTAR
Mata kuliah fotogrametri I merupakan slah satu mata kuliah wajib di semester III Program Studi Teknik
Geodesi Departemen Teknik Geodesi Fakultas Teknik UGM. Mata kuliah ini diselenggarakan untuk
mendukung salah satu kompetensi pendukung yang harus dicapai lulusan program Sarjana Teknik
Geodesi yaitu memiliki kemampuan melaksanakan kegiatan pemetaan secara fotogrametris. Bidang
ilmu fotogrametri sendiri merupakan salah satu dari kelompok bidang minat pada Departemen Teknik
Geodesi UGM yang ditunjang oleh laboratorium fotogrametri, dengan mata kuliah ini merupakan
pengantar pada bidang minat fotogrametri.
Keberhasilan proses belajar dan mengajar untuk mencapai target kompetensi pendukung tersebut
tentunya sangat dipengaruhi oleh proses belajar mengajar yang diselenggarakan. Proses belajar
mengajar yang baik harus direncanakan dan dilaksanakan dalam bentuk Rencana Program Kegiatan
Pembelajaran Semester (RPKPS). Buku ini merupakan implementasi dari Rencana Program Kegiatan
Pembelajaran Semester yang telah disusun dan akan menjadi panduan bagi mahasiswa dalam
pelaksanaan proses belajar mengajar untuk mata kuliah Fotogrametri I.
Penulis mengucapkan terima kasih atas dukungan dari berbagai pihak sehingga penulisan modul
pembelajaran mata kuliah Fotogrametri I di lingkungan Program Studi Teknik Geodesi Departemen
Teknik Geodesi Fakultas Teknik UGM ini dapat terwujud. Besar harapan kami agar modul ini dapat
bermanfaat dalam kegiatan pembelajaran ke depannya. Kritik dan saran kami harapkan untuk perbaikan
modul ini agar dapat mendukung pembelajaran dengan lebih baik lagi.
iii
RPKPS MATA KULIAH
FOTOGRAMETRI I
Kognitif:
Psikomotorik:
a. Melakukan pemotretan dan akuisisi foto dengan hasil yang optimal (A3)
b. Menghitung posisi dan orientasi kamera pada saat pemotretan dilakukan (A4)
c. Melakukan koreksi rektifikasi foto udara (2D) (A4)
d. Melakukan koreksi ortofoto (A4)
e. Menghitung beda tinggi antar objek dari foto udara stereo (A4)
f. Membuat diagram alir suatu pekerjaan fotogrametri (A4)
g. Menyusun Persamaan Linear Bundle Adjustment untuk pembuatan Digital Terrain Model (DTM) dari
topografi bumi (A1)
h. Mengoperasikan perangkat lunak untuk penyelesaian masalah geospasial dengan fotogrametri (B4)
Afektif:
iv
5. Materi pembelajaran
b. Sensor Kamera.
a. Persamaan Lensa.
Mahasiswa mampu menjelaskan tentang Slide Test 2:
CO.3 b. Resolusi spasial, resolusi warna. 6,10,11,
4 prinsip dasar fotografi. - Ceramah materi, LCD
BAB IFOTOGRAFI - Diskusi Hitungan resolusi spasial 13
a.1 c. ISO (Dyne). dan laptop.
(A1, A2, A3, C2, C4) - Test dan image motion
d. Image Motion.
Mahasiswa mampu menjelaskan tentang Geometri Foto a. Sistem Proyeksi Sentral. Slide
CO.4 Geometri citra foto udara, dan pers. Udara dan 6,10,11,
5,6,7 Kolinier. b. Sistem koordinat piksel, foto dan tanah - Ceramah materi, LCD
a.1 Tugas 2: mandiri 13
BAB IIPERSAMAA (UTM). - Diskusi dan laptop.
Mahasiswa mampu melakukan: N KOLINIER. - Tugas
. Transformasi antar sistem koord. c. Transformasi antar sistem koord. Menggambar hubungan
kesegarisan
. Koreksi koord foto. d. Camera Interior Orientation dan
penentuannya (kalibrasi kamera). Menggambar
. Penentuan GSD dan variasi skala. kesalahan/distorsi foto
e. Matriks Rotasi (2D, 3D).
. Penentuan Posisi&Orientasi saat Hitungan tansformasi
pemotretan. f. Camera Exterior Orientation (EO). koordinat
(A1, A3, A4, B4, C2, C4) g. Koreksi koordinat foto. (pikselfiducialfoto
berkas)
h. Skala foto, GSD (Ground Spatial
Distance) dan Variasi Skala. Linierisasi persamaan
kesegarisan
i. Pers. Kolinier, dan lineerisasinya.
UTS:
8 Rangkuman test 1 dan 2
serta tugas 1 dan 2
Tugas 3: mandiri
Mahasiswa mampu menjelaskan prinsip Slide
CO.5 a. Jenis Kamera - Ceramah 6,10,11,
9 dan prosedur kalibrasi kamera Kalibrasi Kamera materi, LCD Menyusun model
- Diskusi 13
a.3 b. teknik Kalibrasi kamera non-metrik dan laptop. matematik kalibrasi
(A1, A3, A4, B4, C2, C4) - Tugas
kamera
CO.7 Slide
Mahasiswa mampu menjelaskan ttg Geometri Foto a. Geometri Sepasang Foto Tegak dan 6,10,11,
12,13 materi, LCD Tugas 5: mandiri
a.3 Geometri citra foto udara sterio dan Udara Stereo Pers. Paralaks. - Ceramah 13
dan laptop.
- Diskusi
vi
Block Bundle Adjustment. BAB IVDAN b. Pengertian tie point (titik ikat foto) - Tugas Menyusun model
BUNDLE matematik
Mahasiswa mampu melakukan: ADJUSTMENT c. Geometri suatu Blok Foto, tie point dan
. GCP (Otomatisasi pengukuran koordinat tie orientasi relatif sepasang
. Penentuan Beda Tinggi dgn paralaks. point) foto
. Pembuatan pers. Linear pd Bundle d. Algoritma Bundle Adjustment pd Blok
Adjustment. Foto.
(A1, A3, A4, B4, C2, C4)
UAS:
16 Rangkuman tugas
3,4,5,6 dan test 3
vii
6. Daftar Referensi:
1. Apple Computer Inc, 2005, Aperture Digital Photography Fundamentals,
2. Anonym, 2010, SNI 6502.2-2010 Spesifikasi penyajian peta rupa bumi 25.000, Badan Standarisasi Nasional, Jakarta
3. Dan Ablan, 2007, Digital Photography for 3D Imaging and Animation, Wiley Publishing, Inc., Indianapolis, Indiana.
4. Edgar Falkner and Dennis Morgan, 2001, Aerial mapping methods and applications 2nd ed., CRC Press
5. Graham, R., 2002, Digital Aerial Survey Theory and Practice, Whitllles Publishing, CRC Press, London.
6. Graham Slama, C.C., 1980, Manual of Photogrammetry - Fourth Edition, American Society of Photogrammetry, Virginia, USA.
7. Jie Shan and Charles K. Toth , 2009, Topographic Laser Ranging and Scanning - Principles and Processing, Taylor & Francis Group, New York.
8. James S. Aber, Irene Marzolff, and, Johannes B. Ries, 2010, Small-Format Aerial Photography Principles, Techniques and Geoscience Applications, Elsevier B.V.
9. Lillesand and Kiefer, 2000, Remote Sensing and Image Interpretation, Edisi ke-4, John Wiley and Sons, New York.
10. Michel Kasser and Yves Egels, 2002, Digital Photogrammetry, Taylor & Francis Inc, New York.
11. Paul R. Wolf, Ph.D, Bon A. Dewitt, Ph.D., and, Benjamin E. Wilkinson, Ph.D.,2014, Elements of Photogrammetry with Applications in GIS, Fourth Edition, Mc. Graw Hill, London.
12. Rainer Sandau, 2010, Digital Airborne Camera Introduction and Technology, Springer Dordrecht, Heidelberg
14. T. Toutin, 2004, Review article : Geometric Processing of Remote Sensing Images : Models, Algorithms and Methods, International Journal of Remote Sensing, Vol. 25, No. 10, 1893-1924.
15. Wilfried Linder, 2006, Digital Photogrammetry A Practical Course, Springer-Verlag, Berlin
16. Zhilin Li, Qing Zhu, and Chris Gold, 2004, Digital Terrain Modeling Principles and Methodology, CRC Press, Florida
Rubrik penilaian:
viii
Not Acceptable Below acceptable Meet acceptable Exceed Acceptable
0-25 26 - 45 46 - 70 71 - 100
CO.3 Mampu tidak mengerti resolusi spasial dan Mampu bisa menjelaskan tentang resolusi Mampu memahami hitungan resolusi Mampu memahami hitungan resolusi
image motion spasial dan image motion spasial dan image motion spasial dan image motion secara
komprehensip
CO.4
Mahasiswa tidak bisa menggambarkan Mahasiswa memahami hubungan Mahasiswa memahami hubungan
Mahasiswa bisa menggambarkan
hubungan kesegarisan, kesalahan/distorsi kesegarisan, kesalahan/distorsi foto, bisa kesegarisan, kesalahan/distorsi foto, bisa
hubungan kesegarisan, kesalahan/distorsi
foto, tidak bisa melakukan hitungan melakukan hitungan tansformasi melakukan hitungan tansformasi
foto, bisa melakukan hitungan tansformasi
tansformasi koordinat koordinat koordinat
koordinat (pikselfiducialfotoberkas)
(pikselfiducialfotoberkas) (pikselfiducialfotoberkas) (pikselfiducialfotoberkas)
Dan tidak bisa menurunkan persamaan
Dan tidak bisa menurunkan persamaan Dan bisa menurunkan persamaan Dan bisa menurunkan persamaan
kesegarisan
kesegarisan kesegarisan kesegarisan secara komprehensip
ix
CO.7 Mahasiswa mampu menyusun model
Mahasiswa tidak tahu tentang orientasi Mahasiswa mengerti perihal orientasi Mahasiswa mampu menyusun model
matematik orientasi relatif sepasang foto
relatif sepasang foto relatif sepasang foto matematik orientasi relatif sepasang foto
dan memahami aplikasinya
Materi Praktikum
Tujuan
Pokok
Minggu Pembelajaran Sub Pokok Bahasan
Bahasan
Mingguan
Mahasiswa dapat a. Under/Over Shoot: membahas penyebabnya, cara
menjelaskan Melakukan mengatasinya, pemotretan ulang tanpa under/over shoot
arsitektur kamera Pemotretan b. Image motion: menghitung
digital dan cara dengan besarnya image motion, penyebabnya, cara
2,3,4 kerjanya menggunakan mengatasinya, pemotretan ulang tanpa image motion
Mahasiswa dapat Kamera SLR c. Menghitung resolusi spasial hasil
melakukan dalam berbagai pemotretan
pemotretan yang keadaan
optimal
x
Mahasiswa dapat a. melakukan proses kalibrasi kamera
Kalibrasi
melakukan proses b. melakukan Rektifikasi dua dimensi (2D) foto udara
kamera dan
5, 6, 7, 8 kalibrasi kamera dan kampus UGM
rektifikasi foto
rektifikasi foto
tunggal
tunggal
Mahasiswa dapat a. menghitung tinggi bangunan di Kampus UGM dengan
melakukan Paralaks
perhitungan tinggi b. melakukan verifikasi hasil pengukuran tersebut di
9, 10, 11 Paralaks
objects diatas foto lapangan
stereo melalui
pengukuran paralaks
Mahasiswa dapat a. melakukan perhitungan Orientasi Luar (EO) foto
melakukan proses Orientasi Luar udara kampus dengan persamaan Kolinear
orientasi foto udara Kamera (EO) b. menghitung EO foto udara kampus dengan GCP
12, 13, 14 tunggal Dan koreksi c. Koreksi Ortorektifikasi
dan koreksi Ortorektifikasi
Ortorektifikasi foto foto tunggal
Tunggal
xi
DAFTAR ISI
xiv
DAFTAR GAMBAR
Gambar I-1: Foto Udara Berwarna format kecil Pulau Liberty ...............................................................1
Gambar I-2: Beberapa hasil analisis Fotogrametri ...................................................................................2
Gambar I-3: Garis Besar Proses Fotogrametri .........................................................................................3
Gambar I-4: Perbedaan Fotografi dan Fotogrametri ................................................................................4
Gambar I-5: Geometri perspektif oleh Duerer “The Draughtsman And The Lute” .................................5
Gambar I-6: Fase besar fotogrametri sebagai hasil dari inovasi teknologi ..............................................6
Gambar I-7: Plane Table Kamera Meydenbauer dibuat tahun 1872 ........................................................7
Gambar I-8: Ted Abrams berdiri di samping pesawat Explorer yang ia kembangkan (Abrams Aerial
Survey Corporation, 1896) .......................................................................................................................7
Gambar I-9: ER-55 Stereo Plotter hasil pengembangan Russel Kerr Bean tahun 1956 di USGS
("Ellipsoidal Reflector Projector for Stereo-Photogrammetric Map Plotting") .......................................8
Gambar I-10: Duane Brown with the CRC-1 camera (Brown, 2005). ..................................................11
Gambar I-11: Gestault Photo Mapper ....................................................................................................12
Gambar II-1: Klasifikasi Sensing Device pada pemetaan fotogrametri (Schenk, 2001)........................15
Gambar II-2: Kamera Digital tipe Digital Single-Lens Reflector Sony DSC F828
(www.dpreview.com) .............................................................................................................................16
Gambar II-3: Arsitektur dan cara kerja Kamera DSLR .........................................................................17
Gambar II-4: Perbedaan cara kerja kamera DSLR dan Mirroless (fstoplounge.com) ...........................18
Gambar II-5: a) Arsitektur Kamera Metrik Leica ADS40; b) Leica ADS40 dipasang pada pesawat....18
Gambar II-6: Perbedaan cara kerja sensor CCD dan CMOS .................................................................19
Gambar II-7: Perbandingan ukuran sensor pada kamera digital (lensvid.com) .....................................20
Gambar II-8: Perbandingan ukuran sensor medium format dan DSLR .................................................20
Gambar II-9: Sensor pada Airborne Metric Camera (Vexcel Ultracam) ...............................................21
Gambar II-10: Cross-section umum suatu kamera metrik .....................................................................22
Gambar II-11: Fiducial marks pada foto hasil pemotretan kamera metrik ............................................23
Gambar II-12: Perbedaan kamera metrik dan kamera medium format ..................................................23
Gambar II-13: Field of View Sebagai Fungsi dari Ukuran Sensor dan Panjang Fokus .........................24
Gambar II-14: FOV adalah fungsi dari jarak fokus dan ukuran (format) sensor ...................................25
Gambar II-15: Hubungan antara lebar FOV terhadap tinggi terbang platform ......................................26
Gambar II-16: Contoh hitungan FOV pada kasus pemotretan dengan UAV
(https://github.com/mountainunicycler/dronecamerafov/) .....................................................................27
Gambar II-17: Komponen pendukung yang dipasang pada platform untuk pemotretan udara .............28
Gambar II-18: ADPS (Aerial Digital Photogrammetric System) dari Kodak DCS-460CIR yang
memiliki mounting anti-getar, intervalometer dan unit Trimbe GPS dalam satu paket .........................29
Gambar II-19: Pemotretan dengan menggunakan data GPS/INS (Krauss, 2000) ..................................29
Gambar II-20: Cara kerja sensor IMU ...................................................................................................30
Gambar II-21: Komponen Gyroscope pada IMU MEMS ......................................................................30
Gambar II-22: Contoh pesawat UAV Fixed wing untuk keperluan pemetaan ......................................32
Gambar II-23: UAV untuk fotogrametri. Atas: Aibotix x6, bawah: DJI Phantom 4 .............................32
Gambar II-24: Sistem telemetry pada UAV ...........................................................................................33
Gambar II-25: Balon udara panas untuk fotogrametri ...........................................................................33
Gambar II-26: Balon udara panas dapat memuat kamera DSLR pada bagian bawah badannya ...........34
Gambar II-27: Huntair Pathfinder Mark I Ultralight..............................................................................34
Gambar II-28: Layang-layang untuk foto udara.....................................................................................35
Gambar II-29: Satelit Pleiades ...............................................................................................................36
Gambar III-1: Pinhole Camera ...............................................................................................................38
Gambar III-2: Geometri Pembentukan Citra pada Pinhole camera........................................................39
Gambar III-3: Bagian-bagian kamera dan proses pembentukan citra pada lensa kamera ......................39
xv
Gambar III-4: Boulevard du Temple, foto pertama di dunia yang memuat manusia. Perhatikan gambar
tukang semir dan pelanggannya di sudut kiri bawah .............................................................................40
Gambar III-5: Segitiga Eksposure ..........................................................................................................41
Gambar III-6: Diagram skematik shutter pada kamera. a) kondisi tertutup; b) kondisi terbuka ............42
Gambar III-7: Aperture pada kamera .....................................................................................................42
Gambar III-8: Pengaruh Pengaturan ISO Rendah dan Tinggi pada Kamera .........................................43
Gambar III-9: Shutter speed untuk menangkap objek bergerak dalam keadaan diam ...........................44
Gambar III-10: Contoh hasil Long Exposure Photography ...................................................................44
Gambar III-11: Resolusi spasial tidak hanya tentang ukuran piksel ......................................................45
Gambar III-12: Resolusi spasial .............................................................................................................46
Gambar III-13: Contoh hitungan GSD dengan tool Pix4D ....................................................................47
Gambar III-14: Konfiguraasi band multispektral pada Leica ADS40/SH52 .........................................47
Gambar III-15: Forward Image Motion .................................................................................................49
Gambar III-16: Image Motion Compensation dengan metode Time Delayed Integration (TDI) ..........49
Gambar IV-1: Sistem Proyeksi Sentral ..................................................................................................52
Gambar IV-2: (a) Proyeksi Orthogonal dan (b) Proyeksi Sentral ..........................................................53
Gambar IV-3: Kondisi kesegarisan (kolinearitas) ..................................................................................55
Gambar IV-4: Transformasi koordinat pada fotogrametri .....................................................................55
Gambar IV-5: Keempat koordinat pada sistem fotogrametri .................................................................56
Gambar IV-6: Transformasi koordinat pada sistem pemetaan fotogrametri ..........................................57
Gambar IV-7: Sistem koordinat foto ......................................................................................................58
Gambar IV-8: Hubungan sistem koordinat piksel dan sistem koordinat foto ........................................58
Gambar IV-9: Transformasi sistem koordinat piksel ke sistem koordinat foto .....................................59
Gambar IV-10: Hubungan sistem koordinat foto dan model .................................................................60
Gambar IV-11: Hubungan antara sistem koordinat stereopair dan sistem koordinat tanah ...................61
Gambar IV-12: Geocentric Universal System........................................................................................62
Gambar IV-13: Hubungan antara sistem koordinat model dan sistem koordinat tanah (dimodifikasi
dari Slama, 1980) ...................................................................................................................................63
Gambar IV-14: Parameter transformasi 2D ...........................................................................................64
Gambar IV-15: Konsep Transformasi Sebangun (Conformal) ..............................................................65
Gambar IV-16: Konsep transformasi affine ...........................................................................................68
Gambar IV-17: Persamaan Transformasi Affine ...................................................................................69
Gambar IV-18: Konsep transformasi Proyektif .....................................................................................72
Gambar IV-19: Transformasi 3D Konformal .........................................................................................74
Gambar IV-20: Perbedaan antara sistem koordinat fiducial dan sistem koordinat foto .........................76
Gambar IV-21: Contoh parameter interior kamera ................................................................................77
Gambar IV-22: Pembentukan Matriks rotasi dua dimensi .....................................................................77
Gambar IV-23: Eksterior orientation menggambarkan posisi dan orientasi pesawat ............................83
Gambar IV-24: Komponen Omega, Phi dan Kappa...............................................................................83
Gambar IV-25: Camera Exterior Orientation Parameters ......................................................................84
Gambar IV-26: Proses orientasi untuk menentukan parameter orientasi eksternal................................85
Gambar IV-27: Skala foto udara ............................................................................................................87
Gambar IV-28: Variasi skala pada foto udara ........................................................................................88
Gambar IV-29: Hubungan skala foto dan elevasi datum .......................................................................89
Gambar IV-30: Pergeseran Relief (Schenk, 2005) .................................................................................90
Gambar IV-31: Kondisi kesegarisan dari pusat proyeksi terhadap titik di tanah ...................................91
Gambar IV-32: Garis kolinear pada sistem fotogramteri .......................................................................91
Gambar IV-33: Rangkuman metode hitungan EOP (Grussenmeyer & Khalil, 2002) ...........................95
Gambar IV-34: Direct vs Indirect georeferencing .................................................................................98
Gambar IV-35: Satu unit UAV berikut instrumen untuk Direct Georeferencing ..................................98
Gambar IV-36: Perbedaan aerial triangulation dan direct georeferencing .............................................99
Gambar IV-37: Sistem koordinat pada direct georeferencing..............................................................100
xvi
Gambar V-1: Distorsi lensa: barrel dan pincushion .............................................................................103
Gambar V-2: Macam-macam distorsi lensa .........................................................................................104
Gambar V-3: Metode self calibration...................................................................................................105
Gambar V-4: Multikolimator ...............................................................................................................106
Gambar V-5: Contoh target kalibrasi kamera in situ ...........................................................................107
Gambar V-6: Hasil kalibrasi test field (1) ............................................................................................107
Gambar V-7: Hasil kalibrasi test field (2) ............................................................................................108
Gambar VI-1: Ground Control Points ..................................................................................................110
Gambar VI-2: Pengukuran Ground Control Point, Foto Kiri: Premark; Foto Kanan: Postmark .........111
Gambar VI-3: Distribusi ideal GCP tanpa Direct Georeferencing.......................................................112
Gambar VI-4: Distribusi GCP dengan Direct Georeferencing.............................................................112
Gambar VI-5: Geometri rektifikasi ......................................................................................................113
Gambar VI-6: Georektifikasi. a) Foto miring yang belum tergeoreferensi, b) foto tergeorektifikasi ..114
Gambar VI-7: Rektifikasi foto oblique ................................................................................................115
Gambar VI-8: Konsep resampling .......................................................................................................115
Gambar VI-9: Algoritma interpolasi: nearest neighbour, bilinear, bicubic..........................................116
Gambar VI-10: Algoritma Nearest neighbor resampling .....................................................................117
Gambar VI-11: Contoh pemetaan nilai piksel dari raster lama (tabel nilai) ke raster baru (diarsir) ....117
Gambar VI-12: Algoritma bilinear resampling ....................................................................................118
Gambar VI-13: Bicubic/Cubic Convolution ........................................................................................119
Gambar VI-14: Perbandingan ketiga metode resampling: Nearest Neighbor, Bilinear, Bicubic .........121
Gambar VII-1: Cara kerja mata manusia .............................................................................................125
Gambar VII-2: Stereo vision akibat adanya sudut paralaktik ..............................................................126
Gambar VII-3: Konsep foto stereo pada fotogrammetry .....................................................................127
Gambar VII-4: Geometri foto udara tegak (dari Wolf, 1983) ..............................................................127
Gambar VII-5: Geometri pasangan foto udara (stereopair) .................................................................128
Gambar VII-6: Perbedaan parallax dan tinggi relatif (Sosrodarsono, 2005)........................................129
Gambar VII-7: Melihat stereo melalui stereoskop ...............................................................................130
Gambar VII-8: Instrumen Stereoskop ..................................................................................................130
Gambar VII-9: Pengukuran tinggi dengan perbedaan parallax ............................................................131
Gambar VII-10: Posisi kursor pada saat stereoplotting pada software ................................................131
Gambar VII-11: Konfigurasi overlap dan sidelap ................................................................................132
Gambar VII-12: Overlap dan sidelap pada foto udara .........................................................................132
Gambar VII-13: Block setup, perencanaan jalur terbang sesuai dengan persyaratan overlap dan sidelap
..............................................................................................................................................................133
Gambar VII-14: GCP, Check points dan tie points ..............................................................................134
Gambar VII-15: Konsep Bundle Block Adjustment ............................................................................135
Gambar VIII-1: Perbedaan proyeksi antara foto udara dan peta ..........................................................139
Gambar VIII-2: Proses differential rectification untuk menghasilkan orthophoto dari DEM..............140
Gambar VIII-3: Perbandingan ground ortho dan true orthophoto........................................................141
Gambar VIII-4: Perbandingan DSM dan DEM untuk produksi Orthophoto .......................................141
Gambar VIII-5: Single frame orthorectification memerukan setidaknya tiga buah GCP untuk tiap foto
..............................................................................................................................................................142
Gambar VIII-6: Dari serangkaian foto udara yang saling bertampalan dapat dibuat mosaic foto udara
..............................................................................................................................................................143
Gambar VIII-7: Menggabungkan beberapa frame orthorectified photo menjadi mosaic orthophoto ..144
Gambar VIII-8: Seamless mosaic orthophoto melalui proses color balancing ....................................145
Gambar VIII-9: Draping orthophoto pada terrain ................................................................................145
Gambar IX-1: Salah satu aplikasi computer vision untuk identifikasi objek secara otomatis .............149
Gambar IX-2: Harris keypoint detector ...............................................................................................150
Gambar IX-3: SIFT Keypoint matching ..............................................................................................150
Gambar IX-4: Structure from motion...................................................................................................152
xvii
Gambar IX-5: Alur Algoritma SfM .....................................................................................................153
Gambar IX-6: Beberapa produk pada langkah-langkah pemrosesan SfM ...........................................154
xviii
BAB I
PENGANTAR FOTOGRAMETRI
Mahasiswa mampu menjelaskan dengan tulis dan lisan tentang definisi, sejarah &
kegunaan dan organisasi profesi di bidang Fotogrametri.
Definisi Fotogrametri
A
Patung
Liberty
1
Dengan menggunakan teknik analisis yang tepat dan dengan menggunakan hasil foto
digital yang berkualitas baik dapat dihasilkan Digital Elevation Model (DEM), data Tematik
GIS dan produk turunan lainnya. Definisi yang lain menyebutkan fotogrametri adalah ilmu
untuk mendapatkan informasi yang dapat dipercaya tentang sifat permukaan dan benda-benda
tanpa kontak fisik dengan objek, dan mengukur dan menafsirkan informasi ini. Fotogrametri
memungkinkan seseorang untuk merekonstruksi posisi, orientasi, bentuk dan ukuran objek dari
foto. Foto-foto ini bisa berasal dari hasil fotokimia (fotografi konvensional) atau hasil
fotoelektrik (fotografi digital). Hasil analisis fotogrametri dapat berupa:
1. Koordinat sejumlah titik dalam system koordinat tiga dimensi (X,Y,Z).
2. Peta garis yang memuat detil palimetri dan garis kontur, dilengkapi dengan representasi
grafis dari obyek-obyek yang ada.
3. Model geometri digital sebagai masukan / kelengkapan dari sistem informasi geografis
yang lengkap.
4. Foto (analog dan/atau digital), terutama sekali foto terektifikasi (termasuk orthofoto)
dan hasil turunannya berupa peta foto; juga model foto 3D.
2
Definisi klasik dari fotogrametri:
– The art and science of determining the position and shape of objects from photography
– The process of reconstructing objects without touching them
– Non-contact positioning method
Definisi Kontemporer:
– The art and science of tool development for automatic generation of spatial and descriptive
information from multi-sensory data and/or systems
Secara ringkas definisi di atas dapat dijelaskan melalui tahapan proses fotogrametri
seperti pada Gambar I-3. Pada proses pengambilan data, obyek yang akan ditentukan informasi
geometrinya dipotret dengan menggunakan bantuan kamera / sensor, menggunakan prinsip
fisika perspektifitas. Hasil pemotretan ini akan diperoleh foto / citra dari obyek tersebut. Secara
ringkas, konsep fotogrametri merupakan kebalikan dari fotografi, yaitu untuk memperoleh
objek 3D dari gambar 2D.
3
Gambar I-4: Perbedaan Fotografi dan Fotogrametri
Sebagaimana ditunjukkan dalam Tabel 1.1. objek fotogrametri dapat berkisar dari
planet ke bagian dari permukaan bumi, ke bagian industri, bangunan bersejarah atau tubuh
manusia. Nama umum untuk perangkat akuisisi data yaitu sensor, yang terdiri dari sistem optik
dan sistem detektor. Sensor ini dipasang pada platform. Sensor yang paling khas kamera,
dimana bahan fotografi berfungsi sebagai detektor. Kamera dipasang pada pesawat sebagai
platform yang paling umum. Tabel I-1 merangkum objek dan platform yang berbeda untuk
aplikasi fotogrametri yang berbeda pula.
4
Sejarah Fotogrametri
Meskipun fotogrametri menggunakan foto (atau citra digital saat ini) untuk pengukuran,
konsepnya bermula dari sejarah, bahkan lebih awal. Pada 1480, Leonardo da Vinci menulis
sebagai berikut:
"Perspektif adalah tidak lain daripada melihat suatu benda di balik selembar kaca, halus dan
cukup transparan, pada permukaan yang semua benda mungkin ditandai yang berada di
belakang kaca ini. Semua benda mengirimkan gambar mereka ke mata dengan garis
piramidal, dan piramida ini dipotong oleh kaca datar. Yang lebih dekat ke mata berpotongan,
semakin kecil bayangan akan tampak" (Doyle, 1964).
Gambar I-5: Geometri perspektif oleh Duerer “The Draughtsman And The Lute”
Dari gambar tersebut mudah dipahami hubungan perspektif antara obyek 3D dari sejenis
gitar dengan bayangan 2D yang diperoleh pada bidang datar. Benang-benang yang digunakan
untuk memindahkan gambar dari obyek 3D ke gambar bayangan 2D pada bidang datar ditarik
lurus menuju suatu titik (pusat proyeksi), dan dibebani dengan unting-unting untuk
menyempurnakan system perspektifitas.
5
Perkembangan dalam fotogrametri, dari sekitar tahun 1850, telah mengikuti empat
siklus pengembangan (Konecny, 1985). Masing-masing periode ini diperpanjang sekitar lima
puluh tahun. Siklus ini meliputi:
a) Fotogrametri Plane Tabel, dari sekitar 1850-1900,
b) Fotogrametri Analog, dari sekitar 1900-1960,
c) Fotogrametri Analytis, dari sekitar tahun 1960 sampai sekarang, dan
d) Fotogrametri Digital, yang mulai menjadi hadir dalam industri fotogrametri.
Gambar I-6: Fase besar fotogrametri sebagai hasil dari inovasi teknologi
Pada tahun 1849, Aimé Laussedat (April 19, 1819 - 18 Maret 1907) adalah orang
pertama yang menggunakan foto terestrial untuk kompilasi peta topografi. Ia disebut sebagai
"Bapak Fotogrametri". Proses Laussedat disebut iconometry [icon (Yunani) yang berarti
gambar,-metry (Yunani) yang merupakan seni, proses, atau ilmu pengukuran]. Pada 1858, ia
bereksperimen dengan fotografi udara didukung oleh serangkaian layangan tetapi
meninggalkannya beberapa tahun kemudian. Pada 1862, penggunaan Laussedat tentang
fotografi untuk pemetaan secara resmi diterima oleh Akademi Sains di Madrid. Dia juga
mencoba fotografi balon dan merupakan orang pertama yang telah mengambil gambar dari
balon, tapi kesulitan memperoleh jumlah yang cukup foto untuk mencakup semua daerah dari
satu stasiun udara (Birdseye, 1940).
6
Gambar I-7: Plane Table Kamera Meydenbauer dibuat tahun 1872
Dua perkembangan penting yang membawa kemajuan fotogrametri ke fase kedua, yaitu
fotogrametri analog [Konecny, 1985]. Pertama, stereoscopy menjadi banyak digunakan. Kedua,
pengembangan dari pesawat oleh Wright bersaudara pada tahun 1903. Hal ini menyediakan
sebuah platform kamera yang lebih baik dari kamera terestrial. Wilbur Wright telah
diidentifikasi sebagai orang pertama yang mendapatkan citra udara dari pesawat terbang. Dia
mengambil film dari penerbangannya di Centoci, Italia, pada tanggal 24 April 1909. Fotografi
udara pertama diambil dari pesawat untuk tujuan pemetaan dilakukan oleh Kapten Cesare
Tardivo untuk mosaik skala 1:4,000, Bengasi Italia.
Gambar I-8: Ted Abrams berdiri di samping pesawat Explorer yang ia kembangkan (Abrams
Aerial Survey Corporation, 1896)
7
Gambar I-9: ER-55 Stereo Plotter hasil pengembangan Russel Kerr Bean tahun 1956 di
USGS ("Ellipsoidal Reflector Projector for Stereo-Photogrammetric Map Plotting")
8
Tahun Pencapaian hasil pengembangan
1937 Wild memperkenalkan Autograph A5 dan kamera udara Automatic
RC
1938 Wild memproduksi Second-Order Stereoplotter A6 dan stereoskop
S3. Juga mulai didesain Ballistic Camera BC2
1942 Diproduksi kamera udara automatis The RC5 dan stereoskop
cermin ST1 and ST2.
1948 Mulai diproduksi lensa fotogrametri dengan presisi tinggi Aviotar
1949 Wild memproduksi Autograph A7
1950 Autograph A8 dan kamera udara dengan lensa Aviotar RC7
diproduksi.
1952 Kamera Ballistic BC4 dan lensa Aviogon diproduksi.
1954 Kamera udara RC8 dengan lensa Aviogon diproduksi.
1955 Wild memproduksi Stereocomparator presisi STKL yang
digunakan dalam fotogrametri analitis.
1957 Autograph A9, Kamera udara RC9, Printer Diapositive U3, dan
Enlarger VG1 diproduksi.
Kamera udara super wide-angle RC9 dan plotter A9 didesain untuk
mengakomodasi kegiatan fotografi super wide-angle.
1958 Wild mulai memproduksi stereoplotter Aviograph B8 and B9 dan
Rectifier E3.
1962 Stereomat BS, Stereometric camera C120 dan C40, Fixed-Ratio
Printer U9, Rectifier-Enlarger E4 dan Diapositive Printer U4
masuk dalam photogrammetric marketplace.
1963 Wild memperkenalkan lensa Universal-Aviogon yang telah
terkoreksi untuk panjang gelombang cahaya tampak dan
inframerah.
1964 Autograph A40 diluncurkan pada konggres International Society of
Photogrammetry
1968 Wild memperkenalkan Stereomat A2000 pada konggres ISP dan
mulai memproduksi Printer Coordinate EK8, Universal Film
kamera udara RC 10 dengan lensa Super-Aviogon 11, Autograph
A10 dan stereoskop strip/jalur
9
Tahun Pencapaian hasil pengembangan
1971 Aviograph B8S, Terrestrial Camera P32 dan Kamera Panorama
APK1 diproduksi
1972 Model baru dari Autograph A8 dan terrestrial Cameras P31 and
P32 dikenalkan.
1976 Avioplan OR1 mulai diproduksi
1980 Wild mulai memproduksi Aviolyt AC1 Aviotab TA2
1982 Wild BC1 mulai dikirimkan ke pengguna
10
Gambar I-10: Duane Brown with the CRC-1 camera (Brown, 2005).
Salah satu pelopor dalam fotogrametri digital adalah Gilbert Louis Hobrough (26 Juli
1918 - 30 Januari 2002). Lahir di Toronto, Ontario, ia tumbuh menjadi seorang pria dengan
banyak prestasi. Selama hidupnya ia telah memperoleh pada sedikitnya 47 paten di berbagai
bidang seperti phonograph, desain loudspeaker ketepatan tinggi, radar dan altimetri, visi mesin
tiga dimensi barometric dan laser interferometri [anon, 2003]. Karirnya dalam fotogrametri
dimulai dengan pekerjaannya di Survei Fotografi Corporation Ltd Pada tahun 1951. Kontribusi
awal-nya untuk ilmu terlibat dari pengembangan sebuah printer dot elektronik. Dia juga
membangun sebuah perekam profil udara. Instrumen ini menggunakan suatu sistem radar untuk
mengukur rentang dari pesawat ke tanah dengan akurasi sekitar satu feet dan barometer
referensi dengan akurasi yang sebanding sama.
Pada tahun 1967, Hobrough pindah ke Vancouver, Kanada, untuk membangun
Hobrough Ltd. Sementara di sana, ia mengembangkan Gestalt Photo Mapper (GPM). Ini adalah
sistem orthophotographic otomatis memanfaatkan korelasi citra stereo. Peralatan ini terdiri dari
printer yang umumnya terletak di kamar gelap, sebuah scanner, correlator dan sistem komputer,
konsol operator, dan input / output device.
11
Gambar I-11: Gestault Photo Mapper
Organisasi Profesi
Ilmuwan dan profesional mulai berkumpul untuk bertukar ide dan perkembangan dalam
industry fotogrametri. Di tahun 1907, Prof Dr Eduard Dolezal (Maret 2, 1862 - 7 Juli 1955)
berperan dalam membentuk Austria Society for Fotogrammetry, yaitu organisasi profesi
fotogrametri yang pertama kali dibentuk [Albota, 1976]. Dua tahun kemudian, Masyarakat
Internasional untuk Fotogrametri ISPRS (International Society for Photogarmmetry and
Remote Sensing) didirikan dan Dolezal diangkat sebagai presiden pertama [Gruner, 1977]. Di
Amerika terbentuk organisasi nasional ASPRS (American Society for Photogarmmetry and
Remote Sensing). Di Inggris namanya British Society of Photogrammetry and Remote Sensing.
Jurnal publikasi yang diterbitkan antara lain adalah: Photogrammetry and Remote Sensing oleh
ISPRS dan Photogrammetric Engineering and Remote Sensing oleh ASPRS, dan
Photogrammetric Record oleh BSPRS. Di Indonesia organisasi yang mewadahi profesi
fotogrametri antara lain Ikatan Surveyor Indonesia (ISI) dan Masyarakat Penginderaan Jauh
Indonesia (MAPIN).
12
2. Jelaskan dengan ringkas perkembangan ilmu fotogrametri
Dilihat dari sejarah, perkembangan ilmu dan teknologi fotogrametri sudah berlangsung sejak
lama. Di mulai dari penemuan model perspektif oleh Leonardo da Vinci pada abad 15 sampai
diciptakannya kamera, pesawat terbang untuk pemotretan, stereoplotter analog, komputer dan
software-software fotogrametri, menunjukkan betapa penting ilmu dan teknologi fotogrametri
ini
3. Sebutkan contoh organisasi profesi di bidang fotogrametri
organisasi profesi International Society for Photogrammetry (ISP) yang menjadi wadah para
pakar bertukar ide dalam rangka pengembangan.
I.D. Soal/Pertanyaan
1. Jelaskan definisi fotogrametri, dan berikan contoh nyata hasil dari fotogrametri.
2. Jelaskan konsep dasar fotogrametri (asas perspektifitas) yang disampaikan oleh
Leonardo da Vinci.
3. Jelaskan ruang lingkup fotogrametri.
4. Uraikan sejarah perkembangan fotogrametri.
Dan Ablan, 2007, Digital Photography for 3D Imaging and Animation, Wiley Publishing,
Inc., Indianapolis, Indiana.
Edgar Falkner and Dennis Morgan, 2001, Aerial mapping methods and applications 2nd ed.,
CRC Press
Graham, R., 2002, Digital Aerial Survey Theory and Practice, Whitllles Publishing, CRC
Press, London.
Graham Slama, C.C., 1980, Manual of Photogrammetry - Fourth Edition, American Society
of Photogrammetry, Virginia, USA.
Lillesand and Kiefer, 2000, Remote Sensing and Image Interpretation, Edisi ke-4, John Wiley
and Sons, New York.
Michel Kasser and Yves Egels, 2002, Digital Photogrammetry, Taylor & Francis Inc, New
York.
Paul R. Wolf, Ph.D, Bon A. Dewitt, Ph.D., and, Benjamin E. Wilkinson, Ph.D.,2014,
Elements of Photogrammetry with Applications in GIS, Fourth Edition, Mc. Graw
Hill, London.
13
Rainer Sandau, 2010, Digital Airborne Camera Introduction and Technology, Springer
Dordrecht, Heidelberg
Wilfried Linder, 2006, Digital Photogrammetry A Practical Course, Springer-Verlag, Berlin
Zhilin Li, Qing Zhu, and Chris Gold, 2004, Digital Terrain Modeling Principles and
Methodology, CRC Press, Florida
14
BAB II
KAMERA DIGITAL DAN WAHANA TERBANG
Mahasiswa mampu menjelaskan tentang arsitektur dan cara kerja kamera digital.
Sebagaimana telah dijelaskan pada bab sebelumnya, kamera sebagai sensor utama
dalam kegiatan pemetaan fotogrametri memiliki peranan penting dalam menghasilkan produk
fotogrametri yang sesuai dengan ketentuan. Dalam hal fotogrametri sebagai sebuah sistem
penginderaan jauh, kamera pada fotogrametri merupakan salah satu dari sensing device
(instrument sensor) yang berfungsi untuk merekam objek-objek yang dipetakan dari dunia
nyata pada saat pemotretan. Dari berbagai instrumen yang digunakan sebagai sensor pada
fotogrametri, metode dan instrumen fotografi adalah yang paling banyak digunakan. Untuk
itulah perlu dibahas secara khusus mengenai struktur sebuah kamera digital untuk memberikan
gambaran bagaimana citra dibentuk oleh sensor berupa kamera. Gambar II-1 menunjukkan
klasifikasi dari sensing device untuk kegiatan pemetaan.
Gambar II-1: Klasifikasi Sensing Device pada pemetaan fotogrametri (Schenk, 2001)
15
Sebuah kamera disusun oleh serangkaian lensa yang diatur agar memberikan bayangan
objek yang akan ditangkap pada sensor kamera. Pada awalnya, kegiatan pemetaan foto
dilakukan dengan kamera yang menggunakan sensor film sebagai perekam berkas sinar yang
diteruskan oleh lensa. Seiring dengan perkembangan jaman, keberadaan sensor berupa film
digantikan oleh sensor digital (CCD – Charge Coupled Device) pada sebuah kamera digital.
Pembahasan berikutnya pada bab ini adalah mengenai arsitektur dan cara kerja sebuah kamera
digital, khususnya kamera digital jenis DSLR (Gambar II-2).
Gambar II-2: Kamera Digital tipe Digital Single-Lens Reflector Sony DSC F828 (www.dpreview.com)
Salah satu jenis kamera digital yang banyak digunakan adalah kamera DSLR (Digital
Single-Lens Reflector). Kamera digital single-lens refleks (juga disebut digital SLR atau DSLR)
adalah kamera digital yang menggabungkan optik dan mekanisme kamera single-lens refleks
(SLR) dengan sensor digital sebagai pengganti dari film fotografi. Skema desain ‘refleks’ pada
kamera jenis ini merupakan perbedaan utama antara DSLR dan kamera digital lainnya. Pada
kamera Digital SLR (Gambar II-3), cahaya dari luar kamera diteruskan oleh serangkaian lensa
menuju ke jendela bidik melalui cermin pemantul (flip-up mirror) dan prisma (penta-prism).
16
Gambar II-3: Arsitektur dan cara kerja Kamera DSLR
Pada saat tombol ditekan untuk pengambilan gambar, cermin ini akan terangkat dan
berkas sinyal yang datang akan diteruskan langsung menuju sensor. Hal inilah yang
menyebabkan bayangan objek pada jendela bidik menjadi tertutup pada saat pengambilan
gambar (tombol ditekan). Seluruh proses pengambilan gambar ini terjadi dalam hitungan
sepersekian detik, dimana kualitas gambar yang diperoleh tergantung pada seberapa banyak
berkas cahaya masuk dan terekam oleh sensor. Hal ini akan dibahas secara lebih detil pada bab
selanjutnya.
Dengan perkembangan teknologi yang sangat pesat, muncul jenis kamera baru yang
mulai banyak digunakan dalam pemetaan fotogrametri, yaitu Compact System Camera (CSC)
atau yang lebih dikenal dengan sebutan kamera mirrorless. Kamera ini bekerja dengan cara
yang berbeda dengan kamera SLR, yaitu dengan melewatkan berkas sinar yang datang secara
langsung pada sensor. Adapun bayangan pada jendela bidik (viewfinder) yang dilihat oleh
pengguna dibentuk secara elektronis oleh perangkat kamera tersebut. Beberapa jenis kamera
CSC juga langsung menyediakan layer LCD (Liquid-Crystal Display) sebagai pengganti dari
jendela bidik. Dengan meneruskan berkas sinar yang datang langsung pada sensor ini
menghasilkan ukuran kamera yang lebih ringkas namun dapat memuat sensor dengan ukuran
yang lebih besar sehingga sesuai untuk pemetaan fotogrametri.
17
Gambar II-4: Perbedaan cara kerja kamera DSLR dan Mirroless (fstoplounge.com)
Kamera metrik yang secara khusus digunakan untuk pemetaan foto udara (airborne
camera) memiliki kesamaan struktur dengan kamera pada umumnya, yaitu terdiri dari lapisan
lensa dan sensor yang dihubungkan dengan mekanisme perekaman berkas sinar dari objek yang
dipetakan. Kamera metrik memiliki struktur yang lebih kompleks dan dilengkapi juga dengan
IMU (Inertial Measurement Unit) serta unit lain yang berguna untuk mengurangi kesalahan
geometrik pada saat pemotretan. Gambar II-5 menunjukkan contoh kamera metrik yang
digunakan dalam pekerjaan pemotretan fotogrametri.
a. b.
Gambar II-5: a) Arsitektur Kamera Metrik Leica ADS40; b) Leica ADS40 dipasang pada pesawat
18
Sensor Kamera
Sensor kamera merupakan komponen paling penting dalam sebuah kamera digital.
Sensor kamera berfungsi untuk menangkap berkas cahaya yang diterimanya dan melakukan
konversi nilai tersebut menjadi angka digital yang diterjemahkan menjadi warna. Setiap sensor
memiliki kemampuan yang berbeda untuk menterjemahkan berkas cahaya menjadi warna
dalam bentuk digital, sehingga jenis kamera yang memiliki sensor yang berbeda akan
memberikan hasil pemotretan yang berbeda.
Sensor bekerja dengan memuat photodiode atau komponen elektrik yang bersifat
sensitive terhadap cahaya. Sinyal yang dikumpulkan oleh photodiode inilah yang kemudian
dikonversi menjadi bilangan digital dalam bentuk warna. Berdasarkan susunan photodiode ini,
terdapat dua jenis sensor pada sebuah kamera digital, yaitu sensor CMOS (Complementary
metal–oxide–semiconductor) dan sensor CCD (Charge-Coupled Device). Sensor CMOS
mengumpulkan berkas cahaya pada tiap piksel dan mengkonversinya menjadi angka digital,
sedangkan sensor CCD memiliki register untuk mendapatkan nilai piksel pada tiap kolom
sensor (lihat Gambar II-6). Kedua jenis sensor ini banyak digunakan pada kamera digital di
pasaran.
Kemampuan sensor untuk melakukan konversi berkas cahaya menjadi angka digital
dipengaruhi oleh setidaknya dua buah hal berikut: ISO Speed (yang akan dijelaskan pada bab
selanjutnya) dan format atau ukuran sensor. Ukuran sensor (disebut juga dengan istilah ‘format
sensor’) mewakili seberapa banyak berkas cahaya yang dapat diterima dan dikonversi menjadi
sinyal digital. Semakin besar ukuran sensor (misalnya large atau medium format), maka gambar
19
yang dihasilkan akan lebih tajam dan lebih kaya warna dibandingkan kamera dengan sensor
kecil (Gambar II-7).
Ukuran sensor yang besar menyebabkan ukuran body kamera yang juga cukup besar,
disamping harga sensor format besar yang juga sangat mahal. Kamera dengan sensor berformat
medium dijumpai pada beberapa jenis kamera seperti Hasselblad, Pentax atau PhaseOne,
dimana ukuran sensor pada kamera jenis ini dapat mencapai 50 mm x 40 mm.
20
Kamera dengan ukuran sensor ‘full-frame’ memiliki ukuran sensor 36 mm x 24 mm,
setara dengan kamera film 35 mm. Ukuran full-frame ini banyak digunakan pada kamera DSLR
kelas menengah ke atas, seperti Canon EOS - 1D X dan 5D Mark III , dan Nikon D800 , D4 ,
D610 , dan Df. Beberapa jenis kamera digital yang baru menggunakan sensor APS-C yang
memiliki ukuran lebih kecil (22mm x 15 mm).
Kamera yang digunakan untuk keperluan pemotretan fotogrametri memiliki ukuran
format medium hingga large format. Sebagai contoh, kamera UltraCam-D (Gambar II-9)
memiliki ukuran sensor sebesar 103.5 mm x 67.5 mm dengan resolusi 11500 x 7500 pixel dan
ukuran sensor tiap piksel sebesar 9 µm. Ukuran sensor yang besar akan memberikan ruang
pandang (field of view) yang lebih lebar sehingga daerah yang dapat dicakup pada saat
pemotretan juga lebih luas.
Pada sub-bab sebelumnya, telah disinggung mengenai kamera metrik pada pemotretan
udara. Secara umum struktur dan cara kerja kamera metrik yang digunakan untuk keperluan
pemotretan udara memiliki kesamaan dengan cara kerja kamera DSLR yang memiliki ukuran
format lebih kecil. Namun demikian, terdapat beberapa perbedaan yang ada pada kamera metrik
yang memang dikhususkan untuk keperluan pengambilan data foto udara melalui platform
berupa pesawat terbang. Sebuah kamera metrik memiliki ciri antara lain:
a. Geometri internal sebuah kamera metrik sangat stabil dengan bagian body yang
kokoh
b. Memiliki format sensor berukuran besar (~23 cm x 23 cm)
21
c. Distorsi lensa yang digunakan rendah
d. Harga kamera metrik cenderung sangat mahal
e. Fokus lensa biasanya bersifat tetap (fixed) dan terkalibrasi hingga ketelitian 0.01
mm
f. Sebagian kamera metrik memiliki lebih dari satu arah filter pada satu kamera
g. Memiliki Fiducial Marks yang terpasang pada kamera
Dengan fokus lensa yang bersifat tetap, maka beberapa kamera metrik untuk keperluan
foto udara hanya dapat digunakan pada jarak pemotretan tertentu. Selain itu, sebagian kamera
metrik dibuat khusus pada jenis pesawat tertentu dengan arah pemotretan tertentu pula
(nadir/pemotretan tegak atau oblique/pemotretan miring).
22
Gambar II-11: Fiducial marks pada foto hasil pemotretan kamera metrik
Diantara perbedaan paling besar antara kamera metrik dan kamera lainnya
(medium/small format) adalah adanya fiducial marks pada hasil foto. Fiducial marks ini
menggambarkan posisi principal point pada foto, yang kemudian dapat digunakan untuk
menentukan arah terbang kamera pada saat pemotretan.
23
Field of View
Sebelumnya telah dibahas mengenai ukuran sensor yang berbeda-beda pada kamera.
Diantara akibat langsung dari penggunaan ukuran sensor yang lebih besar adalah kemampuan
yang lebih baik untuk mengenali kedalaman warna pada sebuah foto. Selain itu, pada bidang
fotogrametri terdapat satu peranan penting dari sensor yang cukup penting, yaitu sebagai salah
satu faktor yang menentukan lebar dari Field of View (FOV).
Field of View (FOV) pada kamera menentukan seberapa banyak kamera tersebut
‘melihat’. Semakin besar nilai FOV, semakin banyak objek yang dapat dicakup pada satu scene
hasil pemotretan. FOV dapat dirinci lagi menjadi dua bagian, yaitu Horizontal FOV yang
menyatakan lebar bidang foto pada arah mendatar, serta Vertical FOV yang menyatakan lebar
bidang foto pada arah vertical dari pengambilan foto. Perbandingan antara nilai keduanya
dinyatakan sebagai Aspect ratio dari sebuah pemotretan (Gambar II-13). FOV sendiri
merupakan fungsi dari dua buah parameter, yaitu panjang fokus dan ukuran (format) sensor.
Semakin pendek jarak fokus, maka FOV juga akan semakin lebar. Demikian pula apabila
ukuran sensor semakin besar maka akan memberikan lebar FOV yang juga lebih besar (Gambar
II-14).
Gambar II-13: Field of View Sebagai Fungsi dari Ukuran Sensor dan Panjang Fokus
24
Gambar II-14: FOV adalah fungsi dari jarak fokus dan ukuran (format) sensor
Secara ringkas, hubungan antara ukuran format foto, panjang fokus dan lebar FOV (dalam
hal ini dinyatakan sebagai luasan ground coverage) dapat dinyatakan sebagaimana pada Tabel
II-1.
Tabel II-1: Hubungan antara panjang fokus, format sensor kamera dan FOV
Sudut bukaan FOV dapat dinyatakan sebagai Angle of View (α) merupakan fungsi dari lebar sensor
(d) dan panjang fokus lensa (f) dengan hubungan sebagai berikut:
25
Selain it, FOV juga dapat dihitung sebagai fungsi dari jarak objek terhadap kamera. Perbandingan
fokus kamera dengan jumlah perbandingan jarak antara objek-titik fokus dan titik fokus-sensor dapat
dirumuskan sebagai berikut (Lihat Gambar II-14):
Pada fotogrametri, dimana kamera dipasang pada platform berupa pesawat (atau wahana terbang
lainnya), maka fungsi ini dapat dirumuskan menjadi hubungan antara FOV dengan panjang fokus dan
tinggi terbang pesawat. Semakin tinggi jalur terbang pesawat yang digunakan, maka semakin lebar pula
FOV yang akan diperoleh dari pemotretan tersebut (Gambar II-15).
Gambar II-15: Hubungan antara lebar FOV terhadap tinggi terbang platform
Pada kasus dimana pemotretan dilakukan tidak pada sumbu tegak (vertical/nadir photo)
melainkan diambil pada sudut miring tertentu (oblique photo), maka hitungan FOV untuk kasus seperti
ini perlu dilakukan dengan mempertimbangkan sudut kemiringan pada saat pengambilan foto. Ilustrasi
untuk hitungan FOV pada kasus semacam ini dapat dilihat pada Gambar II-16. Pada contoh kasus
tersebut diberikan data ukuran sensor, panjang fokus, tinggi terbang serta kemiringan platform terhadap
sumbu tegak x dan y.
26
Gambar II-16: Contoh hitungan FOV pada kasus pemotretan dengan UAV
(https://github.com/mountainunicycler/dronecamerafov/)
Selain kamera sebagai instrument utama dalam pengumpulan data berupa foto udara,
pada fotogrametri juga digunakan instrument lain yang membantu pada saat pemrosesan data
foto udara. Selain kamera, kompone lain yang turut dipasang pada badan pesawat antara lain
adalah unit GPS/GNSS (Global Positioning Systems/Global Navigation Satellite Systems) serta
unit INS/IMU (Inertial Navigation System/Inertial Measurement Unit). Kedua instrumen ini
mengumpulkan data-data yang berguna dalam pengolahan data foto udara nantinya.
27
Gambar II-17: Komponen pendukung yang dipasang pada platform untuk pemotretan udara
Komponen GPS yang dipasang pada platform pesawat digunakan untuk menentukan
posisi teliti dari platform pada saat pemotretan. Posisi pesawat ini biasanya dilakukan melalui
penentuan posisi relative sehingga didapatkan koreksi untuk nilai GPS. Adapun INS/IMU
digunakan untuk menentukan orientasi (pitch, yaw dan roll) dari platform pada saat pemotretan.
Pada prakteknya, data dari kedua sumber ini kemudian dikombinasikan untuk memperoleh
pengukuran yang lebih teliti. Berdasarkan metode penggabungan data dan penerapan koreksi
pada kedua sistem ini, metode integrasi data GPS dan IMU dapat dibagi menjadi dua kategori:
a. Loosely Coupled, dimana kedua sensor dianggap sebagai dua buah sistem yang berdiri
sendiri dan memiliki nilai koreksi masing-masing. Setelah penerapan nilai koreksi, barulah
kedua data digabungkan menjadi satu
b. Tightly Coupled, dimana kedua sensor digabungkan dalam satu sistem koreksi yang
saling melengkapi
28
Gambar II-18: ADPS (Aerial Digital Photogrammetric System) dari Kodak DCS-460CIR yang memiliki mounting
anti-getar, intervalometer dan unit Trimbe GPS dalam satu paket
Pada kegiatan pemotretan udara, pemanfaatan data GPS/INS antara lain berguna pada
saat pemrosesan Direct Georeferencing yang akan dibahas pada bab-bab selanjutnya. Direct
Georeferencing dengan menggunakan data GPS/INS berperan dalam meningkatkan ketelitian
posisi dan orientasi (POSE, Position and Orientation) dari wahana terbang yang digunakan serta
mengurangi kebutuhan atas jumlah titik control tanah (Ground Control Point/GCP).
29
Secara khusus, komponen IMU pada umumnya terdiri dari sensor gyroscope dan
accelerometer pada tiga sumbu atau lebih. IMU bekerja dengan cara mendeteksi pergeseran
titik massa akibat adanya perubaha orientasi pada sumbu-x, y dan z. Perubahan ini kemudian
dicatat pada rentang (interval) tertentu sebagai data orientasi pesawat.
30
Wahana Terbang
Unmanned Aerial Vehicle (UAV) atau dikenal dengan istilah populer sebagai ‘drone’
merupakan sebuah wahana terbang tanpa awak manusia yang mengoperasikan penerbangan
pada badan pesawatnya. Penerbangannya dikendalikan baik secara mandiri oleh komputer di
dalam kendaraan atau di bawah remote control dari pilot di tanah atau di kendaraan lain.
Definisi kendaraan tanpa awak atau drone sebenarnya mencakup pula kendaraan tanpa awak
pada jenis kendaraan darat maupun di air, tetapi pada pembahasan ini akan dikhususkan pada
pengertian UAV sebagai wahana untuk fotogrametri.
Terdapat berbagai macam bentuk, ukuran, konfigurasi dan karakteristik dari UAV.
Perkembangan teknologi UAV memungkinkan perubahan ukuran UAV dari yang berukuran
sangat besar hingga yang saat berukuran sebesar telapak tangan. Dengan semakin
terjangkaunya harga UAV untuk pasaran komersial secara umum, penggunaan UAV pada
kegiatan fotogrametri tampaknya menjadi tren baru pada kegiatan pemetaan foto udara di dunia
saat ini.
Secara umum, UAV untuk pemetaan fotogrametri dapat dibagi menjadi dua kategori,
yaitu:
31
Gambar II-22: Contoh pesawat UAV Fixed wing untuk keperluan pemetaan
Gambar II-23: UAV untuk fotogrametri. Atas: Aibotix x6, bawah: DJI Phantom 4
32
Baik pesawat UAV jenis fixed wing maupun copter memiliki kemampuan terintegrasi
dengan sistem perencanaan jalur terbang (flight management software) dan penerbangan
otomatis (autonomous flight). Adapun data yang diperleh dari UAV dapat dikirimkan kepada
pengguna melalui sistem yang disebut dengan Telemetry, dimana UAV dapat dikontrol dan
diunduh datanya pada saat terbang. Kemudahan pengoperasian UAV untuk memperoleh foto
udara ini pula yang mendorong berkembangnya pasar UAV untuk fotogrametri.
33
Balon udara panas menggunakan helium sebagai bahan untuk daya angkatnya. Balon
udara yang digunakan untuk keperluan fotogrametri dapat dikontrol dari jarak jauh dengan
menggunakan remote control sebagaimana sebuah UAV. Jenis ini juga dapat mengangkat
beban hingga 2 kg, sehingga dapat memuat sebuah kamera DSLR pada bagian bawah badannya.
Gambar II-26: Balon udara panas dapat memuat kamera DSLR pada bagian bawah badannya
34
II.B.6.1. Wahana Terbang Lain
Selain wahana terbang yang disebutkan di atas, terdapat wahana lain yang dapat
digunakan untuk membawa kamera sebagai sensor untuk fotogrametri. Diantara wahana yang
dapat dipakai adalah layang-layang. Dengan spesifikasi yang tepat, sebuah layang-layang dapat
digunakan untuk mengangkat kamera yang dapat digunakan untuk pemotretan udara.
Selain platform yang telah disebutkan di atas, pencitraan berbasis satelit juga dapat
dikategorikan sebagai fotogrametri. Satellite yang membawa sensor dapat digunakan untuk
memperoleh gambaran permukaan bumi dengan ketelitian tinggi. Beberapa contoh satelit yang
dapat digunakan untuk memperoleh citra resolusi tinggi antara lain adalah IKONOS,
QuickBird, SPOT dan Pleiades.
35
Gambar II-29: Satelit Pleiades
II.D. Soal/Pertanyaan
1. Sebutkan hal-hal yang menyebabkan kamera metrik berbeda dengan kamera lainnya
2. Apabila sebuah kamera memiliki format 230 mm dan panjang fokus 209 mm, berapakah
angle of View dari kamera ini?
3. Apa keuntungan penggunaan Gyro pada pemotretan udara?
4. Jelaskan perbedaan antara tightly coupled dan loosely coupled pada integrasi sensor
GPS/IMU untuk pemotretan udara.
36
II.E. Daftar Pustaka
37
BAB III
FOTOGRAFI
Prinsip Fotografi
Wujud paling sederhana dari sebuah kamera adalah pinhole camera (Gambar III-1). Ibn
Al Haytham meletakkan dasar-dasar dan membangun prototip pertama sebuah pinhole camera
pada awal abad ke-10 Masehi. Pinhole camera bekerja dengan melewatkan berkas sinar dari
luar kamera menuju layar di bagian belakang kamera melalui celah sempit di bagian depan
kamera. Akibat adanya penerusan berkas sinar ini bayangan dari objek yang ada di luar kamera
akan terbentuk (terproyeksikan) pada layar dalam keadaan terbalik.
38
Gambar III-2: Geometri Pembentukan Citra pada Pinhole camera
Kamera modern bekerja dengan prinsip yang sama seperti sebuah pinhole camera. Berkas
sinar dari luar kamera diteruskan melalui bukaan sempit pada bagian depan kamera (‘aperture’)
melewati serangkaian lensa sampai menuju ke sensor yang merekam nilai digital dari berkas
sinar tersebut.
Gambar III-3: Bagian-bagian kamera dan proses pembentukan citra pada lensa kamera
Pada pinhole camera, berkas sinar yang datang langsung ditampilkan pada layar di
bagian belakang unit kamera. Pada kamera modern, berkas sinar yang datang direkam dalam
39
elemen yang bersifat sensitive terhadap cahaya (photosensitive), baik dalam wujud bahan kimia
(film pada kamera analog) maupun sensor photosensitive elektrik pada kamera digital.
Segitiga Exposure
Foto yang dihasilkan dari pemotretan dipengaruhi oleh banyaknya cahaya yang masuk
dan direkam oleh sensor. Keterpaparan sensor terhadap berkas cahaya yang masuk ini disebut
dengan Exposure. Semakin banyak berkas cahaya yang masuk, semakin terang hasil
pemotretan, dan begitu juga sebaliknya. Hal ini dapat dirunut kembali ke sejarah awal kamera
yang menggunakan prinsip yang sama, misalnya pada kamera Dagguerotype yang
dikembangkan oleh Louis Dagguere pada 1840-an.
Gambar III-4: Boulevard du Temple, foto pertama di dunia yang memuat manusia. Perhatikan gambar tukang semir dan
pelanggannya di sudut kiri bawah
Gambar III-4 menunjukkan salah satu foto pertama di dunia yang diambil menggunakan
kamera Dagguerotype di Boulevard du Temple, Prancis. Foto ini diambil menggunakan kamera
Dagguerotype yang memiliki waktu eksposure selama 10-15 menit. Gambar manusia pertama
di dunia terekam akibat adanya aktivitas kedua orang tersebut sebagai tukang semir sepatu dan
pelanggannya, sedangkan gambar manusia lain tidak tertangkap oleh kamera karena gerakan
yang dilakukan.
40
Banyaknya berkas cahaya yang masuk dan direkam oleh sensor dipengaruhi oleh 3 hal,
yang disebut secara kolektif sebagai ‘segitiga eksposure’:
a. Aperture atau bukaan lensa
b. ISO Speed atau sensitivitas sensor
c. Shutter Speed atau waktu eksposure
Ketiga faktor ini berpengaruh terhadap banyak-sedikitnya cahaya yang masuk dan
terekam pada sensor, sehingga dengan menyeimbangkan pengaturan ketiga factor tersebut akan
diperoleh hasil foto yang tajam.
III.B.2.1. Aperture
Nilai Aperture mewakili besar bukaan shutter pada lensa. Nilai aperture dinyatakan
dalam f-stop (1/2.8, ¼, 1/11, dan seterusnya). Semakin lebar bukaan aperture, maka akan
semakin banyak cahaya yang masuk ke dalam sensor sehingga hasil foto lebih terang dan tidak
gelap. Pada kondisi cahaya yang kurang, misalnya di dalam ruangan, aperture dapat diatur
dengan bukaan lebih lebar agar memungkinkan lebih banyak cahaya yang masuk.
41
Gambar III-6: Diagram skematik shutter pada kamera. a) kondisi tertutup; b) kondisi terbuka
Nilai aperture berpengaruh terhadap besaran Depth of Field (DoF), yaitu berapa banyak
detil di latar depan dan latar belakang yang dapat dicakup pada saat pemotretan. Ukuran f-stop
yang semakin besar (bukaan aperture kecil) memberikan Depth of Field yang semakin dalam.
Dengan kata lain, objek pada latar belakang akan tampak sama jelasnya dengan objek di latar
depan.
42
III.B.2.2. ISO Sensitivity
Pada kamera analog, sensor berupa negative film yang mengandung zat kimia yang
bersifat sensitive terhadap cahaya. Tingkat sensitivitas zat kimia ini terhadap cahaya dinyatakan
dalam besaran ISO. Semakin tinggi nilai ISO, semakin sensitive film tersebut terhadap cahaya,
dan begitu juga sebaliknya. Pada kamera digital, ISO Sensitivity diperoleh dengan menerapkan
amplifikasi pada sinyal yang diterima oleh sensor photosensitive. Sinyal yang diperoleh
ditingkatkan secara bertahap mulai dari Base ISO (nilai ISO terendah pada suatu kamera,
biasanya 100 atau 200), sampai ISO tertinggi yang dimiliki oleh kamera tersebut.
Gambar III-8: Pengaruh Pengaturan ISO Rendah dan Tinggi pada Kamera
Nilai ISO berpengaruh pada adanya noise. ISO yang lebih tinggi memiliki sensitivitas
terhadap cahaya yang lebih tinggi juga, sehingga dapat menangkap lebih banyak cahaya pada
kondisi kurang cahaya (low-light environment). Selain itu, nilai ISO tinggi akan menyebabkan
munculnya noise pada gambar yang diperoleh sehingga mengaburkan objek lain di sekitarnya.
Shutter speed menggambarkan seberapa cepat waktu yang diperlukan oleh lensa kamera
untuk membuka dan menutup pada saat pemotretan. Shutter speed dinyatakan dalam satuan
detik (misalnya, 1/1000, 1/250, ½, 1 second, dst). Semakin cepat shutter speed, maka jumlah
cahaya yang masuk juga akan semakin sedikit. Sebaliknya, semakin lambat shutter speed maka
waktu exposure akan semakin lama dan cahaya yang masuk akan lebih banyak.
43
Gambar III-9: Shutter speed untuk menangkap objek bergerak dalam keadaan diam
Shutter speed berpengaruh pada pemotretan objek yang bergerak. Untuk menangkap
objek yang bergerak pada kamera, digunakan shutter speed dengan pengaturan cepat (misalnya
1/1000). Hal ini adalah agar waktu exposure lebih singkat sehingga objek yang bergerak
‘terperangkap’ dalam kondisi diam pada sensor kamera. Apabila yang diinginkan adalah
kebalikannya, misalnya pada pemotretan objek langit pada malam hari, maka shutter speed
harus dibuat lebih lama (bisa lebih dari satu detik) sehingga seluruh berkas cahaya tertangkap
oleh sensor. Perlu diingat bahwa pada kondisi seperti ini gerakan sekecil apapun akan
mempengaruhi hasil akhir dari foto yang diperoleh sehingga untuk mengurangi gerakan kamera
biasanya digunakan tripod. Adapun foto yang diperoleh dengan memperpanjang waktu
exposure disebut dengan long exposure photography.
44
Resolusi Spasial dan Resolusi Spektral
Salah satu property terpenting dari sebuah foto pada proses fotogrametri adalah resolusi
foto yang dihasilkan. Resolusi foto merupakan ukuran mengenai detil objek yang direkam oleh
kamera, atau dengan kata lain ukuran terkecil yang dapat dikenali dari karakteristik foto
tersebut. Pada pemetaan fotogrametri, resolusi spasial dan resolusi warna (spectral) merupakan
dua buah property yang mempengaruhi hasil akhir proses fotogrametri.
Resolusi spasial tidak selalu terkait dengan ukuran piksel. Ukuran piksel yang kecil
tidak selamanya menunjukkan bahwa resolusi spasial dari suatu foto tersebut berukuran lebih
besar dibandingkan dengan foto yang memiliki ukuran piksel yang lebih besar. Pada Gambar
III-11, ketiga gambar memiliki ukuran piksel yang sama, yaitu 10 meter. Bagaimanapun juga,
pada gambar kedua dan ketiga dapat dilihat bahwa tingkat kedetilan objek berkurang karena
kedua foto tersebut dihasilkan dari proses blurring atas foto pertama.
45
Gambar III-12: Resolusi spasial
Pengertian yang lebih sesuai tentang resolusi spasial adalah bahwa resolusi tersebut
menyatakan besaran terkecil yang dapat dikenali pada suatu foto udara. Dengan kata lain,
resolusi spasial merupakan ukuran kemampuan sebuah foto udara dalam mengenali objek-
objek yang ada di permukaan bumi. Pada fotogrametri, ukuran resolusi spasial dapat juga
dinyatakan sebagai nilai GSD (Ground Sampling Distance) yang merupakan fungsi dari ukuran
sensor, panjang fokus dan tinggi terbang platform. GSD merupakan jarak dari dua buah piksel
yang saling bersebelahan diukur pada satuan koordinat tanah. Ukuran GSD 20 cm menunjukkan
bahwa setiap piksel di foto udara tersebut mewakili ukuran 20 cm di lapangan/koordinat tanah.
Penjelasan tentang hitungan GSD akan dijumpai pada bab selanjutnya.
46
Gambar III-13: Contoh hitungan GSD dengan tool Pix4D
Resolusi spectral menunjukkan tingkat kedetilan foto yang diperoleh pada rentang
spektrum. Sebuah kamera metrik yang digunakan untuk keperluan foto udara memuat
setidaknya band-band pada gelombang tampak (visible), yaitu Red, Green dan Blue. Pada
kamera metrik jenis multispectral ditambahkan juga band panchromatic dan NIR.
47
Image Motion
Sebuah pesawat yang terbang dengan kecepatan v menempuh jarak D = v t selama kurun
waktu eksposure t. Apabila diberikan skala foto s, maka besaran image motion d dapat dihitung
sebesar:
𝑣𝑡 𝑣𝑡𝑓
𝑑= =
𝑠 𝐻
dimana f adalah panjang fokus dan H adalah tinggi terbang. Sebagai contoh, apabila diketahui
waktu eksposure berdasarkan pengaturan shutter speed adalah 1/300 detik, laju pesawat 300
km/jam, panjang fokus 150 mm dan tinggi terbang 1500 meter, maka image motion akan
didapatkan sebesar:
𝑚 1
𝑣𝑡𝑓 83.3 ∗ 𝑠∗0.15 𝑚
𝑠 300
𝑑= = = 28 𝜇𝑚
𝐻 1500 𝑚
Nilai image motion di atas berlaku sepanjang arah terbang pesawat, atau disebut juga forward
image motion (Gambar III-15). Kesalahan akibat image motion ini dapat dikoreksi dengan
memberikan koreksi digital maupun mekanis pada kamera berupa image motion compensation.
Salah satu metode yang digunakan adalah metode elektris melalui Time-Delayed Integration
(TDI). Secara umum, nilai yang diizinkan untuk image motion adalah tidak lebih besar dari 25
µm. Akan tetapi nilai ini dapat bervariasi sesuai dengan jenis kamera yang digunakan. Pada
kamera yang menggunakan TDI, nilai toleransi ini lebih kecil.
48
Gambar III-15: Forward Image Motion
Selain image motion yang searah dengan jalur terbang pesawat, terdapat juga image
motion yang timbul akibat adanya getaran pada platform dan kamera. Getaran ini meskipun
singkat menyebabkan pergeseran yang pada gilirannya menimbulkan image motion. Pada kasus
ini image motion tidak memiliki arah yang teratur dan bersifat acak, sehingga lebih sulit untuk
dikoreksi. Untuk mengurangi pengaruh dari getaran platform, digunakan mounting kamera
yang dilengkapi peredam getaran.
Gambar III-16: Image Motion Compensation dengan metode Time Delayed Integration (TDI)
49
III.C. Contoh Soal dan Jawaban
III.D. Soal/Pertanyaan
50
Rainer Sandau, 2010, Digital Airborne Camera Introduction and Technology, Springer
Dordrecht, Heidelberg
Sanjib K. Gosh.,1979, Analytical Photogrammetry, Pergamon Press Inc., London.
Wilfried Linder, 2006, Digital Photogrammetry A Practical Course, Springer-Verlag, Berlin
51
BAB IV
GEOMETRI FOTO UDARA DAN PERSAMAAN KOLINEAR
IV.A.Tujuan Perkuliahan
Mahasiswa mampu menjelaskan tentang Geometri citra foto udara, dan persamaan Kolinier.
Proyeksi sentral atau sering disebut juga proyeksi perspektif merupakan proyeksi
dimana sinar-sinar proyeksi melalui titik pusat perspektif yang berada di titik tak terhingga.
Foto udara yang memiliki jenis proyeksi tersebut umumnya memiliki skala yang tidak seragam.
Geometri obyek yang paling teliti terletak di pusat proyeksi, kemudian menyebar secara radial
dari pusat proyeksi tersebut. Kondisi ini disebut dengan istilah radial displacement.
Foto udara dengan proyeksi sentral dengan skala yang beragam dan geometri yang tidak
benar menyebabkan kesalahan. Kesalahan tersebut berupa perbedaan ukuran, bentuk dan letak
terhadap obyek aslinya akibat adanya distorsi yang memusat pada titik proyeksi foto. Dengan
52
demikian, foto udara yang memiliki proyeksi sentral harus dikoreksi menjadi foto udara tegak
yang sering disebut dengan orthoimage. Orthoimage memiliki proyeksi orthogonal yaitu suatu
proyeksi 3D dimana sinar-sinar proyeksinya tegak lurus pada sebuah bidang. Foto udara yang
telah terproyeksi orthogonal inilah yang kemudian dapat dijadikan acuan pembuatan peta datar.
Pembahasan mengenai proses pembentukan orthophoto dari foto yang memiliki proyeksi tidak
sentral akan diberikan pada Bab VIII.
(a) (b)
Gambar IV-2 (b) merupakan ilustrasi proyeksi sentral dimana obyek pada foto memiliki
perbedaan ukuran, bentuk dan letak. Hal tersebut dapat disebabkan karena beberapa faktor yaitu
distorsi optik pada kamera, tilt displacement (perubahan posisi akibat gerak pesawat) dan relief
displacement (perbedaan ketinggian). Sedangkan Gambar IV-2 (a) merupakan ilustrasi
proyeksi orthogonal/tegak dimana posisi, ukuran dan bentuk obyek sudah sesuai dengan
kondisi aslinya.
53
Pada sistem proyeksi sentral, terdapat beberapa istilah yang perlu dipahami, antara lain:
a. Perspective center (PC). Pusat proyeksi pada foto, yang dapat dipahami sebagai
titik fokus lensa
b. Principal Point (PP). Principal point merupakan proyeksi dari perspective center
terhadap bidang foto. PP merupakan pusat foto yang ditandai pada kamera
metrik sebagai perpotongan dari fiducial mark.
c. Principal distance (PD) atau focal length (f). panjang fokus ini juga menyatakan
jarak antara PC dan PP
d. Optical Axis (sumbu optis), garis yang menghubungkan antara PP dan PC
e. Focal Plane/Image plane. Bidang foto yang tegak lurus dengan optical axis
PC dan PP terletak pada satu garis yang disebut optical axis atau sumbu optis. Masing-
masing titik pada koordinat tanah diproyeksikan terhadap garis optical axis ini pada titik di foto.
Kondisi kesegarisan antara titik di bidang tanah, pusat proyeksi dan bidang foto ini disebut
dengan kondisi kolinearitas.
54
Gambar IV-3: Kondisi kesegarisan (kolinearitas)
55
Untuk memahami bagaimana proses transformasi dari masing-masing sistem koordinat,
perlu dijelaskan terlebih dahulu mengenai keempat sistem koordinat yang terlibat dalam
menghasilkan foto yang dapat digunakan dalam kegiatan fotogrametri (Gambar IV-5).
Transformasi dilakukan dari sistem koordinat piksel (measuring coordinates) menjadi sistem
koordinat foto yang keduanya memiliki dimensi dua (2D). selanjutnya dilakukan transformasi
dari sistem koordinat foto menjadi sistem koordinat kamera atau sistem koordinat model yang
memiliki dimensi 3 (3D). Terakhir, transformasi dilakukan pada sistem koordinat model
terhadap sistem koordinat tanah atau sistem koordinat peta sehingga diperoleh ground
coordinates untuk tiap titik pada foto (Gambar IV-6).
56
Gambar IV-6: Transformasi koordinat pada sistem pemetaan fotogrametri
Model matematika yang berbeda digunakan dalam transformasi antar sistem koordinat
ini, baik dari sistem koordinat piksel (ukuran) menuju sistem koordinat foto; sistem koordinat
foto menuju sistem koordinat model; serta sistem koordinat model menuju sistem koordinat
tanah. Secara ringkas, hubungan antar sistem proyeksi dan prosedur serta model matematika
yang digunakan diberikan pada Tabel IV-1.
57
Berikut adalah penjelasan untuk tiap tahapan transformasi koordinat:
Terlebih dahulu perlu dipahami bagaimana sistem koordinat foto bekerja: Sistem koordinat
foto dibentuk oleh penanda fidusial (fiducial marks) yang terdapat pada foto udara metrik.
Sumbu-x positif pada sistem koordinat foto dibentuk searah dengan jalur terbang, sumbu-y
tegak lurus sumbu-x pada bidang foto.
y
Gambar IV-8: Hubungan sistem koordinat piksel dan sistem koordinat foto
58
Untuk memperoleh koordinat foto dari koordinat piksel, perlu diterapkan transformasi
antar kedua sistem koordinat tersebut. Model transformasi yang dapat digunakan antara lain
adalah transformasi Affine dua dimensi (2D) dan transformasi conform, mengingat kedua
sistem merupakan sistem koordinat dua dimensi. Penjelasan mengenai persamaan transformasi
ini akan dibahas pada sub-bab berikutnya.
59
(xj’, yj’,zj’)
(xi’, yi’,zi’) Oj
By Bz
oi F2
F1 Bx
j (xj, yj) P (xp, yp)
i (xi, yi)
Hubungan sistem koordinat foto dan sistem koordinat model biasa disebut dengan
kondisi koplanar, dimana bidang foto pada sepasang foto yang saling bertampalan
(‘stereopair’) berada pada bidang yang sama. Prosedur untuk menyelesaikan transformasi
sistem koordinat foto ke koordinat model ini disebut dengan orientasi relatif, yang akan
dijelaskan lebih lanjut pada sub-bab selanjutnya. Hasil dari pembentukan sistem koordinat
model kemudian akan digunakan untuk menentukan sistem koordinat tanah dengan
melakukan transformasi antar sistem 3D.
60
Gambar IV-11: Hubungan antara sistem koordinat stereopair dan sistem koordinat tanah
61
Gambar IV-12: Geocentric Universal System
62
O(xo ,Yo , Zo )
m
Z
Ym
Am Xm
Zo
Yt
Zt At
Xo
Yo
Xt
Gambar IV-13: Hubungan antara sistem koordinat model dan sistem koordinat tanah (dimodifikasi dari Slama, 1980)
Keterangan gambar:
O (Xo , Yo , Zo) = koordinat pusat lensa foto
Xm , Ym , Zm = sumbu kartesi dalam sistem koordinat model
Xt , Yt , Zt = sumbu kartesi dalam sistem koordinat tanah
At = titik A dalam sistem koordinat tanah
Am = titik A dalam sistem koordinat model
Transformasi dari sistem koordinat model ke sistem koordinat tanah merupakan
transformasi antar sistem koordinat 3D yang dapat diperoleh dengan berbagai metode
transformasi, diantaranya transformasi affine 3D.
Transformasi antar system koordinat dilakukan secara bertahap dari keempat sistem,
meliputi system koordinat piksel dan system koordinat foto terhadap sistem koordinat model
dan UTM sebagai sistem koordinat tanah (ground coordinates). Untuk melakukan transformasi
tersebut, diperlukan model atau persamaan transformasi. Model tersebut mulai dari yang
sederhana (linear) hingga yang derajat tinggi, baik dalam system 2D maupun system 3D
Transformasi antar sistem koordinat diperlukan untuk menetapkan hubungan antara dua
buah sistem yang menyatakan koordinat suatu titik yang sama. Transformasi sistem koordinat
umumnya dilakukan dengan mengetahui terlebih dahulu koordinat beberapa titik ikat (control
63
points) yang memiliki koordinat definitive pada kedua sistem. Selanjutnya, dari kedua sistem
tersebut dilakukan estimasi parameter untuk digunakan dalam pencarian koordinat titik-titik
yang lain.
Terdapat 4 model yang sering digunakan pada transformasi koordinat 2D, yaitu
transformasi sebangun (conform), transformasi affine, transformasi proyektif dan polinom 2D.
Tiap transformasi memiliki parameter-parameter transformasi yang membentuk persamaan
transformasi (lihat Gambar IV-14).
A. Transformasi Sebangun
Transformasi sebangun merupakan jenis transformasi dimana bentuk awal dan akhir
dari benda yang ditransformasi sama (konformal). Transformasi ini memiliki 4 parameter, yaitu
translasi, rotasi (X dan Y) dan skala. Agar dapat diselesaikan, transformasi ini memerlukan
setidaknya dua buah titik diketahui koordinatnya pada kedua sistem. Apabila lebih dari dua
koordinat diketahui maka dapat digunakan metode perataan kuadrat (Least-Square Adjustment)
untuk menghitung transformasinya.
64
Gambar IV-15: Konsep Transformasi Sebangun (Conformal)
𝑥 = 𝑎. 𝑋 − 𝑏. 𝑌 + 𝑐
𝑦 = 𝑏. 𝑋 − 𝑎. 𝑌 + 𝑑
a = S cos
b = S sin
S = skala antar kedua system koordinat
= sudut rotasi antara kedua system koordinat
c, d = translasi pada arah x dan arah y
65
Dengan v menyatakan residual dari persamaan:
X = a ⋅ x ‐ b ⋅ y + c + vX
Y = b⋅ x + a⋅ y + d + vY
Soal:
Diketahui koordinat titik 4 fidusial pada sistem koordinat foto dan hasil kalibrasi seperti
pada table. Tentukan transformasi pada titik a dan b.
Tabel IV-2: Data titik kontrol dan koordinat titik yang dicari
Titik x y x y
a 74.794 12.202
b -67.123 54.432
Jawab:
Solusinya apabila diketahui lebih dari 2 titik adalah dengan menggunakan hitung perataan
kuadrat terkecil.
66
,
, sehingga
σ = 0.0003
67
Koordinat hasil transformasi:
Koordinatnya:
B. Transformasi Affine
Bentuk umum transformasi affine dari system X, Y ke system X’, Y’ dapat dilihat pada gambar
68
Gambar IV-17: Persamaan Transformasi Affine
𝑋 ′ = 𝑎𝑋 + 𝑏𝑌 + 𝑇𝑥
𝑌 ′ = 𝑐𝑋 + 𝑑𝑌 + 𝑇𝑦
∆𝑥 = 𝑇𝑥 𝑑𝑎𝑛 ∆𝑦 = 𝑇𝑦
𝑚𝑦 = √ 𝑏 2 + 𝑑 2
Apabila diketahui lebih dari tiga titik, persamaan ini dapat diselesaikan dengan metode
perataan kuadrat terkecil dengan parameter:
69
Soal:
Diketahui koordinat titik 4 fidusial pada sistem koordinat foto dan hasil kalibrasi seperti
pada Tabel IV-2. Tentukan transformasi pada titik a dan b.
Jawab:
70
A= F=
N = (AT . A)-1
V = AX - F
71
Sehingga didapatkan varian:
, atau σ = 0.001
C. Transformasi Proyektif
𝑎1 𝑋 + 𝑏1 𝑌 + 𝑐1
𝑥=
𝑎3 𝑋 + 𝑏3 𝑌 + 1
𝑎2 𝑋 + 𝑏2 𝑌 + 𝑐2
𝑦=
𝑎3 𝑋 + 𝑏3 𝑌 + 1
D. Transformasi Polinom 2D
𝒙 = 𝒂𝒐 + 𝒂𝟏 𝑿 + 𝒂𝟐 𝒀 + 𝒂𝟑 𝑿𝟐 + 𝒂𝟒 𝒀𝟐 + 𝒂𝟓 𝑿𝒀
𝒚 = 𝒃𝒐 + 𝒃𝟏 𝑿 + 𝒃𝟐 𝒀 + 𝒃𝟑 𝑿𝟐 + 𝒃𝟒 𝒀𝟐 + 𝒃𝟓 𝑿𝒀
Dengan demikian, disimpulkan untuk tiap metode transformasi dapat diringkas sebagai
berikut:
73
IV.B.3.2. Transformasi Koordinat 3D
A. Transformasi sebangun 3D
Transformasi sebangun 3D melibatkan transformasi antara dua buah sistem koordinat 3D.
Transformasi ini terdiri dari 7 buah parameter independen sebagai berikut:
𝑋 𝑥 𝑋𝑜
[𝑌 ] = . 𝑅. [ ] + [ 𝑌𝑜 ]
𝑦
𝑍 −𝑓 𝑍𝑜
Dimana
74
𝑋𝑜 , 𝑌𝑜 , 𝑍𝑜 : Koordinat UTM saat pemotretan (bisa dari GPS kamera)
R : matriks rotasi 3D
𝐿1 𝑋 + 𝐿2 𝑌 + 𝐿3 𝑍 + 𝐿4
𝑥=
𝐿9 𝑋 + 𝐿10 𝑌 + 𝐿11 𝑍 + 1
𝐿5 𝑋 + 𝐿6 𝑌 + 𝐿7 𝑍 + 𝐿8
𝑦=
𝐿9 𝑋 + 𝐿10 𝑌 + 𝐿11 𝑍 + 1
C. Polinomial 3D
𝑥 = 𝑎𝑜 + 𝑎1 𝑋 + 𝑎2 𝑌 + 𝑎3 𝑍 + 𝑎4 𝑋 2 + 𝑎5 𝑌 2 + 𝑎6 𝑍 2 + 𝑎7 𝑋𝑌𝑍
𝑦 = 𝑏𝑜 + 𝑎1 𝑋 + 𝑎2 𝑌 + 𝑎3 𝑍 + 𝑎4 𝑋 2 + 𝑎5 𝑌 2 + 𝑎6 𝑍 2 + 𝑎7 𝑋𝑌𝑍
Sebelumnya pada IV.B.2 telah dibahas mengenai komponen suatu sistem koordinat foto
pada kamera. Pada dasarnya, sistem koordinat foto mewakili perjalanan berkas sinar yang
terjadi pada saat pemotretan. Oleh karena itu, penentuan IOP (Interior Orientation Parameters)
digunakan untuk merekonstruksi perjalanan berkas sinar pada saat eksposure, sehingga
penentuan IOP merupakan salah satu factor penting agar transformasi antar sistem koordinat
pada fotogrametri dapat dilakukan.
Dengan perkembangan dunia pemetaan fotogrametri menggunakan wahana UAV,
semakin banyak pula dijumpai penggunaan kamera digital non-metrik untuk keperluan
fotogrametri. Kamera non-metrik memiliki interior geometri yang tidak tertentu (misalnya
75
panjang fokus yang tidak tetap) serta relative memiliki distorsi lensa yang lebih besar. Untuk
itu perlu diketahui (sampai batas ketelitian tertentu) mengenai parameter-parameter interior
kamera non-metrik yang digunakan dalam pemetaan, antara lain adalah panjang fokus,
koordinat principal point dan model distorsi lensa.
Pada penjelasan mengenai sistem koordinat foto sebelumnya, sumbu-sumbu pada
sistem koordinat foto biasanya dianggap berimpit dengan sistem koordinat yang ditentukan
pada titik-titik fiducial. Akan tetapi pada prakteknya, terdapat perbedaan antara sistem
koordinat fiducial dengan sistem koordinat foto yang sebenarnya berlaku pada saat eksposure
gambar. Pada Gambar IV-20, dapat dilihat bahwa pada saat eksposure titik pusat proyeksi foto
(principal point) mengalami pergeseran sebesar xp dan yp terhadap pusat sistem koordinat
fiducial. Besarnya pergeseran ini berikut parameter interior kamera lainnya dapat ditentukan
melalui prosedur yang disebut dengan kalibrasi kamera.
(Sebagai catatan, pada kamera metrik dimana titik fiducial ditandai melalui proses
kalibrasi serta badan kamera dibuat sangat kokoh, nilai xp dan yp sangat kecil).
Gambar IV-20: Perbedaan antara sistem koordinat fiducial dan sistem koordinat foto
Pembahasan mengenai kalibrasi kamera secara detil akan dibahas pada bab tersendiri di
Bab V. Adapun proses kalibrasi kamera dilakukan untuk menentukan parameter-parameter
interior pada kamera agar kesalahan yang terdapat pada parameter-parameter panjang fokus,
koordinat pusat foto serta model distorsi kamera dapat dikoreksikan pada proses pengolahan
foto selanjutnya.
76
Gambar IV-21: Contoh parameter interior kamera
Pada bagian ini secara khusus akan dibahas mengenai matriks rotasi yang berperan
dalam transformasi antar sistem koordinat seperti yang sudah dibahas sebelumnya. Matriks
rotasi digunakan misalnya pada transformasi koordinat affine 3D serta pada persamaan
kolinear.
77
serangkaian matriks rotasi 2D. Penjabaran untuk komponen matriks rotasi 3D ini adalah sebagai
berikut:
1. Rotasi dengan sumbu putar sumbu-X : sumbu Y dan Z berubah menjadi sumbu Y' dan
Z', sedangkan sumbu X berimpit dengan sumbu X'.
Sumbu-X tegak lurus bidang gambar
2. Rotasi dengan sumbu putar sumbu-Y : sumbu X dan Z berubah menjadi sumbu X' dan
Z', sedangkan sumbu Y berimpit dengan sumbu Y'
3. Rotasi dengan sumbu putar sumbu-Z : sumbu X dan Y berubah menjadi sumbu X' dan
Y', sedangkan sumbu Z berimpit dengan sumbu Z'
78
Kombinasi dari ketiga matriks tersebut di atas berupa matriks rotasi berikut:
Cos Cos Cos Sin Sin Sin Cos Sin Sin Cos Sin Cos
R Rx Ry Ry Cos Sin Cos Cos Sin Sin Sin Sin Cos Cos Sin Sin
Sin Sin Cos Cos Cos
79
Kombinasi ketiga matriks tersebut membentuk matriks M:
80
Matriks M merupakan matriks orthogonal, yang berarti matriks M memiliki transpose
yang sama dengan inversenya, yaitu:
Dengan demikian untuk menyatakan invers dari matriks M dapat dipenuhi sesuai
dengan persamaan berikut:
Pada transformasi konformal 3D, matriks rotasi 3D merupakan salah satu dari
parameter transfromasi yang dicari, yaitu ω, φ, κ, s, Tx, Ty, dan Tz. Apabila disusun dalam
81
sebuah operasi matriks, persamaan transformasi ini merupakan persamaan non-linear dengan 7
buah peubah. Apabila terdapat redundansi jumlah data titik control, maka diperlukan metode
perataan kuadrat untuk menyelesaikannya. Adapun penyelesaian persamaan non linear dari
transformas similarity/conformal adalah dengan menggunakan deret taylor sebagai berikut:
Parameter orientasi luar menentukan posisi dan orientasi kamera dalam sistem koordinat
absolut. EOP mendefinisikan posisi (x,y) dan ketinggian (z) foto terhadap system koordinat
tanah. Parameter orientasi luar yaitu
82
a. Posisi pusat foto udara terhadap system koordinat tanah (Xo, Yo, Zo)
b. Besarnya sudut rotasi terhadap masing-masing komponen posisi pusat foto (Xo, Yo, Zo)
yaitu (, , )
Sudut rotasi pada EOP menggambarkan posisi dan orientasi (pose) pesawat pada saat
pemotretan. Penjelasan mengenai matriks rotasi 3D telah diberikan sebelumnya.
EOP dapat diperoleh menggunakan dua buah cara, yaitu pertama melalui proses orientasi
dalam, orientasi relatif, orientasi absolut. Cara kedua adalah dengan melakukan bundle
adjustment atau triangulasi udara. Kraus (2007) menyebutkan bahwa proses orientasi meliputi:
1. Model stereo dalam sistem koordinat 3D dibuat dari dua buah foto
83
2. Setelah itu, model ditransformasikan ke dalam sistem koordinat 3D (XYZ) dalam sistem
koordinat tanah
Hubungan antara koordinat model (x,y,z) dengan koordinat tanah (X,Y,Z) dapat
dijelaskan dalam persamaan berikut.
𝑋 𝑥𝑖 𝑥
𝑦 𝑦
(𝑌 ) = ( 𝑖 ) + 𝑚𝑅 ( )
𝑍 𝑧𝑖 𝑧
Proses pembentukan model melalui dua buah foto dan transformasi ke dalam sistem
koordinat tanah dijelaskan dalam gambar berikut.
84
O
b
O
zi
yi
xi
P
P
z 2
3
P
κ 4
y P
1 x
Ω
P2
Z
P3
P4
Y P1
X
Keterangan gambar :
𝑥𝑖 , 𝑦𝑖 , 𝑧𝑖 : koordinat pusat proyeksi kamera
𝑥, 𝑦, 𝑧 : koordinat obyek pada sistem koordinat model
𝑋, 𝑌, 𝑍 : koordinat obyek pada sistem koordinat tanah
𝑚 ∶ skala pada sistem xyz
𝑅 ∶ matriks rotasi 3D dalam sistem xyz ke sistem XYZ yang didefinisikan dalam ,φ, κ
P1, P2,..P4 : obyek di permukaan bumi
b : basis foto/jarak pemotretan antara dua pusat foto yang bersebelahan
O1, O2 : pusat proyeksi kamera
ω : rotasi pada sumbu x foto
: rotasi pada sumbu y foto
κ : rotasi pada sumbu z foto
85
Santoso (2004) menyatakan bahwa orientasi dalam, orientasi relatif dan orientasi absolut
merupakan tahapan pembentukan model 3D dari pasangan foto atau disebut dengan restitusi
foto. Restitusi dapat diartikan sebagai pengembalian sesuatu yang hilang, atau rekonstruksi
model (3D) dari pasangan foto (2D). Model ini kemudian digunakan sebagai panduan
penurunan peta.
Bundle Adjustment merupakan persamaan baku yang dapat diaplikasikan untuk beberapa
orientasi fotogrametri dan masalah penentuan titik. (Konecny, 2003 dalam Tanjung, 2006).
Prinsip bundle adalah menggunakan inverse persamaan (1.5) yang dimodifikasi untuk
menunjukkan koordinat foto merupakan fungsi dari koordinat peta, sebagaimana ditunjukkan
oleh persamaan (1.8), dengan r11,….,r33 merupakan fungsi rotasi terhadap sumbu X,Y,Z.
Pembentukan matrik R atau RT (transpose matrik R) dapat dilihat secara mendetail pada Krauss
(1994), Morgan (2004), dan Wolf(1983). Persamaan konform tiga dimensi yang terbentuk
tertuang dalam rumus (1.8) :
𝑥𝑝 𝑟11 𝑟21 𝑟31 𝑋𝑝 − 𝑋𝑜
1
𝑦
( 𝑝 ) = (𝑟12 𝑟22 𝑟32 ) [ 𝑌𝑝 − 𝑌𝑜 ] … … … … … … … … … … … … …(1.6)
𝑧𝑝 𝑟13 𝑟23 𝑟33 𝑍𝑝 − 𝑍𝑜
Untuk menunjukkan bahwa posisi sebuah obyek yang berada di foto, di permukaan
tanah dan pusat proyeksi berada dalam satu garis lurus maka dapat dibangun sebuah persamaan
kolinier atau persamaan kesegarisan, yaitu dengan cara membagi baris ke-1 dan baris ke-2
dengan baris ke-3, sehingga diperoleh persamaan (1.7) dan (1.8) :
𝑟11 (𝑋𝑝 −𝑋𝑜 )+𝑟21 (𝑌𝑝 −𝑌𝑜 )+𝑟31 (𝑍𝑝 −𝑍𝑜 )
𝑥𝑝 = −𝑓 𝑟 ...............................................................(1.7)
13 (𝑋𝑝 −𝑋𝑜 )+𝑟23 (𝑌𝑝 −𝑌𝑜 )+𝑟33 (𝑍𝑝 −𝑍𝑜 )
Persamaan (1.7) dan (1.8) merupakan persamaan non linear dan masih memiliki enam
parameter yang belum diketahui nilainya 𝑋𝑜 , 𝑌𝑜, 𝑍𝑜 , 𝜔, 𝜑, 𝐾. Karena persamaan (1.7) dan (1.8)
bukan merupakan persamaan linear, maka dilakukan proses linearisasi dengan menggunakan
deret Taylor yaitu dengan menurunkan persamaan ke masing-masing parameter, sehingga
diperoleh persamaan (1.9) dan (1.10) :
𝛿𝑥 𝛿𝑥 𝛿𝑥 𝛿 𝑥𝑝 𝛿𝑥𝑝 𝛿𝑥𝑝
𝑥𝑝 = (𝑥𝑝 )𝑜 + 𝛿 𝑝 𝛿𝑋𝑜 + 𝛿 𝑝 𝛿𝑌𝑜 + 𝛿 𝑝 𝛿𝑍𝑜 + 𝛿𝜔 + 𝛿𝜑 + 𝛿𝐾 ………..(1.9)
𝑥𝑜 𝑦𝑜 𝑧𝑜 𝛿𝜔 𝛿𝜑 𝛿𝐾
86
titik kontrol tanah (GCP) seminimum mungkin. Umumnya GCP ditempatkan pada setiap
interval 4 s.d 6 basis foto (Koneckny, 2003). Untuk perapatan GCP tersebut dipergunakan
Triangulasi Udara (TU), dimana secara matematis menggunakan teknik hitungan BBA.
Salah satu tujuan utama fotogrametri adalah untuk menghasilkan peta dari foto udara.
Dengan membawa sensor berupa kamera di atas pesawat, maka hasil dari pemotretan itu sendiri
akan bervariasi sesuai dengan berbagai parameter yang terlibat. Salah satu parameter yang
paling menentukan adalah tinggi terbang pesawat yang digunakan.
Skala foto udara merupakan perbandingan dari panjang objek di foto dengan panjang
objek yang sebenarnya pada peta. Pada gambar di atas, skala foto ditentukan oleh hitungan:
Dengan kata lain, hubungan skala foto juga dapat ditentukan dari panjang fokus dan
ketingian terbang. Hubungan ini dinyatakan oleh:
87
Pada kenyataannya, objek di atas permukaan tanah memiliki ketinggian sendiri terhadap
datum, sehingga rumus di atas menjadi:
Sebagai contoh, apabila sebuah pesawat terbang dengan ketinggian 5000 meter di atas
permukaan tanah dengan ketinggian 1200 meter membawa kamera dengan panjang fokus 152
mm, maka skala foto udara tersebut:
S = f/ (H-h)
S = 15,2 /(500.000-120.000)
S = 15,2/ (380.000)
S = 1/ (25.000)
S = 1: 25.000
Sehingga skala foto udara tersebut adalah 1:25.000.
Salah satu unsur sensor kamera adalah resolusi spasial sensor atau resolusi spasial
kamera. Resolusi spasial kamera adalah ukuran dari sebuah piksel dalam mikron sedangkan
ukuran satu piksel pada objek yang dipotret disebut Ground Sampling Distance (GSD). Soeta’at
(2011) menyatakan bahwa besarnya nilai GSD dapat dihitung menggunakan rumus (1.1) dan
skala pada rumus (1.2) berikut.
88
GSD = angka skala * resolusi spasial..........................................(1.1)
𝑓𝑜𝑘𝑢𝑠 𝑘𝑎𝑚𝑒𝑟𝑎 (𝑓)
Skala = ......................................................................(1.2)
𝑡𝑖𝑛𝑔𝑔𝑖 𝑡𝑒𝑟𝑏𝑎𝑛𝑔 (ℎ)
Skala foto udara berbeda dengan skala peta pada umumnya. Peta adalah gambaran /
presentasi dari permukaan bumi dengan skala tertentu. Sifat proyeksi pada peta adalah
orthogonal. Oleh karena foto udara mempunyai skala yang bervariasi, maka untuk membuat
peta dengan skala dan geometri yang benar, foto udara tersebut harus diproses terlebih dahulu,
disebut sebagai proses restitusi foto udara.
Pengertian restitusi adalah mengembalikan posisi foto udara pada keadaan seperti pada
saat pemotretan dengan proses orientasi (orientasi dalam, relatif, absolut). Pada keadaan
tersebut sinar-sinar yang membentuk objek secara geometris telah benar dan dapat dipakai
untuk membuat peta dengan cara restitusi tunggal (rektifikasi) ataupun dengan cara restitusi
stereo (orthofoto).
Skala yang bervariasi dipengaruhi juga oleh perbedaan ketinggian. Hal ini
menyebabkan munculnya relief displacement/pergeseran akibat adanya relief. Pergeseran relief
adalah perpindahan atau pergeseran pada posisi fotografis dari suatu bayangan benda yang
89
disebabkan karena permukaan bumi yang tidak rata atau disebabkan karena benda tersebut
mempunyai ketinggian terhadap suatu datum.
Pengaruh dari pergeseran relief tidak hanya menyebabkan perubahan pada skala tetapi
juga komponen lain. Gambar IV-24 menunjukkan titik T merupakan atas bangunan dan B
merupakan bangunan bagian bawah. Kedua titik tersebut memiliki koordinat X dan Y yang
identik. Tetapi bagaimanapun juga, di foto kedua titik tersebut memiliki posisi yang berbeda
yaitu T’ dan B’. Jarak antara kedua titik (d) disebut relief displacement yang disebabkan karena
perbedaan tinggi h antara titik T dan B.
Prinsip yang digunakan dalam fotogrametri secara umum adalah prinsip kolinearitas
(kesegarisan) yang dapat didefinisikan bahwa titik utama kamera, koordinat titik pada foto, dan
posisi 3 dimensi titik tersebut pada ruang berada pada satu garis lurus (kolinear).
90
IV.B.8.1. Penurunan Persamaan Kolinear
Gambar IV-31: Kondisi kesegarisan dari pusat proyeksi terhadap titik di tanah
Dari Gambar IV-31, dapat dilihat bahwa kondisi kesegarisan yang digambarkan
melewati keempat sistem koordinat yang digunakan pada fotogrametri, yaitu koordinat piksel,
koordinat foto, koordinat kamera/model dan koordinat tanah. Komponen PC (titik perspective
center) menuju A (XA, YA, ZA) memotong bidang foto pada titik a (xa, ya) yang merupakan
proyeksi dari titik A.
Apabila diambil vector yang berkaitan sepanjang garis kolinear, maka secara umum
dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu garis vector yang menghubungkan titik pusat perspektif
91
o dengan bidang foto, serta garis yang menghubungkan antara titik pada bidang foto dengan
titik sebenarnya di tanah. Persamaan kedua garis tersebut adalah sebagai berikut:
a. Garis yang menghubungkan titik pusat perspektif o dengan titik a pada bidang foto:
92
Apabila dinyatakan dengan menggunakan matriks rotasi M, atau
Persamaan kolinear dapat digunakan untuk menyelesaikan persoalan space resection, yang
dikenal sebagai proses untuk merubah foto yang memiliki proyeksi sentral menjadi proyeksi
tegak. Space resection digunakan dalam Single Frame Orthorectification yang akan dijelaskan
pada VIII.B.2.
Persamaan kolinear merupakan persamaan non linear dengan sembilan parameter. Dengan
demikian untuk menyelesaikan persamaan kolinear dapat dilakukan linearisasi. Penjelasan
berikut adalah mengenai metode untuk linearisasi persamaan kolinear.
93
Apabila diterapkan deret taylor (sampai derajat pertama):
Turunan tersebut merupakan turunan parsial untuk tiap parameter unknown pada nilai awal
linearisasi deret Taylor. dω, dφ , dκ , dst., merupakan koreksi pada tahap awal linearisasi
(dengan satuan radian).
Karena koordinat foto xa dan ya diketahui, pada hitung perataan perlu dimasukkan parameter
residual agar persamaan tersebut konsisten. Persamaannya menjadi:
Apabila dinyatakan dalam bentuk matriks, persamaan kolinear yang sudah dilinearisasi
dengan deret Taylor ini menjadi:
94
Dimana:
- m = jumlah titik pada tiap foto
- n = jumlah parameter
- A = matrix b (turunan parsial untuk tiap parameter)
- X = matriks koreksi parameter pada pendekatan awal
- L = matrix konstanta J dan K
- V = matrix kesalahan residual pada ukuran x dan y foto
DLT : widely used in photogrammetry Collinearity: traditional model in photogrammetry Interior and exterior orientations
and remote sensing (of one or several cameras) are
formulated differently by using a
projective configuration of the
Church’s method : orientation of a Coangularity: difficulty during condition setting camera geometric model
single image and determination of the condition setting
Vanishing points are used for
Simplified absolute orientation : camera orientation and calibration
Coplanarity : useful to determine the exterior
simple and can be used by non orientation elements of one camera relative to Approximate values of the
photogrammetrists the photo coordinate system of another transformation are not required
Gambar IV-33: Rangkuman metode hitungan EOP (Grussenmeyer & Khalil, 2002)
95
Pada sub bab ini secara khusus akan dibahas mengenai metode penyelesaian EOP dengan
menggunakan persamaan kolinear, mengingat persamaan ini merupakan yang paling banyak
dikenal dalam penyelesaian EOP. Berikut adalah tahapan untuk penentuan EOP dengan
menggunakan persamaan kolinear:
=0
=0
X0=Cx
Y0=Cy
𝑏
= tan-1𝑎
𝑍1 +𝑍2 +𝑍3 +⋯+𝑍𝑛
Zo = + .c
𝑛
dimana = √𝑎2 + 𝑏 2
4. Membentuk matriks R
𝑋1 𝑟11 𝑟12 𝑟13 𝑋1 − 𝑋0
[ 𝑌1 ] = 𝑟
[ 21 𝑟22 𝑟23 ] [ 𝑌1 − 𝑌0 ]
𝑍1 𝑟31 𝑟32 𝑟33 𝑍1 − 𝑍0
dimana
96
𝑋1
𝐹= [ ] koordinat foto
𝑌1
∆
∆
∆
𝑋 = ∆𝑥0
∆𝑦0
∆𝑧0
[ ]
Direct Georeferencing
97
Gambar IV-34: Direct vs Indirect georeferencing
Gambar IV-35: Satu unit UAV berikut instrumen untuk Direct Georeferencing
Pengolahan data pada direct georeferencing meliputi proses yang dikenal dengan istilah
sensor fusion. Integrasi data posisi, orientasi dan imaging sensor dilakukan melalui transformasi
koordinat antar sistem pada sensor serta integrase waktu. Sebagaimana yang telah dijelaskan
sebelumnya, terdapat dua macam integrasi sensor yang dapat dilakukan berdasarkan metode
pengolahan datanya, yaitu loosely coupled dan tightly coupled. Penggunaan direct
georeferencing untuk memperoleh posisi dan orientasi teliti pesawat seringkali melibatkan
metode hitungan yang disebut dengan Kalman Filtering.
99
Gambar IV-37: Sistem koordinat pada direct georeferencing
100
IV.D. Soal/Pertanyaan
2. Tulislah tahapan untuk menghitung EOP (exterior orientation parameters) dari suatu
foto udara bila diketahui 4 titik kontrol tanah?
3. Diketahui sepasang foto udara yang bertampalan. Koordinat pusat pemtretan foto kiri
adalah (1200 m, 500 m, 200 m) dan koordinat pusat pemotretan foto sebelah kanan
adalah (1600 m, 500 m, 300m). Bila diketahui koordinat foto titik P di foto kiri (10
mm,10mm) mm dan di foto knan (-5 mm,12mm). Tentukan koordinat tanah titik P?.
Panjang fokus kamera yang digunakan adalah 150 mm.
Dan Ablan, 2007, Digital Photography for 3D Imaging and Animation, Wiley Publishing,
Inc., Indianapolis, Indiana.
Edgar Falkner and Dennis Morgan, 2001, Aerial mapping methods and applications 2nd ed.,
CRC Press
Graham, R., 2002, Digital Aerial Survey Theory and Practice, Whitllles Publishing, CRC
Press, London.
Graham Slama, C.C., 1980, Manual of Photogrammetry - Fourth Edition, American Society
of Photogrammetry, Virginia, USA.
Grussenmeyer, P. & Al Khalil, O. 2002. Solutions for exterior orientation in photogrammetry,
a review. The photogrammetric record, an international journal of photogrammetry.
Accepted for publication, May 2002
Jie Shan and Charles K. Toth, 2009, Topographic Laser Ranging and Scanning - Principles
and Processing, Taylor & Francis Group, New York.
James S. Aber, Irene Marzolff, and, Johannes B. Ries, 2010, Small-Format Aerial
Photography Principles, Techniques and Geoscience Applications, Elsevier B.V.
Lillesand and Kiefer, 2000, Remote Sensing and Image Interpretation, Edisi ke-4, John Wiley
and Sons, New York.
101
Michel Kasser and Yves Egels, 2002, Digital Photogrammetry, Taylor & Francis Inc, New
York.
Paul R. Wolf, Ph.D, Bon A. Dewitt, Ph.D., and, Benjamin E. Wilkinson, Ph.D.,2014,
Elements of Photogrammetry with Applications in GIS, Fourth Edition, Mc. Graw
Hill, London.
Rainer Sandau, 2010, Digital Airborne Camera Introduction and Technology, Springer
Dordrecht, Heidelberg
Sanjib K. Gosh.,1979, Analytical Photogrammetry, Pergamon Press Inc., London.
T. Toutin, 2004, Review article: Geometric Processing of Remote Sensing Images: Models,
Algorithms and Methods, International Journal of Remote Sensing, Vol. 25, No. 10,
1893-1924.
Wilfried Linder, 2006, Digital Photogrammetry A Practical Course, Springer-Verlag, Berlin
Zhilin Li, Qing Zhu, and Chris Gold, 2004, Digital Terrain Modeling Principles and
Methodology, CRC Press, Florida
102
BAB V
KALIBRASI KAMERA
V.A.Tujuan Perkuliahan
Distorsi Lensa
Kondisi ideal dalam fotogrametri ialah ketika titik foto, titik obyek dan titik proyeksi
berada dalam satu garis lurus (kolinear). Namun kondisi ini tidak terjadi karena kamera
fotogrametri selalu memiliki lensa yang tidak sempurna (baik karena pengaruh suhu, mekanis,
dan lain sebagainya), sehingga proses perekaman yang dilakukan akan memiliki kesalahan.
Kesalahan berupa adanya berkas sinar yang tidak diproyeksikan lurus pada bidang foto disebut
dengan distorsi.
Distorsi lensa menyebabkan perubahan posisi suatu obyek pada foto udara terhadap
posisi sebenarnya. Hal ini menyebabkan kekeliruan posisi obyek secara spasial dan geometri.
Untuk memperoleh informasi spasial yang akurat, beberapa koreksi perlu dilakukan,
diantaranya kalibrasi kamera. Kalibrasi kamera dilakukan untuk menentukan besarnya
penyimpangan-penyimpangan yang terjadi. Kalibrasi kamera adalah suatu proses untuk
menentukan parameter orientasi dalam berikut distorsi lensa pada suatu kamera. Definisi yang
lebih lengkap mengenai pengertian kalibrasi diberikan oleh Slama (1980):
103
“(Calibration is) the act and process of determining certain specific measurements in
a camera or other instrument or device by comparison with a standard, for use in correcting
or compensating errors for purposes of record”
Kesalahan pada kamera dapat dijabarkan sebagai kesalahan pada Parameter Orientasi
Dalam kamera. Parameter orientasi dalam (interior orientation) menentukan geometri dalam
kamera, yaitu konstanta kamera, posisi principal point dan koreksi untuk distorsi lensa.
Parameter orientasi dalam antara lain:
a. Posisi principal point (xo, yo)
b. Fokus kamera (f)
c. Parameter distorsi radial (K1, K2, K3)
d. Parameter distorsi tangensial (P1, P2)
e. Parameter distorsi karena perbedaan skala (B1, B2)
104
Prosedur Kalibrasi Kamera
16
(Lanskap dan portrait)
105
Gambar V-4: Multikolimator
ii. Goniometer: Objek berupa pelat grid yang disinari dari belakang, grid ini kemudian
diproyeksikan melalui lensa kamera pada arah berlawanan. Sudut dimana sinar grid
yang timbul, diukur dengan goniometer. Besarnya panjang fokus ekivalen dan
distorsi radial lensa ditentukan dengan membandingkan sudut terukur sebenarnya
terhadap sudut yang benar menurut teori.
106
Gambar V-5: Contoh target kalibrasi kamera in situ
107
Gambar V-7: Hasil kalibrasi test field (2)
V.D. Soal/Pertanyaan
1. Apa saja elemen interior orientation yang dapat ditentukan melalui proses kalibrasi
kamera?
108
2. Pada proses kalibrasi kamera, salah satu parameter yang ditentukan adalah principal
point. Jelaskan apa yang anda ketahui tentang parameter tersebut
Edgar Falkner and Dennis Morgan, 2001, Aerial mapping methods and applications 2nd ed.,
CRC Press
Graham, R., 2002, Digital Aerial Survey Theory and Practice, Whitllles Publishing, CRC
Press, London.
Graham Slama, C.C., 1980, Manual of Photogrammetry - Fourth Edition, American Society
of Photogrammetry, Virginia, USA.
Grussenmeyer, P. & Al Khalil, O. 2002. Solutions for exterior orientation in photogrammetry,
a review. The photogrammetric record, an international journal of photogrammetry.
Accepted for publication, May 2002
James S. Aber, Irene Marzolff, and, Johannes B. Ries, 2010, Small-Format Aerial
Photography Principles, Techniques and Geoscience Applications, Elsevier B.V.
Lillesand and Kiefer, 2000, Remote Sensing and Image Interpretation, Edisi ke-4, John Wiley
and Sons, New York.
Michel Kasser and Yves Egels, 2002, Digital Photogrammetry, Taylor & Francis Inc, New
York.
Paul R. Wolf, Ph.D, Bon A. Dewitt, Ph.D., and, Benjamin E. Wilkinson, Ph.D.,2014,
Elements of Photogrammetry with Applications in GIS, Fourth Edition, Mc. Graw
Hill, London.
Rainer Sandau, 2010, Digital Airborne Camera Introduction and Technology, Springer
Dordrecht, Heidelberg
Sanjib K. Gosh.,1979, Analytical Photogrammetry, Pergamon Press Inc., London.
Wilfried Linder, 2006, Digital Photogrammetry A Practical Course, Springer-Verlag, Berlin
109
BAB VI
REKTIFIKASI FOTO 2D
VI.A.Tujuan Perkuliahan
Telah berlalu penjelasan mengenai proses triangulasi udara untuk menentukan posisi dan
orientasi pesawat pada penentuan parameter orientasi eksterior suatu pemetaan foto udara
(IV.B.6). Pembahasan mengenai triangulasi udara dan rektifikasi foto tidak terlepas dari
peranan titik control tanah (ground control points). Ground Control Points (GCP) dapat
didefinisikan sebagai titik atau fitur pada foto dimana koordinat dari titik tersebut pada suatu
sistem referensi tertentu diketahui. Sistem referensi yang menjadi acuan untuk titik control
tanah biasanya menggunakan sistem koordinat terproyeksi, misalnya UTM.
Berdasarkan sumbernya, titik control tanah dapat dibagi menjadi dua bagian:
a. Pre-mark, yaitu titik kontrol tanah yang disediakan sebelum pengukuran dilakukan,
baik dengan mengukur koordinat teliti suatu fitur tertentu yang dapat diidentifikasi pada foto
maupun dengan mempersiapkan target khusus yang akan terlihat pada saat pemotretan
b. Post-mark, titik control yang diukur setelah proses pemetaan melalui foto udara
selesai dilakukan. Dengan kondisi ini, postmark biasanya berbentuk fitur yang mudah
110
diidentifikasi pada foto sehingga dapat dilakukan pengukuran koordinat teliti untuk digunakan
sebagai titik control tanah. Post-mark GCP disebut juga dengan istilah Photo Identifiable
Points.
Gambar VI-2: Pengukuran Ground Control Point, Foto Kiri: Premark; Foto Kanan: Postmark
Ketersediaan, kualitas dan distribusi titik-titik ground control points ini sangat
menentukan hasil dari pemetaan dengan foto udara yang dilakukan. Apabila GCP yang
digunakan memiliki ketelitian yang kurang baik, maka akan berakibat pada hasil triangulasi
udara yang menghasilkan kesalahan yang besar pula. Demikian pula apabila distibusi titik
control tanah kurang merata pada Area of Interest (daerah yang dipetakan), maka akan
menyebabkan hasil triangulasi udara dan pemrosesan foto udara secara keseluruhan yang
kurang baik. Secara umum, beberapa hal yang perlu diperhatikan selama pemasangan GCP
untuk foto udara antara lain:
a. Memilih atau menempatkan GCP pada lokasi yang akan mudah diidentifikasi pada
foto udara dengan resolusi yang diharapkan pada saat pengolahan data
b. Sebisa mungkin, memasang atau memilih GCP pada fitur yang berada pada level
tanah (ground level). Hindari pemasangan pada bagian atas bangunan yang tinggi,
karena boleh jadi terdapat kemiringan bangunan sehingga koordinat tanah dan
koordinat bagian atas bangunan berbeda.
c. Untuk postmark, hindari penggunaan bayangan sebagai GCP. Bayangan pada satu
foto belum tentu memiliki koordinat yang sama dengan bayangan pada foto yang
lain
111
d. Berhati-hati pada saat pemilihan GCP pada fitur yang berulang, misalnya garis
pembagi jalan raya, untuk menghindari kesalahan pemilihan objek pada foto
e. Pilih GCP dengan variasi area dan ketinggian menyebar pada seluruh daerah yang
dipetakan
f. Apabila memungkinkan, pilih GCP pada daerah pertampalan antara dua buah foto.
Hal ini akan membantu proses triangulasi udara untuk menghasilkan model yang
lebih akurat.
112
Rektifikasi Foto Udara
Rektifikasi merupakan proses untuk memproyeksikan ulang foto yang miring (tilted
atau oblique) pada bidang horizontal atau bidang datar. Rektifikasi dilakukan dengan
menerapkan inverse dari transformasi proyektif pada nilai piksel yang terdapat pada citra.
Sejumlah titik yang diketahui pada kedua koordinat (koordinat fiducial pada foto dan koordinat
bidang datar) diperlukan untuk menyelesaikan persamaan transformasi proyektif. Sebagai
pengingat, persamaan transformasi proyektif yang digunakan adalah:
Dengan X dan Y adalah koordinat tanah (GCP) serta x dan y adalah koordinat foto serta
a, b, c adalah kedelapan parameter transformasi proyektif. Dengan empat buah titik control,
maka persamaan ini akan dapat diselesaikan sehingga seluruh foto dapat ditransformasi pada
bidang datar.
Gambar VI-6: Georektifikasi. a) Foto miring yang belum tergeoreferensi, b) foto tergeorektifikasi
114
Gambar VI-7: Rektifikasi foto oblique
Resampling
Dalam rektifikasi, terjadi suatu proses yang sangat menentukan hasil akhir dari
rektifikasi yang dilakukan. Proses tersebut dikenal dengan istilah resampling. Resampling
merupakan suatu metode atau algoritma yang digunakan untuk memetakan nilai piksel pada
suatu raster menjadi nilai piksel di raster yang lain. Resampling dilakukan pada raster pada saat
terjadi perubahan resolusi raster (misalnya: menyimpan raster dengan resolusi lebih rendah),
terjadi transformasi koordinat (misalnya pada saat proses georeferencing), dan lain sebagainya.
Dalam fotogrametri dimana data yang diolah merupakan data raster, resampling merupakan
salah satu konsep mendasar yang perlu dipahami.
115
Gambar VI-8 menunjukkan mengenai contoh penerapan resampling, dalam hal ini pada
operasi perubahan resolusi raster. Untuk membuat sebuah raster baru (raster bagian bawah di
kedua gambar), maka nilai piksel pada raster lama (raster bagian atas gambar) perlu dipetakan
untuk mengisi nilai raster baru tersebut. Proses pemetaan nilai raster lama ke raster baru inilah
yang disebut dengan resampling.
Berdasarkan metode yang digunakan untuk memetakan nilai raster lama ke raster baru
tersebut, terdapat beberapa jenis resampling. Dari berbagai jenis algoritma resampling tersebut,
terdapat tiga jenis yang paling sering digunakan, yaitu nearest neighbor, bilinear dan bicubic.
Penjelasannya adalah sebagai berikut:
a. Nearest Neighbour
Nearest neighbor merupakan metode yang paling sederhana dibandingkan dengan yang
lain. Pada metode nearest neighbor, nilai piksel pada raster baru diambil dari nilai piksel
raster lama yang posisi pusat pikselnya paling dekat dengan posisi piksel baru tersebut.
Sebagai contoh, pada Gambar VI-10, nilai piksel dari raster lama (ditunjukkan oleh garis
putus-putus) dipetakan ke nilai piksel pada raster yang baru (ditunjukkan oleh garis
bersambung). Nilai piksel pada daerah yang diarsir (arsiran terang) di raster yang baru
diambil begitu saja dari nilai piksel raster lama yang memiliki lokasi paling dekat dengan
piksel tersebut (arsiran gelap). Inilah yang menyebabkan algoritma ini disebut dengan
nearest neighbor. Apabila jarak pada nilai piksel terdekat terdiri dari angka decimal (missal
116
untuk analisis sub-piksel), maka akan dilakukan pembulatan nilai jarak untuk mengetahui
posisi piksel yang mana yang paling tepat untuk digunakan sebagai pengisi.
Penerapan interpolasi nearest neighbor untuk resampling akan menghasilkan raster yang
bergerigi dan tajam, berbeda dengan hasil dari interpolasi bilinear dan bicubic. Pada
interpolasi nearest neighbor ini tidak ada perubahan atau penambahan nilai piksel baru.
Dengan sifatnya yang hanya memilih nilai piksel lama untuk dipetakan ke nilai piksel baru,
jenis interpolasi ini cocok untuk diterapkan pada data yang bersifat kategori.
Gambar VI-11: Contoh pemetaan nilai piksel dari raster lama (tabel nilai) ke raster baru
(diarsir)
Apabila diberikan data seperti pada Gambar VI-11, maka untuk nilai piksel target (diarsir
pada gambar) dapat diperoleh dari piksel dengan lokasi terdekat pada pusat piksel arsira
tersebut. Apabila diketahui piksel terarsir memiliki koordinat baris dan kolom: 619.71 dan
493.39, maka posisi terdekat terhadap titik tersebut diperoleh melalui pembulatan nilai
yang diberikan sehingga menjadi: 620 dan 493. Piksel dengan koordinat ini pada raster
lama memiliki nilai 56, sehingga nilai piksel baru adalah 56.
117
b. Bilinear
Interpolasi bilinear diterapkan dengan cara memilih empat buah nilai piksel terdekat
dengan piksel target, kemudian menerapkan interpolasi linier pada dua arah sekaligus. Pada
proses interpolasi dengan metode bilinear, terdapat perubahan nilai piksel, yaitu bisa saja
piksel yang terdapat pada raster baru memiliki nilai piksel yang berbeda dengan nilai pada
raster awal.
Pada interpolasi ini (Gambar VI-12), empat buah piksel terdekat pada raster lama (arsir
gelap) digunakan untuk menyusun nilai piksel pada raster baru (arsir terang) yang
berdekatan. Apabila diberikan contoh sebagaimana Gambar VI-11, maka hitungan untuk
nilai DN (piksel baru) adalah sebagai berikut:
Kedua nilai DN tersebut merupakan interpolasi linear pada masing-masing dua nilai piksel
yang berdekatan dengan nilai piksel DN. Selanjutnya adalah melakukan interpolasi antara
kedua nilai tersebut:
Dengan demikian, nilai piksel pada raster target adalah DN = 59.25 atau dibulatkan
menjadi 59. Perlu diperhatikan bahwa nilai ini berbeda dengan nilai yang diperoleh melalui
metode nearest neighbor, yaitu 56.
118
c. Bicubic
Metode bicubic (disebut juga metode cubic convolution) merupakan metode selanjutnya
dari ketiga metode ini, disamping merupakan yang paling rumit. Metode bicubic dilakukan
dengan menerapkan fungsi kurva tertentu pada piksel di sekeliling nilai piksel yang dicari.
Hasil interpolasi metode bicubic ini lebih ‘halus’ jika dibandingkan dengan metode nearest
neighbor atau bilinear.
Proses hitungan metode bicubic dilakukan sama sepeti pada metode bilinear, yaitu hitungan
per baris piksel, baru kemudian dilanjutkan dengan hitungan per kolom. Sebagai contoh,
apabila diterapkan fungsi berikut untuk menyelesaikan hitungan nilai piksel pada Gambar
VI-11:
Maka hitungan tersebut dapat dinyatakan dalam bentuk matriks sebagai berikut:
119
Dimana R dan C mewakili koefisien pada persamaan yang digunakan, sedangkan matriks
D berisi nilai piksel pada 4 x 4 piksel yang terletak berdekatan dengan nilai piksel target.
Apabila digunakan nilai a = -0.5 sebagai nilai kemiringan kurva, maka matriks R dapat
dihitung sebagai:
Dengan cara yang sama dapat dihitung nilai matriks C (nilai slope a = -0.5) sebagai berikut:
Berdasarkan persamaan matriks sebelumnya serta nilai R dan C, maka dapat dihitung nilai
piksel baru sebagai:
Dengan demikian, nilai piksel baru apabila menggunakan metode bicubic interpolation
adalah 60.66 atau dibulatkan menjadi 61. Nilai ini memiliki perbedaan dengan nilai pada
nearest neighbor maupun bilinear.
120
Dari ketiga metode tersebut di atas, metode nearest neighbor merupakan metode yang
memiliki kecepatan pemrosesan yang paling tinggi. Hal ini karena kesederhanaan fungsi yang
digunakan. Keuntungan dari metode ini adalah bahwa data yang digunakan tidak mengalami
modifikasi, sehingga sesuai untuk digunakan pada kasus resampling foto atau citra dimana nilai
piksel yang ada berpengaruh pada saat identifikasi citra maupun klasifikasi objek. Meskipun
demikian, karena pada interpolasi ini tidak dilakukan interpolasi kontinyu, hasil dari nearest
neighbor akan tampak ‘bergerigi’.
Adapun keuntungan untuk interpolasi bilinear adalah hasil interpolasi yang tampak
lebih halus dibandingkan dengan interpolasi nearest neighbor. Hasil dari interpolasi ini akan
mengaburkan tepi suatu piksel dengan nilai yang sangat kontras serta mengabaikan beberapa
piksel dengan nilai filter yang tinggi. Dari sisi kecepatan pemrosesan, bilinear berada diantara
kesederhanaan fungsi nearest neighbor serta kompleksitas fungsi bicubic, sehingga waktu
pemrosesannya pun berada diantara kedua fungsi tersebut.
Pada interpolasi bicubic, hasil yang diberikan adalah yang paling halus dibandingkan
dengan kedua jenis interpolasi yang telah disebutkan. Bicubic diterapkan dengan mengamati
trend atau kecenderungan pada data nilai piksel yang ada. Hal ini akan membantu membuat
hasil resampling yang halus dan sesuai dengan nilai piksel awal. Meskipun demikian, hasil dari
bicubic ini memakan waktu pemrosesan yang paling lama dibandingkan dengan kedua metode
lain.
Gambar VI-14: Perbandingan ketiga metode resampling: Nearest Neighbor, Bilinear, Bicubic
121
VI.C. Contoh Soal dan Jawaban
VI.D. Soal/Pertanyaan
1. Diketahui sepasang foto udara yang bertampalan. Koordinat pusat pemtretan foto kiri
adalah (1200 m, 500 m, 200 m) dan koordinat pusat pemotretan foto sebelah kanan
adalah (1600 m, 500 m, 300m). Bila diketahui koordinat foto titik P di foto kiri (10
mm,10mm) mm dan di foto knan (-5 mm,12mm). Tentukan koordinat tanah titik P?.
Panjang fokus kamera yang digunakan adalah 150 mm.
2. Gambar berikut menunjukkan hubungan antara titik di tanah P(X,Y,Z), titik hasil
rekamannya di foto P’ (ξ,η) dan titik pusat proyeksi O(Xo,Yo,Zo). Bagaimana cara
memperoleh kootdinat titik P’ tersebut ? Ingat hubungan antara sistem koordinat pixel,
sistem koordinat mesin, sistem koordinat fidusial, dan sistem koodinat foto
122
3. Pada gambar di atas, titik O dan titik P harus berada dalam satu sistem koordinat tanah.
Sebutkan beberapa sistem koordinat tanah yang saudara ketahui !. Jika peta yang akan
dibuat diperuntukkan bagi Instansi Badan Pertanahan Nasional, sistem koodinat apa
yang akan digunakan ?
Anonym, 2010, SNI 6502.2-2010 Spesifikasi penyajian peta rupa bumi 25.000, Badan
Standarisasi Nasional, Jakarta
Dan Ablan, 2007, Digital Photography for 3D Imaging and Animation, Wiley Publishing,
Inc., Indianapolis, Indiana.
Edgar Falkner and Dennis Morgan, 2001, Aerial mapping methods and applications 2nd ed.,
CRC Press
Graham, R., 2002, Digital Aerial Survey Theory and Practice, Whitllles Publishing, CRC
Press, London.
Graham Slama, C.C., 1980, Manual of Photogrammetry - Fourth Edition, American Society
of Photogrammetry, Virginia, USA.
Jie Shan and Charles K. Toth, 2009, Topographic Laser Ranging and Scanning - Principles
and Processing, Taylor & Francis Group, New York.
James S. Aber, Irene Marzolff, and, Johannes B. Ries, 2010, Small-Format Aerial
Photography Principles, Techniques and Geoscience Applications, Elsevier B.V.
Lillesand and Kiefer, 2000, Remote Sensing and Image Interpretation, Edisi ke-4, John Wiley
and Sons, New York.
Michel Kasser and Yves Egels, 2002, Digital Photogrammetry, Taylor & Francis Inc, New
York.
Paul R. Wolf, Ph.D, Bon A. Dewitt, Ph.D., and, Benjamin E. Wilkinson, Ph.D.,2014,
Elements of Photogrammetry with Applications in GIS, Fourth Edition, Mc. Graw
Hill, London.
Rainer Sandau, 2010, Digital Airborne Camera Introduction and Technology, Springer
Dordrecht, Heidelberg
Sanjib K. Gosh.,1979, Analytical Photogrammetry, Pergamon Press Inc., London.
123
T. Toutin, 2004, Review article: Geometric Processing of Remote Sensing Images: Models,
Algorithms and Methods, International Journal of Remote Sensing, Vol. 25, No. 10,
1893-1924.
Wilfried Linder, 2006, Digital Photogrammetry A Practical Course, Springer-Verlag, Berlin
Zhilin Li, Qing Zhu, and Chris Gold, 2004, Digital Terrain Modeling Principles and
Methodology, CRC Press, Florida
124
BAB VII
STEREOPLOTTING DAN RESTITUSI FOTO UDARA
VII.A.Tujuan Perkuliahan
Mahasiswa mampu menjelaskan tentang Geometri Citra Foto Udara Stereo dan Bundle
Block Adjustment.
Stereo Vision
Fotogrametri bekerja di atas prinsip yang sama seperti sistem penglihatan manusia. Untuk
itu pada sub-bab ini akan dibahas mengenai konsep stereo vision dan aplikasinya pada bidang
fotogrametri.
Mata manusia bekerja dengan prinsip yang sama seperti cara kerja pinhole camera pada
bagian awal buku ini. Berkas sinar yang datang dari luar diterima oleh kornea yang meneruskan
sinar yang datang ke lensa mata melalui pupil. Pupil berfungsi sebagai pengatur banyak-
sedikitnya cahaya yang masuk ke dalam lensa mata. Retina merupakan benda semi-cair yang
berfungsi untuk meneruskan berkas sinar yang datang dengna mengikuti hukum Snell menuju
ke sensor mata dalam bentuk kerucut-kerucut fovea yang kemudian meneruskan informasi
tersebut ke otak melalui jaringan syaraf mata.
Lensa mata bersifat biconvex atau cembung pada kedua sisinya. Lensa ini dibungkus oleh
jaringan otot yang kuat, yang dapat mengatur kecembungan lensa. Hal ini mengakibatkan
125
perubahan panjang fokus pada mata sehingga mata dapat difokuskan pada objek tertentu pada
jarak yang berbeda. Kemampuan mata dalam memfokuskan pandangan pada objek yang
berbeda-beda jaraknya ini disebut dengan kemampuan akomodasi mata.
Dengan dua buah mata (sering disebut dengan istilah binocular vision), kedua mata
memfokuskan pada objek yang sama pada jarak atau ‘kedalaman’ tertentu. Kedua berkas sinar
pada mata ini berpotongan pada satu titik dan membentuk sebuah sudut yang disebut dengan
sudut paralaktik (parallactic angle). Semakin dekat jarak suatu objek dari mata, semakin besar
sudut paralaktik yang terbentuk. Kedua mata manusia terpisah satu sama lain pada suatu jarak
tetap yang disebut dengan eye base (jarak basis mata) yang memiliki jarak antara 63 – 69 mm.
Pada Gambar VII-2, mata terfokus pada objek A dan B yang memiliki jarak yang berbeda dari
mata. Perbedaan persepsi kedalaman antara titik A (DA) dan titik B (DB) disebut dengan istilah
depth perception. Konsep inilah yang kemudian digunakan dalam fotogrametri untuk
membentuk kedalaman objek sehingga posisi objek di permukaan bumi dapat diketahui
koordinat 3D-nya.
126
Gambar VII-3: Konsep foto stereo pada fotogrammetry
Setiap pekerjaan fotogrametri memerlukan suatu perencanaan atas daerah overlap, yaitu
daerah yang dapat dicakup oleh dua buah foto yang saling berpasangan (stereopair) pada satu
jalur terbang. Adanya daerah overlap ini sangat menentukan kesuksesan dari hasil akhir dari
suatu proyek pemetaan fotogrametri. Pada sub-bab ini akan dibahas mengenai geometri citra
stereo dan restitusi foto udara menggunakan bundle block adjustment.
B C
P
A D
Gambar VII-4: Geometri foto udara tegak (dari Wolf, 1983)
127
Foto udara yang dibuat dari pesawat terbang dengan arah sumbu optik kamera tegak lurus
atau sangat mendekati tegak lurus disebut foto udara tegak. Meskipun telah diusahakan dengan
hati-hati agar sumbu kamera tetap tegak lurus, tetapi adanya kesendengan (tilt) kecil masih
dapat terjadi. Bagaimanapun juga, foto udara yang dianggap tegak lurus tersebut, biasanya
mempunyai kesendengan (kemiringan) kurang dari 1o dan jarang yang melebihi 3o. Foto udara
yang mengandung kesendengan kecil tak tersengaja semacam ini disebut foto udara sendeng
(tilted photograph).
Sepasang foto udara tegak membentuk geometri yang diperlukan untuk menyelesaikan
parameter IOP dan EOP serta posisi titik-titik di atas tanah dalam koordinat 3D terproyeksi.
Pada Gambar VII-5, persepsi kedalaman pada foto dibentuk oleh adanya titik A dan B yang
memiliki kedalaman atau jarak yang berbeda dari kedua pusat proyeksi dari kedua posisi
pasangan foto stereo. Dengan mengetahui besarnya pergeseran parallax stereoskopis dari
pasangan foto ini, kedalaman kedua objek, atau dengan kata lain ketinggian bangunan AB,
dapat dicari dengan teliti.
128
Paralaks stereoskopis merupakan perbedaan posisi bayangan sebuah titik pada dua buah
foto yang bertampalan karena perubahan posisi kamera dengan melihat obyek secara stereo
maka suatu obyek dapat dilihat secara simultan dari dua perspektif yang berbeda, seperti foto
udara yang diambil dari kedudukan kamera yang berbeda untuk memperoleh kesan 3D. Untuk
dapat menghasilkan ketinggian tepat pada permukaan obyek maka syarat yang harus dipenuhi
ialah besarnya paralaks-X dan paralaks-Y sama dengan nol atau mendekati nol. Besar paralaks
dapat dieliminir dengan mengetahui parameter orientasi luar untuk masing-masing foto.
P
a1 a1’ b2 a2
P1 P2
c
B
O1 O2
A
C
T1
ΔH B
T2
Gambar di atas adalah sebagian pandangan untuk menunjukkan keadaan pengambilan set
foto-foto nadir pada tinggi terbang yang sama. Jarak antara pusat persepektif O1 dan O2 disebut
panjang basis udara. Paralaks titik A dinyatakan dengan persamaan (I.13) sebagai berikut.
̅̅̅̅̅̅
′
𝑝𝑥 = 𝑎 1 𝑎2 ………………..……………………………………………………...(1.13)
Persamaan (1.15) memberikan hubungan antara paralaks 𝑝𝑥 dan jarak H dari kamera ke
permukaan tanah.
Menurut Wolf (1980), paralaks titik dapat diukur pada saat mengamati secara
stereoskopik. Pengukuran stereoskopik paralaks menggunakan asas floating mark atau tanda
apung. Bila model stereo diamati dengan stereoskop, dua tanda titik yang digoreskan pada kaca
bening disebut tanda tengahan (half marks) dapat diletakkan di atas foto, satu di atas foto kiri
dan lainnya di atas foto kanan.
129
Gambar VII-7: Melihat stereo melalui stereoskop
Tanda kiri diamati dengan mata kiri dan tanda kanan diamati dengan mata kanan. Tanda
tengahan dapat digeser posisinya hingga keduanya menyatu menjadi satu yang tampak pada
model stereo dan terletak pada ketinggian tertentu. Bila dua tanda tengahan diletakkan saling
mendekat, paralaks tanda tengahan bertambah besar dan tanda yang menyatu tampak lebih
tinggi. Sebaliknya, kalau dua tanda digeser menjauh maka paralaksnya menjadi semakin kecil,
dua tanda yang menyatu tampak menurun. Perbedaan tampak ketinggian tanda sesuai dengan
jarak tengahan yang berbeda-beda merupakan dasar bagi istilah “tanda apung/floating mark”.
130
Gambar VII-9: Pengukuran tinggi dengan perbedaan parallax
Gambar berikut merupakan ilustrasi posisi floating mark pada software secara digital
(Melasari 2014), sebagai berikut:
Overlap dan Sidelap suatu Blok Foto, Tie Point dan GCP.
Sebagaimana disebutkan pada awal bab ini, pembentukan model 3D pada fotogrametri
mensyaratkan adanya overlap atau pertampalan pada satu pasangan foto udara. Pada suatu
proyek fotogrametri, besarnya pertampalan atau overlap pada pasangan foto udara ini dibuat
pada saat perencanaan jalur terbang untuk pekerjaan pemetaan udara.
131
Gambar VII-11: Konfigurasi overlap dan sidelap
Overlap merupakan pertampalan pasangan foto stereo yang sejajar dengan arah terbang
pesawat. Adapun sidelap merupakan pertampalan pada arah lateral atau antar jalur terbang foto. Pada
perencanaan jalur terbang pesawat, overlap biasanya dibuat sebesar 60%, sedangkan sidelap dibuat
antara 20-40% (lihat Gambar VII-12).
Perencanaan jalur terbang dengan mempertimbangkan besaran overlap dan sidelap ini disebut
dengan istilah Block setup. Perkembangan teknologi kamera digital menyebabkan pemotretan yang
dapat dilakukan dengan nilai pertampalan yang sangat besar. Penggunaan kamera digital
132
memungkinkan kamera agar dapat diambil dengan rentang waktu eksposur dan jarak basis yang lebih
yang lebih pendek. Oleh karena itu, block setup pada proyek pemetaan udara modern seringkali diatur
agar memiliki overlap hingga 80% dan sidelap hingga 60% (lihat Gambar VII-13).
Gambar VII-13: Block setup, perencanaan jalur terbang sesuai dengan persyaratan overlap dan sidelap
Perencanaan jalur terbang ini selain terkait dengan rencana overlap dan sidelap pada
pekerjaan fotogrametri, terkait juga dengan perencanaan tie point serta GCP (Ground Control
Points). Pembahasan mengenai GCP telah berlalu pada bab sebelumnya, sedangkan mengenai
tie point dan check point adalah sebagai berikut:
Tie Point:
- Berfungsi untuk mengikatkan foto-foto yang saling bertampalan
- Terdefinisi dan terlihat dengan jelas pada foto
- Koordinat tie point ditentukan dengan perataan fotogrametrik
Check Points:
- Titik yang memiliki koordinat tanah hasil pengukuran geodetic
- Sebagai pembanding koordinat secara fotogrametrik dan geodetik serta mengukur
kualitas perataan fotogrametrik
Control Points:
- Titik yang memiliki koordinat tanah dari hasil pengukuran geodetic
- Digunakan untuk mendefinisikan datum melalui posisi origin (X,Y, Z), orientasi dari
masing-masing komponen origin, dan skala
- Minimal dibutuhkan tiga titik kontrol
133
Gambar VII-14: GCP, Check points dan tie points
Tie Points memiliki peranan penting dalam terbentuknya model tiga dimensi dari suatu
rangkaian pertampalan foto udara. Kerapatan tie points pada gilirannya akan menentukan
seberapa detil pembentukan model 3D dari pasangan foto udara yang bertampalan. Pada
fotogrametri analitik, pencarian tie points dilakukan secara manual dengan menentukan
perpotongan berkas sinar dari sepasang foto udara melalui proses triangulasi udara yang telah
dijelaskan di bab sebelumnya. Perkembangan teknologi merevolusi proses pengolahan foto
udara, termasuk dalam penentuan tie point pada pasangan foto. Dalam perkembangannya,
penentuan tie point dan pemasangannya (matching) dilakukan secara otomatis melalui proses
automatic tie point matching. Pembahasan mengenai hal ini akan diberikan pada Bab IX.
134
b. berkas sinar diusahakan sebisa mungkin untuk melewati titik control tanah.
Perataan pada blok foto umumnya menggunakan metode kuadrat terkecil dimana harus
diidentifikasi:
a. Paramater yang tidak diketahui/unknown parameters
- Koordinat tanah dari tie point (titik yang muncul lebih dari satu foto)
- Parameter orientasi dalam (IOP)
- Parameter orientasi luar (EOP) untuk kalibrasi kamera
b. Parameter yang diamati/observable quantities
- Koordinat foto/piksel dari tie point
- Koordinat tanah dari titik cek/ control point
- Parameter orientasi dalam (IOP) pada spesifikasi/sertifikat kalibrasi kamera
- Parameter orientasi luar (EOP) pada GPS/INS pada wahana pemotretan
c. Hubungan matematis antara parameter yang tidak diketahui dan parameter yang
diamati
Dalam bentuk persamaan, algoritma bundle adjustment ini dapat dibentuk sebagai
berikut:
135
Hal yang perlu diingat ialah, jumlah persamaan > jumlah parameter.
136
VII.C. Contoh Soal dan Jawaban
VII.D. Soal/Pertanyaan
137
Dimana:
Tie point
Titik kontrol tinggi dan planimetris
Titik kontrol tinggi
Titik kontrol planimetris
Susunlah matrik persamaan normalnya bila akan dilakukan bundle block adjustment!
Edgar Falkner and Dennis Morgan, 2001, Aerial mapping methods and applications 2nd ed.,
CRC Press
Graham, R., 2002, Digital Aerial Survey Theory and Practice, Whitllles Publishing, CRC
Press, London.
Graham Slama, C.C., 1980, Manual of Photogrammetry - Fourth Edition, American Society
of Photogrammetry, Virginia, USA.
Jie Shan and Charles K. Toth, 2009, Topographic Laser Ranging and Scanning - Principles
and Processing, Taylor & Francis Group, New York.
James S. Aber, Irene Marzolff, and, Johannes B. Ries, 2010, Small-Format Aerial
Photography Principles, Techniques and Geoscience Applications, Elsevier B.V.
Lillesand and Kiefer, 2000, Remote Sensing and Image Interpretation, Edisi ke-4, John Wiley
and Sons, New York.
Michel Kasser and Yves Egels, 2002, Digital Photogrammetry, Taylor & Francis Inc, New
York.
Paul R. Wolf, Ph.D, Bon A. Dewitt, Ph.D., and, Benjamin E. Wilkinson, Ph.D.,2014,
Elements of Photogrammetry with Applications in GIS, Fourth Edition, Mc. Graw
Hill, London.
Rainer Sandau, 2010, Digital Airborne Camera Introduction and Technology, Springer
Dordrecht, Heidelberg
Sanjib K. Gosh.,1979, Analytical Photogrammetry, Pergamon Press Inc., London.
T. Toutin, 2004, Review article: Geometric Processing of Remote Sensing Images: Models,
Algorithms and Methods, International Journal of Remote Sensing, Vol. 25, No. 10,
1893-1924.
Wilfried Linder, 2006, Digital Photogrammetry A Practical Course, Springer-Verlag, Berlin
Zhilin Li, Qing Zhu, and Chris Gold, 2004, Digital Terrain Modeling Principles and
Methodology, CRC Press, Florida
138
BAB VIII
REKTIFIKASI ORTHO (3D) DAN PEMBUATAN MOSAIK FOTO
VIII.A.Tujuan Perkuliahan
Mahasiswa mampu menjelaskan tentang citra rektifikasi ortho (3D) dan mosaic foto udara.
Konsep Orthorektifikasi
Pada Bab IV.B.1, telah dibahas mengenai proyeksi sentral pada foto udara. Berkaitan
dengan tujuan fotogrametri untuk membuat peta, maka perlu dilakukan suatu proses untuk
‘menegakkan’ sekumpulan foto yang diperoleh agar masing-masing foto memiliki proyeksi
tegak sebagaimana pada peta. Gambar
Untuk mendapatkan peta (dengan proyeksi orthogonal) dari serangkaian foto yang
masing-masing memiliki proyeksi sentral, maka diperlukan metode pengolahan yang tidak
hanya melibatkan titik kontrol tanah untuk georektifikasi, tetapi juga memerlukan metode
transformasi yang dapat mengkoreksi adanya kesalahan akibat adanya relief displacement.
Untuk memahami proses yang diperlukan, perlu diberikan penjelasan mengenai beberapa
perbedaan antara peta dan foto sebagaimana pada tabel berikut:
139
Tabel VIII-1: Perbandingan Peta dan Foto Udara
Untuk mendapatkan orthofoto dari serangkaian foto yang memiliki proyeksi sentral,
dilakukan suatu proses yang disebut dengan differential rectification. Proses ini digunakan
untuk menghilangkan distorsi akibat kemiringan sensor terhadap sumbu tegak (tilt error) serta
distorsi akibat adanya relief pada terrain. Proses ini serta persamaan yang digunakan pada
dasarnya memiliki bentuk yang sama seperti pada persamaan rektifikasi di VI.B.2.
Perbedaannya adalah apabila persamaan sebelumnya digunakan untuk satu foto, maka pada
pembentukan orthophoto persamaan ini diterapkan pada tiap piksel yang terdapat pada foto
tersebut.
Gambar VIII-2: Proses differential rectification untuk menghasilkan orthophoto dari DEM
140
Dengan demikian, sebuah proses orthophoto memerlukan data DEM/DTM dalam
format raster sebagai masukan. Data DEM ini diproses menggunakan persamaan kolinear untuk
menentukan posisi koordinat tanah (X, Y, Z) tiap piksel pada koordinat raster DEM. Fungsi
persamaan kolinear ini kemudian diulang hingga seluruh piksel telah diberikan koordinat.
Karena hal inilah proses rektifikasi ini disebut dengan rektifikasi differensial.
Orthophoto yang dibentuk dari DEM ini disebut dengan normal orthophoto atau ground
orthophoto. Orthofoto normal mengkoreksi kesalahan relief akibat adanya variasi terrain
sehingga objek pada foto telah berada pada posisi yang benar. Meskipun demikian, normal
orthophoto belum mengkoreksi adanya pengaruh kemiringan objek-objek yang tinggi semisal
gedung. Untuk dapat memperoleh true orthophoto diperlukan data DSM (Digital Surface
Model) yang menampilkan ketinggian bangunan dan objek tinggi lainnya sehingga koreksi
kemiringan bangunan dapat dilakukan. Data DSM teliti dapat diperoleh misalnya dari survey
LiDAR (Light Detection and Ranging).
141
Single Frame Orthorectification
Gambar VIII-5: Single frame orthorectification memerukan setidaknya tiga buah GCP untuk tiap foto
Mosaik Orthophoto
Salah satu produk akhir dari fotogrametri adalah mosaic foto udara. Mosaic merupakan
gabungan dari keseluruhan foto menjadi satu kesatuan gambar yang saling terhubung satu
dengan yang lain. Dengan kata lain, mosaic merupakan suatu susunan dari dua atau lebih foto
142
udara bertampalan yang membentuk satu gambaran tunggal pada daerah yang dipetakan.
Konsep sederhana dari mosaic ini dibentuk dengan memotong dan menggabungkan foto pada
bagian yang sesuai sehingga berbagai foto yang bertampalan dapat membentuk satu kesatuan.
Gambar VIII-6: Dari serangkaian foto udara yang saling bertampalan dapat dibuat mosaic foto udara
143
di lapangan. Mosaic orthophoto dibuat melalui penggabungan orthophoto pada pembahasan
sebelumnya menggunakan data DEM dan GCP untuk koreksi kesalahan akibat variasi terrain
(relief). Mosaic orthophoto dibentuk melalui proses differential rectification yang mengkoreksi
kesalahan variasi terrain, kemiringan platform dan pengaruh ketinggian sehingga dibentuk foto
udara yang membentuk satu kesatuan pada daerah yang dipetakan.
Gambar VIII-7: Menggabungkan beberapa frame orthorectified photo menjadi mosaic orthophoto
Suatu foto udara memiliki variasi hasil pemotretan pada tiap eksposure. Perbedaan
kecerahan, kontras dan tingkat warna antara satu foto dengan foto yang lain merupakan suatu
hal yang tidak dapat dihindari pada saat pemotretan. Apabila pasangan foto yang memiliki
perbedaan kontras ini dibuat menjadi mosaic (semisal mosaic tidak terkontrol) maka akan
menghasilkan mosaic foto yang tidak seamless, karena batas antar foto masih dapat terlihat
dengan jelas. Proses color balancing dilakukan untuk memperhalus penggabungan batas antar
foto dan tingkat warna pada foto itu sendiri sehingga pada saat dibentuk menjadi mosaic foto
akan dihasilkan produk mosaic yang seamless.
144
Gambar VIII-8: Seamless mosaic orthophoto melalui proses color balancing
Dari mosaic foto udara yang telah terbentuk kemudian dapat diproses lebih lanjut untuk
keperluan visualisasi dan analisis. Mosaic orthophoto yang telah dibuat kemudian dapat
‘ditempelkan’ pada sebuah DEM untuk menghasilkan tampilan tiga dimensi dari lokasi yang
dipetakan. Proses penempelan foto pada terrain ini disebut dengan draping.
145
VIII.C. Contoh Soal dan Jawaban
VIII.D. Soal/Pertanyaan
146
Graham, R., 2002, Digital Aerial Survey Theory and Practice, Whitllles Publishing, CRC
Press, London.
Graham Slama, C.C., 1980, Manual of Photogrammetry - Fourth Edition, American Society
of Photogrammetry, Virginia, USA.
Jie Shan and Charles K. Toth, 2009, Topographic Laser Ranging and Scanning - Principles
and Processing, Taylor & Francis Group, New York.
James S. Aber, Irene Marzolff, and, Johannes B. Ries, 2010, Small-Format Aerial
Photography Principles, Techniques and Geoscience Applications, Elsevier B.V.
Lillesand and Kiefer, 2000, Remote Sensing and Image Interpretation, Edisi ke-4, John Wiley
and Sons, New York.
Michel Kasser and Yves Egels, 2002, Digital Photogrammetry, Taylor & Francis Inc, New
York.
Paul R. Wolf, Ph.D, Bon A. Dewitt, Ph.D., and, Benjamin E. Wilkinson, Ph.D.,2014,
Elements of Photogrammetry with Applications in GIS, Fourth Edition, Mc. Graw
Hill, London.
Rainer Sandau, 2010, Digital Airborne Camera Introduction and Technology, Springer
Dordrecht, Heidelberg
Sanjib K. Gosh.,1979, Analytical Photogrammetry, Pergamon Press Inc., London.
T. Toutin, 2004, Review article: Geometric Processing of Remote Sensing Images: Models,
Algorithms and Methods, International Journal of Remote Sensing, Vol. 25, No. 10,
1893-1924.
Wilfried Linder, 2006, Digital Photogrammetry A Practical Course, Springer-Verlag, Berlin
Zhilin Li, Qing Zhu, and Chris Gold, 2004, Digital Terrain Modeling Principles and
Methodology, CRC Press, Florida
147
BAB IX
STRUCTURE FROM MOTION
IX.A.Tujuan Perkuliahan
Mahasiswa mampu menjelaskan tentang perkembangan ilmu fotogrametri dan computer vision
untuk fotogrametri.
Computer vision merupakan salah satu cabang ilmu yang mempelajari mengenai
kemampuan komputer untuk melihat dengan kemampuan yang sama atau lebih baik dari
manusia. Pembahasan pada computer vision terkait pada otomatisasi ekstraksi dan pengenalan
objek, analysis dan pemahaman mengenai objek dari sebuah atau serangkaian foto.
148
Gambar IX-1: Salah satu aplikasi computer vision untuk identifikasi objek secara otomatis
Pada bidang fotogrametri, saat ini computer vision telah merevolusi berbagai proses
dalam pembentukan produk fotogrametri. Computer vision digunakan untuk kalibrasi kamera
secara otomatis, deteksi tie points dan penyelesaian bundle adjustment, pembentukan DSM dan
orthophoto secara otomatis, dan masih banyak lagi. Pada bab ini akan dibahas mengenai
perkembangan teknologi fotogrametri di bidang computer vision.
Pada pembahasan mengenai rektifikasi foto udara dan titik control (VI.B.2), telah
diuraikan mengenai peranan tie point dalam merekonstruksi permukaan bumi melalui koordinat
foto udara. Semakin banyak tie point yang terdeteksi dan dipasangkan pada pasangan foto
udara, akan semakin teliti hasil orientasi eksterior yang dihasilkan, dan begitu pula dengan
rekonstruksi 3D pada model yang dicari. Proses pencarian tie point pada analytical
photogrammetry dilakukan secara manual oleh operator dengan mencari pasangan titik yang
sama pada bidang pertampalan foto udara. Pencarian tie point secara manual ini merupakan
salah satu bottleneck dalam menghasilkan produk-produk fotogrametri. Pada beberapa decade
belakangan ini, proses penentuan dan pemasangan tie point secara otomatis merupakan salah
satu perkembangan penting di bidang fotogrametri.
Terdapat dua fitur dasar pada pemasangan tie point secara otomatis, yaitu deteksi tie
point (tie point detection) dan pemasangan tie point (tie point matching). Deteksi tie point
149
dilakukan dengan mencari piksel atau subpiksel pada gambar yang memiliki fitur yang unik
untuk membedakannya dengan piksel lain (misalnya pojok suatu bangunan). Terdapat berbagai
metode untuk melakukan deteksi keypoint secara otomatis, misalnya Laplacian, FAST, dan
Harris corner detection. Setelah terdeteksi, titik-titik tersebut berikut ciri uniknya disimpan
dalam sebuah basisdata keypoint untuk dapat dilakukan langkah selanjutnya.
150
Proses pencarian pasangan piksel pada foto yang berpasangan dapat dilakukan dengan
menggunakan suatu metode yang disebut dengan correlation window. Correlation window
dilakukan dengan membandingkan antara ‘moving window’ atau relasi piksel berukuran kecil
(misalnya 3x3 atau 5x5) dengan ‘reference window’ yang merupakan basisdata piksel pada foto
pertama. Dengan menjalankan moving window maka akan diperoleh pasangan yang memiliki
kesesuaian dengan moving window. Terdapat dua macam correlation window yang banyak
digunakan, yaitu cross-correlation dan least-square correlation.
Dimana:
ρ = Koefisien korelasi
Proses pemasangan tie point secara otomatis ini akan memberikan hasil yang lebih baik
apabila parameter eksterior dari kedua foto diketahui serta apabila kedua foto memiliki kontras
yang tidak jauh berbeda.
151
Algoritma Structure from Motion
Stucture from motion merupakan suatu metode yang digunakan untuk secara simultan
menyelesaikan parameter-parameter unknown dari orientasi eksterior dan interior. Dengan
demikian, metode SfM tidak memerlukan GCP atau posisi dan orientasi pesawat sebagai data
awal, sebab seluruh parameternya diestimasi pada saat dilakukan pemrosesan. Kemampuan
SfM yang sama sekali tidak memerlukan parameter awal apapun selain foto yang saling
bertampalan untuk dapat membentuk model 3D merupakan standar de facto pada perangkat
lunak pemrosesan foto udara saat ini.
152
Ada berbagai algoritma SfM untuk menyelesaikan parameter unknown pada SfM.
(Jiang et al., 2013) menggarisbawahi tiga metode utama yang digunakan untuk memperkirakan
posisi dan orientasi kamera sebelum menyelesaikan masalah SfM:
b. Metode factorial. Metode SfM ini diperkenalkan oleh Tomasi dan Kanade (1992),
yang juga dikenal dengan metode Tomasi and Kanade Factorization. Metode estimasi ini
mengasumsikan bahwa dalam semua urutan gambar, ada beberapa rangkaian fitur yang
ditangkap oleh sebagian besar gambar. Metode ini menggunakan faktorisasi bilinear untuk
menemukan hubungan antara fitur dan bentuk serta gerakan gambar tersebut. Mengingat
persamaan proyeksi pandangan (sepasang gambar) dan perkiraan koordinat fitur yang dikenal
dalam semua tampilan, keseluruhan geometri pemandangan dapat direkonstruksi.
153
c. Metode global. Metode sebelumnya rentan terhadap kesalahan drifting akibat secara
bertahap memecahkan setiap pasangan foto. Metode global memecahkan semua pose kamera
dan struktur 3D dari titik-titik sekaligus, sehingga meminimalkan kemungkinan untuk maksima
atau minima lokal dari metode lain (Sweeney et al., 2015). Metode global bekerja dengan
memecahkan semua parameter rotasi gambar, dan kemudian menyelesaikan parameter translasi
(Jiang et al., 2013). Metode ini memberikan akurasi dan efisiensi komputasi yang lebih baik
dibandingkan metode lainnya, terutama dengan kemampuan komputasi yang lebih cepat yang
tersedia (Cui et al. (2015) dan Sweeney dkk (2015)).
Pada dasarnya, SfM terdiri dari beberapa langkah yang dijalankan secara berurutan,
antara lain deteksi fitur, pemasangan fitur, estimasi awal untuk posisi dan orientasi kamera,
bundle adjustment yang diselesaikan secara iterative, pembentukan model 3D dan pemberian
tekstur. Pembahasan mengenai SfM memerlukan tempat tersendiri yang tidak akan dimuat pada
buku ini, sehingga pembaca disarankan untuk mencari referensi yang sesuai.
154
IX.C.Contoh Soal dan Jawaban
IX.D. Soal/Pertanyaan
Aanaes, H., 2003. Methods for Structure from Motion. Informatics and Mathematical
Modelling, Technical University of Denmark, Denmark.
Alcantarilla, P.F., Bartoli, A., Davison, A.J., 2012. KAZE features, in: Computer Vision–
ECCV 2012. Springer, pp. 214–227.
Andrews, D.P., Bedford, J., Bryan, P.G., 2013. A Comparison of Laser Scanning and
Structure from Motion as Applied to the Great Barn at Harmondsworth, UK. ISPRS-
International Archives of the Photogrammetry, Remote Sensing and Spatial
Information Sciences 1, 31–36.
Arayici, Y., 2007. An approach for real world data modelling with the 3D terrestrial laser
scanner for built environment. Automation in Construction 16, 816–829.
155
Barazzetti, L., Scaioni, M., 2009. Automatic orientation of image sequences for 3-D object
reconstruction: first results of a method integrating photogrammetric and computer
vision algorithms. Proceedings of 3D-ARCH 25–28.
Bergen, J.R., Anandan, P., Hanna, K.J., Hingorani, R., 1992. Hierarchical model-based
motion estimation, in: Computer Vision—ECCV’92. Springer, pp. 237–252.
Besl, P.J., McKay, N.D., 1992. Method for registration of 3-D shapes, in: Robotics-DL
Tentative. International Society for Optics and Photonics, pp. 586–606.
Cui, Z., Jiang, N., Tan, P., 2015. Linear Global Translation Estimation from Feature Tracks.
arXiv preprint arXiv:1503.01832.
Fonstad, M.A., Dietrich, J.T., Courville, B.C., Jensen, J.L., Carbonneau, P.E., 2013.
Topographic structure from motion: a new development in photogrammetric
measurement. Earth Surface Processes and Landforms 38, 421–430.
Förstner, W., 2002. Computer vision and photogrammetry–mutual questions: geometry,
statistics and cognition. Bildteknik/lmage Science, Swedish Society for
Photogrammetry and Remote Sensing 151–164.
Fröhlich, C., Mettenleiter, M., 2004. Terrestrial laser scanning–new perspectives in 3D
surveying. International archives of photogrammetry, remote sensing and spatial
information sciences 36, W2.
Fuhrmann, S., Goesele, M., 2014. Floating scale surface reconstruction. ACM Transactions
on Graphics (TOG) 33, 46.
Graham, R., 2002, Digital Aerial Survey Theory and Practice, Whitllles Publishing, CRC
Press, London.
Green, S., Bevan, A., Shapland, M., 2014. A comparative assessment of structure from
motion methods for archaeological research. Journal of Archaeological Science 46,
173–181. doi:10.1016/j.jas.2014.02.030
Grussenmeyer, P., Landes, T., Voegtle, T., Ringle, K., 2008. Comparison methods of
terrestrial laser scanning, photogrammetry and tacheometry data for recording of
cultural heritage buildings, in: ISPRS Congress Proceedings, Beijing. pp. 213–18.
Haala, N., Kada, M., 2010. An update on automatic 3D building reconstruction. ISPRS
Journal of Photogrammetry and Remote Sensing, ISPRS Centenary Celebration Issue
65, 570–580. doi:10.1016/j.isprsjprs.2010.09.006
Hartley, R., others, 1997. In defense of the eight-point algorithm. Pattern Analysis and
Machine Intelligence, IEEE Transactions on 19, 580–593.
Hartley, R., Zisserman, A., 2003. Multiple view geometry in computer vision. Cambridge
university press, Cambridge, UK
156
Jancosek, M., Pajdla, T., 2011. Removing hallucinations from 3D reconstructions. Technical
Report CMP CTU, 2011.
Jebara, T., Azarbayejani, A., Pentland, A., 1999. 3D structure from 2D motion. Signal
Processing Magazine, IEEE 16, 66–84.
Jiang, N., Cui, Z., Tan, P., 2013. A global linear method for camera pose registration, in:
Computer Vision (ICCV), 2013 IEEE International Conference on. IEEE, pp. 481–
488.
Jiang, N., Tan, P., Cheong, L.-F., 2012. Seeing double without confusion: Structure-from-
motion in highly ambiguous scenes, in: Computer Vision and Pattern Recognition
(CVPR), 2012 IEEE Conference on. IEEE, pp. 1458–1465.
Klette, R., Reulke, R., 2005. Modeling 3D scenes: Paradigm shifts in photogrammetry,
remote sensing and computer vision. CITR, The University of Auckland, New
Zealand.
Klingner, B., Martin, D., Roseborough, J., 2013. Street View Motion-from-Structure-from-
Motion, in: Computer Vision (ICCV), 2013 IEEE International Conference on. IEEE,
pp. 953–960.
Koutsoudis, A., Vidmar, B., Ioannakis, G., Arnaoutoglou, F., Pavlidis, G., Chamzas, C.,
2014. Multi-image 3D reconstruction data evaluation. Journal of Cultural Heritage
15, 73–79. doi:10.1016/j.culher.2012.12.003
Kruppa, E., 1913. Zur Ermittlung eines Objektes aus zwei Perspektiven mit innerer
Orientierung. Hölder.
Longuet-Higgins, H.C., 1987. A computer algorithm for reconstructing a scene from two
projections. Readings in Computer Vision: Issues, Problems, Principles, and
Paradigms, MA Fischler and O. Firschein, eds 61–62.
Lowe, D.G., 1999. Object recognition from local scale-invariant features, in: The
Proceedings of the Seventh IEEE International Conference on Computer Vision,
1999. Presented at the The Proceedings of the Seventh IEEE International Conference
on Computer Vision, 1999, pp. 1150–1157 vol.2. doi:10.1109/ICCV.1999.790410
Michel Kasser and Yves Egels, 2002, Digital Photogrammetry, Taylor & Francis Inc, New
York.
Paul R. Wolf, Ph.D, Bon A. Dewitt, Ph.D., and, Benjamin E. Wilkinson, Ph.D.,2014,
Elements of Photogrammetry with Applications in GIS, Fourth Edition, Mc. Graw
Hill, London.
157