Karies gigi merupakan suatu penyakit jaringan keras gigi yaitu pada email, dentin, dan
sementum. Terjadi proses kronis dan regresif yang dimulai dengan larutnya mineral email akibat
dari aktivitas suatu jasad renik dalam suatu karbohidrat yang dapat diragikan (Tarigan, 1993;
Schuurs, 1993). Proses kerusakan dimulai dari enamel ke dentin, disebabkan oleh bakteri tertentu
yang dapat memfermentasikan karbohidrat seperti sukrosa dan glukosa, membentuk asam,
menurunkan pH hingga < 5 dan mengakibatkan demineralisasi pada permukaan gigi yang rentan
(Kidd & Bechal, 1992).
Karies juga disebut sebagi penyakit multifaktorial karena disebabkan oleh beberapa
faktor. Terdapat empat faktor utama yang berperan dalam proses terjadinya karies, yaitu host,
mikroorganisme, substrat, dan waktu. Karies hanya akan terjadi bila keempat faktor tersebut
berinteraksi dan saling mempengaruhi (Kidd & Bechal, 1992).
Faktor-faktor tersebut bekerja bersama dan saling mendukung satu sama lain. Bakteri
plak akan memfermentasikan karbohidrat (misalnya sukrosa) dan menghasilkan asam, sehingga
menyebabkan pH plak akan turun dalam waktu 1–3 menit sampai pH 4,5–-5,0 (Suwelo, 1992).
Kemudian pH akan kembali normal pada pH sekitar 7 dalam 30–60 menit, dan jika penurunan
pH plak ini terjadi secara terus menerus maka akan menyebabkan demineralisasi pada
permukaan gigi. Kondisi asam seperti ini sangat disukai oleh Sterptococcus mutans dan
Lactobacillus sp, yang merupakan mikroorganisme penyebab utama dalam proses terjadinya
karies (Kusumaningsih, 1999).
Menurut Steinberg et al. (1992), proses kimia yang terjadi pada permukaan email setelah
gigi erupsi adalah peristiwa demineralisasi dan remineralisasi. Ion kalsium (Ca +²) merupakan
faktor utama yang berperan dalam peristiwa tersebut. Pada keadaan normal (pH normal) garam
kalsium ini berada dalam suatu keseimbangan dinamik antara email, air liur dan plak. Reaksi
kimia dari siklus demineralisasi dan remineralisasi sebagai berikut (Kanzil & Santoso, 1999).
Gambar 3. Skema reaksi kimia siklus demineralisasi dan remineralisasi (Kanzil &
Santoso, 1999)
Secara perlahan-lahan demineralisasi interna berjalan ke arah dentin melalui lubang fokus
tetapi belum sampai kavitasi (pembentukan lubang). Kavitasi baru timbul bila dentin terlibat
dalam proses tersebut. Namun kadang-kadang begitu banyak mineral hilang dari inti lesi
sehingga permukaan mudah rusak secara mekanis, yang menghasilkan kavitasi yang
makroskopis dapat dilihat (Schuurs, 1993).
Pada karies dentin yang baru mulai yang terlihat hanya lapisan keempat (lapisan
transparan, terdiri atas tulang dentin sklerotik, kemungkinan membentuk rintangan terhadap
mikroorganisme dan enzimnya) dan lapisan kelima (lapisan opak/ tidak tembus penglihatan, di
dalam tubuli terdapat lemak yang mungkin merupakan gejala degenerasi cabang-cabang
odontoblas). Baru setelah terjadi kavitasi, bakteri akan menembus tulang gigi. Pada proses karies
yang amat dalam, tidak terdapat lapisan-lapisan tiga (lapisan demineralisasi, suatu daerah sempit,
dimana dentin partibular diserang), lapisan empat dan lapisan lima (Schuurs, 1993).
Akumulasi plak pada permukaan gigi utuh dalam dua sampai tiga minggu menyebabkan
terjadinya bercak putih. Waktu terjadinya bercak putih menjadi kavitasi tergantung pada umur,
pada anak-anak satu setengah tahun, dengan kisaran enam bulan ke atas dan ke bawah, pada
umur 15 tahun, dua tahun dan pada umur 21-24 tahun, hampir tiga tahun. Tentu saja terdapat
perbedaan individual. Sekarang ini karena banyak pemakaian flourida, kavitasi akan berjalan
lebih lambat daripada dahulu (Schuurs, 1993).
Pada anak-anak, kemunduran berjalan lebih cepat dibanding orang tua, hal ini disebabkan
: (1) email gigi yang baru erupsi lebih mudah diserang selama belum selesai maturasi setelah
erupsi (meneruskan mineralisasi dan pengambilan flourida) yang berlangsung terutama satu
tahun setelah erupsi; (2) remineralisasi yang tidak memadai pada anak-anak, bukan karena
perbedaan fisiologis, tetapi sebagai akibat pola makannya (sering makan makanan kecil); (3)
lebar tumbuli pada anak-anak mungkin menyokong terjadinya sklerotisasi yang tidak memadai;
dan (4) diet yang buruk dibandingkan dengan orang dewasa, pada anak-anak terdapat jumlah
ludah dari kapasitas buffer yang lebih kecil, diperkuat oleh aktivitas proteolitik yang lebih besar
di dalam mulut (Schuurs, 1993).
Kariogenitas Karbohidrat
Sukrosa dikenal juga sebagai gula pasir mempunyai potensi kariogenik yang tinggi
dibandingkan karbohidrat yang lain seperti glukosa, fruktosa, laktosa dan merupakan gula yang
paling banyak digunakan dalam makanan dan minuman. Hal ini disebabkan sukrosa merupakan
sumber utama substrat yang paling disukai mikroorganisme kariogenik terutama Strptococcus
mutans yang dengan cepat mengkatalisis menjadi polisakarida ekstraselular yang berperan dalam
proses pembentukan plak pada permukaan email yang licin. Selain itu, melalui proses glikolisis
sukrosa akan dimetabolisme oleh mikroorganisme asidogenik menjadi asam-asam organik antara
lain asam laktat dan asam piruvat (Dennison & Radolph, 1981; Kanzil & Santosa, 1999).
Sukrosa terdiri dari dua molekul monosakarida yaitu glukosa dan fruktosa, akibatnya
molekukl-molekul asam yang terbentuk berjumlah dua kali lebih banyak dari pada molekul-
molekul asam yang dibentuk oleh glukosa atau fruktosa saja (Dennison & Radolph, 1981; Kanzil
& Santosa, 1999).
Kurva 1. memperlihatkan skor karies gigi
susu kelompok umur 3-12 tahun yang telah
distandarisasi/dikontrol dengan jumlah gigi dan
di plotkan dalam bentuk kurva dimana kurva
status gizi baik lebih rendah daripada gizi
kurang. Puncak tertinggi pada anak gizi kurang
yaitu pada kelompok umur 5 tahun, lebih awal 1
tahun dari pada anak gizi baik.
Kurva 2. memperlihatkan skor karies gigi
tetap kelompok umur 6-12 tahun yang telah
distandarisasi/dikontrol dengan jumlah gigi dan
diplotkan dalam bentuk kurva dimana kurva
status gizi baik lebih rendah daripada gizi
kurang pada anak > 9 tahun. Puncak tertinggi
yaitu pada kelompok umur 12 tahun pada anak
gizi baik maupun anak gizi kurang.