Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

STRATEGI PEMBELAJARAN
“STRATEGI PEMBELARAN AFEKTIF”

Disusun Oleh :

Kelompok IX :
1. Lenora E. Ralahalu (2014 – 43 – 095)
2. Lianda M. Tanikwele (2014 – 43 – 059)
3. Cisilya Manuhutu (2014 – 43 – 131)
4. Olsya I. Timisela (2014 – 43 – 021)
5. Suryadi Wael (2014 – 43 – 042)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN FISIKA


JURUSAN MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS PATTIMURA
AMBON
2016
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas

penyertaan dan perlindunganNya, sehingga kami dapat menyelesaikan penulisan

makalah ini dengan baik. Adapun makalah yang kami buat ini dengan judul “Strategi

Pembelajaran Afektif”.

Pada kesempatan ini, kami menyampaikan banyak terima kasih kepada Dosen

Mata Kuliah Strategi Pembelajaran, yang telah memberikan materi pada kami, guna

menambah wawasan untuk menyelesaikan penulisan makalah ini. Tak lupa kami,

menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam

penulisan makalah ini, baik bantuan secara moral maupun material.

Kami menyadari sungguh bahwa makalah ini masih sangat jauh dari

kesempurnaan. Untuk itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat kami

harapkan dari para pembaca sekalian demi penyempurnaan makalah ini.

Akhir kata, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita sekalian, terutama

yang membutuhkan materi tentang strategi pembelajaran afektif.

Sekian dan Terima Kasih.

Ambon, April 2016

Tim Penulis
DAFTAR ISI

Halaman
Halaman Judul ........................................................................................................... i
Kata Pengantar .......................................................................................................... ii
Daftar Isi .................................................................................................................... iii

BAB I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ..................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ................................................................................ 2
1.3 Tujuan Penulisan .................................................................................. 2

BAB II. PEMBAHASAN MASALAH


2.1. Pengertian Strategi Pembelajaran Afektif ............................................ 3
2.2. Hakikat Pengembangan Nilai dan Sikap .............................................. 3
2.3. Proses Pembentukan Sikap .................................................................. 6
2.4. Model Strategi Pembelajaran Sikap ..................................................... 7
2.5. Kesulitan dalam Pembelajaran Afektif ................................................ 13

BAB III. PENUTUP


3.1. Kesimpulan .......................................................................................... 16
3.2. Saran .................................................................................................... 17

Daftar Pustaka ........................................................................................................... 18


BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Dalam Undang-Undang No.20 Tahun 2003 Pasal 3 dijelaskan bahwa Pendidikan
Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta
peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,
bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik, agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu,
cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab.
Ada orang yang beranggapan bahwa sikap bukan untuk diajarkan, seperti halnya
matematika, fisika, ilmu sosial, dan lain sebagainya, akan tetapi untuk dibentuk. Oleh
karena itu, yang lebih tepat untuk bidang afektif bukanlah istilah pengajaran, namun
pendidikan. Namun, oleh karena strategi pembelajaran yang dibicarakan dalam naskah
ini diarahkan untuk mencapai tujuan pendidikan yang bukan hanya dimensi kognitif
tetapi juga dimensi yang lainnya, yaitu sikap dan keterampilan, melalui proses
pembelajaran yang menekankan kepada aktivitas siswa sebagai subjek belajar, maka
selanjutnya penulis menggunakan istilah strategi pembelajaran afektif, walaupun dalam
bahasan selanjutnya kedua istilah itu akan digunakan secara bergantian.
Afektif berhubungan dengan nilai (value), yang sulit diukur, oleh karena
menyangkut kesadaran seseorang yang tumbuh dari dalam. Dalam batas tertentu
memang afeksi dapat muncul dalam kejadian behavioral, akan tetapi penilaiannya untuk
sampai pada kesimpulan yang bisa dipertanggungjawabkan membutuhkan ketelitian dan
observasi yang terus-menerus, dan hal ini tidaklah mudah untuk dilakukan, apalagi
menilai perubahan sikap sebagai akibat dari proses pembelajaran yang dilakukan guru di
sekolah.
1.2. Rumusan Masalah
Dalam makalah ini, permasalahan yang kita bahas adalah sebagai berikut :
1. Apakah yang dimaksud dengan strategi pembelajaran afektif ?
2. Bagaimanakah konsep hakikat pendidikan nilai dan sikap ?
3. Bagaimanakah proses pembentukan sikap ?
4. Bagaimanakah model strategi pembelajaran sikap ?
5. Bagaimanakah kesulitan dalam pembelajaran efektif ?

1.3. Tujuan Penulisan


Adapun tujuan dari penulisan makalah yang kami buat ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk memenuhi tugas yang diberikan oleh Dosen Mata Kuliah Strategi
Pembelajaran.
2. Untuk mengetahui yang dimaksud dengan strategi pembelajaran afektif.
3. Untuk mengetahui konsep hakikat pendidikan nilai dan sikap.
4. Untuk mengetahui model strategi pembelajaran afektif.
5. Untuk mengetahui proses pembentukan sikap.
6. Untuk mengetahui kesulitan dalam pembelajaran afektif.
BAB II
PEMBAHASAN MASALAH

2.1. Pengertian Strategi Pembelajaran Afektif


Strategi Pembelajaran afektif adalah strategi pembelajaran yang bukan hanya
bertujuan untuk mencapai pendidikan kognitif saja, akan tetapi juga bertujuan untuk
mencapai dimensi yang lainnya. Yaitu sikap dan keterampilan afektif berhubungan
dengan volume yang sulit diukur karena menyangkut kesadaran seseorang yang tumbuh
dari dalam, afeksi juga dapat muncul dalam kejadian behavioral yang diakibat dari
proses pembelajaran yang dilakukan oleh guru.

2.2. Hakikat Pendidikan Nilai dan Sikap


Sikap (afektif) erat kaitannya dengan nilai yang dimiliki oleh seseorang. Sikap
merupakan refleksi dari nilai yang dimiliki. Oleh karenanya, pendidikan sikap pada
dasarnya adalah pendidikan nilai.
Nilai, adalah suatu konsep yang berada dalam pikiran manusia yang sifatnya
tersembunyi, tidak berada di dalam dunia yang empiris. Nilai berhubungan dengan
pandangan seseorang tentang baik dan buruk, indah dan tidak indah, layak dan tidak
layak, adil dan tidak adil, dan lain sebagainya. Pandangan seseorang tentang semua itu
tidak bisa diraba, kita hanya dapat mengetahuinya dari perilaku yang bersangkutan.
Oleh karena itulah, nilai pada dasarnya standar perilaku, ukuran yang menentukan atau
kriteria seseorang tentang baik dan tidak baik, indah dan tidak indah, layak dan tidak
layak, dan dan lain sebagainya, sehingga standar itu yang akan mewarnai perilaku
seseorang. Dengan demikian, pendidikan nilai pada dasarnya proses penanaman nilai
kepada peserta didik yang diharapkan oleh karenanya siswa dapat berperilaku sesuai
dengan pandangan yang dianggapnya baik dan tidak bertentangan dengan norma-norma
yang berlaku.
Douglas Graham (Gulo, 2002) melihat empat faktor yang merupakan dasar
kepatuhan seseorang terhadap nilai tertentu, yaitu :
a. Normativist. Biasanya kepatuhan pada norma-norma hukum. Selanjutnya
dikatakan bahwa kepatuhan ini terdapat dalam tiga bentuk, yaitu: (1) kepatuhan
pada nilai atau norma itu sendiri; (2) kepatuhan pada proses tanpa memedulikan
normanya sendiri; dan (3) kepatuhan pada hasilnya atau tujuan yang
diharapkannya dari peraturan itu.
b. Integralist, yaitu kapatuhan yang didasarkan pada kesadaran dengan
pertimbangan-pertimbangan yang rasional.
c. Fenomenalist, yaitu kepatuhan berdasarkan suara hati atau sekadar basa-basi.
d. Henodist, yaitu kepatuhan berdasarkan kepentingan diri sendiri.

Dari ke-empat faktor yang menjadi dasar kepatuhan setiap individual tentu saja
yang kita harapkan adalah kapatuhan yang bersifat normativist, sebab kapatuhan
semacam itu adalah kepatuhan yang didasari kesadaran akan nilai, tanpa memedulikan
apakah perilaku itu menguntungkan untuk dirinya atau tidak.
Selanjutnya dalam sumber yang sama dijelaskan, dari empat faktor ini terdapat
lima tipe kepatuhan, yaitu :
a. Otoritarian. Suatu kepatuhan tanpa reserve atau kepatuhan yang ikut-ikutan.
b. Comformist. Kepatuhan tipe ini mempunyai tiga bentuk, yaitu: (1) conformist
directed, yaitu penyesuaian diri terhadap masyarakat atau orang lain;
(2) conformist hedonist, yakni kepatuhan yang berorientasi pada “untung-rugi”,
dan (3) conformist integral, adalah kepatuhan yang menyesuaikan kepentingan
diri sendiri dengan kepentingan masyarakat.
c. Compulsive deviant. Kepatuhan yang tidak konsisten.
d. Hedonik psikopatik, yaitu kepatuhan pada kenyataan tanpa memperhitungkan
kepentingan orang lain.
e. Supramoralist. Kepatuhan karena keyakinan yang tinggi terhadap nilai-nilai
moral.
Dalam masyarakat yang cepat berubah seperti dewasa ini, pendidikan nilai bagi
anak merupakan hal yang sangat penting. Hal ini disebabkan pada era global dewasa ini,
anak akan dihadapkan pada banyak pilihan tentang nilai yang mungkin dianggapnya
baik. Pertukaran dan pengikisan nilia-nilai suatu masyarakat dewasa ini akan mungkin
terjadi secara terbuka.
Nilai bagi seseorang tidaklah statis, akan tetapi selalu berubah. Setiap orang akan
menganggap sesuatu itu baik sesuai dengan pandangannya pada saat itu. Oleh sebab itu,
maka sistem nilai yang dimiliki seseorang itu bisa dibina dan diarahkan. Apabila
seseorang menganggap nilai agama adalah di atas segalanya, maka nilai-nilai yang lain
akan bergantung pada nilai agama itu. Dengan demikian, sikap seseorang sangat
tergantung pada sistem nilai yang dianggap paling benar, dan kemudian sikap itu yang
akan mengendalikan perilaku orang tersebut.
Komitmen seseorang terhadap suatu nilai tertentu terjadi melalui pembentukan
sikap, yakni kecenderungan seseorang terhadap suatu objek. Gulo (2005)
menyimpulkan tentang nilai, sebagai berikut :
 Nilai tidak bisa diajarkan tetapi diketahui dari penampilannya.
 Pengembangan domain afektif pada nilai tidak bisa dipisahkan dari aspek kognitif
dan psikomotorik.
 Masalah nilai adalah masalah emosional dan karena itu dapat berubah,
berkembang, sehingga bisa dibina.
 Perkembangan nilai atau moral tidak terjadi sekaligus, tetapi melalui tahap
tertentu.

Sikap adalah kecenderungan seseorang untuk menerima atau menolak suatu objek
berdasarkan nilai yang dianggapnya baik atau tidak baik. Dengan demikian, belajar
sikap berarti memperoleh kecenderungan untuk menerima atau menolak suatu objek;
berdasarkan penilaian terhadap objek itu sebagai hal yang berguna/berharga (sikap
positif) dan tidak berharga/berguna (sikap negatif). Sikap merupakan suatu kemampuan
internal yang berperan sekali dalam mengambil tindakan (action), lebih-lebih apabila
terbuka berbagai kemungkinan untuk bertindak atau tersedia beberapa alternatif
(Winkel, 2004).
2.3. Proses Pembemtukan Sikap
1. Pola Pembiasaan
Perhatikan percobaan yang dilakukan seorang psikolog yang bernama
Watson.
Pada suatu hari Watson melihat ada anak yang senang dengan tikus berbulu
putih. Ke mana pun anak itu pergi ia selalu membawa tikus putih yang sangat
disenanginya. Watson ingin mengubah sikap senang anak terhadap tikus putih
benjadi benci atau tidak senang. Maka ketika anak hendak memegang tikus itu,
Watson memberi kejutan dengan suara keras, hingga anak itu terkajut. Terus-
menerus hal itu dilakukan. Ketika anak mendekati dan hendak membawa tikus itu,
dimunculkanlah suara keras; anak semakin terkejut dan lama-kelamaan anak
benar-benar menjadi takut dengan tikus itu. Jangankan ia mau memegang atau
membawanya, melihat saja ia menangis dan ketakutan. Mengapa anak berubah
sikapnya dari sikap positif terhadap tikus menjadi sikap negatif? Hal ini
disebabkan kebiasaan (conditioning). Cara belajar sikap demikian menjadi dasar
penanaman sikap tertentu terhadap suatu objek.
Dalam proses pembelajaran di sekolah, baik secara disadari maupun tidak,
guru dapat menanamkan sikap tertentu kepada siswa melalui proses pembiasaan.
Belajar membentuk sikap melalui pembiasaan itu juga dilakukan oleh
Skinner melalui teorinya operant conditioning. Proses pembentukan sikap melalui
pembiasaan yang dilakukan Watson berbeda dengan proses pembiasaan sikap
yang dilakukan oleh Skinner. Pembentukan sikap yang dilakukan oleh Skinner
menekankan pada proses peneguhan respons anak. Setiap kali anak menunjukkan
prestasi yang baik diberikan penguatan (reinforcement) dengan cara memberikan
hadiah atau perilaku yang menyenangkan. Lama-kelamaan, anak berusaha
meningkatkan sikap positifnya.
2. Modeling
Salah satu karakteristik anak didik yang sedang berkembang adalah
keinginannya untuk melakukan peniruan (imitasi). Hal yang ditiru itu adalah
perilaku-perilaku yang diperagakan atau didemonstrasikan oleh orang yang
menjadi idolanya. Prinsip peniruan ini yang dimaksud dengan modeling.
Modeling adalah proses peniruan anak terhadap orang lain yang menjadi idolanya
atau orang yang dihormatinya.
Pemodelan biasanya dimulai dengan rasa kagum. Anak kagum terhadap
kepintaran orang lain, misalnya terhadap guru yang dianggapnya bisa melakukan
segala sesuatu yang tidak bisa dilakukannya. Secara perlahan perasaan kagum
akan memengaruhi emosinya dan secara perlahan itu pula anak akan meniru
perilaku yang dilakukan oleh idolanya itu. Misalnya, jika idolanya (guru atau
siapa saja) menunjukkan perilaku tertentu terhadap suatu objek, maka anak
cenderung akan berperilaku sama seperti apa yang dilakukan oleh idolanya itu.
Contohnya, jika guru idola seorang murid selalu berpakaian rapi dan bersih, maka
murid itu juga akan berperilaku seperti itu.

2.4. Model Strategi Pembelajaran Sikap


Dibawah ini disajikan beberapa model strategi pembelajaran pembentukan sikap
yaitu, diantaranya :
1. Model Konsiderasi
Model konsiderasi (the consideration model) dikembangkan oleh Mc. Paul,
seorang humanis. Paul menganggap bahwa pembentukan moral tidak sama
dengan pengebangan kognitif yang rasional. Pembelajaran moral siswa
menurutnya adalah pembentukan kepribadian bukan pengembangan intelektual.
Tujuannya adalah agar siswa menjadi manusia yang memiliki kepedulian terhadap
orang lain. Kebutuhan yang fundamental pada manusia adalah bergaul secara
harmonis dengan orang lain, saling memberi dan menerima dengan penuh cinta
dan kasih sayang.
Implementasi model konsiderasi guru dapat mengikuti tahap-tahap
pembelajaran seperti dibawah ini.
a. Menghadapkan siswa pada suatu masalah yang mengandung konflik, yang
terjadi dalam kehidupan sehari-hari.
b. Menyuruh siswa untuk menganalisis situasi masalah dengan melihat bukan
hanya yang tampak, tetapi juga yang tersirat dalam permasalahan tersebut,
misalnya perasaan, kebutuhan, dan kepentingan orang lain.
c. Menyuruh siswa untuk menuliskan tanggapannya terhadap permasalahan
yang dihadapi. Hal ini dimaksudkan agar siswa dapat menelaah perasaannya
sendiri sebelum ia mendengar respons orang lain untuk dibandingkan.
d. Mengajak siswa untuk menganalisis respons orang lain serta membuat
kategori dari setiap respons yang diberikan siswa.
e. Mendorong siswa agar merumuskan sendiri tindakan yang harus dilakukan
sesuai dengan pilihannya berdasarkan pertimbangannya sendiri. Guru
hendaknya tidak menilai benar atau salah atas pilihan siswa. Yang
diperlukan adalah guru dapat membimbing mereka menentukan pilihan
yang lebih matang sesuai dengan pertimbangannya sendiri.

2. Model Pengembangan Kognitif


Model pengembangan kognitif (the cognitive development model)
dikembangkan oleh Lawrence Kohlberg. Model ini banyak diilhami oleh
pemikiran John Dewey dan Jean Piaget yang berpendapat bahwa perkembangan
manusia terjadi sebagai proses dari restrukturisasi kognitif yang berlangsung
secara berangsur-angsur menurut urutan tertentu. Menurut Kohlberg, moral
manusia itu berkembang melalui 3 tingkat, dan setiap tingkat terdiri dari 2 tahap,
diantaranya adalah :

a. Tingkat Prakonvensional
Pada tingkat ini setiap individu memandang moral berdasarkan
kepentingannya sendiri. Artinya, pertimbangan moral didasarkan pada
pandangannya secara individual tanpa menghiraukan rumusan dan aturan
yang dibuat oleh masyarakat. Pada tingkat prakonvensional ini terdiri atas
dua tahap, yaitu :
Tahap 1. Orientasi Hukuman dan Kepatuhan
Pada tahap ini perilaku anak didasarkan kepada konsekuensi fisik
yang akan terjadi. Artinya, anak hanya berfikir bahwa perilaku yang benar
itu adalah perilaku yang tidak akan mengakibatkan hukuman. Dengan
demikian, setiap peraturan harus dipatuhi agar tidak menimbulkan
konsukuensi negatif.

Tahap 2. Orientasi Instrumental-Relatif


Pada tahap ini perilaku anak didasarkan pada rasa “adil” berdasarkan
aturan permainan yang telah disepakati. Dikatakan adil manakala orang
membalas perilaku kita yang dianggap baik. Dengan demikian perilaku itu
didasarkan kepada saling menolong dan saling memberi.

b. Tingkat Konvensional
Pada tahap ini anak mendekati masalah didasarkan pada hubungan
individu-masyarakat. Kesadaran dalam diri anak mulai tumbuh bahwa
perilaku itu harus sesuai dengan norma-norma dan aturan yang berlaku di
masyarakat. Pada tingkat konvensional itu mempunyai 2 tahap sebagai
kelanjutan dari tahap yang ada pada tingkat prakonvensional, yaitu tahap
keselarasan interpersonal serta tahap sistem sosial dan kata hati.

Tahap 3. Keselarasan Interpersonal


Pada tahap ini ditandai dengan setiap perilaku yang ditampilakn
individu didorong oleh keinginan untuk memnuhi harapan orang lain.
Kesadaran individu mulai tumbuh bahwa ada orang lain diluar dirinya untuk
berperilaku sesuai dengan harapannya. Artinya, anak sadar bahwa ada
hubungan antara dirinya dengan orang lain. Dan, hubungan itu tidak boleh
dirusak.
Tahap 4. Sistem Sosial dan Kata Hati
Pada tahap ini perilaku individu bukan didasarkan pada dorongan
untuk memenuhi harapan orang lain yang dihormatinya, akan tetapi
didasarkan pada tuntutan dan harapan masyarakat. Ini berarti telah terjadi
pergeseran dari kesadaran individu kepada kesadaran sosial. Artinya, anak
sudah mulai menerima adanya sistem sosial yang mengatur perilaku
individu.

c. Tingkat Postkonvesional
Pada tingkat ini perilaku bukan hanya didasarkan pada kepatuhan
terhadap norma-norma masyarakat yang berlaku, akan tetapi didasari oleh
adanya kesadaran sesuai dengan nilai-nilai yang dimilikinya secara individu.
Seperti pada tingkat sebelumnya, pada tingkat ini juga terdiri dari dua tahap,
yaitu :
Tahap 5. Kontrak Sosial
Pada tahap ini perilaku individu didasarkan pada kebenaran-kebenaran
yang di akui oleh masyarakat. Kesadaran individu untuk berperilaku tumbuh
karena kesadaran untuk menerapkan prinsip-prinsip sosial. Dengan
demikian, kewajiban moral dipandang sebagai kontrak sosial yang harus
diparuhi, bukan sekedar pemenuhan sistem nilai.

Tahap 6. Prinsip Etis yang Universal


Pada tahap terakhir, perilaku manusia didasarkan pada prinsip-prinsip
universal. Segala macam tindakan bukan hanya didasarkan sebagai kontrak
sosial yang harus dipatuhi, akan tetapi didasarkan pada suatu kewajiban
sebagai manusia. Setiap individu wajib menolong orang lain, apakah orang
itu adalah orang yang kita benci ataupun tidak, apakah orang itu adalah
orang yang kita suka atau tidak. Pertolongan yang diberikan bukan
didasarkan pada alasan subjektif, akan tetapi didasarkan pada kesadaran
yang bersifat universal.
Sesuai dengan prinsip bahwa moral terjadi secara bertahap, maka strategi
pembelajaran model Kohlberg diarahkan untuk membantu agar setiap individu
meningkat dalam perkembangan moralnya.

3. Teknik Mengklarifikasi Nilai


Teknik mengklarifikasi nilai (value clarification technique) atau sering
disingkat VCT dapat diartikan sebagai teknik pengajaran untuk membantu siswa
dalam mencari dan menentukan suatu nilai yang dianggap baik dalam menghadapi
suatu persoalan melalui proses menganalisis nilai yang sudah ada dan tertanam
dalam diri siswa.
Salah satu karakteristik VCT sebagai suatu model dalam strategi
pembelajaran sikap adalah proses penanaman nilai dilakukan melalui proses
analisis nilai yang sudah ada sebelumnya dalam diri siswa, kemudian
menyelaraskannya dengan nilai-nilai baru yang hendak ditanamkan. VCT sebagai
suatu model dalam strategi pembelajaran moral VCT bertujuan :
a. Untuk mengukur atau mengetahui tingkat kesadaran siswa tentang suatu
nilai.
b. Membina kesadaran siswa tentang nilai-nilai yang dimilikinya baik
tingkatannya maupun sifatnya (positif dan negatifnya) untuk kemudian
dibina ke arah peningkatan dan pembetulannya.
c. Untuk menanamkan nilai-nilai tertentu kepada siswa melalui cara yang
rasional dan diterima siswa, sehingga pada akhirnya nilai tersebut akan
menjadi milik siswa.
d. Melatih siswa bagaimana cara menilai, menerima, serta mengambil
keputusan terhadap sesuatu persoalan dalam hubungannya dengan
kehidupan sehari-hari di masyarakat.
John Jarolimek (1974) menjelaskan langkah pembelajaran dengan VCT
dalam 7 tahap yang dibagi ke dalam 3 tingkat. Tahapan-tahapan tersebut
diantaranya adalah :
I. Kebebasan Memilih
Pada tingkat ini terdapat 3 tahap, yaitu :
a. Memilih secara bebas, artinya kesempatan untuk menentukan pilihan
yang menurutnya baik. Nilai yang dipaksakan tidak akan menjadi
miliknya secara penuh.
b. Memilih dari beberapa alternatif. Artinya, untuk menentukan pilihan
dari beberapa alternatif pilihan secara bebas.
c. Memilih setelah dilakukan analisis pertimbangan konsekuensi yang
akan timbul sebagai akibat pilihannya.

II. Menghargai
Terdiri atas 2 tahap pembelajaran, yaitu :
d. Adanya perasaan senang dan bangga dengan nilai yang menjadi
pilihannya, sehingga nilai tersebut akan menjadi bagian integral dari
dirinya.
e. Menegaskan nilai yang sudah menjadi bagian integral dalam dirinya di
depan umum. Artinya, bila kita menganggap nilai itu suatu pilihan,
maka kita akan berani dengan penuh kesadaran untuk
menunjukkannya di depan orang lain.

III. Berbuat
Pada tahap ini terdapat 2 tahap, yaitu :
f. Kemauan dan kemampuan untuk mencoba melaksanakannya.
g. Mengulangi perilaku sesuai dengan nilai pilihannya. Artinya, nilai
yang menjadi pilihan itu harus tercermin dalam kehidupannya sehari-
hari.
VCT menekankan bagaimana sebenarnya seseorang membangun nilai yang
menurut anggapannya baik, yang pada gilirannya nilai-nilai tersebut akan
mewarnai perilakunya dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat. Beberapa hal
yang harus diperhatika guru dalam mengimplementasikan VCT melalui proses
dialog :
 Hindari penyampaian pesan melalui proses pemberian nasihat, yaitu
memberikan pesan-pesan moral yang menurut guru dianggap baik.
 Jangan memaksa siswa untuk memberi respons tertentu apabila memang
siswa tidak menghendakinya.
 Usahakan dialog dilaksanakan secara bebas dan terbuka, sehingga siswa
akan mengungkapkan perasaannya secara jujur dan apa adanya.
 Dialog dilaksanakan kepada individu, bukan kepada kelompok kelas.
 Hindari respons yang dapat menyebabkan siswa terpojok, sehingga ia
menjadi defensif.
 Tidak mendesak siswa pada pendirian tertentu.
 Jangan mengorek alasan siswa lebih dalam.

2.5. Kesulitan dalam Pembelajaran Afektif


Di samping aspek pembentukan kemampuan intelektual untuk membentuk
kecerdasan peserta didik dan pembentukan keterampilan untuk mengembangkan
kompetensi agar peserta didik memiliki kemampuan motorik, maka pembentukan sikap
peserta didik merupakan aspek yang tidak kalah pentingnya. Proses pendidikan bukan
hanya membentuk kecerdasan dan/atau memberikan keterampilan tertentu saja, akan
tetapi juga membentuk dan mengembangkan sikap agar anak berperilaku sesuai dengan
norma-norma yang berlaku di masyarakat. Namun demikian, dalamm proses pendidikan
di sekolah proses pembelajaran sikap kadang-kadang terabaikan. Hal ini disebabkan
proses pembelajaran dan pembentukan akhlak memiliki beberapa kesulitan.
Pertama, selama ini proses pendidikan sesuai dengan kurikulum yang berlaku
cenderung diarahkan untuk pembentukan intelektual. Akibatnya, upaya yang dilakukan
setiap guru diarahkan kepada bagaimana agar anak dapat menguasai sejumlah
pengetahuan sesuai dengan standar kurikulum yang berlaku, oleh karena kemampuan
intelektual identik dengan penguasaan materi pelajaran. Hal ini dapat dilihat dari
berbagai macam bentuk evaluasi yang dilakukan baik evaluasi tingkat sekolah, tingkat
wilayah, maupun evaluasi nasional diarahkan kepada kemampuan anak menguasai
materi pelajaran. Pendidikan agama atau pendidikan kewarganegaraan misalnya yang
semestinya diarahkan untuk pembentukan sikap dan moral, oleh karena keberhasilannya
diukur dari kemampuan intelektual, maka evaluasi pun lebih banyak mengukur
kemampuan penguasaan materi pelajaran dalam bentuk kognitif.
Kedua, sulitnya melakukan kontrol karena banyaknya faktor yang dapat
memengaruhi perkembangan sikap seseorang. Pengembangan kemampuan sikap baik
melalui proses pembiasaan maupun modeling bukan hanya ditentukan oleh faktor guru,
akan tetapi juga faktor-faktor lain terutama faktor lingkungan. Misalnya, ketika anak
diajarkan tentang keharusan bersikap jujur dan disiplin, maka sikap tersebut akan sulit
diinternalisasi manakala di lingkungan luar sekolah anak banyak melihat perilaku-
perilaku ketidakjujuran dan ketidakdisiplinan. Walaupun guru di sekolah begitu keras
menekankan pentingnya sikap tertib berlalu lintas, maka sikap tersebut akan sulit
diadopsi oleh anak manakala ia melihat begitu banyak orang yang melanggar rambu-
rambu lalu lintas. Demikian juga, walaupun di sekolah guru-guru menekankan perlunya
bagi anak untuk berkata sopan dan halus disertai contoh perilaku guru, akan tetapi sikap
itu akan sulit diterima oleh anak manakala di luar sekolah begitu banyak manusia yang
berkata kasar dan tidak sopan.
Ketiga, keberhasilan pembentukan sikap tidak bisa dievaluasi dengan segera.
Berbeda dengan pembentukan aspek kognitif dan aspek keterampilan yang hasilnya
dapat diketahui setelah proses pembelajaran berakhir, maka keberhasilan dari
pembentukan sikap baru dapat dilihat pada rentang waktu yang cukup panjang. Hal ini
disebabkan sikap berhubungan dengan internalisasi nilai yang memerlukan proses yang
lama.
Keempat, pengaruh kemajuan teknologi, khususnya teknologi informasi yang
menyuguhkan aneka pilihan program acara, berdampak pada pembentukan karakter
anak. Tak bisa dipungkiri, program-program televisi, misalnya yang banyak
menayangkan program acara produksi luar yang memiliki latar belakang budaya yang
berbeda, kebutuhan pendidikan yang berbeda, dan banyak ditonton anak-anak, sangat
berpengaruh dalam pembentukan sikap dan mental anak. Secara perlahan tapi pasti,
budaya asing yang belum tentu cocok dengan budaya lokal merembes dalam setiap
relung kehidupan, menggeser nilai-nilai lokal sebagai nilai luhur yang mestinya
ditumbuhkembangkan, sehingga pada akhirnya membentuk karakter baru yang mungkin
tidak sesuai dengan nilai dan norma masyarakat yang berlaku. Misalnya, secara
perlahan tapi pasti telah terjadi perubahan pandangan anak remaja kita terhadap nilai
gotong royong, nilai-nilai seks, dan lain sebagainya.
BAB III
PENUTUP

III.1. Kesimpulan
Strategi pembelajaran afektif adalah strategi yang bukan hanya bertujuan untuk
mencapai pendidikan kognitif saja, akan tetapi juga bertujuan untuk mencapai dimensi
yang lainnya.
Sikap (afektif) erat kaitannya dengan nilai yang dimiliki oleh seseorang. Sikap
merupakan refleksi dari nilai yang dimiliki. Oleh karenanya, pendidikan sikap pada
dasarnya adalah pendidikan nilai.
Nilai, adalah suatu konsep yang berada dalam pikiran manusia yang sifatnya
tersembunyi, tidak berada dalam dunia yang empiris.
Keberhasilan pembentukan sikap tidak bisa dievaluasi dengan segera. Berbeda
dengan pembentukan aspek kognitif dan aspek keterampilan yang hasilnya dapat
diketahui setelah proses pembelajaran berakhir, maka keberhasilan dari pembentukan
sikap baru dapat dilihat pada rentang waktu yang cukup panjang. Hal ini disebabkan
sikap berhubungan dengan internalisasi nilai yang memerlukan proses yang lama.
Pengaruh kemajuan teknologi, berdampak pada pembentukan karakter anak. Tak
bisa dipungkiri program-program televisi yang menayangkan acara produksi luar yang
memiliki latar belakang yang berbeda. Maka dari itu, secara perlahan tapi pasti budaya
asing yang belum cocok dengan budaya lokal merembes dalam setiap relung kehidupan.
III.2. Saran
Rumusan tujuan pendidikan, sarat dengan pembentukan sikap. Dengan demikian,
tidaklah lengkap manakala dalam strategi pembelajaran tidak membahas strategi
pembelajaran yang berhubungan dengna pembentukan sikap dan nilai. Oleh karena itu,
tuntutan akan kemampuan guru untuk memilih dan memilah metode, yang sesuai
dengan tujuan dan materi pelajaran merupakan harapan akan keberhasilan pencapaian
prestasi belajar siswa dalam pelajaran Agama. Tuntutan tersebut mutlak dilakukan oleh
seorang guru agama apabila melaksanakan transfer pendidikan Agama. Hal tersebut
juga sejalan dengan tuntutan kurikulum saat ini yang sangat memperhatikan pentingnya
metode pembelajaran yang akan digunakan oleh seorang guru.
Hal tersebut sesuai juga dengan tingkat perkembangan siswa SMP yang masih
berada dalam masa transisi dan konkrit ke formal. Untuk mencapai tujuan tersebut tidak
lepas dari peran guru Agama. Bagi guru Agama, dalam upaya peningkatan penguasaan
materi pelajaran dan kemampuan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari,
diperlukan strategi dan metode dalam penyampaian (transfer knowledge) pelajaran
Agama tersebut.
DAFTAR PUSTAKA

Wina Sanjaya. 2008. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan.


Jakarta: Kencana.

http://edi-macammacamartikel.blogspot.co.id/2011/12/strategi-pembelajaran-
afektif.html (diakses pada tanggal 18 April 2016).

http://fuadhasansuccen.blogspot.co.id/2012/01/strategi-pembelajaran-afektif.html
(diakses pada tanggal 18 April 2016).

http://www.idsejarah.net/2014/11/strategi-pembelajaran-afektif.html (diakses pada


tanggal 18 April 2016).

Anda mungkin juga menyukai