STRATEGI PEMBELAJARAN
“STRATEGI PEMBELARAN AFEKTIF”
Disusun Oleh :
Kelompok IX :
1. Lenora E. Ralahalu (2014 – 43 – 095)
2. Lianda M. Tanikwele (2014 – 43 – 059)
3. Cisilya Manuhutu (2014 – 43 – 131)
4. Olsya I. Timisela (2014 – 43 – 021)
5. Suryadi Wael (2014 – 43 – 042)
Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
makalah ini dengan baik. Adapun makalah yang kami buat ini dengan judul “Strategi
Pembelajaran Afektif”.
Pada kesempatan ini, kami menyampaikan banyak terima kasih kepada Dosen
Mata Kuliah Strategi Pembelajaran, yang telah memberikan materi pada kami, guna
menambah wawasan untuk menyelesaikan penulisan makalah ini. Tak lupa kami,
menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam
Kami menyadari sungguh bahwa makalah ini masih sangat jauh dari
kesempurnaan. Untuk itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat kami
Akhir kata, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita sekalian, terutama
Tim Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
Halaman Judul ........................................................................................................... i
Kata Pengantar .......................................................................................................... ii
Daftar Isi .................................................................................................................... iii
BAB I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ..................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ................................................................................ 2
1.3 Tujuan Penulisan .................................................................................. 2
Dari ke-empat faktor yang menjadi dasar kepatuhan setiap individual tentu saja
yang kita harapkan adalah kapatuhan yang bersifat normativist, sebab kapatuhan
semacam itu adalah kepatuhan yang didasari kesadaran akan nilai, tanpa memedulikan
apakah perilaku itu menguntungkan untuk dirinya atau tidak.
Selanjutnya dalam sumber yang sama dijelaskan, dari empat faktor ini terdapat
lima tipe kepatuhan, yaitu :
a. Otoritarian. Suatu kepatuhan tanpa reserve atau kepatuhan yang ikut-ikutan.
b. Comformist. Kepatuhan tipe ini mempunyai tiga bentuk, yaitu: (1) conformist
directed, yaitu penyesuaian diri terhadap masyarakat atau orang lain;
(2) conformist hedonist, yakni kepatuhan yang berorientasi pada “untung-rugi”,
dan (3) conformist integral, adalah kepatuhan yang menyesuaikan kepentingan
diri sendiri dengan kepentingan masyarakat.
c. Compulsive deviant. Kepatuhan yang tidak konsisten.
d. Hedonik psikopatik, yaitu kepatuhan pada kenyataan tanpa memperhitungkan
kepentingan orang lain.
e. Supramoralist. Kepatuhan karena keyakinan yang tinggi terhadap nilai-nilai
moral.
Dalam masyarakat yang cepat berubah seperti dewasa ini, pendidikan nilai bagi
anak merupakan hal yang sangat penting. Hal ini disebabkan pada era global dewasa ini,
anak akan dihadapkan pada banyak pilihan tentang nilai yang mungkin dianggapnya
baik. Pertukaran dan pengikisan nilia-nilai suatu masyarakat dewasa ini akan mungkin
terjadi secara terbuka.
Nilai bagi seseorang tidaklah statis, akan tetapi selalu berubah. Setiap orang akan
menganggap sesuatu itu baik sesuai dengan pandangannya pada saat itu. Oleh sebab itu,
maka sistem nilai yang dimiliki seseorang itu bisa dibina dan diarahkan. Apabila
seseorang menganggap nilai agama adalah di atas segalanya, maka nilai-nilai yang lain
akan bergantung pada nilai agama itu. Dengan demikian, sikap seseorang sangat
tergantung pada sistem nilai yang dianggap paling benar, dan kemudian sikap itu yang
akan mengendalikan perilaku orang tersebut.
Komitmen seseorang terhadap suatu nilai tertentu terjadi melalui pembentukan
sikap, yakni kecenderungan seseorang terhadap suatu objek. Gulo (2005)
menyimpulkan tentang nilai, sebagai berikut :
Nilai tidak bisa diajarkan tetapi diketahui dari penampilannya.
Pengembangan domain afektif pada nilai tidak bisa dipisahkan dari aspek kognitif
dan psikomotorik.
Masalah nilai adalah masalah emosional dan karena itu dapat berubah,
berkembang, sehingga bisa dibina.
Perkembangan nilai atau moral tidak terjadi sekaligus, tetapi melalui tahap
tertentu.
Sikap adalah kecenderungan seseorang untuk menerima atau menolak suatu objek
berdasarkan nilai yang dianggapnya baik atau tidak baik. Dengan demikian, belajar
sikap berarti memperoleh kecenderungan untuk menerima atau menolak suatu objek;
berdasarkan penilaian terhadap objek itu sebagai hal yang berguna/berharga (sikap
positif) dan tidak berharga/berguna (sikap negatif). Sikap merupakan suatu kemampuan
internal yang berperan sekali dalam mengambil tindakan (action), lebih-lebih apabila
terbuka berbagai kemungkinan untuk bertindak atau tersedia beberapa alternatif
(Winkel, 2004).
2.3. Proses Pembemtukan Sikap
1. Pola Pembiasaan
Perhatikan percobaan yang dilakukan seorang psikolog yang bernama
Watson.
Pada suatu hari Watson melihat ada anak yang senang dengan tikus berbulu
putih. Ke mana pun anak itu pergi ia selalu membawa tikus putih yang sangat
disenanginya. Watson ingin mengubah sikap senang anak terhadap tikus putih
benjadi benci atau tidak senang. Maka ketika anak hendak memegang tikus itu,
Watson memberi kejutan dengan suara keras, hingga anak itu terkajut. Terus-
menerus hal itu dilakukan. Ketika anak mendekati dan hendak membawa tikus itu,
dimunculkanlah suara keras; anak semakin terkejut dan lama-kelamaan anak
benar-benar menjadi takut dengan tikus itu. Jangankan ia mau memegang atau
membawanya, melihat saja ia menangis dan ketakutan. Mengapa anak berubah
sikapnya dari sikap positif terhadap tikus menjadi sikap negatif? Hal ini
disebabkan kebiasaan (conditioning). Cara belajar sikap demikian menjadi dasar
penanaman sikap tertentu terhadap suatu objek.
Dalam proses pembelajaran di sekolah, baik secara disadari maupun tidak,
guru dapat menanamkan sikap tertentu kepada siswa melalui proses pembiasaan.
Belajar membentuk sikap melalui pembiasaan itu juga dilakukan oleh
Skinner melalui teorinya operant conditioning. Proses pembentukan sikap melalui
pembiasaan yang dilakukan Watson berbeda dengan proses pembiasaan sikap
yang dilakukan oleh Skinner. Pembentukan sikap yang dilakukan oleh Skinner
menekankan pada proses peneguhan respons anak. Setiap kali anak menunjukkan
prestasi yang baik diberikan penguatan (reinforcement) dengan cara memberikan
hadiah atau perilaku yang menyenangkan. Lama-kelamaan, anak berusaha
meningkatkan sikap positifnya.
2. Modeling
Salah satu karakteristik anak didik yang sedang berkembang adalah
keinginannya untuk melakukan peniruan (imitasi). Hal yang ditiru itu adalah
perilaku-perilaku yang diperagakan atau didemonstrasikan oleh orang yang
menjadi idolanya. Prinsip peniruan ini yang dimaksud dengan modeling.
Modeling adalah proses peniruan anak terhadap orang lain yang menjadi idolanya
atau orang yang dihormatinya.
Pemodelan biasanya dimulai dengan rasa kagum. Anak kagum terhadap
kepintaran orang lain, misalnya terhadap guru yang dianggapnya bisa melakukan
segala sesuatu yang tidak bisa dilakukannya. Secara perlahan perasaan kagum
akan memengaruhi emosinya dan secara perlahan itu pula anak akan meniru
perilaku yang dilakukan oleh idolanya itu. Misalnya, jika idolanya (guru atau
siapa saja) menunjukkan perilaku tertentu terhadap suatu objek, maka anak
cenderung akan berperilaku sama seperti apa yang dilakukan oleh idolanya itu.
Contohnya, jika guru idola seorang murid selalu berpakaian rapi dan bersih, maka
murid itu juga akan berperilaku seperti itu.
a. Tingkat Prakonvensional
Pada tingkat ini setiap individu memandang moral berdasarkan
kepentingannya sendiri. Artinya, pertimbangan moral didasarkan pada
pandangannya secara individual tanpa menghiraukan rumusan dan aturan
yang dibuat oleh masyarakat. Pada tingkat prakonvensional ini terdiri atas
dua tahap, yaitu :
Tahap 1. Orientasi Hukuman dan Kepatuhan
Pada tahap ini perilaku anak didasarkan kepada konsekuensi fisik
yang akan terjadi. Artinya, anak hanya berfikir bahwa perilaku yang benar
itu adalah perilaku yang tidak akan mengakibatkan hukuman. Dengan
demikian, setiap peraturan harus dipatuhi agar tidak menimbulkan
konsukuensi negatif.
b. Tingkat Konvensional
Pada tahap ini anak mendekati masalah didasarkan pada hubungan
individu-masyarakat. Kesadaran dalam diri anak mulai tumbuh bahwa
perilaku itu harus sesuai dengan norma-norma dan aturan yang berlaku di
masyarakat. Pada tingkat konvensional itu mempunyai 2 tahap sebagai
kelanjutan dari tahap yang ada pada tingkat prakonvensional, yaitu tahap
keselarasan interpersonal serta tahap sistem sosial dan kata hati.
c. Tingkat Postkonvesional
Pada tingkat ini perilaku bukan hanya didasarkan pada kepatuhan
terhadap norma-norma masyarakat yang berlaku, akan tetapi didasari oleh
adanya kesadaran sesuai dengan nilai-nilai yang dimilikinya secara individu.
Seperti pada tingkat sebelumnya, pada tingkat ini juga terdiri dari dua tahap,
yaitu :
Tahap 5. Kontrak Sosial
Pada tahap ini perilaku individu didasarkan pada kebenaran-kebenaran
yang di akui oleh masyarakat. Kesadaran individu untuk berperilaku tumbuh
karena kesadaran untuk menerapkan prinsip-prinsip sosial. Dengan
demikian, kewajiban moral dipandang sebagai kontrak sosial yang harus
diparuhi, bukan sekedar pemenuhan sistem nilai.
II. Menghargai
Terdiri atas 2 tahap pembelajaran, yaitu :
d. Adanya perasaan senang dan bangga dengan nilai yang menjadi
pilihannya, sehingga nilai tersebut akan menjadi bagian integral dari
dirinya.
e. Menegaskan nilai yang sudah menjadi bagian integral dalam dirinya di
depan umum. Artinya, bila kita menganggap nilai itu suatu pilihan,
maka kita akan berani dengan penuh kesadaran untuk
menunjukkannya di depan orang lain.
III. Berbuat
Pada tahap ini terdapat 2 tahap, yaitu :
f. Kemauan dan kemampuan untuk mencoba melaksanakannya.
g. Mengulangi perilaku sesuai dengan nilai pilihannya. Artinya, nilai
yang menjadi pilihan itu harus tercermin dalam kehidupannya sehari-
hari.
VCT menekankan bagaimana sebenarnya seseorang membangun nilai yang
menurut anggapannya baik, yang pada gilirannya nilai-nilai tersebut akan
mewarnai perilakunya dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat. Beberapa hal
yang harus diperhatika guru dalam mengimplementasikan VCT melalui proses
dialog :
Hindari penyampaian pesan melalui proses pemberian nasihat, yaitu
memberikan pesan-pesan moral yang menurut guru dianggap baik.
Jangan memaksa siswa untuk memberi respons tertentu apabila memang
siswa tidak menghendakinya.
Usahakan dialog dilaksanakan secara bebas dan terbuka, sehingga siswa
akan mengungkapkan perasaannya secara jujur dan apa adanya.
Dialog dilaksanakan kepada individu, bukan kepada kelompok kelas.
Hindari respons yang dapat menyebabkan siswa terpojok, sehingga ia
menjadi defensif.
Tidak mendesak siswa pada pendirian tertentu.
Jangan mengorek alasan siswa lebih dalam.
III.1. Kesimpulan
Strategi pembelajaran afektif adalah strategi yang bukan hanya bertujuan untuk
mencapai pendidikan kognitif saja, akan tetapi juga bertujuan untuk mencapai dimensi
yang lainnya.
Sikap (afektif) erat kaitannya dengan nilai yang dimiliki oleh seseorang. Sikap
merupakan refleksi dari nilai yang dimiliki. Oleh karenanya, pendidikan sikap pada
dasarnya adalah pendidikan nilai.
Nilai, adalah suatu konsep yang berada dalam pikiran manusia yang sifatnya
tersembunyi, tidak berada dalam dunia yang empiris.
Keberhasilan pembentukan sikap tidak bisa dievaluasi dengan segera. Berbeda
dengan pembentukan aspek kognitif dan aspek keterampilan yang hasilnya dapat
diketahui setelah proses pembelajaran berakhir, maka keberhasilan dari pembentukan
sikap baru dapat dilihat pada rentang waktu yang cukup panjang. Hal ini disebabkan
sikap berhubungan dengan internalisasi nilai yang memerlukan proses yang lama.
Pengaruh kemajuan teknologi, berdampak pada pembentukan karakter anak. Tak
bisa dipungkiri program-program televisi yang menayangkan acara produksi luar yang
memiliki latar belakang yang berbeda. Maka dari itu, secara perlahan tapi pasti budaya
asing yang belum cocok dengan budaya lokal merembes dalam setiap relung kehidupan.
III.2. Saran
Rumusan tujuan pendidikan, sarat dengan pembentukan sikap. Dengan demikian,
tidaklah lengkap manakala dalam strategi pembelajaran tidak membahas strategi
pembelajaran yang berhubungan dengna pembentukan sikap dan nilai. Oleh karena itu,
tuntutan akan kemampuan guru untuk memilih dan memilah metode, yang sesuai
dengan tujuan dan materi pelajaran merupakan harapan akan keberhasilan pencapaian
prestasi belajar siswa dalam pelajaran Agama. Tuntutan tersebut mutlak dilakukan oleh
seorang guru agama apabila melaksanakan transfer pendidikan Agama. Hal tersebut
juga sejalan dengan tuntutan kurikulum saat ini yang sangat memperhatikan pentingnya
metode pembelajaran yang akan digunakan oleh seorang guru.
Hal tersebut sesuai juga dengan tingkat perkembangan siswa SMP yang masih
berada dalam masa transisi dan konkrit ke formal. Untuk mencapai tujuan tersebut tidak
lepas dari peran guru Agama. Bagi guru Agama, dalam upaya peningkatan penguasaan
materi pelajaran dan kemampuan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari,
diperlukan strategi dan metode dalam penyampaian (transfer knowledge) pelajaran
Agama tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
http://edi-macammacamartikel.blogspot.co.id/2011/12/strategi-pembelajaran-
afektif.html (diakses pada tanggal 18 April 2016).
http://fuadhasansuccen.blogspot.co.id/2012/01/strategi-pembelajaran-afektif.html
(diakses pada tanggal 18 April 2016).