Anda di halaman 1dari 5

Patofisiologi

Sistem limfatik berperan pada reaksi peradangan sejajar dengan sistem vaskular darah. Biasanya
ada penembusan lambat cairan interstisial kedalam saluran limfe jaringan, dan limfe yang
terbentuk dibawa kesentral dalam badan dan akhirnya bergabung kembali kedarah vena. Bila
daerah terkena radang, biasanya terjadi kenaikan yang menyolok pada aliran limfe dari daerah
itu. Telah diketahui bahwa dalam perjalanan peradangan akut, lapisan pembatas pembuluh limfe
yang terkecil agak meregang, sama seperti yang terjadi pada venula, dengan demikian
memungkinkan lebih banyak bahan interstisial yang masuk kedalam pembuluh limfe.
Bagaimanapun juga, selama peradangan akut tidak hanya aliran limfe yang bertambah, tetapi
kandungan protein dan sel dari cairan limfe juga bertambah dengan cara yang sama.
Sebaliknya, bertambahnya aliran bahan-bahan melalui pembuluh limfe menguntungkan karena
cenderung mengurangi pembengkakan jaringan yang
meradang dengan mengosongkan sebagian dari eksudat. Sebaliknya, agen-agen yang dapat
menimbulkan cedera dapat dibawa oleh pembuluh limfe dari tempat peradangan primer ketempat
yang jauh dalam tubuh. Dengan cara ini, misalnya, agen-agen yang menular dapat menyebar.
Penyebaran sering dibatasi oleh penyaringan yang dilakukan oleh kelenjar limfe regional yang
dilalui oleh cairan limfe yang bergerak menuju ke dalam tubuh, tetapi agen atau bahan yang
terbawa oleh cairan limfe mungkin masih dapat melewati kelenjar dan akhirnya mencapai aliran
darah (Price, 1995).

Pathway

Askep
a. Pengkajian
Anamnesis
Pemeriksaan limfadenopati diawali
dengan anamnesis umur penderita dan lamanya limfadenopati. Pajanan untuk
menentukan penyebab limfadenopati. Gejala yang menyertai seperti fatigue, malaise, dan
demam, sering menyertai limfadenopati servikal dan limfositosis atipikal pada sindrom
mononukleosis. Demam, keringat malam, dan penurunan berat badan lebih dari 10%
dapat merupakan gejala limfoma B symptom. Pemeriksaan fisik antara lain adalah:
lokasi, menentukan apakah limfadenopati lokalisata atau generalisata dapat
mempersempit pemeriksaan. Nodul yang membesar pada daerah limfa sebagian besar
merupakan penyakit lokal. Keberadaan limfangitis juga bisa mendeteksi infeksi lokal.
Nodul limfa yang terkait dengan keganasan cenderung melibatkan beberapa kelompok
nodul. Limfadenopati di area supraklavicular memiliki risiko keganasan tertinggi; risiko
ini adalah 90% pada pasien berusia lebih dari 40 tahun dan 25% pada mereka yang
berusia di bawah 40 tahun. Ukuran pada Servikal dan aksila nodul limfa ukuran biasanya
<1cm. Inguinal nodul limfa ukuran biasanya <1,5 cm. Servikal nodul limfa >2cm
Namun, tidak ada ukuran nodal seragam di mana diameter yang lebih besar dapat
meningkatkan kecurigaan etiologi neoplastik. Nyeri di kelenjar getah bening adalah
temuan yang tidak spesifik. Hal ini biasanya karena infeksi. Pada beberapa kasus, nyeri
diinduksi oleh perdarahan ke pusat nekrosis dari nodul neoplastik, stimulasi imunologi
reseptor nyeri, atau ekspansi tumor yang cepat. Konsistensi Peradangan akut dengan
infiltrasi nodul dapat membuatnya lebih konsisten, dengan kelembutan bersamaan karena
ketegangan pada kapsul. Peradangan kronis juga menyebabkan perubahan fibrotik,
membuat nodul sulit di palpasi. Nodul yang keras dan tanpa rasa sakit biasanya adalah
tanda-tanda kanker metastatik atau penyakit granulomatosa. Nodul yang kuat dan lunak
dapat menyiratkan limfoma.

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang di antaranya yaitu:
Biopsi eksisi merupakan gold standar dari pemeriksaan limfadenopati namun tidak
semua pusat layanan kesehatan dapat melakukan prosedur ini karena keterbatasan sarana
dan tenaga medis. Di samping itu, metode biopsi eksisi ini tergolong invasif dan mahal.
Biopsi aspirasi jarum halus merupakan penunjang yang cukup baik dalam
menggantikan jika pusat pelayana kesehatan memiliki keterbatasan sarana dan tenaga
medis. Meskipun biopsi aspirasi jarum halus adalah diagnosis pertama yang mapan alat
untuk evaluasi kelenjar getah bening, hanya biopsi inti atau biopsi eksisi akan cukup
untuk diagnosis formal limfoma ketika teknik analitik lebih lanjut tidak tersedia, seperti
imunohistokimia, aliran cytometry dan noda khusus.

Pemeriksaan laboratorium limfadenopati terutama dilihat dari riwayat dan pemeriksaan


fisik berdasarkan ukuran dan karakteristik lain dari nodul dan pemeriksaan klinis
keseluruhan pasien. Ketika pemeriksaan laboratorium ditunjukkan, itu harus didorong
oleh pemeriksan klinis. Pemeriksaan laboratorium dari limfadenopati diantaranya adalah
complete blood cell count (CBC) with differential, erythrocyte sedimentation rate (ESR),
lactate
dehydrogenase (LDH), specific serologies based on exposures and symptoms [B.
henselae, Epstein–Barr virus (EBV), HIV], tuberculin skin testing (TST).

Pemeriksaan radiologi di antaranya, yaitu: ultrasonografi bisa berguna untuk diagnosis


dan monitor pasien dengan limfadenopati, terutama jika mereka memiliki kanker tiroid
atau riwayat terapi radiasi saat muda. Tetapi harus dipikirkan bahwa meski di pasien
kanker pembesaran kelenjar getah bening jinak lebih sering dibandingkan yang ganas.
Bentuk dari nodul limfa jinak biasanya berbentuk oval tipis sedangkan ganas berbentuk
bulat dan kenyal. Perbedaan di ukuran atau homogenitas tidak menjadi indikator patologi
yang bisa diandalkan.
Magnetic Resonance Imaging (MRI) sebelum meluasnya penggunaan gadolinium dan
teknik supresi lemak, MRI sering tidak lebih spesifik dibandingkan Computerized
Tomography (CT) dalam karakterisasi nodul limfa servikal metastasis karena rendahnya
kemampuan untuk menunjukkan nodul yang bertambah secara heterogen, tanda
metastasis nodul yang sangat akurat dalam pengaturan SCC leher. Namun, teknologi scan
MRI meningkat, peningkatan gadolinium, dan rangkaian supresi lemak telah
memungkinkan akurasi yang sebanding. Juga, deteksi MRI dari invasi arteri karotis oleh
penyebaran ekstrakaspular tumor dari nodulsering kali lebih unggul daripada CECT.
Pemeriksaan CT nodul limfa dilakukan bersamaan selama pemeriksaan CT terhadap
sebagian besar tumor suprahyoid dan infrahyoid atau peradangan. Kualitas penilaian
nodul limfa sangat tergantung pada keberhasilan mencapai konsentrasi kontras yang
tinggi dalam struktur arteri dan vena leher. Jika tidak, nodul dan pembuluh mungkin
tampak sangat mirip.

b. Diagnosis Keperawatan
1. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan disfungsi neuromuskular
2. Risiko infeksi
3. Nyeri akut
4. Risiko kekurangan volume cairan

c. Rencana Keperawatan
1. Diagnosis : Pola napas tidak efektif berhubungan dengan disfungsi neuromuskular

Outcome :
Menetapkan pola nafas normal / efektif dan bebas dari sianosis dan tanda-tanda
hipoksia lain. (doengos, 1999; 911 – 912)

Intervensi :
● Pertahankan jalan udara pasien dengan memiringkan kepala,
hipereksentensi rahang, aliran udara feringeal oral.
● Obserefasi dan kedalaman pernafasan, pemakaian otot-otot bantu
pernafasan, perluasan rongga dada, retraksi atau pernafasan cuping
hidung, warna kulit dan aliran udara.
● Letakkan pasien pada posisi yang sesuai, tergantung pada kekuatan
pernafasan dan jenis pembedahan.
● Observasi pengembalian fungsi otot terutama otot pernafasan.
● Lakukan penghisapan lendir jika perlu.
● Kaloborasi: berikan tambahan oksigen sesuai kebutuhan.

2. Diagnosis : Risiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasif

Outcome :
Mencapai penyembuhan tepat waktu, bebas drenase purulen atau eritema dan
tidak demam (doengos, 1999; 796 – 797)

Intervensi :
● Tingkatkan cuci tangan yang baik pada staf dan pasien.
● Gunakan aseptik atau kebersinan yang ketet sesuai indikasi untuk
menguatkan atau menganti balutan dan bila menangani drain. Insruksian
pasien tidak untuk menyentuh atau menggaruk insisi
● Kaji kulit atau warna insisi. Suhu dan integritas: perhatikan adanya
eritema /inflamasi kehilangan penyatuan luka.
● Awasi suhu. Adanya menggigil.
● Dorong pemasukan cairan, diet tinggi protein dengan bentuk makanan
kasar.
● Kolaborasi berikan antibiotik sesuai indikasi

3. Diagnosis : Nyeri akut berhubungan dengan gangguan pada kulit, jaringan, dan
integritas otot

Outcome :
Tujuan: mengatakan bahwa rasa sakit telah terkontrol/hilang. (doengos, 1999; 915
– 917)

Intervensi :
● Evaluasi rasa sakit secara regular (mis, setiap 2 jam x 12), catat
karakteristik, lokasi dan intensitas (skala 0-10).
● Kaji penyebab ketidaknyamanan yang mungkin selain dari prosedur
operasi.
● Berikan informasi mengenai sifat ketidaknyamanan, sesuai kebutuhan.
● Lakukan reposisi sesuai petunjuk, misalnya semi-fowler; miring.
● Dorong penggunaan teknik relaksasi, misalnya latihan napas dalam,
bimbingan imajinasi, visualisasi.
● Berikan perawatan oral reguler.

4. Diagnosis : Risiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan pengeluaran


integritas pembuluh darah

Outcome :
Mendemonstrasikan keseimbangan cairan yang adekuat, sebagaimana
ditunjukkan dengan tanda-tanda vital yang stabil, palpasi denyut nadi dengan
kualitas yang baik, turgor kulit normal, membran mukosa lembab, dan
pengeluaran urine yang sesuai (doengos, 1999; 913-915)
Intervensi :
● Ukur dan catat pemasukan dan pengeluaran (termasuk pengeluaran
gastrointestinal).
● Kaji pengeluaran urinarus, terutama untuk tipe prosedur operasi yang
dilakukan.
● Berikan bantuan pengukuran berkemih sesuai kebutuhan. Misalnya
privasi, posisi duduk, air yang mengalir dalam bak, mengalirkan air
hamgat di atas perineum.
● Catat munculnya mual/muntah, riwayat pasien mabuk perjalanan.
● Periksa pembalut, alat drein pada intrval reguler. Kaji luka untuk
terjadinya pembengkakan.
● Kalaborasi: Berikan cairan pariental, pruduksi darah dean/atau plasma
ekspander sesuai petunjuk. Tingkatkan kecepatan IV jika diperlukan.

Anda mungkin juga menyukai