Anda di halaman 1dari 34

PANDUAN PRAKTIKUM

KEPERAWATAN RADIOLOGI
PANDUAN PRAKTIKUM
KEPERAWATAN RADIOLOGI

PROGAM STUDI D3 RADIOLOGI POLTEKKES TNI AU ADISUTJIPTO


YOGYAKARTA
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah SWT atas terselesainya penyusunan Buku Panduan
Praktikum Radiofotografi II bagi mahasiswa Program Studi DIII Teknik Radiodiagnostik dan
Radioterapi STIKES Guna Bangsa Yogyakarta

Kami menyadari keterbatasan kemampuan maupun kesempatan dalam penyusunan


buku panduan ini sehingga saran dan kritik yang membangun akan kami terima dengan
senang hati. Semoga buku ini dapat memberikan petunjuk kepada mahasiswa agar dapat
melaksanakan perkuliahan praktikum denagn baik dan benar.

Akhirnya kami ucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah
memberkan bantuan sehingga buku ini dapat terselesaikan.

Penyusun

2
VISI & MISI
POLTEKKES TNI AU ADISUTJIPTO YOGYAKARTA

VISI
Menjadi Poltekkes yang unggul, mandiri, berkualitas, dan modern serta kompetitif di
tingkat global yang dilandasi jiwa bela negara dan patriotism yang tinggi.

MISI
Meyelenggarakan pendidikan kesehatan untuk menghasilkan lulusan yang
berkualitas, beriman dan bertakwa serta mempunyai jiwa patriotism yang tinggi.
1. Melaksanakan penelitian terapan di bidang kesehatan yang berguna bagi
masyarakat.
2. Melaksanakan pengabdian masyarakat dan pemanfaatan iptek bidang kesehatan
untuk menciptakan perubahan perilaku hidup sehat dan melaksanakan kerjasama
dengan pihak terkait dalam rangka pengembangan dan kemandirian poltekkes.
3. Menghasilkan sinergitas kerjasama dengan pemangku kepentingan tingkat nasional
dan regional.

Modul Praktikum Radiofotografi I Halaman i


VISI & MISI
PROGRAM STUDI D3 RADIOLOGI

VISI

Menjadi Program Studi D-3 Radiologi yang mampu menghasilkan

radiografer yang professional, unggul, inovatif dan mandiri berstandar

nasional dan berperan serta dalam pengabdian kepada masyarakat, bangsa,

dan kemanusiaan.

MISI

1. Menyelenggarakan program studi Ahli Madya Radiologi yang berkualitas,

beriman, dan bertaqwa.

2. Mencetak lulusan Ahli Madya Radiologi yang berkompeten dan berkarakter

yang memiliki daya saing yang tinggi ditingkat Nasional.

3. Menyelenggarakan penelitian dan publikasi jurnal dalam bidang radiologi.

4. Berperan aktif dalam pengabdian masyarakat yang mengacu pada

perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

5. Menjalin kerja sama dengan Rumah Sakit baik negeri maupun swasta untuk

meningkatkan kemampuan lulusan.

3
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL 1

KATA PENGANTAR 2

VISI DAN MISI 3

DAFTAR ISI 4

TATA TERTIB PRAKTIKUM 5

CARA INJEKSI INTRAVENA 6

PENGUKURAN VITAL SIGN 10

OKSIGENASI 18

BASIC LIFE SUPPORT (BLS) 22

ELIMINASI URINE (PEMASANGAN KATETER 25

4
TATA TERTIB PRAKTIKUM

1. Mahasiswa menyiapkan diri 15 menit di depan laboratorium sebelum praktikum


dimulai
2. Mahasiswa yang terlambat 15 menit atau lebih tidak diijinkan mengikuti praktikum
3. Setiap akan praktikum, diadakan pre test dengan materi yang akan dipraktikumkan
4. Mahasiswa tidak boleh bersenda gurau dan makan minum selama praktikum
5. Selama praktikum berlangsung, mahasiswa tidak boleh meninggalkan laboratorium
tanpa izin dosen
6. Mahasiswa wajib membersihkan alat- alat yang dipakai untuk praktikum dan
dikembalikan dalam keadaan rapi dan bersih
7. Bila mahasiswa memecahkan /merusakkan alat, diwajibkan mengganti alat tersebut
paling lambat 2 hari setelah praktikum
8. Mahasiswa yang tidak dapat mengikuti praktikum karena berhalangan atau gagal
dalam praktikum harus mengulang atau mengganti pada hari lain sesuai dengan
jadwal yang telah diatur (sesuai dengan kebijakan dosen)
9. Mahasiswa wajib mengikuti praktikum 100% dari kegiatan praktikum

5
MODUL I
INJEKSI INTRAVENA

A. Tujuan Praktikum
Setelah menyelesaikan praktikum ini, mahasiswa mampu melakukan injeksi intravena
pada pasien dengan benar.
B. Dasar Teori
1. Definisi
Memasukkan cairan obat langsung ke dalam pembuluh darah vena
sehingga obat langsung masuk ke dalam sistem sirkulasi darah. Injeksi dalam
pembuluh darah menghasilkan efek tercepat dalam waktu 18 detik, yaitu waktu
satu peredarah darah, obat sudah tersebar ke seluruh jaringan. Tetapi lama kerja
obat biasanya hanya singkat. Cara ini digunakan untuk mencapai penakaran yang
tepat dan dapat dipercaya, atau efek yang sangat cepat dan kuat. Tidak untuk obat
yang tak larut dalam air atau menimbulkan endapan dengan protein atau butiran
darah.
Bahaya injeksi intravena adalah dapat mengakibatkan terganggunya zat-
zat koloid darah dengan reaksi hebat karena dengan cara ini “benda asing”
langsung dimasukkan ke dalam sirkulasi, misalnya tekanan darah mendadak turun
atau timulnya shock. Bahaya ini lebih besar bila injeksi dilakukan terlalu cepat,
sehingga kadar obat setempat dalam darah meningkat terlalu pesat. Oleh karena
itu, setiap injeksi intravena sebaiknya dilakuakan amat perlahan, antara 50-70
detik lamanya. (tips kesehatan.blogspot)
2. Tujuan
a. Memasukkan obat secara cepat
b. Mempercepat penyerapan obat
3. Indikasi
a. Pada seseorang dengan penyakit berat
b. Pemberian obat melalui intravena langsung masuk ke dalam jalur peredaran
darah. Misalnya pada kasus infeksi bakteri dalam peredaran darah (sepsis).
Sehingga memberikan keuntungan lebih dibandingkan memberikan obat oral.
Namun sering terjadi, meskipun pemberian antibiotika intravena hanya
diindikasikan pada injeksi serius, rumah sakit memberikan obat antibiotik jenis
ini tanpa melihat derajat infeksi. Antibiotika oral (dimakan biasa melalui mulut)
6
pada kebanyakan pasien di rumah sakit dengan infeksi bakteri, sama efektifnya
dengan antibiotika intravena dan lebih menguntungkan dari segi kemudahan
administrasi RS, biaya perawatan dan lamanya perawatan.
c. Obat tersebut memiliki bioavailabilitas oral yang terbatas (efektivitas dalam
darah jika dimasukkan melalui mulut) atau hanya tersedia dalam sediaan
intravena (sebagai obat suntik). Misalnya antibiotika golongan aminoglikosida
yang susunan kimiawinya “polications” dan sangat polar, sehingga tidak dapat
diserap melalui jalur gastrointestinal (di usus hingga sampai masuk ke dalam
darah). Maka harus dimasukkan ke dalam pembuluh darah langsung.
d. Pasien tidak dapat minum karena muntah atau memang tidak dapat menelan
obat (ada sumbatan di saluran cerna atas). Pada keadaan seperti ini, perlu
dipertimbangkan pemberian melalui jalur lain seperti rectal (usus), sublingual
(di bawah lidah), subkutan (di bawah kulit) dan intramuscular (disuntikkan di
otot).
e. Kesadaran menurun dan beresiko terjadi aspirasi (tersedak-obat masuk ke
pernafasan) sehingga pemberian melalui jalur lain dipertimbangkan.
f. Kadar puncak obat dalam darah perlu segera dicapai, sehingga diberikan
melalui injeksi bolus (suntikan langsung ke pembuluh balik/vena). Peningkatan
cepat konsentrasi obat dalam darah tercapai. Misalnya pada orang yang
mengalami hipoglikemia berat dan megancam nyawa, pada penderita diabetes
mellitus. Alasan ini juga sering digunakan untuk pemberian antibiotika melalui
infus/suntikan, namun perlu diingat bahwa banyak antibiotika memiliki
bioavailabilitas oral yang baik, dan mampu mencapai kadar adekuat dalam
darah untuk membunuh bakteri. (somelus.wordpress)
4. Kontraindikasi
a. Inflamasi (bengkak, nyeri, demam) dan infeksi di lokasi injeksi intravena
b. Daerah lengan bawah pada pasien gagal ginjal, karena lokasi ini akan
digunakan untuk pemasangan fistula arteri-vena (A-V shunt) pada tindakan
hemodiliasis (cuci darah)
c. Obat-obatan yang berpotensi iritan terhadap pembuluh darah vena kecil yang
aliran darahnya lambat (misalnya pembuluh vena di tungkai dan kaki).
(somelus.wordpress)
Contoh obat :
1. Ranitidin
7
Mengurangi keasaman lambung pada persalinan beresiko tinggi
2. Petidin Hidroklorida
Untuk nyeri sedang sampai berat, analgesia obstetri
3. Eritromisin
Digunakan pada pasien yang sensitif terhadap penisilin, organisme yang
resisten terhadap penisilin, sifilis, klamida, gonorea, infeksi pernafasan,
pengobatan infeksi yang sensitif terhadap eritromisin, profilaksis dalam
penatalaksanaan pecah ketuban saat kurang bulan. Juga untuk pasien yang
sensitif terhadap penisilin yang membutuhkan antibiotik guna mengobati
penyakit jantung dan katup jantung.
4. Protamin Sulfat
Untuk melawan kerja heparin
5. Fitomenadion (Vitamin K)
Mencegah dan mengobati hemoragi. (Banister, Claire. 2007)
Lokasi Injeksi
1. Pada lengan (vena mediana cubiti/ vena cephalica)
2. Pada tungkai (vena saphenosus)
3. Pada leher (vena jugularis) khusus pada anak
4. Pada kepala (vena frontalis atau vena temporalis) khusus pada anak
C. Prosedur Praktikum
1. Persiapan Alat
a. Handscoon 1 pasang
b. Spuit steril 3 ml
c. Kom berisi kapas alkohol
d. Bengkok
e. Obat injeksi dalam vial atau ampul
f. Torniquet
2. Prosedur Pelaksanaan Pemberian Obat Secara Intravena
a. Siapkan peralatan ke dekat pasien
b. Pasang sampiran atau tutup tirai untuk menjaga privasi pasien
c. Mencuci tangan dengan baik dan benar
d. Memakai handscoon dengan baik
e. Posisikan pasien dan bebaskan daerah yang akan disuntik dari pakaian pasien
f. Mematahkan ampul (bila perlu gunakan kikir)
8
g. Memasukkan obat ke dalam spuit sesuai dengan perintah dokter
h. Menentukan daerah yang akan disuntik
i. Meminta pasien untuk menggenggam tangannya dan memasang tourniquet
10-12 cm diatas vena yang akan disuntik sampai vena terlihat jelas
j. Melakukan desinfeksi menggunakan kapas alkohol pada daerah yang akan
disuntik dan biarkan kering sendiri
k. Memasukkan jarum dengan posisi tepat yaitu lubang jarum menghadap ke
0
atas, jarum dan kulit membentuk sudut 20
l. Lakukan aspirasi yaitu tarik penghisap sedikit untuk memeriksa apakah jarum
sudah masuk ke dalam vena yang ditandai dengan darah masuk ke dalam
tabung spuit (saat aspirasi jika ada darah berarti jarum telah masuk kedalam
vena, jika tidak ada darah masukkan sedikit lagi jarum sampai terasa masuk
di vena)

m. Buka tourniquet dan anjurkan pasien membuka kepalan tangannya,


masukkan obat secara perlahan jangan terlalu cepat
n. Tarik jarum keluar setelah obat masuk (pada saat menarik jarum keluar tekan
lokasi suntikan dengan kapas alkohol agar darah tidak keluar)
o. Rapikan pasien dan bereskan alat
p. Lepaskan sarung tangan
q. Cuci tangan dengan sabun dan air mengalir, keringka dengan handuk atau
tissue

9
MODUL II
PEMERIKSAAN TANDA-TANDA VITAL

A. Tujuan Praktikum
1. Tujuan Umum
Setelah mengikuti praktikum ini diharapkan mahasiswa dapat melakukan
keterampilan dalam melakukan pemeriksaan tanda-tanda vital.
2. Tujuan Khusus
Setelah melakukan praktikum ini mahasiswa mampu :
a. Melakukan pengukuran tekanan darah
b. Melakukan pengukuran nadi
c. Melakukan pengukuran temperatur/suhu tubuh
d. Melakukan pengukuran pernafasan (respiration rate)
B. Dasar Teori
Tekanan darah (TD), nadi, suhu/temperature dan respiration rate (RR) adalah
pengkajian dasar pasien, yang diambil dan didokumentasikan dari waktu ke waktu
yang menunjukkan perjalanan kondisi pasien. TD, nadi, suhu dan RR disebut dengan
tanda vital (vital sign) atau cardinal symptoms karena pemeriksaan ini merupakan
indikator yang diperlukan untuk mempertahankan kehidupan.
Tanda-tanda vital harus diukur dan dan dicatat secara akurat sebagai
dokumentasi keperawatan. Hasil pemeriksaan tanda-tanda vital pada pasien dapat
membantu perawat dalam membuat diagnosa dan perubahan respon pasien. Jenis
pemeriksaan tanda-tanda vital diantaranya :
1. Tekanan Darah (TD) normalnya 100-120/60-80 mmHg
Tekanan darah memiliki 2 komponen yaitu sistolik dan diastolik. Pada waktu
ventrikel berkonstraksi, darah akan dipompakan ke seluruh tubuh. Keadaaan ini
disebut sistolik, dan tekanan aliran darah pada saat itu disebut tekanan darah
sistolik. Pada saat ventrikel sedang rileks, darah dari atrium masuk ke ventrikel,
tekanan aliran darah pada waktu ventrikel sedang rileks disebut tekanan darah
diastolik.
Kategori tekanan darah pada dewasa (Keperawatan Klinis, 2011)
Kategori TD Sistolik (mmHg) TD Diastolik (mmHg)
Normal <120 <80
Prahipertensi 120-139 80-89

10
Hipertensi (derajat 1) 140-159 90-99
Hipertensi (derajat 2) >160 >100

2. Nadi
Frekuensi denyut nadi dihitung dalam 1 menit, normalnya 60-100
x/menit Takikardi jika > 100 x/menit dan Bradikardi jika < 60 x/menit

Lokasi pemeriksaan denyut nadi diantaranya :


a. Arteri radialis
b. Arteri ulnaris
c. Arteri brachialis
d. Arteri karotis
e. Arteri temporalis superfisial
f. Arteri maksiliaris eksterna
g. Arteri femoralis
h. Arteri dorsalis pedis
i. Arteri tibialis posterior
Skala ukuran kekuatan/kualitas nadi (Keperawatan Klinis, 2011)

Level Nadi
0 Tidak ada
1+ Nadi menghilang, hampir tidak teraba, mudah menghilang
2+ Mudah teraba, nadi normal
3+ Nadi penuh, meningkat
4+ Nadi mendentum keras, tidak dapat hilang

3. Suhu
Lokasi pemeriksaan suhu tubuh : mulut (oral) tidak boleh dilakukan pada anak/bayi,
anus (rectal) tidak boleh dilakukan pada klien dengan diare, ketiak (aksila), telinga
(timpani/aural/otic) dan dahi (arteri temporalis).
a. Hipotermia (<35° C)
b. Normal (35-37° C)
c. Pireksia/febris (37-41,1° C)
d. Hipertermia (>41,1° C)

LOKASI PENGUKURAN PERBEDAAN HASIL TEMPERATUR

11
SUHU
Suhu Aksila Lebih rendah 10 C dari suhu oral
Suhu rektal Lebih tinggi 0,4-0,50 C dari suhu oral
Suhu aural/timpani Lebih tinggi 0,80 C dari suhu oral

Suhu tubuh normal berdasarkan usia

Usia Suhu (Celcius)


Baru lahir 36,8
1 tahun 36,8
5-8 tahun 37,0
10 tahun 37,0
Remaja 37,0
Dewasa 37,0
Lansia (>70 thn) 36,0

4. Respiration Rate (RR)


Yang dinilai pada pemeriksaan pernafasan adalah : tipe pernafasan, frekuensi,
kedalaman dan suara nafas. Respirasi normal disebut eupnea (laki-laki : 12–20
x/menit), perempuan : 16-20 x/menit)
a. RR > 24 x/menit : Takipnea
b. RR < 10 x/menit : Bradipnea
Nadi, RR, dan tekanan darah (TD) berdasarkan usia (Keperawatan Klinis, 2011)

Usia Nadi (kali/menit) RR (kali/menit) TD sistolik (mmHg)


Dewasa (>18 tahun) 60-100 12-20 100-140
Remaja (12-18 tahun) 60-100 12-16 90-110
Anak-anak (5-12 tahun) 70-120 18-30 80-110
Pra sekolah (4-5 tahun) 80-140 22-34 80-100
Bawah 3 tahun/Toddler 90-150 24-40 80-100
(1-3 tahun)
Bayi (1 bulan – 1 100-160 30-60 70-95
tahun)
Baru lahir/infant (0-1 120-160 40-60 50-70
bulan)

C. Prosedur Praktikum
1. Persiapan alat
a. Stetoskop
b. Spygmomanometer

12
c. Sarung tangan/handscoon
d. Jam tangan
e. Thermometer oral
f. Thermometer axila
g. Thermometer rectal
h. Tissue
i. Kasa
j. Jelly
k. Bengkok
2. Pemeriksaan Suhu
a. Pengukuran Temperatur Axila
1) Cuci tangan
2) Minta klien untuk duduk atau berbaring, pastikan klien merasa nyaman
3) Gulung lengan baju klien atau buka baju atas sampai axila terlihat
4) Keringkan daerah axila dengan kasa
5) Pastikan thermometer siap (jika menggunakan thermometer raksa suhu awal
<35°C)
6) Pasang thermometer pada daerah tengah axila, minta klien untuk menurunkan
lengan atas dan meletakkan lengan bawah diatas dada

Gambar 1. Pemeriksaan Temperatur Axila

7) Jelaskan pada klien bahwa pengukuran akan berlangsung selama 5 menit atau
sampai alarm berbunyi pada thermometer elektrik
8) Ambil thermometer dan baca hasilnya
9) Bersihkan termometer dengan kapas alkohol atau dengan menggunakan
sabun-savlon-air bersih lalu keringkan dengan kasa
10) Rapikan klien
11) Mencuci tangan

13
12) Dokumentasikan hasil pemeriksaan

b. Pemeriksaan Temperatur Oral

1) Cuci tangan
2) Minta klien untuk duduk atau berbaring, pastikan klien merasa nyaman
3) Siapkan thermometer atau turn on pada thermometer elektrik

Gambar 2. Temperatur Oral

4) Tempatkan ujung thermometer dibawah lidah klien pada sublingual

Gambar 3. Pemeriksaan Temperatur Oral

5) Minta klien menutup mulut


6) Jelaskan pada klien bahwa pengukuran akan berlangsung selama 3-5 menit
atau sampai alarm berbunyi pada thermometer elektrik
7) Ambil thermometer dan baca hasilnya
8) Bersihkan termometer dengan kapas alkohol atau dengan menggunakan
sabun-savlon-air bersih lalu keringkan dengan kasa
9) Rapikan klien
10) Cuci tangan
11) Dokumentasikan hasil pemeriksaan

c. Pemeriksaan Temperatur Rectal

1) Jelaskan tujuan dan prosedur pemeriksaan pada klien

14
2) Cuci tangan dan persiapkan alat-alat di dekat klien
3) Pakai sarung tangan
4) Persilahkan klien untuk melepas celana (jaga privasi klien)
5) Bantu klien berbaring kearah lateral sinistra atau dekstra dengan kaki fleksi
6) Pada bayi periksa keadaan anus klien

Gambar 4. Temperatur Rectal

7) Olesi thermometer dengan jelly/lubricant


8) Minta klien untuk nafas dalam dan masukkan thermometer ke lubang anus
sedalam 3 cm (jangan paksakan bila ada tahanan/hambatan)
9) Jelaskan pada klien bahwa pengukuran akan berlangsung selama 5 menit atau
sampai alarm berbunyi pada thermometer elektrik
10) Ambil thermometer dan baca hasilnya
11) Bersihkan termometer dengan kapas alkohol atau dengan menggunakan
sabun-savlon-air bersih lalu keringkan dengan kasa
12) Rapikan klien
13) Cuci tangan
14) Dokumentasikan hasil pemeriksaan

d. Pemeriksaan Frekuensi Nafas


1) Bantu klien membuka baju, jaga privasi klien
2) Posisikan pasien untuk berbaring/duduk, pastikan klien merasa nyaman
3) Lakukan inspeksi atau palpasi dengan kedua tangan pada punggung/dada
untuk menghitung gerakan pernapasan selama minimal 1 menit
4) Dokumentasikan hasil pemeriksaan (frekuensi nafas, irama nafas
reguler/ireguler, dan tarikan otot bantu pernafasan)

e. Pemeriksaan Nadi
1) Cuci tangan
2) Bantu pasien untuk duduk atau berbaring, pastikan pasien merasa nyaman.

15
3) Gunakan ujung dua atau tiga jari (jari telunjuk, jari tengah dan jari manis )
untuk meraba salah satu dari 9 arteri.
4) Tekan arteri radialis untuk merasakan denyutan
5) Kaji jumlah, kualitas, dan ritme nadi
6) Gunakan jam tangan, untuk menghitung frekuensi nadi selama minimal 30
detik
7) Hitung frekuensi nadi selama 1 menit penuh apabila ditemukan kondisi
abnormal
8) Dokumentasikan hasil pemeriksaan

f. Pemeriksaan Tekanan Darah

1) Pilih manset tensimeter sesuai dengan ukuran lengan pasien


2) Tempatkan pasien dalam posisi nyaman (duduk/berbaring) dengan lengan
rileks, sedikit menekuk pada siku dan bebas dari tekanan oleh pakaian
3) Palpasi arteri brachialis.
4) Pasang manset melingkari lengan atas dimana arteri brachialis teraba, secara
rapi dan tidak terlalu ketat (2,5 cm di atas siku) dan sejajar jantung
5) Raba nadi radialis atau brachialis dengan satu tangan.
6) Tutup bulb screw tensimeter
7) Pasang bagian diafragma stetoskop pada perabaan pulsasi arteri brachialis
8) Pompa tensimeter/sphygmomanometer dengan cepat sampai 30mmHg di atas
hilangnya pulsasi
9) Turunkan tekanan manset perlahan-lahan sampai pulsasi arteri teraba
10) Dengarkan melalui stetoskop, sambil menurunkan perlahan-lahan
3mmHg/detik dan melaporkan saat mendengar bising “dug‟ pertama
(tekanan sistolik)
11) Turunan tekanan manset sampai suara bising “dug‟ yang terakhir (tekanan
diastolik)
12) Rapikan alat-alat yang telah digunakan
13) Rapikan dan berikan posisi yang nyaman pada pasien
14) Dokumentasikan hasil pemeriksaan

16
MODUL III
OKSIGENASI

A. Tujuan Praktikum
1. Mahasiswa mampu melakukan teknik oksigenasi dengan benar
2. Mahasiswa dapat mendemonstrasikan kepada pasien
3. Mahasiswa dapat memberikan oksigen yang tidak terputus saat pasien makan atau
minum.
B. Dasar Teori
1. Definisi
Oksigenasi adalah peristiwa menghirup udara dari luar yang mengandung
Oksigen (O2) ke dalam tubuh serta menghembuskan Karbondioksida (CO2)
sebagai hasil sisa oksidasi. Penyampaian oksigen ke jaringan tubuh ditentukan
oleh sistem respirasi (pernafasan), kardiovaskuler dan hematologi.
Pemberian terapi oksigen sering meru p akan sat u bagian p ent ing dan
bermanfaat pada keadaan kegawatdaruratan atau kekrtitisan. Jika seseorang tanpa
sakit at au cidera, oksigen 21 % (dalam udara bebas) cukup untuk mendukung
fungsi normal.

Terapi oksigen adalah memberikan aliran gas oksigen lebih dari 20% pada
tekanan 1 atmosfer sehingga konsentrasi pksigen meningkat dalam darah.

2. Indikasi dari prosedur oksigenasi (Poter &Perry, 2015)


a. Pasien yang mengalami perubahan tingakt oksigenasi
b. Pasien yang mengalami ganguan pertukaran gas
c. Pasien dengan penurunan curah jantung, peningkatan kerja otot jantung
d. Pasien dengan ketidakefektifan kerja pernafasan (laju nafas, nafas dalam,
bernafas dengan otot tambahan)
e. Pasien yang kebutuhan O2 nya meningkat, seperti luka bakar, infeksi berat,
multiple trauma
f. Pasien dengan kehilangan banyak darah, penyakit paru, gagal nafas, gagal
jantung
3. Kotraindikasi dari prosedur oksigenasi
Penggunaaan masker wajah dalam prosedur oksigenasi kontra indikasi bagi
pasien yang mengalami retensi karbondioksida karena akan memperburuk retensi.
17
4. Komplikasi yang mungkin dapat terjadi prosedur oksigenasi
a. Adanya kemungkinan keringnya mukosa dan juga karena jumlah oksigen yang
diberikan relatif sedikit lebih besar
b. Adanya kemungkinan kerusakan kulit di atas telinga dan di hidung akibat
pemasangan nasal kanula yang terlalu ketat
c. Adanya kemungkinan rasa nyeri yang dirasakan pasien saat kateter melewati
nasofaring dan karena mukosa nasal akan mengalami trauma
d. Adanya resiko pasien menghirup sejumlah besar karbondioksida akibat
kantung yang mengempes
5. Persyaratan dalam Pemberian Terapi Oksigen
Yang harus diperhatikan pada pemberian terapi oksigen pada pasien antara lain :
a. Mengatur pemberian fraksi O2 (%FiO2) atau jumlah liter /menit
b. Mencegah terjadinya akumulasi kelebihan CO2 oleh karena salah metode
c. Resistensi minimal untuk pernafasan (terutama pada kasus PPOK)
d. Efisiensi dan ekonomis dalam penggunaan O2
e. Oksigenasi harus dapat diterima pasien
6. Faktor-faktor yang mempengaruhi oksigenasi
a. Faktor Fisiologi
b. Faktor Perkembangan
c. Faktor Perilaku
d. Faktor Lingkungan
7. Macam-Macam Alat Terapi Oksigen
Peralatan oksigen dapat berupa portable dan tidak portable (O2 sentral).
Lingkungan dan peralatan oksigen harus aman oleh karena oksigen mudah
terbakar. Sebagian besar terapi oksigen harus aman oleh karena oksigen mudah
terbakar.
a. Pemberian Oksigen Melalui Nasal Kanul
Pemberian oksigen pada klien yang memerlukan oksigen secara
kontinyu dengan kecepatan aliran 1-6 liter/menit serta konsentrasi 20-40%,
dengan cara memasukkan selang yang terbuat dari plastik ke dalam hidung dan
mengaitkannya di belakang telinga. Panjang selang yang dimasukkan ke dalam
lubang hidung hanya berkisar 0,6 – 1,3 cm. Pemasangan nasal kanul
merupakan cara yang paling mudah, sederhana, murah, relatif nyaman, mudah
digunakan cocok untuk segala umur, cocok untuk pemasangan jangka pendek
18
dan jangka panjang, dan efektif dalam mengirimkan oksigen. Pemakaian nasal
kanul juga tidak mengganggu klien untuk melakukan aktivitas, seperti
berbicara atau makan. (Aryani, 2009:54). Bahayanya bisa menyebabkan iritasi
hidung, pengeringan mukosa hidung, epistaksis, iritasi bagian belakang telinga
tempat tali binasal, distensi lambung dan muntah.
b. Pemberian Oksigen Melalui Masker Oksigen
Pemberian oksigen kepada klien dengan menggunakan masker yang
dialiri oksigen dengan posisi menutupi hidung dan mulut klien. Masker
oksigen umumnya berwarna bening dan mempunyai tali sehingga dapat
mengikat kuat mengelilingi wajah klien. Bentuk dari face mask bermacam-
macam. Perbedaan antara rebreathing dan non-rebreathing mask terletak pada
adanya vulve yang mencegah udara ekspirasi terinhalasi kembali. (Aryani,
2009:54)
Macam Bentuk Masker :
1. Simple face mask merupakan sistem aliran rendah, mengalirkan oksigen
konsentrasi oksigen 35% - 55 % dengan kecepatan aliran 3-5 lt/mnt pada anak,
5-10 lt/mnt pada dewasa. Bahayamya aspirasi bila muntah, penumpukan CO2
pada aliran O2 rendah, nekrosa apabila sungkup muka dipasang terlalu ketat.

2. Rebreathing mask mengalirkan oksigen konsentrasi oksigen 60-80% dengan


kecepatan aliran 8-12 liter/menit. Memiliki kantong yang terus mengembang
baik, saat inspirasi maupun ekspirasi. Pada saat inspirasi, oksigen masuk dari
sungkup melalui lubang antara sungkup dan kantung reservoir, ditambah
oksigen dari kamar yang masuk dalam lubang ekspirasi pada kantong. Udara
inspirasi sebagian tercampur dengan udara ekspirasi karena tidak memiliki
penghalang/ katup. sehingga konsentrasi CO2 lebih tinggi daripada simple face
mask. (Tarwoto&Wartonah, 2010:37). Bahayanya sama seperti Simple face
mask.

19
3. Non rebreathing mask mengalirkan oksigen konsentrasi oksigen sampai 90%
dengan kecepatan aliran 8-12 liter/menit. Pada prinsipnya, udara inspirasi tidak
bercampur dengan udara ekspirasi karena mempunyai 2 katup, 1 katup terbuka
pada saat inspirasi dan tertutup saat pada saat ekspirasi, dan 1 katup yang
fungsinya mencegah udara kamar masuk pada saat inspirasi dan akan
membuka pada saat ekspirasi. (Tarwoto&Wartonah, 2010:37). Bahayanya
sama seperti Simple face mask.

8. Pemantauan Terapi Oksigen


a. Warna kulit pasien. Pada pemberian terapi O2 yang adekuat, kulit akan
berwarna pink, sedagkan jika masih hipoksemia, kulit akan tampak pucat.
Pada pemberian terapi oksigen yang berlebih dapat menimbulkan warna merah
membara di daerah mata, muka, kemudian menjalar ke bahu (bawah).
b. Analisa Gas Darah (AGD) adalah prosedur invasif dalam mengukur kadar
oksigen darah dan asam basa tubuh.
c. Oksimetri untuk menilai SpO2 merupakan prosedur non infasif yang dapat
menilai kandungan O2 yang terikat hemoglobin.
d. Keadaan umum pasien

C. Prosedur Praktikum
1. Alat dan bahan yang diperlukan dalam prosedur ini meliputi (Potter&Perry, 2005)
a. Kanula Nasal
b. Selang okisgen
c. Air steril hasil penyaringan
d. Alat pelembab
e. Sumber oksigen dengan alat pengukur aliran (flowmeter)

20
2. Langkah-Langkah Praktikum
a. Inspeksi tanda dan gejala pada pasien yang berhubungan dengan hipoksia
dan adanya sekresi pada jalan nafas
b. Jelaskan pada pasien dan keluarga hal-hal yang diperlukan dalam prosedur
dan tujuan terapi oksigen
c. Siapkan alat dan bahan yang diperlukan
d. Cuci tangan
e. Pasang nasal kanul ke selang oksigen dan hubungkan ke sumber oksigen
yang dilembabkan dan diatur sesuai dengan kecepatan aliran yang
diprogramkan
f. Letakkan ujung kanul ke dalam lubang hidung dan atur lubang kanula
yang elastis sampai kanul benar-benar sesuai dengan posisinya (hidung)
atau sampai pasien merasa nyaman
g. Pertahankan selang oksigen cukup kendur dan sambungkan ke pakaian
pasien
h. Periksa kanula setiap 8 jam dan pertahankan tabung pelembab terisi setiap
waktu
i. Observasi hidung dan permukaan superior kedua telinga pasien untuk
melihat adanya kerusakan kulit
j. Periksa kecepatan aliran oksigen dan program dokter setiap 8 jam
k. Cuci tangan

21
MODUL IV
BASIC LIFE SUPPORT

A. Tujuan Pembelajaran
1. Mahasiswa dapat memahami teknik basic life support dengan benar
2. Mahasiswa mampu mendemonstrasikan basic life support kepada pasien
B. Dasar Teori
1. Definisi

Keadaan gawat darurat bisa terjadi kapan saja, dimana saja dan juga kepada siapa saja.
Keadaan ini menuntut masyarakat agar mereka mengetahui bagaimana tindkan pertolongan
pada korban yang dalam keadaan tersebut diatas. Salah satu keadaan kegawatan yang
prevalensinya tinggi adalah penyakit kardiovaskuler. Banyak korban yang mengalami heart
attack (serangan jantung) tidak dilakukan pertolongan pertama ditempat kejadian. Hal ini
menambah angka kematian.
Resusitasi Jantung Paru merupakan tindakan yang dilakukan untuk menolong korban
yang dalam keadaan henti jantung, henti nafas. RJP merupakan langkah kedua untuk
menyelamatkan korban. Ada 5 langkah untuk menentukan keberhasilan pertolongan korban
yang mengalami cardiac arrest, yang dikenal dengan chain of survival (AHA, 2015) yang
meluputi :
1. Pengenalan dan pengaktifan sistem tanggap darurat
2. CPR berkualitas tinggi secepatnya
3. Defibrilasi cepat
4. Layanan medis darurat dasar dan lanjutan
5. Bantuan hidup dasar lanjutan dan perawatan pasca serangan jantung.

Tindakan RJP harus dilakukan segera setelah korban didapatkan dalam keadaan tidak teraba
nadi. Semakin lama korban tidak mendapatkan pertolongan awal maka keungkinan korban
selamat enjadi lebih kecil. RJP sudah harus dilakukan kurng dari 4 menit setelah korban
ditemukan dalam keadaan nadi tidak teraba. Tindakan ini akan mengurangi risiko kematian
sel-sel otak. Hazinski, M. dalam AHA guidelines CPR ECC, 2015 telah menerbitkan new
guidelines untuk tindakan RJP pada orang yang diduga mengalami henti jantung dan henti
nafas. Pada AHA guidelines 2005, tindakan RJP meliputi : Airway Control, Breathing
Support dan Chest Compression (ABC) diperbaharui dengan mengutamakan kompresi dada
pada menit-menit awal saat ditemukan korban. Sehingga prosedur pertolongan menjadi Chest
Compression – Airway – Breathing (C-A-B). Pada AHA 2015 juga ada sedikit pembaharuan
dari AHA 2010, antara lain untuk kecepatan kompresi, kedalaman kompresi, program AED
untuk penolong tidak terlatih di komunitas, dan penekanan pada kompresi dada.

22
Alasan dari perubahan prosedur tersebut adalah sebagian besar serangan jantung
terjadi pada orang dewasa, dan angka kejadian terbanyak penderita mengalami fibrilasi
ventrikel (VF) ataupun pullseless ventricle tachycardia (VT tnpa nadi). Pada kondisi seperti
ini, kompresi dada dan AED (Automatic External Defibrillation) menjadi elemen yang paing
penting untuk menyokong kehidupan pasien. Pada prosedur yang lama (AHA 2005),
penolong harus melakukan pembebasa jalan nafas, memberikan 2 kali bantuan nafas baik
dengan maupun tanpa alat sebelum melakukan komprei dada. Prosedur tersebut justru akan
memperlambat dukungan sirkulasi. Dengan mengubah urutn ke C-A-B penekanan dada akan
dimulai lebih cepat sehngga kebutuhan perfusi organ vital khususnya otak segera terpenuhi.

2. Tahap-Tahap Basic Life Support :

AIRWAY Control

Tindakan ini fokusnya adalah menyelamatkan/membebaskan jalan nafas dari sumbatan.


Sumbatan jalan nafas dapat terjadi oleh karena beberapa hal. Lidah bisa menjadi sangat
membahayakan jiwa ketik korban tidak sadar. Selain itu bend asing juga menjadi penyebab
terbanyak obstruksi jalan nafas. Untuk membebskan jalan nafas karena lidah, tindakan hed tilt
Chin Lift cukup efektif pada korbn non trauma cervical. Bila korban kita curigai trauma
cervical, penolong yang terlatih bisa melakukan Jaw Thrust Maneuver.

Gambar 1. Jaw thrust manouver

Benda asing juga berpotensi menyebabkan sumbatan jalan nafas. Oleh karena itu, bil
menemukan korban tidak sadar, lakukan cross finger untuk membuka mulut dan finger swap
untuk membersihkan benda asing yang masih berada di rongga mulut. Pada korban choking
(tersedak) biasanya benda asing berada di laring yang menyebabkan obstruksi total pada jalan
nafas. Pertolongan pertama yang harus dilakukan adalah Abdominal Thrust, Heimlich
maneuver, chest thrust dan atau back blow. Untuk korban ibu hamil dan orang dewas yang
perutnya besar, atau pada bayi, abdominal thrust tidak dianjurkan.
Korban dengan obstruksi jalan nafas total harus segera dilakukan pertolongan pertama.
Apabila teknik-teknik diatas tidak bisa mengatasi, korban tetap mengalami obstruksi total
maka alternative terakhir yang bisa dilakukan adalah Chricorioidotomy. Prosedur ini
dilakukan dengan cara mwmbuat lubang pada membrane dengan pisau (surgical

23
chricoriodotomy). Penolong harus sangat berhati-hati melakukan prosedur ini karena sangat
berisiko baik secara fisik, social budaya msyarakat setempat ataupun aspek hokum.

BREATHING Support

Bantuan pernafasan jangan terlalu kuat, jangan terlalu banyak (melebihi yang
danjurkan). Berikan nafas buatan dalam 1 detik sekali nafas, dan harus menghasilkan
pengembangan dada. Oleh karena itu, pada saat memberikn nafas buatan, mata tetap selalu
melihat pergerakan dada. Bantuan pernafasan ini sebaiknya diberikan dengan pocket mask
untuk menghindari penularan penyakit atau menggunakan big valve mask bila tersedia.
Untuk korban yang mengalami henti nafas tnpa disertai henti jantung, maka penolong
harus elakukan Rescue Breathing (bantuan nafas) 10 – 12 kali per menit (1 bantuan nafas
setiap 5 – 6 detik) untuk korban dewasa. Berikan bantuan nafas 12 – 20 kali per menit untuk
anak dan bayi (1 bantuan nafas setiap 3 – 5 detik).

Gambar 2. Rescue Breathing

Rescue Brething yang dilakukan pada korban yang sudah terpasang advanced airway,
frekuensi diberikan lebih lambat. Penolong hanya dianjuran memberikan baruan nafas dengan
frekuensi 8 – 10 kali per menit (setiap 6 – 8 detik sekali). Baik pada bayi, anak maupun orang
dewasa.

CHEST Compression

Bantun sirkulasi segera dilakukan bila korban mengalami henti jantung. Langkah ini
ditemukan segera setelah korban tidak sadar, dengan nafas yang teregah-engah (gasping),
atau terlihat tidak bernafas. Segera aktifkan EMS, kemudian segera dilanjutkan dengan raba
nadi karotis tidak lebih dari 10 detik. Untuk orang dewasa raba nadi karotis, dan untuk anak-
anak dan bayi dianjurkan raba pada arteri brachialis.
Kompresi dada dilakukan dengan tujuan untuk menjamin sirkulasi darah tetap berjalan
ketika jantung brhenti berdenyut. Ada 2 akibat yang ditimbulkan oleh kompresi dda, pertama
kompresi menghasilkan peningkatan intrathoracic dan menyebabkan kompresi langsung pada
24
jantung. Kedua hal tersebut akan menghasilkan aliran darah dan diharapkan suplai darah dan
oksigen ke organ vital.
Letakkan pangkal telapak tangan pada pertengahan dada korban. Letakkan salah satu
pangkal tangan,yang lain diatas punggung tanganyang pertama, sehingga tangan dalam
keadaan parallel. Pastikan sumbu pangkal tangan tepat pada sumbu sternum, jari-jari tangan
saling mengunci. Untuk mendapatkan kompresi yang efektif, beban tekanan dari bahu,posisi
lengan tegak lurus, posisi siku tidak boleh menekuk, posisi lengan tegak urus dengan bahu
korban. Tekan sternum minimal 2 inchi atau sekurang-kurangnya 5 cm untuk orang dewasa
dengan tetap menghindari kedalaman kompresi dada yang berlebihan (lebih dari 2,4 inchi
atau 6 cm), lepaskan tekanan hingga dada kembali ke posisi normal.

Gambar 3. Letak kompresi

Gambar 4. Posisi saat kompresi

Perbandingan kompresi dan ventilasi untuk korban dewasa, 30 : 2 dengan 1 maupun 2


penolong. Pada anak dan bayi, 30 : 2 bila penolong 1 orang. Bila penolong 2 orang,
perbandingan kompresi dan ventilasi 15 : 2. Kecepatan kompresi yang dianjurkan yaitu 100 -
120 kali per menit. Setelah RJP dilakukan selama 5 siklus atau tip 2 menit, lakukan cek nadi.
Ada kontroversi kapan RJP dihentikan. Menurut beberapa sumber RJP bisa dhentikan bila :
a. Korban sudah mulai muncul tanda-tanda kematian pasti

25
b. Sudah ada respon dari korban (mulai bernafas, nadi mulai ada)
c. Bila penolong sudah kelelahan

Tidak ada batasan waktu kapan RJP dihentikan, bahkan pada korban henti jantung
karena traumatic elektrik (kena setrum) bisa terus dikerjakan selama 1 jam.
C. Prosedur Praktikum
1. Alat dan Bahan
a. Manikin RJP
b. Ambubag
c. Tissue
d. Kassa
e. O2
f. Gunting Plester
g. Bengkok 0.2
2. Langkah-Langkah
a. Pastikan keamanan diri, korban dan lingkungan
b. Kaji respon (panggil, goncangan lembut, cubit, tekan)
c. Aktifkan sistem EMS (call for help)
d. Setelah 5 siklus RJP, periksa nadi carotis
e. Buka jalan nafas (head-tilt-chin-lift/jaw thrust)
f. Keluarkan benda asing yang ada dalam mulut (cross finger, finger swap)
g. Periksa nafas (Look, Listen, Feel) maksimal 10 detik
h. Berikan 2x bantuan nafas (1 detik/nafas) kaji adanya pengembangan dada
i. Mencari titik kompresi (center of chest)
j. Tempatkan 1 tangan pada titik tersebut, tangan yang lain letakkan di atasnya
dengan posisi jari saling bertautan
k. Lakukan kompresi 30x, 100 x/menit teratur, diikuti dengan bantuan nafas 2x
l. Kompresi dada dan bantuan nafas dilakukan selama 5 siklus
m. Setelah 5 siklus RJP, periksa nadi carotis
n. Korban pulih, lakukan secondary survey (head to toe examination)/ check
adanya luka, perdarahan dan patah tulang
o. Berikan posisi recovery

26
SKILL CHECK LIST RJP : DEWASA
(berdasarkan AHA New Guidelines for CPR 2015)

LANGKAH-LANGKAH KOMPETENSI
YA TIDAK
Pastikan keamanan
Kaji respon (panggil, goncangan lembut, rangsang nyeri),
quick look lihat nafas, bila tidak ada nafas atau nafas
gasping segera aktifkan EMS/ call for help

Cek nadi karotis tidak lebih dari 10 detik


Bila nadi tidak teraba atau ragu-ragu, segera cari titik
kompresi  center of chest

Tempatkan 1 tangan pada titik tersebut, tangan yang lain


letakan diatsnya dengan posisi jari saling bertautan

Lakukan kompresi 30 kali, kecepatan 100-120x/mnt


Buka jalan nafas (head tilt, chin lift/ jaw trust)

Keluarkan benda asing yang ada dalam mulut (cross


finger, finger sweep)

Berikan 2 kali bantuan nafas (1 detik/nafas) kaji adanya


pengembangan dada

Lanjutkan CPR sampai 5 siklus (30 kompresi : 2 ventilasi)

Setelah 5 siklus CPR, cek nadi krotis

Bila belum ada lanjutkan CPR 5 siklus lagi. Bil nadi


teraba, lihat pernafasan, bila belum ada lakukan rescue
breathing. Cek nadi tiap 2 menit

Bila nadi dan nafas ada, lakukan head to toe examination


Berikan posisi recovery, bila tidak ada kontraindikasi

27
MODUL V
PEMASANGAN KATETER

A. Tujuan Praktikum
Setelah melakukan praktikum ini, mahasiswa diharapkan dapat melakukan
pemasangan kateter pada pasien
B. Dasar Teori
1. Definisi
Katerisasi urine adalah tindakan memasukkan selang kateter ke dalam
kandung kemih melalui uretra dengan tujuan mengeluarkan urine. Katerisasi dapat
menyebabkan hal-hal yang dapat mengganggu kesehatan sehingga hanya
dilakukan bila benar-benar diperlukan serta harus dilakukan dengan hati-hati.
Pemasangan kateter urine dapat dilakukan untuk diagnosis maupun sebagai terapi.
2. Indikasi Pemasangan Kateter
Indikasi pemasangan kateter urine untuk diagnosis adalah sebagai berikut :
a. Untuk mengambil sampel urine guna pemeriksaan kultur mikrobiologi dengan
menghindari kontaminasi
b. Pengukuran residual urine dengan cara melakukan regular katerisasi pada klien
setelah mengakhiri miksinya dan kemudian diukur jumlah urine yang keluar
c. Untuk pemeriksaan cystogafi, kontras dimasukkan dalam kandung kemih
melalui kateter
d. Untuk pemeriksaan urodinamik yaitu cystometri dan uretral profil pressure

Indikasi pemasangan kateter urine sebagai terapi antara lain :


a. Dipakai dalam beberapa operasi traktus urinarius bagian bawah seperti secsio,
repair reflek vesico urethal, prostatektomi sebagai drainage kandung kemih
b. Mengatasi obstruksi infra vesikal seperti pada BPH, adanya bekuan darah
dalam buli-buli, struktur pasca bedah dan proses inflamasi pada uretra
c. Penanganan inkontinensia urine dengan intermitten self catheterization
d. Pada tindakan kateterisasi bersih mandiri berkala (KBMB)

28
e. Memasukkan obat-obat intavesika antara lain sitostatika/antipiretika untuk
buli-buli
f. Sebagai splint setelah operasi rekonstruksi uretra untuk stabilisasi uretra
3. Jenis-Jenis Pemasangan Kateter
Jenis – jenis pemasangan kateter urine terdiri dari :
a. Indwelling catheter
b. Intermitten catheter
c. Suprapubik catheter

4. Ukuran Kateter
Saat ini ukuran kateter yang biasanya dipergunakan adalah ukuran dengan
kalibrasi French (FH) atau disebut juga Charriere (CH). Ukuran tersebut
didasarkan atas ukuran diameter lingkaran kateter tersebut misalkan 18 FR atau
18 CH mempunyai diameter 6 mm dengan patokan setiap ukuran 1 FR = 1 CH
berdiameter 0.33 mm. Untuk klien dewasa, ukuran yang biasa dipergunakan
adalah 16-19 FR.
Bahan kateter dapat berasal dari logam (stainless), karet (latteks) dan
latteks dengan lapisan silicon sehingga kateter yang mempunyai ukuran yang
sama belum tentu mempunyai diameter lumen yang sama. Perbedaan bahan
kateter menentukan biokompatibilitas kateter di dalam buli-buli sehingga akan
mempengaruhi daya tahan kateter yang terpasang.
Perawatan kateter uretra yang paling utama yaitu menjaga kebersihan
kateter dan alat kelamin, menjaga kateter urine dengan tidak meletakkan lebih
tinggi dari buli-buli agar tidak terjadi aliran balik urine ke kandung kemih, serta
mengganti kateter tergantung jenis kateter yang digunakan.
C. Prosedur Praktikum
1. Persiapan
alat a. Steril
1) Kateter yang akan dipasang sesuai dengan ukuran yang dibutuhkan satu (1)
buah disiapkan dalam bak steril
2) Kateter ukuran 16
3) Steril GV
4) Sarung tangan 1 pasang
5) Spuit 10
29
6) Duk lubang
7) Kapas betadin
8) Air steril/Aquabidest 25 ml
9) Jelly
10) Slang dan kantong untuk menampung urine (urine
bag) b. Tidak steril
1) Phantom
2) Gunting
3) Plester
4) Bengkok 1 buah
5) Alas bokong 1 buah
6) Selimut mandi/kain penutup

2. Persiapan Pasien
Terutama untuk tindakan katerisasi uretra pasien harus diberi penjelasan
secara adekuat tentang prosedur dan tujuan pemasangan kateter urine. Posisi yang
biasa dilakukan adalah dorsal recumbent, berbaring di tempat tidur atau di atas
meja perawatan khususnya bagi wanita kurang memberikan rasa nyaman karena
panggul tidak ditopang sehingga untuk melihat meatus uretra menjadi sangat sulit.
3. Persiapan Tenaga Kesehatan
a. Melepaskan semua benda yang ada di tangan
b. Menggunakan sabun
c. Lama mencuci tangan 10 menit
d. Membilas dengan air bersih
e. Mengeringkan dengan tisu
f. Dilakukan sebelum dan sesudah melakukan tindakan kateterisasi urine
g. Menjelaskan prosedur tindakan kepada pasien
4. Langkah-Langkah
a. Mencuci tangan
b. Memasang pengalas/perlak dibawah bokong pasien
c. Pakaian bagian bawah pasien dilepas atau dikeataskan
d. Bengkok diletakkan di dekat bokong pasien
e. Buka pembungkus urine kateter

30
f. Sarung tangan steril dibuka
g. Duk steril dipasang
h. Pada pasien pria: Genetalia dibersihkan dengan cara penis dipegang dengan
tangan non dominan, bersihkan penis menggunakan kapas yang diolesi betadine
dengan gerakan memutar dari meatus ke luar. Tindakan bisa dilakukan beberapa
kali hingga bersih. Kemudian semprotkan 5-10cc jelly ke dalam uretra, penis
ditegakkan lurus ke atas dan kateter urine dimasukkan perlahan ke dalam buli-
buli (anjurkan pasien untuk menarik nafas panjang, masukkan sampai urine
keluar, masukkan lagi 2-3 cm, masukkan cairan aquadest 20-30 cc atau sesuai
ukuran yang tertulis untuk mengembangkan balon, tarik kateter hingga ada
tahanan.
i. Pada pasien wanita: Labia mayora dibuka dengan ibu jari dan telunjuk tangan
petugas yang non dominan, bersihkan vulva sekurang-kurangnya tiga kali,
petugas memakai sarung tangan dengan menggunakan kapas, disinfeksi dari
labia mayora, labia minora kemudian meatus. Pasang duk bolong steril, kateter
urine dimasukkan perlahan-lahan yang sebelumnya telah diisi jelly dan pasien
(klien) dianjurkan menarik nafas dalam. Masukkan sampai urine keluar,
masukkan lagi 2-3 cm, masukkan cairan aquadest 20-30 cc atau sesuai ukuran
yang tertulis untuk mengembangkan balon, tarik kateter hingga ada tahanan.
j. Duk dilepaskan
k. Fiksasi kateter urine di daerah pangkal paha untuk wanita dan di bawah
abdomen untuk pria
l. Urine bag digantungkan pada tempatnya
m. Sarung tangan dilepaskan
n. Pasien/klien dirapikan kembali
o. Alat dirapikan kembali
p. Mencuci tangan

31
SISTEMATIKA LAPORAN

A. Pendahuluan (Latar belakang dan Tujuan Praktikum),

B. Tinjauan Teori (Definisi alat yang digunakan, dasar-dasar praktikum)

C. Hasil dan Pembahasan (Prosedur Praktikum, Analisa terhadap hasil praktek)

D. Penutup (Kesimpulan dan saran)

E. Lampiran (Dokumentasi alat dan bahan, proses dan hasil praktikum)

*) Laporan ditulis tangan, individu. Ditulis dalam buku folio dengan format satu kelas sama,
sampul berwarna kuning. Paling lambat pengumpulan satu minggu setelah praktikum.

32

Anda mungkin juga menyukai