Anda di halaman 1dari 77

1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Visi Indonesia sehat 2020 yang pada hakekatnya adalah untuk mencapai

derajat kesehatan masyarakat yang sehat di seluruh lapisan masyarakat merupakan

titik tolak di galakannya berbagai upaya kesehatan (Netty, 2009).

Seiring dengan kemajuan teknologi dan peningkatan status sosial ekonomi

yang semakin meningkat, masalah kesehatan juga muncul di masyarakat yang

disebabkan kurangnya pengetahuan terutama tentang pola hidup yang tidak sehat

sehingga menyebabkan berbagai penyakit, salah satunya penyakit pada saluran

pencernaan diantaranya penyakit appendiksitis (Netty, 2009).

Appendisitis merupakan penyakit bedah mayor yang paling sering terjadi.

Walaupun apendisitis dapat terjadi pada setiap usia, namun paling sering terjadi

pada remaja dan dewasa muda. Angka kejadian penyakit ini tinggi sebelum era

antibiotik. Bila pembedahan dilakukan sebelum terjadi ruptur dan tanda

peritonitis, perjalanan pascabedah umumnya tanpa disertai penyulit. Pemberian

antibiotik biasanya diindikasikan. Waktu pemulangan pasien bergantung pada

seberapa dini penegakan diagnosis apendisitis, derajat inflamasi, dan penggunaan

metode bedah terbuka atau laparoskopi (Price & Wilson, 2006).

Appendisitis merupakan kedaruratan bedah abdomen yang paling sering

dilakukan di Amerika Serikat dengan lebih dari 250,000 appendiktomi dikerjakan

setiap tahunnya. Insiden appendisitis puncaknya pada dekade pertama dan kedua
2

kehidupan; jarang terjadi pada usia sangat muda atau tua. Namun, perforasi

sering terjadi pada anak-anak dan umur lanjut, dimana periode ini merupakan

angka tertinggi pada mortalitas. Pria dan wanita sama-sama dapat terkena, kecuali

pada antara umur pubertas dan umur 25 tahun, dimana pria dominan dengan rasio

3:2. Insiden appendisitis cenderung stabil di Amerika Serikat selama 30 tahun

terakhir, sementara insiden appendisitis lebih rendah pada negara berkembang dan

negara terbelakang, terutama negara-negara Afrika, dan lebih jarang pada

kelompok ekonomi rendah (Akbar, 2008).

Menurut Erita dalam Netty (2004), berdasarkan penelitian yang dilakukan

oleh Douglas et al terdapat 302 pasien yang terkena suspek appendiksitis setelah

dilakukan pemeriksaan ultrasonografi. Dan untuk mengatasi appendiksitis tersebut

telah dilakukan apendiktomi dengan angka kegagalan sekitar 9 – 11%, dan 89%

berhasil untuk mengatasi apendiksitis. Dan penelitian lain yang dilakukan oleh

Zielke et al, sekitar 2000 pasien mengatakan, bahwa sekitar 6% ultrasonografi

mendetaksi appendiksitis

Laparatomi merupakan tindakan dengan memotong pada dinding abdomen

dan merupakan penataleksanaan pada appendisitis. Laporan Depkes RI (2007)

menyatakan laparatomi meningkat dari 162 pada tahun 2005 menjadi 983 kasus

pada tahun 2006 dan 1.281 kasus pada tahun 2007. Komplikasi pada pasien post

laparatomi adalah nyeri yang hebat, perdarahan, bahkan kematian. Post operasi

laparatomi yang tidak mendapatkan perawatan maksimal setelah pasca bedah

dapat memperlambat penyembuhan dan menimbulkan komplikasi (Depkes,

2010).
3

Oeh karena itu perawatan luka post operasi harus memperhatikan prinsip

sterilisasi, dan dilakukan secara benar atau tepat sehingga komplikasi pasca bedah

dapat di minimalkan atau bahkan tidak ada.

Berdasarkan uraian diatas penulis tertarik untuk menjadikan penyakit

Appendisitis sebagai makalah ilmiah, agar penulis lebih memahami bagaimana

proses keperawatan yang dilakukan pada klien dengan penyakit Appendisitis.

1.2 Tujuan penulisan

1.2.1 Tujuan Umum

Mahasiswa mampu melakukan Asuhan Keperawatan secara

komprehensif dan memiliki keterampilan dasar praktik klinik ”ganti

balutan” pada klien dengan appendicitis perporasi post op laparatomi

dengan menggunakan pendekatan proses keperawatan.

1.2.2 Tujuan Khusus

a. Mahasiswa mampu melakukan pengkajian pada klien dengan Post Op

Laparatomi Ec App Perforasi

b. Mahasiswa mampu menentukan diagnosa keperawatan pada klien

dengan Post Op Laparatomi Ec App Perforasi

c. Mahasiswa mampu menentukan intervensi keperawatan pada klien

dengan Post Op Laparatomi Ec App Perforasi

d. Mahasiswa mampu melakukan implementasi pada klien dengan Post

Op Laparatomi Ec App Perforasi


4

e. Mahasiswa mampu melakukan evaluasi pada klien dengan Post Op

Laparatomi Ec App Perforasi

f. Mahasiswa mampu mendemonstrasikan keterampilan dasar praktik

klinik ”ganti balutan” pada klien dengan Post Op Laparatomi Ec App

Perforasi .

1.3 TEMPAT DAN WAKTU PELAKSANAAN

Tempat pelaksanaan Asuhan Keperawatan dan demonstrasi

keterampilan dasar praktik klinik ”ganti balutan” pada klien dengan Post Op

Laparatomi Ec App Perforasi di ruang perawatan bedah Rumah Sakit

Umum Daerah Palembang BARI pada tanggal 22 September - 27

September 2015.

1.4 MANFAAT

1.4.1 Bagi RSUD Palembang Bari

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan

pemikiran dan acuan kepada para perawat dalam memberikan Asuhan

Keperawatan secara komprehensif pada pasien appendicitis perporasi post

op laparatomi.

1.4.2 Bagi Stikes Muhammadiyah Palembang

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi yang

berguna untuk meningkatkan kualitas pendidikan keperawatan serta


5

sebagai bahan pemikiran dan acuan bagi mahasiswa dalam memberikan

asuhan sejenis dimasa yang akan datang.

1.4.3 Bagi Mahasiswa

Hasil penelitian ini sebagai penerapan teori yang didapat dibangku

kuliah dan mengaplikasinya di lapangan yang kemudian berguna dan

bermanfaat serta dapat menambahkan wawasan dan pengetahuan.

1.5 Metode Penulisan

Metode yang digunakan dalam penulisan makalah ilmiah ini menggunakan

metode deskritif, adapun pendekatan yang digunakan adalah studi kasus dengan

teknik :

a. Wawancara dengan melakukan pengkajian langsung melalui pertanyaaan

pada keluarga tentang masalah pasien.

b. Observasi dan pemeriksaan fisik dengan pengamatan secara langsung pada

klien tentang hal yang berkaitan dengan masalah pasien.

c. Studi dokumentasi dilakukan dengan cara mencari sumber informasi yang

didapat dari status pasien dan hal yang berhubungan dengan masalah

pasien.

d. Studi literature (kepustakaan) yaitu dengan mempelajari buku, makalah

dan sumber-sumber lain untuk mendapatkan dasar-dasar ilmiah yang

berhubungan dengan Appendisitis sehingga dapat membandingkan antara

teori dengan pelaksanaan yang ada pada kasus nyata di Rumah Sakit.
6

1.5 Ruang Lingkup

Dalam penyusunan makalah ini penulis membatasi ruang lingkup pada

Asuhan Keperawatan Pada pasien Appendisitis . Ruang lingkup dalam laporan

ini adalah keperawatan medical bedah dan berfokus pada kasus Appendisitis pada

Tn.A di ruang Bedah Rumah Sakit BARI Palembang, Asuhan Keperawatan

mulai dilakukan pada tanggal 22 September 2015.


7

BAB II

KONSEP DASAR

2.1 PROFIL RSUD PALEMBANG BARI

2.1.1 Selayang Pandang RSUD Palembang BARI

Rumah Sakit Umum Palembang BARI merupakan unsur penunjang

pemerintahan daerah dibidang pelayanan kesehatan yang merupakan satu

satunya rumah sakit umummilik pemerintah kota palembang, rumah sakit

umum palembang bari terletak dijalan panca usaha No. 1 kelurahan ulu Darat

Kecamatam Seberang ulu 1. Dan berdiri diatas tanahnya seluas 5,5 Hk.

Bangunan berada lebih kurang 800 m dari jalan raya jurusan Kertapati.

Sejak tahun 2001 dibuat jalan alternatif dari jalan poros Jakabaring.

2.1.2 Visi Misi Dan Moto RSUD Palembang BARI

a. Visi

Menjadi rumah sakit unggul, amanah, dan terpercaya diindonesia

b. Misi

1) Meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan prima dengan berorientasi

pada kesembuhan dan ketetapan, sesuai standar mutu pada etika dan

profesionalisme yang menjangkau seluruh masyarakat.

2) Meningkatkan mutu managemen sumber daya kesehatan


8

3) Menjadikan RSUD Palembang BARI sebagai rumah sakit pendidikan

dan pelatihan di indonesia.

c. Moto

‘’Kesembuhan dan Kepuasan pelanggan adalah kebahagiaan kami”

2.1.3 Sejarah

a. Sejarah Berdirinya RSUD Palembang Bari

1) Pada tahun 1985 sampai tahun 1994 RSUD Palembang BARI

merupakam gedung poliklinik / Puskesmas panca usaha.

2) Pada tanggal 19 juni sampai dengan 1995 diresmikan menjadi

RSUD Palembang BARI dengan SK Depkes No.

1326/menkes/XI/1997. Tanggal 10 November 1997ditetapkan

menjadi RSUD kelas C.

3) Kepmenkes RI No. HK.00.06.3.3.4646 tentang pemberian status

akreditasi penuh tingkat dasar Rumah Sakit Umum Daerah

Palembang BARI. Tanggal 7 November 2003.

4) Kepmenkes RI No. YM.01.10/111/334/08/4646 tentang pemberian

status akreditasi penuh tingkat dasar Rumah Sakit Umum Daerah

Palembang BARI. Tanggal 5 Februari 2008.

5) Kepmenkes RI No. 241/MENKES/SK/IV/2009 tentang

peningkatan kelas Rumah Sakit Umum Daerah Palembang BARI

menjadi kelas B.
9

6) Ditetapkan sebagai BLUD-SKPD RSUD Palembang BARI

berdasarkan keputusan Walikota Palembang No. 195B tahun 2008,

tentang penetapan RSUD Palembang BARI sebagai SKPD

palembang yang menerapkan pola pengelola keuangan BLUD

(PPK-BLUD) secara penuh.

b. Sejarah Pemegang Jabatan Direktur

1) Tahun 1986 s/d 1995 : dr. Jane Lidia Yitaheiu, sebagai kepala

poliklinik/Puskesmas panca usaha

2) Tanggal1 Juli1996 s/d Juni 2000 : dr. H. Edy Zakarty Monasir.

SpOG. Sebagai DirekturRSUD Palembang BARI

3) Bulan Juli 2000 s/d November 2000 pelaksana tugas : dr. H.

Dachlan Abbas.S.PB bulan Desember 2000 s/d Februari 2001 :

pelaksana tugas : dr. M. Faisal Soleh. SpPD.

4) Tanggal 14 November 2000 s/d Januari 2012 : dr. Hj. Indah

Puspita. H.A.MARS sebagai Direktur RSUD Palembang BARI

5) Bulan Februari 2012 s/d sekarang : dr. Hj.MAKIANI,

M.Kes.,MM.,MARS sebagai Direktur RSUD Palembang BARI


10

2.1.4 Fasilitas dan Pelayanan

Dalam memberikan kesehatan terhadap masyarakat RSUD

Palembang BARI Mempunyai pelayanan sebagai berikut :

a. Fasilitas

1) Instalasi Gawat Darurat 24 Jam

2) Farmasi/Apotik 24 Jam

3) Rawat jalan/Poliklinik

4) Rawat Inap

5) Bedah Sentral

6) Rehabilitas Medic

7) Radiologi 24 Jam

8) Laboratorium 24 Jam

9) Patologi Anatomi

10) Bank Darah

11) Hemodialisa

12) Medical Chech Up

13) ECG/EEG

14) USG 4 Dimensi

15) Endoskopi

16) Kamar Jenazah

17) Ctscan 64 Slic


11

b. Pelayanan
1) Poliklinik penyakit dalam

2) Poloklinik Bedah

3) Poliklinik kebidanan dan penyakit kandungan

4) Poliklinik Anak

5) Poliklinik Mata

6) Poliklinik THT

7) Poliklinik Syaraf

8) Poliklinik Kulit dan Kelamin

9) Poliklinik Jiwa

10) Poliklinik Rehabilitas Klinik

11) Poliklinik Jantung

12) Poliklinik Gigi

13) Poliklinik Psikologi

14) Poliklinik tumbuh kembang

c. Instalasi Gawat Darurat

1) Dokter Jaga 24 Jam

2) Ambulance 24 Jam

d. Pelayanan Rawat Inap


1) Perawatan VVIP Dan VIP

2) Perawatan Kelas I,II,III

3) Perawatan penyakit Dalam infeksi perempuan

4) Perawatan penyakit Dalam Infeksi laki-laki

5) Perawatan Anak
12

6) Perawatan Bedah

7) Perawatan ICU

8) Perawatan Kebidanan

9) Perawatan Neonatus Dan NICU

e. Pelayanan penunjang
1) Instalasi Laboratorium Klinik

2) Instalasi Radiologi

3) Instalasi Bedah Sentral

4) Instalasi farmasi (apotek)

5) Instalasi Gizi
13

2.2 LANDASAN TEORI

2.2.1 Pengertian

Apendisitis adalah peradangan pada apendiks vermiformis dan merupakan

penyebab abdomen akut yang paling sering. Penyakit ini mengenai semua umur

baik laki-laki maupun perempuan, tetapi lebih sering menyerang laki-laki berusia

10 sampai 30 tahun (Mansjoer, 2000).

Sedangkan menurut Smeltzer C. Suzanne (2001), Apendisitis adalah

penyebab paling umum inflamasi akut pada kuadran bawah kanan dari rongga

abdomen dan merupakan penyebab paling umum untuk bedah abdomen darurat.

Apendisitis merupakan indikasi tersering pengangkatan apendiks, walaupun

pembedahan ini dapat juga dilakukan untuk tumor, misalnya karsinoid atau

adenokarsinoma (Sylvia A. Price, 2006).

Apendiktomi adalah pembedahan dengan cara pengangkatan apendiks

Pembedahan adalah suatu penanganan medis secara invasif yang dilakukan

untuk mendiagnosa atau mengobati penyakit, injuri, atau deformitas tubuh

(LeMone & Burke, 2003).

Jadi, dapat disimpulkan apendisitis adalah kondisi dimana terjadi infeksi

pada umbai apendiks dan merupakan penyakit bedah abdomen yang paling sering

terjadi.
14

2.2.2 Klasifikasi Appendisistis

Klasifikasi apendisitis terbagi menjadi dua yaitu, apendisitis akut dan

apendisitis kronik (Sjamsuhidayat, 2005).

1 Apendisitis akut.

Apendiksitis akut adalah jenis apendiksitis yang paling sering memerlukan

pembedahan dan paling sering menimbulkan kesukaran dalam memastikan

diagnosanya, karena banyak kelainan menunjukkan tanda –tanda seperti

apendiksitis akut. Terdapat tiga jenis apendiksitis akut, yaitu :

a. Apendiksitis akut fokalis (segmentalis) Peradangan biasanya terjadi pada

bagian distal yang berisi nanah. Dari luar tidak terlihat adanya kelianan,

kadang hanya hiperemi ringan pada mukosa, sedangkan radang hanya terbatas

pada mukosa.

b. Apendiksitis akut purulenta (supuratif), disertai pembentukan nanah yang

berlebihan.

c. apendiksitis ganggrenosa terjadi jika radangnya lebih mengeras, dapat terjadi

nekrosis dan pembusukan disebut.

Apendiksitis akut dapat disebabkan oleh trauma, misalnya pada kecelakaan

atau operasi, tetapi tanpa lapisan eksudat dalam rongga maupun permukaan

apendiks. Apendisitis akut sering tampil dengan gejala khas yang didasari oleh

radang mendadak umbai cacing yang memberikan tanda setempat, disertai

maupun tidak disertai rangsang peritonieum lokal.

Gajala apendisitis akut adalah nyeri samar-samar dan tumpul yang merupakan

nyeri viseral di daerah epigastrium disekitar umbilikus. Keluhan ini sering disertai
15

mual dan kadang muntah. Umumnya nafsu makan menurun. Dalam beberapa

jam nyeri akan berpindah ketitik mcBurney. Disini nyeri dirasakan lebih tajam dan

lebih jelas letaknya sehingga merupakan nyeri somatik setempat.

2 Apendisitis kronik.

Gejala umumnya samar dan lebih jarang. Apendiksitis akut jika tidak

mendapat pengobatan dan sembuh dapat menjadi apendiksitis kronis. Terdapat

dua jenis apendiksitis, yaitu :

a. Apendiksitis kronik focalis, Peradangan masih bersifat local, yaitu

fibrosis jaringan sub mukosa, gejala klinis pada umumnya tidak tampak

b. Apendiksitis kronis obliteratif : Terjadi fibrosis yang luas sepanjang

apendiks pada jarigan mukosa, hingga terjadi obliterasi (hilangnya

lumen), terutama pada bagian distal dengan menghilangnya selaput lendir

pada bagian itu

Diagnosis apendisitis kronis baru dapat ditegakkan jika ditemukan

adanya : riwayat nyeri perut kanan bawah lebih dari 2 minggu, radang kronik

apendiks secara makroskopik dan mikroskopik. Kriteria mikroskopik

apendisitis kronik adalah fibrosis menyeluruh dinding apendiks, sumbatan

parsial atau total lumen apendiks, adanya jaringan parut dan ulkus lama

dimukosa , dan adanya sel inflamasi kronik. Insiden apendisitis kronik antara

1-5%.

Apendiksitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks.

Obstruksi tersebut menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa apendiks

mengalami bendungan. Semakin lama mukus tersebut semakin banyak,


16

namun elasitas dinding apendiks mempunyai keterbatasan sehingga

menyebabkan peningkatan tekanan intra lumen. Tekanan tersebut akan

menghambat aliran limfe yang mengakibatkan edema dan ulaserasi mukosa.

Pada saat itu terjadi apendiksitis akut fokal yang ditandai dengan nyeri

epigastrium.

2.2.3 Stadium Appendisitis

a. apendiksitis supuratif akut terjadi apabila sekresi mukus berlanjut,

tekanan akan terus meningkat. Hal tersebut akan menyebabkan

obstruksi vena, edema bertambah dan bakteri akan menembus dinding

sehingga peradangan yang timbul meluas dan mengenai peritoneum

yang dapat menimbulkan nyeri pada abdomen kanan bawah.

b. apendiksitis ganggrenosa, Apabila aliran arteri terganggu maka akan

terjadi infrak dinding appendiks yang diikuti ganggren.

c. apendiksitis perforasi. dinding apendiks menjadi rapuh dan akan terjadi

perforasi.

d. infiltrat apendikularis. Terjadi apabila proses peradangan berjalan

lambat, omentum dan usus yang berdekatan akan bergerak ke arah

apendiks

Pada anak-anak karena omentum lebih pendek dan apendiks lebih

panjang, dinding lebih tipis. Keadaan tersebut ditambah dengan daya tahan

tubuh yang masih kurang memudahkan untuk terjadi perforasi, sedangkan

pada orang tua mudah terjadi karena ada gangguan pembuluh darah.
17

2.2.4 Anatomi Fisiologi

a. Anatomi Usus Besar

Gambar 1.1 anatomi usus besar

Usus besar atau kolon yang panjangnya kira-kira satu setengah meter,

adalah sambungan dari usus halus dan mulai di katup ileokolik atau ileoseka,

yaitu tempat sisa makanan lewat, dimana normalnya katup ini tertutup dan akan

terbuka untuk merespon gelombang peristaltik dan menyebabkan defekasi atau

pembuangan. Usus besar terdiri atas empat lapisan dinding yang sama seperti usus

halus. Serabut longitudinal pada dinding berotot tersusun dalam tiga jalur yang

memberi rupa berkerut-kerut dan berlubang-lubang. Dinding mukosa lebih halus

dari yang ada pada usus halus dan tidak memiliki vili. Didalamnya terdapat

kelenjar serupa kelenjar tubuler dalam usus dan dilapisi oleh epitelium silinder

yang memuat sela cangkir.


18

Usus besar terdiri dari :

1. Sekum

Sekum adalah kantung tertutup yang menggantung dibawah area katup

ileosekal. Apendiks vermiformis merupakan suatu tabung buntu yang sempit,

berisi jaringan limfoid, menonjol dari ujung sekum.

2. Kolon

Kolon adalah bagian usus besar, mulia dari sekum sampai rektum. Kolon

memiliki tiga bagian, yaitu :

3. Kolon asenden

Merentang dari sekum sampai ke tepi bawah hatti sebelah kanan dan

membalik secara horizontal pada fleksura hepatika.

4. Kolon transversum

Merentang menyilang abdomen dibawah hati dan lambung sampai ke

tepi lateral ginjal kiri, tempatnya memutar kebawah pada flkesura splenik.

5. Kolon desenden

Merentang ke bawah pada sisi kiri abdomen dan menjadi kolon sigmoid

berbentuk S yang bermuara di rektum.

6. Rektum

Rektum Adalah bagian saluran pencernaan selanjutnya dengan

panjang 12 sampai 13 cm. Rektum berakhir pada saluran anal dan membuka ke

eksterior di anus.
19

b. Anatomi Apendiks

Gambar 2.1 anatomi letak apendiks

Apendiks merupakan organ berbentuk tabung, panjangnya kira-kira 10 cm

(4 inci), lebar 0,3 - 0,7 cm dan isi 0,1 cc melekat pada sekum tepat dibawah katup

ileosekal. Pada pertemuan ketiga taenia yaitu : taenia anterior, medial dan

posterior. Secara klinis, apendiks terletak pada daerah Mc.Burney yaitu daerah 1/3

tengah garis yang menghubungkan spina iliaka anterior superior kanan dengan

pusat. Lumennya sempit dibagian proksimal dan melebar dibagian distal. Namun

demikian, pada bayi, apendiks berbentuk kerucut, lebar pada pangkalnya dan

menyempit kearah ujungnya. Persarafan parasimpatis pada apendiks berasal dari

cabang nervus vagus yang mengikuti arteri mesentrika superior dan arteri
20

apendikularis, sedangkan persarafan simpatis berasal dari nervus torakalis X.

Oleh karena itu, nyeri viseral pada apendisitis bermula disekitar umbilikus.

c. Fisiologi Apendiks

Apendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir itu normalnya

dicurahkan kedalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum. Lendir dalam

apendiks bersifat basa mengandung amilase dan musin. Immunoglobulin

sekretoar yang dihasilkan oleh GALT (Gut Associated Lymphoid Tissue) yang

terdapat disepanjang saluran cerna termasuk apendiks ialah IgA.

Immunoglobulin tersebut sangat efektif sebagai perlindungan terhadap

infeksi. Namun demikian, pengangkatan apendiks tidak mempengaruhi sistem

imun tubuh karena jumlah jaringan limfa disini kecil sekali jika dibandingkan

dengan jumlahnya disaluran cerna dan diseluruh tubuh.

Apendiks berisi makanan dan mengosongkan diri secara teratur kedalam

sekum. Karena pengosongannya tidak efektif dan lumennya cenderung kecil,

maka apendiks cenderung menjadi tersumbat dan terutama rentan terhadap

infeksi ( Sjamsuhidayat, 2005).

2.2.5 Etiologi dan Predisposisi

Apendisitis akut merupakan merupakan infeksi bakteria. Berbagai berperan

sebagai faktor pencetusnya. Sumbatan lumen apendiks merupakan faktor yang

diajukan sebagai faktor pencetus disamping hiperplasia jaringan limfe, fekalit,

tumor apendiks dan cacing askaris dapat pula menyebabkan sumbatan. Penyebab
21

lain yang diduga dapat menimbulkan apendisitis adalah erosi mukosa apendiks

karena parasit seperti E.histolytica. Penelitian epidemiologi menunjukkan peran

kebiasaan makan makanan rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap

timbulnya apendisitis. Konstipasi akan menaikkan tekanan intrasekal yang

berakibat timbulnya sumbatan fungsional apendiks dan meningkatnya

pertumbuhan kuman flora kolon biasa. Semuanya ini mempermudah timbulnya

apendisitis akut. (Sjamsuhidayat, 2005).

2.2.6 Patofisiologi

Apendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh

hiperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis akibat

peradangan sebelumnya, atau neoplasma. Obstruksi tersebut menyebabkan

mukus yang diproduksi mukosa mengalami bendungan. Semakin lama mukus

tersebut semakin banyak, namun elastisitas dinding apendiks mempunyai

keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan tekanan intralumen. Tekanan

yang meningkat tersebut akan menghambat aliran limfe yang mengakibatkan

edema, diapedesis bakteri, dan ulserasi mukosa. Pada saat inilah terjadi

apendisitis akut lokal yang ditandai oleh nyeri epigastrium. Bila sekresi mukus

terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat.

Hal tersebut akan menyebkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri

akan menembus dinding. Peradangan yang timbul meluas dan mengenai

peritoneum setempat sehingga menimbulkan nyeri didaerah kanan bawah.

Keadaan ini disebut apendisitis supuratif akut. Bila kemudian aliran arteri
22

terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang diikuti dengan gangren.

Stadium ini disebut dengan apendisitis gangrenosa. Bila dinding yang telah rapuh

itu pecah, akan terjadi apendisitis perforasi.

Bila semua proses diatas berjalan lambat, omentum dan usus

yangberdekatan akan bergerak kearah apendiks hingga timbul suatu massa lokal

yang disebut infiltrate apendikularis. Peradangan pada apendiks tersebut dapat

menjadi abses atau menghilang. Pada anak-anak, kerena omentum lebih pendek

dan apendiks lebih panjang, maka dinding apendiks lebih tipis. Keadaan tersebut

ditambah dengan daya tahan tubuh yang masih kurang sehingga memudahkan

terjadinya perforasi. Sedangkan pada orang tua, perforasi mudah terjadi karena

telah ada gangguan pembuluh darah (Mansjoer, 2000).

2.2.7 Manifestasi Klinik

Apendisitis akut sering tampil dengan gejala yang khas yang didasari oleh

radang mendadak umbai cacing yang memberikan tanda setempat, nyeri kuadran

bawah terasa dan biasanya disertai oleh demam ringan, mual, muntah dan

hilangnya nafsu makan. Pada apendiks yang terinflamasi, nyeri tekan dapat

dirasakan pada kuadran kanan bawah pada titik Mc.Burney yang berada antara

umbilikus dan spinalis iliaka superior anterior. Derajat nyeri tekan, spasme otot

dan apakah terdapat konstipasi atau diare tidak tergantung pada beratnya infeksi

dan lokasi apendiks. Bila apendiks melingkar dibelakang sekum, nyeri dan nyeri

tekan terasa didaerah lumbal. Bila ujungnya ada pada pelvis, tanda-tanda ini dapat

diketahui hanya pada pemeriksaan rektal.


23

Nyeri pada defekasi menunjukkan ujung apendiks berada dekat rektum.

nyeri pada saat berkemih menunjukkan bahwa ujung apendiks dekat dengan

kandung kemih atau ureter. Adanya kekakuan pada bagian bawah otot rektus

kanan dapat terjadi. Tanda rovsing dapat timbul dengan melakukan palpasi

kuadran bawah kiri yang secara paradoksial menyebabkan nyeri yang terasa

dikuadran kanan bawah. Apabila apendiks telah ruptur, nyeri menjadi menyebar.

Distensi abdomen terjadi akibat ileus paralitik dan kondisi pasien memburuk.

Pada pasien lansia, tanda dan gejala apendisitis dapat sangat bervariasi.

Tanda-tanda tersebut dapat sangat meragukan, menunjukkan obstruksi usus atau

proses penyakit lainnya. Pasien mungkin tidak mengalami gejala sampai ia

mengalami ruptur apendiks. Insidens perforasi pada apendiks lebih tinggi pada

lansia karena banyak dari pasien-pasien ini mencari bantuan perawatan kesehatan

tidak secepat pasien-pasien yang lebih muda (Smeltzer C. Suzanne, 2002).

2.2.8 Penatalaksanaan

Pembedahan diindikasikan bila diagnosa apendisitis telah ditegakkan.

Antibiotik dan cairan IV diberikan serta pasien diminta untuk membatasi aktivitas

fisik sampai pembedahan dilakukan (akhyar yayan, 2008 ), analgetik dapat

diberikan setelah diagnosa ditegakkan. Apendiktomi (pembedahan untuk

mengangkat apendiks) dilakukan sesegera mungkin untuk menurunkan resiko

perforasi. Apendiktomi dapat dilakukan dibawah anestesi umum umum atau

spinal, secara terbuka ataupun dengan cara laparoskopi yang merupakan metode
24

terbaru yang sangat efektif. Bila apendiktomi terbuka, insisi Mc.Burney banyak

dipilih oleh para ahli bedah.

Pada penderita yang diagnosisnya tidak jelas sebaiknya dilakukan observasi

dulu. Pemeriksaan laboratorium dan ultrasonografi bisa dilakukan bila dalam

observasi masih terdapat keraguan. Bila terdapat laparoskop, tindakan

laparoskopi diagnostik pada kasus meragukan dapat segera menentukan akan

dilakukan operasi atau tidak (Smeltzer C. Suzanne, 2002).

2.2.9 Komplikasi

Komplikasi utama apendisitis adalah perforasi apendiks yang dapat

berkembang menjadi peritonitis atau abses. Insidens perforasi adalah 10% sampai

32%. Insidens lebih tinggi pada anak kecil dan lansia. Perforasi secara umum

terjadi 24 jam setelah awitan nyeri. Gejala mencakup demam dengan suhu 37,70C

atau lebih tinggi, penampilan toksik, dan nyeri atau nyeri tekan abdomen yang

kontinyu (Smeltzer C.Suzanne, 2002).

2.3 MENGGANTI BALUTAN (Universitas Andalas, 2012)

a. Pengertian Balutan

Melakukan perawatan pada luka dengan cara mamantau keadaan

luka, melakukan penggatian balutan (ganti verban) dan mencegah

terjadinya infeksi.
25

b. Tujuan Balutan

1. Meningkatkan penyembuhan luka dengan mengabsorpsi dan menjaga

kebersihan luka

2. Melindungi luka dari kontaminasi

3. Rasa aman dan nyaman bagi klien dan orang lain di sekitarnya

4. Menutupi keadaan luka yang tidak menyenangkan

c. Balutan Luka

Menggunakan balutan yang tepat perlu disertai pemahaman tentang

penyembuhan luka. Apabila balutan tidak sesuai dengan karakteristik luka,

maka balutan tersebut dapat mengganggu penyembuhan luka. Pilihan jenis

balutan dan metode pembalutan luka akan mempengaruhi kemajuan

penyembuhan luka. Karakteristik balutan luka yang ideal :

1. Dapat menyerap drainase untuk mencegah terkumpulnya eksudat

2. Tidak melekat

3. Impermeable terhadap bakteri

4. Mampu mempertahankan kelembaban yang tinggi pada luka

5. Penyekat suhu

6. Non toksik dan non alergenik

7. Nyaman dan mudah disesuaikan

8. Mampu melindungi luka dari trauma lebih lanjut

9. Biaya ringan

10. Awet
26

11. Pada luka operasi dengan penyembuhan primer, umumnya balutan

dibuka segera setelah drainase berhenti. Sebaliknya pada

penyembuhan skunder, balutan dapat menjadi sarana untuk

memindahkan eksudat dan jaringan nekrotik secara mekanik.

d. Memfiksasi Balutan

Perawat dapat menggunakan plester, tali atau perban, atau balutan

skunder dan pengikat kain untuk memfiksasi balutan pada luka. Pilihannya

tergantung dari ukuran luka, lokasi, ada tidaknya drainase, frekuensi

penggantian balutan, dan tingkat aktifitas pasien. Perawat paling sering

menggunakan plester untukmemfiksasi balutan jika klien tidak alergi

terhadap plester. Kulit yang sensitive terhadapplester perekat dapat

mengalami inflamasi dan ekskoriasi yang sangat berat dan bahkan dapat

terlepas dari kulit ketika plester diangkat.

e. Alat Dan Bahan

1. peralatam steril, dalam tempatnya: pinset anatomis, chirugis, gunting,

kapas lidi, kassa steril, deppers, kom, handscun, steril

2. perlalatan non steril : gunting verband, plester, wash bensin, dalam

tempatnya, bengkok, savlon obat-obat desinfektan dalamtempatnuya,

masker, barak (gawn), tempat sampah medis.


27

f. Persiapan Pasien

1. beri tahu informasi tentang rencana tindakan dengan komunoikasi

teurapetik

2. atur posisi pasien sesuai kebutuhan dengan memperhatikan

kenyamanan dan privacy klien.

g. Prosedur Kerja

1. Jelaskan prosedur pada klien

2. Cuci tangan

3. Gunakan sarung tangan steril

4. Plester dan balutan di buka dengan menggunakan pinset apabila luka

tertutup oleh balutan

5. Lakukan pembersiahn luka di mulai dengan kaji status luka , apabila

luka kotor atau bersih serta jenisnya :

- Perawatan luka kotor

Gunakan kasa steril yang di pegang dengan pinset , di celupkan

atau di berikan larutan savlon dan lakukan pembersih pada luka .

bila perlu bersihkan H2O2 (bila ada jaringan mati dan sulit di

angkat) . lanjutkan pembersihan dengan boorwater (BWC) hingga

bersih.

- Perawatan luka bersih

Gunakan kasa steril yang di pegang dengan pinset , celupkan/di

beri larutan NaCl o,9% atau BWC , kemudian bersihkan sampai


28

bersih dan lanjutkan dengan pengobatan luka menggunakan

betadine atau sejenisnya

6. Cuci tangan setelah prosedur di lakukan

7. Catat tindakan , respon pasien dan kondisi luka

h. Evaluasi

1. Mengevaluasi adanya tanda-tanda infeksi dan adanya cairan luka

2. Mengevaluasi respon serta toleransi klien selama dan sesudah

prosedur

3. Mengevaluasi adanya tanda-tanda alergi

2.4 Pengkajian Fokus

Dalam melakukan asuhan keperawatan, pengkajian merupakan dasar utama

dan hal yang penting di lakukan baik saat pasien pertama kali masuk rumah sakit

maupun selama pasien dirawat di rumah sakit.

1. Biodata

Identitas klien : nama, umur, jenis kelamin, status perkawinan, agama,

suku/ bangsa, pendidikan, pekerjaan, alamat dan nomor register.

2. Lingkungan

Dengan adanya lingkungan yang bersih, maka daya tahan tubuh penderita

akan lebih baik daripada tinggal di lingkungan yang kotor.


29

3. Riwayat kesehatan

a. Keluhan utama

Nyeri pada daerah kuadran kanan bawah, nyeri sekitar umbilikus.

b. Riwayat kesehatan dahulu

Riwayat operasi sebelumnya pada kolon.

c. Riwayat kesehatan sekarang

Sejak kapan keluhan dirasakan, berapa lama keluhan terjadi, bagaimana

sifat dan hebatnya keluhan, dimana keluhan timbul, keadaan apa yang

memperberat dan memperingan.

4. Pemeriksaan fisik

a. Inspeksi

Pada apendisitis akut sering ditemukan adanya abdominal swelling,

sehingga pada pemeriksaan jenis ini biasa ditemukan distensi abdomen.

b. Palpasi

Pada daerah perut kanan bawah apabila ditekan akan terasa nyeri. Dan bila

tekanan dilepas juga akan terasa nyeri. nyeri tekan perut kanan bawah

merupakan kunci diagnosis dari apendisitis. Pada penekanan perut kiri

bawah akan dirasakan nyeri pada perut kanan bawah, ini disebut tanda

Rovsing (Rovsing sign). Dan apabila tekanan pada perut kiri dilepas maka

juga akan terasa sakit di perut kanan bawah, ini disebut tanda Blumberg

(Blumberg sign).
30

c. Pemeriksaan colok dubur

Pemeriksaan ini dilakukan pada apendisitis untuk menentukkan letak

apendiks apabila letaknya sulit diketahui. Jika saat dilakukan pemeriksaan

ini terasa nyeri, maka kemungkinan apendiks yang meradang di daerah

pelvis. Pemeriksaan ini merupakan kunci diagnosis apendisitis pelvika.

d. Uji psoas dan uji obturator

Pemeriksaan ini dilakukan juga untuk mengetahui letak apendiks yang

meradang. Uji psoas dilakukan dengan rangsangan otot psoas mayor lewat

hiperekstensi sendi panggul kanan, kemudian paha kanan ditahan. Bila

apendiks yang meradang menempel pada m.psoas mayor, maka tindakan

tersebut akan menimbulkan nyeri. Sedangkan pada uji obturator dilakukan

gerakan fleksi dan andorotasi sendi panggul pada posisi terlentang. Bila

apendiks yang meradang kontak dengan m.obturator internus yang

merupakan dinding panggul kecil, maka tindakan ini akan menimbulkan

nyeri. Pemeriksaan ini dilakukan pada apendisitis pelvika (Akhyar Yayan,

2008 ).

5. Perubahan pola fungsi

Data yang diperoleh dalam kasus apendisitis menurut Doenges (2000)

adalah sebagai berikut :

a. Aktivitas / istirahat

Gejala : Malaise.

b. Sirkulasi

Tanda : Takikardi.
31

c. Eliminasi

Gejala : Konstipasi pada awitan awal. Diare (kadang-kadang). Tanda :

Distensi abdomen, nyeri tekan/ nyeri lepas, kekakuan.

: Penurunan atau tidak ada bising usus.

d. Makanan / cairan

Gejala : Anoreksia. : Mual/muntah.

e. Nyeri / kenyamanan

Gejala : Nyeri abdomen sekitar epigastrium dan umbilikus yang

meningkat berat dan terlokalisasi pada titik Mc.Burney (setengah jarak

antara umbilikus dan tulang ileum kanan), meningkat karena berjalan,

bersin, batuk, atau napas dalam (nyeri berhenti tiba-tiba diduga

perforasi atau infark pada apendiks).

Keluhan berbagai rasa nyeri/ gejala tak jelas (berhubungan dengan

lokasi apendiks, contoh : retrosekal atau sebelah ureter).

Tanda : Perilaku berhati-hati ; berbaring ke samping atau telentang

dengan lutut ditekuk. Meningkatnya nyeri pada kuadran kanan bawah

karena posisi ekstensi kaki kanan/ posisi duduk tegak.

: Nyeri lepas pada sisi kiri diduga inflamasi peritoneal.

f. Pernapasan

Tanda : Takipnea, pernapasan dangkal.

g. Keamanan

Tanda : Demam (biasanya rendah).


32

6. Pemeriksaan Diagnostik

Laboratorium : terdiri dari pemeriksaan darah lengkap dan test protein

reaktif (CRP).

Pada pemeriksaan darah lengkap ditemukan jumlah leukosit antara

10.000-20.000/ml (leukositosis) dan neutrofil diatas 75%. Sedangkan pada

CRP ditemukan jumlah serum yang meningkat.

Radiologi : terdiri dari pemeriksaan ultrasonografi dan CT-scan. Pada

pemeriksaan ultrasonografi ditemukan bagian memanjang pada tempat

yang terjadi inflamasi pada apendiks. Sedangkan pada pemeriksaan CT-

scan ditemukan bagian menyilang dengan apendikalit serta perluasan dari

apendiks yang mengalami inflamasi serta pelebaran sekum.


33

7. Pathways

Apendiks

Hyperplasia folikel Benda asing Erosi mukosa Striktur Tumor


Limfoid apendiks

Obstruksi

Mukosa terbendung

Apendiks teregang

Tekanan intraluminal

Aliran darah terganggu

Ulserasi dan invasi bakteri pada dinding apendiks

Appendicitis

Ke peritoneum Thrombosis pada vena intramural

Peritonitis Pembengkakan dan iskemia

Perforasi

Pembedahan operasi

- Keterbatasaan Luka insisi Peningkatan paparan


Mobilitas fisik lingkungan patogen

Intoleransi aktifitas Jalan masuk kuman

Resiko infeksi

Stimulus nyeri menstimulasi nosiseptor di perifer

Impuls nyeri diteruskan oleh serabut


saraf afferen (A-delta & C) ke medulla spinalis
melalui dorsal horn

Impuls bersinapsis di substansia gelatinosa (lamina II dan III)


34

Impuls melewati traktus spinothalamus.

Impuls masuk ke formation retikularis Impuls langsung masuk ke thalamus

Sistem limbik Fast pain

Slow pain

- Timbul respon emosi


- Respon otonom: TD meningkat, keringat dingin

J. Diagnosa yang mungkin muncul

1. Nyeri akut b/d terputusnya kontinuitas jaringan kulit.

2. Resiko Infeksi b/d Luka insisi.

3. Intoleransi aktifitas b/d keterbatasan aktivitas fisik.


35

K. Rencana Tindakan Teoritis

No Diagnosa keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi

a. Resiko Infeksi b/d luka insisi NOC : NIC :

 Immune Status Infection Control (Kontrol infeksi)


 Knowledge : Infection control
Definisi : Peningkatan resiko  Risk control  Bersihkan lingkungan setelah dipakai pasien lain
masuknya organisme patogen Kriteria Hasil :  Pertahankan teknik isolasi
 Batasi pengunjung bila perlu
 Klien bebas dari tanda dan gejala  Instruksikan pada pengunjung untuk mencuci
infeksi tangan saat berkunjung dan setelah berkunjung
Faktor-faktor resiko :
 Mendeskripsikan proses penularan meninggalkan pasien
- Prosedur Infasif penyakit, factor yang mempengaruhi  Gunakan sabun antimikrobia untuk cuci tangan
- Ketidakcukupan pengetahuan penularan serta  Cuci tangan setiap sebelum dan sesudah tindakan
untuk menghindari paparan penatalaksanaannya, kperawtan
patogen  Menunjukkan kemampuan untuk  Gunakan baju, sarung tangan sebagai alat
- Trauma mencegah timbulnya infeksi pelindung
- Kerusakan jaringan dan  Jumlah leukosit dalam batas normal
 Pertahankan lingkungan aseptik selama
peningkatan paparan  Menunjukkan perilaku hidup sehat
pemasangan alat
lingkungan
 Ganti letak IV perifer dan line central dan dressing
- Ruptur membran amnion
sesuai dengan petunjuk umum
- Agen farmasi (imunosupresan)
 Gunakan kateter intermiten untuk menurunkan
- Malnutrisi
infeksi kandung kencing
36

- Peningkatan paparan  Tingktkan intake nutrisi


lingkungan patogen  Berikan terapi antibiotik bila perlu
- Imonusupresi
- Ketidakadekuatan imum buatan
- Tidak adekuat pertahanan Infection Protection (proteksi terhadap infeksi)
sekunder (penurunan Hb,
 Monitor tanda dan gejala infeksi sistemik dan lokal
Leukopenia, penekanan respon
inflamasi)  Monitor hitung granulosit, WBC
- Tidak adekuat pertahanan  Monitor kerentanan terhadap infeksi
tubuh primer (kulit tidak utuh,  Batasi pengunjung
trauma jaringan, penurunan  Saring pengunjung terhadap penyakit menular
kerja silia, cairan tubuh statis,  Partahankan teknik aspesis pada pasien yang
perubahan sekresi pH, beresiko
perubahan peristaltik)  Pertahankan teknik isolasi k/p
- Penyakit kronik  Berikan perawatan kuliat pada area epidema
 Inspeksi kulit dan membran mukosa terhadap
kemerahan, panas, drainase
 Ispeksi kondisi luka / insisi bedah
 Dorong masukkan nutrisi yang cukup
 Dorong masukan cairan
 Dorong istirahat
 Instruksikan pasien untuk minum antibiotik sesuai
resep
 Ajarkan pasien dan keluarga tanda dan gejala
infeksi
 Ajarkan cara menghindari infeksi
37

 Laporkan kecurigaan infeksi


 Laporkan kultur positif

a. Nyeri akut b/d terputusnya NOC : Pain Management


kontinuitas jaringan.  Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif
 Pain Level,
termasuk lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi,
Definisi :  Pain control,
kualitas dan faktor presipitasi
 Comfort level
 Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan
Sensori yang tidak menyenangkan Kriteria Hasil :
 Gunakan teknik komunikasi terapeutik untuk
dan pengalaman emosional yang
 Mampu mengontrol nyeri (tahu mengetahui pengalaman nyeri pasien
muncul secara aktual atau potensial
penyebab nyeri, mampu  Kaji kultur yang mempengaruhi respon nyeri
kerusakan jaringan atau
menggunakan tehnik nonfarmakologi  Evaluasi pengalaman nyeri masa lampau
menggambarkan adanya kerusakan
untuk mengurangi nyeri, mencari  Evaluasi bersama pasien dan tim kesehatan lain
(Asosiasi Studi Nyeri Internasional):
bantuan) tentang ketidakefektifan kontrol nyeri masa
serangan mendadak atau pelan
 Melaporkan bahwa nyeri berkurang lampau
intensitasnya dari ringan sampai
dengan menggunakan manajemen  Bantu pasien dan keluarga untuk mencari dan
berat yang dapat diantisipasi dengan
nyeri menemukan dukungan
akhir yang dapat diprediksi dan
 Mampu mengenali nyeri (skala,  Kontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi
dengan durasi kurang dari 6 bulan.
intensitas, frekuensi dan tanda nyeri) nyeri seperti suhu ruangan, pencahayaan dan
 Menyatakan rasa nyaman setelah kebisingan
nyeri berkurang  Kurangi faktor presipitasi nyeri
Batasan karakteristik :  Pilih dan lakukan penanganan nyeri (farmakologi,
 Tanda vital dalam rentang normal
non farmakologi dan inter personal)
- Laporan secara verbal atau non
 Kaji tipe dan sumber nyeri untuk menentukan
verbal
intervensi
- Fakta dari observasi
 Ajarkan tentang teknik non farmakologi
38

- Posisi antalgic untuk  Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri


menghindari nyeri  Evaluasi keefektifan kontrol nyeri
- Gerakan melindungi  Tingkatkan istirahat
- Tingkah laku berhati-hati  Kolaborasikan dengan dokter jika ada keluhan
- Muka topeng dan tindakan nyeri tidak berhasil
- Gangguan tidur (mata sayu,  Monitor penerimaan pasien tentang manajemen
tampak capek, sulit atau nyeri
gerakan kacau, menyeringai) Analgesic Administration
- Terfokus pada diri sendiri
- Fokus menyempit (penurunan  Tentukan lokasi, karakteristik, kualitas, dan derajat
persepsi waktu, kerusakan nyeri sebelum pemberian obat
proses berpikir, penurunan  Cek instruksi dokter tentang jenis obat, dosis, dan
interaksi dengan orang dan frekuensi
lingkungan)  Cek riwayat alergi
- Tingkah laku distraksi, contoh :  Pilih analgesik yang diperlukan atau kombinasi
jalan-jalan, menemui orang lain dari analgesik ketika pemberian lebih dari satu
dan/atau aktivitas, aktivitas  Tentukan pilihan analgesik tergantung tipe dan
berulang-ulang) beratnya nyeri
- Respon autonom (seperti  Tentukan analgesik pilihan, rute pemberian, dan
diaphoresis, perubahan tekanan dosis optimal
darah, perubahan nafas, nadi  Pilih rute pemberian secara IV, IM untuk
dan dilatasi pupil) pengobatan nyeri secara teratur
- Perubahan autonomic dalam  Monitor vital sign sebelum dan sesudah
tonus otot (mungkin dalam pemberian analgesik pertama kali
rentang dari lemah ke kaku)  Berikan analgesik tepat waktu terutama saat nyeri
- Tingkah laku ekspresif (contoh : hebat
gelisah, merintih, menangis,  Evaluasi efektivitas analgesik, tanda dan gejala
39

waspada, iritabel, nafas (efek samping)


panjang/berkeluh kesah)
- Perubahan dalam nafsu makan
dan minum

Faktor yang berhubungan :

Agen injuri (biologi, kimia, fisik,


psikologis)

b. Intoleransi aktivitas b/d NOC : NIC :


keterbatasan aktivitas fisik Activity Therapy
 Energy conservation  Kolaborasikan dengan Tenaga Rehabilitasi Medik
 Self Care : ADLs dalammerencanakan progran terapi yang tepat.
Definisi : Ketidakcukupan energu  Bantu klien untuk mengidentifikasi aktivitas yang
Kriteria Hasil :
secara fisiologis maupun psikologis mampu dilakukan
untuk meneruskan atau  Berpartisipasi dalam aktivitas fisik  Bantu untuk memilih aktivitas konsisten
menyelesaikan aktifitas yang diminta tanpa disertai peningkatan yangsesuai dengan kemampuan fisik, psikologi
atau aktifitas sehari hari. tekanan darah, nadi dan RR dan social
 Bantu untuk mengidentifikasi dan mendapatkan
 Mampu melakukan aktivitas sehari
sumber yang diperlukan untuk aktivitas yang
hari (ADLs) secara mandiri diinginkan
Batasan karakteristik :  Bantu untuk mendpatkan alat bantuan aktivitas
seperti kursi roda, krek
a. melaporkan secara verbal  Bantu untu mengidentifikasi aktivitas yang disukai
adanya kelelahan atau  Bantu klien untuk membuat jadwal latihan diwaktu
kelemahan. luang
b. Respon abnormal dari tekanan  Bantu pasien/keluarga untuk mengidentifikasi
darah atau nadi terhadap kekurangan dalam beraktivitas
40

aktifitas  Sediakan penguatan positif bagi yang aktif


c. Perubahan EKG yang beraktivitas
menunjukkan aritmia atau  Bantu pasien untuk mengembangkan motivasi diri
iskemia dan penguatan
 Monitor respon fisik, emoi, social dan spiritual
d. Adanya dyspneu atau
ketidaknyamanan saat
beraktivitas. Energy Management
 Observasi adanya pembatasan klien dalam
melakukan aktivitas
Faktor factor yang berhubungan :
 Dorong anal untuk mengungkapkan perasaan
terhadap keterbatasan
 Tirah Baring atau imobilisasi
 Kaji adanya factor yang menyebabkan kelelahan
 Kelemahan menyeluruh  Monitor nutrisi dan sumber energi tangadekuat
 Ketidakseimbangan antara  Monitor pasien akan adanya kelelahan fisik dan
suplei oksigen dengan emosi secara berlebihan
kebutuhan  Monitor respon kardivaskuler terhadap aktivitas
 Gaya hidup yang  Monitor pola tidur dan lamanya tidur/istirahat
dipertahankan. pasien
41

BAB III

Asuhan Keperawatan Pada Tn.”A” dengan post op laparatomi ec


App Perforasi Di Ruang Bedah
Rumah Sakit Bari Palembang

4.1 Pengkajian
Tgl masuk : 20- September- 2015
Tgl Operasi : 21- September- 2015
Tgl pengkajian : 22- September- 2015
Waktu Pengkajian : 08.00 Wib
Nama pengkaji Br. Alif

4.1.1 Identitas klien


Nama : Tn. A
Usia : 48 Tahun
Jenis kelamin : Laki- laki
Alamat : Pemulutan

Status : Menikah
Agama : Islam
Suku : Komering
No RM : 505900

Sumber informasi : Istri dan Anak Pasien


Keluarga terdekat : Ny “E”
Status : Istri
Alamat : Pemulutan
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : IRT
42

4.1.2 Riwayat kesehatan


a. Status penyakit saat ini

1. Keluhan Saat masuk rumah sakit

Keluarga mengatakan pasien mengeluh nyeri perut ± sejak 3 hari

sebelum masuk rumah sakit, nyeri hilang timbul menjalar ke pinggang,

mual dan muntah. Pasien muntah setiap kali makan, BAB cair ± 4 kali

sehari.

2. Keluhan saat pengkajian

Klien mengatakan Nyeri didaerah operasi.

3. Riwayat penyakit saat ini

Klien mengatakan nyeri didaerah perut atau luka operasi, nyeri

bertambah saat klien bergerak. Nyeri berkurang saat klien tidur, nyeri

seperti tertusuk-tusuk hilang timbul dari daerah luka operasi menyebar

kedaerah sekitarnya, dengan skala nyeri 4 (0-10), dengan rentang waktu 1-

2 menit.

b. Riwayat kesehatan terdahulu


Klien pernah mengalami gangguan gastritis, keluarga klien tidak pernah
mengalami penyakit yang sama seperti yang klien alami saat ini.
43

4.1.3 Pengkajian Review of system dan pemeriksaan fisik

1. Data Umum
Keadaan Umum : Lemah
Kesadaran : Compos Mentis (Eye : 4, Verbal: 5 , Motorik : 6)
TD : 110/80 mmHg
RR : 24x/ Menit
N : 90x/ Menit
T : 36 0 C
Skala nyeri : 4 (0-10)
MK : Nyeri Akut

2. Sistem Respirasi
Frekuensi pernafasan 24 x/ menit dengan irama teratur dan bentuk dada
simetris, suara nafas vesikuler dan tidak ada suara nafas tambahan, tidak ada
nyeri dan suara paru sonor.
MK: Tidak ada masalah keperawatan

3. Sistem Kardiovaskuler
Frekuensi denyut nadi 90x /menit, irama teratur tidak terdapat mur-mur,
denyut nadi kuat dan CRT < 2 detik.
MK : tidak ada masalah keperawatan

4. Sistem Perkemihan
Volume urine 950 ml/ 24 jam tidak terdapat distensi bladder
MK : Tidak ada masalah Keperawatan.

5. Sistem Pencernaan
Terdapat luka bekas operasi di balut perban, terpasang NGT untuk bilas
lambung, hasil auskultasi bising usus 8x/ menit, palpasi abdomen teraba
44

tegang dan mengalami nyeri tekan dengan skala 5 (0-10), dan bunyi abdomen
timpani.

MK : Nyeri Akut

6. Sistem Muskuloskeletal

R L

a. Pemeriksaan Fisik 3 3

2 2

ket:

1 Otot tidak mampu bergerak


2 Ada kontraksi namun tidak dapat bergerek
3 Dapat menggerakan otot dibagian yang lemah sesuai perintah
namun jika ditahan otot tidak mampu bergerak
4 Dapat menggerakan otot dengan tahanan minimal
5 Dapat bergerak dan dapat melawan hambatan yang ringan
6 Bebas bergerak dan dapat melawan tahanan yang setimpal
MK : intoleransi aktivitas b.d keterbatasan aktivitas fisik

7. Sistem Integumen
Terdapat luka bekas operasi di bagian abdomen dibalut perban, dan
adanya nyeri operasi pada garis tengah operasi.
MK : Resiko infeksi b.d Luka Insisi

8. Sistem Endokrin

Tidak terdapat pembesaran kelenjar tiroid.

MK : Tidak ada masalah


45

9. Sistem Neurobehaviour

b. Penglihatan
mata bersih , bentuk normal, lensa mata jernih

c. Pendengaran
Bentuk simetris kanan dan kiri. Tidak ada seruman. Lubang telinga
tampak bersih., Tidak menggunakan alat bantu pendengaran.
d. Penghidu
Tidak terlihat akumulasi secret, bentuk hidung simetris

10. Pengkajian Psikososial

a. Persepsi klien terhadap klien :


b. Reaksi saat interaksi

Kooperatif ( +) Tidak kooperatif ( )

c. Status emosional
Tenang ( ) Cemas ( + ) Marah ( )
Menarik Diri ( ) Tidak Sabar ( ) dan lainnya ( )
46

4.1.4 Pemeriksaan Penunjang (Laboratorium, Radiologi)


a. Hasil laboratorium tanggal 21 september 2015

No Nilai Hasil Nilai normal


Hemoglobin 14,8 13,2-17,3 g/dl
Leukosit 6200 4000-11000/ Cmm
Trombosit 283.000 150.000-400.000
Sel/Mm3
Hematokrit 43% 40 – 48 %
Basofil 0 0-1 %
Eosinofil 3 1-3%
Batang 2 2-6%
Segmen 70 50-70%
Limfosit 20 20-40%
Monosit 5 2-8%
47

b. Hasil laboratorium tanggal 23 september 2015

No Nilai Hasil Nilai normal


Hemoglobin 12,9 13,2-17,3 g/dl
Leukosit 7000 4000-11000/ Cmm
Trombosit 379.000 150.000-400.000
Sel/Mm3
Hematokrit 37 Lk 40 – 48 %
Pr 37-43%
Eosinofil 0 1-3%
Batang 2 2-6%
Segmen 66 50-70%
Limfosit 24 20-40%
Monosit 6 2-8%
Ureum 153 20-40mg/adl
Creatinin 3,8 1:0,9-1,3mg/adl

4.1.5 Terapi

Tanggal 22 september 2015 - Jam 14.00


No Jenis Indikasi Cara Dosis
pemberian
1. Metrodinazol Mencegah infeksi IVFD 500 mg
2. Ringer laktat Mengembalikan IVFD 500 mg
elektrolirt pada
dehidrasi
3. Inj. Ceftiaxone Mencegah infeksi IV 2x1 gr
pada intra abdomen
4. Inj. Keterolac Penataleksanaan IV 3x30 mg
nyeri jangka
48

pendek, Nyeri kaut,


sedang – berat
setelah operasi.

4.2 Analisa Data

No Analisa data Etiologi Masalah


1 Data Subyektif : Stimulus nyeri menstimulasi Nyeri
nosiseptor di perifer

- klien mengatan nyeri di


Impuls nyeri diteruskan oleh serabut
daerah operasi. saraf afferen (A-delta & C) ke
medulla spinalis
Data Obyektif : melalui dorsal horn

- Saat pengkajian dari hasil Impuls bersinapsis di substansia


gelatinosa (lamina II dan III)
observasi
Impuls melewati traktus
- terpasang Naso Gastric spinothalamus.

Tube di hidung sebelah


Impuls masuk ke formation
retikularis
kanan. (jumlah cairan

- IVFD RL gtt 20x/Menit Nyeri

- T: 37,40C.

- RR: 20x/m,

- Tekanan Darah: 140/90

- Nadi: 87x/m.

- Nyeri Skala 5 rentang dari

1 sampai 10
49

2 Data Subyektif : Pembedahan operasi Resiko Infeksi

- Klien mengatakan Luka Insisi


terdapat terdapat luka
Peningkatan paparan patogen dari
post laparatomi
lingkungann

Data Obyektif :
Jalan masuk Patogen

- Saat pengkajian dari hasil


Resiko Infeksi
observasi

- terpasang Naso Gastric

Tube di hidung sebelah

kanan.

- Luka bekas Operasi daerah

abdomen.

- IVFD RL gtt 20x/Menit

- T: 37,40C.

- RR: 20x/m,

- Tekanan Darah: 140/90

- Nadi: 87x/m.

- Nyeri Skala 5

- Tanda Infeksi:

Rubor (-), color(-),

dolor (+), tumor (-)


50

3 Data Subyektif : Pembedahan operasi


Intoleransi
- Klien mengatakan lesu dan Luka Insisi aktivitas
lemas.
tirah baring dan nyeri abdomen
Data Obyektif :
intoleransi aktivitas
- Keadaan Umum : Lemah, os
Nampak tirah baring dan
jarang bergerak.
- Kesadaran : Compos
Mentis (Eye : 4, Verbal: 5
Motorik : 6)
- IVFD RL gtt 20x/Menit

- T: 37,40C.

- RR: 20x/m,

- Tekanan Darah: 140/90

- Nadi: 87x/m.

Tingkat ketergantungan : III

(Total care)

Skala ROM : 3 (Rentang 1-5)


51

4.3 Masalah keperawatan

1. Nyeri Akut berhubungan dengan Agens cidera Biologis (luka Insisi).

2. Resiko Infeksi berhubungan dengan Insisi bedah

3. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan agens cidera

3.4 Prioritas masalah keperawatan

1. Nyeri Akut

2. Resiko Infeksi

3. Intoleransi aktivitas

3.5 Diagnosa keperawatan

1. Nyeri Akut berhubungan dengan Agens cidera Biologis (luka Insisi).

2. Resiko Infeksi Berhubungan dengan pasca operasi.

3. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan keterbatasan aktivitas fisik.


52

3.6 Nursing Care Planning

No Diagnosa keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi

1. Nyeri akut b/d Agens cidera NOC : Pain Management


Biologis (luka Insisi).  Lakukan pengkajian nyeri secara
 Pain Level, komprehensif termasuk lokasi,
Definisi :  Pain control, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas
 Comfort level dan faktor presipitasi
Sensori yang tidak
Kriteria Hasil :  Observasi reaksi nonverbal dari
menyenangkan dan
pengalaman emosional yang  Mampu mengontrol nyeri ketidaknyamanan
muncul secara aktual atau (tahu penyebab nyeri, mampu  Kaji kultur yang mempengaruhi respon
potensial kerusakan jaringan menggunakan tehnik nyeri
atau menggambarkan adanya nonfarmakologi untuk  Bantu pasien dan keluarga untuk mencari
kerusakan (Asosiasi Studi mengurangi nyeri, mencari dan menemukan dukungan
Nyeri Internasional) bantuan)  Kontrol lingkungan yang dapat
 Melaporkan bahwa nyeri mempengaruhi nyeri
berkurang dengan  Pilih dan lakukan penanganan nyeri
menggunakan manajemen (farmakologi, non farmakologi dan inter
nyeri personal)
 Mampu mengenali nyeri  Kaji tipe dan sumber nyeri untuk
(skala, intensitas, frekuensi menentukan intervensi
dan tanda nyeri)  Ajarkan tentang teknik non farmakologi
 Berikan analgetik untuk mengurangi
53

 Menyatakan rasa nyaman nyeri


setelah nyeri berkurang  Evaluasi keefektifan kontrol nyeri
 Tanda vital dalam rentang  Tingkatkan istirahat
normal  Kolaborasikan dengan dokter jika ada
keluhan dan tindakan nyeri tidak berhasil
 Monitor penerimaan pasien tentang
manajemen nyeri
Analgesic Administration

 Cek instruksi dokter tentang jenis obat,


dosis, dan frekuensi
 Tentukan analgesik pilihan, rute
pemberian, dan dosis optimal
 Pilih rute pemberian secara IV untuk
pengobatan nyeri secara teratur
 Monitor vital sign sebelum dan sesudah
pemberian analgesik pertama kali
 Evaluasi efektivitas analgesik, tanda dan
gejala (efek samping)
2. Resiko Infeksi b/d luka insisi NOC : NIC :

 Immune Status Infection Control (Kontrol infeksi)


 Knowledge : Infection control
Definisi : Peningkatan resiko  Risk control  Bersihkan lingkungan setelah dipakai
masuknya organisme patogen pasien lain
54

Kriteria Hasil :  Batasi pengunjung bila perlu


 Instruksikan pada pengunjung untuk
Faktor-faktor resiko :  Klien bebas dari tanda dan
mencuci tangan saat berkunjung dan
gejala infeksi
- Prosedur Infasif setelah berkunjung meninggalkan pasien
 Mendeskripsikan proses
- Ketidakcukupan penularan penyakit, factor
pengetahuan untuk  Cuci tangan setiap sebelum dan sesudah
yang mempengaruhi
menghindari paparan tindakan kperawtan
penularan serta
patogen  Gunakan baju, sarung tangan sebagai alat
penatalaksanaannya,
- Kerusakan jaringan dan pelindung
 Menunjukkan kemampuan
peningkatan paparan untuk mencegah timbulnya  Pertahankan lingkungan aseptik selama
lingkungan infeksi pemasangan alat
 Jumlah leukosit dalam batas  Berikan terapi antibiotik.
normal
 Menunjukkan perilaku hidup Infection Protection (proteksi terhadap
sehat infeksi)

 Monitor tanda dan gejala infeksi sistemik


dan lokal
 Monitor kerentanan terhadap infeksi
 Batasi pengunjung
 Saring pengunjung terhadap penyakit
menular
 Partahankan teknik aspesis pada pasien
yang beresiko
55

 Pertahankan teknik isolasi k/p


 Berikan perawatan kuliat pada area
epidema
 Inspeksi kulit dan membran mukosa
terhadap kemerahan, panas, drainase
 Inspeksi kondisi luka / insisi bedah
 Dorong istirahat
 Ajarkan pasien dan keluarga tanda dan
gejala infeksi
 Laporkan kecurigaan infeksi
 Laporkan kultur positif

3. Intoleransi aktivitas b/d NOC : NIC :


Activity Therapy
keterbatasan aktivitas fisik.  Energy conservation  Bantu untuk memilih aktivitas konsisten
 Self Care : ADLs yangsesuai dengan kemampuan fisik,
Definisi : Ketidakcukupan psikologi dan social
Kriteria Hasil :
energu secara fisiologis  Bantu klien untuk membuat jadwal
maupun psikologis untuk  Berpartisipasi dalam latihan diwaktu luang
meneruskan atau aktivitas fisik tanpa disertai  Bantu pasien/keluarga untuk
menyelesaikan aktifitas yang peningkatan tekanan darah, mengidentifikasi kekurangan dalam
beraktivitas
diminta atau aktifitas sehari nadi dan RR
 Sediakan penguatan positif bagi yang
hari.  Mampu melakukan aktivitas aktif beraktivitas
sehari hari (ADLs) secara  Bantu pasien untuk mengembangkan
56

mandiri motivasi diri dan penguatan


 Monitor respon fisik, emoi, social dan
Batasan karakteristik : spiritual

4. melaporkan secara verbal


adanya kelelahan atau Energy Management
 Observasi adanya pembatasan klien
kelemahan.
dalam melakukan aktivitas
5. Respon abnormal dari
 Dorong anal untuk mengungkapkan
tekanan darah atau nadi
perasaan terhadap keterbatasan
terhadap aktifitas
 Kaji adanya factor yang menyebabkan
6. Perubahan EKG yang
kelelahan
menunjukkan aritmia atau
 Monitor nutrisi dan sumber energi
iskemia
tangadekuat
7. Adanya dyspneu atau
 Monitor pasien akan adanya kelelahan
ketidaknyamanan saat
fisik dan emosi secara berlebihan
beraktivitas.
 Monitor respon kardivaskuler terhadap
aktivitas
Faktor factor yang  Monitor pola tidur dan lamanya
tidur/istirahat pasien
berhubungan :

a. Tirah Baring atau


imobilisasi
b. Kelemahan menyeluruh
c. Ketidakseimbangan
57

antara suplei oksigen


dengan kebutuhan
d. Gaya hidup yang
dipertahankan.
58

BAB IV
IMPLEMENTASI & EVALUASI
4.1 Implementasi

Implementasi tanggal 22 September 2015

Jam Implementasi Respon No. Paraf


Diagnosa
08.00 1. Mengobservasi pasien 1. Klien mengeluh susah tidur karena 1
nyeri hilang timbul di daerah operasi
10.00 2. Memonitor vital sign 2. TD: 150/100 mmhg RR: 24x/M 1
N: 79x/M T: 36
11.20 3. Melakukan pengkajian nyeri 3. Skala nyeri: 4 (rentang 0-10) 1
11.35 4. Mengajarkan tentang teknik relaksasi nafas dalam 4. Klien mampu melakukan relaksasi 1
Nafas dalam
14.30 5. Mengajarkan pasien untuk belajar miring kiri miring kanan 5. Klien belum mampu melakukan 3
miring kanan/kiri
19.00 6. Mendorong keluarga untuk membantu pasien makan 6. Keluarga klien mengerti dan 3
membantu klien.
59

Implementasi 23 September 2015

Jam Implementasi Respon No. Paraf


Diagnosa
08.00 1. Mengobservasi klien 1. Klien mengeluh susah tidur karena 1
nyeri hilang timbul di daerah operasi
09.00 2. Memonitor vital sign 2. TD 130/90 mmhg RR: 22 2
T:36 N: 74 2
3. Melakukan pengkajian Nyeri 3. Skala nyeri : 4 (rentang 0-10)
09.15 4. Mengajarkan pasien tehnik relaksasi nafas dalam 4. Klien mengerti dan mampu 2
melakukan relaksasi nafas dalam
09.30 5. Mengganti balutan 5. Klien mampu mengontrol nyeri dan
tenang selama prosedur dan setelah 2
prosedur
09.40 6. Mengkaji tanda-tanda infeksi 6. Terdapat salah satu tanda infeksi 2
Rubor (-), color(-), dolor (+),
tumor (-)
7. Mengajarkan pasien untuk belajar miring kiri miring kanan 7. Klien belum mampu melakukan 3
miring kanan/kiri 1
60

11.35 8. Mendorong keluarga untuk membantu pasien makan 8. Keluarga membantu klien makan
23.10 9. Memberikan order obat (metronidazole IVFD gtt 30x/ 9. Klien mengerti dan memahami
menit) tujuan pemberian cairan.
2.00 10. Observasi TTV/ 60 menit
61

Implementasi tanggal 24 September 2015

Jam Implementasi Respon No. Paraf


Diagnosa
08.00 1. Melakukan pengkajian nyeri 1. Skala nyeri: 4 (rentang 0-10) 1
08.15 2. Menganjurkan pasien untuk relaksasi nafas dalam saat 2. Klien mengerti tujuan dan manfaat
10.00 nyeri muncul. relaksasi nafas dalam. 1
3. Memonitor vital sign 3. TD: 150/100 mmhg RR: 24x/M
11.20 N: 79x/M T: 36 1
11.35 4. Mengajarkan tentang teknik relaksasi nafas dalam 4. Klien mampu melakukan relaksasi 1
Nafas dalam
14.30 3
5. Mengajarkan pasien untuk belajar miring kiri miring kanan 5. Klien belum mampu melakukan
miring kanan/kiri
19.00 6. Mendorong keluarga untuk membantu pasien makan 6. Keluarga klien mengerti dan 3
membantu klien.
20.30 7. Klien tampak tenang dan tertidur 3

11.30 1
62
63

Implementasi tanggal 25 September 2015

Jam Implementasi Respon No. Paraf


Diagnosa
08.00 1. Mengobservasi pasien 1. Klien mengeluh susah tidur karena 1
nyeri hilang timbul di daerah operasi
10.00 2. Memonitor vital sign 2. TD: 150/100 mmhg RR: 24x/M 1
N: 79x/M T: 36
11.20 3. Melakukan pengkajian nyeri 3. Skala nyeri: 4 (rentang 0-10) 1
11.35 4. Mengajarkan tentang teknik relaksasi nafas dalam 4. Klien mampu melakukan relaksasi 1
Nafas dalam
14.30 5. Mengajarkan pasien untuk belajar miring kiri miring kanan 5. Klien belum mampu melakukan 3
miring kanan/kiri
19.00 6. Mendorong keluarga untuk membantu pasien makan 6. Keluarga klien mengerti dan 3
membantu klien.
64

4.2 Evaluasi

Evaluasi Tgl 22 september 2015 jam 08.00 s/d 08-00 tgl 23 september 2015

No. Evaluasi
Diagnosa
1 S: klien mengatakan nyeri berkurang
O:
- KU Lemah
- Muntah +
- IVFD RL terpasang Baik
- TD 150/100 mmhg
- RR: 24
- T:36
- N: 79
- Skala 5 rentang dari 1 sampai 10
A: Masalah teratasi sebagian
P: Intervensi dilanjutkan
65

2 Evaluasi
S: klien Mengatakan lesu dan lemas
O:
- Tidak terdapat tanda infeksi (kemerahan, pus)
- TD 150/100 mmhg
- RR: 24
- T:36
- N: 79
-
A: Masalah Belum teratasi
P: Intervensi dilanjutkan

3 Evaluasi
S: klien mengatakan susah bergerak
O: KU Lemah
- Muntah +
- IVFD RL terpasang Baik
- TD 150/100 mmhg
- RR: 24
66

- T:36
- N: 79
A : masalah belum teratasi
P : intervensi dilanjutkan

Evaluasi Tgl 23 september 2015 jam 08.00 s/d 08-00 tgl 24 september 2015

No DX Evaluasi
1 S: klien mengatakan nyeri berkurang
O:
- KU Lemah
- Muntah +
- IVFD RL terpasang Baik
- TD 130/90 mmhg
- RR: 22
- T:36
- N: 74
- Skala 5 rentang dari 1 sampai 10
67

A: Masalah teratasi sebagian


P: Intervensi dilanjutkan

2 Evaluasi
S: klien Mengatakan lesu dan lemas
O:
- Tidak terdapat tanda infeksi (kemerahan, pus)
- TD 130/90 mmhg
- RR: 22
- T:36
- N: 74
A: Masalah Belum teratasi
P: Intervensi dilanjutkan

3 Evaluasi
S: klien mengatakan susah bergerak
O: KU Lemah
- Muntah +
68

- IVFD RL terpasang Baik


- TD 130/90 mmhg
- RR: 22
- T:36
- N: 74
A : masalah belum teratasi
P : intervensi dilanjutkan

Evaluasi Tgl 24 september 2015 jam 08.00 s/d 03-00 tgl 25 september 2015

No DX Evaluasi
1 S: klien mengatakan nyeri berkurang
O:
- KU Lemah
- Muntah +
- IVFD RL terpasang Baik
- TD 150/100 mmhg
- RR: 24
69

- T:36
- N: 79
- Skala 5 rentang dari 1 sampai 10
A: Masalah teratasi sebagian
P: Intervensi dilanjutkan
- Anjurkan melakukan relaksasi nafas dalam jika nyeri muncul
- Kolaborasi pemberian analgesik
2 Evaluasi
S: klien Mengatakan lesu dan lemas
O:
- Terdapat salah satu tanda infeksi
Rubor (-), color(-), dolor (+), tumor (-)
- TD 150/100 mmhg
- RR: 24
- T:36
- N: 79
A: Masalah Belum teratasi
P: Intervensi dilanjutkan
- Ganti balutan
70

- Batasi jumlah pengunjung


- Anjurkan pengunjung mencuci tangan sebelum dan setelah kunjungan
- Kolaborasi pemberian antibiotik
3 Evaluasi
S: klien mengatakan susah bergerak
O: KU Lemah
- Muntah +
- IVFD RL terpasang Baik
- TD 150/100 mmhg
- RR: 24
- T:36
- N: 79
A : masalah belum teratasi
P : intervensi dilanjutkan
- Anjurkan klien untuk miring kanan/kiri
- Libatkan keluarga dalam ADL klien
- Kaji tingkat ketergantungan klien
71

BAB V
PEMBAHASAN

5.1 Perbandingan antara teori dan praktik ganti balutan

Teori Praktik
Alat: Alat:
1. 1 gunting verban 1. 1 gunting verban
2. 1 gunting nekrotomi 2. 1 pinset anatomi steril
3. 1 pinset anatomi steril 3. 1 pinset sirugis steril
4. 1 pinset cherugis 4. 1 bak instrumen steril
5. 1 bak instrument steril 5. Kassa steril secukupnya
6. Kassa steril secukupnya 6. 1 pasang hanscone steril dan
7. Kassa penekan (deppers) bersih
steril secukupnya 7. 1 bengkok
8. 1 pasang hanscone steril dan 8. Kom berisi betadin
bersih 9. Plester
9. Perlak pengalas 10. Baki
10. 2 bengkok 11. Kassa gulung
11. Kom berisi betadin 12. Bethadin 10%
12. Baki dan alas baki 13. Alcohol 70%
13. Plester 14. Nacl 0.9%
14. Kassa gulung 15. Perlak
15. Bethadin 10% 16. Elastis perban
16. Alcohol 70%
17. Nacl 0.9%
18. H2O2

Perbedaan alat pada prosedur ganti verban post operasi adalah:


72

1. Gunting nekrotomi
Gunting nekrotomi adalah gunting yang digunakan untuk
mengangkat jaringan mati, sedangkan pada praktinya ganti verban tidak
menggunakan gunting tersebut karena tidak terdapat jaringan yang mati.
2. Kassa penekan atau deppers.
Yaitu kassa yang digunakan untuk menekan luka, akan tetapi pada
praktinya kassa ini tidak digunakan karena mengganti balutan cukup
dengan kassa steril saja.
3. H2O2
Penggunaan H2O2 tidak dilakukan pada ganti verban luka bersih.

Perbedaan teori dan praktik pelaksanaan ganti verban


Teori Praktik
Pelaksanaan: Pelaksanaan:
1. Mengucapkan salam 1. Mengucapkan salam
2. Memperkenalkan diri dan 2. Jelaskan kepada pasien tentang
menjelaskan tujuan tindakan yang akan dilakukan
3. Jelaskan kepada pasien 3. Dekatkan alat-alat ke pasien
tentang tindakan yang akan 4. Pasang masker dan hanscone
dilakukan 5. Atur posisi pasien sesuai
4. Menanyakan kesiapan pasien dengan kebutuhan
5. Dekatkan alat-alat ke pasien 6. Letakan perlak di bawah area
6. Menjaga privasi pasien luka
7. Perawat cuci tangan 7. Buka balutan lama tanpa
8. Pasang masker dan hanscone menyentuh luka secara
9. Atur posisi pasien sesuai perlahan sambil menganjurkan
dengan kebutuhan pasien menarik nafas dalam.
10. Letakan perlak di bawah area 8. Siapkan larutan pencuci luka
luka dan obat luka
11. Buka balutan lama tanpa 9. Membersihkan luka dengan
menyentuh luka secara Nacl
73

perlahan 10. Keringkan luka dengan kassa


12. Bila balutan melekat pada kering
jaringan dibawah jangan 11. Berikan obat pada area luka
dibasahi tapi angkat balutan sesuai dengan therapy
perlahan 12. Menutup luka dengan balutan
13. Siapkan larutan pencuci luka basah kering
dan obat luka
14. Membersihkan luka dengan
Nacl
15. Lakukan nekrotomi jika ada
jaringan nekrotik
16. Keringkan luka dengan kassa
kering
17. Berikan obat pada area luka
sesuai dengan therapy
18. Menutup luka dengan balutan
kering, basah kering atau
basah-basah

Ada perbedaan pelaksanaan ganti balutan antara teori dan praktik, dimana
ada beberapa tahapan yang tidak dilakukan sesuai dengan tahapan teoritis,
1. Pada teori perawat harus menanyakan kesiapan pasien sebelum
melakukan tindakan, sedangkan pada pelaksanaan dilapangan,
mengingat tugas dan perbandingan jumlah perawat dengan pasien hal
ini jarang dilakukan.
2. Pada teori tidak dijelaskan mekanisme penanganan nyeri selama
prosedur, sedangkan pada praktek dilapangan perawat menganjurkan
pasien melakukan nafas dalam untuk meminimimalisir nyeri selama
prosedur.
74

BAB VI
PENUTUP

6.1 Kesimpulan

Apendisitis adalah peradangan pada apendiks vermiformis dan merupakan

penyebab abdomen akut yang paling sering. Penyakit ini mengenai semua umur

baik laki-laki maupun perempuan, tetapi lebih sering menyerang laki-laki berusia

10 sampai 30 tahun. Apendiksitis terbagi menjadi 2 yaitu apendiksitis akut dan

apendisitis kronik. Apendiksitis akut dapat disebabkan oleh trauma, misalnya

pada kecelakaan atau operasi, tetapi tanpa lapisan eksudat dalam rongga maupun

permukaan apendiks. Apendiksitis kronik biasanya disebabkan oleh penyumbatan

lumen apendiks. Obstruksi tersebut menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa

apendiks mengalami bendungan.

Semakin lama mukus tersebut semakin banyak, namun elasitas dinding

apendiks mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan tekanan

intra lumen. Oleh karena itu perlu perhatian khusus yang memiliki penyakit

apendisitis untuk Melakukan perawatan pada luka dengan cara mamantau keadaan

luka, melakukan penggatian balutan (ganti verban) dan mencegah terjadinya

infeksi. Penggunaan therapy antibiotic topical pada luka apendisitis seperti

metrodinazole sangat efektif untuk membunuh bakteri yang dapat menimbulkan

bau (Gitaraja, 2004).

Pembalut luka merupakan sarana vital untuk mengatur kelembaban kulit,

menyerap cairan yang berlebihan, mencegah infeksi, dan membuang jaringan mati
75

pada luka apendisitis. Diharapkan perawat memiliki kemampuan khusus dalam

merawat luka apendisitis.

Perawatan GV yang dilakukan pada Tn”A” yang bertujuan untuk

melindungi luka dari kontaminasi, meningkatkan penyembuhan luka dan menjaga

kebersihan luka dengan mengganti balutan yang kotor dengan balutan yang baru,

sehingga Tn”A” merasa nyaman dengan balutan yang bersih dan tidak takut akan

terjadinya kontaminasi.

6.2 Saran

6.2.1 Saran Bagi Mahasiswa

Bagi system keilmuan khususnya bagi ilmu keperawatan diharapkan dapat

meningkatkan ketersediaan teori-teori mengenai asuhan keperawatan pada klien

dengan luka apendisitis. Hal ini diharapkan dapat mrnjadi sumber informasi untuk

dijadikan pedoman bagi pelaksanaan asuhan keperawatan apendisitis perforasi

dan bermanfaat untuk meningkatkan mutu pelayanan keperwatan dimasa yang

akan datang.

6.2.2 Saran Bagi Pelayanan

Diharapkan dalam perawatan luka apendisitis perawat dapat

mengembangkan keterampilan kliniknya dalam melakukan asuhan keperwatan

khususnya apendisitis perforasi, pihak manajemen rumah sakit diharapkan juga

terus memfasilitasi pelaksanaan asuhan keperawatan dengan sarana dan prasarana

yang memadai, dan terus mendukung keterampilan perawat dengan meningkatkan


76

aktivitas pelatihan dan kegiatan-kegiatan ilmiah lainnya yang dapat diikuti

perawat secara berjunjung dan berkesinambungan


77

DAFTAR PUSTAKA.

Baradero, M., Drayit, M. W., dan Siswandi, Y. S. (2009). Prinsip & Praktek
Keperawatan Perioperatif, Jakarta: EGC.

Departemen Kesehatan RI, 2013 “Riset Kesehatan dasar” Depkes.go.id diakses


tanggal 2 februari 2015

FK Universitas Andalas, 2012 “ Penuntun skill lab Gangguan Sistem Pencernaan


Revisi III” FIK Andalas: Padang

Masjoer, A. (2001). Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : FKUI.

Potter, P. A. & Perry, A.G. (2006). Buku Ajar Fundamental Keperawatan:


Konsep, Proses, dan Praktik. Edisi 4. Vol 2. Jakarta : EGC.

Sjamsuhidajat , R & Jong, W. D. (2005). Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi Ke 2.


Jakarta: EGC.

Smeltzer, Suzanna C dan Bare, Brenda G.(2002), “Buku Ajar Keperawatan


Medikal Bedah, Edisi 8, Vol.1,”. Buku Kedokteran EGC : Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai