Anda di halaman 1dari 142

TRAUMA KEPALA

Ridha Dharmajaya

2018
USU Press
Art Design, Publishing & Printing
Gedung F
Jl. Universitas No. 9, Kampus USU
Medan, Indonesia

Telp. 061-8213737; Fax 061-8213737

Kunjungi kami di:


http://usupress.usu.ac.id

 USUpress 2018

Hak cipta dilindungi oleh undang-undang; dilarang memperbanyak,


menyalin, merekam sebagian atau seluruh bagian buku ini dalam bahasa
atau bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit.

ISBN: 978 602 465 028 5

Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)

Dharmajaya, Ridha
Trauma Kepala / Ridha Dharmajaya – Medan: USU Press 2018.

xi, 128 p.; ilus.; 24 cm


Bibliografi

ISBN: 978-602-465-028-5

Dicetak di Medan, Indonesia


KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrohiiim. Puji syukur kami panjatkan kehadirat


Allah SWT, berkat rahmat dan karunia Nya maka buku ini dapat
diselesaikan. Trauma Kepala sebagai kasus operasi terbanyak
dalam bidang Bedah Saraf, memiliki beberapa jenis perdarahan
yang memiliki kekhususan pada gejala dan tanda klinis hingga
gambaran radiologisnya.

Ini adalah salah satu buku referensi dibidang bedah saraf yang
mengangkat judul Trauma Kepala. Buku ini mengupas seluruh
aspek dari Trauma Kepala, mulai dari embriologi otak, anatomi
dan fisiologi serta berbagai kelainan yang terjadi pada Trauma
Kepala yang berujung pada tatalaksana komprehensif.

Selain itu, pada buku ini turut disajikan hasil penelitian tentang
Trauma Kepala, yang bertujuan melihat pengaruh kondisi awal
klinis pasien terhadap luaran tatalaksana operatif.

Buku ini disusun secara ringkas dan sistematis agar mudah


dipelajari dan dipahami. Penulis mengucapkan banyak terima
kasih kepada kepada para guru dan pembimbing, dan tak lupa
penghargaan kepada seluruh subjek penelitian yang telah
memberikan sumbangsih yang sangat berharga bagi dunia
kedokteran. Semoga buku ini bermanfaat bagi dunia akademik
dan menjadi ladang pahala bagi penulis.

Medan, Maret 2018


Penulis,

Dr. dr. Ridha Dharmajaya, SpBS

iii
DAFTAR ISI

Kata Pengantar .......................................................................... iii


Daftar Isi ......................................................................................iv
Daftar Tabel.................................................................................. v
Daftar Gambar ............................................................................vi
Daftar Singkatan ..........................................................................x

Bab I Embriologi Otak............................................................. 1


1.1 Dasar Embriologi ...................................................... 1
1.2 Meningen Otak ....................................................... 24

Bab II Tekanan Intrakranial .................................................. 31


2.1 Fisiologi Cairan Serebrospinal dan Tekanan
Intrakranial .............................................................. 31

Bab III Klasifikasi Cidera Kepala ........................................... 74


3.1 Klasifikasi Cidera Kepala .......................................74

Bab IV Cidera Kepala............................................................... 80


4.1 Epidural Hematomaa .............................................. 80
4.2 Subdural Hematomaa .............................................. 87
4.3 Intracerebral Hematoma ....................................... 100
4.4 Perdarahan Subarachnoid .....................................107
4.5 Difus Axonal Injury (DAI) ...................................110
4.6 Cidera Kepala di RSUP H. Adam Malik Medan
Th. 2013-2017 ....................................................... 114

Daftar Pustaka .......................................................................... 119

iv
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Concentrations of Solutes (mEq/kg H2O) in


Plasma and Lumbar Cerebrospinal Fluid (CSS)
in Humans................................................................. 39
Tabel 3.1 Skala keparahan cidera kepala ................................. 75
Tabel 3.2 Glasgow coma scale ................................................. 75
Tabel 3.3 Klasifikasi cidera kepala berdasarkan Marshall
ScorE ........................................................................ 77
Tabel 3.4 Rotterdam Score ....................................................... 78
Tabel 4.1 ICH Score ............................................................... 106
Tabel 4.2 Risiko kematian berdasarkan ICH score ................ 107
Tabel 4.3 Derajat SAH menurut WFNS ................................. 109

v
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1 Embrio manusia di Carnegie Tahap 23, akhir


embrio yang periode (GW8). Panjangnya 30
mm ..........................................................................3
Gambar 1.2 Dua pandangan dari otak
manusia. a. Tampilan lateral (rostral end
adalah kiri, ekor kanan) menunjukkan
permukaan yang tampak seragam yang
ditandai oleh gyri dan sulcal
folds. b. Penampang melintang koral
(dipotong pada kira-kira tingkat garis putus-
putus di A) diwarnai untuk badan sel yang
menandai neuron .................................................... 4
Gambar 1.3 Perkembangan Embrio ........................................... 6
Gambar 1.4 Tahapan perkembangan gestasi pada fase
E13 dan E20 ........................................................... 8
Gambar 1.5 Perubahan morfologi embrio di embrio yang
periode. Pembentukan tabung saraf terjadi
antara E19 dan E29. a. Munculnya neural
ridges diamati pada E19. b. Itu punggung
bukit dilipat untuk memulai proses
pembentukan tabung saraf. c. Penutupan
tabung saraf dimulai pada E22 di daerah
pusat baru membentuk tabung
saraf d. Penutupan berlanjut di rostral dan
caudal arah. Neuropori anterior menutup
pada E25, dan posterior di E27. e. Setelah
penutupan tabung saraf, embrio mulai
berkembang terutama di daerah
anterior. Vesikula primer adalah terbukti
dengan E28. Ini termasuk Prosencephalon,

vi
Mesencephalon, dan
Rhombencephalon. f. Dengan E49 vesikula
sekunder muncul. Prosencephalon
berdiferensiasi menjadi Telencephalon dan
Diencephalon, dan Rhombencephalon ke
Metencephalon dan Myelencephalon .................. 11
Gambar 1.6 Efek yang berbeda konsentrasi Emx2 dan
Pax6 pada pengembangan sensorimotor
daerah kortikal. Ini kombinasi spesifik
konsentrasi masing-masing molekul yang
menentukan identitas wilayah kortikal ................ 13
Gambar 1.7 Mode yang berbeda dari migrasi neuronal ke
neokorteks. a. Neuron migrasi oleh somal
translokasi dimana sel meluas pada proses
sitoplasma dan melekat pada bagian luar otak
kompartemen (permukaan pial), dan
kemudian inti bergerak naik ke daerah
otak. b. Neuron migraton radial panduan
glial. Glial radial menyediakan perancah
untuk neuron untuk bermigrasi
bersama. c. Neuron migrasi dari kedua zona
proliferasi di eminences ganglionic oleh
migrasi tangensial (Panah menunjukkan arah
migrasi untuk neuron yang berbeda
populations) ......................................................... 17
Gambar 2.1 Bentuk Gelombang TIK normal .......................... 35
Gambar 2.2 Bentuk gelombang tekanan intrakranial
normal pada kecepatan grafik cepat .................... 35
Gambar 2.3 Kurva volume tekanan dan indeks tekanan-
volume menggambarkan respon tekanan
intrakranial (TIK) terhadap penambahan
volume (V). A, Kurva normal menunjukkan
bagaimana perubahan saat volume yang lebih

vii
besar ditambahkan. Sistem cairan
serebrospinal berada dalam fase kompensasi
spasial pada titik a dibandingkan dengan
dekompensasi spasial pada titik b. B,
Graphing log TIK terhadap perubahan
volume memungkinkan perhitungan indeks
tekanan-volume, yang banyak digunakan
sebagai deskripsi kepatuhan intrakranial .............. 38
Gambar 2.4 Sirkuit listrik ekivalen menunjukkan faktor
utama yang mengatur tekanan intrakranial........... 42
Gambar 2.5 Kurva tekanan-volume ......................................... 47
Gambar 2.6 Contoh pengunaan indeks reaktivitas tekanan
untuk menilai cadangan autoregulasi dan
memprediksi hasil pasien .....................................52
Gambar 2.7 Kurva Autoregulasi Serebral ................................ 53
Gambar 2.8 Gelombang TIK berdasarkan klasifikasi
Lundberg............................................................... 54
Gambar 4.1 Epidural hematoma berbentuk lensa dengan
ditemukan buble udara karena fraktur linear
tulang temporal ..................................................... 82
Gambar 4.2 Epidural hematoma dengan bentuk konveks
disertai midline shift ............................................. 83
Gambar 4.3 Potongan MRI T2 menunjukkan hipointens
bikonveks ekstraaxial di regio temporal ............... 84
Gambar 4.4 EDH fossa posterior membutuhkan observasi
ketat dan syarat dilakukan operasi lebih
mudah karena ruang yang lebih kecil di
infratentorial ......................................................... 86
Gambar 4.5 SDH akut pada sisi kanan disertai midline
shift pada CT Scan ................................................ 90
Gambar 4.6 SDH akut pada sisi kiri karena komplikasi
kraniotomi disertai midline shift ........................... 91

viii
Gambar 4.7 SDH akut pada sisi kanan, tampak
hiperdensitas disertai midline shift ...................... 92
Gambar 4.8 Atrofi cerebral disertai subdural higroma ............ 94
Gambar 4.9 SDH kronis berbentuk cresent atau bulan
sabit ...................................................................... 96
Gambar 4.10 SDH subakut dengan gambaran isodens
dengan otak .......................................................... 97
Gambar 4.11 SDH kronis bilateral tanpa disertai midline
shift karena efek massa pada kedua sisi............... 98
Gambar 4.12 Terdapat SDH kronis disertai perdarahan
akut sehingga ditemukan densitas yang
berbeda................................................................. 99
Gambar 4.13 Intracerebral hemoragik pada kedua frontal ...... 103
Gambar 4.14 Subarachnoid hemorrhage di Parietal sebelah
kanan .................................................................. 108
Gambar 4.15 Gambar perjalanan difus axonal injury ............. 110
Gambar 4.16 Multipel ptekie yang menunjukkan difus
axonal injury ...................................................... 111
Gambar 4.17 Multipel fokus lesi pada white gray matter ....... 112

ix
DAFTAR SINGKATAN

AVM : Arteriovenous Malformation


BBB : Blood Brain Barrier
BP : Blood Pressure
Ca : Calcium
CBF : Cerebral Blood Flow
CBV : Cerebral Blood Volume
Cl : Chloride
CO2 : Carbon Dioxide
CSS : Cairan Serebrospina
CT : Computerised Tomography
DAI : Diffuse Axonal Injury
DECRA : Decompressive Craniotomy
DNA : Deoxyribonucleic acid
DVT : Deep Vein Thrombosis
DTI : Diffusion Tensor Imaging
EDH : Epidural Hematoma
FLAIR : Fluid Attenuated Inversion Recovery
GCS : Glasgow Coma Scale
GW : Gestational Week
HCO : Bicarbonate
ICH : Idiopatic Intracranial Hypertension
ICU : Intensive Care Unit
IVH : Intraventricular Hemorrhage
If : Pembentukan Cairan
K : Kalium
kPa : kiloPascal
MAP : Mean Arterial Pressure
mmHg : Millimeter of Mercury
mm H2O : Millimeter of Water
Mg : Magnesium

x
MR : Magnetic Resonance
MRI : Magnetic Resonance Imaging
N : Newton
Na : Natrium
OPC : Oligodendrocyte Progenitor Cell
Pa : Pascal
PaCO2 : Partial Pressure of Carbon Dioxide
PaO2 : Partial Pressure of Oxygen
Pd : Pressure of Dural sinus
PRx : Pressure Reactive Index
PVI : Presuure Volume Index
Ro : Resistensi tunggal
SAH : Subarachnoid Haemorrhage
SDH : Subdural Hematoma
SSP : Sistem Saraf Pusat
STICH : Surgical Trial of Intracerebral
Haemorrhage
TIK : Tekanan Intrakranial
TC : Thalamocortical
TPS : Tekanan Perfusi Serebral
V : Volume
VP : Ventriculoperitoneal
VSGS : Ventrikulosubgaleal Shunt
VZ : Ventricularzone
WFNS : World Federation of Neurological
Surgeons
Xe : Xenon

xi
BAB I
EMBRIOLOGI OTAK

1.1 Dasar Embriologi


Otak manusia adalah suatu sistem paling kompleks dari seluruh
sistem biologis. Otak dewasa terdiri dari lebih dari 100 miliar
neuron. Neuron adalah pengolahan informasi sel-sel di otak. Ada
banyak jenis neuron yang berbeda ukurannya dan bentuk serta
fungsinya. Neuron membuat koneksi dengan neuron lain untuk
membentuk informasi. Jaringan yang mengolah, bertanggung
jawab atas semua pikiran, sensasi, perasaan dan tindakan. Karena
masing-masing neuron bisa membuat koneksi dengan lebih dari
1.000 neuron lainnya, otak orang dewasa diperkirakan memiliki
lebih dari 60 triliun koneksi neuron. Titik koneksi antara dua
neuron disebut sinaps.1
Perkembangan otak manusia adalah proses yang panjang
dimulai pada minggu gestasi ketiga dengan diferensiasi sel
progenitor saraf dan berkembang setidaknya sampai akhir masa
remaja, bisa dibilang sepanjang masa hidup. Proses yang
berkontribusi pada pengembangan otak berkisar dari kejadian
molekuler ekspresi gen yang dipengaruhi lingkungan. Kedua
ekspresi gen dan pengaruh lingkungan sangat penting untuk
perkembangan otak normal. Perkembangan otak lebih tepat
dicirikan sebagai rangkaian kompleks proses dinamis dan adaptif
yang beroperasi sepanjang jalannya pembangunan untuk
mempromosikan kemunculan dan diferensiasi struktur dan fungsi
saraf baru. Proses ini beroperasi di dalam sangat terbatas dan
terorganisir secara genetis, tapi terus-menerus mengubah konteks

1
yang seiring waktu, mendukung kemunculannya struktur
kompleks dan dinamis otak manusia.2

Neurogenetika
Gen terkandung dalam urutan nukleotida DNA yang ditemukan di
nukleus setiap sel dalam tubuh. Ekspresi gen memiliki satu hasil
yaitu produksi molekul protein. Ekspresi sangat penting untuk
semua aspek pembentukan. Gen memberikan template untuk
membuat protein dan itu adalah protein yang merupakan zat aktif
dalam perkembangan biologis. Jadi sementara gen mengandung
informasi yang penting untuk perkembangan dan fungsi
organisme biologis, Gen pada dasarnya adalah molekul inert. Gen
tidak bisa ikut langsung dalam proses biologi. Mereka tidak
langsung membuat mata biru, kecenderungan penyakit,
kecerdasan atau perilaku. Ada hubungan tidak langsung antara
informasi dalam gen dan hasil perkembangan. Informasi pada
urutan gen harus diekstraksi, dikodekan ulang dan diterjemahkan
ke dalam protein. Protein ini adalah yang masuk ke dalam
kompleks, kode signaling interaktif yang biasanya melibatkan
banyak produk gen serta pengaruh dari lingkungan. Sebuah
produk gen tertentu dengan demikian merupakan salah satu dari
banyak elemen penting yang berinteraksi untuk mendukung dan
menuntun proses kompleks perkembangan otak. 12
Ada dua konsep penting untuk memahami bagaimana otak
berkembang. Yang pertama melibatkan ekspresi gen : gen apa dan
bagaimana mereka berperan penting dalam perkembangan otak.
Yang kedua adalah hasil perkembangan otak, otak matang :
struktur utama dan prinsip dasar struktur otak. Perkembangan otak
berlanjut untuk waktu yang lama setelah kelahiran. Otak
meningkat dalam ukuran empat kali lipat selama periode
prasekolah, mencapai sekitar volume 90% orang dewasa dengan
usia 6. Tapi perubahan struktural di kedua bagian besar materi
abu-abu dan putih berlanjut sampai masa kanak - kanak dan masa

2
remaja, dan perubahan struktur ini secara paralel dalam organisasi
fungsional yang juga tercermin dalam tingkah laku. 3

Gambar 1.1 Embrio manusia di Carnegie Tahap 23, akhir embrio


yang periode (GW8). Panjangnya 30 mm

Struktur Dasar Otak


Otak manusia dewasa memiliki karakteristik pola lipatan (sulcus)
dan punggung (gyri). Penutupan Otak matang dianggap adaptasi
yang dramatis dan pertumbuhan ukuran otak selama perjalanan
evolusi. Lipatan jaringan otak memungkinkan otak besar agar
sesuai dengan kubah tengkorak yang relatif kecil, yang harus tetap
kecil untuk proses persalinan. Pengolahan informasi jaringan otak
terbesar dan paling penting melibatkan neokorteks dan subkortikal
yang inti informasi estafet ke dan dari neokorteks. Neokorteks
adalah lapisan sel tebal 2-5 mm yang terletak di atas permukaan
otak (kata korteks berasal dari bahasa Latin Istilah yang berarti
kulit kayu, seperti pada kulit pohon). Dalam potongan koronal
dari otak yang ditunjukkan pada Gambar. 2b neokorteks adalah
tipis, garis abu-abu gelap yang mengikuti permukaan otak. Inti
subkortikal adalah kelompok neuron yang berfungsi sebagai relay
sinyal, keduanya pusat berkomunikasi antara neokorteks dan

3
sebagai relay di antara berbagai area korteks. Mereka berada jauh
di dalam otak di bawah korteks yang disebut sebagai inti
"subkortikal". Karena keduanya, neokorteks dan inti subkortikal
mengandung sel tubuh neuron abu-abu, sehingga menimbulkan
istilah "grey matter".3,4

Gambar 1.2 Dua pandangan dari otak manusia. a. Tampilan lateral


(rostral end adalah kiri, ekor kanan) menunjukkan permukaan
yang tampak seragam yang ditandai oleh gyri dan sulcal
folds. b. Penampang melintang koronal (dipotong pada kira-kira
tingkat garis putus-putus di A) diwarnai untuk badan sel yang
menandai neuron

Neuron saling terhubung satu sama lain lewat serat yang


membentang dari badan sel neuron. Ada dua jenis serat
penghubung, dendrit dan akson. Dendrit adalah susunan serat
pendek itu terlihat seperti cabang pohon; kumpulan dendrit sering
disebut sebagai dendritik arbors. Mereka hanya memperpanjang
jarak jauh dari badan sel saraf. Fungsi utamanya adalah menerima
sinyal input elektrokimia dari akson neuron lainnya. Akson
adalah serat penghubung yang meluas jarak jauh dan membuat
koneksi dengan neuron yang lain, sering di dendrit. Akson
bertindak sedikit seperti kabel telepon karena mereka bertanggung
jawab untuk mengirim sinyal elektrokimia ke neuron yang terletak
jauh dari lokasi. Kumpulan akson dari banyak neuron berbeda
dalam satu wilayah otak membentuk traktus dan membuat koneksi

4
dengan kelompok neuron daerah otak lainnya untuk membentuk
proses informasi. Jaringan akson dibungkus dengan zat lemak
yang disebut mielin, seperti isolasi pada kabel telepon, membuat
transmisi sinyal elektrokimia antar daerah efisien. Myelin
berwarna putih dalam penampilan, sehingga jalur serat antara otak
sering disebut sebagai "white matter", atau "substansia alba".5
Di pusat otak ada rangkaian rongga saling berhubungan
yang membentuk sistem ventrikel otak (lihat Gambar. 2b ). Sistem
ventrikel diisi dengan cairan yang disebut cairan serebrospinal
yang benar-benar mengalami siklus beberapa kali per hari. Sistem
ventrikel memiliki sejumlah fungsi penting termasuk bantalan dan
perlindungan otak, pembuangan sisa metabolisme, dan
transportasi hormon dan zat lainnya. 6,7
Meskipun neokorteks otak mungkin tampak berstruktur
relatif seragam (lateral view), namun sebenarnya dibagi ke dalam
wilayah yang secara struktural dan fungsional berbeda. Daerah
berbeda dalam jenis neuron yang dikandungnya, jenis input yang
mereka terima, dan jenis koneksi dengan area otak
lainnya. Struktur ini menghasilkan perbedaan fungsional yang
menciptakan area otak yang khusus untuk melakukan berbagai
jenis proses. 5,8

Perkembangan Otak pada Embrio dan Janin Periode Dini


Pada manusia periode embrio dimulai pada masa konsepsi.
Menjelang akhir periode embrio struktur dasar otak dan sistem
saraf pusat terbentuk dan kompartemen utama sistem saraf pusat
dan perifer didifferensiasikan. Masa janin awal, yang meluas
sampai sekitar pertengahan gestasi, merupakan periode kritis
dalam perkembangan neokorteks. Sebagian besar neuron korteks
yang dihasilkan oleh waktu itu dan banyak yang telah bermigrasi
ke posisi di neokorteks dan mulai dari yang esensial jaringan otak
untuk pengolahan informasi.

5
Diferensiasi dari Sel Progenitor Neural
Pada akhir minggu kedua setelah konsepsi, embrio adalah struktur
dua lapis yang sederhana berbentuk oval. Gambar 4a memberikan
gambaran tentang dimensi ruang utama dari embrio pada hari ke-
13 (E13; catatan selama Usia periode embrio sering dilambangkan
dengan jumlah hari setelah pembuahan, yang disebut sebagai hari
embrio, maka gastrulasi dimulai pada hari embrio 13, atau E13).
Gambar 4b mengarahkan embrio dalam konteks plasenta embrio,
dan Gambar. 4c menunjukkan bagaimana embrio yang sumbu
spasial berhubungan dengan dimensi spasial utama bayi (lihat
keterangan gambar untuk rinciannya).

Gambar 1.3. Perkembangan Embrio

Masing-masing dari dua lapisan itu berbeda, sangat


berbeda tipe sel primitif (Gambar. 5b ). Lapisan atas berisi
sel epiblast dan lapisan bawah mengandung sel-sel hypoblast.

6
Menjelang akhir minggu ketiga, embrio ditransformasikan melalui
serangkaian proses yang disebut secara kolektif sebagai
gastrulasi menjadi struktur tiga-lapis. Sementara ini mungkin
tampaknya menjadi perubahan sederhana, transformasi sel yang
terjadi saat gastrulasi mengatur untuk semua perkembangan
selanjutnya pada embrio. Sel epiblast dari lapisan sel atas akan
berdiferensiasi menjadi tiga garis sel induk utama yang pada
akhirnya akan menimbulkan semua struktur dalam embrio
berkembang, sedangkan Sel hipoblas dari lapisan bawah akan
terbentuk ekstraembrio jaringan seperti komponen janin plasenta
dan menghubungkan tangkai di antara garis sel induk yang
muncul selama gastrulasi adalah sel induk saraf. Saraf sel punca
mampu menghasilkan semua sel yang berbeda yang membentuk
otak dan sistem saraf pusat, dan untuk alasan ini sel induk saraf
biasanya disebut dengan sel progenitor saraf. 7
Langkah pertama dalam proses gastrulasi ditandai oleh
munculnya celah seperti celah di lapisan atas embrio
disebut streak primitif (Gambar. 5a ). Pembukaan ini
menyediakan akses ke daerah yang lebih rendah dari embrio.
Selanjutnya, subset dari sel epiblast terlepas dari atas lapisan
embrio dan mulai bermigrasi ke arah primitif saat mereka
mencapai pembukaan mereka berubah arah dan melewati garis
primitif dan bawah lapisan atas (lihat Gambar. 5b ). Mereka
kemudian berubah arah lagi dan mulai bergerak menuju ujung
rostral embrio (lihat Gambar. 5c ). Ujung rostral dari embrio akan
berkembang menjadi kepala bayi. Yang paling awal bermigrasi sel
akan pindah ke posisi paling rostral di embrio, sel yang kemudian
bermigrasi akan berpindah ke kaudal yang berturut-turut akan
berkembang menjadi leher dan batang tubuh. Sel yang bermigrasi
akan membentuk dua lapisan embrio baru. Sel yang membentuk
lapisan terdalam akan menggantikan sel hipoblas dan membentuk
lapisan sel induk endodermal yang akan menimbulkan struktur
usus dan traktus pernafasan. Lapisan sel induk mesoderm akan

7
menimbulkan struktur tersebut seperti otot, tulang, tulang rawan
dan sistem vaskular. Sel yang tetap berada di lapisan epidermis
ditransformasikan menjadi satu dari dua jenis sel induk lapisan
ektodermal. Epidermal sel ektodermal induk akan menimbulkan
struktur seperti kulit, kuku, dan kelenjar keringat,
sedangkan batang neurectodermal akan menimbulkan otak dan
sistem saraf pusat. Sel induk neuroectodermal adalah nenek
moyang sel saraf. 7

Gambar 1.4 Tahapan perkembangan gestasi pada fase E13 dan


E20

Diferensiasi semua garis sel induk embrio melibatkan


kaskade molekul yang rumit. Hanya diferensiasi sel induk saraf
(neural progenitors) akan dibahas disini pada awal gastrulasi
dimana sel lapisan epiblas yang akan berdiferensiasi menjadi
neural. Sel progenitor terletak di sepanjang garis tengah rostral-
kaudal embrio dua lapis (ditunjukkan dengan warna merah pada
Gambar. 5d ). Diferensiasi sel ini menjadi sel induk progenitor
hasil dari pensinyalan molekul kompleks yang melibatkan
beberapa produk gen (yaitu protein) yang diproduksi oleh
beberapa populasi sel embrio yang berbeda. Pada awal gastrulasi,
sel epiblas mulai bermigrasi ke melalui garis primitif. Sebagai
bagian sel yang bermigrasi sepanjang rostral-kaudal, garis tengah
embrio mendekati pembukaan yang mereka lewati struktur lain
yang disebut node primitif yang terletak di akhir rostral dari streak
primitif (lihat Gambar. 5a, b, c dan d ). Simpul primitif adalah
pusat sinyal molekuler. Sel dari simpul primitif mengirim sinyal

8
molekuler ke sel yang bermigrasi sepanjang garis tengah rostral-
kaudal embrio dan sinyal itu pada gilirannya memicu ekspresi gen
di sel yang bermigrasi. Ekspresi gen dalam migrasi sel
menghasilkan protein yang disekresikan ke dalam ruang antara sel
yang bermigrasi dan sel yang tersisa di sel daerah garis tengah
lapisan epiblas atas. Yang disekresikan protein mengikat reseptor
pada permukaan sel di lapisan atas embrio dan menginduksi sel
epiblas untuk membedakan diri dengan sel progenitor saraf. 6
Jadi pada akhir gastrulasi sel-sel berada di sepanjang garis
tengah lapisan atas, embrio berubah menjadi sel progenitor saraf
(central red persegi panjang pada Gambar. 5d ). Diferensiasi
progenitor memerlukan sinyal genetik yang kompleks antara
paling tidak tiga populasi sel: sel-sel nodus, sel yang bermigrasi
dan sel yang akan menjadi asal saraf. Namun, sinyal awal ini
bahkan lebih kompleks. Selain menyediakan sinyal molekuler
yang menginduksi migrasi sel, juga untuk menghasilkan protein
yang akan mengubah sel epidermis ke dalam sel progenitor saraf.
Simpul primitif menghasilkan satu set sinyal kedua selama
perubahan gastrulasi dan mendirikan organisasi rostral-kaudal
dasar sistem saraf embrionik. 7
Dengan demikian, sinyal simpul primitif lebih awal
memigrasikan sel epidermis untuk menghasilkan sinyal molekuler
sel-sel di lapisan atasnya untuk berdiferensiasi menjadi neural
progenitor yang mampu menghasilkan sel yang sesuai struktur
otak depan, sementara kemudian sinyal sel bermigrasi diferensiasi
progenitor saraf yang mampu memproduksi sel yang sesuai untuk
struktur otak belakang atau tulang belakang. 7

Pembentukan Tabung Neural


Langkah besar berikutnya dalam pengembangan otak melibatkan
pembentukan struktur saraf pertama yang terdefinisi dengan
baik. Bentuk tabung saraf selama minggu ketiga gestasi, antara
hari ke 20-27. Pada akhir gastrulasi sel induk progenitor dapat

9
dibedakan dan diposisikan sepanjang rostral-kaudal garis tengah
lapisan atas dari embrio tiga lapisan. Daerah embrio yang
mengandung sel progenitor saraf disebut sebagai Embrionic
Plate.
Tanda pertama perkembangan tabung saraf adalah
penampilan dua punggung gunung yang terbentuk sepanjang dua
sisi piring saraf kira-kira harike 21 (Gambar. 6a ). Sel progenitor
saraf terletak di antara dua punggung Selama beberapa hari, bukit-
bukit naik, melipat ke dalam dan sering untuk membentuk tabung
berongga, fusion dimulai di tengah tabung saraf, berkembang dan
kemudian arah rostral dan kaudal (Gambar. 6b dan c ). Anterior
neuropore di paling akhir rostral dari tabung saraf dan posterior
neuropore pada akhir ekor adalah segmen terakhir untuk menutup,
masing-masing pada hari ke 25 dan hari ke 27 (Gambar. 6d ). Saat
tabung saraf selesai, progenitor saraf membentuk satu lapisan sel
yang melapisi pusat tabung saraf dengan segera berdekatan
dengan pusat berongga. Pada embrio, cekungan bagian tengah
tabung saraf berbentuk silindris, seperti bagian tengah
sedotan. Tapi seiring otak menjadi lebih besar dan lebih
kompleks, bentuk rongga juga berubah, akhirnya membentuk
sistem ventrikel otak. Karena progenitor saraf berada di wilayah
yang akan menjadi ventrikel, daerah ini disebut "ventrikel zona
"(VZ). Sel progenitor saraf berada pada rostral paling banyak
daerah tabung saraf akan menjadi otak, sementara sel yang
diposisikan secara kaudal akan memunculkan hindbrain dan
tulang belakang. 7
Pada akhir pembentukan saraf, embrio berumur 3 sampai 5
mm, dan pada akhir GW8 itu tumbuh menjadi 27 sampai 31 mm,
meningkat sepuluh kali lipat. Selama periode ini bentuk sistem
saraf primitif berubah secara dramatis. Sebelum penutupan tabung
saraf, ujung anterior tabung mulai memperluas membentuk
tiga vesikel otak primer, atau kantong (Gambar. 6e ). Yang paling
anterior dari embrio vesikula otak disebut "prosencephalon" yang

10
merupakan prekursor embrio dari otak depan. Vesikel tengahnya
adalah "mesencephalon" yang merupakan asal struktur otak
tengah, dan yang paling posterior adalah "rhombencephalon" yang
akan menjadi hindbrain. Ketiga segmen ini selanjutnya dibagi dan
pada akhir periode embrio lima vesikel otak sekunder yang hadir
(Gambar. 6f ). Prosencephalon terbagi menjadi "telencephalon"
dan "diencephalon", dan rhombencephalon terbagi menjadi
"metencephalon" dan "myelencephalon". Mesencephalon tidak
membagi lagi. Lima subdivisi ini selaras sepanjang sumbu rostral-
kaudal embrio dan membentuk organisasi utama sistem saraf
pusat. 8

E28 E49
Gambar 1.5 Perubahan morfologi embrio di embrio yang
periode. Pembentukan tabung saraf terjadi antara E19 dan E29.
a. Munculnya neural ridges diamati pada E19. b. Itu punggung
bukit dilipat untuk memulai proses pembentukan tabung saraf. c.

11
Penutupan tabung saraf dimulai pada E22 di daerah pusat baru
membentuk tabung saraf d. Penutupan berlanjut di rostral dan
kaudal arah. Neuropori anterior menutup pada E25, dan posterior
di E27. e. Setelah penutupan tabung saraf, embrio mulai
berkembang terutama di daerah anterior. Vesikula primer adalah
terbukti dengan E28. Ini termasuk Prosencephalon,
Mesencephalon, dan Rhombencephalon. f. Dengan E49 vesikula
sekunder muncul. Prosencephalon berdiferensiasi menjadi
Telencephalon dan Diencephalon, dan Rhombencephalon ke
Metencephalon dan Myelencephalon

Pola Neural pada Periode Embrio


Transformasi dalam keseluruhan bentuk embrio mencerminkan
perubahan pola neural yang lebih spesifik dalam semua hal pada
daerah sistem saraf embrio. Perubahan ini tandai awal proses saraf
yang berlarut-larut dalam pola sistem saraf pusat yang dimulai
pada periode embrio dan meluas selama bertahun-
tahun. Perubahan secara bertahap dan mengikuti jalannya yang
spesifikasi dan penyempurnaan berkelanjutan. 7
Pola yang muncul pada masa embrio hanya menyediakan
peta primitif dari sistem saraf akhirnya terstruktur, tapi ini
menentukan tahap perkembangan selanjutnya. Pola embrio
mempengaruhi seluruh daerah otak dari otak depan melalui bagian
tulang belakang, sehingga pada akhir periode embrio pada pola
primitif GW8 daerah sensorimotor dalam neokorteks terbentuk
kompartemen utama dalam diencephalic dan daerah otak tengah
telah dibedakan dan segmental organisasi dari hindbrain dan
tulang belakang telah ditentukan. 7
Neokorteks matang didefinisikan baik struktural dan
fungsional pada “daerah” berbeda yang dibedakan oleh struktur
selular mereka dan pola konektivitas neuronal. Pola awal dari
neokorteks ke daerah kortikal hasil dari sinyal molekul yang
berbeda hadir di berbagai daerah proliferasi neokorteks. Dua

12
molekul sinyal, Emx2 dan Pax6, memainkan peran penting dalam
pola awal neokorteks tersebut. Emx2 dan Pax6 adalah transkripsi
protein faktor yang merupakan produk molekul Emx2 dan
Pax6 gen ekspresi. Kedua molekul sinyal yang diproduksi di
gradien berlawanan sepanjang batas anterior-posterior zona
proliferasi neokorteks (lihat Gambar. 7a ). Konsentrasi dari Emx2
tertinggi di posterior dan daerah medial, dan terendah di daerah
lateral yang anterior; Pax6 sebaliknya memiliki pola
ekspresi. Interaksi dua gradien ini berkontribusi untuk pola awal
neokorteks. Konsentrasi tinggi Pax6 dikombinasikan dengan
Emx2 rendah menginduksi progenitor untuk menghasilkan neuron
yang tepat untuk motor korteks (M1), sedangkan konsentrasi
terbalik menginduksi produksi neuron untuk korteks visual
(V1). Pada tingkat menengah dari kedua faktor korteks
somatosensori (S1). 7

Gambar 1.6 Efek yang berbeda konsentrasi Emx2 dan Pax6 pada
pengembangan sensorimotor daerah kortikal. Ini kombinasi

13
spesifik konsentrasi masing-masing molekul yang menentukan
identitas wilayah kortikal.

Pola-pola sinyal molekul bergradasi terjadi pada daerah


zona proliferasi neokorteks bahwa selama gastrulasi telah
ditetapkan sebagai “anterior”. Jadi nanti pola ini merupakan
penjabaran regional atau perbaikan dari fase sebelumnya tentang
pola saraf. Seperti yang akan dibahas kemudian, pola dalam
wilayah ini masih jauh dari lengkap pada akhir periode
embrio. Fundamental struktur fitur dari korteks sensorik dan
motorik tidak akan muncul sampai periode janin terlambat. Selain
itu, di masa janin dan awal pengembangan postnatal struktural dan
fungsional identitas daerah-daerah otak dasar tetap mudah
dibentuk dan tunduk pada efek dari masukan dan pengalaman. 7

Perkembangan Otak pada Periode Janin


Periode janin pembangunan manusia meluas dari minggu
kesembilan kehamilan sampai akhir kehamilan. Otak manusia
dimulai sebagai struktur “lissencephalic” halus dan secara
bertahap mengembangkan pola dewasa dengan karakteristik
sulkus dan girus. Pembentukan gyri dan sulci mengikuti urutan
tahapan. Sulkus primer pertama kali terlihat sebagai alur
diposisikan di daerah otak yang ditargetkan khusus. Celah
pertama terbentuk adalah celah memanjang yang memisahkan dua
belahan otak. Perkembangannya dimulai di daerah rostral sebagai
awal GW8 dan hasil kaudal sampai selesai di GW22. Bentuk
sulkus utama lainnya antara GW14-26. Ini termasuk: Sylvian,
cingulate, Parietooksipital dan calcarine (GW14-16); Temporal
sentral dan superior (GW20-24); dan Frontal superior, precentral,
Frontal inferior, postsentralis, dan intraparietal (GW25-26).
Sulkus sekunder muncul antara GW30-35; formasi dari sulkus
tersier dimulai selama GW36 dan memanjang ke dalam periode
postnatal. Menjadi perhatian bahwa dengan konvensi nama gen

14
yang dicetak miring, dan nama protein yang merupakan produk
dari ekspresi gen. 6
Perubahan yang terjadi pada anatomi dari otak janin
mencerminkan perubahan dramatis yang terjadi pada tingkat sel.
Produksi neuron dimulai pada periode embrio pada E42, dan
meluas melalui pertengahan kehamilan di sebagian besar wilayah
otak. Populasi yang berbeda neuron membentuk struktur materi
abu-abu di banyak daerah di otak termasuk otak belakang dan
tulang belakang, otak kecil, struktur otak tengah, inti subkortikal
dalam dan neokorteks. Segera setelah mereka diproduksi, neuron
bermigrasi jauh dari daerah proliferatif. Neuron yang akan
membentuk neokorteks bermigrasi secara teratur membentuk
enam lapis mantel neokorteks. Setelah diposisikan di neuron
korteks mulai membedakan produksi neurotransmitter dan faktor
tropik neuron, dan memperluas proses dendritik dan aksonal yang
membentuk jalur serat dari jaringan saraf otak. Efisiensi transmisi
informasi dalam jalur sangat ditingkatkan dengan mielin yang
membungkus akson. Mielin adalah zat lemak yang berwarna
putih, maka bernama “white matter”. Banyak perkembangan otak
pada periode janin sekitar proses produksi, migrasi dan
diferensiasi neuron. Sisanya bagian ini akan dibahas proses ini
secara lebih rinci. 6

Pembentukan Sel Neuron


Otak manusia mengandung miliaran sel neuron yang sebagian
besar dibentuk pada pertengahan kehamilan. Jumlah sel neural
progenitor yang spesifik pada akhir fase gastrulasi terlalu kecil
untuk mengakomodasi pembentukan sel neuron. Oleh karena itu,
langkah pertama dalam pembentukan sel neuron adalah
meningkatkan populasi sel neural progenitor. Sel neural
progenitor adalah kumpulan sel yang bermitosis menjadi sel saraf
baru. Sel neuron adalah sel pasca-mitosis; sekali terbentuk mereka
tidak lagi mampu membagi dan memproduksi sel-sel baru. Pada

15
akhir gastrulasi, sekitar fase E42 pada manusia, populasi sel
neural progenitor terbagi dengan cara yang disebut mode
pembelahan sel “simetris”. Pembelahan sel simetris
menghasilkan dua sel saraf progenitor yang identik. Setelah
beberapa fase pembelahan sel antara E25 dan E42, mode ini
mampu menghasilkan penambahan populasi sel neural
progenitor.7
Dimulai pada fase E42, pembelahan sel mulai bergeser
dari simetris menjadi asimetris. \Selama pembelahan sel asimetris,
ada dua jenis sel yang dihasilkan. Pada neural progenitor,
pembelahan sel asimetris menghasilkan satu neural progenitor dan
satu neuron. Sel progenitor baru tetap di zona proliferatif dan terus
membagi, sedangkan neuron post mitotik meninggalkan zona
proliferasi untuk mengambil tempatnya dan mengembangkan
neokorteks. Pergeseran ke mode asimetris di antara populasi
progenitor terjadi secara bertahap dan awalnya hanya mencakup
sebagian kecil dari sel rogenitors, tetapi jumlahnya meningkat
secara dramatis pada akhir kortikal neurogenesis. Pada manusia
neurogenesis kortikal selesai sekitar fase E108. 7

Migrasi neuron
Kebanyakan neuron yang diproduksi di VZ dan bermigrasi radial
dari VZ di pusat otak untuk mengembangkan neokorteks (lihat
Gambar. 8a dan b ). 6Dalam translokasi sel somal, neuron
memanjang melalui proses basal yang panjang, yang merupakan
perpanjangan dari tubuh sel, hanya di luar tepi VZ ke luar wilayah
kompartemen otak (lihat Gambar. 8a ). Proses basal menempel ke
permukaan pial, yang merupakan bagian terluar permukaan otak
yang akan berkembang. Inti sel kemudian bergerak melalui
sitoplasma basal process. Inti kemudian berlanjut ke proses yang
lebih pendek dan lebih tebal namun tetap melekat pada pial
permukaan. Pada akhir somal translokasi, nukleus sel telah pindah
dari VZ dan ke korteks embrionik. 6

16
Gambar 1.7 Mode yang berbeda dari migrasi neuronal ke
neokorteks. a. Neuron migrasi oleh somal translokasi dimana sel
meluas pada proses sitoplasma dan melekat pada bagian luar otak
kompartemen (permukaan pial), dan kemudian inti bergerak naik
ke daerah otak. b. Neuron migraton radial panduan glial. Glial
radial menyediakan perancah untuk neuron untuk bermigrasi
bersama. c. Neuron migrasi dari kedua zona proliferasi di
eminences ganglionic oleh migrasi tangensial (Panah
menunjukkan arah migrasi untuk neuron yang berbeda
populations). 6

Sebagai hasil dari perkembangan sel, otak menjadi lebih


besar dan neuron primary mode migrasi dari VZ mengalami
perubahan. Karena jarak yang lebih besar, neuron membutuhkan
apa yang awalnya diidentifikasi sebagai populasi sel khusus dalam
VZ yang disebut “radial glial guides” untuk mendukung migrasi
mereka. Seperti kebanyakan sel neuron yang bermigrasi melalui
somal translokasi, radial glial guides memperpanjang basal
sebuah proses yang menempel pada permukaan pial otak. Namun,
inti dari sel-sel glial radial tetap di VZ, dan proses basal
membentuk sebuah kerangka bersama dimana neuron dapat
bermigrasi (lihat Gambar. 8b ). Migrasi neuron menempel pada
radial glial guides dan bergerak sepanjang kerangka selular dan
berkembang keluar dalam plat kortikal. Setiap glial scaffold dapat
mendukung migrasi banyak neuron. Meskipun radial glial guides

17
awalnya dianggap menjadi istimewa, baru-baru ini ditemukan
bahwa sel-sel yang menyediakan kerangka sebenarnya adalah sel-
sel saraf progenitor. 6
Studi baru-baru ini telah mengidentifikasi proliferasi
kedua zona yang terletak di ventral telencephalon yang kemudian
akan berkembang menjadi basal ganglia (lihat Gambar. 8c ).
Selama embrio dan janin dibangum tiga compartemen di area ini,
medial, lateral dan caudal eminences ganglionic, yaitu sumber
dari sebuah kelas penting dalam penghambatan interneuron
kortikal. Tidak seperti neuron bermigrasi dari VZ, neuron ini
melintasi panjang jarak menggunakan modus migrasi yang telah
disebut “tangential migration”, karena rute migrasi melintasi
kontur perkembangan kortikal mantel secara tangential. Migrasi
tangensial melibatkan berbagai sinyal jalur yang tidak
teridentifikasi dalam migrasi radial. Neuron menggunakan jumlah
guidance molecule yang diproduksi di daerah sepanjang rute
migrasi untuk mengarahkan gerakan mereka ke korteks. 6

Diferensiasi Neuron
Berbagai lapisan korteks mengandung berbagai jenis neuron. Satu
pertanyaan adalah bagaimana kelas yang berbeda dari neuron
berasal. Pertanyaan ini ditujukan oleh McConnell dan rekan dalam
serangkaian studi, yang menjadi pertanyaan apakah berbeda
kumpulan dari sel progenitor menghasilkan jenis tertentu neuron,
atau jika progenitor yang sama mampu menghasilkan beberapa
jenis neuron? Mereka menemukan bahwa di awal corticogenesis
sel saraf progenitor mampu menghasilkan apapun jenis neuron,
tetapi dengan perkembangan mereka menjadi lebih terbatas dalam
jenis neuron yang dapat dihasilkan. Mereka menggunakan sel
progenitor untuk studi transplantasi untuk menjawab pertanyaan
ini. Mereka mengambil sel progenitor dari janin pada usia
tertentu, dan mentransplantasi sel-sel pada binatang donor dari
usia yang berbeda. Pertanyaan kunci adalah, apa jenis neuron

18
yang dihasilkan sel progenitor yang ditransplantasi dalam inang
hidup? Pada percobaan pertama, sel-sel progenitor yang diambil
dari hewan donor muda (jika dibiarkan di donor ini, progenitor
akan menghasilkan neuron untuk lapisan ke-6 dari korteks), dan
ditransplantasikan ke dalam host yang lebih tua (yang progenitor
yang memproduksi lapisan 2-3 neuron). Progenitor yang
ditransplantasikan menghasilkan lapisan 2-3 neuron,
menunjukkan bahwa sinyal dari inang diinduksi perubahan di
jenis neuron yang diproduksi oleh ditransplantasikan sel
progenitor. Namun, ketika waktu itu terbalik dan nenek moyang
dari host yang lebih tua ditransplantasikan ke hewan muda, nenek
moyang terus memproduksi sel-sel sesuai untuk hewan
donor. Tampaknya di awal Sel-sel progenitor corticogenesis dapat
menerima sinyal untuk menghasilkan sel saraf, tetapi sebagai hasil
pengembangan dan jenis sel awal ini tidak lagi diperlukan,
progenitor kehilangan kapasitas untuk menghasilkan sel-sel, hal
ini disebut sebagai fate restriction. Sementara ada bukti bahwa
fate restriction mungkin sebagian dikendalikan oleh sel intrinsik
sinyal jalur sinyal tertentu yang menginduksi pergeseran ini pada
populasi progenitor. 6
Begitu mereka telah mencapai wilayah target mereka di
korteks, neuron muda menjadi bagian dari pengolahan informasi
jaringan. Untuk menjadi terintegrasi ke dalam jaringan saraf,
neuron perlu mengembangkan neuron proses (akson dan dendrit)
yang memungkinkan mereka untuk berkomunikasi dengan neuron
lain. Akson adalah jalur utama pengiriman sinyal dari neuron,
sedangkan dendrit adalah tempat utama untuk menerima masukan
dari neuron lain. Setiap sel memiliki banyak dendrit yang
membentuk “dens arbors” di sekitar langsung dari sel, dan akson
tunggal yang bisa memperpanjang untuk beberapa jarak jauh dari
sel. Di ujung setiap akson adalah struktur yang disebut growth
cone. Growth cone adalah situs dari akson elongasi dan ekstensi.
Sebagai akson yang diperpanjang, pertumbuhan sampel cone pada

19
lingkungan lokal untuk molekul yang mengarahkan akson menuju
target. Setelah akson telah mencapai targetnya, koneksi yang
disebut sinapsis terbentuk dengan menargetkan sel. Sinapsis
memungkinkan untuk transmisi elektro informasi bahan kimia
yang merupakan sarana penting komunikasi dalam otak. 6
Dua jalur yang paling penting di otak adalah bahagian
yang mengirimkan informasi sensorimotor, jalur thalamokortikal
(TC) dan corticothalamic (CT). TC merupakan relay informasi
sensorik dan motorik dari reseptor di retina, koklea, otot atau kulit
untuk sensorimotor yang daerah neokorteks melalui sensori
subkortikal utama motor relay, yaitu thalamus. CT jalur
melengkapi umpan balik dengan mengirimkan informasi dari
korteks kembali ke talamus. Jalur-jalur penting mulai terbentuk di
kemudian bagian dari trimester kedua pada manusia, dan lengkap
dengan GW 26 . Sel-sel dari subplate lapisan transien
mengembangkan otak (lihat Gambar. 9b ) Memainkan peran
penting dalam membangun jalur ini. Ketika TC akson tiba di
korteks yang berkembang selama GW22 mereka tidak segera
membuat koneksi dengan neuron pada lapisan input primer dari
korteks (lapisan 4). Sebaliknya, mereka awalnya membuat
sambungan dengan neuron lapisan subplate. TC-subplate koneksi
berakhir selama kurang lebih 4 minggu, selama waktu ini neuron
subplate membuat koneksi dengan neuron dalam lapisan korteks
4. neuron subplate muncul untuk memberikan instruktif masukan
ke neuron TC selama periode ini. Tidak adanya subplate neuron
sinyal, pola konektivitas normal antara akson TC dan lapisan 4
kortikal neuron tidak berkembang. Sebuah pola yang sama dari
instruktif konektivitas terlihat dalam pengembangan CT pathway.8
Sebelum pembentukan hubungan antara neuron dari
lapisan dalam korteks (lapisan 5 dan 6) dan thalamus, neuron
subplate memperluas dan membangun connections dengan neuron
thalamic. Diperkirakan bahwa subplate yang koneksi dapat
berfungsi untuk memandu CT akson untuk mereka posisi di

20
thalamus. Setelah jalur TC dan CT lengkap, neuron subplate
menarik kembali hubungan mereka dan sel-sel itu sendiri secara
bertahap mati. 6

Perkembangan Otak pada Periode Postnatal


Meskipun produksi dan migrasi neuron merupakan peristiwa yang
sebagian besar prenatal, proliferasi dan migrasi progenitor glial
terus untuk jangka setelah kelahiran, dan diferensiasi dan
pematangan sel-sel ini terus sepanjang masa. Ruang lingkup
interaksi neuron-glia masih belum sepenuhnya didefinisikan,
tetapi jelas bahwa interaksi memainkan peran penting dalam
organisasi fungsional dari sirkuit saraf selama hidup
postnatal. Yang penting, memperkirakan dari perjalanan waktu
perkembangan pada manusia dari postnatal yang proses yang
diuraikan di bawah berasal dengan ekstrapolasi. Dari data yang
diperoleh pada spesies lain, sering tikus, dan dari sangat terbatas
bahan postmortem manusia. Sayangnya, hasilnya tetap membuat
ketidakpastian tentang sejauh mana temporal proliferasi, migrasi,
diferensiasi, dan regresi selama periode postnatal pada manusia,
dan tentang waktu ini merupakan proses relatif satu sama
lain. Dalam pencitraan otak in vivo anak menyediakan petunjuk
penting tentang perjalanan waktu berkaitan dengan usia perubahan
biologis di otak, dan menyediakan kesempatan untuk
menghubungkan perubahan ini ke berkembang perilaku. 6

Postnatal Proliferasi dan Migrasi


Pada periode postnatal, neurogenesis terus terjadi namun padat
ingkat yang sangat terbatas. Di zona subventricular, neuron baru
terus bermunculan dan bermigrasi ke olfactory bulb, dan neuron
juga diproduksi di gyrus dentate dari hippocampus, di mana
mereka bermigrasi dari lapisan subgranular ke sejauh lapisan
granular di dekatnya. Bentuk-bentuk yang luar biasa dari
neurogenesis muncul untuk melanjutkan sepanjang hidup dewasa

21
tapi menghasilkan hanya sebagian kecil dari populasi
neuronal. Sebaliknya, proliferasi dan migrasi glial progenitor,
sementara mulai sebelum lahir, terus untuk jangka waktu berlarut-
larut seperti perbedaan oligodendrocytes dan astrosit; pada
kenyataannya, glial progentior (khususnya sel progenitor
oligodendrocyte, atau OPC) muncul untuk bertahan tanpa batas di
otak orang dewasa dalam distribusi anatomi yang luas, dan dapat
berbeda saat menanggapi cidera. Glial progenitor berkembang
biak di zona subventricular otak depan dan bermigrasi ke luar ke
dalam materi putih di atasnya dan korteks, striatum, dan
hippocampus, di mana mereka dibedakan sebagai
oligodendrocytes dan astrosit. Tidak seperti neural progenitor,
glial progenitor terus berkembang biak saat mereka bermigrasi. 6

Mielinasi
Setelah akhir dari proses migrasi, sebuah OPC mulai
berdiferensiasi melalui proses panjang dan peningkatan dari
ekspresi protein myelin. Proses-proses tersebut kemudian mulai
membentuk pembungkus-pembungkus membran di sekitar akson
terdekat. Pada akhirnya oligodendrosit membentuk selubung ketat
berlapis ganda yang mana sebagian besar sitoplasmanya telah
diekstrusi. Peningkatan kecepatan konduksi aksonal yang dramatis
telah diketahui berkaitan dengan proses myelinasi. Namun,
penelitian terbaru menunjukkan bahwa interaksi fungsional antara
oligodendrosit dan neuron meluas jauh melampaui efek dari
selubung isolasi elektrik. Oligodendrosit mensintesis sejumlah
faktor trofik yang tampaknya berkontribusi pada pemeliharaan
integritas aksonal dan kelangsungan hidup neuron, dan interaksi
neuron-oligodendrokital telah diketahui mempengaruhi ukuran
neuron dan diameter akson. Bukti terbaru juga menunjukkan
bahwa subset dari OPC tersebar di seluruh wilayah otak
membentuk hubungan eksitasi dan inhibisi dengan neuron, dan

22
juga mungkin berkontribusi secara aktif dan langsung dalam
pensinyalan saraf.6.
Dapat disimpulkan bahwa proses proliferasi dan migrasi
dari prekursor sel glial serta proses diferensiasi dari sel-sel astrosit
dan oligodendrosit merupakan sebagian besar dari proses-proses
yang terjadi pada pascakelahiran. Meskipun ada sedikit keraguan
bahwa proses-proses ini memiliki peranan penting dalam
pematangan fungsional dari sirkuit saraf yang sedang
berkembang, namun dampak menyeluruh dari proses tersebut
terhadap dinamika saraf mungkin lebih besar dari yang telah
diketahui selama ini. Penelitian yang ada terus berlanjut untuk
menemukan interaksi molekuler tambahan antara neuron,
oligodendrosit,dan astrosit. Adanya interaksi-interaksi ini
menandakan bahwa pematangan akhir dari kumpulan sel-sel glial
mungkin memiliki implikasi fungsional yang luas.6

Studi pencitraan pada morfologi Otak


Karena MRI adalah teknik yang aman untuk digunakan pada
anak-anak, sekarang ini telah diterapkan secara luas dalam
pencitraan anak-anak, dan ini menunjukkan perubahan dramatis
pada jaringan otak yang sedang berkembang selama pertumbuhan
otak pascakelahiran. Perubahan sinyal MRI ini mencerminkan
perubahan kimia jaringan yang diperkirakan menandai proliferasi
oligodendrosit dan deposisi dari myelin, dan hal ini
mengungkapkan banyak hal tentang waktu dan distribusi anatomis
dari proses ini. Gambaran visual otak pada MR mengalami
perubahan selama 2 sampai 3 tahun pertama kehidupan,
mencerminkan pola mielinasi yang teratur dari daerah white
matter. Namun perubahan struktur otak yang berlanjut melewati
usia ini lebih tidak ketara, dan belum tergambarkan dengan baik
hingga teknik morfometri kuantitatif diterapkan. Studi morfometri
MR awal yang membandingkan morfologi otak pada anak-anak
dan orang dewasa menunjukkan bahwa volume gray matter, baik

23
di korteks serebral dan nukleus subkortikal, jauh lebih besar pada
anak-anak usia sekolah daripada pada orang dewasa muda. Hal Ini
menunjukkan bahwa perubahan jaringan yang terkait dengan
pematangan otak mungkin berlangsung lama selama masa kanak-
kanak daripada yang seharusnya, dan beberapa perubahan ini
mungkin bersifat regresif. Temuan ini dikonfirmasi dan diperluas
oleh penelitian selanjutnya, namun perubahan jaringan yang
mendasarinya tetap masih merupakan spekulasi. Ukuran rongga
kranial meningkat drastis setelah kelahiran namun melambat
setelah dekade pertama. Namun, hasil MRI menunjukkan bahwa
perubahan progresif yang terjadi selama masa kanak-kanak dan
masa remaja tampak berkurang, hal ini berkaitan dengan
pematangan populasi sel glial dan efek neurotropika yang terus
berlanjut, namun secara bersamaan ditentang oleh perubahan yang
regresif, mungkin terkait dengan "pemangkasan" dari proses
neuron. Pengamatan ini sesuai dengan bukti histologis yang ada
pada proses mielinasi yang berlangsung selama periode anak-
anak, dan bukti lain yang membahas tentang pengurangan
kepadatan sinapsis di korteks selama masa kanak-kanak, namun
tetap tidak jelas sejauh mana faktor-faktor ini, dan juga hal lain,
berkontribusi terhadap perubahan morfologi yang diamati dengan
MRI. 8

1.2 Meningen Otak


Anatomi meningen
Secara konvensional, dura mater diuraikan sebagai dua lapisan,
lapisan endosteal dan lapisan meningeal. Lapisan endosteal tidak
lebih dari suatu periosteum yang menutupi permukaan dalam
tulang – tulang kranium. Pada foramen magnum lapisan endosteal
tidak berlanjut dengan duramater medulla spinalis. Pada sutura,
lapisan endosteal berlanjut dengan ligamentum sutura. Lapisan
endosteal paling kuat melekat pada tulang diatas dasar kranium. 10

24
Lapisan meningeal merupakan duramater yang
sebenarnya. Lapisan meningeal merupakan membrane fibrosa
kuat, padat menutupi otak, dan melalui foramen magnum
berlanjut dengan duramater medulla spinalis. Lapisan meningeal
ini memberikan sarung tubuler untuk saraf – saraf kranial pada
saat melintas melalui lubang – lubang kranium. Kedalam lapisan
meningeal membentuk empat septa, yang membagi rongga
kranium menjadi ruang – ruang yang berhubungan dengan bebas
dan merupakan tempat bagian – bagian otak. 10
Falx serebri merupakan lipatan duramater yang berbentuk
sabit, terletak dalam garis tengah antara dua hemispherium
serebri. Ujung anteriornya melekat ke Krista frontalis interna dan
Krista galli. Bagian posterior yang lebar bercampur di garis
tengah dengan permukaan atas tentorium serebelli. Sinus sagitalis
superior berjalan dalam tepi bagian atas yang terfiksasi; sinus
sagitalis inferior berjalan pada tepi bagian bawah yang konkaf,
dan sinus rektus berjalan disepanjang perlekatannya dengan
tentorium serebelli. 10
Tentorium serebelli merupakan lipatan duramater
berbentuk sabit yang membentuk atap diatas fossa kranialis
posterior, menutupi permukaan atas serebellum dan menokong
lobus occipitalis hemisperium serebri. Berdekatan dengan apex
pars petrosus os temporale, lapisan bagian bawah tentorium
membentuk kantong kearah depan dibawah sinus petrosus
superior, membentuk suatu resessus untuk n. trigeminus dan
ganglion trigeminal. 10
Falx serebri dan falx serebelli masing – masing melekat ke
permukaan atas dan bawah tentorium. Sinus rektus berjalan di
sepanjang perlekatan ke falx serebri; sinus petrosus superior,
bersama perlekatannya ke os petrosa; dan sinus transverses,
disepanjang perlekatannya ke os occipitalis. Falx serebelli
merupakan suatu lipatan duramater berbentuk sabit, kecil melekat
ke krista occipitalis interna, berproyeksi kedepan diantara diantara

25
dua hemispherium serebelli. Diaphragma Sella merupakan suatu
lipatan duramater sirkuler, membentuk atap untuk sella tursika.10

Persarafan Duramater
Persarafan ini terutama berasal dari cabang n.trigeminus, tiga
saraf servikalis bagian atas, bagian servikal trunkus simpatikus
dan n.vagus. resptor – reseptor nyeri dalam dura mater diatas
tentorium mengirimkan impuls melalui n.trigeminus, dan suatu
nyeri kepala dirujuk ke kulit dahi dan muka. Impuls nyeri yang
timbul dari bawah tentorium dalam fossa kranialis posterior
berjalan melalui tiga saraf servikalis bagian atas, dan nyeri kepala
dirujuk kebelakang kepala dan leher. 11

Pendarahan Duramater
Banyak arteri mensuplai duramater, yaitu; arteri karotis interna,
arteri maxillaries, arteri paringeal asenden, arteri occipitalis dan
arteri vertebralis. Dari segi klinis, yang paling penting adalah
arteri meningea media, yang umumnya mengalami kerusakan
pada cidera kepala. 11
Arteri meningea media berasal dari arteri maxillaries
dalam fossa temporalis, memasuki rongga kranialis melalui
foramen spinosum dan kemudian terletak antara lapisan
meningeal dan endosteal duramater. Arteri ini kemudian terletak
antara lapisan meningeal dan endosteal duramater. Arteri ini
kemudian berjalan ke depan dank e lateral dalam suatu sulkus
pada permukaan atas squamosa bagian os temporale. Cabang
anterior (frontal) secara mendalam berada dalam sulkus atau
saluran angulus antero – inferior os parietale, perjalanannya secara
kasar berhubungan dengan garis gyrus presentralis otak di
bawahnya. Cabang posterior melengkung kearah belakang dan
mensuplai bagian posterior duramater. 11
Vena –vena meningea terletak dalam lapisan endosteal
duramater. Vena meningea media mengikuti cabang – cabang

26
arteri meningea media dan mengalir kedalam pleksus venosus
pterygoideus atau sinus sphenoparietalis. Vena terletak di lateral
arteri. 11

Sinus Venosus Duramater


Sinus – sinus venosus dalam rongga kranialis terletak diantara
lapisan – lapisan duramater. Fungsi utamanya adalah menerima
darah dari otak melalui vena – vena serebralis dan cairan
serebrospinal dari ruang – ruang subarachnoidea melalui villi
arachnoidalis. Darah dalam sinus – sinus duramatr akhirnya
mengalir kedalam vena – vena jugularis interna dileher. Vena
emissaria menghubungkan sinus venosus duramater dengan vena
– vena diploika kranium dan vena – vena kulit kepala. 11
Sinus Sagitalis Superior menduduki batas atas falx serebri
yang terfiksasi, mulai di anterior pada foramen caecum, berjalan
ke posterior dalam sulkus di bawah lengkungan kranium, dan
pada protuberantia occipitalis interna berbelok dan berlanjut
dengan sinus transverses. Dalam perjalanannya sinus sagitallis
superior menerima vena serebralis superior. Pada protuberantia
occipitalis interna, sinus sagitallis berdilatasi membentuk sinus
konfluens. Dari sini biasanya berlanjut dengan sinus transverses
kanan, berhubungan dengan sinus transverses yang berlawanan
dan menerima sinus occipitalis. 11
Sinus sagitalis inferior menduduki tepi bawah yang bebas
dari falx serebri, berjalan kebelakang dan bersatu dengan vena
serebri magna pada tepi bebas tentorium cerebelli membentuk
sinus rektus. Sinus rekrus menempati garis persambungan falx
serebri dengan tentorium serebelli, terbentuk dari persatuan sinus
sagitalis inferior dengan vena serebri magna, berakhir membelok
kekiri membentuk sinus transfersus. 11
Sinus transverses merupakan struktur berpasangan dan
mereka mulai pada protuberantia occipitalis interna. Sinus kanan
biasanya berlanjut dengan sinus sagitalis superior, dan bagian kiri

27
berlanjut dengan sinus rektus. Setiap sinus menempati tepi yang
melekat pada tentorium serebelli, membentuk sulkus pada os
occipitalis dan angulus posterior os parietale. Mereka menerima
sinus petrosus superior, vena – vena serebralis inferior, vena –
vena serebellaris dan vena – vena diploika. Mereka berakhir
dengan membelok ke bawah sebagai sinus sigmoideus. 11
Sinus sigmoideus merupakan lanjutan langsung dari sinus
tranversus yang akan melanjutkan diri ke bulbus superior vena
jugularis interna. Sinus occipitalis merupakan suatu sinus kecil
yang menempati tepi falx serebelli yang melekat, ia berhubungan
dengan vena – vena vertebralis dan bermuara kedalam sinus
konfluens. Sinus kavernosus terletak dalam fossa kranialis media
pada setiap sisi corpus os sphenoidalis. 10
Arteri karotis interna, dikelilingi oleh pleksus saraf
simpatis, berjalan kedepan melalui sinus. Nervus abdusen juga
melintasi sinus dan dipisahkan dari darah oleh suatu pembungkus
endothelial. Sinus petrosus superior dan inferior merupakan sinus
–sinus kecil pada batas – batas superior dan inferior pars petrosus
os temporale pada setiap sisi kranium. Setiap sinus kavernosus
kedalam sinus transverses dan setiap sinus inferior mendrainase
sinus cavernosus kedalam vena jugularis interna. 10

Arachnoidea Mater
Arachnoidea mater merupakan membran tidak permeable, halus,
menutupi otak dan terletak diantara pia mater di interna dan
duramater di eksterna. Arachnoidea mater dipisahkan dari
duramater oleh suatu ruang potensial, ruang subdural, terisi
dengan suatu lapisan tipis cairan, dipisahkan dari piamater oleh
ruang subarachnoidea, yang terisi dengan cairan serebrospinal.
Permukaan luar dan dalam arachnoidea ditutupi oleh sel –sel
mesothelial yang gepeng. 6
Pada daerah – daerah tertentu, arachnoidea terbenam
kedalam sinus venosus untuk membentuk villi arachnoidalis. Villi

28
arachnoidalis bertindak sebagai tempat cairan serebrospinal
berdifusi kedalam aliran darah. Arachnoidea dihubungkan ke
piamater oleh untaian jaringan fibrosa halus yang menyilang
ruang subarachnoidea yang berisi cairan. 6
Cairan serebrospinal dihasilkan oleh pleksus choroideus
dalam ventrikulus lateralis, ketiga dan keempat otak. Cairan ini
keluar dari ventrikulus memasuki subarachnoid, kemudian
bersirkulasi baik kearah atas diatas permukaan hemispherium
serebri dan kebawah disekeliling medulla spinalis. 11

Piamater otak
Piamater merupakan suatu membrane vaskuler yang ditutupi oleh
sel – sel mesothelial gepeng. Secara erat menyokong otak,
menutupi gyri dan turun kedalam sulki yang terdalam. Piamater
meluas keluar pada saraf – saraf cranial dan berfusi dengan
epineurium. Arteri serebralis yang memasuki substansi otak
membawa sarung pia mater bersamanya. Piamater membentuk
tela choroidea dari atap ventrikulus otak ketiga dan keempat, dan
berfusi dengan ependyma untuk membentuk pleksus choroideus
dalam ventrikulus lateralis, ketiga, dan keempat otak. 11

Fisiologi Meningen
Otak dan medulla spinalis terbungkus dalam tiga sarung
membranosa yang konsentrik. Membran yang paling luar tebal,
kuat dan fibrosa disebut duramater, membrane tengah tipis dan
halus serta diketahui sebagai arachnoidea mater, dan membrane
paling dalam halus dan bersifat vaskuler serta berhubungan erat
dengan permukaan otak dan medulla spinalis serta dikenal sebagai
piamater. 11
Duramater mempunyai lapisan endosteal luar, yang
bertindak sebagai periosteum tulang – tulang kranium dan lapisan
bagian dalam yaitu lapisan meningeal yang berfungsi untuk
melindungi jaringan saraf dibawahnya serta saraf – saraf cranial

29
dengan membentuk sarung yang menutupi setiap saraf kranial.
Sinus venosus terletak dalam duramater yang mengalirkan darah
venosa dari otak dan meningen ke vena jugularis interna dileher. 7
Pemisah duramater berbentuk sabit yang disebut falx
serebri, yang terletak vertical antara hemispherium serebri dan
lembaran horizontal, yaitu tentorium serebelli, yang berproyeksi
kedepan diantara serebrum dan serebellum, yang berfungsi untuk
membatasi gerakan berlebihan otak dalam kranium. Arachnoidea
mater merupakan membrane yang lebih tipis dari duramater dan
membentuk penutup yang longgar bagi otak. Arachnoidea mater
menjembatani sulkus – sulkus dan masuk kedalam yang dalam
antara hemispherium serebri. Ruang antara arachnoidea dengan
pia mater diketahui sebagai ruang subarachnoidea dan terisi
dengan cairan serebrospinal. Cairan serebrospinal merupakan
bahan pengapung otak serta melindungi jaringan saraf dari
benturan mekanis yang mengenai kepala. 11
Piamater merupakan suatu membrane vaskuler yang
menyokong otak dengan erat. Suatu sarung pia mater menyertai
cabang – cabang arteri arteri serebralis pada saat mereka
memasuki substansia otak. Secara klinis, duramater disebut
pachymeninx dan arachnoidea serta pia mater disebut sebagai
leptomeninges. 10

30
BAB II
TEKANAN INTRAKRANIAL

2. 1 Fisiologi Cairan Serebrospinal dan Tekanan


Intrakranial
Sensitivitas sistem saraf pusat (SSP) yang luar biasa terhadap
cidera fisik dan kimia telah terlindungi oleh serangkaian sistem
pelindung dan sistem homeostatik, alami, demikian pula untuk
mempertahankan fungsi saraf berjalan maksimal. Sistem ini
mencakup perlindungan fisik yang keras dalam bentuk tulang
tengkorak, penyerapan guncangan hidrolik dalam bentuk cairan
serebrospinal, suply-substrat dan homeostasis seluler dalam
bentuk suply vaskular dengan pergantian cairan ekstraselular
yang terus menerus, serta perlindungan dari zat berbahaya
eksternal oleh sawar darah-otak. 10
Sistem pelindung pada keadaan-keadaan patologis tertentu
dapat menjadi sangat merugikan. Jaringan otak terbungkus dalam
struktur yang kaku, tulang tengkorak (kranium). Kranium menjadi
suatu keterbatasan pada proses homeostatik serebral; yaitu
peraturan volume. Bahan yang tidak dapat dikompres seperti
cairan, bila ditambahkan ke wadah yang kaku akan menghasilkan
tekanan, yang dalam kasus SSP adalah tekanan intrakranial (TIK).
Pada kondisi patologis, volume intrakranial yang bertambah akan
mengakibatkan TIK yang meningkat. Sebuah perubahan yang
dengan sendirinya menghadirkan ancaman serius bagi SSP. Efek
dari TIK yang meningkat dapat berkontribusi lebih lanjut pada
proses patologis primer.

31
Berbagai macam masalah bedah saraf seperti lesi
kongenital, neoplasma, sindrom metabolik dan infeksi, infark,
perdarahan, dan trauma, memerlukan evaluasi dan pengobatan
untuk menjaga TIK yang normal. Pengetahuan klinis yang
berkaitan dengan peningkatan TIK dengan memahami secara
terperinci tentang mekanisme fisiologis yang menghasilkan dan
mempertahankan TIK normal, gangguan-gangguan apa
menyebabkan peningkatan TIK serta sarana yang dibutuhkan
dalam menurunkan peningkatan tekanan intrakranial, adalah hal-
hal yang dibutuhkan dalam melakukan tatalaksana pasien dengan
lesi intrakranial. 10

Pertimbangan Historis
Meskipun masalah dengan pembengkakan otak dan efek potongan
tengkorak dipahami bahkan di zaman Galen, Hippocrates, dan
dokter Mesir awal, pemikiran modern tentang peraturan volume di
dalam tengkorak dimulai dengan tulisan-tulisan George Kellie dan
mentornya. Alexander Monro, yang bekerja di Edinburgh pada
pergantian abad ke-19. Monro, dalam karyanya tentang otak dan
sistem saraf menulis:
Karena sebagai substansi otak, seperti zat padat lainnya
dari tubuh kita, hampir tidak dapat dikompres. Jumlah
darah di kepala harus sama, atau hampir sama setiap saat.
Baik dalam keadaan sehat atau sakit, pada hidup atau
setelah mati. Kasus-kasus tersebut hanya dikecualikan bila
mana air atau materi lainnya tidak ada, atau dikeluarkan
dari pembuluh darah; karena dalam jumlah konstan ini
jumlah darah, sama besarnya dengan zat yang akan ditekan
keluar dari kranium. 11
Beberapa tahun kemudian pada pertemuan Masyarakat Medico-
Chirurgical di Edinburgh, George Kellie mempresentasikan
sebuah laporan di mana dia mengemukakan gagasan ini dan
menyatakannya:

32
Jika premis ini benar, maka tampak sangat tidak mungkin,
bagaimana sebagian cairan sirkulasi dapat ditarik dari
dalam tengkorak, tanpa tempat yang secara bersamaan
ditempati oleh beberapa ekuivalen; atau bagaimana
sesuatu yang baru atau riang dapat terganggu tanpa
perpindahan yang setara. 11
Ide-ide ini, yang kemudian diformalkan secara fisiologis,
kemudian dikenal sebagai doktrin Monro-Kellie. Selanjutnya
kemajuan dalam pemahaman TIK hadir dengan kemampuan untuk
memantau TIK secara efektif dalam situasi yang berbeda. Quinke
pertama kali menggambarkan punksi lumbal untuk
menghilangkan "tekanan otak" pada tahun 1911. Namun ia tidak
sampai melakukan pemeriksaan seperti Guillaume dan Janny pada
tahun 1951. Lundberg kemudian menerbitkan hasil dari sejumlah
besar pasien di mana dia menggambarkan beberapa konsep dasar
yang digunakan saat ini dalam pemantauan TIK klinis, termasuk
gelombang Lundberg A, B, dan C. 11
Pemantauan TIK hari ini adalah sesuatu yang lazim
dilakukan dalam praktik bedah saraf. Nilai TIK digunakan sebagai
ukuran penyakit dan indikasi respons pengobatan serta untuk
membantu memonopoli perfusi serebral.

Fisiologi Umum Tekanan


Intrakranial
Batas atas TIK normal pada orang dewasa dan anak-anak lebih tua
diberikan 15 sampai 20 mmHg, meskipun rentang yang biasa
adalah 5 sampai 10 mmHg. Perubahan fisiologis transien akibat
batuk atau bersin seringkali menghasilkan tekanan melebihi 30
sampai 50 mmHg, namun TIK kembali dengan cepat ke tingkat
awal. 10
TIK dapat diukur dengan penggunaan transduser
displacement volume rendah untuk berinteraksi dengan jalur
cairan serebrospina (CSS) di ruang intraventricular,

33
intraparenchymal, subdural, atau epidural. Bentuk gelombang TIK
berdenyut dan dapat dibagi menjadi tiga komponen utama
(Gambar 2-2). Tingkat dasar, atau rata-rata, biasanya disebut TIK,
sedangkan komponen berirama yang dilapiskan pada tingkat ini
terkait dengan aktivitas jantung dan respirasi. Untuk benar-benar
mendeskripsikan TIK, kita harus menentukan besarnya tingkat
baseline, atau "steady state" dan amplitudo serta periodisitas
komponen pulsatile. Perubahan komponen berdenyut ini bisa
menjadi salah satu tanda paling awal bahwa TIK mulai
meningkat, sebagai cerminan dari peningkatan konduktansi
gelombang tekanan melalui pengetatan otak. 10
Aktivitas jantung dan pernafasan menciptakan komponen
pulsatile melalui perubahan siklus dalam volume darah serebral.
Kontraksi ventrikel kiri menyumbang komponen jantung, yang
memiliki frekuensi yang sama dengan denyut arteri perifer.
Pembuluh darah yang mentrasmisikan pulsasi perifer diupayakan
untuk dipertahankan dalam keadaan normal. Studi awal
menunjukkan bahwa pleksus choroid dan arteri pialus
bertanggung jawab terhadap hal tersebut, terakhir diperkirakan
melibatkan pembuluh darah vena.10
Kontribusi pernafasan terhadap bentuk gelombang TIK
muncul sebagai akibat fluktuasi tekanan darah arteri dan aliran
keluar vena serebral selama siklus pernafasan, yang dihasilkan
oleh perubahan perspektif pada rongga toraks dan perut. Selama
inspirasi ada penurunan tekanan darah arteri dan peningkatan
gradien tekanan dari pembuluh darah serebral ke pembuluh darah
vena sentral. Gradien ini mendorong kembalinya aliran vena
serebral, yang meningkat pada inspirasi, dengan mengakibatkan
penurunan volume vena serebral. Ventilasi mekanis dan penyakit
intrathorasik dapat sangat mengubah kontribusi pernapasan ke
bentuk gelombang TIK. Konsep ini telah menghasilkan percobaan
dan uji klinis bagi perangkat yang dapat mengubah tekanan
intrathorasik selama siklus pernafasan resusitasi. Perangkat

34
ambang batas impedansi membatasi masuknya gas pernafasan dan
oleh karenanya membentuk lebih besar dan lebih negatif tekanan
intratorasik. Alat tersebut telah menunjukkan bukti peningkatan
perfusi serebral dan perfusi koronari selanjutnya mengurangi TIK
pada keadaan henti jantung dan hipotensi. Aplikasinya atau
dampaknya pada peningkatan TIK pada penyakit SSP primer
seperti cidera otak traumatis masih belum dapat ditentukan. 10

Gambar 2.1 Bentuk Gelombang TIK normal

Gambar 2.2 Bentuk gelombang tekanan intrakranial normal pada


kecepatan grafik cepat

Jika bentuk gelombang TIK diperiksa secara lebih rinci


dan pada kecepatan grafik yang lebih tinggi, maka bentuk

35
gelombang frekuensi tertinggi dapat dilihat terdiri dari lima
puncak yang lebih kecil. Tiga di antaranya relatif konstan
(Gambar 2-2) - gelombang perkusi (W1), gelombang pasang
(W2), dan gelombang dicrotik (W3) . Gelombang perkusi,
amplitudo paling konstan, berasal dari pulsasi pada arteri
intrakranial besar. Gelombang pasang surut memiliki bentuk yang
lebih bervariasi dan diperkirakan timbul dari elastansi otak.
Gelombang pasang dan gelombang dikrotik dipisahkan oleh takik
yang dilekatkan, yang sesuai dengan takik-takik dalam bentuk
gelombang pulsasi arteri. 10
TIK identik dengan tekanan CSS dan didefinisikan sebagai
tekanan yang harus diberikan terhadap jarum yang dimasukkan ke
dalam ruang CSS sehingga hanya mencegah pelepasan cairan.
TIK tergantung pada beberapa parameter yang merupakan ciri
umum pada sistem hidrodinamik: volume cairan internal
(intrakranial), elastisitas sistem, kontribusi dari atmosfer, dan
orientasi sumbu kraniospinal relatif terhadap vektor gravitasi. 10
Tekanan (P) didefinisikan sebagai gaya (F) per satuan luas
(A). Tekanan biasanya dilaporkan dalam satuan milimeter air (mm
H2O) atau milimeter merkuri (mmHg). Konvensi ini muncul
karena kolom fluida memberikan tekanan pada proporsinya
sebanding dengan tinggi kolom (h) kerapatan fluida (p) dan
konstanta gravitasi (g). Karena, untuk cairan tertentu, g dan p
konstan, tekanan dapat dibandingkan dengan hubungannya
dengan tinggi cairan yang diberikan. TIK bervariasi dinyatakan
dalam mmHg atau mm H2O. Membagi tekanan dalam mm H2O
sebesar 13,6 menghasilkan tekanan setara dalam mmHg;
Konstanta ini didasarkan pada rasio kepadatan air terhadap
merkuri. Satuan SI untuk tekanan adalah Pascal (Pa), yang
didefinisikan sebagai 1 Newton (N) / meter persegi. 1 kiloPascal
(kPa) adalah 7,5 mm Hg atau 102 mm H2O. 11
Sebenarnya, tiga tekanan berbeda berkontribusi pada TIK:
tekanan atmosfir, tekanan hidrostatik, dan tekanan pengisian.

36
Tekanan atmosfer adalah komponen akibat tekanan di atmosfer
yang ditransmisikan ke otak, dan oleh karena itu TIK mutlak
bervariasi dengan ketinggian. Tekanan ini terutama ditransmisikan
melalui pembuluh darah; namun TIK biasanya dilaporkan relatif
terhadap tekanan atmosfir, dan komposisi terakhir ini diabaikan. 11
Seperti halnya kolom cairan, tengkorak dan elevasi kanal
tulang belakang mengalami tekanan hidrostatik yang disebabkan
oleh berat isinya. Kontribusi tekanan hidrostatik bergantung pada
berat cairan dan jaringan di atas titik pengukuran, dibagi dengan
luas penampang melintang pada tingkat tersebut. Misalnya CSS
lumbar lebih besar pada posisi duduk daripada posisi posisi lateral
dekubitus sebagai akibat perbedaan hidrostatik; Tingkat kenaikan
kepala ke bawah mendorong peningkatan tekanan hidrostatik. 11
Tekanan pengisian sistem ditentukan oleh volume isi
intrakranial dan elastis dari struktur yang dilampirkan. Isi
intrakranial terdiri dari darah, otak, CSS, dan massa patologis.
Elastance adalah parameter sistem yang didefinisikan oleh
perubahan tekanan per unit perubahan volume; yaitu, perubahan
tekanan yang sesuai untuk peningkatan volume isi kraniospinal
(Gambar 2-3). Hubungannya tidak selalu linier di semua jilid dan
tidak harus selalu dalam kondisi fisiologis. Kepatuhan adalah
kebalikan dari elastance, dan kedua tindakan tersebut berguna
untuk memahami fisiologi TIK. Elastance muncul sebagai
gabungan hasil distensi dan perpindahan. Dengan kata lain, karena
volume ditambahkan ke sistem, ada dua jalur utama untuk
kompensasi, perluasan, dan hilangnya volume. Secara fisiologis,
hal ini dapat terjadi baik dengan distensi dura mater tulang
belakang atau dengan displacement CSS dan darah. Konsep-
konsep ini akan diuraikan kemudian pada pembahasan dinamika
non-steady-state. Tekanan atmosfer, tekanan hidrostatik, dan
tekanan pengisian semua berkontribusi pada konsep dinamika
keadaan mapan. 11

37
Fisiologi Umum Cairan Serebrospinal
Pada orang dewasa, kira-kira 87% dari ruang intrakranial
berukuran 1500 mL ditempati oleh otak, 9% oleh kompartemen
CSS (ventrikel, waduk, dan ruang subarachnoid) dan 4 % dengan
volume darah. Ruang ekstraselular memiliki kontak secara
langsung dengan CSS dan membentuk sekitar 15% dari total
volume otak. 10
Volume CSS intrakranial dalam satu waktu, berkisar 164,5
mL, dengan kisaran 62,2 sampai 267 mL. Volume ventrikel juga
bervariasi seperti yang dinilai dengan MRI, dari 7,49 sampai 70,5
mL dengan rata-rata 31,9 mL. Alasan untuk variasi semacam itu
tidak jelas, walaupun jumlah CSS dalam organisme apa pun
mencerminkan keseimbangan dinamis antara produksi dan
pembersihan. 10

Gambar 2.3 Kurva volume tekanan dan indeks tekanan-volume


menggambarkan respon tekanan intrakranial (TIK) terhadap
penambahan volume (V). A, Kurva normal menunjukkan
bagaimana perubahan saat volume yang lebih besar ditambahkan.
Sistem cairan serebrospinal berada dalam fase kompensasi spasial

38
pada titik a dibandingkan dengan dekompensasi spasial pada titik
b. B, Graphing log TIK terhadap perubahan volume
memungkinkan perhitungan indeks tekanan-volume, yang banyak
digunakan sebagai deskripsi kepatuhan intrakranial.

Tabel 2.1 Konsentrasi larutan (mEq/kg H2O) dalam Plasma dan


cairan Serebrospinal (CSS) in Humans
Plasma CSS
Sodium (Na+) 150 147
Potassium (K+) 4.63 2.86
Magnesium (Mg2+) 1.61 2.23
Calcium (Ca2+) 4.7 2.28
Chloride (Cl-) 99 113
Bicarbonate (HCO3-) 26.8 23.3
Amino acids 2.62 0.72
Osmolality 289.0 289.0
pH 7.397 7.30

CSS pada prinsipnya diproduksi oleh pleksus koroid, yang


merupakan invaginasi pia mater ke dalam rongga ventrikel,
khususnya di atap ventrikel ketiga dan keempat dan dinding
ventrikel lateral. Pada titik-titik ini, rongga pembuluh darah
bercabang padat diinvestasikan oleh pia mater dan ditutupi oleh
sel ependimal khusus, epitel koroidal. Lingkaran sel dalam
struktur ini padat rapat dengan proses villous untuk meningkatkan
luas permukaan. Pembentuk CSS kedua adalah ependyma
ventrikel, kontribusinya proporsional yang bisa dibilang berkisar
antara 50% sampai 100% . 10
Untuk waktu yang cukup lama, CSS digambarkan sebagai
ultrafiltrasi plasma, yang menyiratkan bahwa tekanan hidrostatik
di dalam pembuluh darah memaksa cairan bebas protein melalui
ruang interendotelial. Namun, analisis komposisi CSS (Tabel 2-1)
menunjukkan beberapa perbedaan. dalam komposisi di tingkat

39
ionik, sebuah temuan yang sangat menentang gagasan
penyaringan sederhana atau proses dialisis. CSS, secara umum,
memiliki konsentrasi natrium, klorida, dan magnesium yang lebih
tinggi daripada yang diharapkan pada filtrat plasma. Konsentrasi
potasium, kalsium, urea, dan glukosa lebih rendah, dengan
osmolalitas keseluruhan sangat mirip. Pemikiran saat ini oleh
karena itu berpendapat bahwa proses penyaringan sederhana
dimodifikasi oleh proses sekresi dan reabsorpsi yang bergantung
pada energi. 10
Estimasi tingkat produksi CSS dapat dilakukan secara
eksperimental melalui pemeriksaan clearance atau omset bahan
yang disuntikkan, oleh teknik pengenceran penanda atau perfusi
ventriculocis. Estimasi dengan teknik ini telah menghasilkan nilai
pada kisaran 0,35 sampai 0,37 mL / menit untuk manusia.Dalam
studi selanjutnya, aliran void pada sinyal resonansi magnetik
(MR) dalam sistem CSS telah digunakan untuk memperkirakan
tingkat produksi CSS. Perkiraan aliran CSS melalui saluran air
pada manusia, yang seharusnya sesuai dengan aliran sekresi CSS
pada ventilasi lateral dan ketiga, menghasilkan nilai 0,48 mL /
min. Ada variasi dalam tingkat absolut produksi CSS, Meskipun
demikian, itu jelas berhubungan dengan berat mutlak jaringan
pleksus koroid pada masing-masing subjek. Selanjutnya tingkat
produksi CSS mengikuti variasi diurnal, dengan tingkat produksi
puncak di malam hari dan pagi hari. 10
Adanya produksi konstan CSS, maka harus ada
pembuangan CSS pada tingkat yang sama. CSS bersirkulasi dari
pleksus koroid, melalui ventrikel, ke sisterna magna, basal, dan
ruang subarachnoid. Situs utama drainase CSS fisiologis masuk ke
sistem vena dural, melalui sinus vena dural. Evaginasi membran
arachnoid masuk ke lumens vena dural dan membentuk granula
arachnoid atau villi. Pengaturan ini membentuk hubungan katup
antara ruang subarachnoid dan sinus dural, sehingga darah tidak
dapat bergejolak ke dalam CSS. Tekanan hidrostatik yang lebih

40
tinggi di ruang subarachnoid mendorong aliran cairan balik ke
arah depan, sehingga menguras volume CSS. Studi tentang
struktur ini telah mengungkapkan bahwa mereka dapat
membiarkan molekul sampai beberapa mikron melewatinya,
namun hanya secara satu arah. Reabsorpsi CSS telah terbukti
berhenti pada tekanan CSS kurang dari 5 mm Hg. 10

Steady-State Intracranial Pressure And Cerebrospinal Fluid


Dynamics
Dengan tidak adanya patologi, TIK awal dan amplitudo
komponen pulsatile TIK tetap konstan meski terjadi gangguan
transien. Seperti yang disinggung sebelumnya, tengkorak tersebut
harus dianggap sebagai wadah kaku dari unsur yang tidak
terkompres. Oleh karena itu TIK bergantung pada kapasitas dan
volume total di dalam tengkorak (VINTRACRANIAL SPACE), yang
merupakan penjumlahan dari volume cairan cerebrospinal (VCSS),
darah (VBLOOD), dan jaringan otak (VBRAIN). Kemampuan penutup
dural untuk mengembang sangat terbatas, sehingga setiap
perubahan volume dari salah satu dari tiga komponen intrakranial
harus dikompensasi dengan mengorbankan dua komponen
lainnya, untuk menjaga TIK. Persamaan berikut menggambarkan
hubungan ini:
v
CSS + VBLOOD + VBRAIN + VOTHER = VINTRACRANIAL
= (konstan)
Hubungan ini merangkum konsep doktrin Monro-Kellie.
Kehadiran komponen abnormal seperti tumor atau hematomaa
(diwakili oleh VOTHER dalam persamaan sebelumnya) menuntut
perubahan timbal balik dalam volume otak, darah, atau CSS, guna
mempertahankan TIK pada tingkat fisiologis. Penting untuk
dicatat bahwa bahkan keadaan fisiologis jauh dari statis; Ini
adalah keseimbangan dinamis. Perubahan konstan yang diinduksi
oleh detak jantung, tekanan darah sistemik, status cairan, dan
tekanan intrathoracic memerlukan perubahan transien dalam

41
bagian intrakranial yang dianggap sebagai bagian dari steady
state. 10
Seperti yang disinggung sebelumnya, volume CSS yang
tidak sama pada setiap titik waktu bergantung pada keseimbangan
antara tingkat pembentukan, tingkat penyerapan, dan volume
intrakranial. Interaksi antara parameter-parameter ini dapat dilihat
dengan penggunaan model matematis yang menganalisis
mekanisme fisiologis (1) pembentukan CSS; (2) penyimpanan
volume, atau kepatuhan; dan (3) penyerapan cairan (Gambar 2-4).

Gambar 2.4 Sirkuit listrik ekivalen menunjukkan faktor utama


yang mengatur tekanan intrakranial.

Pembentukan CSS dapat digambarkan sebagai pompa


yang secara kontinu memompakan cairan ke ruang CSS pada
sumbu saraf. Tingkat pembentukan cairan (If) dianggap konstan
dan terlepas dari tekanan yang harus dihadapi oleh proses
pembentukan CSS. Sesuai dengan pengamatan bahwa laju
pembentukan CSS dipengaruhi oleh perubahan TIK. Cairan
memasuki ruang penyimpanan yang sesuai, yang dapat melebar
untuk mencapai volume tambahan, dan berlanjut melalui jalur
keluar, untuk diserap melalui villi arachnoid ke dalam sinus vena
dural. Mekanisme kepatuhan diwakili oleh elemen (C), yang

42
mengurangi kompresibilitasnya dengan volume yang meningkat,
sama seperti ketahanan yang ditawarkan oleh balon karet pada
inflasi maksimum. Baik resistansi saluran CSS yang mengarah ke
villi arachnoid dan resistansi villi terhadap aliran fluida
digabungkan menjadi elemen resistansi tunggal (Ro). Komponen
ini merupakan resistansi total terhadap arus keluar CSS, yang
dalam kondisi normal tetap tetap konstan dan tidak tergantung
pada TIK. Elemen terakhir dari model ini adalah tekanan di dalam
dural sinus (Pd). Proses penyerapan cairan arachnoid villi kedalam
sinus vena duramater harus mengatasi tekanan ini. 10
Berdasarkan kerangka konseptual ini, telah dikembangkan
sebuah teori yang menggambarkan interaksi elemen formasi,
penyimpanan, dan penyerapan dalam keadaan mapan. Pertama,
tekanan dan volume berada dalam ekuilibrium, dan tidak ada
peningkatan atau penurunan bersih pada total volume CSS. CSS
yang terbentuk harus melewati elemen absorptif sehingga tidak
ada cairan bersih yang tersimpan. 10
Semua cairan yang terbentuk melewati elemen resistif
(Ro), gradien tekanan dikembangkan melintasi elemen absorptif
yang sama dengan produk formasi cairan (If) dan resistansi cairan
(Ro). Semakin besar arus atau hambatan, maka semakin besar
gradien tekanan (If X Ro). Selama sistem berada dalam
ekuilibrium, tekanan ruang CSS harus cukup besar untuk
mendorong cairan melalui villi arachnoid pada tingkat yang sama
dengan pembentukannya. Oleh karena itu, TIK harus sama dengan
jumlah gradien tekanan melintasi elemen serapan (If X Ro) dan
tekanan keluar. Persamaan berikut:
TIK = (If x Ro) + Pd
menunjukkan bahwa TIK steady-state sebanding dengan
tiga parameter: (1) laju pembentukan CSS, (2) resistansi terhadap
penyerapan CSS, dan (3) tekanan sinus dural. Bila parametrik ini
tetap konstan, TIK tidak berubah dan elemen kepatuhan tidak
berpartisipasi secara aktif dalam peraturan TIK. Hubungan ini

43
dapat digambarkan secara visual sebagai rangkaian listrik
ekuivalen (lihat Gambar 2-4). 10
Peningkatan pembentukan CSS, hambatan aliran keluar,
atau tekanan vena di lokasi penyerapan cairan dapat mengubah
keseimbangan dinamis ini dan menghasilkan TIK yang
meningkat. Model matematika telah menunjukkan bahwa
kontribusi tingkat pembentukan CSS dan hambatan aliran keluar
(jika X Ro) kira-kira 10% dari total TIK. Sisanya dikaitkan
dengan besarnya tekanan sinus dural (Pd). Dengan distribusi ini,
resistansi arus keluar harus meningkat secara nyata sehingga
menyebabkan kenaikan TIK yang signifikan. Namun, tekanan
sinus sagital yang lebih kecil (Pd) yang disebabkan oleh obstruksi
sinus vena akan dikirim langsung ke sistem CSS, sehingga
meningkatkan TIK istirahat. Dari persamaan sebelumnya, jelas
bahwa perubahan elemen-elemen ini dapat terjadi secara
independen satu sama lain. Jika Pd naik, absorpsi CSS dapat tetap
konstan, dan pergeseran ke ekuilibrium TIK baru dapat terjadi. 10
Komponen dinamis lain dari persamaan yang mewakili
doktrin Monro-Kellie yang relevan dalam dinamika keadaan yang
stabil adalah volume darah serebral. Volume darah serebral
(CBV) dan aliran darah serebral (CBF) pada dasarnya adalah
fungsi dari perbedaan tekanan arteri pembuluh darah serebral dan
resistansi serebrovaskular, yang sangat ditentukan oleh kaliber
pembuluh darah. Meskipun, seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya, ada perubahan berirama dalam volume darah akibat
siklus kardiorespirasi. Akan tetapi, CBV dan CBF dipertahankan
dalam batas sempit melalui proses autoregulasi. Ritme vaskular
dipengaruhi oleh sinyal fisik (gaya) dan kimia (pH, Pco2), dengan
tujuan mempertahankan CBF di berbagai tekanan darah arteri (50
sampai 160 mmHg) dan tingkat metabolisme jaringan (Paco2, 20
sampai 70 mmHg). CBF normal rata-rata orang dewasa adalah
53 mL / 100 g per menit. 10

44
Non-Steady-State Dynamics
Proses yang baru saja dijelaskan, mempertahankan TIK konstan
sementara tidak ada akumulasi CSS atau perubahan volume
intrakranial lainnya. Sayangnya, banyak keadaan patologis dapat
mempengaruhi VCSS, VBLOOD, VBRAIN, dan VOTHER,
seperti hematomaa, tumor, hidrosefalus, dan edema serebral. Bila
satu atau lebih dari volume ini meningkat, sistem akan beralih ke
status non-steady-state, dan pada gilirannya TIK dapat meningkat.
10

Penyebab klinis yang paling umum dari TIK yang


meningkat adalah cidera otak traumatis, patologi yang mencakup
beberapa kemungkinan VOTHER. Edema otak menyumbang
volume ekstra pada kandungan intrakranial dalam bentuk air.
Trauma dapat menyebabkan pengumpulan darah intraserebral di
lokasi ekstradural, subdural, subarachnoid, atau intraparenchymal,
yang masing-masing menyumbang volume ekstra. Selanjutnya
trauma dapat menyebabkan perubahan VBLOOD sebagai akibat
dari autoregulasi dan hyperemia yang terganggu. Sejauh mana
peningkatan CBV berkontribusi terhadap TIK setelah cidera otak
traumatis tampak kecil, meskipun, dibandingkan dengan edema.
Perdarahan subarachnoid setelah pecahnya pembuluh darah arteri
intrakranial menyebabkan pendarahan dengan tekanan arteri dan
berpotensi menyebabkan TIK meningkat dengan cepat, namun
sebagai TIK mendekati tekanan arteri rata-rata (MAP), perdarahan
melambat, namun tekanan perfusi serebral (TPS) menurun sangat
rendah. Penyebab kenaikan TIK ini adalah kombinasi
pengumpulan darah intraparenchymal, peningkatan volume darah
serebral, dan reaksi vasomotor kuat terhadap luka yang terjadi. 10
Kecepatan onset perubahan volume dapat berdampak besar
pada kemampuan sistem untuk memberi kompensasi. Tumor otak
menyebabkan VOTHER perlahan meningkat sehingga ada
saatnya melakukan perubahan kompensasi. Sehingga masalah TIK
oleh karena tumor lebih jarang terjadi, walaupun dapat terjadi

45
perubahan mendadak volume intrakranial (seperti pendarahan di
dalam massa tumor) dalam sistem yang sudah terkompensasi dan
hal ini dapat menimbulkan bencana. Demikian pula, periode
peningkatan tekanan hidrostatik yang meningkat (seperti
berbaring), dapat menciptakan peningkatan yang substansial pada
pasien TIK dengan tumor otak. Fenomena ini, ditambah dengan
variasi diurnal dalam pemeriksaan CSS, dapat mendasari sakit
kepala pagi dan mual yang dialami pasien tersebut. 10
Kondisi klinis lainnya dapat menyebabkan TIK meningkat,
termasuk hidrosefalus, hipertensi intrakranial idiopatik (ICH),
meningitis, dan arteriovenosa malformasi (AVMs). Dalam
beberapa kondisi ini, penambahan volume intrakranial secara
langsung bukanlah penyebab utama. Sebagai contoh, pada
hidrosefalus, sistem drainase CSS yang terganggu menyebabkan
akumulasi CSS, berbeda dengan papiloma pleksus koroid, dimana
produksi CSS berlebih adalah masalahnya. Penyebab TIK yang
meningkat pada ICH idiopatik tidak diketahui, walaupun produksi
CSS dan drainase telah diimplikasikan. Meningitis dapat
mempengaruhi TIK dalam beberapa pola, baik dengan cara
memblokir jalur drainase CSS atau dengan merangsang terjadinya
edema. AVMs, di sisi lain, mewakili peningkatan VBLOOD yang
signifikan, yang kemudian dapat membuat VOTHER jika terlibat
dalam peristiwa hemoragik. 10
Edema otak adalah proses patologis spesifik yang timbul
sebagai respons terhadap berbagai perubahan patologis serebral.
Edema otak ditetapkan sebagai peningkatan kandungan air
jaringan otak, oleh karena itu dapat dianggap berkontribusi baik
pada VOTHER atau VBRAIN. Pada pergantian abad Reichardt
melaporkan perbedaan antara otak bengkak kering dan otak
edematous yang basah. Klatzo secara subyektif membuka jalan
untuk semua diskusi edema di masa depan dengan
memperkenalkan dua istilah, "sitotoksik" dan "vasogenik," untuk
mengindikasikan akumulasi air intraselular dan ekstraselular.

46
Yang terakhir ini secara tradisional dikaitkan dengan Blood Brain
Barrier (BBB) terbuka dan kebocoran cairan. Namun divisi ini
merupakan penyederhanaan karena dua alasan. Pertama, agar air
jaringan otak naik, bahkan di bawah kondisi sitotoksik, air harus
masuk ke jaringan dari sumber luar, yang paling mungkin adalah
pembuluh darah. Oleh karena itu bahkan edema toksik beracun
memiliki asal "vasogenik". Ini adalah penyebab patologis dan
tempat akhir akumulasi edema yang harus membedakan fenomena
ini. Selanjutnya, penelitian tentang cidera otak traumatis, telah
menyarankan bahwa komponen vasogenik dari cidera mungkin
telah terlalu ditekankandan bahwa pentingnya BBB yang
terganggu terletak pada penyediaan jalur resistansi rendah untuk
memindahkan air ke sel-sel yang pembengkakan sitotoksik.
Edema sitotoksik dan edema vasogenik mungkin tidak dapat
dipilah secara terpisah, dan klasifikasi edema berdasarkan istilah
"barrier utuh dan" barrier terbuka "mungkin bermanfaat. 11
Beberapa kemungkinan perubahan volume intrakranial
telah dibahas. Bila perubahan tersebut terjadi dengan cepat atau
melebihi kemampuan kompensasi dengan pengurangan volume
timbal balik, TIK mulai meningkat. Pada kondisi ini, diperlukan
pemantauan TIK yang lebih cermat daripada kondisi stabil.

Gambar 2.5 Kurva tekanan-volume

47
Hubungan antara volume intrakranial dan TIK tidak linier.
Hubungan tekanan volume dapat digambarkan oleh grafik respons
TIK terhadap volume yang ditambahkan ke dalam sumbu saraf
(lihat Gambar 2-3). Pada orang dewasa normal hubungan ini
menggambarkan kurva hiperbolik. Di sepanjang bagian datar
kurva, kenaikan volume mempengaruhi TIK minimal karena
mekanisme kompensasi dapat secara efektif menjaga TIK dalam
kisaran normal. Bagian kurva ini disebut "periode kompensasi
spasial." Karena volume ditambahkan perubahan tekanan per
satuan volume menjadi semakin besar, dan kepatuhan berkurang;
bagian ini disebut "periode dekompensasi spasial." Pada TIK di
atas 50 mmHg, mendekati tekanan arteri rata-rata (MAP), kurva
cenderung merata lagi; dengan demikian, kurva yang lengkap
tidak hiperbolik melainkan sigmoid. 10
Timbal balik kemiringan kurva ini (AV / AP) mewakili
kepatuhan sistem, yang maksimal dalam periode kompensasi
spasial. Kemiringan kurva tekanan-volume meningkat dengan
cepat selama dekompensasi spasial, dan karena itu aktivitas
menurun. Metode lain untuk mengungkapkan informasi tentang
kepatuhan adalah dengan merencanakan TIK secara logaritma
terhadap volume, yang menghasilkan garis lurus. Kemiringan ini
adalah indeks volume tekanan (pressure-volume index / PVI), atau
volume yang dihitung dalam mililiter yang dibutuhkan untuk
menaikkan TIK dengan faktor ( Gambar 2-5). Pada orang dewasa
normal, PVI adalah 25 sampai 30 mL. Bila kepatuhan dikurangi
dengan proses patologis, PVI berkurang dan oleh karena itu
perubahan volume kecil menyebabkan perubahan tekanan yang
jauh lebih besar. Nilai kurang dari 13 mL dianggap tidak normal.
PVI bergantung pada usia; Namun, bayi normal memiliki PVI di
bawah 10 mL, sedangkan PVI dewasa 25 mL dicapai pada usia
sekitar 14 tahun. PVI secara klinis dapat diukur dengan infus atau
penarikan cairan kecil ke ruang CSS dengan disertai respons
tekanan. 10

48
Kemampuan kompensasi otak, darah, dan CSS pada titik
tertentu dalam kurva tekanan-volume bergantung pada beberapa
hal yaitu volume masing-masing, kemudahan jalan keluar dari
tengkorak, dan tingkat TIK di mana interaksi terjadi, ditambah
dengan kekakuan dari tengkorak Meskipun otak menempati 80%
ruang intrakranial, volume ini tersedia secara efektif hanya untuk
perbandingan bila terjadi peningkatan pada VOTHER secara
perlahan. Bilamana terjadi perubahan yang lebih cepat, otak
bergeser dan terjadilah herniasi. Meskipun darah dan CSS tidak
menempati ruang intrakranial, volume totalnya dapat dikurangi
lebih cepat, dan biasanya mereka ganti terlebih dahulu sebagai
kompensasi. 10
Konsep ini menjadi lebih kompleks, seperti kebanyakan
model, bila diterapkan pada praktik klinis. Meskipun perubahan
jangka pendek menyebabkan pergerakan di sepanjang kurva
volume tekanan tunggal, perubahan dinamika intrakranial dapat
menciptakan kurva volume tekanan baru berbanding dengan
waktu (Gambar 2-5). Peningkatan volume darah serebral dan
edema serebral juga cenderung berperan dalam menghasilkan
interaksi volume tekanan dinamis ini. Dengan demikian,
pengetahuan tentang tekanan absolut ditambah dengan beberapa
ekspresi kemiringan kurva volume TIK pada titik waktu tertentu,
memberikan. Deskripsi yang lebih lengkap tentang stabilitas atau
instabilitas TIK. 10

Efek Peningkatan Tekanan Intrakranial


Di bawah kondisi tidak stabil, kegagalan mekanisme kompensasi
pada akhirnya menghasilkan TIK yang meningkat dengan
konsekuensi patologis yang berat.
Perfusi otak bergantung pada gradien tekanan arteri
pembuluh darah serebral. TIK ditransmisikan ke vena serebral
oleh karena itu tekanan perfusi serebral (TPS) didefinisikan
sebagai arus masuk arteri yang dikurangi TIK. Jika TIK

49
meningkat, maka TPS akan berkurang, dan jika batas bawah
autoregulasi habis, Cerebral Blood Flow (CBF) akan mulai turun,
menyebabkan iskemia, yang pada gilirannya akan memperbesar
pembengkakan. 11
Cadangan autoregulator dapat didefinisikan sebagai
perbedaan antara TPS pada saat tertentu dan batas bawah
autoregulasi. Menimbang bahwa batas bawah autoregulasi adalah
berkisar antara 50 sampai 70 mmHg, cadangan autoregulator
untuk TPS 90 mmHg adalah 20 sampai 40 mmHg. Jadi, TPS di
bawah ambang batas autoregulator menghabiskan cadangan
autoregulatory. Saat TPS menurun, ketegangan dinding pembuluh
otak relatif menurun, sehingga meningkatkan transmisi
gelombang nadi arteri ke intrakranial. Demikian pula, ketika
pengurangan TPS disebabkan oleh peningkatan TIK, akan
mengakibatkan penurunan fungsi otak, suatu tindakan yang juga
berfungsi untuk meningkatkan transmisi pulsatile. Penurunan TPS
menyebabkan peningkatan tekanan darah dan pulsatilitas TIK.
Hubungan ini dapat menjadi sangat prediktor untuk hasil yang
fatal, karena meratakan atau mengurangi amplitudo pulsasi TIK
menyiratkan bahwa pembuluh darah serebral tidak lagi memiliki
tekanan reaktif. 11
Dari prinsip-prinsip ini, jelas bahwa korelasi antara
gelombang tekanan darah spontan (BP) dan TIK bergantung pada
cadangan autoregulatori. Koefisien korelasi antara perubahan BP
dan TIK didefinisikan oleh Czosnyka dan associates52 sebagai
indeks reaktivitas tekanan (pressure reactive index / PRx). Contoh
penggunaan indeks reaktivitas tekanan diilustrasikan pada
Gambar 2-6. Pada Gambar 2-7, PRX meningkat dari nilai yang
relatif rendah (tidak ada hubungan) dengan nilai mendekati 1,0
(asosiasi positif yang kuat); nilai ini dihitung dari kenaikan TIK
setiap 1 jam dari 60 sampai 90 mmHg pada pasien yang cidera
kepala. Gambar 2-6 menggambarkan perubahan sementara pada
PRx selama gelombang dataran tinggi TIK dengan pemulihan

50
cepat PRx ketika TIK kembali ke garis dasar. PRx menyediakan
cara praktis untuk menilai tingkat autoregulasi dan berguna untuk
menjelaskan kontribusi serebrovaskular terhadap mekanisme yang
menyebabkan kenaikan TIK. PRx juga telah terbukti menjadi
penanda yang berguna untuk menentukan sasaran pengobatan
optimal, seperti untuk TPS. 11
Selanjutnya, dalam banyak kasus patologis, autoregulasi
tidak terganggu, sehingga kurva respons bergeser ke kanan dan
lebih linier (Gambar 2-7). Perubahan ini mengurangi cadangan
autoregulator untuk setiap TPS yang diberikan. Jika cadangan
autoregulator habis, CBF mulai turun, yang akhirnya
menyebabkan iskemia jaringan. Iskemia menciptakan edema
sitotoksik, yang kemudian berimplikasi pada TIK tinggi dan TPS
rendah. Jelas lingkaran setan edema dan ketinggian TIK dapat
terjadi jika upaya pengobatan tidak mencegahnya. Kenaikan TIK
yang tidak merespons pengobatan yang tersedia disebut hipertensi
intrakranial refrakter.

51
Gambar 2.6 Contoh pengunaan indeks reaktivitas tekanan untuk
menilai cadangan autoregulasi dan memprediksi hasil pasien.

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, karya klasik


oleh Lundberg5, yang mengukur TIK pada keadaan patologis,
mendefinisikan tiga pola dasar bentuk gelombang: Gelombang
(gelombang dataran tinggi), gelombang B, dan gelombang C
(Gambar 2-6). Gelombang, atau "gelombang dataran tinggi",
ditandai dengan kenaikan TIK yang berlanjut selama beberapa
menit dan kemudian kembali secara spontan ke garis dasar baru,
yang biasanya sedikit lebih tinggi. 11
Sebelumnya Lundberg menyampaikan bahwa gelombang
A adalah hasil dari peningkatan CBV karena vasodilatasi. Rosner

52
dan rekannya telah menyatakan bahwa gelombang dataran tinggi
ini merupakan respon kompensasi normal terhadap penurunan
TPS, oleh karena itu manajemen pengobatan yang efektif
melibatkan penggunaan vasopressor. Rosner mengusulkan bahwa
gelombang dataran tinggi itu sendiri terdiri dari empat fase yang
mereka sebut "fase drift," fase "dataran tinggi," fase respons
iskemik, dan "fase resolusi." Fase drift ditandai dengan
penurunan TPS, yang memicu pelepasan vasodilator. Vasodilatasi
meningkatkan TIK ke tingkat dataran tinggi, untuk fase dataran
tinggi. Penurunan TPS mendadak menyebabkan tingkat iskemia
serebral, yang memicu batang otak vasomotor untuk memasang
respons Cushing (fase respons iskemik), yang pada gilirannya
akan mengembalikan TPS dalam fase resolusi. 11
Gelombang Lundberg B adalah elevasi pendek yang
sifatnya sederhana (10 sampai 20 mmHg) yang terjadi pada
frekuensi 0,5 sampai 2 Hz dan diperkirakan berhubungan dengan
vasodilatasi akibat fluktuasi pernafasan di PaCO2. Gelombang ini
terlihat pada pasien berventilasi, yang secara teori harusnya
memiliki PaCO2 yang konstan, sehingga elevasi semacam itu
masih dipertanyakan signifikansi klinisnya.

Gambar 2.7 Kurva Autoregulasi Serebral

53
Gambar 2.8 Gelombang TIK berdasarkan klasifikasi Lundberg

Studi ultrasonografi Transcranial Doppler pada manusia


telah menunjukkan bahwa gelombang B terjadi akibat gelombang
vasomotor intrakranial, menyebabkan variasi dalam CBF. Dasar
fisiologis untuk perubahan siklus dalam ritme vasomotor ini tidak
jelas. Gelombang B dipercaya untuk mencerminkan peningkatan
TIK secara kualitatif, seperti juga gelombang C, fluktuasi
sinusoidal yang lebih cepat terjadi kira-kira setiap 10 detik dan
sesuai dengan fluktuasi Traube-Hering-Mayer dalam tekanan
arteri. 11
Selain efek aliran darah dan autoregulasi, masalah kedua
dengan peningkatan TIK timbul dari pembentukan gradien
tekanan di dalam tengkorak. CSS melakukan tekanan yang
dihasilkan oleh peningkatan volume di satu wilayah otak ke otak
lainnya. Ada lokasi anatomi tertentu dimana gradien tekanan
tersebut dapat menyebabkan pergerakan jaringan otak ke dalam
lokasi anatomi abnormal, atau herniasi otak. Beberapa jenis
herniasi telah dijelaskan, termasuk transtansi transenden ke bawah
(central dan uncal), subfalcine, transtentorial ke atas, dan
transforaminal. 11

54
Secara anatomi pada herniasi sentral transtentorial,
hemisfer bergeser ke bawah dan kompartemen ganglia basal dan
diencephalon melalui insisura tentorial. Perpindahan batang otak
selanjutnya menyebabkan peregangan cabang arteri basilar, yang
pada gilirannya berkontribusi pada disfungsi diencephalon dan
disfungsi batang otak, dengan gejala klinisnya penurunan tingkat
kesadaran dan pernapasan yang berubah abnormal. Pupil menjadi
kecil dengan reaktivitas yang buruk terhadap cahaya. Lesi pada
satu sisi dapat menyebabkan hemiparesis kontralateral, disertai
fleksor abnormal ipsilateral dan respons dekortikal. Dengan
keterlibatan otak tengah yang progresif, respirasi menjadi takipne
dan pupil midriasis. Oftalmoplegia internal dapat timbul, dalam
hal ini pemeriksaan motor menunjukkan postur decerebrata
bilateral. Saat pons terlibat, respirasi tetap cepat dan dangkal.
Pemeriksaan motor menunjukkan ekstremitas lembek dengan
respon plantar ekstensor bilat. Dengan keterlibatan meduler yang
progresif, respirasi melambat dan menjadi tidak teratur dengan
desahan atau napas panjang. Saat hipoksia terjadi, pupil melebar,
dan kematian otak akan terjadi segera sesudahnya. 14
Pada herniasi uncal, pergeseran gyrus uncus dan
hippocampal secara medial menjadi takik tentorial, mendistorsi
batang otak dan menciptakan disfungsi yang signifikan. Salah satu
pupil bisa menjadi melebar dan kurang reaktif, bahkan pada
tingkat kesadaran normal. Jika kompresi otak tengah terjadi,
kesadaran dapat mulai terganggu, diikuti dengan postur
decerebrata kontralateral. Posturing atau hemiparesis dapat terjadi
ipsilateral pada lesi akibat tekanan pada sisi serebral kontralateral
di tepi serebelli tentorium. Jika sindroma uncal terjadi, respon
plantar ekstensor muncul secara bilateral, bersamaan dengan
pelebaran pupil kontralateral. Akhirnya, pasien menjadi
hiperpnea, pupil midriasis, respons okulovestibular terganggu, dan
kekakuan decerebrate bilateral, terjadilah sindrom herniasi
sentral.13

55
Herniasi subfalcine dari cingulate gyrus disebabkan oleh
perluasan satu belahan otak yang menyebabkan pergeseran gyrus
cingulate di bawah falx cerebri. Herniasi cingulate dapat menekan
vena serebral internal dan atau arteri serebral ipsilateral. Lesi pada
fossa posterior sedikit berbeda, karena dapat menyebabkan
herniasi transtentorial ke atas dan juga herniasi transforaminal ke
bawah. 13
Efek dari TIK tertentu sangat bergantung pada sifat dan
lokasi anatomis dari kondisi patologis yang mendasarinya. Gejala
dan tanda-tanda TIK yang timbul adalah sakit kepala, muntah, dan
papilledema. Muntah tanpa mual yang bersifat sugestif terhadap
problematika intrakranial. Berbagai tingkat kelumpuhan saraf
kranial dapat timbul sebagai akibat tekanan pada inti batang otak.
Papilledema adalah ukuran peningkatan TIK yang akurat dan
obyektif, dengan spesifisitas yang baik. Namun kepekaannya
sangat bergantung keahlian pengamat. Oleh sebab itu, kecurigaan
gangguan intrakranial dengan tidak adanya papilledema sebaiknya
tidak diabaikan. 16
Tanda-tanda vital juga bisa berubah dalam kondisi
peningkatan TIK. Respons Cushing didefinisikan sebagai
hipertensi arteri dan bradikardia yang timbul sebagai akibat dari
iskemia otak menyeluruh atau iskemia lokal karena tekanan
langsung pada batang otak. Bradikardia kemungkinan dimediasi
oleh saraf vagus dan dapat terjadi secara independen dari
hipertensi. Respirasi abnormal juga dapat terjadi, tergantung pada
lokasi anatomis dari setiap lesi. Pernapasan Cheyne-Stokes
muncul dari kerusakan pada daerah malapetaka, dan hiperventilasi
berkelanjutan terjadi pada pasien dengan disfungsi pada otak
tengah dan pons bagian atas. Lesi midpontin menyebabkan
respirasi yang lambat, lesi pontomedullary menghasilkan respirasi
ataksik, lesio medula oblongata bagian atas menghasilkan
pernafasan yang pendek dan cepat dan dengan keterlibatannya
yang lebih besar, dapat menjadi apnea. 16

56
Monitoring Tekanan Intrakranial
Beberapa uji klinis yang dipublikasikan menunjukkan bahwa
pemantauan TIK, di bawah situasi di mana TIK kemungkinan
mengalami peningkatan, dapat memfasilitasi pengobatan atau
mendorong penanganan agresif. Ada bukti klinis yang kuat bahwa
kontrol TIK yang hati-hati sangat penting, dan elevasi TIK
dikaitkan dengan hasil pengobatan yang negatif. Data klinis belum
dapat membuat kaitan antara pemantauan TIK dan hasil yang
lebih baik, dan beberapa penelitian telah mempertanyakan
manfaat klinis dari pemantauan TIK. The Benchmark Evidence
from South American Trials: Treatment of Intracranial Pressure
(BEST-TRIP) tidak dapat menunjukkan manfaat apa pun dari
pemantauan TIK.
Namun, ada sejumlah besar data yang melibatkan potensi
dampak positif pemantauan TIK, dan karena itu pemantauan TIK
tetap menjadi komponen yang berguna dalam pengelolaan klinis.
Keputusan untuk memantau TIK pasien didasarkan pada premis
bahwa ICH mengurangi TPS baik secara fokal maupun global dan
dapat menyebabkan iskemia. Hasil akhir dari peningkatan TIK
adalah herniasi otak dan kematian. Onset peningkatan TIK yang
segera dapat dideteksi secara klinis. Pemantauan TIK
memungkinkan masalah tersebut dideteksi dan diobati lebih awal.
Selanjutnya penerapan terapi antiretroviral untuk pengurangan
TIK dapat dihindari, dan jika dilakukan ventrikulostomi, didapati
keuntungan tambahan bahwa elevasi TIK dapat ditolong dengan
drainase CSS. Keunggulan ini harus dipertimbangkan terhadap
kemungkinan komplikasi dari pemantauan invasif.
Hipertensi intrakranial ditemukan pada 40% sampai 60%
cidera kepala berat dan merupakan faktor utama kematian pada
50% dari semua kandungan lemak. Data dari Bank Koma Trauma
telah menunjukkan bahwa proporsi rekaman TIK per jam lebih
besar dari 20 mm Hg sangat penting dalam memprediksi hasil
setelah cidera kepala berat. Peran pemantauan TIK dalam

57
pengaturan nontraumatik kurang dievaluasi dengan seksama dan
sebagian bergantung pada sifat dan tingkat keparahan proses
penyakit. Penatalaksanaan ICH dapat bermanfaat pada sindrom
Reye dan gagal hati fulminan, walaupun tingkat komplikasi akibat
pemantauan TIK lebih tinggi pada kondisi ini. Pada kasus tumor
intrakranial, kateter ventrikular dapat memberikan dekompresi
ventrikular. Dekompresi sementara sebelum dan sesudah reseksi
tumor, bersamaan dengan uji coba awal pembentukan kembali
jalur CSS normal pada periode awal pascaoperasi. Peran monitor
dalam ensefalopati metabolik, infark serebral, atau serebritis difus
kurang jelas. 24
Yayasan Trauma Otak telah menerbitkan panduan untuk
memulai pemantauan TIK. Panduan untuk pemantauan TIK
setelah trauma pada orang dewasa mencakup skor Skala Koma
Glasgow (GCS) 3 sampai 8, dan temuan tomografi yang tidak
normal (CT). Dengan adanya temuan CT normal, dua atau lebih
dari fitur berikut harus segera dipantau: usia lebih dari 40 tahun,
postur motor unilateral / bilateral, dan tekanan sistolik di bawah
90 mmHg. Pasien dengan nilai GCS lebih tinggi dari 8 mungkin
mendapat manfaat dari pemantauan TIK jika pemindaian CT
menunjukkan lesi atau massa perawatan yang signifikan untuk
cidera terkait. 25
Ventrikulostomy ditambah dengan transduser tekanan
tetap menjadi "standar emas" untuk memantau TIK karena akurasi
dan kemudahan kalibrasi. Akses ke CSS untuk pengujian dan
pengeringan dinamis untuk mengendalikan TIK merupakan
keuntungan tambahan. Kekurangannya adalah penempatan kateter
bisa sulit bila ventrikelnya kecil atau bergeser dari garis tengah
dan risiko infeksi meningkat pada ventriculostomies setelah 5
hari, walaupun risiko ini dapat dikurangi dengan tunneling kateter
di bawah kulit. Perkiraan saat ini berhubungan dengan
pemantauan intraventrikular didapati kurang dari 2% untuk
komplikasi hemoragik dan kurang dari 10% untuk komplikasi

58
infeksi. Secara profilaktik mengubah kateter pada interval reguler
tampaknya tidak mengurangi tingkat infeksi. Monitor paru-paru ,
di sisi lain, memiliki tingkat komplikasi infeksi kurang dari 1% . 25
Metode pemantauan TIK alternatif dapat ilakukan dengan
pemasangan screw transducer, kateter subdural, transduser
epidural, dan mikrotransduser serat optik. Screw transducer dan
transduser epidural, walaupun kurang invasif, secara teoritis
rentan terhadap ketidakakuratan karena karakteristik fisiknya.
Kateter kateter fiberoptik tidak dapat dikalibrasi ulang secara
eksternal. Namun, ketepatan dalam praktiknya terbukti sangat
baik, mudah dikenali, dan tingkat komplikasinya rendah karena
ukurannya yang kecil dan kurangnya kopling cairan. Semua
pemantauan yang bersifat intraparenchymal sangat rentan
terhadap ketidakakuratan regional, tergantung pada penempatan
mereka terkait lokasi lesi, mengingat TIK yang tinggi mungkin
bersifat regional. Pilihan metode pengukuran harus didasarkan
pada presentasi pasien dan perawatan yang direncanakan. Tidak
ada tingkat referensi yang ditetapkan untuk penggunaan
transduser di ICU, walaupun perangkat biasanya memusatkan
perhatian pada posisi foramen Monro. 26

Fisiologi Terapi Intrakranial Hipertensi


Tidak ada kesepakatan yang seragam tentang tingkat kritis TIK.
Saul dan Ducker membandingkan manfaat pengobatan TIK di atas
15 mmHg dengan 25 mmHg. Marmarou dan rekan meneliti data
dari 428 pasien dan menghitung ambang batas TIK yang paling
prediktif dari hasil 6 bulan dengan menggunakan analisis regresi
logistik. Ambang batas yang berkorelasi paling baik adalah 20
mmHg, dan ini adalah level saat ini yang digunakan untuk
memulai perawatan. Pendapat saat ini menganggap TPS sebagai
variabel penting kedua yang harus dipertimbangkan bersama
dengan TIK, walaupun target ideal untuk TIK tetap kontroversial.
18

59
Logikanya, terapi terbaik untuk ICH adalah resolusi
penyebab tekanan yang meningkat. Namun, bila tidak
memungkinkan, manipulasi sistem dengan cara lain bisa
menurunkan TIK. Tidak ada satu terapi atau rangkaian terapi yang
sesuai untuk semua kasus TIK yang meningkat, dan strategi
pengobatan harus terus dievaluasi ulang dengan adanya keadaan
patologis yang berubah secara dinamis. 18
Persamaan berikut, yang sebelumnya telah disajikan,
memberikan kerangka konseptual untuk mempertimbangkan
komponen volume intrakranial yang bertanggung jawab atas
situasi TIK dan memungkinkan perawatan diarahkan secara
terfokus (Tabel 2-2):
VCSS + V Darah + V Otak + V Lain = Volume Ruang
Intrakranial
Masing-masing komponen dibahas secara terpisah disini.

Volume CSS
Tatalaksana penumpukan volume CSS dapat bersifat mekanis.
Ketika penyumbatan jalur CSS oleh tumor atau massa lainnya
menyebabkan hydrocephalus, maka akan dilakukan upaya, untuk
mengobati penyumbatan dengan membuka jalur CSS. Bila
hydrocephalus menyebabkan ICH dan etiologinya tidak dapat
dimusnahkan, akan dilakukan pemeriksaan CSS secara permanen
atau sementara. 26
Jika pengalihan CSS diperlukan, ada pilihan yang
memungkinkan dilakukannya drainase eksternal
(ventrikulostomy), drainase internal sementara
(ventriculosubgaleal shunt), atau drainase internal permanen
(ventriculoperitoneal / atrial / pleura shunt atau ven¬triculostomy
ventrikel ketiga). Ventrikulostomi eksternal memiliki nilai sebagai
metode untuk mengukur dan mengendalikan TIK, dan teknik ini
dapat sangat membantu dalam keputusan apakah prosedur
drainase internal permanen akan bermanfaat. Dapat dilakukan satu

60
pendekatan dengan drainase CSS menggunakan resistensi
minimal sejak dini, dengan elevasi rata-rata ruang tetesan ke
tingkat yang sepadan dengan TIK fisiologis. Tekanan dipantau
terus menerus, dan CSS diperbolehkan untuk lolos saat ambang
batas tingkat TIK terlampaui. Kegunaan TIK normal dan volume
minimal drainase CSS biasanya menunjukkan bahwa
shunt/pintasan permanen tidak diperlukan. 22
Ventrikulosubgaleal shunt (VSGS) adalah metode tertutup
untuk pengalihan CSS secara berlanjut. Ini melibatkan
penempatan kateter ventrikel yang menempel pada reservoir
(dengan atau tanpa mekanisme katup) dengan lengan pendek
membuka ke ruang subgaleal. VSGS mengembangkan
dekompresi ventrikel kontinu selama beberapa minggu sampai
bulan tanpa kebutuhan akan aspirasi perkutan dari reservoir. 22
Pengalihan internal CSS permanen oleh shunt
ventriculoperitoneal (VP) diakibatkan oleh serangkaian indikasi,
pertimbangan teknis, dan risiko. Ventrikulostomy ventrikel tiga
menggunakan teknik endoscopy dapat efektif di dalam kondisi
klinis yang tepat. Ini memiliki keuntungan untuk menghindari
risiko inheren dari perangkat keras implan. Secara mekanis,
ventrikulostomy ventrikel tiga mencoba untuk membangun
kembali aliran CSS oleh karenanya tidak memerlukan pintasan.
Namun, jalur yang telah dibuka ini bisa membentuk scar dan
menutup, mengakibatkan kegagalan bedah. 22
Bila metode mekanisme pengalihan CSS tidak
memungkinkan atau tidak diinginkan, maka dapat dilakukan
terapi tambahan dengan obat-obatan seperti asetaminolamida,
furosemid, dan kortikosteroid yang bertujuan menurunkan
produksi CSS secara sementara. Acetazolamide, yang
menghambat produksi LCS yang dimediasi anhidrase, digunakan
paling banyak, terutama pada ICH. Mengurangi produksi CSS
sebesar 16% sampai 66%. Sinergi pengobatan telah dilaporkan
pada asetazolamida digabungkan dengan furosaide.

61
Acetazolamide, bagaimanapun, juga memiliki efek vasodilator
serebral, yang dapat memperburuk ICH secara sementara, dan
karenanya. Penggunaannya harus dikoordinasikan bilamana risiko
efek ini sangat tinggi, seperti pada cidera kepala tertutup. 22

Volume Darah
Peran volume darah dalam patologi TIK lebih rumit dibandingkan
CSS. Kelebihan jumlah darah intrakranial (hiperemia) dapat
secara jelas berkontribusi terhadap penurunan kepatuhan dan
peningkatan TIK. Dapat menjadi penyebab ICH dengan
penurunan volume darah dan pada gilirannya dapat menyebabkan
iskemia dan edema otak. Tidak ada nilai CBV atau CBF mutlak
yang normal; Parameter ini ditentukan oleh aktivitas metabolik
otak itu sendiri. Misalnya CBF rata-rata pada subjek normal,
53mL/100g per menit, dapat dianggap hiperemik pada otak
anestesi atau iskemik di sebagian otak dengan kebutuhan
metabolik yang tinggi. 24
Secara umum sebagian besar CBV berada didalam
pembuluh dan vena pial, namun arteriol precapillary
mengendalikan CBF. Hubungan antara berbagai faktor yang
mencerminkan status CBF sangat kompleks dan bervariasi
tergantung pada waktu pengukuran, patologi yang mendasarinya,
ada atau tidak adanya hipoksia atau iskemia, tekanan darah
sistemik, TIK, tingkat metabolisme serebral, dan tingkat analisa
gas darah arterial. 24
Ekstrem CBF, baik yang rendah maupun tinggi, telah
terlihat pada pasien dengan hasil buruk setelah cidera kepala.
Pengukuran CBF dilakukan dalam waktu 6 jam setelah trauma
kepala berat (skor GCS <8) mengalami penurunan (22,5 ± 5,2 mL
/ l00 g / menit) dan berkorelasi dengan skor GCS dan hasil
akhirnya. Temuan ini lebih sering terjadi pada pasien dengan
cidera diffuse bilateral dibandingkan pada pasien dengan lesi
massa, yang cenderung memiliki CBF global yang lebih tinggi di

62
bagian lesi massa. Antara 45% dan 65% korban luka kepala
menunjukkan hiperemia dalam 12 sampai 24 jam setelah cidera.
Peningkatan CBF diduga disertai dengan peningkatan CBV, yang
dapat menyebabkan ICH. Peningkatan CBF dan CBV juga terlihat
pada ensefalopati akut dari sindroma Reye. Jelas iskemia dan
hiperemia bukanlah fenomena konstan, namun sebaliknya,
berubah secara dinamis di bawah pengaruh beberapa faktor.
Umumnya, CBF cenderung stabil 36 sampai 48 jam setelah
cidera. 24
Keterkaitan faktor-faktor yang mempengaruhi VBLOOD
ini membuat perlakuan rasional menjadi sulit. Hubungan antara
CBF, tingkat metabolisme serebral oksigen, perbedaan oksigen
arteriovenosa, dan parameter klinis (TIK, skor GCS, dan outcome)
lebih mudah didokumentasikan dengan analisis multivariat
dibandingkan bila dijelaskan dalam hal penyebab dan efek
fisiologis. Secara umum, TIK meningkatkan perbedaan oksigen
arteriovenosa disebabkan karena penurunan PO2 vena oleh karena
ekstraksi oksigen yang lebih besar. CBV meningkat dengan
vasodilatasi sebagai respons terhadap penurunan TPS, atau
kenaikan pada PaCO2. Oleh karena itu, hiperventilasi mengurangi
volume darah intrakranial total karena vasokonstriksi hypocapnic
memindahkan darah dari sirkulasi pial ke pembuluh darah dan
sinus. Penurunan tingkat metabolisme otak serebral terlihat
setelah trauma, namun penurunan ini mungkin tidak
mencerminkan kebutuhan energi otak yang cidera. Beberapa
penulis telah menghubungkan penurunan ini dengan
ketidakmampuan mitokondria atau defisiensi enzimatik yang
membuat neuron dapat digunakan untuk memanfaatkan oksigen. 24
Memahami peran CBF dan CBV dalam situasi
peningkatan TIK terhalang oleh kesulitan dalam mengukur CBF.
CBF yang diperoleh dengan metode Kety-Schmidt mencakup
white matter namun tidak memiliki informasi anatomis. CBF
regional yang ditandai dengan metode inhalasi xenon (Xe)

63
sebagian besar mengabaikan kontribusi white matter, dan daerah
fokus iskemia dapat dilewatkan jika dikelilingi oleh zona aliran
yang relatif tinggi. Pengukuran perfusi serebral berbasis MRI
dapat menghasilkan informasi anatomi yang akurat. Namun akan
menyebabkan penundaan waktu tatalaksana pasien dan belum lagi
kurangnya ketersediaan alat MRI ini. Penggunaan MRI, dapat
menunjukkan variasi parameter CBF yang hebat setelah cidera,
termasuk variasi anatomi yang luas dalam satu hemisfer otak.
Masalah selanjutnya berkaitan dengan kepekaan diferensial pada
struktur otak. Misalnya pada hippocampus penggunaannya sangat
sensitive. 24
Demikian juga tetap sensitif terhadap iskemia walaupun
ringan sekalipun. Sementara CBF yang berkurang di batang otak
tidak berkorelasi dengan perkiraan penurunan klinis fungsi batang
otak. 24
Meskipun setiap upaya harus dilakukan untuk mencegah
iskemia serebral sebagai akibat ICH, pengobatan hiperemia atau
peningkatan CBV dapat membahayakan sampai diketahui lebih
banyak tentang proses patofisiologis ini. Namun, beberapa
keberhasilan tatalaksana telah dilaporkan dengan terapi
mengurangi CBV. Metode paling ampuh untuk mengurangi
volume darah adalah hiperventilasi dan elevasi kepala.
Hiperventilasi menyebabkan kontraksi pembuluh pial ketika
pembuluh darah menahan reaktivitas CO2. Kehilangan reaktivitas
CO2 yang berkepanjangan dianggap sebagai tanda bahaya.Pada
orang dewasa, perubahan 1-torr di PaCO2 dikaitkan dengan
perubahan CBF 3%.24
Demikian pula efeknya pada ritme serebrovaskular,
hiperventilasi menginduksi alkalosis jaringan, yang dapat
menyangga asidosis intraselular dan CSS yang terlihat setelah
cidera kepala parah. Namun manfaat hiperventilasi mungkin
berumur pendek, dan pada tingkat yang lebih tinggi dapat
menyebabkan vasokonstriksi yang menghasilkan iskemia serebral.

64
Percobaan prospektif yang dilakukan pada pasien trauma kepala
menunjukkan bahwa hiperventilasi pada nilai PaCO2 25 ± 2 pada
pasien dengan skor respons motorik Glasgow sebesar 4 atau 5
menghasilkan Glasgow skor yang lebih buruk daripada kontrol
secara signifikan, pada 6 bulan pasca trauma kepala.
Konsekuensinya hanya hiperventilasi ringan atau sedang yang
digunakan (30 sampai 35 mmHg), yang diperkirakan cukup untuk
menghindari efek iskemik. 24
Beberapa penulis telah mengemukakan konsep "inverse
steal" untuk menjelaskan beberapa efek merusak dari
hiperventilasi. Pada pasien dengan reaktivitas CO2 utuh atau
supersensitif, hypocapnia dapat menyebabkan shunting darah dari
resistansi tinggi, pembuluh yang terbatas pada pembuluh
resistansi rendah, pembuluh darah melebar yang telah kehilangan
respons CO2. Bagian otak yang mengalami kerusakan parah
memiliki permintaan oksigen rendah, sehingga hiperventilasi
cenderung untuk mendistribusikan ulang darah beroksigen dari
jaringan yang layak ke jaringan yang rusak. Bila hiperventilasi
dihentikan, sebaiknya secara bertahap dalam waktu 24 sampai 48
jam. Penghentian yang tiba-tiba dapat menyebabkan vasodilatasi
karena pH ekstraselular turun, dan menyebabkan elevasi TIK. 24
Ketinggian kepala sampai 30 derajat akan menurunkan
TIK dengan memfasilitasi drainase vena yang adekuat dan
demikian pula drainase CSS. Tingkat elevasi ini tidak mengubah
TPS. Feldman dan rekan kerja menunjukkan efek menguntungkan
dari elevasi kepala pada TIK secara klinis. Dalam penelitian ini,
TPS dan CBF tampak tidak terpengaruh oleh posisi kepala sampai
kepala diangkat sampai 60 derajat. Rotasi kepala atau fleksi leher
juga dapat mengganggu aliran vena jugularis dan menaikkan TIK.
Oleh karena itu, usaha harus dilakukan agar kepala tetap dalam
posisi netral. 24
Mekanisme dimana CBV dapat diturunkan adalah
pengurangan TPS. Prinsip ini, ditambah dengan pengurangan

65
kekuatan hidrostatik di bagian kapiler yang rusak, mendasari
protokol Lund untuk tatalaksana peningkatan TIK, dengan
menganjurkan mengurangi TPS, vasokonstriksi pra-kapiler
dengan dihydroergotamine, dan pemeliharaan osmolaritas plasma
dengan infus albumin. Selanjutnya penggunaan dihidroergotamin.
Uji coba klinis awal dari pendekatan ini menghasilkan hasil yang
tidak lebih buruk daripada teknik konvensional lainnya, namun
sama baiknya, tidak ada uji coba yang tepat sampai saat ini yang
menunjukkan keunggulan klinisnya. Satu tinjauan
mengidentifikasi sepuluh studi yang meneliti hasilnya dengan
menggunakan protokol Lund, dan dalam membandingkan hasil ini
dengan penelitian lain dalam cidera otak traumatis, para peneliti
menyimpulkan bahwa protokol Lund cenderung lebih baik. 24
Protokol ini kontras dengan prinsip umum pengelolaan
TPS dan dengan rekomendasi dari Brain Trauma Foundation,
yang melibatkan perawatan atau peningkatan TPS. Diperkirakan
bahwa selain risiko iskemia, TPS rendah dapat merangsang
vasodilatasi arteriolar, menyebabkan peningkatan CBV dan TIK.
Teori yang berlawanan dengan konsep Lund berpendapat bahwa
dengan elevasi TPS dengan vasopressor, pembuluh darah
dirangsang oleh mekanisme pengatur tekanan terhadap
vasokonstriksi, akibatnya mengurangi CBV dan TIK. Argumen ini
nampaknya hanya berlaku bila mekanisme yang mempertahankan
tekanan tetap berjalan baik. Rosner juga mengusulkan bahwa
dalam kasus di mana terjadi gangguan autoregulasi, mekanisme
tidak hilang, namun kurva digeser ke kanan (lihat Gambar 2-7).
Vasopressor memanipulasi pembuluh darah kembali pada keadaan
di mana ia dapat melakukan autoregulasi. Jika argumen ini benar,
tantangan sebenarnya adalah membedakan otak mana yang akan
mendapatkan manfaat dari jenis terapi ini.24

66
Volume Otak
Komponen ketiga TIK adalah volume yang ditempati oleh
jaringan otak. Peningkatan dalam volume otak paling sering
terjadi akibat edema serebral, yang merupakan reaksi nonspesifik
terhadap berbagai proses. Secara konseptual, pengobatan
peningkatan TIK karena edema otak diarahkan untuk
menghilangkan penyebab edema, mengendalikan perambatannya,
dan meningkatkan clearance. Edema telah dibagi menjadi jenis
sitotoksik dan vasogenik. Jenis edema pada cidera otak traumatis
masih diperdebatkan, walaupun ada bukti yang mendukung edema
sitotoksik. Studi lanjutan menunjukkan bahwa pembentukan
edema dapat terjadi sepanjang spektrum proses vasogenik dan
sitotoksik, di mana gangguan BBB memungkinkan proses
sitotoksik primer. Upaya menurunkan pembentukan edema
vasogenik meliputi pencegahan hipertensi serebrovaskular dan
pilihan resusitasi cairan yang tepat. 28
Sangat dibutuhkan pengendalian sistemik dan hipertensi
serebrovaskular bila ditemukan ICH atau bila autoregulasi
serebral terganggu. Tekanan darah yang meningkat dapat
meningkatkan pembentukan edema vasogenik dan meningkatkan
CBV, hingga meningkatkan TIK. Sangat berhati-hati dalam
menentukan pilihan obat antihipertensi pada pasien dengan
peningkatan TIK mungkin penting, karena banyak senyawa
vasoaktif memiliki efek lain pada fisiologi serebral. Sebagai
contoh, karena menurunkan kebutuhan jantung dan kadar
epinephrinine dan norepinephrine serum, propranolol telah
terbukti lebih unggul dari hidralazine untuk mengendalikan
hipertensi pada pasien trauma kepala.32
Pilihan resusitasi cairan pada pasien yang cidera kepala
sangat menentukan keberhasilan terapi. Sekitar 10% sampai 15%
pasien yang mengalami cidera kepala mengalami hipotensi karena
cidera itu sendiri atau cidera yang terkait. Koreksi kejutan agresif
akan meningkatkan kelangsungan hidup dan hasil klinis, namun

67
osmolalitas darah akan memiliki implikasi yang penting bagi TIK.
Penggunaan solusi hipotonik berpotensi memperburuk edema
serebral, dan solusi hipertonik telah dianjurkan sebagai terapi
yang dapat menurunkan peningkatan TIK. Secara umum bolus
dosis garam hipertonik sangat bermanfaat; Namun, terapi
penggantian cairan yang terus-menerus dengan larutan garam
hipertonik terbukti bermanfaat sekaligus merugikan TIK dalam
penelitian yang berbeda. Penggunaan albumin tidak
direkomendasikan pada cidera otak traumatis karena memiliki
hasil yang buruk. 22
Dalam kasus cidera sitotoksik, upaya menurunkan edema
otak pada koreksi etiologi fungsi sel yang tidak teratur. Dengan
toksin, ini akan melibatkan perawatan yang diarahkan pada agen
penyebab. Bila anoksia atau iskemia adalah penyebabnya, pada
masa akut, tindakan oksigenasi dapat pembalikannya dapat
membawa perbaikan.26
Barbiturat efektif dalam mengurangi TIK, namun dalam
banyak penelitian, belum dapat menunjukkan perbaikian hasil.
Penggunaan barbiturat tanpa efek samping menyebabkan kontrol
yang lebih mudah. Mengingat risiko dosis tinggi, maka ini
aplikasi paling tepat untuk pasien yang tindakan pengendalian
TIK konvensionalnya telah gagal. Bolus pentobarbital (5 sampai
10 mg / kg) diberikan lebih dari 30 menit diikuti infus perawatan
per jam 1 sampai 5 mg / kg untuk mencapai konsentrasi serum 3,5
sampai 4,5 mg / 100 mL144 atau 10 sampai 20 detik. Meskipun
mempertahankan volume darah normal dan curah jantung,
hipotensi terjadi pada 50% kasus dan mungkin karena penurunan
resistensi vaskular perifer. Komplikasi potensial terkait dengan
barbiturat dosis tinggi adalah hiponatremia, pneumonia, dan
depresi jantung. 26
Barbiturat berguna dalam berbagai situasi karena
menurunkan tingkat metabolisme otak, sehingga memungkinkan
toleransi terhadap tingkat iskemia / anoksia yang tidak dapat

68
diterima pada tingkat sel. Toleransi ini pada gilirannya dapat
menurunkan permintaan aliran darah otak, yang oleh karenanya
cenderung menurunkan CBV dan selanjutnya TIK. 26
Barbiturat bersifat antikonvulsan, namun tidak secara rutin
digunakan untuk profilaksis kejang. Obat antikonvulsan
profilaksis lainnya, bagaimanapun, seperti fenitoin dan
levetiracetam, harus diberikan. Kejadian kejang setelah trauma
kepala adalah 4% sampai 25%, dan setelah luka tembus adalah
50% . Kejang dapat meningkatkan TIK melalui beberapa cara,
termasuk peningkatan permintaan metabolik, manuver Valsava,
dan pelepasan eksitotoksin. Pencegahan kejang secara tidak
langsung dapat mengobati TIK. 26
Steroid adalah nilai yang tidak perlu dipertanyakan lagi
dalam pengobatan edema menyeluruh di berbagai setting klinis,
yang paling umum dengan tumor otak. Namun, tidak ada manfaat
pasti yang ditunjukkan saat mereka digunakan pada pasien dengan
cidera kepala. Cara kerja steroid pada tumor otak tidak jelas,
walaupun efek dramatis pada kedua fungsi edemadan pasien dapat
dilihat. Kortikosteroid telah terbukti memiliki efek luas pada
hidrolisis lipid membran dan peroksidasi, proses yang dianggap
penting untuk pengembangan cidera. Penggunaan steroid pada
perdarahan subaraknoid tidak memiliki manfaat yang terbukti,
namun vasospasme yang ditunjukkan secara angiografi dapat
dikurangi. Steroid memperburuk hasil pada iskemia serebral, baik
dengan toksisitas glukokortikoid langsung atau sebagai
konsekuensi peningkatan kadar glukosa serum, yang
memperburuk asidosis laktat iskemik. 37
Akhirnya, volume otak dapat dikurangi dengan
meningkatkan tingkat clear edema. Baik diuretik osmotik maupun
loop diuretik banyak digunakan dan dapat mengobati edema
vasogenik dan edema sitotoksik. Agen osmotik meningkatkan
osmolalitas serum dan menciptakan gradien osmotik antara serum
dan otak. Efek ini menarik air bebas dari otak ke dalam

69
kompartemen intravaskular di sepanjang gradien osmotik. Sebuah
proses yang dianggap baik mencegah pembentukan edema dan
kecepatan pembersihan. Namun, agen osmotik meningkatkan
aliran darah otak secara independen dalam pengaruhnya terhadap
TIK, sehingga penggunaannya pada hiperemia dan peningkatan
CBV dikontraindikasikan. 37
Obat yang paling sering digunakan untuk meningkatkan
osmolalitas intravaskular adalah manitol, urea, dan gliserol.
Mannitol (20% solution) merupakan agen pilihan. Agen ini
memiliki efek yang cepat pada TIK, oleh karena itu dianggap
bahwa mekanismenya melibatkan pengaruhnya terhadap
karakteristik rheologi darah. Mannitol meningkatkan volume
plasma dan menurunkan hematokrit dan menurunkan viskositas
darah, efek yang dapat menyebabkan vasokonstriksi dan
penurunan TIK. 36
Mannitol (0,25 sampai 1,0 g / kg) dapat diberikan sebagai
bolus berulang atau sebagai infus kontinyu. Komplikasi
penggunaannya dalam terapi osmotik adalah dehidrasi,
ketidakseimbangan elektrolit, dan dengan hipermosmolaritas
ekstrim, gagal ginjal. Penggantian cairan ditujukan pada
preserving isovolemia sambil meningkatkan osmolalitas serum.
Osmolalitas tidak boleh melebihi 320 mOsm / kg karena tubulus
ginjal mudah dilukai, terutama jika obat nefrotoksik lainnya
digunakan secara bersamaan. Pemeliharaan kadar mannitol serum
tinggi dapat menyebabkan penetrasi manitol ke otak yang cidera,
terutama di daerah kekurangan BBB. Dalam kasus ini osmolalitas
jaringan otak cenderung menarik air ke dalam jaringan dan
memperburuk edema. 36
Mannitol digunakan lebih sering daripada urea dan gliserol
karena konsentrasi plasma dan otak cenderung menyeimbangkan
lebih cepat dengan urea dan gliserol dibandingkan dengan
manitol. Gliserol juga dapat menyebabkan hemolisis dan gagal
ginjal saat diberikan secara khusus. Gliserol dimetabolisme,

70
hiperosmolalitas berlangsung singkat dibandingkan dengan
manitol. Dalam satu studi membandingkan manitol dan gliserol,
gliserol kurang efektif dalam mengurangi TIK. Diuretik loop
seperti furosemid dan etakrilat dapat digunakan bersamaan dengan
manitol untuk mengendalikan TIK yang terkait dengan edema.
Furosemida bekerja secara sinergis dengan manitol untuk
menghilangkan air bebas dan paling tepat pada pasien dengan
kelebihan cairan. Penambahan furosemid meningkatkan
kemungkinan dehidrasi dan hilangnya potassium. Meskipun
furosemide menurunkan produksi cairan serebrospinal, efek ini
mungkin tidak memberikan kontribusi yang besar terhadap
penurunan TIK dalam keadaan akut. 36
Pendekatan lain untuk membatasi pembentukan edema
adalah hipotermia terapeutik. Hipotermia pertama kali dilaporkan
sebagai pengobatan untuk cidera otak pada pertengahan abad ke-
20. Laporan selanjutnya menunjukkan adanya efek yang baik
dalam menurunkan TIK. Penggunaan hipotermia pada
sekelompok pasien yang mengalami luka parah dengan refrakter
ICH terhadap pengobatan lain, termasuk barbiturat, telah terbukti
mengurangi TIK. Penggunaan hipotermia untuk mengurangi TIK
juga telah terbukti memperbaiki hasil luaran pasien pada 3 dan 6
bulan setelah cidera. Kemampuan hipotermia untuk menurunkan
TIK mungkin berhubungan dengan depresi metabolik serebral,
seperti barbiturat, ditambah dengan melambatnya kejadian seluler
yang merugikan (misalnya peroksidasi lipid). Sejumlah besar
studi telah mengkonfirmasi efek fisiologis yang menguntungkan
dan efek neuroprotektif hipotermia. 41
Namun, terlepas dari hasil yang menjanjikan ini, uji klinis
sampai saat ini belum menunjukkan efek menguntungkan ini.
Studi Cidera Otak Nasional: Hipotermia (NABIS: H), sebuah
penelitian acak besar terhadap 392 pasien, tidak menunjukkan
adanya manfaat akibat hipotermia setelah cidera otak traumatis.
Ada kecenderungan penurunan TIK dengan hipotermia tapi

71
didapati tingkat komplikasi yang lebih tinggi lainnya. Hipotermia
meningkatkan risiko infeksi, gangguan elektrolit, gangguan
pembekuan darah, aritmia jantung, dan depresi fungsi miokard.
Dua alasan yang diajukan menyangkut tidak adanya manfaat
klinis adalah waktu terjadinya hipotermia dan usia pasien yang
tua. Percobaan kedua, NABIS: H II, dirancang untuk memulai
hipotermia segera setelah cidera dan pada kelompok usia yang
lebih muda, namun tetap belum menunjukkan efek yang
signifikan dengan pasien yang terdaftar dalam. Analisis
subkelompok lebih lanjut menunjukkan signifikansi. Manfaat
hipotermia pada lesi massa yang dievakuasi dibandingkan dengan
cidera yang diffuse. Oleh karena itu, uji klinis sampai saat ini telah
terhambat oleh heterogenitas cidera traumatis dan mekanisme
pembengkakan. Penelitian lanjutan harus mencakup penilaian
yang lebih rinci mengenai indikasi terbaik penggunaan
hypothermia. Hingga saat ini didapati beberapa uji klinis yang
sedang berlangsung yang mengevaluasi hipotermia pada cidera
otak traumatis. 34

Volume Lainnya
Pengobatan volume lain yang paling efektif adalah tindakan
bedah. Bila terjadi, massa abnormal (mis., Tumor, abses, atau
hematomaa) yang bertanggung jawab atas ICH, pertimbangan
harus diberikan untuk mengevakuasi massa tersebut secara aman.
Semua terapi harus dipertimbangkan secara seksama dan
mendukung dalam kasus ini. 33
Hal ini berguna untuk mempertimbangkan beberapa kasus
di mana tengkorak membatasi perluasan otak. Contohnya
termasuk kraniosinstosis multisutural, sindrom slit ventrikel, dan
fraktur tengkorak yang tertekan besar. Keseluruhan doktrin
Monro-Kellie didasarkan pada konsep ruang intrakranial rigid.
Pengurangan ukuran ruang ini juga mempengaruhi hubungan
volume dan tekanan intrakranial. Sama halnya, perluasan ruang

72
secara teoritis dapat memberikan peningkatan volume, yang pada
gilirannya akan menurunkan tekanan. Ini adalah dasar
penggunaan kraniektomi dekompresi sebagai pengobatan untuk
menurunkan TIK. Namun, uji klinis sangat beragam dalam
melaporkan manfaatnya untuk teknik ini. Uji coba DECRA
(Decompressive Craniotomy) yang acak dengan menggunakan
kraniektomi dekompresi pada 155 pasien untuk mengobati TIK
menunjukkan kemampuan untuk mengurangi TIK dan lamanya
rawatan ICU , tapi tidak ada peningkatan kualitas manfaat hidup.26

73
BAB III
KLASIFIKASI CIDERA KEPALA

3.1 Klasifikasi Cidera Kepala


Pada dekade 60an para ahli bedah saraf percaya bahwa dengan
mengangkat fragmen tulang yang menekan dan mengevakuasi
hematomaa dapat mempengaruhi outcome setelah cidera kepala.
Namun menjadi tantangan para ahli bedah saraf bagaimana
menilai terjadi peningkatan tekanan intrakranial atau hematoma
intrakranial bertambah selama perawatan. Ini menjadi perhatian
Jennett dan Teasdale tahun 1974 untuk membuat Glasgow Coma
Scale. Awalnya hanya digunakan untuk menilai pasien-pasien
yang mengalami koma, kemudian berkembang menjadi sering
digunakan untuk menilai cidera kepala.52
Klasifikasi cidera otak dibagi berdasarkan tingkat
kesadaran dan gambaran luka-luka yang diderita. Untuk kondisi
klinis dan tingkat kesadaran yang umumnya dipakai adalah
dengan Glasgow Coma Scale (GCS). Diadopsi untuk menilai
tingkat keparahan klinis cidera kepala dan patologi lainnya yang
mengganggu kesadaran. GCS memainkan peran penting dalam
mengkategorikan tingkat keparahan cidera, menentukan standar
status neurologis klinis, hingga mendeteksi kerusakan neurologis.
Perlu dicatat, bahwa kegunaan GCS mulai terbatas dengan terapi
modern. Sebagai contoh, sebagian besar pasien yang datang ke
rumah sakit dengan ambulans tidak respon karena sedasi dan
blokade neuromuskular; Pada pasien ini, skor yang akurat tidak
dapat ditentukan sampai efek farmakologisnya telah selesai atau
habis dimetabolisme. Hal serupa dihadapi selama tatalaksana unit

74
perawatan intensif (ICU) karena banyak terapi menurunkan TIK
membuat pasien harus memakai sedasi. Selanjutnya, intubasi dan
pembengkakan orbital dapat secara signifikan mengganggu
penilaian skor mata dan skor verbal. Dalam sebuah studi oleh
Gale dan kawan-kawan, 50% pasien tidak dapat diberi nilai GCS
yang akurat karena variabel pengganggu ini. Skala alternatif untuk
menilai kondisi klinis adalah skala keparahan cidera kepala, tetapi
menghadapi tantangan yang sama karena sebagian besar
didasarkan pada skor GCS.53

Tabel 3.1 Skala keparahan cidera kepala


Kategori cidera Skor GCS
Minimal GCS 15, tidak ada penurunan
kesadaran atau amnesia
Ringan GCS 14-15, penurunan kesadaran < 5
menit, amnesia
Sedang GCS 9-13 penurunan kesadaran ≥ 5
menit atau disertai defisit neurologis
Berat GCS 5-8
Kritis GCS 3-4
Dari Stein S. Clasiffication of Head Injury. Neurotrauma. New
York: McGraw-Hill; 1996: 31-41.

Tabel 3.2 Glasgow coma scale


Jenis Pemeriksaan Nilai
Respon buka mata (Eye
Opening) 4
Spontan 3
Terhadap suara 2
Terhadap nyeri 1
Tidak ada respon
Respon motorik
Ikut perintah 6

75
Jenis Pemeriksaan Nilai
Melokalisir nyeri 5
Menarik anggota tubuh yang 4
diberikan rangsang nyeri
Fleksi abnormal (dekortikasi) 3
Ekstensi abnormal (deserebrasi) 2
Tidak ada respon 1
Respon verbal
Berorientasi baik 5
Berbicara bingung atau kacau 4
Kata-kata tidak teratur 3
Suara tidak jelas 2
Tidak ada respon 1

Ada juga klasifikasi berdasarkan difus atau fokal cidera


kepala yang dialami. Tergolong difus adalah konkusi, diffuse
axonal injury, edema otak berat. Sedangkan yang fokal adalah
contusio dan hematomaa.
Kontusio dapat ditandai dengan mekanisme, lokasi
anatomis, atau luka yang berdekatan. Misalnya, kontusio fraktur
akibat cidera kontak langsung dan terjadi segera. Kontusio coup
adalah cidera yang timbul langsung di tempat benturan dan tidak
adanya patah tulang, sedangkan counter coup adalah cidera akibat
dari benturan dari sisi yang berlawanan. Kontusio biasanya
menghasilkan berbagai tingkat defisit neurologis tergantung pada
area yang terlibat. Kontusio dapat menyebabkan efek massa yang
signifikan karena edema di sekitarnya atau perkembangan
hemoragik menjadi hematomaa intraserebral. Kontusi juga
mewakili sumber cidera kepala sekunder ke jaringan yang
berdekatan melalui pelepasan neurotransmiter dan perubahan
biokimia lokal. Adams dan rekannya mengusulkan sebuah metode
untuk mengkuantifikasi kontusio serebral (indeks kontusio) yang
disebabkan oleh cidera kepala Mereka menemukan bahwa

76
kontusio paling parah di lobus frontal maupun temporal dan tidak
secara konsisten berkorelasi dengan mekanisme cidera. Kontusio
yang lebih parah bila dikaitkan dengan patah tulang tengkorak,
diffuse axonal injury.
Untuk jenis hematoma terdapat epidural hematoma,
subdural hematomaa, dan intracerebral hematomaa.
Klasifikasi lainnya berdasarkan temuan dari CT Scan
kepala, yaitu Marshall Score dan Rotterdam Score.

Tabel 3.3 Klasifikasi cidera kepala berdasarkan Marshall Score


Kategori Definisi
Diffuse injury I Tidak ditemukan kelainan
intrakranial
Diffuse injury II Sisterna masih terlihat dengan
midline shift 0-5 mm dan atau
tampak lesi dengan tidak
hiperdens atau lesi dengan
mixed density > 25 ml dapat
ditemukan fragmen tulang dan
benda asing
Diffuse injury III Sisterna terkompresi atau tidak
(pembengkakan) ada, dengan midline shift 0-5
mm
Diffuse injury IV Midline shift >5 mm
Lesi tidak hiperdens atau
mixed density >25 ml

Lesi masa telah dievakuasi Lesi bekas operasi


Lesi massa yang belum Lesi dengan hiperdens atau
dievakuasi mixed density > 25ml, belum
dievakuasi

77
Dari Marshall L, Bowers S, Klauber M. A new
clasiffication of head injury based on computerized tomography. J
Neurosurg. 1991; 75: 514-520.

Tabel 3.4 Rotterdam Score


Nilai prediktor Skor
Sisterna basalis
Normal 0
Terkompresi 1
Hilang 2
Midline shift
≤5 mm 0
>5 mm 1
Lesi massa epidural
Ada 0
Tidak ada 1
IVH atau traumatik SAH
Tidak ada 0
Ada 1
Skor ditambah +1
Total 1-6

Dari Hukkelhoven C, Marshall L, dkk. Prediction of


Outcome in traumatic brain injury with computed tomographic
characteristics; a comparison between the computed tomographic
clasiffication and combinations of computed tomographic
predictors. Neurosurgery. 2005; 57: 1173-1182.
Kemungkinan meninggal 6 bulan setelah cidera kepala
menurut skor Rotterdam:54
1 ≥ 0%
2 ≥ 7%
3 ≥ 16%
4 ≥ 26%

78
5 ≥ 53%
6 ≥ 61%
Penelitian dari Huang tahun 2012 menyatakan bahwa Skor
Rotterdam mempunyai hubungan yang signifikan dengan
kematian. Pasien dengan skor Rotterdam minimal satu
mempunyai risiko kematian tiga kali dibanding orang normal.55

79
BAB IV
CIDERA KEPALA

4.1 Epidural Hematomaa


Epidural hematoma (EDH) adalah perdarahan di ruang antara
duramater dengan kranium. Epi adalah bahasa Yunani yang
berarti di atas atau yang melapisi. EDH juga dapat berarti
extradura. EDH disebabkan adanya gangguan dari pembuluh
darah dura, yaitu cabang arteri meningea media, vena, sinus dura,
dan pembuluh darah kranium. Perdarahan yang terus menerus
menyebabkan tekanan intrakranial meningkat.
Epidural hematoma terjadi 10,6% dari semua cidera kepala
yang masuk ke rumah sakit. Paling sering terjadi di usia kurang
dari 50 tahun. Pada anak-anak EDH terjadi 1,96 kali lebih sering
terjadi ketika ada cidera kepala.56
Trauma adalah penyebab utama EDH. Trauma tumpul
paling sering menyebabkan EDH, seperti jatuh dari ketinggian,
dipukul benda tumpul, dan lainnya. Pada bayi baru lahir dapat
juga menimbulkan EDH, yaitu saat terjadi distosia, menggunakan
forcep saat persalinan, dan moulding kranium berlebihan saat
persalinan.57
Tidak seperti subdural hematomaa, kontusio cerebral, atau
diffuse axonal injury, EDH bukan karena akselerasi atau
pergerakan kepala. Tapi akibat langsung kerusakan struktur
pembuluh dura dan kranium dan biasanya terjadi fraktur kranium.
Laserasi arteri meningea media dan sinus dura adalah penyebab
tersering EDH.

80
Pada fossa posterior kerusakan pada sinus dura (sinus
transversus dan sigmoid) dapat menyebabkan EDH. Kerusakan
pada sinus sagitalis superior dapat menyebabkan EDH di vertex.
Penyumbang perdarahan pada EDH selain arteri, dapat berasal
dari vena diploe, granulasi arachnoid, dan sinus petrosus.58
Epidural di fossa posterior dapat menyebabkan trombus
pada sinus dengan kompresi dan pergeseran sinus. Ini menjadi
dilema karena terapi untuk trombus adalah antikoagulan, tapi di
satu sisi memperberat perdarahan epidural.59
Selain trauma EDH dapat juga disebabkan oleh infeksi di
kranium, malformasi vaskular dari duramater, dan metastasis ke
kranium. Spontan EDH juga dapat terjadi pada pasien koagulopati
dengan penyakit primer lainnya seperti penyakit liver kronis,
pecandu alkohol, gangguan pembekuan darah.
Gambaran klinis pasien EDH dapat terjadi laserasi kulit
kepala, cephal hematoma, dan yang khas adanya lucid interval.
Lucid interval terjadi 20-50% pasien dengan EDH. Awalnya
terjadi konkusi akibat cidera kepala menyebabkan perubahan
kesadaran. Setelah kesadaran kembali normal, EDH berkembang
terus hingga menyebabkan efek massa, meningkatkan tekanan
intrakranial, setelah itu kesadaran kembali turun.
Setelah tekanan intrakranial naik dapat terjadi cushing
triad, yaitu hipertensi, bradikardi, dan bradipnea. Ini terjadi
karena kompresi ke batang otak. Antihipertensi pada keadaan ini
menyebabkan iskemik cerebral. Jalan-jalan satu-satunya adalah
evakuasi hematoma.
Penilaian neurologis sangat penting untuk evaluasi, yang
dinilai adalah GCS. Karena GCS berkorelasi dengan outcome.
Regio tersering EDH adalah di regio temporal (70-80%)
karena tulang di regio terserbut relatif tipis dan arteri meningea
media dekat dengan bagian tersebut. Insiden EDH pada anak-anak
jarang di temporal karena arteri meningea media belum
membentuk alur di bawah tulang.

81
Untuk mendiagnosis EDH dapat dilakukan CT Scan
kepala, pada CT scan kepala akan didapatkan bentuk lensa atau
lentiform hyperdensity atau bikonveks. Seperti gambar di bawah
ini. Kemudian hematoma tidak melewati garis sutura.60

Gambar 4.1 Epidural hematoma berbentuk lensa dengan


ditemukan buble udara karena fraktur linear tulang
temporal.

82
Gambar 4.2 Epidural hematoma dengan bentuk konveks
disertai midline shift

Densitas parenkim tulang dan hematoma dapat berubah


seiring berjalannya waktu. Fase akut terjadi hiperdensitas dan
dapat menjadi isodensitas setelah 2-4 minggu, kemudian menjadi
hipodensitas. Jika ditemukan hipodensitas bisa karena perdarahan
sudah lama atau kadar hemoglobine pasien rendah. Pemeriksaan
berikutnya dilakukan MRI, lebih sensitif dibanding CT Scan, tapi
pemeriksaan MRI bukan untuk memperkuat penemuan CT Scan.

83
Gambar 4.3 Potongan MRI T2 menunjukkan hipointens
bikonveks ekstraaxial di regio temporal.

Pemeriksaan angiografi pada kasus EDH jarang dilakukan.


Dilakukan hanya untuk mencari sumber perdarahan saja. Lumbal
pungsi tidak boleh dilakukan pada kasus EDH karena
menyebabkan herniasi batang otak.60
Pemeriksaan laboratorium dapat dilakukan tapi buka untuk
mendiagnosis EDH, hanya untuk mencari faktor pemberat EDH
itu sendiri seperti pemeriksaan hemoglobine, faktor pembekuan,
INR dan elektrolit.
Ada tiga penelitian yang menytakan GCS lebih baik
sebagai prediktor outcome dibanding usia. Pasien EDH dengan
GCS 3-5 mempunyai risiko kematian 36% sedangkan pasien GCS
6-8 mempunyai risiko kematian hanya 9%. Pupil anisokor terjadi
hampir 20-30% pasien EDH dan 62% pasien koma. Satu
penelitian menyatakan bahwa midriasis ipsilateral pupil tidak

84
berhubungan dengan outcome buruk dan akan kembali jika
dioperasi segera dalam 70 menit setelah pupil dilatasi. Namun jika
terjadi dilatasi bilateral, ini berhubungan dengan mortalitas
tinggi.61
Dua pilihan dalam penatalaksanaan EDH, yaitu operasi
segera atau konservatif. Perlu dicatat bahwa EDH berkembang
lebih cepat dibanding subdural hematoma. Tidak semua EDH
harus segera dievakuasi, jika lesinya kecil dan pasien tidak ada
defisit neurologis. EDH pada temporal anterior berjalan perlahan
dan tidak mematikan sehingga cukup dengan evaluasi neurologis
berkala dan CT Scan berkala.62
Penelitian selama 5 tahun pada pasien EDH yang
ditatalaksana konservatif pada awal masuk, hanya 11,2% yang
membutuhkan operasi. Ditemukan juga bahwa usia muda dan
koagulopati bukan faktor signifikan yang membuat pasien harus
dioperasi setelah konservatif.63
Guidelines for the Surgical Management of Traumatic
Brain Injury merekomendasikan pasien EDH dengan perdarahan
kuran dari 30 cc, ketebalan kurang dari 15 mm, dan midline shift
kurang dari 5 mm, tanpa defisit neurologis, GCS lebih dari 8 dapat
dilakukan konservatif. Jika terjadi pupil anisokor dan defisit
neurologis indikasi dilakukan operasi.64
Lokasi EDH menentukan keputusan apakah dioperasi atau
tidak. Hematomaa temporal dapat menyebabkan herniasi uncal
dan dapat cepat menyebabkan perburukan. EDH pada fossa
posterior syarat evakuasi menjadi lebih mudah karena ruang di
infratentorial lebih kecil dibanding supratentorial.65 EDH pada
bagian posterior indikasi dioperasi jika ketebalan lebih dari 15
mm, volume lebih dari 10 cc, midline shift lebih dari 0,5 cm.66

85
Gambar 4.4 EDH fossa posterior membutuhkan observasi
ketat dan syarat dilakukan operasi lebih mudah karena
ruang yang lebih kecil di infratentorial

Burr hole eksplorasi dapat dilakukan berdasarkan klinis


pasien jika CT Scan tidak dapat dilakukan karena hemodinamik
tidak stabil. Burr hole juga dapat dilakukan pada kondisi pasien
menunggu dirujuk ke rumah sakit lebih lengkap. Namun
kraniotomi tetap menjadi standar dalam penanganan EDH.67
Angka kematian EDH 9,4-33%, rata-rata 10 %. Penelitian
menunjukkan tertunda operasi tidak mempengaruhi outcome jika
GCS dimasukan sebagai salah satu faktor. Pasien dengan pupil
anisokor lebih dari 70 menit mempunyai outcome yang buruk.
Penelitian lain mengatakan jika pasien mengalami penundaan
operasi selama 0,7 ± 1 jam dibanding 3,2 ± 0,5 jam, setelah
diobservasi selama 6 bulan, pasien yang lebih cepat dioperasi
akan mengalami sedikit defisit neurologis.61

86
4.2 Subdural Hematomaa
Subdural hematomaa (SDH) adalah adanya kumpulan darah di
bawah duramater, tapi masih di atas otak, lebih tepatnya di atas
arachnoid mater. Subdural hematomaa tidak hanya terjadi pada
pasien cidera kepala berat tapi dapat dengan cidera kepala ringan,
khususnya pada orang tua yang mengkonsumsi antikoagulan.
Subdural hematomaa dapat spontan atau disebabkan suatu
prosedur seperti lumbal pungsi. Tingkat mortalitas dan morbiditas
cukup tinggi walaupun dilakukan medikasi terbaik dan pantauan
dokter bedah saraf.
Subdural hematomaa biasanya dicirikan dari ukuran,
lokasi, dan waktu dari awal kejadian (dapat akut, subakut, kronis).
Jika waktu tidak diketahui maka tampilan pada CT Scan dapat
membantu kapan SDH mulai terjadi. Faktor ini, selain klinis
pasien, menentukan pengobatan yang tepat dan mempengaruhi
outcome.
Umumnya SDH akut terjadi kurang dari 72 jam dan
hiperdensitas pada CT Scan kepala. Subakut terjadi 3-7 hari
setelah masa akut. Sedangkan SDH kronis terjadi lebih dari 14
hari dan gambaran hipodensitas dibanding otak pada CT Scan
kepala. Namun dapat juga terjadi mixed density jika SDH kronis
terjadi perdarahan akut. SDH akut biasanya dikarenakan cidera
otak primer yang hebat, 82% pasien koma dengan SDH akut
mempunyai kontusio.68

SDH Akut
SDH akut terjadi 50-60% semua SDH. Paling sering
terjadi karena pergerakan kepala tiba-tiba akibat jatuh atau
benturan. SDH spontan dapat terjadi akibat trauma minor,
pemakaian antikoagulan yang lama, atau ruptur aneurisma arteri
komunikans posterior. Kebanyakan SDH karena robeknya
bridging vein yang berada di subdural mengalirkan darah dari
korteks ke sinus dura.56

87
Mekanisme yang menyebabkan SDH benturan dengan
kecepatan tinggi ke kepala menyebabkan akselerasi dan deselerasi
pada dura yang terfiksasi, merobek pembuluh darah. Pada usia tua
bridging vein robek karena tertarik oleh otak yang atrofi.
Penyebab lainnya adalah rupturnya arteri kortikal akibat trauma
minor, ruptur arteri ini ditemukan di sekitar sylvian fissure.69
Dengan subdural terisi darah maka arachnoid dan
duramater berpisah, kemudian memberikan tekanan ke parenkim
otak, meningkatkan tekanan intrakranial. Pada penelitian
biomekanik otak didapatkan pola pasien dengan SDH akut yang
sudah dioperasi didapatkan kadar oksigen rendah dan banyaknya
sisa metabolisme seperti laktat pada otak yang mengalami
hematomaa. Pola ini mungkin menjadi signifikan untuk evaluasi
pengobatan.70
Cerebral Blood Flow (CBF) menjadi berkurang, ini
dibuktikan dari pasien SDH akut yang membutuhkan kraniotomi
emergensi, ditemukan CBF pada hemisphere yang mengalami
SDH terjadi CBF yang rendah dari normal. Meningkatnya CBF
dan cerebral blood volume (CBV) setelah operasi tidak disertai
perubahan segera PCO2 dan tekanan darah setelah operasi. Ini
disebabkan SDH menekan mikrosirkulasi yang membuat tekanan
intrakranial meningkat.71
Sama dengan massa lainnya di dalam kranium, SDH juga
menyebabkan efek massa yang dapat menyebabkan herniasi otak,
dua tipe herniasi tersering adalah herniasi subfalcine (gyrus
cingulate) dan trantentorial (Herniasi uncal). Herniasi subfalcine
menyebabkan infark dengan menekan arteri cerebri anterior,
herniasi transtentorial menyebabkan infark dengan menekan arteri
cerebri posterior. Herniasi trantentorial sering menekan nervus
okulomotorius (N. III) sehingga didapatkan dilatasi pupil
ispsilateral. Jika herniasi transtentorial semakin berkembang akan
menyebabkan kematian karena menekan pembuluh darah yang

88
mensuplai batang otak. Herniasi transtentorial ditandai dengan
bradikardi disertai hipertensi (Cushing’s response).72
Gejala yang dapat ditemukan pada SDH adalah penurunan
kesadaran, sakit kepala, kehilangan keseimbangan, kehilangan
memori, perubahan kepribadian, afasia, kejang, dan hemiparese.
Sakit kepala yang terjadi mempunya ciri onset tiba-tiba, sakit
kepala berat, disertai muntah-muntah, dan dapat dicetuskan
dengan batuk dan aktivitas.
Pemeriksaan fisik pertama yang dilakukan adalah menilai
GCS. Jika menemukan GCS kurang dari 15 dan bukan akibat
alkohol atau obat sedatif, segera dilakukan CT Scan kepala. Untuk
mencari penyebab penurunan kesadaran dan defisit neurologis
lainnya. Karena jika didapatkan SDH pada CT Scan dan dapat
dievakuasi kuran dari 4 jam dapat menghasilkan outcome
neurologis yang signifikan.73
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan penurunan
kesadaran, pupil dilatasi ipsilateral dengan SDH, dan hemiparese
kontralateral dari hematomaa. Dapat juga terjadi dilatasi pupil
kontralaterl, ini terjadi karena kompresi terjadi bagian
kontralateral, disebut kernohan phenomenon. Pasien juga dapat
mengalami lucid interval, dimana saat dilakukan CT Scan
hasilnya negatif karena perdarahan belum terbentuk.68,73
Diagnosis banding pada SDH adalah child abuse, epidural
hematoma, perdarahan subarachnoid, stroke iskemik, meningitis,
dan syok hemoragik.
CT Scan kepala tanpa kontras menjadi pemeriksaan
penting dalam mendiagnosis SDH, terutama jika terjadi
penurunan GCS. Pemeriksaan lain yang dilakukan adalah
hemoglobin, hematokrit, profil koagulopati, cross match.
Diagnosis SDH akut dengan CT Scan akan ditemukan
hiperdensitas extra-axial dengan cresent shaped atau konkaf dan
tidak terbatas dengan garis sutura. SDH biasanya unilateral. SDH
biasanya jarang terjadi di fossa posterior karena cerebelum sedikit

89
sekali pergerakannya sehingga melindungi bridging vein kortikal.
SDH tidak melewati falx atau tentorium. Ditemukan juga efek
massa seperti kompresi ventrikel ipsilateral, midline shift, dan
hilangnya sisterna basalis.73

Gambar 4.5 SDH akut pada sisi kanan disertai midline shift pada
CT Scan.

90
Gambar 4.6 SDH akut pada sisi kiri karena komplikasi kraniotomi
disertai midline shift.

91
Gambar 4.7 SDH akut pada sisi kanan, tampak hiperdensitas
disertai midline shift

MRI tidak diperlukan pada SDH karena dibutuhkan


penanganan cepat, kecuali jika pada CT Scan sulit dibedakan
karena densitas sama dengan otak.
Keputusan konservatif atau operasi pada kasus SDH
dipengaruhi GCS, midline shift, ketebalan SDH, volume SDH.
Ketebalan SDH lebih dari 10 mm dan midline shift lebih dari 5
mm adalah parameter kuat dilakukan operasi. Penelitian dari
Seeling dan kawan-kawan menyatakan operasi tertunda dari 82

92
pasien dengan SDH, tingkat kematian 30 % pada pasien yang
dioperasi kurang dari 4 jam setelah trauma dan tingkat kematian
90% pada pasien yang dioperasi lebih dari 4 jam setelah trauma.74
Kraniektomi dekompresi segera dilakukan jika didapatkan
midline shift lebih dari atau sama dengan 5 mm atau ketebalan
SDH lebih dari 10 mm. Namun operasi tetap direkomendasikan
walaupun midline shift kurang dari 5 mm dan ketebalan kurang
dari 10 mm jika GCS kurang 2 poin dari GCS awal, pupil dilatasi
dan reflex cahaya tidak ada, dan tekanan intrakranial lebih dari 20
mmHg.75
Prognosis buruk jika usia lebih dari 40 tahun, GCS < 8,
pupil abnormal, peningkatan tekanan intrakranial post operatif,
dan diagnosis serta operasi yang tertunda.73

SDH Kronis
SDH kronis dikarenakan atrofi cerebral. Menyebabkan bridging
vein teregang dan robek. SDH yang kecil biasanya diresorbsi
dengan sendirinya. SDH kronis biasanya sudah terjadi likuifikasi
dari gumpalan darah sehingga pada CT Scan di dapatkan
hipodensitas. Ini terjadi dalam 1-3 minggu. Awalnya peningkatan
tekanan intrakranial dikompensasi dengan keluarnya cairan
cerebrospinalis, tapi kompensasi ini ada batasnya, ditambah
dengan adanya edema otak yang mengurangi kompensasi ini.
Perubahan sedikit saja di intrakranial sudah dapat meningkatkan
tekanan intrakranial yang besar. Peningkatan tekanan intrakranial
membuat CBF berkurang dan iskemik cerebral luas. Proses ini
semua dapat terjadi hanya beberapa menit.
Pada pasien SDH kronis aliran darah ke talamus dan
ganglia basalis dipengaruhi dibanding bagian otak lainnya.
Tanaka dan kawan-kawan menyatakan gangguan pada talamus
dapat mengganggu fungsi korteks secara keseluruhan. Mereka
menemukan menurunnya CBF 7% biasanya terjadi sakit kepala,
jika menurun 35 % dapat terjadi hemiparese.75

93
SDH kronis dapat juga terjadi diawali dengan subdural
higroma. Atrofi cerebral atau hilangnya jaringan otak, dapat
disebabkan oleh stroke, pecandu alkohol, menyebabkan ruang
antara duramater dan arachnoid semakin lebar, dapat merobek
arachnoid sehingga cairan cerebrospinalis masuk ke dalam
subdural, terbentuklah subdural higroma. Jika higroma semakin
besar dapat menarik bridging vein sehingga terjadi SDH. Subdural
higroma dapat juga karena trauma tapi biasanya tanpa disertai
gejala.73

Gambar 4.8 Atrofi cerebral disertai subdural higroma

94
Faktor risiko terjadinya SDH adalah pecandu alkohol,
epilepsi, koagulopati, kista arachnoid, terapi antikoagulan,
penyakit kardiovaskular, trombositopenia, diabetes melitus.
Tekanan intrakranial terlalu rendah. Pada usia muda koagulopati,
pecandu alkohol, trombositopenia merupakan faktor risiko
terseing.73,76 Kista arachnoid sering terjadi pada usia kurang dari
40 tahun. Pada usia tua penyakit kardiovaskular seperti hipertensi
menjadi faktor risiko tersering.
SDH paling sering terjadi pada pria dibanding perempuan
dengan perbandingan 3:1. Insiden SDH kronis sering terjadi pada
usia 50-70 tahun. Subdural hematomaa bilateral biasa terjadi pada
infant. Subdural hematomaa interhemisphere biasa karena child
abuse.77
Gejala SDH kronis paling sering adalah sakit kepala
(51%), kesadaran menurun (47%), tampak bingung (38%),
muntah (30%), dan kelemahan anggota gerak (22%). Manifestasi
klinis pada pasien dengan tanpa riwayat trauma, yaitu peningkatan
tekanan intrakranial tanpa ada pupil anisokor, kesadaran yang
berfluktuasi, dan demensia progresif.20

95
Gambar 4.9 SDH kronis berbentuk cresent atau bulan sabit.

96
Gambar 4.10 SDH subakut dengan gambaran isodens dengan
otak.

Pada SDH kronis terjadi gambaran hipodensitas pada CT


Scan tanpa kontras dan lebih mudah dibedakan dibanding kondisi
subakut. SDH bilateral terjadi 20% dari SDH kronis.

97
Gambar 4.11 SDH kronis bilateral tanpa disertai midline shift
karena efek massa pada kedua sisi.

Pada SDH kronis dapat juga terjadi mixed density karena


terjadi perdarahan berulang sehingga ditemukan hiperdensitas
pada CT Scan.

98
Gambar 4.12 Terdapat SDH kronis disertai perdarahan akut
sehingga ditemukan densitas yang berbeda.

Pada kasus SDH kronis dapat dilakukan twist drill


craniostomy, tapi jika ditemukan septum atau membran pada SDH
kronis lebih efektif dilakukan kraniotomi. Twist drill craniostomy
dilakukan dengan membuat lubang 3 cm dari midline dan 1 cm di
depan sutura koronaria.76,78
Penelitian dari Lega dan kawan-kawan menyatakan burr
hole craniostomy lebih efektif pada SDH kronis, irigasi saat

99
intraoperatif dan pemasangan drain pasca operasi tidak
mempengaruhi outcome.79

SDH Akut SDH Kronis


Onset <72 jam >14 hari
Penyebab Ruptur arteri Ruptur bridging
kortikal vein
Gejala Gejala segera Gejala perlahan-
memberat disertai lahan semakin
tanda-tanda memberat
peningkatan TIK
CT Scan Hiperdensitas Hipodensitas
Operasi Kraniektomi Twist drill
dekompresi craniostomy

4.3 Intracerebral Hematoma


Intracerebral hematoma (ICH) terjadi 20% sampai 30%
dari semua trauma intrakranial. ICH dibedakan dengan kontusio
dari ukuran lesi yang berisi darah atau dapat juga kumpulan dari
kontusio. ICH didefinisikan sebagai hematoma dengan ukuran 2
cm atau lebih yang tidak ada kontak dengan permukaan otak.79
Massa hemoragik ini disebut ICH jika kumpulan darah tersebut
mempunyai densitas yang sama. Trauma tersering di lobus
orbitofrontal dan temporal, yang sering menyebabkan kontusio. 52
Gambaran klinis ICH tergantung lokasi hematomaa.
Manifestasi klinis yang terjadi akibat meningkatnya tekanan
intrakranial:80
- Penurunan kesadaran (hampir 50%)
- Mual dan muntah (40-50%)
- Sakit kepala (40%)
- Kejang (6-7%)

100
- Defisit neurologis fokal
Biasanya penurunan kesadaran berkorelasi dengan ukuran
hematomaa.81
Sebuah data menunjukkan jika titik hematoma lebih dari 3,
diameter lebih dari 5 mm, dan lebih dari 180 Hounsfield Unit
adalah prediktor independen bahwa hematoma akan bertambah
besar.82
Penyebab ICH ini terbagi dua, trauma dan non trauma.
Penyebab non trauma adalah hipertensi, ruptur aneurisma,
arteriovenous malformation, arteriopati (cerebral amiloid
angiopati), nekrosis hemoragik (tumor), osbtruksi vena (cerebral
venous trombosis), dan gangguan pembekuan darah (konsumsi
antikoagulan, diatesa hemoragik).52
Defisit neurologis fokal yang dapat terjadi tergantung
lokasi terjadinya hematomaa.
Pada putamen dapat terjadi:
- Hemiparese kontralateral
- Kehilangan sensorik kontralateral
- Konjugat gaze paresis kontralateral
- Hemianopia homonim
- Afasia
- Apraxia
Pada talamus dapat terjadi:
- Kehilangan sensorik kontralateral
- Hemiparese kontralateral
- Hemianopia homonim
- Miosis
- Afasia
- Confusion
Pada lobar dapat terjadi:
- Hemiparese kontralateral atau kehilangan sensorik
- Konjugat gaze parese kontralateral
- Hemianopia homonim

101
- Abulia
- Afasia
- Apraxia
Pada nukleus kaudatus terjadi:
- Hemiparese kontralateral
- Konjugat gaze parese kontralateral
- confusion
Pada batang otak dapat terjadi:
- Tetraparese
- Kelemahan wajah
- Penurunan kesadaran
- Gaze parese
- Ocular bobbing (dimana mata tidak dapat ke posisi tengah)
- Miosis
- Autonom tidak stabil
Pada cerebellum dapat terjadi:
- Ataxia yang diawali dari badan
- Kelemahan wajah ipsilateral
- Kehilangan sensorik ipsilateral
- Gaze parese
- Skew deviasi
- Miosis
- Penurunan kesadaran
Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan adalah darah
lengkap protrombine time dan activated partial tromboplastine
time untuk mengidentifikasi koagulopati, dan elektrolit untuk
menilai osmolaritas darah. Pemeriksaan CT Scan kepala akan
didapatkan multifokal hiperdensitas.

102
Gambar 4.13 Intracerebral hemoragik pada kedua frontal

Volume hematoma dapat dihitung dengan rumus AxBxC/2


dimana ABC adalah garis terpanjang dari dimensi hematoma.
Dapat dianggap A adalah panjang, B lebar, dan C tinggi. Pada
kasus trauma pemeriksaan CT Scan sudah cukup menentukan
penatalaksanaan berikutnya. Pemeriksaan MRI digunakan untuk
mengevaluasi perdarahan yang telah terjadi, yang dipengaruhi
oleh usia hematoma dan paramater yang digunakanm T1 atau
T2.28 Faktor lain yang mempengaruhi adalah lokasi perdarahan,
tekanan parsial oksigen di dalam jaringan, pH di tempat tersebut,
hematokrit, kadar glukosa, konsentrasi hemoglobin, integritas
blood brain barier, dan suhu pasien.84

103
Tujuan utama MRI adalah untuk evaluasi intrakranial
hemoragik:85
- Untuk melihat perdarahan yang ada
- Untuk melokalisir dan membedakan perdarahan (ekstra-
axial dan intra-axial): jika ekstra-axial, membedakan
subarachnoid hemoragik, subdural hematoma, epidural
hematoma, jika intra-axial untuk melokalisir neuroanatomi
spesifik.
- Untuk menentukan usia perdarahan
- Mengidentifikasi ideologi
- Memanajemen perdarahan dan menentukan prognosis
Karena ICH sering dikaitkan dengan peningkatan tekanan
intrakranial, terapi ditujukan menurunkan tekanan intrakranial
segera. Jika GCS 8 atau kurang intubasi harus dilakukan. Evaluasi
tanda vital, laboratorium (melihat adanya gangguan hematologi
atau tidak), kontrol hipertensi, dan tatalaksana kejang.79
Penurunan tekanan darah terlalu cepat tidak memiliki efek
signifikan terhadap perihematoma perfusi cerebral.85 Pada kasus
dengan sistolik 150-220, reduksi sistolik sampai 140 mmHg aman
dan dapat meningkatkan outcome.86
Pembedahan sering dilakukan pada hematoma lobaris dari
hemisfer cerebral atau hemoragik di cerebellum, pada perdarahan
di lokasi yang dalam seperti talamus, kaudatus, pons, dan
mesencephalon jarang dilakukan pembedahan walaupun indikasi
dilakukan operasi. Beberapa randomized clinical trial
membandingkan pembedahan dengan tanpa pembedahan pada
ICH masih belum dapat disimpulkan karena banyaknya metode
yang digunakan. Mendelow dan kawan-kawan melaporkan dari
STICH (Surgical Trial of Intracerebral Haemorrhage) dari 1033
pasien dengan pembedahan dalam 4 hari onset ICH. Outcome
dinilai setelah 6 bulan 74% dilakukan operasi dan 76% pada
kelompok tanpa pembedahan. Terjadi mortalitas 36% dan 37%.33
Dari hasil tersebut menunjukkan tidak ada terapi yang superior

104
kecuali lokasi hematoma kurang dari 1 cm dari permukaan korteks
lebih baik dilakukan pembedahan. Berdasarkan hasil tersebut
terapi konservatif pada awal terapi dibanding pembedahan tidak
ada perbedaan signifikan.87
Terapi spesifik untuk peningkatan tekanan intrakranial
dapat diberikan manitol 0,25-1 g/kgBB dan monitoring tekanan
intrakranial dibutuhkan untuk observasi ketat.79
Pasien ICH dengan kriteria di bawah ini tidak perlu
dilakukan operasi:88
- Gejala minimal, seperti pasien sadar dengan hemiparese
minimal, khususnya GCS>10
- Situasi dengan kemungkinan outcome baik kecil:
1. ICH Score tinggi
2. Perdarahan masif dengan destruksi neuron yang
signifikan
3. Perdarahan masif di hemisphere dominan
4. kondisi neurologi yang buruk seperti kehilangan
fungsi batang otak
5. usia > 75 tahun
- Koagulopati berat
- Perdarahan basal ganglia (putamen) atau perdarahan
talamus: operasi tidak lebih baik dibanding dengan
medikamentosa, dan keduanya menawarkan harapan
yang kecil.
Pasien ICH dengan kriteria di bawah ini perlu dilakukan
operasi:87
- Lesi dengan efek massa, edema, midline shift (evakuasi
dipertimbangkan karena potensi herniasi)
- Lesi menyebabkan gejala yang disebabkan peningkatan
tekanan intrakranial atau efek massa dari edema atau
bekuan darah.
- Volume hematoma sedang 10-30cc lebih sesuai
dioperasi dibanding:

105
 Bekuan darah kurang dari 10 cc: efek massa
dari bekuan + edema tidak cukup signifikan
untuk dilakukannya operasi.
 Bekuan darah > 30 cc berhubungan dengan
outcome buruk.
 Perdarahan masif > 60 cc dengan GCS ≤ 8
 Perdarahan masif > 85 cc, tidak ada yang
bertahan hidup.
- Peningkatan tekanan intrakranial yang persisten, sudah
dicoba dengan medikamentosa.
- Perubahan yang cepat seperti kompresi batang otak
Sedangkan perdarahan cerebellum yang direkomendasikan:87
- Pada pasien GCS ≥ 14 dan diameter hematoma < 4 cm,
terapi konservatif
- Pasien dengan GCS ≤ 13 atau hematoma ≥ 4 cm, operasi
evakuasi
- Pasien dengan hilangnya reflex batang otak dan tetraplegi,
tidak perlu terapi intensif.
- Pasien dengan hidrocephalus: ventrikular kateter (jika
tidak ada koagulopati), jangan mengeluarkan drain
berlebihan untuk menghindari cerebellar herniasi.
Untuk prognosis menggunakan ICH Score, dari ICH prognosis
dapat diperkirakan risiko kematiaanya.

Tabel 4.1 ICH Score


Yang Dinilai Yang Ditemukan Poin
GCS 3-4 2
5-12 1
13-15 0
Usia ≥ 80 tahun 1
< 80 0
Lokasi infratentorial 1
supratentorial 0

106
Yang Dinilai Yang Ditemukan Poin
Volume ICH ≥ 30 cc 1
< 30 cc 0
Perdarahan ya 1
Intraventrikular
tidak 0
Total poin 0-6

Tabel 4.2 Risiko kematian berdasarkan ICH score


ICH Score Motalitas dalam 30 hari
0 0%
1 13%
2 26%
3 72%
4 97%
5 100%
6 100%

4.4 Perdarahan Subarachnoid


Perdarahan subarachnoid (SAH) adalah ekstravasasi darah
ke rongga subarachnoid antara piamater dan arachnoid. Ini terjadi
karena berbagai sebab, paling sering disebabkan trauma kepala.
Namun istilah SAH lebih tertuju untuk yang spontan atau non
trauma, seperti ruptur aneurisma atau arteriovenous malformasi
(AVM).
Gejala yang dapat dirasakan adalah sakit kepala (48%),
pusing berputar (10%), sakit di sekitar mata (7%), diplopia (4%),
dan kehilangan penglihatan (4%). Pada pemeriksaan fisik

107
ditemuka n tekanan darah naik, suhu tubuh naik, takikardi,
papiledema, perdarahan retina, abnormalitas neurologi fokal atau
global. Komplikasi yang dapat terjadi dari SAH adalah
hidrocephalus, perdarahan berulang, vasospasme, dan kejang.88

Gambar 4.14 Subarachnoid hemorrhage di Parietal sebelah kanan

Aneurisma (aneursima berry) adalah penyebab tersering


non traumatik SAH, 80% kasus karena ruptur aneurisma.
Sedangkan pada cidera kepala dapat terjadi SAH tanpa ruptur
aneurisma. Terjadi SAH pada kasus trauma disebabkan karena
cidera pada jaringan sekitar. Pada SAH dapat terjadi

108
hidrocephalus dengan dua mekanisme, yaitu obstruksi aliran
cairan cerebrospinalis dan memblok granulasi arachnoid oleh
jaringan parut. Pada SAH dapat terjadi perdarahan ulang dalam 2
minggu pertama, disebabkan karena hipertensi, anxietas, dan
kejang. Iskemik cerebral yang tertunda karena kontraksi otot arteri
adalah penyebab tersering kematian, vasospasme dapat
mengganggu autoregulasi cerebral dan menjadi infark cerebri.
Paling sering terjadi pada ujung arteri karotis interna atau
proximal dari arteri cerebri anterior dan arteri cerebri media.
Derajat keparahan SAH menggunakan sistem grading World
Federation of Neurological Surgeons (WFNS).88

Tabel 4.3 Derajat SAH menurut WFNS


Derajat Kondisi Klinis
1 GCS 15 tanpa defisit neurologis
2 GCS 13-14 tanpa defisit
neurologis

3 GCS 13-14 dengan defisit


neurologis
4 GCS 7-12 dengan atau tanpa
defisit neurologis
5 GCS 3-6 dengan atau tanpa
defisit neurologis

Penanganan SAH pada trauma hampir sama dengan cidera


kepala lainnya, jika tekanan intrakranial meningkat dapat
diberikan manitol, rawat di ruang intensif, tekanan darah
dimonitor ketat tidak boleh tinggi (jika mean arterial pressure >
130 dapat dipertimbangkan diberikan antihipertensi).

109
4.5 Diffuse Axonal Injury (DAI)
Diffuse axonal injury (DAI) adalah cidera paling sering
pada cidera kepala berat, kurang lebih 50% dari semua cidera
kepala berat. Pada kasus ringan tidak ada lesi pada CT Scan
kepala atau MRI. Terkadang ditemukan perdarahan kecil di
ventrikel III dan korpus kalosum atau kapsula interna. Perdarahan
intraventrikuler pada CT Scan pertama dilaporkan sebagai
indikator awal terjadi DAI di korpus kalosum pada MRI.
Meskipun pemeriksaan histopatologi adalah gold standard untuk
diagnostik DAI.90

Gambar 4.15 Gambar perjalanan difus axonal injury.

Pada gambar pertama adalah CT Scan saat awal terjadi


cidera kepala, tampak edema otak. Gambar kedua 7 jam setelah
cidera kepala, mulai tampak perdarahan intraparenkim di temporal
kiri. Gambar ketiga adalah 3 bulan setelah terjadi cidera, tampak
degeneratif luas ditandai dengan temporal horn dilatasi dan
perbedaan white matter temporal dan oksipital pada FLAIR (fluid
attenuated inversion recovery). Gambar keempat 3 bulan setelah
cidera dengan diffusion tensor imaging (DTI) tampak tidak ada
koherensi di temporal kiri. Gambar 5 adalah MRI normal sebagai
pembanding.

110
Gambar 4.16 Multipel ptekie yang menunjukkan difus axonal
injury.

Perdarahan kecil-kecil digunakan sebagai marker untuk


DAI. Dengan MRI sangat sensitif untuk melihat gambaran
tersebut.91
Gambaran MRI pada DAI dapat ditemukan multifokal lesi
seperti contoh di bawah ini.92

111
Gambar 4.17 Multipel fokus lesi pada white gray matter.

Penanganan pertama pasien dengan cidera kepala berat


fokus pada tiga aspek, yaitu meminimalkan hipotensi dan
hipoksia, menilai adanya herniasi dan segera mengatasinya, dan
memberikan koagulasi darah yang terganggu karena antiplatelet
atau antikoagulan.
Hipotensi
Hipotensi pada pasien cidera kepala meningkatkan
morbiditas dan mortalitas. Definisi hipotensi adalah tekanan
sistolik di bawah 90 mmHg baik sebelum dirawat maupun setelah
dirawat. Penelitian sebelumnya mengatakan jika tekanan darah di
bawah 110 atau 120 mmHg mempunyai outcome yang buruk.
Jadi sangat penting mengidentifikasi penyebab hipotensi pada
pasien.

112
Hipoxia didefinisikan saturasi oksigen kurang dari 90%,
dan berhubungan dengan fungsi neurologi after cidera kepala.
Konsekuensinya semua pasien dengan cidera kepala harus
dimonitor dengan ketat. Monitor tekanan intrakranial dengan
external ventrikular drain dengan tekanan dipertahankan 15-20
mmHg dapat memberikan outcome yang baik.93
Mencegah herniasi
Pasien dengan cidera kepala sangat mungkin mengalami
herniasi. Cushing’s triad menjadi tanda terjadinya peningkatan
tekanan intrakranial, hipertensi, bradikardi, dan iregular respirasi.
Manitol 1g/kgBB dapat menurunkan tekanan intrakranial dalam
beberapa menit. Puncak terjadi dalam 15-20 menit dan
berlangsung sampai 6 jam.
Mencegah efek antiplatelet dan antikoagulan
Pencegahan ini terutama untuk kasus perdarahan intrakranial.
Riwayat penggunaan antikoagulan dan antiplatelet sangat penting,
semuanya untuk mencegah perdarahan lebih lanjut.
Mayoritas pasien cidera kepala membutuhkan monitoring untuk
mencegah hipotensi, hipoksia, herniasi. Monitoring tanda-tanda
peningkatan tekanan intrakranial dan profilaksis kejang, deep vein
thrombosis dibutuhkan dalam manajemen cidera kepala.
Monitor vital sign, saturasi oksigen, status neurologis
dilakukan pada semua pasien dengan cidera kepala sedang dan
berat. Pemeriksaan neurologis dibutuhkan setiap jam dalam 24-48
jam pertama. Monitoring tekanan intrakranial untuk mencegah
tekanan intrakranial lebih dari 20 mmHg agar cerebral blood flow
dapat dijaga 50-70 mmHg karena jika di bawah 50 mmHg terjadi
iskemik.
Pemberian antinyeri sangat penting dalam mengontrol
tekanan intrakranial karena pasien yang mengalami nyeri dan
gelisah dapat meningkatkan tekanan intrakranial dan metabolisme
otak. Pemberian fentanyl, propofol dan midazolam disukai dan
diperbolehkan untuk mengurangi agitasi. Terapi osmotik dengan

113
manitol untuk menurunkan tekanan intrakranial di bawah 20
mmHg namun osmolaritas darah harus dijaga kurang dari 320
mOsm.
Dahulu hipotermia dengan suhu 33oC-35oC digunakan
untuk menurunkan metabolisme otak dan kebutuhan oksigen.
Penelitian sebelumnya didapatkan suhu < 35oC meningkatkan
angka mortalitas. Hipotermia sendiri dapat menyebabkan aritmia,
koagulopati, menggigil yang dapat menyebabkan peningkatan
tekanan intrakranial. Oleh karena itu paradigma mengenai
hipotermia diubah menjadi normotermi, dikarenakan 80% pasien
dengan cidera kepala mengalami demam dalam 72 jam pertama.93
Jika tekanan intrakranial tetap tinggi dengan obat-obatan
maka tindakan kraniektomi dekompresi sangat dianjurkan.
Nutrisi sangat penting untuk semua kasus cidera kepala.
Pasien dengan GCS 8 atau kurang menunjukkan
hipermetabolisme dan kekurangan nitrogen yang signifikan. Oleh
karena itu pemberian nutrisi sangat dianjurkan dalam 7 hari paska
trauma. enteral feeding lebih dianjurkan dibanding parenteral
feeding.

4.6 Cidera Kepala di RSUP H. Adam Malik Medan


Th. 2013-2017
Cidera otak masih merupakan problem yang banyak
dihadapi oleh ahli bedah saraf, dan di Indonesia masih menjadi
penyebab utama dari kecacatan, kematian, dan biaya pengobatan
yang tinggi. Cidera otak atau cidera kepada masih merupakan
masalah yang serius di RSUP Haji Adam Malik Medan.
Penelitian deskriptif kami mendapati pasien Departemen
Bedah Saraf RSUP.H. Adam Malik Medan sejak Januari 2013
hingga November 2017 didapatkan data sebagai berikut :

114
Data Pasien Cidera Kepada RSUP H. Adam Malik Medan
Th. 2013-2017
Tahun ∑ Pasien Bedah ∑ Pasien Cidera Persentasi
Saraf Kepala (%)
2013 595 180 30,25%
2014 622 203 32,64%
2015 657 180 27,40%
2016 794 199 25,06%
2017 654 97 14,83%

Angka tertinggi penderita cidera kepala yang tercatat


mencapai 32,64% dari seluruh pasien yang dilayani di
Departemen Bedah Saraf RSUP H.Adam Malik Medan pada
Tahun 2014. Angka terendah didapati 14,83% pada tahun 2017.
Berdasarkan Jenis Kelamin pada kasus-kasus Bedah Saraf
yang dilayani di Rumah Sakit, Cidera Kepala sering dijumpai
pada penderita laki-laki daripada perempuan. Hal ini dapat
dibenarkan oleh hasil laporan yang tercatat di RSUP H.Adam
Malik Medan Pada Tahun 2013 Hingga Tahun 2017 sebagai
berikut :

Data Pasien Cidera Kepala RSUP H.Adam Malik Medan


Th. 2013-2017 Berdasarkan Jenis Kelamin
Tahun Jenis Kelamin Jumlah Persentase (%)
Laki-laki Perempuan Laki-laki Perempuan
2013 139 41 180 77.22% 22,78%
2014 166 37 203 81,77% 18,23%
2015 146 34 180 81,11% 18,89%
2016 159 40 199 79,90% 20,10%
2017 75 22 97 77,32% 22,68%

115
Angka kejadian cidera kepala pada laki-laki lebih tinggi
daripada perempuan. Angka kejadian cidera kepala pada laki-laki
tertinggi tercatat pada tahun 2014 yaitu sebesar 81,77%,
sedangkan angka kejadian terendah pada perempuan tercatat
sebesar 18,22% pada tahun 2014.
Berdasarkan umur, angka kejadian cidera kepala paling
sering dijumpai pada kelompok usia Dewasa. Hal tersebut
dinyatakan dalam laporan pasien cidera kepala di RSUP H.Adam
Malik Medan pada tahun 2013 hingga tahun 2017, sebagai
berikut:

Data Pasien cidera Kepala RSUP H. Adam Malik Medan


Th. 2013-2017 Berdasarkan Kelompok Usia :
Tahun ∑ Pasien Balita Anak Remaja Dewasa Tua
Cidera (0-5 th) (6-11 th) (12-17 th) (18-40 th) (> 40 th)
Kepala
2013 180 10 26 37 69 38
2014 203 13 24 40 91 35
2015 180 8 34 43 65 30
2016 199 9 27 53 66 44
2017 97 5 6 23 40 23
Total 859 45 117 196 331 170
Total Persentase 5,24% 13,62% 22,82% 38,53% 19.79%
(%)

116
Persentasi Kejadian Cidera Kepala Berdasarkan Kelompok Usia
Th. 2013 – 2017 :

5,24%
19.79%
13.62%

22,82%

38.53%

Balita (0-5th) Anak (6-11 th) Remaja (12-17 th) Dewasa (18-40 th) Tua (> 40 th)

Angka tertinggi berdasarkan kelompok usia pada pasien


cidera kepala yaitu pada usia dewasa sebesar 38,53% dan diikuti
sebesar 22,82% pada usia remaja. Hal tersebut menjelaskan
bahwa kasus-kasus cidera kepala banyak dialami oleh masyarakat
pada kelompok usia produktif.
Berdasarkan hasil Pencitraan radiologi atau CT-Scan
Kepala pada pasien cidera kepala yang ditangani di RSUP H.
Adam Malik dilaporkan bahwa kasus Epidural Hematoma masih
menjadi kasus tertinggi.

117
Data Pasien cidera kepala RSUP H.Adam Malik Th. 2013-2017
Berdasarkan Jenis Hasil Pencitraan Radiologi :
Tahun Closed Open EDH Acute Traumatic Traumatic Corpus
Depressed Depressed SDH ICH IVH Alienum/Pene
Fx Fx trating Head
Injury
2013 12 46 80 28 14 0 0
2014 16 58 90 27 7 3 2
2015 15 47 73 21 21 0 3
2016 9 56 87 35 5 2 5
2017 9 26 32 20 8 0 2
Total 61 233 362 131 55 5 12
(%) 7,10% 27,12% 42,14% 15,25% 6,40% 0,58% 1,40%

Pada tahun 2013 hingga 2017 Kasus Epidural Hematoma


di tercatat sebesar 42,14% dari seluruh kasus cidera kepala di
RSUP H. Adam Malik Medan. Dan kasus yang paling jarang
dijumpai adalah kasus Traumatic Intraventrikular Hemorrhage
yaitu 0,58%.

118
DAFTAR PUSTAKA

1. Aminmansour, B., Ghorbani, A., Sharifi, D., Shemshaki, H.,


Ahmadi, A. 2008. Cerebral vasospasm following traumatic
subarachnoid hemorrhage. JRMS 14(6):343-8
2. Atzema, C., Mower, W.R., Homes, J.F., Killian, A.J.,
Wolfson, A.B. 2006. Prevalence and prognosis of traumatic
intraventricular hemorrhage in patients with blunt head
trauma. J Trauma 60(5):1010-7.
3. Bernard, F., Al-Tamimi, Y.Z., Chatfield, D., Lynch, A.G.,
Matta, B.F., Menon, D.K. 2008. Serum albumin level as
predictor outcome in traumatic brain injury : potential for
treatment. J Trauma 64(4):872-5.
4. Blumbergs, P.C., Scott, G., Manavis, J., Wainwright, H.,
Simpson, D.A., McLean, A.J. 1994. Staining of amyloid
precursor to study axonal damage in mild head injury. Lancet
Neurol 344:1055-6.
5. Brown, W.R., Langlois, J.A., Thomas, K.E., Xi, Y.L. 2006.
Incidence of Traumatic Brain Injury in United States, 2003. J
Head Trauma Rehabil, 21(6):544-8.
6. Thach, WT., Montgomerry, EB : Motor System in :
Neurobiology of disease. Pearlman AL, (editors). Oxford
University Press, 1990.
7. Gilbert SF. Developmental biology. In: Sunderland MA, ed.
Sunderland, MA: Sinauer Associates; 1997.
8. O’Rahilly R, Muller F. Neurulation in the normal human
embryo. Ciba Found Symp 1994;181:70–82; discussion 82–
79
9. Copp AJ, Brook FA, Estibeiro JP, Shum AS, Cockroft DL.
The embryonic Development of mammalian neural tube
defects. Prog Neurobiol 1990;35:363–403

119
10. Kuypers HGSM : The anatomical and functional organization
of motor system, in : Scientific basis of clinical neurology,
swash M, Kennard C (editors). Cgurchill Livingstone 1985.
11. Montemurro DG, Bruni JE ; The Human Brain in Dissection,
WB Sounders, 1981.
12. Carrick, M.M., Tyroch, A.H., Youens, C.A., Handley, T.
2005. Subsequent Development of Thrombocytopenia and
Coagulopathy in Moderate and Severe Head Injury: Support
for Serial Laboratory Examination. J Trauma 58(4):725-30.
13. CDC 2010. QuickStats: Injury and traumatic brain injury-
related death rates by ageUnited States, 2006. MMWR
59:303.
14. Chesnut, R.M., Marshall, L.F., Klauber, M.R., Blunt, B.A.,
Baldwin, N., Eisenberg, H.M., et al. 1993. The role of
secondary brain injury in determining outcome from severe
head injury. J Trauma (34):216-22.
15. Colantonio, A., Harris, J.E., Ratcliff, G., Chase, S., Ellis, K.
2010. Gender differences in self reported long term outcomes
following moderate to severe traumatic brain injury. BMC
Neurol 10:102-9.
16. Coronado, V.G., Xu, L., Basavaraju, S.V., McGuire, L.C.,
Wald, M.M., Faul, M.D., et al. 2011. Surveillance for
Traumatic Brain Injury-Related Deaths-United States, 1997-
2007. MMWR 60(5):1-36.
17. Costa, K.N., Nakamura, H.M., Cruz, L.R., Miranda, L.S.V.F.,
Santos-Neto, R.C., Cosme, S.L., et al. 2009. Hyponatremia
and Brain Injury. Arq Neuropsiquiatr 67(4):1037-44.
18. DeWitt, D.S. & Prough, D.S. 2003. Traumatic cerebral
vascular injury: the effects of concussive brain injury on the
cerebral vasculature. J Neurotrauma 20(9):795- -825.
19. Dhandapani, S.S., Manju, D., Vivekanandhan, S., Sharma,
B.S., Mahapatra, A.K. 2009. Prognostic value of admission

120
serum albumin levels in patients with head injury. Pan Arab
Journal of Neurosurgery 13(1):60-5.
20. Dua, A., Desai, S., McMaster, J., Aziz, A., Dua, A., Kuy, S.
2013. A Review of the Role Platelets in Vascular Trauma
Patients Compared to Patients With Chronic Vascular
Disease. Vascular Disease Management 10(11):E240-E243.
21. George, T., Ho-Tin-Noe, B., Carbo, C., Benarafa, C.,
O’Donnell, E.R., Zhao, B.Q., et al. 2008. Inflammation
induces hemorrhage in thrombocytopenia. Blood
111(10):4958-64.
22. Gheorghita, E., Bucur, C., Neagoe, L., Ciurea, J., Constantin,
J. 2009. Severe Brain Injury Management. Rom J Neurol
8(4):165-71.
23. Goldwasser, P. & Feldman, J. 1997. Association of serum
albumin and mortality risk. J Clin Epidemiol, 50:6, 693-703.
24. Greeve, M.W., & Zink, B.J. 2009. Pathophysiology of
Traumatic Brain Injury. Mt Sinai J Med 76:97-104.
Gurkanlar, D., Lakadamyali, H., Ergun, T., Yilmaz, C.,
Yucel, E., Altinors, N. 2009. Predictive Value of
Leucocytosis in Head Trauma. Turk Neurosurg 19(3):211-5.
25. Gururaj, G., Kolluri S.V.R., Chandramouli, B.A.,
Subbakrisna, D.K., Kraus, J.F. 2005. Traumatic Brain Injury.
National Institute of Mental Health & Neuro Sciences
Bangalore, India.
26. Haddad, S.H., & Arabi, Y.M. 2012. Critical care management
of severe traumatic brain injury in adults. Scand J Trauma
Resusc Emerg Med 20(12):1-15.
27. Hallevi, H., Dar, N.S., Barreto, A.D., Morales, M.M., Martin-
Schild, S., Abraham, A.T., et al. 2009. The IVH Score: A
novel tool for estimating intraventricular hemorrhage volume:
Clinical and research implications. Crit Care Med 37(3):969-
74.

121
28. Hanes, S.D., Quarles, D.A., Boucher, B.A. 1997. Incidence
and risk factors of thrombocytopenia in critically ill trauma
patients. Ann Pharmacother 31:285- 9.
29. Jagoda, A. & Bruns Jr., J. 2006. Prehospital Management of
Traumatic Brain Injury. Theories and Practices.
30. Taylor & Francis. p.1-6. Jennet, B. 2005. Development of
Glasgow Coma Scale and Outcome Scale. Nepal Journal of
Neuroscience 2:24-8.
31. Jeremitsky, E., Omert, L.A., Dunham, C.M., Wilberger, J.,
Rodriguez, A. 2005. The impact of hyperglycemia on patients
with severe brain injury. J Trauma 58(1):47-50.
32. Katayama, Y. & Kawamata, T. 2003. Edema fluid
accumulation within necrotic brain tissue as a cause of the
mass effect of cerebral contusion in head trauma patients.
Acta Neurochir Suppl 86:323-7.
33. Krauss, J.F. & McArthur, D.L. 2006. Neurology and Trauma
2nd Kurland, D., Hong, C., Aarabi, B., Gerzanich, V.,
Simard, J.M. 2012. Hemorrhagic Progression of a Contusion
after Traumatic Brain Injury: A Review. J Neurotrauma
29:19-31. edition : Epidemiology of Brain Injury. Oxford
University Press, New York.
34. Lim, H.B. & Smith, M. 2007. Systemic complications after
head injury: a clinical review. Anaesthesia 62:474-82.
35. Lingsma, H.F., Roozenbeek, B., Steyerberg, E.W., Murray,
G.D., Maas, A.S. 2010. Early prognosis in traumatic brain
injury: from prophecies to predictions. Lancet Neurol 9:728-
41.
36. Liu-DeRyke, X., Collingridge, D.S., Orme, J., Roller, D.,
Zurasky, J., Rhoney, D.H. 2009. Clinical Impact of Early
Hyperglycemia During Acute Phase of Traumatic Brain
Injury. Neurocrit Care 11:151-7.

122
37. Maas, A.I.R., Stocchetti, N., Bullock, R. 2008. Moderate and
severe traumatic brain injury in adults. Lancet Neurol 7:728-
41.
38. MacLeod, J.B.A., Lynn, M., McKenney, M.G., Cohn, S.M.,
Murtha, M. 2003. Early Coagulopathy Predicts Mortality in
Trauma. J Trauma 55(1):39-44.
39. Marmarou, A., Fatouros, P.P, Barzo, P., Portella, G.,
Yoshihara, M., Tsuji, O., et al. 2000. Contribution of edema
and cerebral blood volume to traumatic brain swelling in
head-injured patients. J Neurosurg 93(2):183-93.
40. Matis, G. & Birbilis, T. 2008. The Glasgow Coma Scale - a
brief review Past, present, future. Acta Neurol Belg 108:75-
89.
41. Minors, D.S. 2004. Haemostasis, blood platelets and
coagulation. In: Blood Cells and Coagulation. The Medicine
Publishing Company Ltd. 189-91.
42. Nijboer, J.M.M., Oestern, H., ten Duis, H., Nijsten, M.W.N.
2009. The Platelet Count Early After Blunt Trauma is
Associated with Outcome Independent of Blood Loss. J
Trauma 6:72-81.
43. Rovlias, A. & Kotsou, S. 2004. Classification and regression
tree for prediction of outcome after severe head injury using
simple clinical and laboratory variables. J Neurotrauma
21(7):886-93.
44. Salim, A., Hadjizacharia, P., Dubose, J., Brown, C., Inaba,
K., Chan, L.S., et al. 2009. Persistent hyperglycemia in severe
traumatic brain injury : an independent predictor of outcome.
Am Surg 75(1):25-9.
45. Stein, S.C., Young, G.S., Talucci, R.C., Greenbaum, B.H.,
Ross, S.E. 1992. Delayed brain injury after head trauma:
significance of coagulopathy. Neurosurgery 32:25-30.
46. Tjahjadi, M., Arifin, M.Z., Gill, A.S., Faried, A. 2013. Early
mortality predictor of severe traumatic brain injury: A single

123
center study of prognostic variables based on admission
characteristics. Indian J Neurotrauma 10:3-8.
47. Venti, M., Acciarresi, M., Agnelli, G. 2011. Subarachnoid
Hemorrhage: A Neurological Emergency. The Open Critical
Care Medicine Journal 4:56-60.
48. Verbalis, J.G., Goldsmith, S.R., Greenberg, A., Schrier, R.W.,
Sterns, R.H. 2007. Hyponatremia Treatment Guidelines 2007:
Expert Panel Recommendations. Am J Med 120(11 Suppl
1):S1-21.
49. Vos, P.E., Battistin, L., Birbamer, G., Gerstenbrand, F.,
Potapov, A., Prevec, T., et al. 2002. EFNS guidline on mild
traumatic brain injury: report of an EFNS task force. Eur J
Neurol 9(3):207-19.
50. Walia, S. & Sutcliffe, A.J. 2002. The relationship between
blood glucose, mean arterial pressure and outcome after
severe head injury: an observational study. Injury 33(4):312-
9.
51. Werner, C. & Engelhard, K. 2007. Pathophysiology of
traumatic brain injury. British Journal of Anaesthesia 99(1):4-
9.
52. Astrand R dan Romner B. Clasiffication of Head Injury.
Management of Severe Traumatic Brain Injury. 2012; hal 11-
7.
53. Shahlaei K, Swienenber M, Muizelaar P. Clinical
Pathophysiology of Traumatic Brain Injury. Neurological
Surgery. Edisi ketujuh. 2017; hal: 2843-60.
54. Papa L dan Goldberg SA. Head Trauma. Rosen’s Emergency
Medicine: Concepts and Clinical Practice. Edisi ke-9.
Philadelphia: Elsevier. 2018; hal: 301-29.
55. Huang Y, Deng Y, Lee TC, Chen WF. Rotterdam Computed
Tomography Score as a Prognosticator in Head Injured
Patient Undergoing Decompressive Craniectomy. Congress
of Neurological Surgeon. 2012; hal: 80-5

124
56. Shahlaei K, Swienenber M, Muizelaar P. Clinical
Pathophysiology of Traumatic Brain Injury. Neurological
Surgery. Edisi ketujuh. Philadelphia: Elsevier. 2017; hal:
2843-60.
57. Price DD. Epidural Hematomaa in Emergency Medicine.
Dapat diakses di
https://emedicine.medscape.com/article/824029-overview.
Diakses tanggal 3 November 2017.
58. Gean AD, Fischbein NJ, Purcell DD, et al. Benign anterior
temporal epidural hematomaa: indolent lesion with a
characteristic CT imaging appearance after blunt head
trauma. Radiology. 2010. 257(1):212-8.
59. Singh S, Ramakrishnaiah RH, Hegde SV, Glasier CM.
Compression of the posterior fossa venous sinuses by
epidural hemorrhage simulating venous sinus thrombosis: CT
and MR findings. Pediatr Radiol. 2016 Jan. 46 (1):67-72.
60. Ferri FF. Epidural Hematomaa. Ferri’s Clinical Advisor.
Philadelphia: Elsevier. 2018. Hal: 461-62.Bullock Ross, dkk.
Surgical management of Acute Epidural Hematomaa.
Neurosurgery. 2006; 58: 7-15
61.Offner PJ, Pham B, Hawkes A. Nonoperative management of
acute epidural hematomaas: a "no-brainer". Am J Surg. 2006.
192(6):801-5.
62. Basamh M, Robert A, Lamoureux J, Saluja RS, Marcoux J.
Epidural Hematomaa Treated Conservatively: When to
Expect the Worst. Can J Neurol Sci. 2016. 43 (1):74-81.
63. Ullman JS. Epidural Hematomaas Treatment and
Management. Dapat diakses
https://emedicine.medscape.com/article/248840-treatment.
Diakses tanggal 10 November 2017.
64. Songara A, Patil HG, Nayaran S. Traumatic posterior fossa
extradural hematomaa: case report and review of literature.
Int Surg J. 2016. 3(1):369-71.

125
65. Bullock Ross, dkk. Surgical management of Posterior Fosa
Mass Lesions. 2006; 58: 47-55.
66. Li S, Zhang H, Jiao QF, Liu Z, Mao BY. A comparative study
on therapeutic method of traumatic epidural hematomaa. Chin
J Traumatol. 2007. 10(3):166-70.
67. Megher RJ. Subdural Hematomaa. Dapat diakses di
https://emedicine.medscape.com/article/1137207-overview.
Diakses tanggal 5 November 2017.
68. Matsuyama T, Shimomura T, Okumura Y, Sakaki T. Rapid
resolution of symptomatic acute subdural hematomaa: case
report. Surg Neurol. 1997. 48(2):193-6.
69. Hlatky R, Valadka AB, Goodman JC, Robertson CS.
Evolution of brain tissue injury after evacuation of acute
traumatic subdural hematomaas. Neurosurgery. 2007.
61(1):249-254.
70. Schroder ML, Muizelaar JP, Kuta AJ. Documented reversal
of global ischemia immediately after removal of an acute
subdural hematomaa. Report of two cases. J Neurosurg.
1994. 80(2):324-7.
71. Kamal R. Acute Subdural Hematomaas. Textbook of
Traumatic Brain Injury. New Delhi: Jaypee Brothers Medical
Publishers (P) Ltd. 2012; hal 158-63.
72. Bullock Ross, dkk. Surgical management of Acute Subdural
Hematomaa. Neurosurgery. 2006; 58: 16-24.
73. Giray S, Sarica FB, Sen O, Kizilkilic O. Parkinsonian
syndrome associated with subacute subdural haematoma and
its effective surgical treatment: a case report. Neurol
Neurochir Pol. 2009. 43(3):289-92.
74. Kamal R dan Mahaputra AK. Chronic Subdural Hematomaas.
Textbook of Traumatic Brain Injury. New Delhi: Jaypee
Brothers Medical Publishers (P) Ltd. 2012; hal 197-201.
75. Cohen M, Scheimberg I. Subdural haemorrhage and child
maltreatment. Lancet. 2009. 373(9670):1173.

126
76. Ducruet AF, Grobelny BT, Zacharia BE, et al. The surgical
management of chronic subdural hematomaa. Neurosurg Rev.
2012. 35(2):155-69.
77. Lega BC, Danish SF, Malhotra NR, Sonnad SS, Stein SC.
Choosing the best operation for chronic subdural hematomaa:
a decision analysis. J Neurosurg. 2010. 113(3):615-21.
78. Goodman JC. Neuropathology of Traumatic Brain Injury.
Youmans and Wins Neurological Surgery. Edisi ketujuh.
2017; hal: 2265-77.
79. Liebeskind DS. Intracranial Hemorrhage Workup. Dapat
diakses di https://emedicine.medscape.com/article/1163977-
overview. Diakses tanggal 5 November 2017.
80. Kase CS dan Shomanesh A. Intracerebral Hermohage.
Bradley’s Neurology. Edisi keenam. Philadelphia: Elsevier.
2016; hal: 968-82.
81. Thompson, A.L., Kosior, J.C., Gladstone, D.J., et al., 2009.
Defining the CT angiography “spot sign” in primary
intracerebral hemorrhage. Can. J. Neurol. Sci. 36, 456–461.
82. Atlas SW, Thulborn KR. Intracranial hemorrhage. Magnetic
Resonance Imaging of the Brain and Spine. 3rd ed.
Philadelphia, Pa: Lippincott Williams & Wilkins; 2002. 773-
832.
83. Bradley WG. Hemorrhage and brain iron. Magnetic
Resonance Imaging. 2nd ed. St Louis, Mo: Mosby; 1992.
84. Asthekar DL. Intracranial Hemorrhage Evaluation with MRI.
Diakses dari https://emedicine.medscape.com/article/344973-
overview#a2. Diakses tanggal 10 November 2017.
85. Butcher, K.S., Jeerakathil, T., Hill, M., et al., 2013. The
Intracerebral Hemorrhage Acutely Decreasing Arterial
Pressure Trial. Stroke 44, 620–26.
86. Anderson, C.S., Heeley, E., Huang, Y., et al., 2013. Rapid
blood-pressure lowering in patients with acute intracerebral
hemorrhage. N. Engl. J. Med. 368, 2355–2365.

127
87. Mendelow, A.D., Gregson, B.A., Fernandes, H.M., et al.,
2005. Early surgery versus initial conservative treatment in
patients with spontaneous supratentorial intracerebral
haematomas in the International Surgical Trial in
Intracerebral Haemorrhage (STICH): a randomized trial.
Lancet 365, 387–397.
88. Mendelow, A.D., Gregson, B.A., Rowan, E.N., et al., 2013.
Early surgery versus initial conservative treatment in patients
with spontaneous supratentorial lobar intracerebral
haematomas (STICH II): a randomised trial. Lancet 382,
397–408.
89. Greenberg MS. Intracerebral hemorrhage. Handbook of
neurosurgery. Edisi kedelapan. New york: Thieme. 2016; hal
1330-56.
90. Becske T. Subarachnoid Hemorrhage. Dapat diakses
https://emedicine.medscape.com/article/1164341-overview.
Diakses tanggal 5 November 2017.
91. Moenninghoff C, Kraff O, Maderwald S, Umutlu L,
Theysohn JM, Ringelstein A, et al. Diffuse axonal injury at
ultra-high field MRI. PLoS One. 2015. 10 (3):e0122329.
92. Wasserman JR. Diffuse Axonal Injury. Dapat diakses di
https://emedicine.medscape.com/article/339912-overview.
Diakses tanggal 5 November 2017.
93. Kamal R, Kumar R, Mahapatra AK. Traumatic Diffuse
Axonal Injury. Textbook of Traumatic Brain Injury. New
Delhi: Jaypee Brothers Medical Publishers (P) Ltd. 2012; hal
175-79.

128
9 7 8 6 0 2 4 6 5 0 2 8 5

Anda mungkin juga menyukai