Anda di halaman 1dari 42

TUGAS MAKALAH

MK. MENULIS KREATIF


PRODI S1 PBI-FBS

SKOR NILAI :

MAKALAH
PARAFRASA CERPEN

Nama Mahasiswa : Vita Rosari Sinurat


Nim : 2193111036
Dosen Pengampu : Emasta Simanjuntak, S.Pd, M.Pd.
Mata Kuliah : Menulis Kreatif
Kelas : Reguler C 2019

PROGRAM STUDI S1 PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA

FAKULTAS BAHASA DAN SENI – UNIVERSITAS NEGERI


MEDAN

OKTOBER, 2020
DAFTAR ISI
COVER MAKALAH..........................................................................................................
DAFTAR ISI.......................................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................
A. LATAR BELAKANG.............................................................................................
B. RUMUSAN MASALAH........................................................................................
C. TUJUAN..................................................................................................................

BAB II ISI CERPEN.........................................................................................................

BAB III PEMBAHASAN.................................................................................................

BAB IV PENUTUP............................................................................................................
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Di era globalisasi, dimana pendidikan mulai bengkit dari taraf sebelumnya. Para guru sangat
berperan akan mewujudkan cita-cita bangsa dari segi pendidikan. Maka dari itu, calon guru
harus dibimbing dengan pemberian bekal untuk menjadi guru profesional. Guru yang mampu
menguasai penuh bidang studi yang digelutinya. Seorang guru harus mampu memahami
segala materi bidang studi tanpa terkecuali seperti “parafrase”. Berikut makalah ini mencakup
materi mengenai “parafrase” semoga dapat dimengerti dan menjadi tambahan ilmu bagi
semua kalangan yang membacanya.

1.2 Rumusan Masalah

1. bagaimana contoh parafrase?

1.3 Tujuan penulisan

1. untuk melatih penulis dalam mem parafrase cerpen.


BAB II

ISI CERPEN

Judul Cerpen 1 : Piknik


Penulis : Agus Noor
Tahun Terbit : 2 Juli 2006
Sumber : Kompas

Piknik
Cerpen Agus Noor

Para pelancong mengunjungi kota kami untuk menyaksikan kepedihan. Mereka datang untuk menonton kota
kami yang hancur. Kemunculan para pelancong itu membuat kesibukan tersendiri di kota kami. Biasanya kami
duduk-duduk di gerbang kota menandangi para pelancong yang selalu muncul berombongan mengendarai kuda,
keledai, unta, atau permadani terbang dan juga kuda sembrani. Mereka datang dari segala penjuru dunia. Dari
negeri-negeri jauh yang gemerlapan.

Di bawah langit senja yang kemerahan kedatangan mereka selalu terlihat bagaikan siluet iring-iringan kafilah
melintasi gurun perbatasan, membawa bermacam perbekalan piknik. Berkarung-karung gandum yang diangkut
gerobak pedati, daging asap yang digantungkan di punuk unta terlihat bergoyang-goyang, roti kering yang
disimpan dalam kaleng, botol-botol cuka dan saus, biskuit dan telor asin, rendang dalam rantang—juga berdus-
dus mi instan yang kadang mereka bagikan pada kami.

Penampilan para pelancong yang selalu riang membuat kami sedikit merasa terhibur. Kami menduga, para
pelancong itu sepertinya telah bosan dengan hidup mereka yang sudah terlampau bahagia. Hidup yang selalu
dipenuhi kebahagiaan ternyata bisa membosankan juga. Mungkin para pelancong itu tak tahu lagi bagaimana
caranya menikmati hidup yang nyaman tenteram tanpa kecemasan di tempat asal mereka. Karena itulah mereka
ramai-ramai piknik ke kota kami: menyaksikan bagaimana perlahan-lahan kota kami menjadi debu. Kami
menyukai cara mereka tertawa, saat mereka begitu gembira membangun tenda-tenda dan mengeluarkan
perbekalan, lalu berfoto ramai-ramai di antara reruntuhan puing-puing kota kami. Kami seperti menyaksikan
rombongan sirkus yang datang untuk menghibur kami.

Kadang mereka mengajak kami berfoto. Dan kami harus tampak menyedihkan dalam foto-foto mereka. Karena
memang untuk itulah mereka mengajak kami berfoto bersama. Mereka tak suka bila kami terlihat tak menderita.
Mereka menyukai wajah kami yang keruh dengan kesedihan. Mata kami yang murung dan sayu. Sementara
mereka sembari berdiri dengan latar belakang puing-puing reruntuhan kota— berpose penuh gaya tersenyum
saling peluk atau merentangkan tangan lebar-lebar. Mereka segera mencetak foto-foto itu, dan mengirimkannya
dengan merpati-merpati pos ke alamat kerabat mereka yang belum sempat mengunjungi kota kami.

Belakangan kami pun tahu, kalau foto-foto itu kemudian dibuat kartu pos dan diperjualbelikan hingga ke negeri-
negeri dongeng terjauh yang ada di balik pelangi. Pada kartu pos yang dikirimkannya itu, para pelancong yang
sudah mengunjungi kota kami selalu menuliskan kalimat-kalimat penuh ketakjuban yang menyatakan betapa
terpesonanya mereka saat menyaksikan kota kami perlahan-lahan runtuh dan lenyap. Mereka begitu gembira
ketika melihat tanah yang tiba-tiba bergetar. Bagai ada naga menggeliat di ceruk bumi—atau seperti ketika kau
merasakan kereta bawah tanah melintas menggemuruh di bawah kakimu. Betapa menggetarkan melihat pohon-
pohon bertumbangan dan rumah-rumah rubuh menjadi abu. Membuat hidup para pelancong yang selalu bahagia
itu menjadi lengkap, karena bisa menyaksikan segala sesuatu sirna begitu saja.
Bagi para pelancong itu, kota kami adalah kota paling menakjubkan yang pernah mereka saksikan. Mereka telah
berkelana ke sudut-sudut dunia, menyaksikan beragam keajaiban di tiap kota. Mereka telah menyaksikan
menara-menara gantung yang dibuat dari balok-balok es abadi, candi-candi megah yang disusun serupa tiara;
menyaksikan seekor ayam emas bertengger di atas katedral tua sebuah kota yang selalu berkokok setiap pagi.
Mereka juga telah melihat kota dengan kanal-kanal yang dialiri cahaya kebiru-biruan. Kepada kami para
pelancong itu juga bercerita perihal kota kuno yang berdiri di atas danau bening, dengan rumah-rumah yang
beranda- berandanya saling bertumpukan, dan jalan-jalannya yang menyusur dinding-dinding menghadap air,
hingga menyerupai kota yang dibangun di atas cermin; kota dengan jalan layang menyerupai jejalin benang
laba-laba; sebuah kota yang menyerupai benteng di ujung sebuah teluk, dengan jendela-jendela dan pintu-pintu
yang selalu tertutup menyerupai gelapanggur dan hanya bisadilihat ketika senja kala. Bahkan mereka bersumpah
telah mendatangi kota yang hanya bisa ditemui dalam imajinasi seorang penyair. Tapi kota kami, menurut
mereka, adalah kota paling ajaib yang pernah mereka kunjungi.

Para pelancong menyukai kota kami karena kota kami dibangun untuk menanti keruntuhan. Banyak kota
dibangun dengan gagasan untuk sebuah keabadian, tetapi tidak dengan kota kami. Kota kami berdiri di atas
lempengan bumi yang selalu bergeser. Kau bisa membayangkan gerumbul awan yang selalu bergerak dan
bertabrakan, seperti itulah tanah di mana kota kami berdiri. Membuat semua bangunan di kota kami jadi terlihat
selalu berubah letaknya. Barisan pepohonan seakan berjalan pelan. Lorong-lorong, jalanan, dan sungai selalu
meliuk-liuk. Dan ketika sewaktu-waktu tanah terguncang, bangunan dan pepohonan di kota kami saling
bertubrukan, rubuh dan runtuh menjadi debu serupa istana pasir yang sering kau buat di pinggir pantai ketika
kau berlibur menikmati laut.

Rupanya itulah pemandangan paling menakjubkan yang membuat para pelancong itu terpesona. Para pelancong
itu segera menghambur berlarian menuju bagian kota kami yang runtuh, begitu mendengar kabar ada bagian
kota kami yang tergoncang porak- poranda. Dengan handycam mereka merekam detik-detik keruntuhan itu.
Mereka terpesona mendengar jerit ketakutan orang-orang yang berlarian menyelamatkan diri, gemeretak
tembok-tembok retak, suara menggemuruh yang merayap dalam tanah. Itulah detik-detik paling menakjubkan
bagi para pelancong yang berkunjung ke kota kami; seolah semua itu atraksi paling spektakuler yang beruntung
bisa mereka saksikan dalam hidup mereka yang terlampau bahagia. Lalu mereka memotret mayat- mayat yang
tertimbun balok-balok dan batu bata. Mengais reruntuhan untuk menemukan barang-barang berharga yang bisa
mereka simpan sebagai kenangan.

Saat malam tiba, dan bintang- bintang terasa lebih jauh di langit hitam, para pelancong itu bergerombol berdiang
di seputar api unggun sembari berbagi cerita. Memetik kecapi dan bernyanyi. Atau rebahan di dalam tenda
sembari memainkan harmonika. Dari kejauhan kami menyaksikan mereka, merasa sedikit terhibur dan tak
terlalu merasa kesepian. Bagaimanapun kami mesti berterima kasih karena para pelancong itu mau berkunjung
ke kota kami. Mereka membuat kami semakin mencintai kota kami. Membuat kami tak hendak pergi mengungsi
dari kota kami. Karena bila para pelancong itu menganggap kota kami adalah kota yang penuh keajaiban,
kenapa kami mesti menganggap apa yang terjadi di kota kami ini sebagai malapetaka atau bencana?

Seperti yang sering dikatakan para pelancong itu pada kami, setiap kota memang memiliki jiwa. Itulah yang
membuat setiap kota tumbuh dengan keunikannya sendiri- sendiri. Membuat setiap kota memiliki kisahnya
sendiri-sendiri. Keajaiban tersendiri. Setiap kota terdiri dari gedung- gedung, sungai-sungai, kabut dan cahaya
serta jiwa para penghuninya; yang mencintai dan mau menerima kota itu menjadi bagian dirinya. Kami sering
mendengar kota-kota yang lenyap dari peradaban, runtuh tertimbun waktu. Semua itu terjadi bukan karena
semata-mata seluruh bangunan kota itu hancur, tetapi lebih karena kota itu tak lagi hidup dalam jiwa
penghuninya. Kami tak ingin kota kami lenyap, meski sebagian demi sebagian dari kota kami perlahan- lahan
runtuh menjadi debu. Karena itulah kami selalu membangun kembali bagian- bagian kota kami yang runtuh.
Kami mendirikan kembali rumah-rumah, jembatan, sekolah, tower dan menara, rumah sakit-rumah sakit,
menanam kembali pohon- pohon, hingga di bekas reruntuhan itu kembali berdiri bagian kota kami yang hancur.
Kota kami bagaikan selalu muncul kembali dari reruntuhan, seperti burung phoenix yang hidup kembali dari
tumpukan abu tubuhnya.

Kesibukan kami membangun kembali bagian kota yang runtuh menjadi tontonan juga bagi para pelancong itu.
Sembari menaiki pedati, para pelancong itu berkeliling kota menyaksikan kami yang tengah sibuk menata
reruntuhan. Mereka tersenyum dan melambai ke arah kami, seakan dengan begitu mereka telah menunjukkan
simpati pada kami. Sesekali para pelancong itu berhenti, membagikan sekerat biskuit, sepotong dendeng,
sebotol minuman, atau sesendok madu, kemudian kembali pergi untuk melihat-lihat bagian lain kota kami yang
masih bergerak bertabrakan dan hancur. Kemudian para pelancong itu pergi dengan bermacam cerita ajaib yang
akan mereka kisahkan pada kebarat dan kenalan mereka yang belum sempat mengunjungi kota kami. Mereka
akan bercerita bagaimana sebuah kota perlahan- lahan hancur dan tumbuh kembali. Sebuah kota yang akan
mengingatkanmu pada yang rapuh, sementara, dan fana. Sebuah kota yang membuat para pelancong
berdatangan ingin menyaksikannya.

Bila kau merencanakan liburan akhir pekan dan kau sudah bosan piknik ke kota-kota besar dunia yang megah
dan gemerlap—ada baiknya kau berkunjung ke kota kami. Jangan lupa membawa kamera untuk mengabadikan
penderitaan kami. Mungkin itu bisa membuatmu sedikit terhibur dan gembira. Berwisatalah ke kota kami.
Jangan khawatir, kami pasti akan menyambut kedatanganmu dengan kalungan bunga-air mata…

Yogyakarta, 2006

Judul Cerpen 2 : Mata Mungil Yang Menyimpan Dunia


Penulis : Agus Noor
Tahun Terbit : 12 Maret 2006
Sumber : Kompas

Mata Mungil yang Menyimpan Dunia


Cerpen Agus Noor

Selalu. Setiap pagi. Setiap Gustaf berangkat kerja dan terjebak rutin kemacetan perempatan jalan menjelang
kantornya, ia selalu melihat bocah itu tengah bermain- main di kolong jalan layang. Kadang berloncatan, seperti
menjolok sesuatu. Kadang hanya merunduk jongkok memandangi trotoar, seolah ada yang perlahan tumbuh dari
celah conblock.

Karena kaca mobil yang selalu tertutup rapat, Gustaf tak tak bisa mendengarkan teriakan-teriakan bocah itu, saat
dia mengibaskan kedua tangannya bagai menghalau sesuatu yang beterbangan. Gustaf hanya melihat mulut
bocah itu seperti berteriak dan tertawa-tawa. Kadang Gustaf ingin menurunkan kaca mobil, agar ia bisa
mendengar apa yang diteriakkan bocah itu. Tapi Gustaf malas menghadapi puluhan pengemis yang pasti akan
menyerbu begitu kaca mobilnya terbuka.

Maka Gustaf hanya memandangi bocah itu dari dalam mobilnya yang merayap pelan dalam kemacetan. Usianya
paling 12 tahunan. Rambutnya kusam kecoklatan karena panas matahari. Selalu bercelana pendek kucel.
Berkoreng di lutut kirinya. Dia tak banyak beda dengan para anak jalanan yang sepertinya dari hari ke hari
makin banyak saja jumlahnya. Hanya saja Gustaf sering merasa ada yang berbeda dari bocah itu. Dan itu kian
Gustaf rasakan setiap kali bersitatap dengannya. Seperti ada cahaya yang perlahan berkeredapan dalam mata
bocah itu. Sering Gustaf memperlambat laju mobilnya, agar ia bisa berlama-lama menatap sepasang mata itu.

Memandang mata itu, Gustaf seperti menjenguk sebuah dunia yang menyegarkan. Hingga ia merasa segala di
sekeliling bocah itu perlahan-lahan berubah. Tiang listrik dan lampu jalan menjelma menjadi barisan pepohonan
rindang. Tak ada keruwetan, karena jalanan telah menjadi sungai dengan gemericik air di sela bebatuan hitam.
Jembatan penyeberangan di atas sana menjelma titian bambu yang menghubungkan gedung-gedung yang telah
berubah perbukitan hijau. Dari retakan trotoar perlahan tumbuh bunga mawar, akar dedaunan hijau merambat
melilit tiang lampu dan pagar pembatas jalan, kerakap tumbuh di dinding penyangga jalan tol. Gustaf terkejut
ketika tiba-tiba ia melihat seekor bangau bertengger di atas kotak pos yang kini tampak seperti terbuat dari gula-
gula. Air yang jernih dan bening mengalir perlahan, seakan- akan ada mata air yang muncul dari dalam selokan.
Kicau burung terdengar dari pohon jambu berbuah lebat yang bagai dicangkok di tiang traffic light.

Gustaf terpesona menyaksikan itu semua. Ia menurunkan kaca mobilnya, menghirup lembab angin yang
berembus lembut dari pegunungan. Tapi pada saat itulah ia terkejut oleh bising pekikan klakson mobil-mobil di
belakangnya. Beberapa pengendara sepeda motor yang menyalip lewat trotoar melotot ke arahnya. Seorang
polisi lalu lintas bergegas mendekatinya. Buru-buru Gustaf menghidupkan mobilnya dan melaju. Gustaf jadi
selalu terkenang mata bocah itu. Ia tak pernah menyangka betapa di dunia ini ada mata yang begitu indah. Sejak
kecil Gustaf suka pada mata. Itu sebabnya ketika kanak-kanak ia menyukai boneka. Ia menyukai bermacam
warna dan bentuk mata boneka-boneka koleksinya. Ia suka menatapnya berlama-lama. Dan itu rupanya
membuat Mama cemas—waktu itu Mama takut ia akan jadi homoseks seperti

Oom Ridwan, yang kata Mama, sewaktu kanak-kanak juga menyukai boneka—lantas segera membawanya ke
psikolog. Berminggu-minggu mengikuti terapi, ia selalu disuruh menggambar. Dan ia selalu menggambar mata.
Sering ia menggambar mata yang bagai liang hitam. Sesekali ia menggambar bunga mawar tumbuh dari dalam
mata itu; mata dengan sebilah pisau yang menancap; atau binatang-binatang yang berloncatan dari dalam mata
berwarna hijau toska.

Ia senang ketika Oma memuji gambar-gambarnya itu. Oma seperti bisa memahami  apa yang ia rasakan. Ia ingat
perkataan Oma, saat ia berusia tujuh tahun, ”Mata itu seperti jendela hati. Kamu bisa menjenguk perasaan
seseorang lewat matanya….” Sejak itu Gustaf suka memandang mata setiap orang yang dijumpainya. Tapi Papa
kerap menghardik, ”Tak sopan menatap mata orang seperti itu!” Papa menyuruhnya agar selalu menundukkan
pandang bila berbicara dengan seseorang.

Saat remaja ia tak lagi menyukai boneka, tapi ia suka diam-diam memperhatikan mata orang-orang yang
dijumpainya. Kadang—tanpa sadar_ia sering mendapati dirinya tengah memandangi mata seseorang cukup
lama, hingga orang itu merasa risi dan cepat-cepat menyingkir. Setiap menatap mata seseorang, Gustaf seperti
melihat bermacam keajaiban yang tak terduga. Kadang ia melihat api berkobar dalam mata itu. Kadang ia
melihat ribuan kelelawar terbang berhamburan. Sering pula ia melihat lelehan tomat merembes dari sudut mata
seseorang yang tengah dipandanginya. Atau dalam mata itu ada bangkai bayi yang terapung-apung, pecahan
kaca yang menancap di kornea, kawat berduri yang terjulur panjang, padang gersang ilalang, pusaran kabut
kelabu dengan kesedihan dan kesepian yang menggantung.

Di mana-mana Gustaf hanya melihat mata yang keruh menanggung beban hidup. Mata yang penuh kemarahan.
Mata yang berkilat licik. Mata yang tertutup jelaga kebencian. Karena itu, Gustaf jadi begitu terkesan dengan
sepasang mata bocah itu. Rasanya, itulah mata paling indah yang pernah Gustaf tatap. Begitu bening begitu
jernih. Mata yang mungil tapi bagai menyimpan dunia.

Alangkah menyenangkan bila memiliki mata seperti itu. Mata itu membuat dunia jadi terlihat berbeda.
Barangkali seperti mata burung seriwang yang bisa menangkap lebih banyak warna. Setiap kali terkenang mata
itu, setiap kali itu pula Gustaf kian ingin memilikinya.

Sembari menikmati secangkir cappucino di coffee shop sebuah mal, Gustaf memperhatikan mata orang-orang
yang lalu lalang. Mungkin ia akan menemukan mata yang indah, seperti mata bocah itu. Tapi Gustaf tak
menemukan mata seperti itu. Membuat Gustaf berpikir, bisa jadi mata bocah itu memang satu-satunya mata
paling indah di dunia. Dan ia makin ingin memiliki mata itu. Agar ia bisa memandang semua yang kini
dilihatnya dengan berbeda….

Gustaf kini bisa mengerti, kenapa bocah itu terlihat selalu berlarian riang—karena ia tengah berlarian mengejar
capung yang hanya bisa dilihat matanya. Bocah itu sering berloncatan—sebab itu tengah menjoloki buah jambu
yang terlihat begitu segar di matanya. Mata bocah itu pastilah melihat sekawanan burung gelatik terbang
merendah bagai hendak hinggap kepalanya, hingga ia mengibas-kibaskan tangan menghalau agar burung-
burung itu kembali terbang. Ketika berjongkok, pastilah bocah itu sedang begitu senang memandangi seekor
kumbang tanah yang muncul dari celah conblock. Semua itu hanya mungkin, karena mata mungil indah bocah
itu bisa melihat dunia yang berbeda. Atau karena mata mungil itu memang menyimpan sebuah dunia.

Tentulah menyenangkan bila punya mata seperti itu, batin Gustaf. Apa yang kini ia pandangi akan terlihat beda.
Ice cream di tangan anak kecil itu mungkin akan meleleh menjadi madu. Pita gadis yang digandeng ibunya itu
akan menjadi bunga lilly. Di lengkung selendang sutra yang dikenakan manequin di etalase itu akan terlihat
kepompong mungil yang bergeletaran pelan ketika perlahan-lahan retak terbuka dan muncul seekor kupu-kupu.
Seekor kepik bersayap merah berbintik hitam tampak merayap di atas meja. Eceng gondok tumbuh di lantai
yang digenangi air bening. Elevator itu menjadi tangga yang menuju rumah pohon di mana anak-anak berebutan
ingin menaikinya. Ada rimpang menjalar di kaki-kaki kursi, bambu apus tumbuh di dekat pakaian yang
dipajang. Cahaya jadi terlihat seperti sulur-sulur benang berjuntaian….

Betapa menyenangkan bila ia bisa menyaksikan itu semua karena ia memiliki mata bocah itu. Bila ia bisa
memiliki mata itu, ia akan bisa melihat segalanya dengan berbeda sekaligus akan memiliki mata paling indah di
dunia! Mungkin ia bisa menemui orang tua bocah itu baik-baik, menawarinya segepok uang agar mereka mau
mendonorkan mata bocah itu buatnya. Atau ia bisa saja merayu bocah itu dengan sekotak cokelat. Apa pun akan
Gustaf lakukan agar ia bisa memiliki mata itu. Bila perlu ia menculiknya. Terlalu banyak anak jalanan
berkeliaran, dan pastilah tak seorang pun yang peduli bila salah satu dari mereka hilang.

Gustaf tersenyum. Ia sering mendengar cerita soal operasi ganti mata. Ia tinggal  datang ke Medical Eyes Centre
untuk mengganti matanya dengan mata bocah itu!

Gustaf hanya perlu menghilang sekitar dua bulan untuk menjalani operasi dan perawatan penggantian matanya.
Ia ingin ketika ia muncul kembali, semuanya sudah tampak sempurna. Tentu lebih menyenangkan bila tak
seorang pun tahu kalau aku baru saja ganti mata, pikirnya. Orang-orang pasti akan terpesona begitu
memandangi matanya. Semua orang akan memujinya memiliki mata paling indah yang bagai menyimpan dunia.

Pagi ketika Gustaf berangkat kerja dan terjebak rutin kemacetan perempatan jalan menjelang kantornya, ia
melihat seorang bocah duduk bersimpuh di trotoar dengan tangan terjulur ke arah jalan. Kedua mata bocah itu
kosong buta! Gustaf hanya memandangi bocah itu. Ia ingin membuka jendela, dan melemparkan recehan, tapi
segera ia urungkan karena merasa percuma.

Ia melangkah melewati lobby perkantoran dengan langkah penuh kegembiraan ketika melihat setiap orang
memandang ke arahnya. Beberapa orang malah terlihat melotot tak percaya. Gustaf yakin mereka kagum pada
sepasang matanya. Gustaf terkesima memandang sekelilingnya….

Dengan gaya anggun Gustaf menuju lift.

Begitu lift itu tertutup, seorang perempuan yang tadi gemetaran memandangi Gustaf terlihat menghela napas,
sambil berbicara kepada temannya.

”Kamu lihat mata tadi?” ”Ya.”

”Persis mata iblis!”

Jakarta, 2006.

Judul Cerpen 3 : Sirkus


Penulis : Agus Noor
Tahun Terbit : 2005
Sumber : Kompas

Sirkus
Cerpen Agus Noor

ROMBONGAN sirkus itu muncul ke kota kami….

Gempita tetabuhan yang menandai kedatangan mereka membuat kami–anak-anak yang lagi asyik bermain jet-
skateboard–langsung menghambur menuju gerbang kota. Rombongan sirkus itu muncul dari balik cakrawala.
Debu mengepul ketika roda-roda kereta karnaval berderak menuju kota kami. Dari kejauhan panji-panji warna-
warni terlihat meliuk-liuk mengikuti musik yang membahana. Dan kami berteriak-teriak gembira, “Sirkus!
Sirkus! Horeee!!!”

Sungguh beruntung kami bisa melihat rombongan sirkus itu. Mereka seperti nasib  baik yang tak bisa diduga
atau diharap-harapkan kedatangannya. Rombongan sirkus itu akan datang ke satu kota bila memang mereka
ingin datang, menggelar pertunjukan semalam, kemudian segera melanjutkan perjalanan. Rombongan sirkus itu
layaknya kafilah pengembara yang terus-menerus mengelilingi dunia, melintasi benua demi benua,
menyeberangi lautan dan hutan-hutan, menembus waktu entah sejak kapan.

Kisah-kisah ajaib tentang mereka sering kami dengar, serupa dongeng yang melambungkan fantasi kami.
Banyak yang percaya, sirkus itu ada sejak mula sabda. Merekalah arak-arakan sirkus pertama yang mengiringi
perjalanan Adam dan Eva dari firdaus ke dunia. Mereka legenda yang terus hidup dari zaman ke zaman. Ada
yang percaya. Ada yang tidak. Karena memang tak setiap orang pernah melihatnya. Sirkus itu tak akan mungkin
kau temukan meskipun kau telah tanpa lelah terus memburunya hingga seluruh ceruk semesta. Bukan kau yang
berhasil menemukan rombongan sirkus itu. Tapi merekalah yang mendatangimu. Dan itulah keberuntungan.
Merekalah sirkus gaib berkereta nasib. Kau hanya dapat berharap diberkahi bintang terang untuk bisa
melihatnya. Banyak orang hanya bisa mendengar gema gempita suara kedatangan mereka melintasi kota, tapi
tak bisa melihat wujudnya. Orang-orang yang tak diberkati keberuntungan itu hanya mendengar suara arak-
arakan mengapung di udara yang makin lama makin sayup menjauh….

Beruntunglah siapa pun yang dikaruniai kesempatan menyaksikan bermacam atraksi dan keajaiban sirkus itu.
Menyaksikan para hobbit bermain bola api melintasi tali, centaur dan minotour, mumi Tutankhamun yang akan
meramal nasibmu dengan kartu tarot; peri, Orc, Gollum, unta yang berjalan menembus lubang jarum; mambang,
kadal terbang Kuehneosaurus – bermacam makhluk yang kau kira hanya bisa kau temui dalam dongeng.

Kami belum pernah melihat sirkus itu. Tapi kami yakin kalau yang muncul dari balik cakrawala itu memang
rombongan sirkus yang melegenda itu. Kami bisa mengenali dari riang rampak rebana dan lengking nafiri yang
menyertai kemunculannya. Gempita tetabuhan itu bagai muncul dari kenangan kami yang paling purba.

Rasanya, di kota kami, hanya satu orang yang pernah melihat sirkus itu. Peter Tua yang tak henti bercerita,
bagaimana lima tahun lalu ketika ia berada di New Orleans– sehari setelah kota itu dilanda badai Katrina untuk
kesekian kalinya–ia menyaksikan rombongan sirkus itu muncul dan waktu seperti beringsut mundur: mendadak
semua benda porak-poranda yang dilintasi rombongan sirkus itu langsung untuk kembali. Reruntuh puing rumah
perlahan saling rekat, gedung-gedung yang roboh kembali tegak, debu lengket pada dinding, lumpur surut ke
sungai, kaca-kaca pecah jadi utuh seperti sediakala. Peter Tua selalu menceritakan peristiwa itu dengan mata
menyala- nyala.

Dan kini, betapa beruntungnya, rombongan sirkus itu singgah di kota kami.

***

SEKETIKA, kami–seluruh warga Oklahoma–berjajar sepanjang jalan mengelu-elukan rombongan sirkus yang
bergerak pelan memasuki kota. Kami menyaksikan selusin kurcaci menari-nari di atas kereta karavan, singa
berambut api yang rebahan setengah mengantuk di kandang. Dan itu…, lihat! Dumbledore! Memakai jubah dan
topi penyihir warna ungu gemerlapan, berkacamata bulan separuh, tersenyum melambai- lambaikan tangan.
Konfeti serangga mendadak berhamburan. Semua orang bersorak riang. Karnaval keajaiban terus mengalir.
Badut-badut. Penari ular. Putri duyung berkalung mutiara air mata. Astaga, kami bahkan menyaksikan
Hippogriff, unicorn, Aragog, burung phoenix yang lahir kembali dari abu tubuhnya, beberapa ekor pixie mungil,
Dementor yang telah dijinakkan, serimbun perdu wolfsbane yang terus melolong–lolong, bola Bludger, sapu
terbang Nimbus–semua yang bertahun lampau hanya bisa dibaca di buku cerita klasik Harry Potter.

Kemudian kami melihat raksasa troll berkepala empat, yang tiap kepala menghadap ke satu penjuru mata angin,
beruar-uar sambil memukuli canang, “Saksikan! Keajaiban manusia terbang! Grrhhhhh Terbang! Manusia
terbang! Manusia terbang! Saksikan!

Grrhhhh…. “

Kami bersorak. Kami bersorai.

***

INILAH malam paling menakjubkan dalam hidup kami yang fana. Kami me menuhi tenda raksasa, yang
sepertinya tiba-tiba sudah berdiri begitu saja di tengah kota. Keriangan mengalir seperti cahaya yang menjelma
sungai fantasi. Bermacam akrobat atraksi pertunjukan membuat kami seperti tersihir, seakan-akan kebahagiaan
ini tak akan pernah berakhir. Lima kuda sembrani berputaran. Kembang api naga. Kungfu pisau terbang. Bayi
bersayap jelita. Kami begitu diluapi ketakjuban dan berharap semoga semua keajaiban yang kami saksikan tak
akan pernah berakhir, ketika seorang gipsi tua tukang cerita muncul ke tengah arena.

“Saya akan menghantar Anda ke pertunjukan utama. Keajaiban yang kalian nanti- nantikan. Tapi, terlebih dulu,
izinkan hamba bercerita.”

Ia merentangkan tangan, hingga semua terdiam.

“Dari zaman ke zaman sirkus kami memperlihatkan bermacam keajaiban, yang hamba harap, bisa memberi
sedikit pencerahan. Apalah guna keajaiban, bila semua itu tidak membuat Anda jadi makin menyadari betapa
mulia dan berharganya hidup  ini. Seperti yang terjadi pada manusia terbang ini. Kami menemukannya bertahun
lalu, selepas melintas Samudra Hindia. Kami tiba di Flores, Nusa Tenggara. Dan kami melihatnya, makhluk-
makhluk malang itu! Melayang-layang di antara reruncing stalaktit gua kapur Liang Bua. Kami mula-mula
menduga, itu kalong raksasa.” Gipsi tua itu sejenak menarik nafas dalam-dalam, sampai kemudian ia
menghembuskannya sembari berteriak, “Ternyata manusia!”

“Aku tahu!” seorang penonton berteriak memotong, “Itu pasti Homo Floresiensis.”

Gipsi tua itu tersenyum sabar, “Ini spesies Homo sapiens yang lebih modern. Kita  tahu, sampai saat ini tak ada
satu manusia modern pun yang bisa terbang. Kecuali dengan bantuan mesin. Namun, kali ini Anda akan
menyaksikan sendiri manusia- manusia yang bisa terbang melayang-layang!! Selamat menyaksikan “

Musik membahana. Cahaya tumpah ke arena. Dari kotak-kotak yang mulai terbuka perlahan bermunculan
tubuh-tubuh yang begitu ringan, seperti ular keluar dari keranjang. Tubuh-tubuh itu melenting ringan,
mengapung mengambang seperti balon gas yang membumbung. Di pinggang mereka ada sabuk berkait yang
diikat sejuntai tali, di mana masing-masing tali itu dipegangi satu orang kate bertopi kerucut. Sesekali ada yang
membumbung sampai nempel di langit-langit tenda, dan segera orang kate yang memegangi tali itu menariknya
turun. Orang-orang kate itu berlarian berputar- putar, persis kanak-kanak yang gembira dengan balon warna-
warni di tangan mereka.

“Kami terpaksa mengikat mereka. Bila tidak, mereka akan membumbung terusss ,

lenyap ke langit. Mungkin ke surga. Sudah jutaan yang lenyap, seperti generasi yang menguap. Yang tersisa
memilih tinggal di gua-gua. Di situlah, kami menemukan mereka. ” Gipsi tua itu terus bercerita.

Kami terpana didera kengerian dan perasaan hampa. Ada yang ganjil dari orang-orang yang melayang-layang
itu. Mulut mereka kosong setengah terbuka. Kulit cokelat- kusam mereka terlihat seperti buah sawo matang
yang mulai membusuk. Sampai kami menyadari, sesungguhnya mereka tak bisa terbang, tapi hanya melayang-
layang. Gerangan apakah yang membuat mereka jadi seperti itu? Mata mereka penuh kesedihan. Ini keajaiban
ataukah kesengsaraan? Lidah kami pahit, dan kami mulai terisak. Di barisan depan, gadis-gadis menunduk tak
tega. Seorang ibu dengan gemetar memeluk anaknya. Nenek bergaun hijau terisak sebak. Seperti ada kesenduan
yang pelan-pelan menangkupi kami. Ya, kami, kami disesah kesedihan yang sama. Kami semua, semua…juga
aku! Aku yang turut menyaksikan pertunjukan itu dan menceritakan semua ini kepadamu.

Aku melirik Mom dan Dad, yang duduk di sebelahku. Mom mengatup dan memejam. Dad terlihat menahan
tangis…

***

ROMBONGAN sirkus itu telah pergi. Mungkin sekarang di Montana atau Wisconsin atau Toronto atau terus
melintasi Teluk Hudson, Laut Labrador, Green Land sampai Kutub Utara. Tapi aku selalu terkenang sirkus itu.
Teringat manusia-manusia terbang itu: kulit sawo matangnya, hidungnya yang kecil. Mirip aku.

Aku hanya diam bila kini teman-teman sekolah sering meledekku. “Hai, lihat itu keturunan manusia terbang”,
dan serentak mereka tertawa bila aku melintas. Hanya karena kulitku cokelat, dan rambutku tak pirang seperti
mereka. Aku tak marah, hanya merasa geli dan agak jijik dipersamakan seperti itu. Rasanya tubuhku jadi seperti
dihuni makhluk ganjil. Mom menegurku, karena belakangan sering melamun. Kubilang, aku baik-baik saja.
Sampai suatu malam Dad mengajakku rebahan di atap loteng. Agak lama kami hanya diam memandangi
bintang-bintang
“Kamu memikirkan manusia-manusia terbang itu, kan?” Dad menepuk bahuku. Aku terus diam.

“Baiklah, Nak. Sudah saatnya kuceritakan rahasia ini padamu. Mereka berasal dari negeri yang telah collapse
puluhan tahun lalu. Negeri yang terus-menerus dilanda kerusuhan. karena para pemimpinnya selalu bertengkar.
Kerusuhan  sepertinya sengaja dibudidayakan. Perang saudara meletus. Flu burung mengganas. Rakyat
kelaparan sengsara. Sementara minyak mahal, dan langka. Orang-orang harus antre dan berkelahi untuk
mendapatkan minyak, juga air bersih dan beras. Pengangguran tak bisa diatasi. Bangkai terbengkelai. Lebih dari
23 juta balita menderita kekurangan gizi. Terserang folio, lumpuh layuh, busung lapar. Menderita marasmik
kuasiorkor akut. Otak balita-balita itu menyusut. Terkorak mereka kopong. Perut busung. Bahkan tak ada akar
yang bisa mereka makan. Sebab tanah, hutan, sungai dan teluk rusak parah tercemar limbah. Karena tak ada lagi
yang bisa dimakan, orang-orang kelaparan itu pun mulai belajar menyantap angin. Bertahun-tahun, paru-paru
dan perut mereka hanya berisi angin hingga tubuh mereka makin mengembung dan terus mengembung, seperti
balon yang dipompa. Jadi begitulah, Nak. Seperti yang kau lihat di sirkus, mereka sesungguhnya tak bisa
terbang, tapi melayang-layang karena kepala dan  tubuh mereka kosong “

Napas Dad terdengar merendah. Aku seperti merasa ada yang perlahan pecah dan tumpah.

“By the way…, ada juga penduduk negeri itu yang bisa menyelamatkan diri. Yakni sebagian kecil mereka yang
pergi mencari jazirah baru dengan menjadi manusia perahu, seperti orang-orang Vietnam. Terombang-ambing
di samudra, dan terdampar menjadi imigran. Salah satu dari para imigran itu, tak lain ialah kakekmu. Kamu
wangsa pendatang, Nak. That’s why your skin not fair and your hair not blond like your friends that mock you.

Dad terisak. Aku menatap langit. Berharap melihat tubuh-tubuh gembung busung itu melayang di antara
bintang-bintang. Semoga, seperti kata gipsi tua itu, mereka memang menuju surga….

Jakarta, 2005

Judul Cerpen 4 : Cinta Tak Pernah Salah


Penulis : Hodlan JT Hutapea
Tahun Terbit : 2019
Sumber : Analisa

Pada berbagai kesempatan, diam-diam Tiwi suka memerhatikan lelaki tampan berwajah simpatik itu.
Tiwi suka mengamati bibirnya yang bergerak-gerak ketika berbicara. Bibir itu manis, dihiasi kumis
tipis. Semakin lama memandangnya, Tiwi merasa ada yang istimewa dengan lelaki itu. Ada
kehangatan yang ia rasakan setiap kali berada di dekatnya.

Jonas nama lelaki itu. Dia lebih suka dipanggil Bang Jonas. Lelaki berusia 40 tahun itu memang
memiliki karisma, murah hati, ringan tangan dan memiliki senyum yang luar biasa. Sebagai manajer,
dia disukai oleh semua anak buahnya, khususnya wanita.

Jonas selalu tampil menyenangkan, bahkan saat mengkritik kinerja anak buahnya. Jika ia
menemukan kesalahan, ia akan menegurnya dengan sopan, tanpa menyinggung perasaan mereka.
Kalau ada yang minta traktir, dia bayari makan. Kalau ada yang minta diantar, Jonas pun tak
keberatan. Ketika ada yang berkeluh-kesah, Jonas siap jadi pendengar yang baik, lalu memberikan
nasihat-nasihat yang menenteramkan. Kadang, kalau ada yang meminjam uang karena sangat butuh,
Jonas pun dengan ringan mengulurkan bantuan. Jonas baik ke semua orang.

Awalnya Tiwi hanya ikut-ikutan dalam grup makan siang bersama dengan Jonas dan teman-teman
lainnya. Kalau sedang makan atau pergi ramai-ramai, bila yang lain larut dalam tawa dan canda, Tiwi
biasanya cuma ikut-ikutan senyum sambil sesekali memerhatikan senyum Jonas. Entah mengapa, ia
suka takjub melihat senyum khas lelaki itu. Senyum yang selalu tulus, dari kedalaman hati yang
ikhlas.

“Aku ‘kan sudah pernah bilang, jangan suka jalan bersama dia, lama-lama kamu bisa jatuh cinta. Dia
itu baik, menawan dan tampan. Pokoknya dia tipikal lelaki idaman semua wanita. Hati-hati lho, kamu
bisa tenggelam dalam auranya,” begitu kata Rina sahabatnya ketika Tiwi curhat sehabis jam kantor.

“Tapi, aku tidak bisa melupakannya…,” keluh Tiwi seperti putus asa.

“Coba deh untuk dua bulan ke depan kamu nggak makan ramai-ramai bareng dia. Toh kamu bisa
bawa bekal dari rumah seperti aku,” terang Rina mencoba memberikan solusi. “Dulu aku juga hampir
terjebak, menyukai lelaki tampan itu. Padahal aku tahu dia telah memiliki istri dan dua anak. Tapi
kemudian aku mencoba menghindar setiap kali bertemu dia. Ya dengan cara itu, nggak ikut acara
makan siang ramai-ramai bareng dia….”

Meskipun dengan berat hati, Tiwi mencoba melakukan apa yang disarankan Rina. Dua-tiga hari Tiwi
membawa bekal sendiri dan makan berdua saja dengan Rina. Tapi hari selanjutnya…? Tiwi tidak bisa
mendustai hati kecilnya. Ia didera rindu yang amat sangat pada lelaki bertubuh tegap itu. Ia kangen
pada senyumnya, kangen pada canda tawanya. Lelaki itulah yang mampu membuat hidupnya lebih
hidup, meletupkan binar-binar gairah yang tidak terbatas. Tetapi lelaki itu pula yang membuatnya
putus asa dan tak berdaya. Tuhan, salahkah aku mencintai lelaki yang telah beristri? tanya batinnya
miris.

Tidak tahan didera rindu, Tiwi memutuskan untuk kembali bergabung dengan grup makan siang yang
ikon-nya adalah Jonas. Tiwi larut lagi dalam kegelisahan hatinya memendam cinta terlarang dengan
atasannya, Jonas.

Memandangi sosok Jonas yang berwibawa, Tiwi jadi suka sedih. Ia tiba-tiba ingat ayah kandungnya.

“Kalau saja ayahku seperti dia, alangkah bahagianya,” bisik hatinya yang tidak menyadari sebutir air
bening jatuh dari sudut matanya.

Ayah Tiwi ada di Bandung sana, setelah berpisah dengan ibunya belasan tahun lalu. Ia tidak tahu apa
penyebab perpisahan kedua orang tuanya itu. Namun yang jelas, setelah berpisah, ayahnya sangat
jarang menelepon. Berkirim surat atau sms pun tak pernah. Sebelas tahun sudah Tiwi tidak berjumpa
dengannya.

Pernah sekali Tiwi ditugaskan ke Bandung selama seminggu. Tiwi ingin sekali bertemu dengannya.
Tiwi sudah membuat janji akan bertemu dengan ayahnya di suatu tempat. Namun karena ibu tirinya
selalu curiga, Tiwi akhirnya membatalkan pertemuan itu. Bukan apa-apa, Tiwi tidak ingin terjadi
pertengkaran di antara ayah kandungnya dengan ibu tirinya itu.

Di Pekanbaru, Tiwi tinggal bersama ibu kandungnya, ayah tirinya dan dua adik tirinya. Tiwi
bersekolah hingga kuliah di kota itu. Selesai kuliah, Tiwi memilih bekerja di Medan. Kebetulan ada
perusahaan yang menerimanya bekerja di bidang periklanan. Gajinya memang tidak seberapa, tapi
Tiwi sangat bersyukur karena bisa keluar dari rumah yang selalu dianggapnya neraka itu. Tiwi kost di
daerah Padang Bulan, dekat kampus USU, bersama teman-teman sekantornya.

Sesungguhnya Tiwi sangat merindukan sosok seorang ayah yang ideal, seperti Bang Jonas. Ayah
tirinya sangat kejam karena suka memukul, bahkan sangat kasar meski pada anak perempuan.

“Aku tidak suka melihat wajah kamu!” kata ayah tirinya sinis suatu saat dalam kemarahan yang
memuncak. Waktu itu Tiwi pulang terlalu malam karena kelamaan menunggu angkutan kota.
Akhirnya Tiwi pulang dengan menumpang ojek. Meski Tiwi telah memberikan alasan sejujurnya, tetap
saja ayah tirinya yang ‘sok disiplin’ itu melayangkan tamparan keras ke pipi Tiwi. Bukan tamparan
yang membuat merah pipinya itu yang menyebabkan hati Tiwi sangat sakit, tapi hinaan ayah tirinya
yang menyebut dirinya seperti ‘ayam kampus’ atau ‘perek murahan’.

Sungguh sangat sakit. Menusuk-nusuk hingga ke jantung. Selain suka main tangan, kata-kata yang
meluncur dari mulut ayah tirinya sangat kejam. Lebih kejam dari mulut seorang wanita paling cerewet
sekalipun. Ketika akhirnya Tiwi bisa lepas dari cengkeraman ‘singa tua’ itu, Tiwi merasa menemukan
kemerdekaannya. Bahkan Tiwi tidak merasa sedih ketika harus berpisah dengan ibu kandungnya.
Sebab ibu kandungnya sendiri tidak berdaya melakukan pembelaan pada dirinya.

Bagi Tiwi, kehadiran Jonas di antara peliknya hubungannya dengan kedua orang tuanya terasa bagai
hujan di musim kemarau. Jonas terlalu berarti baginya, meski Tiwi menyadari sepenuhnya bahwa
rasa cintanya kepada Jonas adalah sebuah kesalahan. Tiwi merasa bahagia sekaligus menderita
memendam asmara kepada lelaki yang telah beristri. Namun derita itu tetap dipelihara dan
dinikmatinya karena memang ia butuh. Benar kata orang, cinta itu buta. Cinta bisa membuat orang
lupa diri.

“Selamat ulang tahun ya, Tiwi. Semoga panjang umur, tetap semangat dan sukses selalu,” kata
Jonas pagi itu sembari memberikan sebuah kado kecil pada Tiwi.

“Terima kasih, Bang Jonas…,” Tiwi tercekat dalam keharuan mendapat surprise dari atasannya. Hari
itu memang ulang tahunnya yang ke-22.
Jonas mengangguk sambil tersenyum manis. Lalu teman-temannya yang lain ikut mengucapkan
selamat ulang tahun seraya menyalami Tiwi. Meski akhirnya Tiwi harus merelakan setengah bulan
gajinya untuk mentraktir makan teman-temannya, tapi Tiwi sangat bahagia. Terutama karena Jonas
memberikan sesuatu yang spesial untuknya. Sebuah pulpen cantik berwarna pink, warna kesukaan
Tiwi. Secarik kartu kecil membungkus pulpen cantik itu, bertuliskan: Tetap semangat menghadapi hidup.
Masa depan ada di tanganmu. Salam. Bang Jonas….
Bagi Jonas, memberikan sesuatu yang spesial di hari ulang tahun sudah menjadi kebiasaannya. Itu
dilakukannya kepada rekan-rekannya yang masih muda. Sebagai orang yang pernah belajar ilmu
manajemen, ia selalu mendorong semangat mereka agar tumbuh matang dan profesional dalam
bekerja.

Tapi bagi Tiwi, itu adalah sebuah bentuk perhatian dari seorang Jonas, lelaki yang dikaguminya.
Apalagi ketika tadi tangan kekar lelaki itu menjabat tangannya lebih lama. Ada kehangatan yang
mengalir dari tangan itu. Seandainya ia mendekapku…, harap hati Tiwi.

Sore harinya sepulang kerja, Tiwi minta diantar pulang berdua saja dengan Jonas. Jonas
menyanggupinya. Dengan hati berdebar Tiwi duduk di sebelah Jonas yang sedang menyetir. Hmm,
mungkinkah lelaki ini menjadi milikku kelak? Tanya hati Tiwi di antara bahagia dan rasa bersalah.

“Kita mampir dulu ya di toko buku,” sahut Jonas sambil mengarahkan mobilnya memasuki halaman
parkir sebuah mal.

Tiwi sangat senang. Berarti ia punya waktu lebih lama untuk berdua saja dengan Jonas. Pucuk
dicinta, ulam pun tiba.

Setelah membeli beberapa buku tentang manajemen, Jonas menuntun tangan Tiwi memasuki
sebuah restoran siap saji.

“Sambil menunggu jam macet berlalu, kita makan dulu. Oke?” kata Jonas yang langsung antre
memesan makanan.
Sungguh sebuah berkah yang luar biasa membahagiakan bila di hari ulangtahunnya kali ini Tiwi
diperlakukan bak seorang putri oleh Jonas. Tiwi merasa Jonas telah menjadi miliknya sendiri tanpa
perlu kuatir diganggu teman-temannya yang lain.

Pulangnya, mereka berjalan ke tempat parkir melalui gang sempit yang penuh orang. Jonas sesekali
merangkulnya, menghindari tabrakan dengan orang-orang yang berjalan berdesakan. Tiwi senang
diperlakukan seperti itu. Itulah yang diinginkannya selama ini. Bukan hanya sekedar dirangkul. Tiwi
ingin dipeluk, ingin didekap erat. Tiwi ingin dicium, ingin dicumbu. Bahkan lebih. Hati Tiwi kian
terperangkap. Tersandera perasaaan cintanya yang teramat besar pada Jonas. Tiwi ingin itu tiap hari
terjadi.

Kemarin Tiwi mendapat telepon dari ibu tirinya, mengabarkan bahwa ayahnya sedang sakit keras.
Kalau bukan karena ayahnya selalu mengigau memanggil-manggil nama Tiwi, ibu tirinya tentu tidak
akan mau mengabari kondisi ayahnya.

“Tengoklah ayahmu, beliau pasti sangat berharap kamu hadir di sampingnya,” kata Jonas ketika Tiwi
menceritakan kondisi kesehatan ayahnya.

Tiwi mengangguk sedih sembari menyeka air matanya.

“Antar saya ke bandara ya, Bang Jonas?” pinta Tiwi.

“Jam berapa pesawatmu berangkat?”

“Jam tujuh malam, Bang….”

“Oke. Nanti aku jemput ke kontrakanmu,” Jonas menyanggupi. “Kamu harus tabah, ya….”

Jonas ikut membawa koper kecil milik Tiwi ke dalam ruang tunggu bandara. Masih sejam lagi
pesawat yang akan membawanya ke Jakarta akan diberangkatkan. Sesampai di bandara Soekarno-
Hatta nanti, Tiwi akan langsung naik bus Damri yang akan membawanya ke Bandung.

Setelah melakukan check-in, Tiwi memilih duduk di sudut ruang tunggu.


“Kamu baik-baik saja?” tanya Jonas yang melihat Tiwi terus berurai air mata.

“Aku takut kehilangan Ayah…,” keluhnya lirih.

“Kamu jangan berpikir sejauh itu. Berdoalah terus agar kesehatan ayahmu dapat pulih kembali,” kata
Jonas lembut.

Tiwi mengangguk sambil menyeka air matanya.

Sayup-sayup terdengar panggilan dari pengeras suara, mempersilakan para calon penumpang
menaiki pesawat.

Tiwi berdiri memegangi koper kecilnya. Nanar matanya menatap Jonas. Tiba-tiba Tiwi menghambur.
Memeluk Jonas erat sekali, lalu menciumnya….

Jonas sangat terkejut, namun dengan cepat ia dapat menguasai diri. Perlahan ia melepas pelukan
Tiwi dan dengan kikuk bergeser ke pintu keluar.
“Hati-hati, ya…,” sahut Jonas datar.

“Terima kasih, Bang Jonas…,” balas Tiwi sendu, hampir tak terdengar.

Kesehatan ayah Tiwi berangsur pulih. Ternyata sang ayah sangat merindukan Tiwi. Merasakan
kehadiran putrinya di sisinya, semangat hidup sang ayah untuk sembuh bangkit kembali. Baru sekali
ini Tiwi melihat rona bahagia di wajah ayahnya. Tiwi pun pamit setelah ayahnya diperbolehkan keluar
dari rumah sakit.

Setelah seminggu di Bandung, hari itu Tiwi kembali ke kantor. Ketika bertemu Jonas, Jonas kelihatan
berubah. Jonas tidak lagi bebas seperti biasanya. Ia rikuh, bingung harus berbuat apa. Ingin riang, ia
kuatir nanti dianggap gembira berjumpa lagi dengan Tiwi.

“Bagaimana kabar ayahmu?” akhirnya tanya Jonas.

“Sudah baikan, Bang,” jawab Tiwi menunduk. Entah mengapa kali ini ia tidak berani menatap mata
Jonas yang teduh. Ia sendiri ikut rikuh setelah apa yang dilakukannya di bandara ketika itu. Ia jadi
malu.

Ketika jam makan tiba, Tiwi memilih tetap di kursinya. Kebetulan ia membawa kotak makanannya
sehingga tidak perlu turun ke kantin di lantai bawah. Sejak turun dari pesawat tadi malam, hati Tiwi
diliputi rasa bersalah yang amat dalam. Hatinya gelisah dan ingin meminta maaf pada Jonas.

Sesungguhnya Jonas pun tampak gelisah. Ia makan siang dengan hati sedikit gusar. Hari ini ia tak
banyak bicara atau tertawa seperti biasanya. Ketika ia kembali ke meja kerjanya dan membuka
laptopnya, pikirannya tetap pada Tiwi. Ah, mengapa jadi begini? keluh hatinya. Kami ‘kan hanya
bersahabat. Persahabatan jadi cinta, mestinya tak boleh terjadi. Bukankah ini cinta terlarang? Apalagi
Tiwi yang umurnya terpaut 18 tahun dengannya….

Jonas membuka file catatan hariannya. Dibacanya lagi curahan hatinya yang semalam diketiknya.

Aku menyukainya, gadis belia bernama Tiwi itu. Tapi…, pantaskah aku mencintainya? Gadis itu pendiam,
seperti memendam ribuan masalah besar di pikirannya. Ingin rasanya aku ikut menanggung bebannya itu. Tapi
pantaskah? Tuhan, ciumannya waktu itu sungguh membuat aku lupa diri. Ampunilah hambaMu ini, yang tak
pantas mencintainya karena aku telah beristri dengan dua anak yang manis-manis….
Jonas merenung lagi. Menimbang-nimbang lagi, sebelum akhirnya dengan sedikit gemetar ia
menyorot kalimat-kalimat itu, lalu men-delete-nya. Seketika kalimat-kalimat curahan hati itu lenyap
dari layar monitor laptopnya. Jonas mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Semoga
ini keputusan yang tepat, semoga tidak ada yang terluka…, bisik hatinya. Tiwi, maafkan Abang……
***

Judul Cerpen 5 : Alya


Penulis : khairun nisa
Tahun Terbit : 2019
Sumber : Analisa
LANGKAH kakiku terasa begitu berat, menyeret dedaunan gersang yang senantiasa menghujaniku kala itu.
Sepi, hanya deru angin kencang yang menerbangkan helai demi helai dedaunan yang terserak berantakan. Aku
tak tahu berada dimana diriku saat ini. Hatiku begitu hancur, ingin berteriak sekeras yang kubisa dan menangis
sepuas-puasnya.

Terkadang aku marah pada Tuhan. Mengapa ia memberiku kehidupan jika akhirnya ia membuatku berada dalam
keterpurukan ini? Rasanya aku ingin mati saja. Sungguh, aku lelah menopang semua beban yang kubawa
dikedua bahuku selama ini. Ayahku seorang lelaki kasar yang selalu menghabiskan waktunya dengan minuman-
minuman keras, ibuku seorang wanita pekerja keras yang tak peduli dengan kondisi apapun kecuali uangnya,
sementara kakakku wanita yang begitu baik hati terhadap semua orang, bahkan ia begitu menyayangiku. Namun
sayangnya aku tidak begitu suka mengobrol dengannya karena syndrom otak yang dialaminya sejak lahir.

“Aa… aa…” panggil seseorang dari belakang yang sepertinya kukenali suara itu.

“Kakak?” heranku ketika menoleh ke arahnya, “Kakak ngapai ada di sini? Pergi Kak, pergi!” suruhku, namun ia
tak mau pergi juga.

Ternyata sejak tadi ia mengikutiku. Aku sendiri pun baru ingat, jika sepulang sekolah tadi aku kembali ke
rumah, namun baru saja berhenti di depan pintu utama aku mendengar pertengkaran hebat antara ayah dan ibuku
yang hampir setiap harinya aku dengar. Pagi, siang, sore, petang, bahkan tengah malam sekali pun hal itu selalu
terdengar jelas di indra pendengaranku. Aku muak! Aku tak ingin mendengarnya lagi, hingga akhirnya aku
berlari hingga membawaku ke tempat ini. Sebuah taman yang dipenuhi dengan pepohonan.

“Adik, ayo pulang.” ajak kakakku dengan bahasa yang tidak jelas, bahkan aku sendiri tak mengerti apa yang ia
katakan. Bisa dibayangkan bagaimana seorang wanita autis berumur 23 tahun berbicara? Yah, begitulah. Air
liurnya mengalir membasahi leher hingga bajunya yang berwarna putih, namun begitu kotor terkena sisa
makanan, tangannya pun penuh dengan bekas cokelat dan roti selai strawberry favoritnya.

“Ih Kakak. Jorok banget, sih!” marahku sembari menghapus kotoran di wajah serta tangannya dengan sapu
tangan milikku, “Lain kali kalau makan tuh yang benar dong,” kataku lagi namun ia hanya tertawa-tawa
melihatiku.

“Ibu…” katanya sembari menunjuk ke arah yang aku tak mengerti dimana.

“Apa?”

“Ibu… dipukul Ayah…” katanya dengan bahasa tangan yang tetap saja aku tak mengerti, “Di sana…”

“Dipukul? Siapa?”

“Aa.. aa…” Ia terus menarik tanganku menuju tempat yang ia tunjuk sejak tadi.

Jujur saja, ia adalah satu-satunya teman yang aku miliki di dunia ini. Walaupun aku tak begitu suka mengobrol
dengannya, tapi sungguh sebenarnya aku sangat sayang padanya. Hanya saja ia tidak bisa berkomunikasi
dengan baik terhadap siapa pun, hingga aku pun selalu dibuat kesal olehnya. Maka itu lebih baik aku tak
mengajaknya untuk mengobrol, karena percuma saja orang seperti ia tidak akan mengerti. Sesekali aku
mengajaknya mengobrol hanya untuk menyuruhnya makan, mandi, istirahat dan sekedar hal kecil lainnya.
Selebihnya aku lebih memilih untuk diam tak berbicara walaupun ia terus sibuk mengajakku bermain bersama.

Setelah berjalan hampir sekitar lima belas menit lamanya, aku dan kakakku pun sampai ke tempat yang ia
tunjuk sejak tadi. Ternyata rumahku sendiri. Aku terdiam sebentar. Kenapa kakakku malah menunjuk rumah
diiringi dengan kata ‘pukul’ sepanjang jalan? Lagi-lagi aku menatap lekat kakakku yang masih terus
mengatakan hal yang sama seperti tadi.
“Ibu dipukul Ayah?” kagetku baru tersadar dengan maksudnya. “Ibu!” kataku langsung menuju ke dalam rumah
untuk melihat kondisi Ibu.

Aku melihat wajah sembab di mata Ibu, sepertinya ia baru saja menangis. Bukan hanya itu saja, aku juga
melihat luka memar di sudut bibir kanannya. Sepertinya ayah benar-benar memukul ibu. Astaga! Masalah apa
lagi ini.

“Ibu kenapa? Ayah mukul ibu lagi?” tanyaku pada ibu yang hanya diam membereskan dokumen-dokumen
berantakan di atas meja kerjanya, “Ibu jawab Alya, Bu. Ibu kenapa?”

“Kamu gak perlu tahu masalah antara ibu dan ayah,” jawabnya begitu jutek.

“Tapi ayah udah keterlaluan, Bu. Alya gak bisa biarin hal ini terjadi lagi sama Ibu. Alya harus bicara sama
ayah,” kataku ingin beranjak, namun secepat kilat ibu menarik lenganku.

“Ibu udah bilang berkali-kali, kamu gak perlu tahu masalah ibu dan ayah!”

“Engga, Bu. Alya harus bicara sama ayah!”

“Alya!” tampar ibu tepat di pipi kananku hingga membuatku terdiam menatapnya, “Ibu mohon, jangan tambah
kekacauan keluarga kita lagi.” katanya yang kulihat penuh dengan rasa sedih.

“Apapun masalah kalian, aku benci kalian semua!” kataku beranjak pergi sembari memegangi pipiku yang
terasa sakit, bahkan aku tak bisa menahan air mataku. Ibu selalu begitu padaku, ia tak pernah menyayangi aku
seperti ia menyayangi kakak.

Aku pergi menuju atap perpustakaan sekolah. Setiap harinya, tempat itulah yang menjadi tempat favoritku
ketika aku sedang berada dalam keadaan hati yang kacau dan berantakan. Karena sekolahku terbuka setiap hari
dan setiap saat, di sanalah biasanya aku menangis sembari melihati indahnya langit yang seketika dapat
menenangkanku. Saat itu juga, aku menangis dan berteriak sekeras-kerasnya “Aku benci kalian semua, aku
benci!” Tangisku semakin pecah.

Tak terasa hampir kurang lebih tiga jam aku berada di sana, namun aku tak juga bosan. Aku sedikit melirik
arlojiku, hari semakin petang. Sudah waktunya aku pulang walaupun sebenarnya aku sangat malas untuk
kembali ke rumah itu lagi. Namun aku memikirkan bagaimana dengan kakakku. Pasti ia kelaparan, kedinginan,
dan kesepian. Aku harus pulang segera. Begitu pikirku setelah keadaan hatiku sudah mulai sedikit membaik.
Aku harap, ketika aku pulang nanti tidak ada teriakan, tangisan, kekerasan, dan pertengkaran lagi di antara
kedua orangtuaku. Sungguh, aku sangat berharap hal itu.

“Kakak? Alya pulang,” kataku setelah sampai di rumah.

“Aa… aa… Ibu belum pulang,” katanya lagi-lagi dengan bahasa yang tak ku mengerti.

“Apa?”

“Ibu…”

“Ibu?” tanyaku meyakinkan bahwa apa yang ku dengar itu benar, “Ibu hari ini gak pulang, Kak. Dia pergi ke
Bandung untuk kerjaannya.”

“Aa.. Kakak belum makan,” katanya yang kali ini diiringi dengan bahasa tangan.
“Kakak lapar? Alya masak mie instan, yah?” tanyaku yang dijawabnya dengan anggukan “Setelah itu kakak
istirahat.”

***

Pagi pun datang kembali. Aku membuka jendela kamarku untuk menghirup sedikit hawa dingin dihari libur
minggu ini, sungguh nikmat rasanya. Terlebih ketika melihat terik matahari yang seolah tersenyum mengarahku,
menyuruhku untuk ikut bersemangat di awal hari ini. Kicauan burung senantiasa terdengar seperti menyanyikan
lagu bertema keceriaan. Lagi-lagi aku berharap suatu hal yang sama seperti biasanya.

“Ya Tuhan, kumohon. Jangan biarkan hariku yang cerah terbasahi hujan deras dan juga guntur yang keras.
Jangan biarkan kedua orang tuaku memulai hari dengan pertengkaran lagi, kumohon…”

Belum sempat sedetik aku bermohon pada Tuhan, aku mendengar suara pecahan kaca berasal dari arah ruang
utama. Ayah dan ibu bertengkar lagi? Aku mendecak frustasi sembari memukul-mukul kepalaku, kemudian
menghampiri mereka berniat untuk menghentikan semuanya. Namun usahaku gagal, ayah malah semakin marah
pada ibu dan juga aku.

“Ayah! Berhenti, Yah! Cukup!” jeritku terus menarik tangan ayah agar berhenti menghancurkan semua barang
yang ada di ruang utama.

“Kamu jangan ikut-ikutan! Pergi kamu dari sini,” bentak Ayah padaku.

“Kamu jangan bentak Alya, ini semua salah kamu!” sambar ibu.

“Salah aku? Terus gimana dengan keluarga kamu?”

“Kok kamu jadi nyalahi keluarga aku?”

“Ayah! Ibu! Aku mohon!” kataku disela pertengkaran mereka.

“Kamu yang menciptakan semua masalah ini!” kata ibu yang terus menyalahkan ayah.

“Diam kamu!” secepat kilat tangan ayah menuju wajah ibu, namun aku pun menghalang berdiri di depan ayah,
hingga pukulan itu malah mengenaiku. Tubuhku yang kecil seketika terhempas hingga kepalaku terbentur keras
ujung meja kaca, setelah itu pandanganku begitu gelap dan aku tak sadarkan diri.

“Alya!” kata ayah mulai menghampiriku dan langsung menggendongku membawaku ke rumah sakit.

“Aa.. aa..” Kakakku pun menangis melihat keadaanku saat itu.

Selama empat jam lamanya aku terbaring lemah tak berdaya di atas brankar putih rumah sakit, luka di ujung
keningku terlihat begitu jelas dibalut dengan perban. Tubuhku terasa begitu lemah kala itu, aku merasakan
kedinginan yang amat sangat mendalam merasuk tubuhku.

Saat itu juga, aku merasa bukan hanya membenci keluargaku saja, namun aku juga membenci Tuhan.

Kenapa ia menulis takdir buruk ini untukku? Jika begini, lebih baik aku mati saja. Benar! Aku ingin mati saja.
Samar-samar aku terdengar isakan seorang wanita. Sepertinya ia begitu merasakan kesedihan. Bukan hanya itu,
aku juga sedikit merasakan genggaman tangan seseorang membalut telapak tanganku yang terasa begitu dingin
tadinya, hingga aku merasakan kehangatan. Mataku pelan-pelan terbuka, napasku pun sedikit demi sedikit ku
atur lebih baik. Aku menoleh kearah orang itu.

“Ibu…” kataku begitu pelan bahkan menyerupai bisikan tak terdengar.

Ternyata tangan hangat yang membalut tanganku itu adalah tangan Ibu. Jujur saja, ini pertama kalinya ibu
menggenggam tanganku setelah 17 tahun aku hidup di dunia ini. Air mataku menetes, entah karena sedih atau
pun bahagia, namun kuyakini kedua perasaan itu beradu menjadi satu.

“Ibu…” kataku lagi yang kali ini lebih terdengar jelas, bahkan isak tangisku juga.

“Alya? Kamu udah sadar, sayang? Alhamdulillah,” ibu langsung memelukku begitu bahagia rasanya. Aku
bukan hanya melihat ibu, namun ayah, dan juga kakak ikut menangis setelah kesadaranku. Apa mereka semua
menungguku? Apa benar begitu?

“Maafkan Ibu, Alya. Maafkan Ibu,” ucap ibu sembari menangis.

“Ayah juga minta maaf sama kamu, ini semua salah Ayah,” sambar ayah.

“Engga, Yah, Bu. Ini bukan salah kalian. Tapi, Alya harus tahu apa yang membuat kalian selalu bertengkar.”

Ibu melirik ayah dahulu sebelum memulai penjelasan, “Maaf selama ini Ibu dan Ayah menyembunyikan hal ini
dari kamu. Sebenarnya kamu itu, bukan anak kandung Ibu,” kata ibu seketika membuatku terdiam kaget, “Kamu
adalah anak selingkuhan Ayah 18 tahun yang lalu.”

Ayah menyambung cerita ibu, “Orangtua ibu, tidak setuju jika ayah menikah dengannya, terlebih lagi ketika
kami melahirkan anak yang tidak normal seperti Rara. Setelah ayah mendapat segala macam hinaan dari
keluarga mereka, ayah memutuskan untuk menikah lagi tanpa sepengetahuan ibu dan melahirkan kamu, tapi
setelah melahirkan kamu, bunda kamu meninggal, Nak. Itu sebabnya ayah kembali lagi dengan ibu dan meminta
ibu agar merawat kamu karena ayah tidak memiliki siapa pun lagi, tapi ibu menolak karena ayah pun tahu
bagaimana kemarahan Ibu saat itu.”

“Ayah…” tangisku semakin pecah.

“Maafkan Ibu, Alya. Ibu sadar, ternyata Ibu juga sayang sama kamu. Tapi karena keegoisan dan kemarahan Ibu
yang membuat Ibu seolah membenci kamu. Ibu sayang sama kamu, Nak,” memelukku begitu erat beserta ayah
dan kakakku.

“Alya sayang kalian semua,” kataku akhirnya berterima kasih pada keluargaku dan juga Tuhan. Ternyata Tuhan
malah menulis takdir terbaik untukku, Tuhan juga sayang padaku. ***

Judul Cerpen 6 : Ros dan Mantan-mantannya


Penulis : Damhuri Muhammad
Tahun Terbit : 2020
Sumber : Tempo
Istri bupati sudah, istri gubernur pun sudah. Belum sempurna hidupnya sebelum posisi istri menteri ia rengkuh.
Sebutan istri pada masing-masing jabatan itu bukan dari laki-laki yang sama, melainkan dari suami pertama dan
kedua, yang sudah ia tinggalkan atas pertimbangan bahwa satu kolom dalam daftar riwayat hidup-nya sudah
terisi. Mencapai predikat istri menteri tentu tak semudah mendapatkan tempat sebagai Nyonya Bupati. Pada
masa itu, ia hanya perlu membangun personal branding Afrizal Azhar sebagai mubalig. Dengan berbagai cara,
ia melipatgandakan jadwal khutbah, kuliah subuh, dan jadwal ceramah di majelis taklim khusus ibu-ibu. Hanya
perlu 1,5 tahun keluar-masuk masjid dan musala di seantero wilayah kabupaten, dengan materi tausiyah yang
tak jauh-jauh dari perkara pentingnya sosok ahli agama di belantara kemaksiatan yang membiak seperti virus,
lalu suaminya pun ternobatkan sebagai ustad idola.
Tak sekali dua, jemaah mengira mubalig kondang itu seorang “Duren” alias duda keren karena hampir tak ada
cerita tentang istri dan anak-anaknya di atas mimbar. Satu-dua anggota jemaah sudah telanjur menawarkan anak
gadis mereka sebagai calon pendamping si mubalig. Namun, setelah calon-calon mertua yang hendak
memperbaiki nasab dan nasib itu bertatap muka dengan istri sang idola, barulah mereka legowo mundur. “Ini
tak akan lama. Setelah tunai tugasnya sebagai bupati dua periode, ia bisa kalian perebutkan,” katanya dalam hati
saat berhadapan dengan ibu-ibu pengajian itu. Menimbang popularitas suaminya telah melampaui semua nama
yang sebelumnya diperhitungkan di panggung pemilihan, ustad Afrizal Azhar dilamar oleh partai politik.
Sebanyak 60 persen suara berhasil ia raup, hingga pesaingnya hanya berebut suara sisa-sisa.
Berangkat dari kemenangan besar pada periode pertama, resmilah Rosliana sebagai Nyonya Bupati. Serepot-
repotnya aktivitas kebupatian, ustad Afrizal Azhar tetap menyisihkan waktu untuk menyambangi jemaahnya,
termasuk mencatat semua persoalan umat. Dari situlah ia merancang bermacam-macam kebijakan yang
tujuannya tak lain adalah mewujudkan tatanan “Baldatun Thayyibatun Wa Rabbun Ghafur”. Popularitasnya
bertambah-tambah, paket-paket kebijakannya benar-benar bersentuhan dengan kemaslahatan umat. Karena itu,
Ros tak perlu bekerja keras. Paling repot, upayanya hanya mempertahankan angka keterpilihan pada periode
pertama. Benar adanya, pada periode kedua, meski diserang dengan macam-macam modus black campaign,
bupati petahana Afrizal Azhar menang mutlak. Maka, sampailah niat Ros menjadi Nyonya Bupati dua ronde.
Setelah pelantikan jilid dua, Ros merasa tak ada lagi yang menantang dalam posisinya sebagai Nyonya Bupati.
Kolom daftar riwayat hidup yang selanjutnya perlu diisi adalah istri gubernur. “Waktunya mundur teratur,” kata
dia bergumam. Alasan Ros tak dapat disangkal. Ia tidak bisa memberi Afrizal Azhar keturunan. Entah karena
sengaja, atau karena mandul betul-betul. Mudah saja baginya menyudahi persekutuan yang seolah-olah ditopang
oleh cinta yang mulia itu. Dipilihnya salah satu anak gadis yang dulu ditawarkan oleh jemaah pengajian ibu-ibu.
Ditemuinya calon mertua yang pernah gagal mendapatkan mubalig seleb itu.
“Ya, Tuhan. Mulia sekali hati Nyonya Bupati. Saya memang ingin sekali bermenantu Ustad, tapi saya tidak tega
melihat Nyonya terluka,” kata si calon mertua, sekadar berbasa-basi.

“Bila Ibu menolak, justru Ustad akan senantiasa terluka karena tidak punya anak. Mari sama-sama kita lindungi
ustad Afrizal dari luka masa d epan!” ucap Ros. “Kita bahagiakan Pak Bupati, ya, Bu! Bismillah.”

Kedatangan daun muda dalam hidup Bupati Afrizal Azhar adalah pintu keluar yang lebar bagi Ros. Dengan
penuh kerelaan ia meninggalkan rumah dinas. Tentu setelah semua surat-menyurat yang dapat mengabsahkan
suaminya untuk menikah lagi telah ia bereskan.

“Selamat menjadi Nyonya Bupati yang baru, Adinda!” kata Ros kepada calon pengantin sebelum benar-benar
meninggalkan segala kenangan bersama ustad Afrizal Azhar.

Hanya berselang beberapa tahun setelah perpisahan yang tak mendebarkan itu, Ros berhasil memikat perhatian
seorang calon kuat dalam pemilihan gubernur. Sudah kerap ia berjumpa dengan calon kuat itu semasa ia masih
berstatus sebagai Nyonya Bupati. Drama kecil-kecilan untuk meretakkan rumah tangga calon gubernur itu telah
ia mulai. “Nyonya Anda hanya cocok sebagai Nyonya Bupati. Anda perlu pendamping baru dengan kepribadian
yang dapat memastikan kemenangan Anda meraih kursi gubernur!” kata pembisik cagub, yang tak lain adalah
orang suruhan Ros. Selain itu, istri cagub pernah melakukan kesalahan fatal yang hampir menyeret suaminya
sebagai tersangka. Pendek kata, Ros masuk ke ring satu orang-orang cagub. Bahkan akhirnya ia didaulat cagub
sebagai konsultan utama atas pertimbangan pengalamannya memenangkan mantan suaminya sebagai bupati dua
periode.

“Beri aku kemenangan, akan kuberi kau kebahagiaan!” kata pemegang elektabilitas tertinggi itu kepada Ros.
Itulah permintaan yang ditunggu-tunggu Ros. Memenangkan yang sudah pasti bukanlah perkara sulit baginya.
Ia mengerahkan segenap kemampuan. Ia memberdayakan segenap jaringan. Pusat dan daerah. Propaganda
terang-terangan, juga agitasi di belakang layar. Demi menggapai impiannya sebagai Nyonya Gubernur. Kerja
kerasnya bahkan melampaui target. Semula ia memperkirakan cagub hanya bakal menang tipis, mengingat dua
pasangan pesaingnya bukanlah cagub kaleng-kaleng. Konon, keduanya menggunakan jasa konsultan politik
tamatan Amerika. Tapi hasil akhir berkata lain. Cagub jagoannya bahkan menang dengan perolehan suara yang
spektakuler. Kedua pasangan pesaingnya mengaku kalah dan merasa mustahil melayangkan tuntutan
kecurangan. Sebelum pelantikan, tersiar kabar bahwa cagub terpilih bernama Jawahirul Ilmi, yang semasa
kampanye diserang habis-habisan lantaran bercerai dengan istrinya tanpa sebab yang jelas, itu, mempersunting
konsultan utamanya, Rosliana. Kecemasan konstituen soal gubernur terpilih yang akan dilantik tanpa
pendamping pun teratasi. Ros resmi sebagai Nyonya Gubernur. Kolom kedua dari daftar riwayat hidupnya
terisi.

Tiga tahun saja Ros mendampingi Gubernur Jawahirul Ilmi. Sekali lagi ia menggunakan modus lama.
Mengumpan suaminya dengan daun muda, yang sekali lagi ia peroleh dari jemaah pengajian ibu-ibu di
kabupaten asalnya. Alasannya pun lebih-kurang sama: tak layak istri gubernur mandul. Oleh karena itu, ia
membahagiakan suaminya dengan daun muda, yang siap beranak-pinak demi merenovasi silsilah. Sebelum
pergi menyongsong impian yang lebih besar, ia mengamankan segala macam prosedur dan dokumen penting
yang bisa memastikan mantan suaminya lekas mempersunting calon Nyonya Gubernur yang baru. “Selamat
berbahagia, Adinda. Selamat menikmati kemewahan sebagai Nyonya Gubernur yang kedua!” katanya kepada
perempuan muda bernama Lusiana Indahsari itu. Begitulah Ros. Ia tak akan betah dengan status nyonya kaya,
sebelum kolom ketiga dari daftar riwayat hidupnya terisi: istri menteri.
Suami Ros selanjutnya adalah saudagar kaya, yang ekspansi bisnisnya menggurita di provinsi di bawah kendali
mantan suaminya. Sedemikian berpengaruhnya saudagar itu, ia bisa mengganti kepala kepolisian bila
bertentangan dengan kepentingan bisnisnya. Bukan saja di provinsi tempat Ros bermukim, tapi juga di provinsi-
provinsi lain, yang berkaitan langsung dengan anak-anak perusahaannnya. Yang tak dapat diabaikan adalah
suami ketiga Ros itu adalah penopang utama dana kampanye calon presiden yang kini sudah resmi berkantor di
Istana Negara, dan karena itu hampir dipastikan namanya bakal tertera dalam susunan kabinet setelah tersiar
kabar tentang reshuffle. Masa itu, Ros sudah menggenggam info A1 bahwa Soleman Buldan adalah calon
Menteri Perdagangan. Namun, sekali lagi, meraih posisi istri menteri rupanya tak semudah mendapatkan tempat
terhormat sebagai istri bupati dan istri gubernur. Soleman Buldan memang sudah ditelepon pihak Istana. Jas
untuk hari pelantikan sudah dipesan. Tapi menteri terpilih malah mantan suaminya semasa ia Nyonya Bupati,
yakni Afrizal Azhar.
“Bangke!” Ros mengumpat.
“Kalau tahu begini, aku tak perlu beralih rupa menjadi kutu loncat!”

Tapi bukan Rosliana namanya bila berputus asa. Lima tahun berikutnya, tentu setelah ia pamit undur baik-baik
sebagai Nyonya Soleman Buldan dan sudah berlabuh di pelukan suami baru bernama John F. Kennedy, terbuka
kembali peluang untuk mendapatkan impian sebagai istri menteri. Celakanya, di kesempatan kedua itu, ia masih
gagal. Suami keempat Ros itu adalah tokoh sentral dari partai pengusung presiden terpilih. Sekian kursi di
kabinet yang disediakan berdasarkan hak prerogatif presiden, salah satunya pasti akan jatuh ke tangannya. Ros
sudah mencetak undangan tasyakuran untuk para kolega. Tapi yang dilantik malah teman dekat mantan
suaminya sesama saudagar.

“Mulailah dari anak tangga paling bawah,” begitu saran konsultan partikelir yang kebetulan juga sahabat dekat
Ros.

“Maksudmu, cara naikku masih kurang dari bawah?” tanya Ros ragu.

“Yang bermula dari tengah, sukar untuk menapak di puncak!” kata konsultan itu.

Meski kesal dan tak betul-betul yakin pada nasihat kawan dekat itu, setelah kegagalan jilid dua, Ros memang
berpisah baik-baik dengan suaminya, John F. Kennedy. Kurang dari setahun kemudian, Ros dipersunting oleh
seorang duda yang jam terbang tertingginya hanya mantan kepala desa bernama Taufan Wahidin. Laki-laki itu
mencintai Ros seperti ia mencintai urat lehernya sendiri.
“Setinggi-tingginya bangau terbang, di kubangan juga tempat hinggapnya, Dik!” kata Taufan. Girang tiada
terkira. Ia seperti beroleh berkah dari langit ketujuh. Yang lepas selama puluhan tahun, kini sudah pulang,
bahkan tanpa dicari.

Namun pasangan suami-istri itu tak bertahan lama. Beberapa bulan seusai gegap gempita pemilu presiden, Ros
melarikan diri dari perangkap cinta masa silam itu, dengan alasan yang kali ini ia ungkapkan saja sejujur-
jujurnya. Bahwa ia turun sampai anak tangga paling dasar, bukanlah semacam pulang ke pangkal jalan, tapi
justru sebagai anjuan untuk membuat dirinya terpelanting ke angkasa sampai anak tangga paling puncak. Ia
minta maaf telah menginjak-injak martabat cinta sejati demi impian yang jauh lebih hakiki.

“Selamat meraih mimpi besarmu, Dik! Aku hanya mengingatkan, yang kau incar adalah politikus. Ia lahir
karena demokrasi. Dan demokrasi di republik ini seperti singkong impor. Setelah direbus, cepat basi!” kata
Taufan Wahidin.

Lalu Ros berlabuh di pangkuan lelaki yang digadang-gadang telah didaulat sebagai calon Menteri Muda Bidang
Mitigasi Bencana. Entah bagaimana caranya Ros bisa mendapatkan berondong itu. Yang pasti, bukan Ros
namanya kalau menyerah. Ia bahkan sudah merelakan dirinya merangkak betul-betul dari bawah. Hampir satu
periode jabatan presiden ia berkhidmat sebagai istri mantan kepala desa. Kurang dari bawah apalagi coba?

Hari itu Ros sudah memilih gaun istimewa, lipstik dengan warna paling bercahaya. Sehari sebelum presiden
mengumumkan nama-nama menteri baru, suaminya tertangkap atas dugaan pidana korupsi. Istri calon menteri
itu duduk termenung di beranda, sambil memandang kolom kosong di lembaran Daftar Riwayat Hidup-nya.
Yang seharusnya ditulis “Istri Menteri” ia ganti dengan “Istri Kekasih Sejati”.

Judul Cerpen 7 : Saudara yang Sempurna


Penulis : Benny Arnas
Tahun Terbit : 27 September 2020
Sumber : Analisa

TIDAK ada yang sempurna. Tapi, kamu kenapa selalu mendapatkan segalanya, bahkan dengan membuat
gumpil kegembiraanku?

Di SMP, kamu juara puisi ketika aku menang lomba lukis; kita pun lulus dengan nilai yang sama. Di SMA,
ketika aku juara kelas, kamu juga meraihnya di kelas yang lain. Sekelas di kelas tiga, aku berhasil menggesermu
ke peringkat kedua, tapi Adit yang sudah dekat denganku sejak kelas dua malah memboncengmu pulang. 
“Maaf, Kak,” katamu dengan air muka bersalah. Kau memanggilku Kakak sebab kata ibu aku lebih dulu
beberapa menit dilahirkan. “Aku sudah menolak, tapi Adit juga mau belajar sama Sensei Bata …” 

“Kami memang dekat, Jannah,” potongku. “Tapi, aku akan mencampakkan playboy itu di hari kau merebutnya.
Kau percaya dia juga mau belajar membaca Huruf Kanji? Ingat, Jannah! Adit itu laki-laki sebagaimana ayah!
“Kak?”

“Tidak cukupkah kekerasan yang diterima ibu jadi pelajaran? Kau tahu, bukan, bulan depan ayah dan ibu resmi
berpisah? Ayah tidak perlu lagi menjaga citranya sebab dia tidak berniat maju di pileg tahun depan. Laki-laki di
mana saja begitu!”

Sungguh, sikapmu yang sok lugu membuatku muak, hingga… aku akhirnya bermanuver. Kau dan Ibu pasti
syok dan kecewa, tapi risiko harus kuambil untuk mengalahkanmu!
Ya, kau lalu ikut ibu yang hanya seorang tukang jahit dan aku mengekor ayah yang fokus mengembangkan
perusahaannya di Jakarta. Sejak itu, aku merasa tatapanmu selalu meneriakiku orang munafik. Ah!

Setahun kemudian aku mengirim kabar kelulusanku di Meiji University. Tak sia-sia ayah membiayaiku kursus
intensif bahasa Jepang di Kemang. “Aku belum siap,” kataku ketika kau memberi tahu Ibu ingin bicara. Ya, aku
merasa sangat bersalah kepada ibu.

“Aku ikut bangga, Kak!” katamu berusaha mencairkan suasana. Kau menceritakan kuliahmu di sebuah kampus
swasta di Lubuklinggau. Tentu saja aku menang banyak, meski kekalahan tak terdengar dalam nada bicaramu.

Suatu hari kau mengadu tentang ayah yang tak pernah mengirimkan uang bulanan sebagaimana kesepakatan
pascaperceraian. Ayah bergeming ketika aku menyampaikannya. Aku tak mau mendesaknya. Ia sudah mau
membiayai kuliahku saja, sudah lebih dari cukup. Sejak itu kau tak pernah menghubungiku sebelum dua bulan
lalu kau tiba-tiba menelepon. “Aku menang lomba karya tulis ilmiah, Kak,” katamu bersemangat. “Aku …”

Aku memutuskan sambungan dan memblokir nomormu. Hei, Jannati, kenapa harus dongkol? Kau kuliah di
kampus ternama di Chidoya City. Bulan depan kau juga akan menyambut rombongan mahasiswa berprestasi se-
Asia, sedangkan kembaranmu malah sibuk dengan kampus buluknya di Lubuklinggau dengan prestasi
recehnya!

Tapi… kau adalah hantu gentayangan yang menembus ruang dan waktu. Bagaimana bisa satu dari dua
perwakilan mahasiswa berprestasi Indonesia yang dikirim ke Tokyo itu adalah kamu?! Kau memandangku
sekilas sebelum naik podium. Apa? Kau presentasi dalam bahasa Jepang? Aku tiba-tiba ingat Sensei Bata. Aku
tak pernah menyangka kau mengejarku sejauh ini. Kamu jahat sekali, Jannah!

Ketika tepuk tangan bergemuruh dan orang-orang mengerubungimu, aku meninggalkan tempat acara dan
kembali ke hotel yang disewa kampus untuk panitia.  Seusai makan malam, kau menemuiku di kamar. Ah, kau
pasti merasakan betapa berat aku membalas pelukanmu.

Di balkon kamar, kau memuji kulitku yang putih dan menebak aku menggunakan kosmetik produk Jepang yang
kalau di Indonesia harganya selangit. “O ya, ibu sudah mulai sakit-sakitan, Kak,” kau cepat sekali lompat
materi. Kentara sekali pujian tadi adalah basa-basi. “Di Indonesia sekarang baru pukul sepuluh. Mungkin ibu
belum tidur. Aku bisa meneleponnya kalau kakak mau bicara. Ibu menanyakan kakak terus.”

Aku menggeleng. Aku masih belum siap. Aku melepas pandang ke gedung-gedung tinggi kota Tokyo di
kejauhan yang menyerupai himpunan menara berhinggap kunang-kunang. 

“Kak?”

Bunyi bel pintu menyelamatkanku. Pesanan makanan datang. “Aku tahu kamu tidak suka makanan Jepang, tapi
onigiri di Yasuke Hotel adalah yang terbaik di Chidoya. Kamu mesti coba, Jannah!” seruku begitu pelayan
meninggalkan kami.

Kau masih sempurna. Tidak pernah membantah dan selalu memercayaiku. Kau bersemangat sekali melahap
compokan nasi berbumbu khusus itu. “Lezat sekali,” katamu antusias. “Ayo, Kakak makan juga!” Kau
mengambil sebongkah onigiri dan menyorongkannya ke mulutku. Bayangan masa kecil menyerang-nyerangku;
bermain cengkleng di bawah kanopi ketapang yang rindang di pekarangan, keriuhan membantu ibu memasak
dan membersihkan rumah tiap pagi dan sore, berebutan meraih oleh-oleh di tangan ayah saban ia pulang dari
luar kota, dan tentu saja keseruan kita menghabiskan bekal dari kotak makan siang yang sama, oh ….

“Kakak menangis?”
Aku menggeleng dengan mulut penuh nasi. “Mungkin kelilipan,” aku menyeka mata yang hangat. “Angin mulai
kencang. Ayo kita masuk!” Dadaku sebak. Aku benci persaingan ini!

Di dalam, kau bercerita tentang seorang duda yang ingin melamarmu. “Aku mempertimbangkannya karena ia
berjanji akan mengobati Ibu sampai sembuh,” suaramu mulai parau. “Dia ayahnya Adit, anggota dewan seperti
ayah dulu!” tangismu pecah.

Aku menarikmu ke dadaku, memelukmu lagi sebagai adik setelah sekian lama. Aku tak berkata apa-apa. Aku
berusaha tegar, tapi mataku basah juga. Apakah artinya sekarang aku sudah menang atau kalah untuk kesekian
kali oleh ketulusanmu merawat ibu?

Lima tahun setelah pertemuan itu, kita tak pernah bertukar kabar.

Sejak memergoki ayah membawa perempuan ke apartemen di liburan semester akhir di Jakarta, aku pikir sudah
saatnya kami berpisah. Aku terbang ke Tokyo dengan menguras tabungan dan menyelesaikan S-2 di kampus
yang sama, mengandalkan beasiswa dan upah mencuci piring di kedai ramen yang tak seberapa. Kini, aku sudah
memperoleh yang kumau: pendidikan yang tinggi dan karier yang bagus sehingga bisa mengirimi Ibu uang tiap
bulan lewat rekeningmu. Meskipun tak seberapa, aku menolak kalah telak darimu.

Beberapa-teman-kantor-yang-tak-mampu-melepaskan-diri-sebagai-pribumi-yang-pernah-dijajah
menyarankanku mencari pendamping setiap kali aku mengeluh. Menjadi manajer regional di penerbitan
terkemuka ternyata tak melimpahiku dengan ilmu dan kegembiraan, tetapi tekanan dan kegusaran. Hari-hariku
hanya tentang rutinitas kantor, jadwal konsultasi dokter yang tak menentu, obat tidur dengan dosis yang selalu
bertambah, dan tangis tengah malam tanpa alasan yang jelas. Dasar inlander! Menikah tentu bukan solusi! Di
tengah kekacauan ini, kau dan Ibu hadir dalam mimpiku suatu malam.
Aroma pekarangan ini masih sama, meski pohon ketapang itu sudah ditemani sawo dan jambu biji yang tak
kalah rimbun. Kau, yang sedang membereskan makanan di atas meja di muka pintu, langsung mengelap
tanganmu dengan ujung daster lalu memelukku erat. “Kok enggak bilang-bilang kalau mau pulang, Kak?”
saking harunya suaramu bergetar.

Di kamarnya, wajah perempuan 60 tahun itu pucat. Suara cemprengnya—memanggil kedua putri kecilnya untuk
mendekat mendengarkan andai-andai di tempatnya terbaring saat ini—mengusal-ngusal ingatan dan
memorakporandakan keakuanku. Stroke membuatnya hanya bicara lewat mata. Aku cium punggung tangannya
lalu memeluk tubuhnya yang ringkih dengan penyesalan yang mengiris-iris ulu hati. Di wajahnya, aku
menangkap keletihan yang kehilangan garis tepi. Satu, dua, lima detik kemudian … matanya berkedip dan air
hangat jatuh berbulir-bulir. Aku menangis meraung-raung dan mencium pipinya yang basah bertubi-tubi.
“Alangkah hebatnya dirimu, Dik. Punya suami seorang anggota dewan yang sangat pengertian sehingga kau
leluasa merawat ibu,” kataku begitu ibu terlelap setelah aku menyuapinya tiga sendok bubur buatanmu. “Pasti ia
sudah habis uang banyak untuk mengobati ibu meskipun tampaknya kondisi Ibu belum banyak perkembangan.”

Kau menggamit tanganku dan menatapku dalam. Aku ingin bilang jangan ikut-ikutan menangis, tapi kata-
katamu berikutnya membuatku tahu kalau kau lebih berhak melinangkan air mata. “Laki-laki itu tak pernah
mengobati ibu, Kak. Bahkan, dialah yang menyebabkan ibu seperti ini. Dua kali ibu pingsan karena menjadi
saksi bagaimana tangannya melayangkan kursi yang hancur berkeping-keping di punggungku.”

Oh ….

“Selain menjadi guru honor di beberapa sekolah, aku berjualan nasi gemuk untuk menambah penghasilan.
Kakak tidak lihat meja daganganku di depan tadi?”

Aku adalah kaca yang baru saja dibanting begitu mengetahui kenyataan itu.

“Aku justru selalu iri kepadamu, Kak.”


Aku tak menangkap kepura-puraan di mata sayumu.

“Kakak begitu mandiri di bawah didikan ayah yang keras. Kakak mendapatkan  semuanya; sekolah dan karier
bagus sehingga bisa mengirimi kami uang bulanan. Kakak juga bisa memilih untuk tidak menikah. Kalau tidak
mengingatmu di luar sana, aku tak punya alasan untuk bertahan.”

Pipi kami sudah terasa lengket oleh air asin yang sedari tadi menghangatkan duha yang makin condong.

“Aku sudah janda, Kak,” katamu dengan suara yang ditegar-tegarkan.

Untuk kesekian kali, aku tumbang dan … kalah lagi. *** (M-2)

Judul Cerpen 8 : Dua Wajah Ibu 


Penulis : Guntur Alam

Tahun Terbit : 2012


Sumber : Kompas

Perempuan tua itu mendongakkan wajah begitu mendengar desingan tajam di atas ubun-ubunnya. Di langit
petang yang temaram, ia melihat lampu kuning, hijau, dan merah mengerjap-ngerjap pada ujung-ujung sayap
pesawat terbang.

Deru burung besi itu kian nyaring begitu melewati tempatnya berjongkok. Ia menghentikan gerakan tangannya.
Menggiring burung itu lenyap dari mata lamurnya. Lalu, tangannya kembali menggumuli cucian pakaian yang
tak kunjung habis itu. Beberapa detik sekali, tangan keriputnya berhenti, lalu ia menampari pipi dan kaki.
Nyamuk di belantara beton ternyata lebih ganas ketimbang nyamuk-nyamuk rimba yang saban pagi
menyetubuhi kulitnya saat menyadap karet nun jauh di pedalaman Sumatera-Selatan sana: Tanah Abang.

Ia menarik napas, melegakan dada ringkihnya yang terasa kian menyempit. Kicauan televisi tetangga
menenggelamkan helaan napasnya. Suara musik, iklan, dan segala hal. Perempuan itu kembali menghela napas.
Lalu, bangkit dari jongkoknya, menekan tuas sumur pompa. Irama air mengalir dalam ritme yang kacau.
Kadang besar, kadang kecil, seiring tenaganya yang timbul-tenggelam. Air keruh memenuhi bak plastik,
menindih-nindih pakaian yang bergelut busa deterjen. Bau karet tercium menyengat begitu air itu jatuh seperti
terjun.
Ia adalah Mak Inang. Belum genap satu purnama perempuan tua itu terdampar di rimba Jakarta, di antara
semak-belukar rumah kontrakan yang berdesak-desakan macam jamur kuping yang mengembang bila musim
hujan di kebun karetnya. Hidungnya pun belum akrab dengan bau bacin selokan berair hitam kental yang
mengalir di belakang kontrakan berdinding triplek anak lanangnya. Bahkan, Mak Inang masih sering terkaget-
kaget bila tikus-tikus got Jakarta yang bertubuh hitam-besar lagi gemuk melebihi kucing betinanya di kampung,
tiba-tiba berlarian di depan matanya.

Sesungguhnya, ia pun masih tak percaya bila terjaga dari lelapnya yang tak pernah pulas, kalau akhirnya ia
menjejakkan kaki di ibu kota Jakarta yang kerap diceritakan orang-orang di kampungnya. Suatu tempat yang
sangat asing, aneh, dan begitu menakjubkan dalam cerita Mak Rifah, Mak Sangkut, dan beberapa perempuan
kampung karibnya, lepas perempuan-perempuan itu mengunjungi anak bujang atau pun gadis mereka. Sesuatu
yang terdengar seperti surganya dunia. Serba mewah, serba manis, serba tak bisa ia bayangkan.

”Kesinilah, Mak. Tengoklah anak lanangku, cucu bujang Emak. Parasnya rupawan mirip almarhum Ebak,”
itulah suara Jamal kepadanya beberapa pekan silam. Suara anak lanangnya yang kemerosok seperti radio tua, ia
pun melipat kening saat mengetahui suara itu berasal dari benda aneh di genggamannya.
”Dengan siapa Mak ke situ?” lontarnya. Ada keinginan yang menyeruak seketika di dada Mak Inang. Keinginan
yang sejatinya sudah lama terpendam. Telah lama ia ingin melihat Jakarta. Ibu kota yang telah dikunjungi karib-
karibnya. Tapi, ia selalu tak punya alasan ke sana, walau anak lanangnya, yang cuma satu-satunya ia miliki
selain dua gadisnya yang telah diboyong suami mereka di kampung sebelah, merantau ke kota itu. Belum
pernah Jamal menawarinya ke sana. Tak heran, ketika petang itu Jamal memintanya datang, ia lekas-lekas
menanggapinya.

”Tanyai Kurti, Mak. Kapan ia balik? Masalah ongkos, Mak pakai duit Emak dululah. Nanti, bila aku sudah
gajian, Emak kuongkosi pulang dan kukembalikan ongkos Emak ke sini,” itulah janji anak lanangnya sebelum
mengakhiri pembicaraan. Suara kemerosok seperti radio tua itu terputus.

Mak Inang kembali menghela napas saat ingat percakapan lewat hape dengan anak lanangnya itu. Beberapa
pekan sebelum ia merasa telah tersesat di rimba Jakarta, di semak-belukar kontrakan yang bergot bau
menyengat. Ia melepas tuas pompa, air berhenti mengalir. Tangannya menjangkau cucian, membilasnya.

***

Kota yang panas. Itulah kesan pertama Mak Inang saat mata lamurnya menggerayangi terminal bus Kampung
Rambutan. Sedetik kemudian, ia menambahkan kesan pertamanya itu: Kota bacin dan berbau pesing. Hidung
tuanya demikian menderita ketika membaui bau tak sedap itu. Hatinya bertanya-tanya heran melihat Kurti
demikian menikmati bau itu. Hidung pesek gadis berkulit sawo matang itu tetap saja mengembang-embang,
seolah-olah bau yang membuat perut Mak Inang mual itu tercium melati.

Belum jua hilang rasa penat dan pusing di kepala Mak Inang, apalagi rasa pedas di bokongnya, karena duduk
sehari-semalam di bus reot yang berjalan macam keong, beberapa orang telah berebut mengerubungi dirinya dan
Kurti, macam lalat, berdengung-dengung. Mak Inang memijit keningnya. Cupingnya pun ikut pening dengan
orang-orang yang berbicara tak jelas pada Kurti, gadis itu diam tak menggubris, hanya menyeret Mak Inang
pergi.

Mak Inang kembali memeras beberapa popok yang ia cuci, sekaligus. Telapak kaki kanannya yang kapalan
cepat-cepat menampari betis kirinya begitu beberapa nyamuk membabi-buta di kulit keringnya. Ia
menghempaskan popok yang sudah diperasnya itu ke dalam ember plastik. Jemari tangannya menggaruk-garuk
betis kirinya. Bentol-bentol sebesar biji petai berderet-deret di kulit keringnya. Ia menggeram. Hatinya
menyumpah-serapah kepada binatang laknat tak tahu diri itu.

Dua-tiga hari pertama, Mak Inang cukup senang berada di rumah berdinding batu setengah triplek Jamal. Rasa
senangnya itu bersumber dari cucu bujangnya yang masih merah itu. Walau, sesungguhnya Mak Inang terkaget-
kaget saat Kurti mengantarnya ke rumah Jamal. Semua di luar otak tuanya. Dalam benaknya yang mulai ringkih,
Jamal berada di rumah-rumah beton yang diceritakan Mak Sangkut, bukan di rumah kecil sepengap ini.
Keterkejutannya kian bertambah saat perutnya melilit di subuh buta. Hanya ada satu kakus untuk berderet-deret
kontrakan itu. Itu pun baunya sangat memualkan. Hampir saja Mak Inang tak mampu menahannya.

”Mak hendak pulang, Mal. Sudah seminggu, nanti pisang Emak ditebang orang, karet pun sayang tak disadap,”
lontar Mak Inang di pagi yang tak bisa ia tahan lagi. Ia benar-benar tak ingin berlama-lama di ibu kota yang
sungguh aneh baginya. Sesungguhnya, Mak Inang pun aneh dengan orang-orang yang saban hari, saban
minggu, saban bulan, dan saban tahun datang mengadu nasib ke kota ini. Apa yang mereka cari di rimba
bernyamuk ganas, berbau bacin, bertikus besar melebihi kucing ini? Mak Inang tak bisa menghabiskan pikiran
itu pada sebuah jawaban.

”Akhir bulanlah, Mak. Aku gajian saban akhir bulan, sekarang tengah bulan. Tak bisa. Pabrik juga tengah
banyak order, belum bisa aku kawani Mak jalan-jalan mutar Jakarta,” ujar Jamal sembari menyeruput kopi
hitam dan mengunyah rebusan singkong. Singkong yang Mak Inang bawa seminggu silam. Mak Inang tak
bersuara. Hatinya terasa terperas dengan rasa yang kian membuatnya tak nyaman.

”Kurti libur hari ini, Mak. Katanya tengah tak ada lembur di pabriknya. Nanti kuminta ia mengawani Mak jalan-
jalan. Ke mal, ke rumah anak Wak Sangkut dan Wak Rifah,” terdengar suara Mai, menantunya, dari arah dapur
yang pengap.
Mak Inang mengukir senyum semringah mendengar itu. Rasa tak nyaman yang menggiring keinginannya untuk
pulang mendadak menguap. Kembali cerita Mak Rifah dan Mak Sangkut tentang Jakarta mengelindap. Gegas
sekali perempuan tua itu menyalin baju dan menggedor-gedor pintu kontrakan Kurti. Gadis itu membuka pintu
dengan mata merah-sembab, muka awut-awutan dengan rambut yang kusut-masai. Mak Inang tak peduli mata
mengantuk Kurti, ia menggiring gadis itu untuk lekas mandi dan menemaninya keliling Jakarta, melihat rupa
wajah ibu kota yang selama ini hanya ada dalam cerita karib sebaya dan pikirannya saja.

Serupa kali pertama Kurti mengantarnya ke muka kontrakan anak lanangnya, seperti itulah keterkejutan Mak
Inang saat menjejakkan kaki di kontrakan anak Mak Sangkut dan Mak Rifah. Tak jauh berupa, tak ada berbeda.
Kontrakan anak karib-karibnya itu pun sama-sama pengap dan panas. Hal yang membuat Mak Inang
meremangkan kuduknya, gundukan sampah berlalat hijau dengan dengungan keras, bau menyengat, tertumpuk
hanya beberapa puluh meter saja. Kepala Mak Inang berdenyut-denyut melihat itu. Lebih-lebih saat
menghempaskan pantatnya di lantai semen anaknya Mak Sangkut. Allahurobbi, alangkah banyak cucu Mak
Sangkut, menyempal macam rayap. Berteriak, menangis, merengek minta jajan, dan tingkah pola yang membuat
Mak Inang hendak mati rasa. Hanya setengah jam Mak Inang dan Kurti di rumah itu, berselang-seling cucunya
Mak Sangkut itu menangis.

Kebingungan Mak Inang pada orang-orang yang saban waktu datang ke Jakarta untuk mengadu nasib kian besar
saja. Apa hal yang membuat mereka tergoda ke kota bacin lagi pesing ini? Segala apa yang ia lihat satu-dua
pekan ini, tak ada yang membuat hatinya mengembang penuh bunga. Lebih elok tinggal di kampung,
menggarap huma, membajak sawah, mengalirkan getah-getah karet dari pokoknya, batin Mak Inang.

***

Tangan Mak Inang kembali menekan-nekan tuas pompa, air keruh dengan bau karet yang menyengat kembali
berjatuhan ke dalam bak plastik. Kadang besar, kadang kecil, seiring dengan tenaganya yang timbul tenggelam.
Lagi, Mak Inang membilas cucian pakaian cucu, menantu, anak lanang, dan dirinya sendiri. Mendadak Mak
Inang telah merasa dirinya serupa babu. Di petang temaram bernyamuk ganas, ia masih berkubang dengan
cucian. Di kampung, waktu-waktu serupa ini, ia telah bertelekung dan gegas membawa kakinya ke mushola,
mendahului muadzin yang sebentar lagi mengumandangkan adzan.

Lampu benderang. Serentak. Seperti telah berkongsi sebelumnya. Berkelip-kelip macam kunang-kunang di
malam kelam. Lagi, terdengar suara desingan tajam di atas ubun-ubun Mak Inang. Ia pun kembali
mendongakkan wajah, mata lamurnya melihat lampu merah, kuning, hijau berkelip-kelip di langit temaram.
Nyamuk-nyamuk pun kian ganas dan membabi-buta menyerang kulit keringnya.

Wajah Mak Inang kian mengelap, hatinya menghitung-hitung angka di almanak dalam benak. Berapa hari lagi
menuju akhir bulan? Rasa-rasanya, telah seabad Mak Inang melihat muka Jakarta yang di luar dugaannya.
Benak Mak Inang pun hendak bertanya: Mengapa kau tak pulang saja, Mal? Ajak anak-binimu di kampung saja.
Bersama Emak, menyadap karet, dan merawat limas. Tapi, mulut Mak Inang terkunci rapat.

Malam di langit ibu kota merangkak bersama muka Mak Inang yang terkesiap karena seekor tikus got hitam
besar mendadak berlari di depannya. Keterkejutan Mak Inang disudahi suara adzan dari televisi. Perempuan itu
kembali menekan tuas sumur pompa, air mengalir, jatuh ke dalam ember plastik. Ia membasuh muka tuanya
dengan wudhu. Bersamaan dengan itu, mendadak gerimis turun, seolah ibu kota pun hendak mencuci muka
kotornya dengan wudhu bersama Mak Inang. Muka tua yang telah keriput, mengkerut, dan carut-marut.

Judul Cerpen 9 : Seragam


Penulis : A. K. Basuki

Tahun Terbit : 2012


Sumber : Kompas
Lelaki jangkung berwajah terang yang membukakan pintu terlihat takjub begitu mengenali saya. Pastinya dia
sama sekali tidak menyangka akan kedatangan saya yang tiba-tiba.

Ketika kemudian dengan keramahan yang tidak dibuat-buat dipersilakannya saya untuk masuk, tanpa ragu-ragu
saya memilih langsung menuju amben di seberang ruangan. Nikmat rasanya duduk di atas balai-balai bambu
beralas tikar pandan itu. Dia pun lalu turut duduk, tapi pandangannya justru diarahkan ke luar jendela, pada
pohon-pohon cengkeh yang berderet seperti barisan murid kelas kami dahulu saat mengikuti upacara bendera
tiap Isnin. Saya paham, kejutan ini pastilah membuat hatinya diliputi keharuan yang tidak bisa diungkapkannya
dengan kata-kata. Dia butuh untuk menetralisirnya sebentar.

Dia adalah sahabat masa kecil terbaik saya. Hampir 25 tahun lalu kami berpisah karena keluarga saya harus
boyongan ke kota tempat kerja Ayah yang baru di luar pulau hingga kembali beberapa tahun kemudian untuk
menetap di kota kabupaten. Itu saya ceritakan padanya, sekaligus mengucapkan maaf karena sama sekali belum
pernah menyambanginya sejak itu.
”Jadi, apa yang membawamu kemari?”

”Kenangan.”

”Palsu! Kalau ini hanya soal kenangan, tidak perlu menunggu 10 tahun setelah keluargamu kembali dan
menetap 30 kilometer saja dari sini.”

Saya tersenyum. Hanya sebentar kecanggungan di antara kami sebelum kata-kata obrolan meluncur seperti
peluru-peluru yang berebutan keluar dari magasin.

Bertemu dengannya, mau tidak mau mengingatkan kembali pada pengalaman kami dahulu. Pengalaman yang
menjadikan dia, walau tidak setiap waktu, selalu lekat di ingatan saya. Tentu dia mengingatnya pula, bahkan
saya yakin rasa yang diidapnya lebih besar efeknya. Karena sebagai seorang sahabat, dia jelas jauh lebih tulus
dan setia daripada saya.

Malam itu saya berada di sini, memperhatikannya belajar. Teplok yang menjadi penerang ruangan diletakkan di
atas meja, hampir mendekat sama sekali dengan wajahnya jika dia menunduk untuk menulis. Di atas amben,
ayahnya santai merokok. Sesekali menyalakan pemantik jika bara rokok lintingannya soak bertemu potongan
besar cengkeh atau kemenyan yang tidak lembut diirisnya. Ibunya, seorang perempuan yang banyak tertawa,
berada di sudut sembari bekerja memilin sabut-sabut kelapa menjadi tambang. Saat-saat seperti itu ditambah
percakapan-percakapan apa saja yang mungkin berlaku di antara kami hampir setiap malam saya nikmati. Itu
yang membuat perasaan saya semakin dekat dengan kesahajaan hidup keluarganya.

Selesai belajar, dia menyuruh saya pulang karena hendak pergi mencari jangkrik. Saya langsung menyatakan
ingin ikut, tapi dia keberatan. Ayah dan ibunya pun melarang. Sering memang saya mendengar anak-anak
beramai- ramai berangkat ke sawah selepas isya untuk mencari jangkrik. Jangkrik-jangkrik yang diperoleh
nantinya dapat dijual atau hanya sebagai koleksi, ditempatkan di sebuah kotak, lalu sesekali digelitik dengan lidi
atau sehelai ijuk agar berderik lantang. Dari apa yang saya dengar itu, proses mencarinya sangat mengasyikkan.
Sayang, Ayah tidak pernah membolehkan saya. Tapi malam itu toh saya nekat dan sahabat saya itu akhirnya
tidak kuasa menolak.

”Tidak ganti baju?” tanya saya heran begitu dia langsung memimpin untuk berangkat. Itu hari Jumat. Seragam
coklat Pramuka yang dikenakannya sejak pagi masih akan terpakai untuk bersekolah sehari lagi. Saya tahu, dia
memang tidak memiliki banyak pakaian hingga seragam sekolah biasa dipakai kapan saja. Tapi memakainya
untuk pergi ke sawah mencari jangkrik, rasanya sangat-sangat tidak elok.

”Tanggung,” jawabnya.

Sambil menggerutu tidak senang, saya mengambil alih obor dari tangannya. Kami lalu berjalan sepanjang
galengan besar di areal persawahan beberapa puluh meter setelah melewati kebun dan kolam gurami di belakang
rumahnya. Di kejauhan, terlihat beberapa titik cahaya obor milik para pencari jangkrik selain kami. Rasa hati
jadi tenang. Musim kemarau, tanah persawahan yang pecah-pecah, gelap yang nyata ditambah angin bersiuran
di areal terbuka memang memberikan sensasi aneh. Saya merasa tidak akan berani berada di sana sendirian.
Kami turun menyusuri petak-petak sawah hingga jauh ke barat. Hanya dalam beberapa menit, dua ekor jangkrik
telah didapat dan dimasukkan ke dalam bumbung yang terikat tali rafia di pinggang sahabat saya itu. Saya
mengikuti dengan antusias, tapi sendal jepit menyulitkan saya karena tanah kering membuatnya berkali-kali
terlepas, tersangkut, atau bahkan terjepit masuk di antara retakan-retakannya. Tunggak batang-batang padi yang
tersisa pun bisa menelusup dan menyakiti telapak kaki. Tapi melihat dia tenang-tenang saja walaupun tak
memakai alas kaki, saya tak mengeluh karena gengsi.

Rasanya belum terlalu lama kami berada di sana dan bumbung baru terisi beberapa ekor jangkrik ketika tiba-tiba
angin berubah perangai. Lidah api bergoyang menjilat wajah saya yang tengah merunduk. Kaget, pantat obor itu
justru saya angkat tinggi-tinggi sehingga minyak mendorong sumbunya terlepas. Api dengan cepat berpindah
membakar punggung saya!

”Berguling! Berguling!” terdengar teriakannya sembari melepaskan seragam coklatnya untuk dipakai menyabet
punggung saya. Saya menurut dalam kepanikan. Tidak saya rasakan kerasnya tanah persawahan atau tunggak-
tunggak batang padi yang menusuk-nusuk tubuh dan wajah saat bergulingan. Pikiran saya hanya terfokus pada
api dan tak sempat untuk berpikir bahwa saat itu saya akan bisa mendapat luka yang lebih banyak karena
gerakan itu. Sulit dilukiskan rasa takut yang saya rasakan. Malam yang saya pikir akan menyenangkan justru
berubah menjadi teror yang mencekam!

Ketika akhirnya api padam, saya rasakan pedih yang luar biasa menjalar dari punggung hingga ke leher. Baju
yang saya kenakan habis sepertiganya, sementara sebagian kainnya yang gosong menyatu dengan kulit. Sahabat
saya itu tanggap melingkupi tubuh saya dengan seragam coklatnya melihat saya mulai menangis dan menggigil
antara kesakitan dan kedinginan. Lalu dengan suara bergetar, dia mencoba membuat isyarat dengan mulutnya.
Sayang, tidak ada seorang pun yang mendekat dan dia sendiri kemudian mengakui bahwa kami telah terlalu jauh
berjalan. Sadar saya membutuhkan pertolongan secepatnya, dia menggendong saya di atas punggungnya lalu
berlari sembari membujuk-bujuk saya untuk tetap tenang. Napasnya memburu kelelahan, tapi rasa tanggung
jawab yang besar seperti memberinya kekuatan berlipat. Sayang, sesampai di rumah bukan lain yang didapatnya
kecuali caci maki Ayah dan Ibu. Pipinya sempat pula kena tampar Ayah yang murka.

Saya langsung dilarikan ke puskesmas kecamatan. Seragam coklat Pramuka yang melingkupi tubuh saya
disingkirkan entah ke mana oleh mantri. Tidak pernah terlintas di pikiran saya untuk meminta kepada Ayah agar
menggantinya setelah itu. Dari yang saya dengar selama hampir sebulan tidak masuk sekolah, beberapa kali dia
terpaksa membolos di hari Jumat dan Sabtu karena belum mampu membeli gantinya.

”Salahmu sendiri, tidak minta ganti,” kata saya selesai kami mengingat kejadian itu.

”Mengajakmu saja sudah sebuah kesalahan. Aku takut ayahmu bertambah marah nantinya. Ayahku tidak mau
mempermasalahkan tamparan ayahmu, apalagi seragam itu. Dia lebih memilih membelikan yang baru walaupun
harus menunggu beberapa minggu.”

Kami tertawa. Tertawa dan tertawa seakan-akan seluruh rentetan kejadian yang akhirnya menjadi pengingat
abadi persahabatan kami itu bukanlah sebuah kejadian meloloskan diri dari maut karena waktu telah menghapus
semua kengeriannya.

Dia lalu mengajak saya ke halaman belakang di mana kami pernah bersama-sama membuat kolam gurami.
Kolam itu sudah tiada, diuruk sejak lama berganti menjadi sebuah gudang tempatnya kini berkreasi membuat
kerajinan dari bambu. Hasil dari tangan terampilnya itu ditambah pembagian keuntungan sawah garapan milik
orang lainlah yang menghidupi istri dan dua anaknya hingga kini.

Ayah dan ibunya sudah meninggal, tapi sebuah masalah berat kini menjeratnya. Dia bercerita, sertifikat rumah
dan tanah peninggalan orangtua justru tergadaikan.

”Kakakku itu, masih sama sifatnya seperti kau mengenalnya dulu. Hanya kini, semakin tua dia semakin tidak
tahu diri.”

”Ulahnya?” Dia mengangguk.

”Kau tahu, rumah dan tanah yang tidak seberapa luas ini adalah milik kami paling berharga. Tapi aku tidak
kuasa untuk menolak kemauannya mencari pinjaman modal usaha dengan mengagunkan semuanya. Aku
percaya padanya, peduli padanya. Tapi, dia tidak memiliki rasa yang sama terhadapku. Dia mengkhianati
kepercayaanku. Usahanya kandas dan kini beban berat ada di pundakku.” Terbayang sosok kakaknya dahulu,
seorang remaja putus sekolah yang selalu menyusahkan orangtua dengan kenakalan-kenakalannya. Kini setelah
beranjak tua, masih pula dia menyusahkan adik satu-satunya.

”Kami akan bertahan,” katanya tersenyum saat melepas saya setelah hari beranjak sore. Ada kesungguhan
dalam suaranya.

Sepanjang perjalanan pulang, pikiran saya tidak pernah lepas dari sahabat saya yang baik itu. Saya malu.
Sebagai sahabat, saya merasa belum pernah berbuat baik padanya. Tidak pula yakin akan
mampu melakukan seperti yang dilakukannya untuk menolong saya di malam itu. Dia telah membuktikan
bahwa keberanian dan rasa tanggung jawab yang besar bisa timbul dari sebuah persahabatan yang tulus.

Mata saya kemudian melirik seragam dinas yang tersampir di sandaran jok belakang. Sebagai jaksa yang baru
saja menangani satu kasus perdata, seragam itu belum bisa membuat saya bangga. Nilainya jelas jauh lebih kecil
dibanding nilai persahabatan yang saya dapatkan dari sebuah seragam coklat Pramuka. Tapi dia tidak tahu,
dengan seragam dinas itu, sayalah yang akan mengeksekusi pengosongan tanah dan rumahnya.

Judul Cerpen 10 : Kupu-kupu di Pusara Ibu


Penulis : Fanny J Poyk
Tahun Terbit : 2020
Sumber : Kompas

Ketika berkunjung ke makam ibu, ada seekor kupu-kupu bertengger tepat di atas pusaranya. Warna kupu-kupu
itu kuning bercampur ungu dengan garis-garis hitam kebiruan di setiap pinggirannya. Ukuran kupu-kupu itu
hampir setelapak tanganku, ia terlihat sangat cantik, diam di tempat dan tidak terusik dengan kedatanganku.
Melihat kehadiran kupu-kupu yang menawan itu, tiba-tiba aku teringat akan ucapan ibuku setahun sebelum ia
meninggal. Katanya, “Jika kau menemui kupu-kupu di pusara Ibu, jangan kau usir. Biarkan dia bertengger di
sana sebab itu aku.”
Sesungguhnya ketika aku mendengar ucapan ibu, aku hanya menganggapnya sebagai perkataan orang tua yang
terbang melayang ke mana-mana, kata-katanya seperti khayalan manusia usia lanjut yang tengah merasakan
ketidaknyamanan di tubuh rentanya. Kala itu ibu sedang menderita rasa sakit karena penyakit diabetes. Ucapan
tentang kupu-kupu dikatakannya hampir setiap Minggu.

“Ingat ya Nak, biarkan kupu-kupu berterbangan di makam Ibu nanti. Itu Ibu, Ibu sedang menunggu kalian
datang menengok Ibu. Jangan kalian usir.” Katanya dengan suara parau.

Beberapa bulan kemudian Ibu tiada. Ia tak sanggup lagi berperang melawan penyakit diabetes yang sudah
merambat ke ginjal hingga jantungnya. Seminggu sekali ibu cuci darah. Kembali sebelum ia menutup mata, ibu
berpesan, “Jika kau rindu, Ibu akan menjadi kupu-kupu dan menunggu kalian di pusara Ibu.”

Setahun setelah itu, aku dan dua saudaraku telah melupakan pesan ibu. Satu adik dan satu kakakku telah
kembali ke kota tempat mereka tinggal. Adikku yang perempuan bahkan dibawa suaminya ke Camarillo,
California, Amerika Serikat. Suaminya memang asli dari sana. Sedang kakak perempuanku tinggal di sebuah
kota di Jawa Tengah bersama suami dan dua anak mereka. Tinggal aku si tengah yang kebetulan satu-satunya
anak laki-laki ibu dan ayahku yang menempati rumah peninggalan mereka.

Di usiaku yang ke 30 tahun, aku memilih untuk tidak menikah. Pekerjaanku di sebuah jasa tabungan uang
virtual yang mengharuskan aku menatap komputer sejak pukul sembilan pagi hingga dua belas malam, membuat
aku kehilangan ruang untuk bersosialisasi.
Teman-temanku menjauh satu-persatu, mereka menduga aku telah direnggut oleh cengkeraman kapitalis hingga
ke titik yang paling dasar, mereka beranggapan aku seperti zombie yang berjalan sesuai kendali tanpa bisa
mereguk kebebasan pribadi sebagai manusia yang merdeka.  Aku mengakui hal itu sekaligus menyadari bahwa
diriku telah menjadi manusia paling tak berdaya yang kalah oleh situasi, terlebih lagi di masa pandemi Covid-19
yang sekarang kian ganas menerjang kekebalan tubuh manusia.

Andai ibuku tidak datang di mimpiku dengan pesannya yang masih sama tentang kupu-kupu yang bertengger di
batu nisannya, mungkin aku tetap bergelut dengan pekerjaan yang kata temanku benar; memperkaya sang
kapitalis bersama tujuh turunannya.

Mimpi tentang ibu dan kupu-kupu semalam, aku bagai melihat kemarahan ibu ketika aku tidak membuat PR
yang diberikan guruku saat SD. “Datanglah, Nak. Masak sejak Ibu dikubur, kau tidak pernah melihat Ibu. Kau,
adikmu dan kakakmu bagai melempar batu ke dalam tanah, lalu menguruknya dan melupakan kisah tentang Ibu.
Kau tengok juga makam Ayahmu. Kau jangan seperti manusia tak berbudaya yang banyak terdapat di era
milenial ini, menganggap setelah kami tiada, tamat sudah cerita tentang kami. Jika kau melihat kupu-kupu di
batu nisanku, itu Ibu. Aku selalu menunggumu di sana dengan warna sayap yang berubah-ubah.”

Dan aku terbangun dari tidurku. Peluh membasahi sekujur tubuhku. Ibu yang datang dalam mimpiku, bagai
menyengat dan mengingatkan seluruh kenangan tentangnya. Setelah sepuluh tahun ayah meninggal, ibu tetap
sendiri, ia tidak mau menikah lagi. Ayah yang pergi meninggalkan tiga anak, tanpa pensiun juga tabungan itu,
menyerahkan tanggungjawabnya pada perempuan yang kala itu memasuki usia empat puluh tahun, ibuku.

Kisah perjuangan ibu untuk menyekolahkan dan memberikan makan kami, barangkali sama heroiknya dengan
kisah para ibu yang ditinggalkan suami tanpa bekal apapun. Ibu selalu bilang kalau ia beruntung ditinggalkan
sebuah rumah sederhana seluas 100 meter persegi yang lokasinya di tengah keramaian kota.

“Dari berdagang kue-kue dan makanan inilah, akhirnya kalian bisa tamat kuliah dan memperoleh pekerjaan
yang sesuai dengan pendidikan kalian.” Katanya selalu dengan gurat wajah lelah.

Kala itu, diabetes keparat mulai meminang dan menggerogoti tubuh ibu, lalu perempuan yang mulai memasuki
usia setengah abad itu, menyimpan rasa sakitnya sendirian. Dia tidak mau kami bersedih dan panik apabila
melihat dia berjalan sempoyongan dan lelah karena gula darahnya sedang tinggi atau turun.

“Ibu lelah, Ibu istirahat sejenak, jika ada pembeli, tolong kau layani dulu. Nak, kau tahu kan harga-harganya,
semua catatan harga ada di bawah etalase tempat kue-kue itu diletakkan.” Katanya.

Dunia bermain dan ego seorang anak yang membuncah penuh rasa kesal tatkala ibu meminta bantuan kami
untuk mencuci perabotan usai ia membuat kue-kue dagangannya, membuat ibu tidak mau lagi memaksakan
kehendaknya dengan menyuruh kami untuk sekadar melayani pembeli. Semua dikerjakannya sendiri tanpa
keluh juga kernyit di dahi.

Tak pernah terpikirkan olehku, kakak dan adikku bahwa hasil dari semua dagangannya itu untuk makan kami
juga membiayai pendidikan kami. Kami melenggang dengan tuntutan yang kian bertambah hari lepas hari.

Aku sempat marah ketika seorang rentenir berdalih bank keliling datang menagih utang pada ibu. Suara si
rentenir yang menggelegar di siang hari yang panas itu, membuatku geram, bukan pada si rentenir, akan tetapi
pada ibuku yang duduk diam tak berdaya tatkala si rentenir memakinya sebagai manula tukang berutang yang
tidak tahu diri. Ibu hanya diam dengan air mata berlinang di pipi yang dengan cepat dihapusnya. Ia juga tak
bersuara tatkala aku ikut memarahinya sembari berkata, “Kan Ibu sudah jualan, ngapain juga ngutang di bank
keliling!”

Isak ibuku kudengar di malam hari ketika rasa linu di persendian kakinya menjalar hingga ke pinggang. Aku
tetap diam, menganggapnya itu hanya penyakit tua biasa. Tatkala ia memberikan amplop putih untuk membayar
uang semesteran kuliahku, lama baru kutahu kalau uang itu dipinjam ibu dari rentenir bank keliling. Ia
membayar cicilannya dengan susah payah dan air mata yang selalu dihapusnya diam-diam ketika makian si
rentenir memborbardir perasaannya. Aku baru tahu ketika ibu tiada dan sang rentenir menuturkan semua kisah
tentangnya.
“Ibumu orang yang baik. Dia mempertaruhkan harga dirinya untuk membayar semua utangnya padaku. Uang itu
bukan ia gunakan untuk kesenangan pribadinya, tapi untuk membayar uang semesteran kuliahmu.” Kata si
rentenir bank keliling di pemakaman ibu kala ia meninggalkan dunia yang fana ini.

Aku menangis dan menyesali semua yang pernah kulakukan padanya. Tapi terlambat, ibu sudah tiada.

Hari ini, kulihat kupu-kupu itu telah berubah warna. Ada warna merah jambu berbalut biru muda dengan garis
keemasan di tepi tiap sayapnya. Aku tersentak, itu warna kesukaan ibuku. Betapa aku ini anak yang tak tahu
diri, bahkan warna kesayangan ibuku pun aku tak tahu jika si kupu-kupu tidak memperlihatkannya.

Ketika aku duduk di sisi makam sembari mencabut rumput-rumput liar yang mulai tumbuh di sana, kupu-kupu
itu hinggap di bahuku. Cukup lama dia berada di sana. Sebelum aku meninggalkan makam ibu, kupu-kupu itu
terbang mengelilingiku tiga kali. Saat aku beranjak, kukatakan padanya, “Ibu, aku akan sering-sering
menengokmu, berbahagialah kau di tempatmu yang baru.”

Kemudian kupu-kupu itu lenyap, aku yakin itu ibuku. ***

BAB III

PEMBAHASAN

parafrase cerpen 1

Banyak pelancong dari segala penjuru dunia mendatangi kota tersebut. Kota yang menurut
para pelancong adalah kota paling ajaib yang pernah mereka kunjungi, namun nyatanya kota
tersebut adalah kota yang hancur akibat gempa bumi. Para pelancong itu sangat menikmati
setiap pemandangan yang ada di kota tersebut, mereka memotret dan merekam bagian kota
yang hancur itu. mereka sangat senang dan seperti merasa terhibur dengan keadaan tersebut
dan mereka menjual hasil potret yang mereka ambil dari kota yang hancur tersebut.

Namun penduduk kota tersebut merasa berterimakasih atas kehadiran para pelancong yang
mau mengunjungi kota mereka, mereka juga berterimakasih karena mereka merasa terhibur
dan tidak merasa kesepian. kehadiran para pelancong tersebut membuat mereka sadar untuk
tetap mencinta kota mereka dan tidak akan meninggalkan kota mereka, karena bagaimanapun
kota mereka adalah kota yang ajaib bukan kota yang penuh mala petaka.

Penduduk kota itu tidak ingin kota mereka lenyap, untuk itu mereka berusaha membangun
kembali kota mereka yang hancur tersebut. Mereka kembali membangun rumah-rumah,
jembatan, sekolah, tower dan menara, rumah sakit. Mereka juga menanam kembali pohon-
pohon, hingga kota mereka yang hancur tersebut bagaikan selalu muncul kembali dari
reruntuhan. kesibukan mereka membangun ulang kota mereka menjadi tontonan bagi para
pelancong tersebut, para pelancong memberikan mereka semangat dan bantuan kepada
penduduk kota itu. hingga akhirnya para pelancong tersebut meninggalkan kota itu, pulang ke
negeri mereka dan menceritakan cerita ajaoib tentang kota tersebut.

parafrase cerpen 2

Gustaf setiap dia ingin berangkat kekantor selalu terjebak oleh macet dan ditengah kemacetan
tersebut gustaf selalu melihat anak-anak jalanan yang mendekat ke mobilnya. Gustaf
merasakan ada sesuatu yang berbeda pada anaknjalanan yang dia lihat pada macet tersebut,
anak jalanan yang usianya mungkin 12 tahun. Saat memandang mata anak itu gustaf
merasakan yang lain, gustaf jadi selalu mengingat mata bocah tersebut. Gustaf merasa bahwa
mata anak tersebut sangat indah. sejak kecil Gustaf suka pada mata, karena itu waktu Gustaf
masih kanak-kanak Gustaf sangat menyukai boneka, Gustaf suka melihat mata boneka dan
menatapnya sangat lama. Dan hal itu membuat mamanya Gustaf cemas, mamanya Gustaf
takut jika Gustaf adalah seorang homosex seperti om Ridwan. Om Ridwan juga waktu masih
kanak-kanak suka boneka, oleh karena itu om Ridwan dibawa ke psikolog. Berminggu-
minggu om Ridwan mengikuti terapi, dia selalu disuruh menggambar. Dan om Ridwan selalu
menggambar mata.

Gustaf selalu teringat akan mata anak itu, Gustaf berpikir alangkah menyenangkan bila
memiliki mata seperti itu. Mata yang menurut Gustaf membuat dunia jadi terlihat berbeda.
Gustaf berencana ingin mengganti matanya dengan mata anak tersebut, Gustaf tidak peduli
jika harus melakukan segala cara agar mata anak itu menjadi matany a. Akhirnya gustaf
melakukan operasi mata dan mata anak tersebut akhirnya menjadi mata gustaf. Pagi-pagi saat
Gustaf ingin berangkat ke kantornya Gustaf kembali terjebak macet, pada saat itu Gustaf
kembali melihat mata anak itu, namun dengan keadaan buta. Ya, mata anak itu buta karena
mata anak tersebut telah menjadi mata Gustaf. Setibanya Gustaf dikantornya, dengan percaya
diri gustaf berjalan. semua orang yang dikantor tersebut melihat Gustaf, Gustaf beranggapan
jika mereka yang melihat ke arah Gustaf pasti karena kagum akan keindahan mata yang
dimiliki oleh Gustaf. Namun nyatanya tidak, justru mereka takut memandang mata gustaf dan
merasa bahwa mata Gustaf seperti mata iblis.

parafrase cerpen 3
mereka sangat senang karena kota mereka kedatangan rombongan sirkus. mereka merasa
sangat beruntung bisa melihat pertunjukan sirkus, karena memang mereka sebelumnya tidak
pernah melihat sirkus. mereka bisa menyaksikan bermacam atraksi, atraksi para hobbit
bermain bola api melintasi tali, centaur dan minotour, mumi Tutankhamun yang akan
meramal nasibmu dengan kartu tarot; peri, Orc, Gollum, unta yang berjalan menembus
lubang jarum; mambang, kadal terbang Kuehneosaurus – bermacam makhluk yang mereka
kira hanya bisa mereka temui dalam dongeng.

Kemudian mereka melihat raksasa troll berkepala empat, yang tiap kepala menghadap ke
satu penjuru mata angin, beruar-uar sambil memukuli canang, “Saksikan! Keajaiban manusia
terbang! Grrhhhhh Terbang! Manusia terbang! Manusia terbang! Saksikan!

Grrhhhh…. “

mereka bersorak-sorai.

Tibalah dimalam yang paling mereka tunggu-tunggu, yaitu malam pertunjukan. seorang yang
bernama Gipsi tua memperlihatkan atraksinya yaitu menerbangkan orang-orang yang diikat,
namun atraksi itu menimbulkan kengerian bagi mereka karena orang-orang yang diikat itu
tidak kembali. Mereka menangis dan merasa sedih melihat pertunjukan itu. Akhirnya seorang
ayah yang ikut menonton pertunjukan itu menceritakan rahasia yang sebenarnya kepada
anaknya karena anaknya terus kepikiran atas atraksi di pertunjukan yang mereka tonton itu.
Dan anaknya tersebut menjadi mengerti setelah mendengarkan cerita yang diceritakan oleh
ayahnya.

parafrase cerpen 4

Tiwi suka diam-diam memandang wajah Jonas, lelaki berusia 40 tahun yang menurut Tiwi
memiliki senyum yang manis. Rina sahabatnya Tiwi mengingatkan Tiwi untuk tidak suka
kepada Jonas karena kenyataannya Jonas sudah memiliki istri dan dua orang anak. Rina
sahabatnya itu memberikan saran agar Tiwi tidak ikut makan siang bersama Jonas, namun
tetap saja Tiwi tidak bisa dan akhirnya Tiwi tetap ikut makan siang bersama Jonas. Sosok
Jonas membuat Tiwi sangat merindukan sosok ayah kandungnya. Tiwi tinggal dengan ibu
kandung, ayah tiri dan dua saudara tirinya ketika dia masih di pekanbaru. Tiwi memutuskan
keluar dari rumah ibunya itu karena perlakuan kasar ayah tirinya, akhirnya Tiwi tinggal di
kota Medan dan bekerja disana.

saat ulang tahun tiwi yang ke 22 jonas memberikan hadiah kepada Tiwi, yaitu pulpen
berwarna pink yang menjadi warna kesukaan tiwi. dihari ulang tahunnya itu, tiwi juga
meminta jonas untuk mengantarkannya pulang. Saat diperjalan mengantar Tiwi pulang,
mereka singgah sebentar ke sebuah rumah makan. Disana Tiwi bercerita kepada Jonas jika
ibunya menelponnya dan memberitahukan kepadanya bahwa ayahnya sedang sakit, lalu jonas
pun menyarankan agar Tiwi berangkat ke bandung untuk menjenguk ayahnya itu. Akhirnya
Tiwi memutuskan untuk menjenguk ayahnya, Tiwi segera diantar oleh Jonas ke bandara.
Sesampainya dibandara saat Tiwi hendak berangkat, Tiwi memeluk dan mencium jonas.
Namun dengan cepat Jonas dapat menguasai diri. Perlahan Jonas melepas pelukan Tiwi.

Setelah seminggu Tiwi berada di bandung, akhirnya Tiwi kembali pulang dan bekerja
dikantor. Tiwi terus memikirkan kejadian minggu lalu saat dibandara bersama jonas, ia
merasa malu. Jonas juga kelihatan berubah. Jonas tidak lagi bebas seperti biasanya. Ia rikuh,
bingung harus berbuat apa. Ingin riang, ia kuatir nanti dianggap gembira berjumpa lagi
dengan Tiwi. Sesungguhnya Jonas pun suka kepada tiwi, namun dia menyadari bahwa itu
merupakan cinta terlarang.

parafrase cerpen 5

Alya adalah seorang anak yang merasa bahwa kehidupan yang dijalaninya sangat tidak adil
dan terkadang dia marah pada Tuhan. Mengapa Tuhan memberikan kepadanya kehidupan
yang membuatnya berada dalam keterpurukan. Alya memiliki seoarang kakak yang bernama
Rara namun Rara memiliki syndrom otak yang dialaminya sejak lahir sehingga Alya tidak
begitu suka mengobro dengan kakaknya.

Alya melihat wajah sembab di mata Ibunya, sepertinya ibunya baru saja menangis. Bukan
hanya itu saja, Alya juga melihat luka memar di sudut bibir kanan ibunya. Sepertinya
ayahnya benar-benar memukul ibunya.
“Ibu kenapa? Ayah mukul ibu lagi?” tanya Alya pada ibunya yang hanya diam membereskan
dokumen-dokumen berantakan di atas meja kerjanya, “Ibu jawab Alya, Bu. Ibu kenapa?”

“Kamu gak perlu tahu masalah antara ibu dan ayah,” jawab ibunya begitu jutek.

“Tapi ayah udah keterlaluan, Bu. Alya gak bisa biarin hal ini terjadi lagi sama Ibu. Alya
harus bicara sama ayah,” katanya ingin beranjak, namun secepat kilat ibunya menarik lengan
Alya.

“Ibu udah bilang berkali-kali, kamu gak perlu tahu masalah ibu dan ayah!”

“Engga, Bu. Alya harus bicara sama ayah!”

“Alya!” tampar ibunya tepat di pipi kanan Alya hingga membuatnya terdiam, “Ibu mohon,
jangan tambah kekacauan keluarga kita lagi.” kata ibunya penuh dengan rasa sedih.

***

Orang tua Alya kembali lagi bertengkar dan Alya berusaha untuk melerai pertengkaran
tersebut. saat berusaha melerai pertengkaran itu Alya tidak sengaja kena tamparan yang keras
dari ayahnya yang menyebabkan Alya pingsan dan segera dilarikan kerumah sakit. Saat Alya
sudah sadarkan diri dari pingsannya tadi Alya merasakan ibunya menggenggam tangannya
dengan erat yang selama ini belum pernah Alya rasakan.

“Maafkan Ibu, Alya. Maafkan Ibu,” ucap ibunya sembari menangis.

“Ayah juga minta maaf sama kamu, ini semua salah Ayah,” sambar ayahnya.

“Engga, Yah, Bu. Ini bukan salah kalian. Tapi, Alya harus tahu apa yang membuat kalian
selalu bertengkar.”

Orangtua nya pun menjelaskan bahwa ternyata Alya bukannlah anak kandung dari ibunya,
ternyata Alya adalah anak dari simpanan ayahnya. itulah mengapa selama ini ibunya tidak
terlalu menyayangi Alya seperti Rara. Namun Alya menjadi sangat bersyukur akhirnya Alya
tahu cerita yang sebenarnya dan Alya menjadi sangat menyayangi keluarganya.
parafrase cerpen 6

Rosliana yang sangat ingin sekali menjadi isteri mentri, dirinya sudah pernah menjadi
seorang istri dari bupati dan gubernur dan itu merupakan lelaki yang berbeda. Hanya tiga
tahun saja Ros menjadi istri Gubernur, Ros Mengumpan suaminya dengan daun muda, yang
sekali lagi ia peroleh dari jemaah pengajian ibu-ibu di kabupaten asalnya. Alasannya pun
lebih-kurang sama: tak layak istri gubernur mandul. Oleh karena itu, ia membahagiakan
suaminya dengan daun muda, yang siap beranak-pinak demi merenovasi silsilah. Sebelum
pergi menyongsong impian yang lebih besar, ia mengamankan segala macam prosedur dan
dokumen penting yang bisa memastikan mantan suaminya lekas mempersunting calon
Nyonya Gubernur yang baru. “Selamat berbahagia, Adinda. Selamat menikmati kemewahan
sebagai Nyonya Gubernur yang kedua!” katanya kepada perempuan muda bernama Lusiana
Indahsari itu. Begitulah Ros. Ia tak akan betah dengan status nyonya kaya, sebelum kolom
ketiga dari daftar riwayat hidupnya terisi: istri menteri.
Lima tahun berikutnya, Ros sudah berlabuh di pelukan suami baru bernama John F. Kennedy,
terbuka kembali peluang untuk mendapatkan impian sebagai istri menteri. namun karena
gagal menjadi isteri mentri Ros pun berpisah baik-baik dengan suaminya, John F. Kennedy.
Kurang dari setahun kemudian, Ros dipersunting oleh seorang duda yang jam terbang
tertingginya hanya mantan kepala desa bernama Taufan Wahidin yang sangat mencintai Ros.
Namun hubungan mereka tidak bertahan lama, Ros akhirnya mengakui tujuannya menikah
dengan Taufan Wahidin dan meminta maaf kepadanya. Taufan Wahidin pun mengingatkan
Ros tentang obsesinya itu. Ros menikah lagi dengan lelaki yang digadang-gadang telah
didaulat sebagai calon Menteri Muda Bidang Mitigasi Bencana. Sehari sebelum presiden
mengumumkan nama-nama menteri baru, suaminya tertangkap atas dugaan pidana korupsi.
Ros sambil memandang kolom kosong di lembaran Daftar Riwayat Hidup-nya, yang
seharusnya ditulis “Istri Menteri” ia ganti dengan “Istri Kekasih Sejati”.

parafrase cerpen 7

Jannati dan Jannah adalah saudara kembar, Jannati yang sebagai kakak selalu merasa iri
terhadap adiknya Jannah. Jannati merasa jika adiknya Jannah begitu sangat mudah untuk
mendapat segalanya di hidupnya, sehingga membuat hubungan mereka menjadi renggang
apalagi setelah orang tua mereka memutuskan untuk bercerai. Jannati memilih tinggal
bersama ayahnya karena ayahnya yang masih memiliki perusahaan sehingga ia merasa bahwa
setidaknya hidupnya akan lebih mudah daripada jika ia tinggal dengan ibunya dan ia pun bisa
menang atas hidup adiknya. Jannah yang lebih memilih hidup dengan ibunya pun hidup
dengan tidak mudah.

Setahun kemudian Jannati mengirim kabar kelulusannya di Meiji University kepada Janniati.
“Aku belum siap,” katanya ketika Jannah memberi tahu Ibu mereka ingin bicara padanya.
Janniati merasa sangat bersalah kepada ibu. “Aku ikut bangga, Kak!” kata Jannah berusaha
mencairkan suasana. Jannah menceritakan kuliahnya di sebuah kampus swasta di
Lubuklinggau. Tentu saja Janniati menang banyak, meski kekalahan tak terdengar dalam
nada bicara Jannah. Jannah bercerita tentang seorang duda yang ingin melamarnya. “Aku
mempertimbangkannya karena ia berjanji akan mengobati Ibu sampai sembuh,” suaranya
mulai parau. “Dia ayahnya Adit, anggota dewan seperti ayah dulu!” tangisnya pecah.Janniati
menariknya ke dadanya, memeluknya lagi sebagai adik setelah sekian lama. Janniati tak
berkata apa-apa. Dia berusaha tegar, tapi matanya basah juga.

Janniati memutuskan untuk bertemu dengan ibunya, ia melihat ibunya yang berusia 60 tahun
terbaring yang diakibatkan stroke, Janniati merasa menyesal dan sangat sedih melihat kondisi
ibunya itu. “Alangkah hebatnya dirimu, Dik. Punya suami seorang anggota dewan yang
sangat pengertian sehingga kau leluasa merawat ibu,” katanya begitu ibu mereka terlelap
setelah ia menyuapinya tiga sendok bubur buatannya. “Pasti ia sudah habis uang banyak
untuk mengobati ibu meskipun tampaknya kondisi Ibu belum banyak perkembangan.” Jannah
menceritakan bahwa “Laki-laki itu tak pernah mengobati ibu, Kak. Bahkan, dialah yang
menyebabkan ibu seperti ini. Dua kali ibu pingsan karena menjadi saksi bagaimana
tangannya melayangkan kursi yang hancur berkeping-keping di punggungku.”

Janniati begitu hancur kenyataan itu.

“Aku justru selalu iri kepadamu, Kak.” kata Jannah.

“Kakak begitu mandiri di bawah didikan ayah yang keras. Kakak mendapatkan  semuanya;
sekolah dan karier bagus sehingga bisa mengirimi kami uang bulanan. Kakak juga bisa
memilih untuk tidak menikah. Kalau tidak mengingatmu di luar sana, aku tak punya alasan
untuk bertahan.”

Pipi mereka sudah terasa lengket oleh air asin yang sedari tadi menghangatkan duha yang
makin condong.

“Aku sudah janda, Kak,” kata Jannah dengan suara yang ditegar-tegarkan.

Untuk kesekian kali, Janniati tumbang dan … kalah lagi.


parafrase cerpen 8

mak inang adalah seorang wanita tua yang mempunyai seorang anak laki-laki bernama Jamal
yang tinggal di Jakarta. Jamal meminta mak Inang untuk datang melihat, dan hal itu membuat
mak Inang sangat senang karena ia bisa bertemu dengan anaknya itu serta cucu-cucunya dan
cerita dari teman-teman nya yang mengatakan bahwa kota Jakarta itu adalah kota yang sangat
indah sehingga mak Inang pun ingin segera ke Jakarta. ”Kesinilah, Mak. Tengoklah anak
lanangku, cucu bujang Emak. Parasnya rupawan mirip almarhum Ebak,” itulah suara Jamal
kepadanya beberapa pekan silam.

Kota yang panas. Itulah kesan pertama Mak Inang saat mata lamurnya menggerayangi
terminal bus Kampung Rambutan. Sedetik kemudian, ia menambahkan kesan pertamanya itu:
Kota bacin dan berbau pesing. Mak Inang terkaget-kaget saat mengetahui rumah Jamal.
Semua di luar otak tuanya. Dalam benaknya yang mulai ringkih, Jamal berada di rumah-
rumah beton yang diceritakan sahabatnya, bukan di rumah kecil sepengap ini.
Keterkejutannya kian bertambah saat perutnya melilit di subuh buta. Hanya ada satu kakus
untuk berderet-deret kontrakan itu. Itu pun baunya sangat memualkan. Hampir saja Mak
Inang tak mampu menahannya.

mak Inang ingin pulang, tapi anaknya mengatakan belum gajian sehingga belum ada ongkos
untuk pulang. Anaknya pun menawarkan ingin mengantar Mak Inang kerumah anak
sahabatnya. Namun Mak Inang terkejut, ternyata kos-kosan rumah anak sahabatnya itupun
tidak jauh berbeda dengan rumah anaknya. Mak Inang pun menyadari bahwa ternyata
sahabat-sahabatnya itu berbohong mengenai kota Jakarta. Mak Inang sudah tidak tahan
tinggal di kota Jakarta, dirinya sudah sangat ingin pulang ke kampung halamannya.

parafrase cerpen 9

Dia memiliki seorang sahabat masa kecil yang sudah 25 tahun tidak bertemu, sahabat yang
menurutnya sangat baik. Kenangan membawanya mendatangi rumah sahabatnya itu dengan
tiba-tiba, mereka bercerita tentang persahabatan mereka. kenangan yang tidak terlupakan bagi
dirinya yaitu kenangan dimana dia ingin sekali ikut menangkap jangkrik bersama sahabatnya
itu.

”Tidak ganti baju?” tanya dia heran begitu sahabatnya langsung memimpin untuk berangkat.
Itu hari Jumat. Seragam coklat Pramuka yang dikenakannya sejak pagi masih akan terpakai
untuk bersekolah sehari lagi. Ia tahu, sahabatnya memang tidak memiliki banyak pakaian
hingga seragam sekolah biasa dipakai kapan saja. Tapi memakainya untuk pergi ke sawah
mencari jangkrik, rasanya sangat-sangat tidak elok.

”Tanggung,” jawab sahabatnya.

Saat mencari jangkrik di malam hari, dia mengalami kecelakaan dimana obor yang dipakai
untuk menangkap jangkrik membakar tubuhnya. saat itu ia mengenakan seragam pramuka. ia
mengalami banyak luka bakar, sahabatnya pun menggendongnya pulang kerumahnya.
Namun karena kejadian itu orangtuanya marah dan menampar sahabatnya itu, malam itu juga
ia dilarikan ke puskesmas. ia mendengar bahwa seminggu sahabatnya itu tidak kesekolah
karena ingin mengganti seragam sekolah miliknya yang terbakar itu.

”Salahmu sendiri, tidak minta ganti,” katanya selesai kami mengingat kejadian itu.

”Mengajakmu saja sudah sebuah kesalahan. Aku takut ayahmu bertambah marah nantinya.
Ayahku tidak mau mempermasalahkan tamparan ayahmu, apalagi seragam itu, kata
sahabatnya.” Merekapun tertawa dan melanjutkan cerita mereka, sahabatnya itupun bercerita
tentang kehidupannya sekarang yang dimana dirinya harus menebus surat tanah yang telah
digadaikan oleh kakaknya.

Sepanjang perjalanan pulang, pikiran nya tidak pernah lepas dari sahabatnya yang baik itu.
Matanya kemudian melirik seragam dinas yang tersampir di sandaran jok belakang. Sebagai
jaksa yang baru saja menangani satu kasus perdata, seragam itu belum bisa membuat ia
bangga. Nilainya jelas jauh lebih kecil dibanding nilai persahabatan yang ia dapatkan dari
sebuah seragam coklat Pramuka. Dengan seragam dinas itu, ia yang akan mengeksekusi
pengosongan tanah dan rumah sahabatnya.

parafrase cerpen 10

ibunya telah tiada dikarenakan penyakit diabetes yang menggerogoti tubuhnya, dulu sebelum
ibunya meninggal ibunya selalu berkata “Jika kau menemui kupu-kupu di pusara Ibu, jangan
kau usir. Biarkan dia bertengger di sana sebab itu aku. Ingat ya Nak, biarkan kupu-kupu
berterbangan di makam Ibu nanti. Itu Ibu, Ibu sedang menunggu kalian datang menengok
Ibu. Jangan kalian usir.”

ibunya datang kedalam mimpinya dengan pesannya yang masih sama tentang kupu-kupu
yang bertengger di batu nisannya. “Datanglah, Nak. Masak sejak Ibu dikubur, kau tidak
pernah melihat Ibu. Kau, adikmu dan kakakmu bagai melempar batu ke dalam tanah, lalu
menguruknya dan melupakan kisah tentang Ibu. Kau tengok juga makam Ayahmu. Kau
jangan seperti manusia tak berbudaya yang banyak terdapat di era milenial ini, menganggap
setelah kami tiada, tamat sudah cerita tentang kami. Jika kau melihat kupu-kupu di batu
nisanku, itu Ibu. Aku selalu menunggumu di sana dengan warna sayap yang berubah-ubah.”
Tak pernah terpikirkan olehnya dan saudaranya, bahwa hasil dari semua dagangan ibunya itu
untuk makan mereka juga membiayai pendidikan mereka. Ia sempat marah ketika seorang
rentenir berdalih bank keliling datang menagih utang pada ibunya. “Kan Ibu sudah
jualan, ngapain juga ngutang di bank keliling!”. lama baru ia tahu kalau uang itu dipinjam
ibunya dari rentenir bank keliling. Ia baru tahu ketika ibunya tiada dan sang rentenir
menuturkan semua kisah tentangnya, namun semua sudah terlambat karena kini ibunya sudah
tiada.

Hari ini, ia lihat kupu-kupu itu telah berubah warna. Ada warna merah jambu berbalut biru
muda dengan garis keemasan di tepi tiap sayapnya. Ia tersentak, itu warna kesukaan ibunya.
Ia merasa bahwa dirinya seperti anak yang tak tahu diri, bahkan warna kesayangan ibunya
pun ia tak tahu jika si kupu-kupu tidak memperlihatkannya.

Ketika ia duduk di sisi makam sembari mencabut rumput-rumput liar yang mulai tumbuh di
sana, kupu-kupu itu hinggap di bahunya. Cukup lama dia berada di sana. Sebelum ia
meninggalkan makam ibunya, kupu-kupu itu terbang mengelilinginya tiga kali. Saat ia
beranjak, katanya, “Ibu, aku akan sering-sering menengokmu, berbahagialah kau di
tempatmu yang baru.”

Kemudian kupu-kupu itu lenyap, ia yakin itu ibunya.

BAB IV

PENUTUP

Simpulan

Dalam pembuatan parafrase kita harus memperhatikan teknik-teknik dalam pembuatan


parafrase untuk menghindari plagiatisme. Dalam pembuatan parafrase diperlukan kecermatan
dalam membaca, mencatat, mengembangkan, dan menguraikan kalimat-kalimat yang telah
kita baca.

Saran
saya menyarankan kepada pembaca agar terus berlatih dalam pembuatan parafrase dan dalam
membuat parafrase kita harus membaca ulang cerpen tersebut dan kita ceritakan kembali
menggunakan bahasa kita sendiri.

Anda mungkin juga menyukai