Anda di halaman 1dari 25

TUGAS FOTOGRAMETRI

“MAKALAH TRIANGULASI UDARA”

Diajukan untuk memenuhi Tugas

Mata kuliah Kartografi

Dosen :

Aning Haryati, ST., MT

Oleh:

Alpin Pratama 4122.3.19.13.0023

PROGRAM STUDI S1 TEKNIK GEODESI

FAKULTAS TEKNIK PERENCANAAN DAN ARSITEKTUR

UNIVERSITAS WINAYA MUKTI

BANDUNG

2021
LANDASAN TEORI

1. FOTOGRAMETRI
Secara umum fotogrametri dapat diartikan sebagai suatu keahlian untuk
mendapatkan informasi dari obyek-obyek fisik dan keadaan disekitarnya melalui
fotoudara. Informasi dari obyek-obyek fisik dan keadaan disekitarnya diperoleh
melalui serangkaian proses pengolahan, pengukuran, dan penafsiran pada foto udara.
Foto udara adalah citra fotografik yang diperoleh dari hasil peliputan menggunakan
kamera yang dipasang pada suatu wahana (pesawat, balon, dll) di udara.
Pemotretan dilakukan mengikuti garis jalur terbang yang telah ditentukan pada
peta kerja. Jalur-jalur terbang biasanya didesain dengan orientasi lapangan pada arah
Utara-Selatan atau Timur Barat yang sejajar satu sama lain.

Ditinjau dari jenis foto udara yeng dihasilkan dari hasil pemotretan
menggunakan suatu kamera, jenis foto udara dibedakan menjadi: foto udara metrik
dan foto udara format kecil. Foto udara metrik diperoleh dari hasil pemotretan
menggunakan kamera metrik, sedangkan foto udara format kecil diperoleh dari hasil
pemotretan menggunakan kamera biasa.
Dari segi geometrik, karakteristik foto udara hasil dari suatu pemotretan
dibedakan menjadi : foto udara tegak (near vertical), foto udara miring (low oblique),
dan foto udara sangat miring (hight oblique). Foto udara yang diperoleh dari hasil
pemotretan udara memiliki proyeksi yang sentral artinya semua obyek yang terliput
pada foto udara sinar proyeksinya menuju ke pusat proyeksi yaitu pusat lensa kamera.
Peta mempunyai sifat proyeksi yang orthogonal.

2. Triangulasi Udara

Triangulasi Udara (Aerial Triangulation / AT) is a method of point determination by


photogammetric means. Triangulasi Udara (TU) adalah suatu metode penentuan
posisi titik berdasarkan pengukuran melalui foto udara. Tujuan dari TU adalah untuk
memperbanyak titik-titik kontrol minor. Perhatikan model stereo berikut :

Titikkontrolplanimetrik (X,Y)

Titikkontroltinggi (h)

Model stereo

h
X,Y,h

X,Y
h

Dalam orientasi absolut, setiap model minimal membutuhkan minimal titik control
planimetrik (x,y) titik control tinggi (h).
3. Tahapan Triangulasi Udara
Tahap-1 : Pembentukan unit satuan dasar :

Berkas (bundle)
Model
Jalur (strip)

berkas

model

jalur

Tahap-2 :
Titik-titik sekawan pada masing-masing daerah overlap (pada satuan dasar:
berkas, model, jalur) digabungkan/ disambung sehingga membentuk suatu
‘superstruktur’ yang melingkupi daerah yang lebih luas.

Tahap-3 :

Super structure di-fit-kanke dalam system control tanah (groundcontrol) yang


dijadikan sebagai system referensi.

A B
1
2 3 4

5 6 7

8 9 10
D C
11 X

Secara matematis, proses TU merupakan transformasi dari system koordinat satuan


dasar fotogrametrik (berkas model jalur) ke system koordinat tanah (referensi).

Dimana :

 Satuan dasar fotogrametri umumnya :


 Skala<dari skala system referensi
 Orientasinya (rotasi) tidak sama dengan system referensi
 Posisitidaksamadengansistemreferensi
 Transformasi yang digunakan mencakup :
 Penyekalaan
 Rotasi (perputaran)
 Translasi (pergeseran)
 Model fungsional matematis yang umumnya digunakan adalah transformasi
konform :

X x Tx

[] [] [ ]
Y =S. R
Z
y
z
+ Ty
Tz

dimana :

X,Y,Z = system koordinat tanah/referensi

X,y,z = system koordinat satuan dasar

Tx,Ty,Tz = komponen translasi

S = factor skala

R = matriks rotasi

4. Klasifikasi Triangulasi Udara

4.1 Berdasarkan unit satuan koordinat yang diukur


Triangulasi udara dengan unit satuan jalur, triangulasi udara dengan unit satuan
model, dan triangulasi udara dengan unit satua berkas.

4.2 Berdasarkan cara pelaksanaannya


Klasifikasi triangulasi udara berdasarkan cara pelaksanaanya, yaitu:
triangulasi udara dimana proses pelaksanaannya dilakukan secara analog, dengan
semi-analitik, dan analitik.
5. Klasifikasi Titik
Titik-titik yang akan diukur dalam triangulasi udara dapat diklasifikasikan
menurut : jenis target dan fungsinya. Satu hal yang harus diingat adalah bahwa
semua titik-titik yang diukur dalam triangulasi harus diusahakan sedemikian rupa
sehingga tidak terjadi kesalahan identifikasi maupun dalam penandaanya di foto
udara.

6. Dasar-dasar Transformasi Koordinat


Transformasi diartikan sebagai prosedur perubahan (konversi), transformasi
koordinat mempunyai artiya itu serangkaian prosedur yang dilakukan untuk
mengubah posisi suatu titik yang berada dalam system koordinat tertentu ke system
koordinat yang lain (yang dinginkan). Suatu hal yang harus di ingat bahwa pada
proses transformasi koordinat menuntut adanya ketersediaan sejumlah titik sekutu
yang diperlukan untuk membentuk sejumlah persamaan sebagai dasar dalam
pemecahan parameter transformasi. Titik sekutu adalah suatu titik yang mempunyai
posisi dalam dua system koordinat. Jumlah minimal titik sekutu yang harus tersedia
untuk membentuk persamaan tergantung dari jumlah parameter transformasi yang
akan dipecahkan menurut model transformasi yang dianut.
Ditinjau dari luaran yang dihasilkan, jenis transformasi koordinat dibedakan
menjadi 2 (dua), yaitu :transformasi koordinat dua dimensi (2-D), dan transformasi
koordinat tiga dimensi (3-D). Dalam pekerjaan fotogrametri transformasi koordinat
diperlukan pada proses orientasi fotogrametrik.

6.1 Transformasi Koordinat 2-D


Dalam pekerjaan fotogrametri, transformasi koordinat 2-D digunakan pada
proses orientasi dalam. Beberapa metode transformasi koordinat 2-D yang banyak
digunakan dalam penyelesaian pekerjaan fotogrametri, antara yaitu :transformasi
konform, transformasi affine, dan transformasi proyektif.

6.2 TransformasiKoordinat 3-D

Z
z

TZ
Y
TX
TY
x

X
Gambar – 1.3.2.aSistemkoordinat 3-D : XYZ , xyz;
rotasi : , translasi : TX,TY,TZ
Gambar-1.3.2.a, mengilustrasikan suatu titik yang berada pada system
koordinat xyz akan ditransformasi kan kedalam system koordinat XYZ. Proses
pengimpitan system salib sumbu xyz  XYZ meliputi rotasi pada sumbu x(), rotasi
pada sumbu y(), rotasi pada sumbu z(), dan translasi pada arah sumbu x (T X),
translasi pada arah sumbu y (Ty), translasi pada arah sumbu z (Tz).
Gambar – 1.3.2.bSistemkoordinat 3-D XYZ dan xyz

Gambar-1.3.2.b, mengilustrasikan suatu titik yang berada pada system


koordinat xyz akan ditransformasikan ke dalam system koordinat XYZ. Proses
transformasi dari system koordinat xyz ke system koordinat XYZ melibatkan 7
(tujuh) elemen orientasi, yaitu : 3 (tiga) sudut rotasi (,,), 1 (satu) factor skala (s),
dan 3 (tiga) factor translasi (TX, Ty, Tz).

Penurunan persamaan transformasi dilakukan dengan dua langkah yang


sangat mendasar, yaitu :

1. Rotasi
2. Penskalaan dan translasi

7. GROUND CONTROL POINT (GCP)


GCP adalah target besar yang ditandai di tanah, ditempatkan secara strategis di
seluruh area yang Anda tentukan. Jika Anda menggunakan GCP dengan peta aerial
Anda, Anda harus terlebih dahulu menentukan koordinat GPS RTK di pusat masing-
masing. GCP dan koordinatnya kemudian digunakan untuk membantu perangkat
lunak pemetaan drone secara akurat memposisikan peta dalam kaitannya dengan
dunia nyata di sekitarnya.

Ketika digunakan dengan benar, GCP sangat meningkatkan akurasi global peta
drone Anda. Artinya, mereka membantu memastikan bahwa garis lintang dan bujur
titik mana pun di peta Anda secara akurat sesuai dengan koordinat GPS yang
sebenarnya. Ini penting dalam situasi di mana pemetaan presisi dan akurasi global
yang sebenarnya diperlukan. Seperti yang telah disebutkan di atas, perusahaan survei
umumnya menggunakan GCP, karena tingkat akurasi global yang tinggi penting
dalam sebagian besar pekerjaan yang mereka lakukan. Desain virtual dan konstruksi
adalah sektor lain yang sering membutuhkan tingkat pemetaan dengung presisi ini.

Landpoint, perusahaan survei yang berbasis di Louisiana, menggunakan titik


kontrol tanah ketika membuat peta drone digunakan untuk survei topografi.
Menggunakan GCP pada peta 85-acre, tim mereka melakukan survei udara yang
akurat, menghemat lebih dari 80 jam kerja dibandingkan dengan metode survei tanah
tradisional.

Setiap proyek pemetaan drone adalah unik, dan tidak semua proyek
memerlukan tingkat akurasi global yang tinggi. Karena itu, penting untuk menilai
setiap proyek secara individual sebelum Anda memutuskan untuk mengambil langkah
ekstra menggunakan GCP. Namun secara umum, proyek seperti overlay geo-
referensi, dokumen desain dan survei judul tanah mendapat manfaat dari penggunaan
ground control point. Dalam posting yang akan datang, kami akan melihat lebih
dalam pada jenis proyek mana yang paling sesuai untuk menggunakan GCP.

8. Cara Membangun Ground controll point pada aplikasi pemetaan drone


Tidak ada cara yang benar untuk membuat GCP. Satu hal penting untuk diingat
adalah bahwa GCP harus mudah terlihat dalam citra udara Anda. Hal ini dicapai
dengan menggunakan warna kontras tinggi dan dengan memastikan titik kontrol
tanah cukup besar untuk dilihat dari ketinggian penerbangan tertentu Anda. Kami
biasanya merekomendasikan terbang dengan ketinggian 300 kaki dengan frontlap dan
sidelap 70/75 saat menggunakan titik kontrol tanah. Perlu diingat bahwa ini dapat
berubah tergantung pada area yang Anda petakan.

Kesimpulan dalam Mengetahui apa maksud dan fungsi GCP dalam pemetaan udara

 Gunakan minimal 4 GCP dalam aplikasi pemetaan drone aerial: sebagai contoh
software DroneDeploy membutuhkan minimal 4 GCP. Masing-masing harus
berukuran setidaknya 100cm.Kecuali untuk peta yang lebih besar.
 Sebarkan GCP secara merata di area wilayah yang akan anda petakan , Untuk
sebagian besar peta ukuran sedang, kami menyarankan 5 GCP, satu terletak di
dekat setiap sudut dan satu terletak di tengah. Juga, pastikan GCP diberi jarak
yang cukup berjauhan, untuk menghindari kebingungan. Sebagai aturan umum,
jika Anda dapat melihat lebih dari satu GCP dalam sebuah gambar, mereka terlalu
berdekatan.
 Buat zona buffer di sekeliling batas peta Anda: Kami menyarankan zona buffer di
antara tepi peta Anda dan GCP. untuk memastikan ada cukup cakupan gambar
untuk melakukan pemrosesan ulang. Ukuran zona buffer Anda harus berada di
antara 50-100 kaki, tergantung pada tumpang tindih penerbangan Anda. Overlap
yang lebih tinggi menghasilkan lebih banyak gambar dan umumnya membutuhkan
lebih sedikit buffer zone.
 Waspadai perubahan ketinggian: Jika area yang dipetakan memiliki perubahan
elevasi yang nyata seperti bukit dan lembah, pastikan untuk menempatkan
setidaknya satu GCP pada setiap elevasi utama yang berbeda.
 Pastikan GCP tidak terhalang: Obstruksi visual seperti overhang, salju, bayangan
atau silau membuat titik kontrol tanah sulit diidentifikasi pada peta.
 Ketahui kode EPSG: Sebelum memproses peta harus memasukkan kode EPSG
yang terkait dengan pengukuran GPS Anda. Pilih kode EPSG Anda dengan
memodifikasi pengaturan perangkat pengukuran GPS Anda. Dalam kebanyakan
kasus, kami merekomendasikan menggunakan WGS84 (EPSG: 4326).
9. Orientasi Eksternal (EO)

Orientasi Eksternal (EO) adalah orientasi kamera dalam ruang yang terdiri dari
enam parameter yang menggambarkan posisi sistem koordinat dari kamera yang
digunakan untuk pemotretan udara (Aulejtner, 2011). Parameter-parameter itu yakni
koordinat posisi principal point (X, Y, Z) dan rotasi (omega, phi, kappa) dari titik
pusat foto (Rizaldy dan Wildan, 2012). Adanya parameter rotasi kamera untuk setiap
foto yang dihasilkan disebabkan oleh ketidaksempurnaan posisi terbang pesawat pada
saat pemotretan.

Berikut parameter rotasi yang terjadi akibatpergerakan pesawat (Indra, 2012


dalam Aristia, 2014) :

 Parameter omega (ω). Parameter ini bertujuan untuk mengkoreksi gerakan roll
pada pesawat yang menyebabkan foto berotasi terhadap sumbu X.
 Parameter phi (φ). Parameter ini bertujuan untuk mengkoreksi gerakan pitch pada
pesawat yang menyebabkan foto berotasi terhadap sumbu Y.
 Parameter kappa (κ). Parameter ini bertujuan untuk mengkoreksi gerakan yaw
pada pesawat yang menyebabkan foto berotasi terhadap sumbu Z.

Seiring perkembangan teknologi, terdapat dua teknik pendekatan dasar untuk


menentukan parameter EO, yaitu (Ip dkk, 2007) :

1. Indirectly by Aerial Triangulation

Teknik ini dilakukan apabila foto udara telah melalui proses triangulasi udara.
Penentuan orientasi ini bertujuan untuk menentukan parameter yang berkaitan dengan
sistem koordinat foto dan ruang obyek dimana membutuhkan sebaran titik-titik
kontrol (GCP) secara proporsional pada derah pengamatan. Pelaksanaannya mirip
dengan prinsip metode pemotongan kemuka (Prasetyo.Y, 2007 dalam Nugroho,
2009).

2. Direct GeoreferencingTeknologi GNSS dan IMU yang terpasang pada kamera saat
diterbangkan juga dapatmenghasilkan enam parameter orientasi eksternal. GNSS
yang umumnya disebut juga dengan pengamatan GPS ini menggunakan metode
pengamatan relatif kinematik atau diferensial kinematik (Jacobsen, 2004).
Pengamatan ini menggunakan minimal dua buah receiver yang salah satunya
berupa titik yang harus diketahui koordinat tiga dimensinya dan pengamat (rover)
dalam keadaan bergerak (Abidin, 2006).

Sedangkan IMU atau Inertial Measurement Unit diintegrasikan dengan GPS


pada pemotretan udara dan memiliki dua sensor, yakni gyroskop dan akselerometer.
Sensor gyro digunakan untuk mengukur kecepatan putar sudut roll (guling),
kecepatan putar sudut pitch (angguk) dan kecepatan putar sudut yaw (geleng).
Kecepatan putaran adalah perubahan sudut terhadap waktu. Sedangkan akselerometer
digunakan untuk mengukur percepatan sebuah benda yang bergerak, seperti pesawat
terbang atau UAV yang sedang bergerak dengan percepatan tertentu. Pengolahan raw
data dari GNSS dan IMU untuk menghasilkan parameter orientasi eksternal ini
umumnya menggunakan metode postprocessing pada beberapa perangkat lunak,
misalnya IGI AEROoffice, POSPac, Application Master, dan lain lain.

10. TRIANGULASI UDARA

Berdasarkan data koordinat yang diukur, maka triangulasi udara dapat


dilakukan dengan tiga cara,yaitu :

1. Aeropoligon dengan data input berupa koordinat strip


2. Independent Model Triangulation , data input berupa koordinat model.
3. Adjustment , data input berupa koordinat foto.

Triangulasi udara adalah bagian kegiatan dalam pemetaan fotogrametri dengan


cara mengukur titik-titik minor foto, kemudian ditranformasi ke titik referensi (titik
kontrol tanah). Kegiatan triangulasi udara ini dapat dilaksanakan dalam waktu yang
singkat dan biaya yang lebih murah dibandingkan dengan metode konvensional yang
dilakukan secara terestris dilapangan. Berdasarkan cara pengukuran yang dilakukan
dan instrument yang digunakan yaitu menggunakan metode Model Bebas
(independent model) yang berdasarkan pada unit dasar model dimana dilakukan
pengukuran koordinat titik-titik model hasil orientasi relatif dan pengukuran
koordinat pusat proyeksi foto udara.

1. Persebaran titik kontrol tanah vertikal dan horizontal

2. Triangulasi Udara (titik-titik van gubber)

3. Contoh persebaran titik triangulasi udara dengan 2 jalur

Pengambilan data koordinat untuk keperluan triangulasi udara dapat dilakukan


dengan tiga cara, yaitu :

 Pengadaan data koordinat strip


Pengadaan data koordinat strip antara lain dapat dilakukan dengan
menggunakan alat multiplex. Data hasil pengamatan berupa data koordinat strip. Strip
adalah gabungan dari beberapa foto udara yang saling overlap antara satu foto
dengan foto berikutnya. Untuk menggabungkan foto udara tersebut dilakukan dengan
mengidentifikasi obyek yang sama antara dua foto udara yang berurutan, selanjutnya
kedua foto udara tersebut disambungkan pada obyek yang sama, sehingga antara satu
foto dengan foto berikutnya menjadi mosaik foto udara. Dengan cara yang sama
dilakukan penyambungan foto berikutnya, sehingga akan membentuk satu strip
memanjang dari foto udara dalam satu jalur penerbangan.

 Pengadaan data koordinat model

Pengadaan data koordinat model dapat dilakukan dengan dua cara sebagai
berikut :

a. Dengan menggunakan alat stereo plotter. Hasil pengukuran dengan stereo plotter
adalah koordinat model dengan sisitem koordinat yang independent (bebas).

b. Dengan menggunakan Komparator Hasil ukuran denga alat komparator adalah


data koordinat komparator. Data koordinat komparator ini terlebih dahulu diubah
ke sistem koordinat foto dengan software tertentu. Selanjutnya data koordinat foto
ini ditransformasikan ke sistem koordinat model dengan suatu program yang
disebut Digital Relative Orientation ( DRO ).

Pengadaan data koordinat foto Pengadaan data koordinat foto dilakukan dengan
menggunakan alat komparator. Hasil pengukuran dengan komparator ini berupa
koordinat komparator yang selanjutnya diubah ke sistem koordinat foto.

 Orthophoto dan True-Orthophoto

Orthophoto merupakan proses untuk mengeliminir pengaruh perspektif image


dan koreksi pergeseran relief yang disebabkan oleh kondisi terrain, untuk
menghasilkan image atau foto pada proyeksi orthogonal atau membuat kondisi foto
menjadi tegak (lihat ilustrasi Gambar 1). Data input yang digunakan dalam produksi
orthophoto yaitu image digital, Interior Orientation (IO), Exterior Orientation (EO)
dan Digital Terrain Model (DTM) (Mayr & Heipke, 1988). Penggunaan input data
tersebut akan mengkoreksi pergeseran relief yang disebabkan karena pengaruh
kondisi terrain saja.

Produksi digital orthophoto dengan metode orthophoto terutama di area urban,


akan menyebabkan munculnya occluded areas, efek bangunan rebah dan menutupi
detil objek lain seperti jalan, fasilitas umum atau bangunan lain. Gambar 2
memperlihatkan bahwa orthophoto tidak menunjukkan posisi geometri yang tepat,
terutama pada objek bangunan yang tinggi.

Hal tersebut dikarenakan algoritma konvensional yang digunakan berbasis


DTM 2.5D, yang kemungkinan menghambat dalam perhitungan visibilitas yang
benar (Amhar et al., 1998). Hal senada juga disampaikan oleh Qin et al. (2003),
penulis menjelaskan di area urban dengan bangunan-bangunan tinggi, orthophoto
menggunakan DTM tidak dapat memenuhi persyaratan dalam pembentukan true-
orthophoto.

Gambar. Perspektif dan geometri proyektif yang menyebabkan relief displacement


(Nielsen, 2004).
Gambar. Pergeseran orthophoto dengan vektor bangunan peta RBI 1:5.000 (lihat
tanda panah kuning).

True-orthophoto akan mengikutsertakan elemen surface di model ketinggian


pada proses proyeksi orthogonal. Pengaruh perspektif dan relief displacement yang
diakibatkan kondisi terrain maupun elemen surface dapat dieliminir dengan baik.
Proses tersebut menghasilkan foto atau imagepada posisi geometri yang benar dan
tegak, sehingga diperoleh skala yang seragam pada true-orthophoto.

 Dasar Pengolahan True-orthophoto

Prinsip dasar pengolahan true-orthophotoadalah dengan melakukan


penambahan elemen surface pada model ketinggian, sehingga proses proyeksi
orthogonal juga mengkoreksi dan mengeliminir perspektif dari elemen-elemen
surfacetersebut. Dengan demikian data input yang digunakan menjadi :

a. Image digital;

b. Interior Orientation;
c. Exterior Orientation;

d. Digital Surface Model.

Tahapan umum pengolahan true-orthophoto yaitu: orthorectification, color


matching, mosaicking dan feathering (Nielsen, 2004).

 Terkait Pembentukan True-orthophoto

Amhar et al. (1998) menjelaskan pembentukan true-orthophoto dengan


penambahan informasi 3D Digital Building Model (DBM) atau DSM (DBM dan
DTM) dalam proses orthorektifikasi untuk menghasilkan true-orthophoto, serta
algoritma Z-buffer yang menggunakan prinsip analisis visibilitas dalam memproduksi
orthophoto. Hal serupa juga disampaikan oleh Qin et al. (2003). Schickier & Thorpe
(1998) mengenalkan proses pembuatan true-orthophoto secara otomatis, metode
mosaik untuk memilih image terbaik dan metode otomatis untuk optimasi seamline,
selain itu juga digunakan data digital city model yang dibentuk menjadi TIN
(Triangulated Irregular Network) sebagai input di proses pembentukan true-
orthophoto. Kedua metode yang dijelaskan tersebut masih menyisakan occluded areas
pada true-orthophoto yang dihasilkan.

Permasalahan occluded areas yang menjadi kekurangan z-buffer algorithm


menjadi fokus studi yang dilakukan oleh Bang et al. (2007), metode yang diterapkan
menghilangkan occluded areas dengan menggunakan sorted DEM Method. Metode
tersebut hampir sama dengan z-buffer, perbedaannya: setiap piksel pada image
sumber hanya diakses sekali, point yang terlihat pada ruang objek dijadikan sebagai
nilai piksel dan hanya memerlukan memori yang lebih sedikit dibanding metode z-
buffer.

Penggunaan multi-view images dalam pembentukan true-orthophoto


dikemukakan oleh Rau et al. (2002), Chen et al. (2007). Palà & Arbiol (2002) juga
mengusulkan hal yang serupa dengan penambahan penggunaan DEM yang presisi.
Dari skema yang diberikan diklaim mampu meminimalkan hidden areas dan shadow
defects, serta meningkatkan level interpretasi dari true-orthophoto. Permasalahan
geometri atau posisi untuk menghasilkan true-orthophoto dapat didekati dengan
menambahkan elemen surface, Z-buffer algorithm serta multi-view image. Untuk
meningkatkan proses mosaik orthophoto Nielsen (2004) mengenalkan algoritma
histogram matching, yaitu memberikan properti radiometrik yang sama dan
menerapkan feathering di sepanjang seamline, untuk menghilangkan perbedaan yang
tersisa.

Studi komprehensif dalam pembentukan true-orthophoto dijelaskan oleh Zhou


et al. (2005), yaitu mendetilkan kembali metode atau algoritma yang telah ada
sebelumnya, menggunakan DBM dan DTM yang akurat, deteksi dan kompensasi
shadows areas dan occluded areas dengan modifikasi Z-buffer algorithm, koreksi
radiometrik untuk balancing di setiap image. Metode yang disebutkan mampu meng-
orthorektifikasi displacement objek secara benar dan efektif yg disebabkan oleh
terrain dan bangunan pada foto udara skala besar.

Studi berikutnya mulai terfokus pada penggunaan DSM dari data LiDAR
seperti yang dilakukan oleh Liu et al. (2007), Barazzetti et al. (2007) dan Oliveira &
Galo (2013). Dari hasil penelitian tersebut menunjukkan data ketinggian dari LiDAR
dapat dimanfaatkan untuk memproduksi true-orthophoto. Penggunaan wahana UAV
(Unmanned Aerial Vehicle) dalam teknologi akuisisi data foto udara serta
berkembangnya pengolahan untuk menghasilkan data ketinggian dengan metode
dense matching atau image matching, mendorong modifikasi dalam pembentukan
true-orthophoto menggunakan input data ketinggian yang berbeda. Penelitian yang
dilakukan oleh Barazzetti et al. (2014) menunjukkan hasil cukup baik, karena pada
data UAV terdapat multiple images, sehingga permasalahan occluded areas dapat di
refilling dengan image yang lain. Belum diketahui jika metode tersebut diterapkan
pada data hasil akuisisi fotogrametri dengan kamera udara metrik.
 Permasalahan dalam Produksi Orthophoto

Permasalahan dalam produksi true-orthophoto yang disampaikan oleh Rau et al.


(2002) dan Zhou et al. (2005), dapat berupa

1. Ghost images, yaitu efek pada data orthophoto berupa atap bangunan yang
tumpang tindih dengan bagian bawah bangunan sehingga terlihat dua.

2. Occlusion dan building lean, adanya fitur atau objek pada orthophoto yang
terdistorsi dari lokasi yang seharusnya. Distorsi tersebut menyebabkan bangunan
tinggi terlihat rebah hingga ke jalan atau fitur lain yang lebih rendah.

3. Bayangan bangunan, yaitu orthophoto tidak dapat menghilangkan bayangan


bangunan sehingga dapat mempengaruhi tampilan dari orthophoto.

Permasalahan lain yang timbul

4. Orthorektifikasi yang tidak sempurna karena model ketinggian yang tidak akurat,

5. Refilling occluded area yang tidak sempurna, hal ini dapat dipengaruhi oleh
presentasi overlap dan sidelap dari foto udara, terutama jika di area urban terdapat
bangunan yang tinggi, perencanaan misi sebelum akuisisi perlu diperhatikan.

6. Perbedaan akurasi geometri dari orthophoto yang berdekatan, hal ini dapat
disebabkan oleh koreksi distorsi lensa yang kurang sempurna, besarnya distorsi
akan mempengaruhi posisi objek pada bidang foto. Pemasalahan lainnya yaitu
adanya
7. Perbedaan radiometrik padaorthophoto yang berdekatan, berupa perbedaan
kecerahan diantara fitur yang ada pada scene yang berbeda akan mempengaruhi
hasil mosaik.Ragam Input Model Elevasi untuk Produksi True-orthophoto

11. Digital Building Model (DBM)

DBM yang dimaksudkan adalah vektor yangmendeskripsikan detail permukaan


yang biasanya merupakan objek-objek buatan manusia, seperti bangunan dan
jembatan atau dapat berupa bidang tembok atau atap (Amhar et al., 1998). DBM
dapat dihasilkan dari proses stereoplotting pada data foto udara yang dilakukan secara
interaktif. Pada penelitian ini DBM yang digunakan sebagian berasal dari data vektor
bangunan dari Peta RBI skala 1:5.000. Bangunan dari Peta RBI
menunjukkandeliniasi pada batas terluar bangunan, sehingga pada penelitian ini
dilakukan penambahan deliniasi bangunan dengan mengamat stereoplotting 3D,
seperti diperlihatkan pada Gambar 3. Data DBM dibuat dalam format. DXF dan akan
digunakan pada tahapan penyusunan format model elevasi.

Gambar Contoh penarikan vektor untuk DBM.


 Surface Model (DSM) dari LiDAR

DSM atau disebut pula Model Permukaan Digital adalah model permukaan
bumi dengan menggambarkan seluruh objek permukaan bumi yang terlihat. Objek
bangunan, vegetasi yang menutupi tanah dan objek tanah yang terbuka termasuk
dalam data tersebut. Kenampakan DSM akan menggambarkan bentuk permukaan
bumi seperti keadaan nyata yang terlihat dari foto.

DSM berguna dalam pemodelan 3D untuk telekomunikasi, perencanaan kota


dan penerbangan. Karena objek tutupan di permukaan bumi dapat dianalisis untuk
kebutuhan berikut ini:

 Pendekatan Zona Runway: Dalam penerbangan, DSM dapat menentukan


penghalang landasan di zona pendaratan pesawat terbang.

 Pengelolaan Lingkungan: DSM dapat memberikan gambaran yang jelas mengenai


perbedaan tutupan lahan dan kondisinya

 Analisis Obstruksi: DSM dapat digunakan untuk menganalisi spotensi dan


konektivitas dalam hal perencanaan wilayah.
Teknologi LiDAR atau Light Detection and Ranging dikenal mampu
mempercepat proses dalam menghasilkan model ketinggian jika dibandingkan
dengan metode pengamatan stereokompilasi secara manual. Selain itu, model
ketinggian yang dihasilkan juga lebih rapat, tergantung pada kuat atau lemahnya
pulse yang dipancarkan sensor LiDAR dan pengaturan kerapatan pada saat akuisisi
data. Model ketinggian dari LiDAR dapat digunakan sebagai input model ketinggian
pada pembentukan true-orthophoto, seperti yang telah dilakukan oleh Liu et al.
(2007), Barazzetti et al. (2007) dan Oliveira & Galo (2013).
DAFTAR PUSTAKA

Husna, Syafira Naula. Sawitri Subiyanto. Hani’ah. 2016. “Penggunaan Parameter


Orientasi Eksternal (eo) Untuk Optimalisasi Digital Triangulasi Fotogrametri Untuk
Keperluan Ortofoto”.
https://ejournal3.undip.ac.id/index.php/geodesi/article/view/13936/13472

Fotogrametri, Triangulasi Udara

file:///C:/Users/ASUS/Downloads/vdocuments.in_triangulasi-udara%20(1).pdf

Anda mungkin juga menyukai