Anda di halaman 1dari 12

Makalah ini ditulis untuk memenuhi persyaratan mengikuti kegiatan “MADRASAH POLITIK”

yang diselenggarakan oleh Pimpinan Pusat Himpunan Mahasiswa Persatuan Islam di GEDUNG
DAKWAH PERSATUAN ISLAM Jamanis, 10-12 Agustus 2018

HIMPUNAN MAHASISWA PERSATUAN ISLAM

POLITIK DALAM ISLAM DAN PERKEMBANGANNYA DI MASA KENABIAN :


“SUATU PENGANTAR WAWASAN POLITIK ISLAM”
Oleh: Rijal Jirananda (Ketua Bidang Kajian Ilmiah PD Hima Persis Tasikmalaya Raya)
BAB I

Pendahuluan

Khazanah keilmuan Islam, saat ini telah menunjukan kekayaan yang luar biasa
melimpah. Perjalanan sejarah Islam di dunia, begitu mewarnai belantara pemikiran-pemikiran
keIslaman. Diantaranya bisa kita lihat dalam sejarah Islam pada masa Dinasti Abbasiyah.
Menurut Dhiauddin Rais, pada masa ini umat Islam mengalami kemajuan ilmu pengetahuan
yang sangat besar dan tiada bandingannya dalam sejarah masa lampau.

Seluruh aspek dalam kehidupan hampir tidak pernah luput dari pandangan Islam. Para
pemikir Islam baik dari kalangan orientalis maupun kelompok muslim sendiri memandang,
bahwa Islam memiliki sifat holistik. Dari sini, Islam diyakini bukan sekedar agama ritual
peribadatan semata, namun ia juga merupakan suatu konsep peradaban yang lengkap,
sebagaimana diungkapkan oleh Ahmad Syafi’i Ma’arif. Juga apa yang disampaikan oleh H. R.
Gibb yang dikutip oleh Dhiauddin Rais, “... Islam bukanlah sekedar agama kepercayaan
individual, namun ia meniscayakan berdirinya suatu bangunan masyarakat yang independen. Ia
mempunyai metode tersendiri dalam sistem pemerintahan, perundang-undangan, dan institusi.”

Sebagai agama yang diturunkan oleh Allah subhanahu wata’ala yang bersifat syamil
(menyeluruh) dan kamil (sempurna), tidak ada satu sisi pun kehidupan manusia yang tidak diatur
oleh Islam. Kemenyeluruhan dan kesempurnaan ajaran Islam ini, tidak mungkin dapat diterapkan
begitu saja dalam individu dan masyarakat, tanpa adanya alat untuk menegakannya. Upaya
penerapan tersebut menjadi suatu keniscayaan bagi umat Islam. Di mana hal tersebut sebagai
perwujudan daripada doktrin asasi umat Islam yakni men’tauhid’kan Allah Rabbul ‘alamin
dalam bentuk menciptakan tatanan masyarakat yang diridhoi oleh Allah subhanahu wata’ala.

Dalam mengatur dan mengarahkan umat Islam menuju tatanan sosial budaya yang di
ridhoi oleh Allah subhanahu wata’ala, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam selaku pembawa
risalah Islam telah melakukan tindakan-tindakan politis, sebagai mana digambarkan oleh A.
Djazuli:

Sebagaimana dituturkan oleh beberapa sarjana Muslim (seperti: Yusuf Musa, Abdul Qadir Audah
dan Abdul Karim Zaidan), pada masa itu (hijrah Rasulullah dari Mekkah ke Madinah), Rasulullah
lebih memusatkan perhatian pada “perencanaan” daripada “pelaksanaan” hal-hal yang
berhubungan dengan politik syari’ah. Muhammad Yusuf Musa dan Abdul Qadir Audah
menjelaskan bahwa bai’at aqobah, yaitu perjanjian antara Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam dengan penduduk Yatsrib yang terdiri dari suku Aus dan Khazraj, baik perjanjian
pertama maupun perjanjian kedua, merupakan bukti tahap awal pelaksanaan politik syari’ah.

Hal ini menunjukan bahwa benih-benih pemikiran politik dalam Islam sudah ada sejak
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengemban misi risalah Islam. Sisi lain, fakta sejarah
tersebut juga menjelaskan kepada kita betapa tatanan politik menjadi suatu hal yang amat
penting bagi tegaknya Islam dalam individu dan masyarakat.
Khazanah pemikiran Islam telah mengungkapkan bahwa, amatlah tidak logis, jika ada
yang berpendapat bahwa salah satu bidang pengetahuan manusia yang penting ini (politik) tidak
mendapatkan perhatian dari para pemikir Islam. Juga fakta sejarah semakin menguatkan
argumen bahwa Islam memiliki akar sejarah yang kuat dalam membahas persoalan politik,
tentunya politik Islam.

Dari sini penulis merasa tertarik untuk memaparkan apa itu politik Islam? Apakah politik
Islam ini memiliki landasan nilainya dalam dua sumber utama khazanah pemikiran dan keilmuan
yakni Al-Qur’an dan Sunnah. Serta bagaimana perkembangannya di masa kenabian? Untuk itu
penulis mengajukan makalah ini dengan judul “POLITIK DALAM ISLAM dan
PERKEMBANGANNYA DI MASA KENABIAN : SUATU PENGANTAR WAWASAN
POLITIK ISLAM”

BAB II
Pembahasan

A. Pengertian Politik Secara Umum

Politik berasal dari bahasa Yunani yaitu polis yang berarti negara kota.  Secara etimologi
kata politik masih berhubungan erat dengan kata politis yang bearti hal-hal yang berhubungan
dengan politik. Kata politisi berarti orang-orang yang menekuni hal-hal yang berkaitan dengan
politik. Para tokoh memiliki sudut pandang yang beragam mengenai pengertian dari politik.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia ada 3 pengertian politik:

1. Pengetahuan mengenai kenegaraan (tentang sistem kenegaraan, dasar-dasar


pemerintahan)
2. Segala urusan dan tindakan (kebijaksanaan, siasat dan sebagainya) mengenai
pemerintahanatau terhadap negara lain, dan;
3. Kebijakan, cara bertindak (dalam menghadapi atau menangani suatu masalah).

Karena makna yang beragam itu, dalam khazanah ilmu politik, terdapat bermacam-
macam pengertian atau definisi mengenai politik. Beragamnya pengertian mengenai politik
disebabkan para sarjana dan ahli ilmu politik melihat politik dalam aspek tertentu atau salah satu
aspeknya saja. Menurut Miriam Budiardjo (1993:8,9) ada lima unsur sebagai konsep pokok
dalam politik, yaitu (1) negara, (2) kekuasaan, (3) pengambilan keputusan, (4) kebijaksanaan
(kebijakan), dan (5) pembagian dan penjatahan nilai-nilai dalam masyarakat. Kelima unsur
politik yang dikemukakannya itu berdasarkan definisi politik yang dirumuskannya. la
menyatakan bahwa "politik (politics) adalah bermacam-macam kegiatan dalam suatu sistem
politik (atau negara) yang menyangkut proses menentukan tujuan-tujuan sistem itu dan
melaksanakan tujuan-tujuan itu. "Untuk melaksanakan tujuan-tujuan sistem politik itulah
diperlukan kelima unsur di atas.

Menurut Inu Kencana Syafiie, politik dalam bahasa Arabnya disebut “siyasyah” atau
dalam bahasa Inggris “politics”. Politik itu sendiri berarti cerdik dan bijaksana. Pada dasarnya
politik mempunyai ruang lingkup Negara, membicarakan politik galibnya adalah membicarakan
Negara, karena teori politik menyelidiki Negara sebagai lembaga politik yang mempengaruhi
hidup masyarakat, jadi Negara dalam keadaan bergerak. Selain itu politik juga menyelidiki ide-
ide, asas-asas, sejarah pembentukan Negara, hakekat Negara, serta bentuk dan tujuan Negara,
disamping menyelidiki hal-hal seperti kelompok penekan, kelompok kepentingan, elit politik,
pendapat umum, peranan partai, dan pemilihan umum.

B. Pengertian Islam

Memberikan pengertian yang benar terhadap Islam saat ini telah menjadi satu hal yang
sangat urgen. Kebutuhan terhadap pengertian Islam akan memberikan satu framework terhadap
agama Islam itu sendiri. Telah banyak dari kalangan pemikir Islam yang memiliki kualifikasi
yang diakui secara akademis baik itu dari seorang muslim maupun dari para pengkaji Islam di
Barat yang kita kenbal sebagai kelompok orientalis. Beragam pengertian telah lahir ke tengah-
tengah umat Islam. Namun perkembangan pemikiran tersebut tidak sejalan dengan peningkatan
pemahaman terhadap Islam itu sendiri bahkan terkesan sangat jauh dari dua sumber utama umat
Islam yakni Al-Qur-an dan Sunnah. Seperti contoh pengertian Islam menurut para orientalis
bahwa, Islam adalah agama yang hanya mengurusi masalah hubungan antara manusia dengan
Tuhannya semata. Dari pengertian tersebut dapat kita tangkap, para orientalis ingin membatasi
Islam sebagai agama ibadah saja yang tidak mengurusi masalah, sosial, ekonomi, politik,
ataupun yang sebagainya. Penyempitan makna Islam telah berhasil memalingkan sebagian umat
Islam dari definisi Islam yang sebenarnya.

Namun ada pula sebagian orientalis yang mengakui kelengkapan Islam sebagai agama
dan peradaban. Misalnya apa yang dipaparkan oleh orientalis Bernard Lewis, “Islam bukan saja
sistem keyakinan dan kultus, ia juga merupakan sistem pemerintahan, masyarakat, hukum,
pemikiran dan seni, suatu peradaban sekaligus agama...”

Pemahaman mengenai pengertian atau definisi Islam yang salah, bisa mengantarkan
seorang muslim berperilaku yang salah dalam berIslam. Dari sana bisa kita lihat, betapa sensitif
dan rentannya pengertian Islam disalahartikan yang memberikan akibat yang sangat fatal
terhadap keberagamaan umat Islam. Dengan demikian, memahami pengertian Islam dengan
benar, sangatlah penting bagi kelangsungan keberIslaman umat Islam.

Pemikiran mengenai pengertian Islam yang benar tentunya pula akan mengarahkan pada
ruang-ruang diskursif kajian politik. Bagaimana pengertian Islam akan memperlihatkan kepada
kita pancarannya atas nilai-nilai dan aspek pengetahuan maupun praktik politik menurut Islam.

Untuk pengertian Islam sendiri terbagi menjadi dua, yakni pengertian secara etimologis
(kebahasaan) dan terminologis (istilah). Secara Etimologis, Islam berasal dari bahasa Arab:
salima, yang berarti selamat. Dari kata itu terbentuk aslama yang artinya menyerahkan diri atau
tunduk patuh. Sebagaimana firman Allah Swt, yang artinya:

“Bahkan, barangsiapa aslama (menyerahkan diri kepada Allah) sedang ia berbuat


kebaikan, maka baginya pahala di sisi Tuhannya dan tidak ada kehkawatiran terhadap mereka
dan tidak pula bersedih hati.” (Q.S Al-Baqoroh).

Dari kata aslama itulah terbentuk kata Islam. Pemeluknya disebut Muslim.Dan orang
yang memeluk Islam berarti menyerahkan diri kepada Allah dan siap patuh pada ajaran-Nya.
Menyerahkan diri kepada Allah memiliki arti bahwa, ridho serta menerima segala putusan-Nya
baik itu berupa perintah-perintah, larangan-larangan ataupun anjuran-anjuran yang terhimpun
dalam 2 sumber utama ajaran Islam yakni Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah saw.

Secara terminologis (istilah, maknawi) dapat dikatakan, Islam adalah agama wahyu
berintikan tauhid atau keesaan Tuhan yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad
Saw sebagai utusan-Nya yang terakhir dan berlaku bagi seluruh manusia, di mana pun dan kapan
pun, yang ajarannya meliputi seluruh aspek kehidupan manusia. Cukup banyak ahli dan ulama
yang berusaha merumuskan definisi Islam secara terminologis. KH Endang Saifuddin Anshari 
mengemukakan, setelah mempelajari sejumlah rumusan tentang agama Islam, lalu
menganalisisnya, ia merumuskan dan menyimpulkan bahwa agama Islam adalah:

1. Wahyu yang diturunkan oleh Allah swt kepada Rasul-Nya yang terakhir yakni, Nabi
Muhammad shallahu ‘alaihi wasallam untuk disampaikan kepada segenap umat
manusia sepanjang masa.

2. Suatu sistem keyakinan dan tata ketentuan yang mengatur segala perikehidupan dan
penghidupan asasi manusai dalam pelbagai hubungan: dengan Tuhan, manusia dan
alam.

3. Bertujuan: Keridhoan Allah swt, rahmat segenap alam, kebahagiaan di dunia dan
akhirat

4. Pada garis besarnya, teridiri dari akidah, syari’ah dan akhlaq

5. Bersumber pada kitab suci Al-Qur-an yang merupakan kodifikasi wahyu Allah swt
sebagai penyempurna wahyu-wahyu Allah sebelumnya yang ditafsirkan oleh sunnah
Rasulullah

Dari pengertian terminologis di atas, diantara penjelasan yang dapat kita tangkap adalah
bahwa Islam sebagai agama merupakan suatu sistem keyakinan dan tata aturan yang mengatur
hubungan antara manusia dengan Tuhan, antara manusia dengan sesamanya, dan manusia
dengan Alam. Pengertian tersebut jelas menunjukan di mana hubungan manusia antar sesamanya
telah diatur oleh tata ketentuan agama (Islam). Semangat ajaran Islam yang menghendaki doktrin
dan praktik keagamaannya tegak dalam individu dan masyarakat, menuntut diaturnya tatanan
kemasyarakatan menurut Islam, yang mana hal tersebut tidak mungkin tegak tanpa adanya
institusi politik menurut Islam pula. Terlepas daripada berbagai proses adopsi dan adaptasi
terhadap perkembangan budaya pada zaman atau tempat tertentu, yang pasti semangat dan ruh
Islam harus senantiasa menyertainya, sebagai konsekuensi daripada konsep Islam itu sendiri.

C. Pengertian Politik dalam Islam

Bila kita mencari legitimasi dari Islam mengenai pengertian atau makna politik dalam Al-
Qur’an, maka kita tidak akan menemukan istilah yang serupa dengan pengertian atau makna
politik secara umumnya. Tetapi, istilah yang disepakati oleh para ulama yang secara esensial
memiliki pengertian dan makna serupa dengan politik dapat ditemukan dalam salah satu hadits
Rasulullah saw yakni as-siyasah.

Adapun hadits yang dimaksud adalah hadist yang diriwayatkan oleh imam Bukhori dari
Abu Hurairah ra. , “(Zaman dahulu), bani Israil tasyusyuhum (dipimpin/diurus) oleh para
Nabi…”. Imam Nawawi mengomentari hadits ini dalam syarah shahih Muslim, “Artinya, mereka
(para nabi) memimpin segala urusan mereka sebagaimana yang dilakukan para pemimpin
terhadap rakyatnya.
Hadis ini menunjukkan bahwa politik atau as-siyasah dalam Islam berarti masyarakat
harus memiliki seseorang yang mengelola dan memimpin mereka ke jalan yang benar, dan
membela yang teraniaya dari para pelanggar hukum sesuai dengan penjelasan Ibnu Hajar Al-
Asqalani dalam kitab Fathu Al-Bari. Dari kata tasyusyuhum lahir kata siyasah, sasa-yasusu-
siyasatan, yang menurut Ibnu Manzhur memiliki arti dasar, mengatur, memelihara, mengurus
binatang khususnya kuda. Samuddin mengomentari makna siyasah secara bahasa, bahwa
pengertian tersebut tidak terbatas pada persoalan-persoalan negara dan pemerintahan saja.
Cakupannya jauh lebih luas, yakni melaksanakan segala sesuatu yang dapat mendatangkan
kebaikan. Ia lanjut mengutip pengertian yang diberikan oleh syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah,
“ilmu yang dengannya dapat mencegah kerusakan di dunia dan mengambil manfaat darinya.”

Pengertian secara terminologis kata siyasah di terangkan oleh Ibnu ‘Aqil, “Siyasah
berarti suatu tindakan yang dapat mengantar rakyat lebih dekat kepada kemaslahatan dan lebih
jauh dari kerusakan, kendati pun Rasulullah tidak menetapkannya dan Allah juga tidak
menurunkan wahyu untuk mengaturnya”.

Secara tersirat dalam istilah siyasah mengandung dua dimensi yang saling berkaitan satu
sama lain, yaitu:

1. Tujuan, yang hendak dicapai melalui proses pengendalian

2. Cara, pengendalian menuju tujuan tersebut

A. Djazuli menerangkan, berdasarkan pembahasannya atas ayat 58 dan 59 surat an-Nisa,


Ibn Taimiyyah mengisyaratkan adanya unsur-unsur yang terlibat dalam proses siyasyah atau
politik, “Ulama menyatakan, bahwa ayat pertama (an-Nisa: 58) berkaitan dengan pemegang
kekuasaan, yang berkewajiban menyampaikan amanat kepada yang berhak dan menghukumi
dengan cara yang adil, sedangkan ayat kedua (an-Nisa:59) berhubungan dengan rakyat, baik
militer maupun non militer”.

Pengertian lain yang diajukan oleh Abdul Wahab Khalaf adalah, “...Ilmu yang mengkaji
hal-hal yang berkaitan dengan pengaturan urusan-urusan daulah Islamiyyah (negara Islam)
berupa undang-undang dan aturan yang sejalan dengan pokok dasar syari’at Islam, kendati dalam
setiap pengaturan dan kebijakan tersebut tidak semua berasas pada dalil khusus. Dan keadaannya
senantiasa berubah dan berganti menurut apa yang dapat memberi maslahat bagi umat dan
sejalan dengan hukum-hukum syariat serta dasar-dasar umum.”

Dalam pengertian-pengertian di atas tercakup beberapa hal, yakni:

1. Pengaturan, undang-undang maupun kebijakan yang diarahkan berdasarkan asas


kemaslahatan umat

2. Pihak yang mengatur, lembaga atau institusi yang memiliki wewenang dengan sifat
memaksa untuk menegakan aturan yang telah ditetapkan

3. Pihak yang diatur, sebagai objek yang menjalankan peraturan


Dengan demikian jelaslah, pengertian-pengertian yang disampaikan oleh para ulama,
menunjukan karakteristik yang membedakan politik Islam dengan pengertian politik pada ilmu
politik pada umumnya. Juga pembahasan mengenai politik memiliki akar yang kuat dalam
khazanah pemikiran Islam. Baik dari aspek kesejarahan maupun aspek keilmuannya.

D. Perkembangan Politik pada Masa Kenabian

Nuansa politik Islam telah berkembang sejak zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam. Pada umumnya para pengkaji sirah atau sejarah kenabian Muhammad shallalhu
wa’alaihi wasallam membagi dua periode penting yang dipisahkan dengan kejadian hijrah, yakni
periode Mekah dan periode Madinah. Penampakan masyarakat politik yang langsung dibina oleh
Rasulullah shallalhu wa’alaihi wasallam ditunjukan pada periode Madinah. Hal ini diterangkan
oleh Rahmat Effendi, “Jika pada periode Mekah kaum Muslimin berada pada posisi marginal
dan senantiasa tertindas, maka pada periode Madinah mereka telah mengalami perubahan yang
sangat dramatis. Masyarakat Islam menguasai pemerintahan dan bahkan merupakan a self
governing community. Di Madinah, peran nabi selain sebagai agamawan, beliau juga berperan
sebagai negarawan.

Orientalis yang mengkaji sejarah Nabi Muhammad shallalhu wa’alaihi wasallam


memandang bahwa kedua periode ini memiliki perbedaan dan kelainan. Namun hal tersebut
dibantah oleh Dhiauddin Rais dengan mengutip pendapat H. R. Gibb:

“Peristiwa hijrah sering dilihat sebagai starting point transformasi menuju era baru dalam
kehidupan Muhammad shallalhu wa’alaihi wasallam dan penerusnya, namun pembandingan
secara mutalk yang biasanya dilakukan antara pribadi seorang rasul yang tidak terkenal dan
tertindas di Mekah, dengan pribadi seorang mujahid Muhammad shallalhu wa’alaihi wasallam
dalam membela akidah di Madinah, tidak memiliki landasannya dalam sejarah. Tidak ada
perubahan dalam pandangan Muhammad shallalhu wa’alaihi wasallam tentang misinya atau
kesadaran terhadap misinya itu. Meskipun dalam segi fisik tampak gerakan Islam dalam bentuk
yang baru, hal itu hanyalah bersifat sebagai penampakan sesuatu yang sebelumnya
disembunyikan. Adalah suatu pemikiran Rasulullah yang tetap –seperti yang juga dilihat oleh
musuhnya dalam memandang masyarakat agama baru yang didirikan olehnya itu– bahwa dia
akan mendirikan suatu bangunan politik, sama sekali bukan sekedar bentuk agama yang terpisah
dari dan terletak di bawah kekuasaan pemerintahan duniawi. Dia selalu menegaskan, saat
menjelaskan risalah-risalah rasul sebelumnya, bahwa ini (pendirian negara) merupakan salah satu
tujuan utama diutusnya rasul-rasul oleh Tuhan. Dengan demikian, sesuatu yang baru yang terjadi
di Madinah hanyalah berupa jamaah Islam yang telah mengalami transformasi dari fase teoritis ke
fase praktis.

Dalam hal ini Dhiauddin Rais lanjut menerangkan, bahwa fase pertama pada periode
Mekah merupakan fase yang menjadi titik tolak bagi fase kedua di Madinah. Pada fase pertama,
embrio masyarakat Islam mulai tumbuh dan mulai ditetapkan kaidah kaidah pokok Islam secara
general. Pada fase kedua, bangunan masyarakat Islam itu berhasil dibentuk, dan kaidah-kaidah
yang sebelumnya bersifat general selesai dijabarkan secara mendetail.
Husein Haikal menerangkan misi risalah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam
pada periode Mekah, belum diorientasikan pada pembentukan institusi politik atau negara. Misi
nabi selama di Mekkah terfokus pada tiga hal. Pertama, mengajak manusia agar meyakini bahwa
tidak ada tuhan yang patut disembah selain Allah subhanahu wata’ala, percaya kepada malaikat,
rasul, hari kemudian dan hal-hal yang berkaitan dengan rukun iman. Kedua, mengajarkan kepada
manusia nilai-nilai kemanusiaan yang tinggi, agar mereka tidak tertipu oleh godaan hidup
duniawi yang menyilaukan. Ketiga, mengajak manusia untuk mendekatkan diri kepada Allah
subhanahu wata’ala. Adapun dalam konteks pendirian institusi politik atau negara Islam, pada
periode Mekah, merupakan tahap pembentukan fondasi melalui pembersihan keyakinan dan
menumbuhkan keimanan pada kaum Muslim. Perjuangan Nabi belum sampai pada pembentukan
instrumen sebuah negara, karena institusi politik yang menopang sistem sosial dan ekonomi
belum dibentuk. Selain karena agenda dakwah di Mekah belum mengarah pada pembentukan
institusi politik, kondisi bangsa Quraisy yang masih kuat dalam mempertahankan status quo,
juga tidak memungkinkan untuk berdirinya sistem ketatanegaraan yang bersendi pada ajaran
Islam.
Sebagaimana kita ketahui, dalam perjalanan dakwah Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam, periode Mekah menggambarkan kondisi kaum Muslimin yang termarjinalkan, banyak
memperoleh intimidasi dan sebagainya. Kondisi yang kurang menguntungkan bagi pergerakan
dakwah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tersebut menuntut Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam dan kaum Muslimin harus mencari daerah lain yang memungkinkan
dakwahnya tetap berjalan. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun hijrah ke Yatsrib
atau yang saat ini kita kenal Madinah.
Sebelum terjadi peristiwa hijrah, Rasulullah melakukan perjanjian dengan utusan dari
Madinah yang kemudian dikenal sebagai Bay’ah Aqobah. Di dalam perjanjian tersebut
disepakati oleh kedua belah pihak untuk saling membantu, melindungi, dan membela
keselamatan, serta kepentingan masing-masing. Menurut Dhiauddin Rais, perjanjian ini mirip
dengan kontrak-kontrak sosial yang dideskripsikan secara teoritis oleh sebagian filosof politik
pada era-era modern, serta dianggap sebagai fondasi bagi berdirinya negara-negara dan
pemerintahan.
Pada periode ini (Madinah) pula, para pengkaji sejarah politik Islam menyebutkan bahwa
mereka telah meraih kedaulatannya secara penuh yang menjadikan mereka mampu
melaksanakan ajaran-ajaran Islam secara menyeluruh dengan praktis. Juga berbarengan dengan
itu, praktik-praktik dan tindakan-tindakan politik lebih tampak pada gerakan-gerakan kaum
Muslim pada periode ini. Salah satu contoh dipaparkan oleh A. Djazuli:

Salah satu contoh pelaksanaan siyasyah syar’iyyah (politik Islam) adalah kebijakan Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam berkenaan dengan persaudaraan intern kaum Muslimin, yaitu antara
kelompok Muhajirin dengan kelompok Anshor. Kebijakan ini merupakan perwujudan dalil kully
(universal), yaitu al-ukhuwwah al-Islamiyyah. Contoh lainnya adalah perjanjian antara komunitas
Muslim dengan komunitas nonmuslim. Sekalipun kendali kekuasaan dipegang oleh komunitas
muslim dalam hal ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, namun perjanjian yang dibuat
tidak mengganggu keyakinan komunitas nonmuslim. Hal ini tercipta karena Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam mendasarkan kebijakannya atas prinsip al-ukhuwwah al-insaniyyah
(persaudaraan manusia/kemanusiaan) yang diwujudkan dalam Piagam Madinah. Kedua prinsip di
atas, yaitu al-ukhuwwah al-Islamiyyah dan al-ukhuwwah al-insaniyyah merupakan pola interaksi
antarpenduduk negara dan kota Madinah, baik hubungan antara Muslim dengan Muslim atau
Muslim dengan nonmuslim.

Dengan demikian jelaslah, misi risalah yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam menjalankan praktik politik dalam gerakan dakwahnya, yang dengannya politik
memiliki peranan penting dalam suksesi gerakan dakwah Islam. Khazanah pemikiran Islam pun
tidak pernah sepi dari pembahasan mengenai politik dalam pandangan Islam. Kedua hal tersebut
membuktikan bahwa Islam memandang politik sebagai instrumen penting dalam menegakan
risalah Islam di muka bumi ini.
BAB III
Penutup

Dari pemaparan di atas dapat dipahami bahwa, Islam merupakan agama yang universal,
yang tidak hanya mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan (ibadah), namun mengatur
seluruh aspek kehidupan, salah satunya mengenai pengaturan masyarakat melalui institusi
Negara. Dengan demikian, Islam juga berbicara tentang politik.Tentu politik yang berdasarkan
syari’ah Islam yang menurut Ibnu Taimiyah sebagaimana dalam salah satu karyanya disebut
dengan istilah asy-Siyasah asy-Syar’iyyah. Tujuan politik Islam sendiri menurut al-Mawardi
dalam buku al-Ahkam ash-shulthoniyahnya adalah hifzud-din wa siyasatud-dunya (menjaga
agama dan mengatur dunia)

Gerakan dakwah di masa kenabian, memperlihatkan kepada kita bagaimana Rasulullah


shallallahu’alaihi wasallam melakukan praktik-praktik dan tindakan-tindakan politik. Pada
periode Mekkah, Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam melakukan bentuk-bentuk persiapan
mental masyarakat Islam dengan menanamkan nilai-nilai tauhid. Pada periode Madinah,
Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam mulai memasuki fase ‘pembentukan’ negara Islam.
Perjanjian dengan kelompok masyarakat yang ada di Madinah dilakukan oleh Rasulullah
shallallahu’alaihi wasallam, baik dengan hubungan antar sesama Muslim sendiri maupun
dengan nonmuslim. Dengan itu, Rasulullah telah menjadi seorang pemimpin politik dengan
masyarakatnya di Madinah. Wallahu’alam
DAFTAR PUSTAKA

A. Djazuli, Fiqh Siyasyah; Implementasi Kemaslahatan Umat Dalam Rambu-Rambu Syari’ah,


Kencana, Jakarta, cetakan ke IV, 2009

Dhiauddin Rasi, Teori Politik Islam, Gema Insani Press, Jakarta, 2001

Rapung Samuddin, Fiqh Demokrasi; Menguak Kekeliruan Pandangan Haramnya Umat Terlibat
Pemilu dan Politik, Gozian Press, Jakarta, 2013

Bachtiar Effendy, Islam dan Negara; Transformasi Gagasan dan Praktik Politik Islam di
Indonesia, Demokrasi Project, Jakarta, 2011

Ibnu Taimiyyah, Politik Islam, Griya Ilmu, Jakarta, 2004

Imam Mawardi, Kepemimpinan dan Hukum Tata Negara dalam Islam, Gema Insani Press,
Jakarta, 2000

Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta 2005

Endang Saifuddin Anshori, Wawasan Islam, Gema Insani Press, Jakarta, 2016

Choirul Mahfud, 39 Tokoh Sosiologi Politik Dunia, Jaring Pena, Surabaya, 2009

Ija Suntana, Pemikiran Ketatanegaraan Islam, Pustaka Setia, Bandung 2011

Muhammad Azhar, EPISTEMOLOGI POLITIK ISLAM TENTANG WEWENANG DAN


KEKUASAAN, PROFETIKA, Jurnal Studi Islam, Vol. 14, No. 1, Juni 2013: 1-8

Abdurrahman Kasdi, Genealogi dan Sejarah Perkembangan Politik Islam, Jurnal ADDIN, Vol. 9,
No. 2, Agustus 2015

Anda mungkin juga menyukai