Anda di halaman 1dari 20

ASUHAN KEPERAWATAN KRITIS PADA Tn.

V DENGAN DIAGNOSA
MEDIS DIABETIK KETOASIDOSIS (DKA)

Dosen Pembimbing :
Desi Natalia . T.I , S.Kep., Ns., M.Kep

Disusun Oleh:

Duvan Reynaldy Omega


01.2.17.00599

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN RS BAPTIS KEDIRI


PROGRAM STUDI KEPERAWATAN STRATA 1
TAHUN AKADEMIK 2020/2021
BAB I
LAPORAN PENDAHULUAN

1.1 Definisi
Diabetikum Ketoasidosis (DKA) adalah komplikasi akut dari diabetes
mellitus tipe 1 yang paling sering terjadi pada anak dengan angka morbiditas dan
mortalitas yang tinggi. Beberapa faktor yang menjadi penyebabnya adalah
kesalahan pengelolaan dosis insulin atau stress, system regulasi pengiriman
insulin, dan ketidakpatuhan akan terapi insulin (Nusantara,dkk.2019).
Diabetikum Ketoasidosis (DKA) merupakan suatu komplikasi akut diabetes
melitus (DM) yang sering ditemukan dan mengancam jiwa. Biasanya DKA
terjadi pada individu yang sudah menyandang diabetes sebagai akibat dari
infeksi, infark miokard, stroke, pankreatitis, trauma, atau tidak patuh berobat
(Suwita,dkk.2018).
Menurut Jurnal Conference on Research & Community Services, Diabetikum
Ketoasidosis (DKA) adalah keadaan dekompensasi metabolik yang ditandai oleh
hiperglikemia, asidosis dan ketosis, terutama disebabkan oleh defisiensi insulin
absolut atau relatif. DKA dan hipoglikemia merupakan komplikasi akut diabetes
melitus yang serius dan membutuhkan pengelolaan gawat darurat. Diabetikum
Ketoasidosis (DKA) disebabkan oleh penurunan insulin efektif di sirkulasi yang
disertai peningkatan hormon regulator kontra seperti glukagon, katekolamin,
kortisol, dan hormon pertumbuhan. Hal ini menyebabkan peningkatan produksi
glukosa oleh hati dan ginjal, serta gangguan penggunaan glukosa perifer dengan
akibat hiperglikemia dan hiperosmolalitas.

1.2 Etiologi
Ada sekitar 20% pasien Diabetikum Ketoasidosis (DKA) yang baru diketahui
menderita DM untuk pertama kali. Beberapa faktor yang menjadi penyebabnya
adalah kesalahan pengelolaan dosis insulin atau stress, sistem regulasi
pengiriman insulin, dan ketidakpatuhan akan terapi insulin Pada pasien yang
sudah diketahui DM sebelumnya, 80% dapat dikenali adanya faktor pencetus.
Tidak adanya insulin atau tidak cukupnya jumlah insulin yang nyata, yang dapat
disebabkan oleh :
1. Insulin tidak diberikan atau diberikan dengan dosis yang dikurangi
2. Keadaan sakit atau infeksi
3. Manifestasi pertama pada penyakit diabetes yang tidak terdiagnosis dan tidak
diobati
Selain itu, beberapa penyebab terjadinya Diabetikum Ketoasidosis (DKA)
adalah:
1. Infeksi : pneumonia, infeksi traktus urinarius, dan sepsis. diketahui bahwa
jumlah sel darah putih mungkin meningkat tanpa indikasi yang mendasari
infeksi.
2. Ketidakpatuhan : karena ketidakpatuhan dalam dosis
3. Pengobatan : onset baru diabetes atau dosis insulin tidak adekuat
4. Kardiovaskuler : infark miokardium
5. Penyebab lain : hipertiroidisme, pankreatitis, kehamilan, pengobatan
kortikosteroid and adrenergik.

1.3 Manifestasi Klinis


Tanda-tanda pasien mengalami Diabetikum Ketoasidosis (DKA), adalah :
1. Sekitar 80% pasien DM ( komplikasi akut )
2. Pernafasan cepat dan dalam ( Kussmaul )
3. Dehidrasi ( tekanan turgor kulit menurun, lidah dan bibir kering )
4. Kadang-kadang hipovolemi dan syok
5. Bau aseton dan hawa napas tidak terlalu tercium
6. Didahului oleh poliuria, polidipsi.
7. Riwayat berhenti menyuntik insulin
8. Demam, infeksi, muntah, dan nyeri perut
Gejala klinis biasanya berlangsung cepat dalam waktu kurang dari 24 jam.
Poliuri, polidipsi dan penurunan berat badan yang nyata biasanya terjadi
beberapa hari menjelang Diabetikum Ketoasidosis (DKA), dan sering disertai
mual-muntah dan nyeri perut. Nyeri perut sering disalah-artikan sebagai 'akut
abdomen'. Asidosis metabolik diduga menjadi penyebab utama gejala nyeri
abdomen, gejala ini akan menghilang dengan sendirinya setelah asidosisnya
teratasi. Sering dijumpai penurunan kesadaran, bahkan koma (10% kasus),
dehidrasi dan syok hipovolemia (kulit/mukosa kering dan penurunan turgor,
hipotensi dan takikardi).

1.4 Patofisiologi
Ketoasidosis terjadi bila tubuh sangat kekurangan insulin. Karena dipakainya
jaringan lemak untuk memenuhi kebutuhan energi, maka akan terbentuk keton.
Bila hal ini dibiarkan terakumulasi, darah akan menjadi asam sehingga jaringan
tubuh akan rusak dan bisa menderita koma. Hal ini biasanya terjadi karena tidak
mematuhi perencanaan makan, menghentikan sendiri suntikan insulin, tidak tahu
bahwa dirinya sakit diabetes mellitus, mendapat infeksi atau penyakit berat
lainnya seperti kematian otot jantung, stroke, dan sebagainya. Faktor faktor
pemicu yang paling umum dalam perkembangan Diabetikum Ketoasidosis
(DKA), adalah infeksi, infark miokardial, trauma, ataupun kehilangan insulin.
Semua gangguan gangguan metabolik yang ditemukan pada Diabetikum
Ketoasidosis (DKA), adalah tergolong konsekuensi langsung atau tidak langsung
dari kekurangan insulin.
Menurunnya transport glukosa kedalam jaringan jaringan tubuh akan
menimbulkan hiperglikemia yang meningkatkan glukosuria. Meningkatnya
lipolisis akan menyebabkan kelebihan produksi asam asam lemak, yang sebagian
diantaranya akan dikonversi (diubah) menjadi keton, menimbulkan ketonaemia,
asidosis metabolik dan ketonuria. Glikosuria akan menyebabkan diuresis
osmotik, yang menimbulkan kehilangan air dan elektrolit seperti sodium,
potassium, kalsium, magnesium, fosfat dan klorida. Dehidrasi terjadi bila terjadi
secara hebat, akan menimbulkan uremia pra renal dan dapat menimbulkan syok
hipovolemik. Asidodis metabolik yang hebat sebagian akan dikompensasi oleh
peningkatan derajat ventilasi (pernafasan Kussmaul).
Muntah-muntah juga biasanya sering terjadi dan akan mempercepat
kehilangan air dan elektrolit. Sehingga, perkembangan KAD adalah merupakan
rangkaian dari siklus interlocking vicious yang seluruhnya harus diputuskan
untuk membantu pemulihan metabolisme karbohidrat dan lipid normal. Apabila
jumlah insulin berkurang, jumlah glukosa yang memasuki sel akan berkurang
juga . Disamping itu produksi glukosa oleh hati menjadi tidak terkendali. Kedua
faktor ini akan menimbulkan hiperglikemi. Dalam upaya untuk menghilangkan
glukosa yang berlebihan dari dalam tubuh, ginjal akan mengekskresikan glukosa
bersama-sama air dan elektrolit (seperti natrium dan kalium). Diuresis osmotik
yang ditandai oleh urinasi yang berlebihan (poliuri) akan menyebabkan dehidrasi
dan kehilangan elektrolit. Penderita ketoasidosis diabetik yang berat dapat
kehilangan kira-kira 6,5 L air dan sampai 400 hingga 500 mEq natrium, kalium
serta klorida selama periode waktu 24 jam.Akibat defisiensi insulin yang lain
adlah pemecahan lemak (lipolisis) menjadi asam-asam lemak bebas dan gliserol.
Asam lemak bebas akan diubah menjadi badan keton oleh hati. Pada ketoasidosis
diabetik terjadi produksi badan keton yang berlebihan sebagai akibat dari
kekurangan insulin yang secara normal akan mencegah timbulnya keadaan
tersebut. Badan keton bersifat asam, dan bila bertumpuk dalam sirkulasi darah,
badan keton akan menimbulkan asidosis metabolik.
PATHWAY

Asupan insulin tidak cukup,


infeksi
Sel beta pencernaan
rusak/terganggu

Produksi Insulin

Glukagon

Hiperglikemi

Glukosuri
Glukosa intra
sel menurun
Diuretik Osmotik Hiperosmolalitas

Proses pembentukan
Poliuri ATP/energi terganggu
Koma

Dehidrasi Rasa haus


Syok Rasa lapar Kelelahan/ Keletihan
< Volume Polidipsi
cairan dan
Kadar gula darah
elektrolit
berubah

Ketidakstabilan kadar
glukosa darah
Lipolisisis

Ketoasidosis

Asidosis Metabolisme

CO2 Meningkat

PCO2 Meningkat

Nafas cepat dan


dalam

Pola Nafas Tidak Efektif


1.5 Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium
1. Glukosa.
Kadar glukosa dapat bervariasi dari 300 hingga 800 mg/dl. Sebagian pasien
mungkin memperlihatkan kadar gula darah yang lebih rendah dan sebagian
lainnya mungkin memiliki kadar sampai setinggi 1000 mg/dl atau lebih yang
biasanya bergantung pada derajat dehidrasi. Harus disadari bahwa
ketoasidosis diabetik tidak selalu berhubungan dengan kadar glukosa darah.
Sebagian pasien dapat mengalami asidosis berat disertai kadar glukosa yang
berkisar dari 100 – 200 mg/dl, sementara sebagian lainnya mungkin tidak
memperlihatkan ketoasidosis diabetikum sekalipun kadar glukosa darahnya
mencapai 400-500 mg/dl.
2. Natrium.
Efek hiperglikemia ekstravaskuler bergerak air ke ruang intravaskuler.
Untuk setiap 100 mg / dL glukosa lebih dari 100 mg / dL, tingkat natrium
serum diturunkan oleh sekitar 1,6 mEq / L. Bila kadar glukosa turun, tingkat
natrium serum meningkat dengan jumlah yang sesuai.
3. Kalium.
Ini perlu diperiksa sering, sebagai nilai-nilai drop sangat cepat dengan
perawatan. EKG dapat digunakan untuk menilai efek jantung ekstrem di
tingkat potasium.
4. Bikarbonat.
Kadar bikarbonat serum adalah rendah, yaitu 0- 15 mEq/L dan pH yang
rendah (6,8-7,3). Tingkat pCO2 yang rendah ( 10- 30 mmHg) mencerminkan
kompensasi respiratorik (pernapasan kussmaul) terhadap asidosisi metabolik.
Akumulasi badan keton (yang mencetuskan asidosis) dicerminkan oleh hasil
pengukuran keton dalam darah dan urin. Gunakan tingkat ini dalam
hubungannya dengan kesenjangan anion untuk menilai derajat asidosis.
5. Sel darah lengkap (CBC).
Tinggi sel darah putih (WBC) menghitung (> 15 X 109 / L) atau ditandai
pergeseran kiri mungkin menyarankan mendasari infeksi.
6. Gas darah arteri (AGD).
pH sering <7.3. Vena pH dapat digunakan untuk mengulang pH
measurements. Brandenburg dan Dire menemukan bahwa pH pada tingkat
gas darah vena pada pasien dengan DKA adalah lebih rendah dari pH 0,03
pada AGD.
7. Keton.

6
Diagnosis memadai ketonuria memerlukan fungsi ginjal. Selain itu,
ketonuria dapat berlangsung lebih lama dari asidosis jaringan yang
mendasarinya.

8. ß-hidroksibutirat.
Serum atau hidroksibutirat ß kapiler dapat digunakan untuk mengikuti
respons terhadap pengobatan. Tingkat yang lebih besar dari 0,5 mmol / L
dianggap normal, dan tingkat dari 3 mmol / L berkorelasi dengan kebutuhan
untuk DKA.
9. Urinalisis (UA)
Cari glikosuria dan urin ketosis. Hal ini digunakan untuk mendeteksi infeksi
saluran kencing yang mendasari.
10. Osmolalitas
Diukur sebagai 2 (Na +) (mEq / L) + glukosa (mg / dL) / 18 + BUN (mg /
dL) / 2.8. Pasien dengan diabetes ketoasidosis yang berada dalam keadaan
koma biasanya memiliki osmolalitis > 330 mOsm / kg H2O. Jika osmolalitas
kurang dari > 330 mOsm / kg H2O ini, maka pasien jatuh pada kondisi
koma.
11. Fosfor
Jika pasien berisiko hipofosfatemia (misalnya, status gizi buruk, alkoholisme
kronis), maka tingkat fosfor serum harus ditentukan.
12. Tingkat BUN meningkat.
Anion gap yang lebih tinggi dari biasanya.
13. Kadar kreatinin
Kenaikan kadar kreatinin, urea nitrogen darah (BUN) dan Hb juga dapat
terjadi pada dehidrasi. Setelah terapi rehidrasi dilakukan, kenaikan kadar
kreatinin dan BUN serum yang terus berlanjut akan dijumpai pada pasien
yang mengalami insufisiensi renal.
Tabel Sifat-sifat penting dari tiga bentuk dekompensasi (peruraian)
metabolik pada diabetes.
Sifat-sifat Diabetic Hyperosmolar Asidosis
ketoacidosis non laktat
(KAD) ketoticcom
a
(HONK)
Glukosa Tinggi Sangat tinggi Bervariasi
plasma
Ketone Ada Tidak ada Bervariasi
Asidosis Sedang/hebat Tidak ada Hebat
Dehidrasi Dominan Dominan Bervariasi
7
Hiperventilasi Ada Tidak ada Ada
b. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan diagnostik untuk ketoasidosis diabetik dapat dilakukan dengan
cara:
1. Tes toleransi Glukosa (TTG) memanjang (lebih besar dari 200 mg/dl).
Biasanya tes ini dianjurkan untuk pasien yang menunjukkan kadar
glukosa meningkat dibawah kondisi stress.
2. Gula darah puasa normal atau diatas normal.
3. Essei hemoglobin glikolisat diatas rentang normal.
4. Urinalisis positif terhadap glukosa dan keton.
5. Kolesterol dan kadar trigliserida serum dapat meningkat menandakan
ketidakadekuatan kontrol glikemik dan peningkatan propensitas pada
terjadinya aterosklerosis.
6. Aseton plasma: Positif secara mencolok
7. Asam Lemak bebas: kadar lipid dan kolesterol meninggkat
8. Elektrolit: Na normal/menurun; K normal/meningkat serum Fosfor turun
9. Hemoglobin glikosilat: Meningkat 2-4 kali normal
10. Gas Darah Arteri: pH rendah, penurunan HCO3 (asidosismetabolik)
dengan kompensasi alkalosis respiratorik
11. Trombosit darah: Ht mungkin meningkat, leukositosis, hemokonsentrasi
12. Ureum/creatinin: meningkat/normal
13. Amilase darah: meningkat mengindikasikan pancreatitis akut

1.6 Diagnosis
Didasarkan atas adanya "trias biokimia" yakni : hiperglikemia, ketonemia, dan
asidosis. Kriteria diagnosisnya adalah sebagai berikut :
1. Hiperglikemia, bila kadar glukosa darah > 11 mmol/L (> 200 mg/dL).
2. Asidosis, bila pH darah < 7,3.
3. Kadar bikarbonat < 15 mmol/L).
Derajat berat-ringannya asidosis diklasifikasikan sebagai berikut :
1. Ringan: bila pH darah 7,25-7,3, bikarbonat 10-15 mmol/L.
2. Sedang: bila pH darah 7,1-7,24, bikarbonat 5-10 mmol/L.
3. Berat: bila pH darah < 7,1, bikarbonat < 5 mmol/L.

Diagnosis Banding
Diabetikum Ketoasidosis (DKA) juga harus dibedakan dengan penyebab
asidosis, sesak, dan koma yang lain termasuk : hipoglikemia, uremia,

8
gastroenteritis dengan asidosis metabolik, asidosis laktat, intoksikasi salisilat,
bronkopneumonia, ensefalitis, dan lesi intrakranial.

1.7 Komplikasi
Komplikasi dari Diabetikum Ketoasidosis (DKA) dapat berupa:
1. Ginjal diabetik ( Nefropati Diabetik )
Nefropati diabetik atau ginjal diabetik dapat dideteksi cukup dini. Bila
penderita mencapai stadium nefropati diabetik, didalam air kencingnya
terdapat protein. Dengan menurunnya fungsi ginjal akan disertai naiknya
tekanan darah. Pada kurun waktu yang lama penderita nefropati diabetik akan
berakhir dengan gagal ginjal dan harus melakukan cuci darah. Selain itu
nefropati diabetik bisa menimbulkan gagal jantung kongesif.
2. Kebutaan ( Retinopati Diabetik )
Kadar glukosa darah yang tinggi bisa menyebabkan sembab pada lensa mata.
Penglihatan menjadi kabur dan dapat berakhir dengan kebutaan.
3. Syaraf ( Neuropati Diabetik )
Neuropati diabetik adalah akibat kerusakan pada saraf. Penderita bisa stres,
perasaan berkurang sehingga apa yang dipegang tidak dapat dirasakan (mati
rasa).
4. Kelainan Jantung.
Terganggunya kadar lemak darah adalah satu faktor timbulnya aterosklerosis
pada pembuluh darah jantung. Bila diabetes mempunyai komplikasi jantung
koroner dan mendapat serangan kematian otot jantung akut, maka serangan
tersebut tidak disertai rasa nyeri. Ini merupakan penyebab kematian
mendadak.
5. Hipoglikemia.
Hipoglikemia terjadi bila kadar gula darah sangat rendah. Bila penurunan
kadar glukosa darah terjadi sangat cepat, harus diatasi dengan segera.
Keterlambatan dapat menyebabkan kematian. Gejala yang timbul mulai dari
rasa gelisah sampai berupa koma dan kejang-kejang.
6. Hipertensi.
Karena harus membuang kelebihan glokosa darah melalui air seni, ginjal
penderita diabetes harus bekerja ekstra berat. Selain itu tingkat kekentalan
darah pada diabetisi juga lebih tinggi. Ditambah dengan kerusakan-kerusakan
pembuluh kapiler serta penyempitan yang terjadi, secara otomatis syaraf akan
mengirimkan signal ke otak untuk menambah tekanan darah.

9
1.8 Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan :
1. Memperbaiki sirkulasi dan perfusi jaringan (resusitasi dan rehidrasi),
2. Menghentikan ketogenesis (insulin),
3. Koreksi gangguan elektrolit,
4. Mencegah komplikasi,
5. Mengenali dan menghilangkan faktor pencetus.
Penatalaksanaan DKA bersifat multifaktorial sehingga memerlukan pendekatan
terstruktur oleh dokter dan paramedis yang bertugas. Keberhasilan
penatalaksanaan DKA membutuhkan koreksi dehidrasi, hiperglikemia, asidosis
dan kelainan elektrolit, identifikasi faktor presipitasi komorbid, dan yang
terpenting adalah pemantauan pasien terus-menerus. Berikut ini beberapa hal
yang harus diperhatikan pada penatalaksanaan DKA.

1. Terapi cairan
Prioritas utama pada penatalaksanaan DKA adalah terapi cairan. Terapi
insulin hanya efektif jika cairan diberikan pada tahap awal terapi dan
hanya dengan terapi cairan saja akan membuat kadar gula darah menjadi
lebih rendah. Studi menunjukkan bahwa selama empat jam pertama, lebih
dari 80% penurunan kadar gula darah disebabkan oleh rehidrasi.
2. Terapi Insulin
Terapi insulin harus segera dimulai sesaat setelah diagnosis DKA dan
rehidrasi yang memadai. Sumber lain menyebutkan pemberian insulin
dimulai setelah diagnosis DKA ditegakkan dan pemberian cairan telah
dimulai. Pemakaian insulin akan menurunkan kadar hormon glukagon,
sehingga menekan produksi benda keton di hati, pelepasan asam lemak
bebas dari jaringan lemak, pelepasan asam amino dari jaringan otot dan
meningkatkan utilisasi glukosa oleh jaringan. Cara ini dianjurkan karena
lebih mudah mengontrol dosis insulin, menurunkan kadar glukosa darah
lebih lambat, efek insulin cepat menghilang, masuknya kalium ke intrasel
lebih lambat, komplikasi hipoglikemia dan hipokalemia lebih sedikit.
3. Natrium
Penderita dengan DKA kadang-kadang mempunyai kadar natrium serum
yang rendah, oleh karena level gula darah yang tinggi. Untuk tiap
peningkatan gula darah 100 mg/dl di atas 100 mg/dl maka kadar natrium
diasumsikan lebih tinggi 1,6 mEq/l daripada kadar yang diukur.
Hiponatremia memerlukan koreksi jika level natrium masih rendah setelah

10
penyesuaian efek ini. Sebaliknya kadar natrium dapat meningkat setelah
dilakukan resusitasi cairan dengan normal saline oleh karena normal saline
memiliki kadar natrium lebih tinggi dari kadar natrium ekstraselular saat
itu disamping oleh karena air tanpa natrium akan berpindah ke intraselular
sehingga akan meningkatkan kadar natrium.
4. Bikarbonat
Pemakaian bikarbonat pada DKA masih kontroversial. Pada pH > 7,0,
pengembalian aktifitas insulin memblok lipolisis dan memperbaiki
ketoasidosis tanpa pemberian bikarbonat. Mengetahui bahwa asidosis
berat menyebabkan banyak efek vaskular yang tidak diinginkan,
tampaknya cukup bijaksana menentukan bahwa pada pasien dewasa
dengan pH < 6,9, 100 mmol natrium bikarbonat ditambahkan ke dalam
400 ml cairan fisiologis dan diberikan dengan kecepatan 200 ml/jam. Pada
pasien dengan pH 6,9 – 7,0, 50 mmol natrium bikarbonat dicampur dalam
200 ml cairan fisiologis dan diberikan dengan kecepatan 200 ml/jam.

Natrium bikarbonat tidak diperlukan jika pH > 7,0. 7,15 Sebagaimana


natrium bikarbonat, insulin menurunkan kadar kalium serum, oleh karena
itu pemberian kalium harus terus diberikan secara intravena dan dimonitor
secara berkala. Setelah itu pH darah vena diperiksa setiap 2 jam sampai
pH menjadi 7,0, dan terapi harus diulangi setiap 2 jam jika perlu.
5. Fosfat
Meskipun kadar fosfat tubuh secara keseluruhan mengalami penurunan
hingga 1,0 mmol/kgBB, kadar fosfat serum seringkali normal atau
meningkat. Kadar fosfat menurun dengan terapi insulin. Bagaimanapun
untuk menghindari lemahnya otot rangka dan jantung serta depres
pernapasan yang disebabkan hipofosfatemia, pemberian fosfat secara hati-
hati mungkin kadang- kadang diindikasikan pada pasien dengan kelainan
jantung, anemia, atau depresi pernapasan dan pada mereka dengan kadar
serum posfat < 1,0 mg/dl. Ketika diperlukan, 20 – 30 mEq/l kalium fosfat
dapat ditambahkan pada terapi cairan yang telah diberikan. Untuk itu
diperlukan pemantauan secara berkelanjutan.
6. Magnesium
Biasanya terdapat defisit magnesium sebesar 1 – 2 mEq/l pada pasien
DKA. Kadar magnesium ini juga dipengaruhi oleh pemakaian obat
seperti diuretik yang dapat menurunkan kadar magnesium darah. Gejala
kekurangan magnesium sangat sulit dinilai dan sering tumpang tindih
dengan gejala akibat kekurangan kalsium, kalium atau natrium. Gejala
11
yang sering dilaporkan adalah parestesia, tremor, spame karpopedal,
agitasi, kejang, dan aritmia jantung. Pasien biasanya menunjukkan gejala
pada kadar ≤ 1,2 mg/dl. Jika kadarnya di bawah normal disertai gejala,
maka pemberian magnesium dapat dipertimbangkan.

7. Hiperkloremik asidosis selama terapi


Oleh karena pertimbangan pengeluaran keto acid dalam urine selama fase
awal terapi, substrat atau bahan turunan bikarbonat akan menurun.
Sebagian defisit bikarbonat akan diganti dengan infus ion klorida pada
sejumlah besar salin untuk mengkoreksi dehidrasi. Pada kebanyakan
pasien akan mengalami sebuah keadaan hiperkloremik dengan bikarbonat
yang rendah dengan anion gap yang normal. Keadaan ini merupakan
kelainan yang ringan dan tidak akan berbahaya dalam waktu 12 – 24 jam
jika pemberian cairan intravena tidak diberikan terlalu lama.
8. Penatalaksaan terhadap Infeksi yang Menyertai
Antibiotika diberikan sesuai dengan indikasi, terutama terhadap faktor
pencetus terjadinya KAD. Jika faktor pencetus infeksi belum dapat
ditemukan, maka antibiotika yang dipilih adalah antibiotika spektrum
luas.

9. Terapi Pencegahan terhadap Deep Vein Thrombosis (DVT)


Terapi pencegahan DVT diberikan terhadap penderita dengan risiko
tinggi, terutama terhadap penderita yang tidak sadar, immobilisasi, orang
tua, dan hiperosmolar berat. Dosis yang dianjurkan 5000 iu tiap 8 jam
secara subkutan.

12
BAB II
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
2.1 Pengkajian
1. Aktivitas / Istirahat
Gejala :
Lemah, letih, sulit bergerak/berjalan, Kram otot, tonus otot menurun,
gangguan istirahat/tidur
Tanda :
Takikardia dan takipnea pada keadaan istirahat atau aktifitas,
Letargi/disorientasi, koma, penurunan kekuatan otot
2. Sirkulasi
Gejala :
Adanya riwayat hipertensi, IM akut, Klaudikasi, kebas dan kesemutan pada
ekstremitas, Ulkus pada kaki, penyembuhan yang lama, Takikardia
Tanda :
Perubahan tekanan darah postural, hipertensi, Nadi yang menurun/tidak ada,
Disritmia, Krekels, Distensi vena jugularis, Kulit panas, kering, dan
kemerahan, bola mata cekung

13
3. Integritas/ Ego
Gejala :
Stress, tergantung pada orang lain, Masalah finansial yang berhubungan
dengan kondisi
Tanda : Ansietas, peka rangsang
4. Eliminasi
Gejala :
Perubahan pola berkemih (poliuria), nokturia, Rasa nyeri/terbakar, kesulitan
berkemih (infeksi), ISSK baru/berulang, Nyeri tekan abdomen, Diare
Tanda :
Urine encer, pucat, kuning, poliuri ( dapat berkembang menjadi
oliguria/anuria, jika terjadi hipovolemia berat), Urin berkabut, bau busuk
(infeksi), Abdomen keras, adanya asites, Bising usus lemah dan menurun,
hiperaktif (diare)
5. Nutrisi/Cairan
Gejala :
Hilang nafsu makan, Mual/muntah, Tidak mematuhi diet, peningkattan
masukan glukosa/karbohidrat, Penurunan berat badan lebih dari beberapa
hari/minggu, haus, penggunaan diuretik (Thiazid)
Tanda :
Kulit kering/bersisik, turgor jelek, Kekakuan/distensi abdomen, muntah,
Pembesaran tiroid (peningkatan kebutuhan metabolik dengan peningkatan
gula darah), bau halisitosis/manis, bau buah (napas aseton)
6. Neurosensori
Gejala :
Pusing/pening, sakit kepala, Kesemutan, kebas, kelemahan pada otot,
parestesia, Gangguan penglihatan
Tanda :
Disorientasi, mengantuk, alergi, stupor/koma (tahap lanjut). Gangguan
memori (baru, masa lalu), kacau mental, Refleks tendon dalam menurun
(koma), aktifitas kejang (tahap lanjut dari DKA)
7. Nyeri/kenyamanan
Gejala : Abdomen yang tegang/nyeri (sedang/berat)
Tanda : Wajah meringis dengan palpitasi, tampak sangat berhati-hati
8. Pernapasan
Gejala :

14
Merasa kekurangan oksigen, batuk dengan/ tanpa sputum purulen (tergantung
adanya infeksi/tidak)
Tanda : Lapar udara, batuk dengan/tanpa sputum purulen, frekuensi
pernapasan meningkat
9. Keamanan
Gejala : Kulit kering, gatal, ulkus kulit
Tanda :
Demam, diaforesis, kulit rusak, lesi/ulserasi, menurunnya kekuatan
umum/rentang erak, parestesia/paralisis otot termasuk otot-otot pernapasan
(jika kadar kalium menurun dengan cukup tajam)
10. Seksualitas
Gejala :
Rabas vagina (cenderung infeksi), Masalah impoten pada pria, kesulitan
orgasme pada wanita
10. Penyuluhan/pembelajaran
Gejala :
Faktor resiko keluarga DM, jantung, stroke, hipertensi. Penyembuhan yang,
Lambat, penggunaan obat sepertii steroid, diuretik (thiazid), dilantin dan
fenobarbital (dapat meningkatkan kadar glukosa darah). Mungkin atau tidak
memerlukan obat diabetik sesuai pesanan
Rencana pemulangan : Mungkin memerlukan bantuan dalam pengatuan diet,
pengobatan, perawatan diri, pemantauan terhadap
glukosa darah

Pengkajian ABC
1. Airway dan Breathing
Oksigenasi / ventilasi
Jalan napas dan pernapasan tetap prioritas utama. Jika pasien dengan kesadaran /
koma (GCS <8) mempertimbangkan intubasi dan ventilasi. Airway, Peningkatan
sekresi pernafasan, bunyi nafas krekels, ronkhi, dan tingkat kesadaran harus
dimonitor di semua treatment DKA.
2. Circulation
Penggantian cairan. Sirkulasi adalah prioritas kedua. DKA pada pasien yang
menderita dehidrasi berat bisa berlanjut pada shock hipovolemik. Oleh sebab itu,

15
cairan pengganti harus dimulai segera. Cairan resusitasi bertujuan untuk
mengurangi hiperglikemia, hyperosmolality, dan counterregulatory hormon,
terutama dalam beberapa jam pertama, sehingga mengurangi resistensi terhadap
insulin. Terapi Insulin paling efektif jika didahului dengan cairan awal dan
penggantian elektrolit. Defisit cairan tubuh 10% dari berat badan total maka lebih
dari 6 liter cairan mungkin harus diganti. Resusitasi cairan segera bertujuan
untuk mengembalikan volume intravaskular dan memperbaiki perfusi ginjal
dengan solusi kristaloid, koloid dan bisa digunakan jika pasien dalam syok
hipovolemik. Normal saline (NaCl 0,9%) yang paling sesuai. Idealnya 50% dari
total defisit air tubuh harus diganti dalam 8 jam pertama dan 50% lain dalam 24
jam berikutnya. Hati-hati pemantauan status hemodinamik secara teliti (pada
pasien yang tidak stabil setiap 15 menit), fungsi ginjal, status mental dan
keseimbangan cairan diperlukan untuk menghindari overload cairan

1.2.2 Diagnosa Keperawatan


a. Ketidakstabilan Kadar Glukosa Darah berhubungan dengan gangguan
toleransi glukosa darah
b. Pola Nafas Tidak Efektif berhubungan dengan depresi pusat
pernafasan

1.2.3 Intervensi (SLKI) dan Implementasi (SIKI)


Diagnosa Keperawtaan I :
a. Ketidakstabilan Kadar Glukosa Darah berhubungan dengan toleransi
glukosa darah
Ketidakstabilan Kadar Glukosa Darah (L. 03022 )
Definisi : Kadar Glukosa Darah berada pada rentang normal
Menurun Cukup Sedang Cukup Meningka
Menurun Mening t
kat
Koordinasi 1 2 3 4 5
Kesadaran 1 2 3 4 5
Meningkat Cukup Sedang Cukup Menurun
Meningkat Menuru
n
Mengantuk 1 2 3 4 5
Pusing 1 2 3 4 5
Lelah/lesu 1 2 3 4 5
Keluhan lapar 1 2 3 4 5
Rasa haus 1 2 3 4 5
Berkeringat 1 2 3 4 5

16
Cukup Sedang Cukup Membaik
Memburuk Memburuk Membai
k
Kadar glukosa 1 2 3 4 5
dalam darah
Kadar glukosa 1 2 3 4 5
dalam urine
Palpitasi 1 2 3 4 5
Jumlah urine 1 2 3 4 5

SIKI (Standar Intervensi Keperawatan Indonesia)


Manajemen Hiperkalemia (1.03115)
Definisi : mengidentifikasi dan mengelola kadar glukosa darah diatas normal
Tindakan
Observasi :
1. Identifikasi kemungkinan penyebab hiperglikemia
2. Identifikasi situasi yang menyebabkan kebutuhan insulin meningkat (mis,
penyait kambuhan)
3. Monitor kadar glukosa darah, jika perlu
4. Monitor tanda dan gejala hiperglikemia (mis, polyuria, polidipsi, pilifagia,
kelemahan, malaise, pandangan kabur, sakit kepala)
5. Monitor intake dan output cairan
6. Monitor keton urine, kadar analisa gas darah, elektrolit tekanan darah
ortostatik dan frekuensi nadi

Terapeutik :
1. Berikan asupan cairan oral
2. Konsultasi dengan medis jika tanda dan gejala hiperglikemia tetap ada atau
memburuk
3. Fasilitasi ambulasi jika ada hipotensi ortostatik
Edukasi :
1. Anjurkan menghindari olahraga saat glukosa darah lebih dari 250 mg/dl
2. Anjurkan monitor kadar glukosa darah secara mandiri
3. Anjurkan kepatuhan terhadap diet olahraga
4. Ajarkan indikasi dan pentingnya pengujian keton urine, jika perlu
5. Ajarkan pengelolaan diabetes (mis, penggunaan insulin, obat oral, monitor
asupan cairan penggantian karbohidrat, dan bantuan professional kesehatan

17
Kolaborasi :
1. Kolaborasi pemberian insulin, jika perlu
2. Kolaborasi pemberian cairan IV, jika perlu
3. Kolaborasi pemberian kalium, jika perlu

Diagnosa keperawatan II :
b. Pola Nafas Tidak Efektif berhubungan dengan depresi pusat pernafasan
SLKI ( Standar Luaran Keperawatan Indonesia)
Pola Nafas ( L.01004 )
Definisi : Inspirasi dan atau ekspirasi yang memberikan ventilasi adekuat
Menurun Cukup Sedang Cukup Meningka
Menurun Mening t
kat
Ventilasi semenit 1 2 3 4 5
Tekanan inspirasi 1 2 3 4 5
Tekanan ekspirasi 1 2 3 4 5
Meningkat Cukup Sedang Cukup Menurun
Meningkat Menuru
n
Dispnea 1 2 3 4 5
Penggunaan otot 1 2 3 4 5
bantu nafas
Pemanjangan fase 1 2 3 4 5
ekspirasi
Ortopnea 1 2 3 4 5
Pernafasan pursed- 1 2 3 4 5
tip
Pernafasan cuping 1 2 3 4 5
hidung
Memburuk Cukup Sedang Cukup Membaik
Memburuk Membai
k
Frekuensi nafas 1 2 3 4 5
Kedalaman nafas 1 2 3 4 5
Ekskursi dada 1 2 3 4 5

SIKI (Standar Intervensi Keperawatan Indonesia)


Manajemen Jalan Nafas (1.01011)
Definisi : Mengidentifikasi dan mengelola kepatenna jalan nafas
Tindakan

18
Observasi :
1. Monitor pola nafas (frekuensi, kedalaman, usaha nafas)
2. Monitor bunyi nafas tambahan (misalnya gurgling, mengi, whezzing,
ronkhi kering)
3. Monitor sputum (jumlah, warna, aroma)

Terapeutik :
1. Pertahankan kepatenan jalan nafas dengan head-tilt dan chin-lift
(jaw-thrust jika curiga trauma servikal)
2. Posisikan semi fowler atau semi fowler
3. Berikan air minum hangat
4. Lakukan fisioterapi dada, jika perlu
5. Lakukan penghisapan lendir kurang dari 15 detik
6. Lakukan hiperoksigenasi sebelum penghisapan endoktrakeal
7. Keluarkan sumbatan benda padat dengan forsep McGill
8. Berikan oksigen, jika perlu

Edukasi :
1. Anjurkan asupan cairan 2000ml/hari, jika tidak kontraindikasi
2. Ajarkan teknik batuk efektif

Kolaborasi :
1. Kolaborasi pemberian bronkodilator, ekspektoran, mukolitik, jika
perlu

DAFTAR PUSTAKA

PPNI (2016).Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia: Definisi dan Indikator


Diasnotik, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI
PPNI (2018).Standar Intervensi Keperawatan Indonesia: Definisi dan Tindakan
Keperawata , Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI
PPNI (2019).Standar Luaran Keperawatan Indonesia: Definisi dan Kriteria Hasil,
Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI

19
20

Anda mungkin juga menyukai