Anda di halaman 1dari 20

BAB I

LAPORAN KASUS

1.1 IDENTITAS PASIEN

Nama : Tn. S

Umur : 73 tahun

Jenis Kelamin : Laki - laki

TTL : 17 juni 1939

Agama : Islam

Suku : Jawa

Status : Menikah

Pendidikan : SLTP

Pekerjaan : Pensiunan AL

Alamat : Kejapanan Gempol dsn Ngasem RT 01 RW 01


Pasuruan

No.RM : 164468

Tanggal Masuk RS : 24 April 2013

1.2 ANAMNESIS

Anamnesa dan pemeriksaan fisik dilakukan pada hari, 24 April 2013 di poliklinik
Kulit dan Kelamin.

Keluhan Utama : Seluruh tubuh kemerahan dan terasa tebal

Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang ke poliklinik kulit dan kelamin RSUD Bangil dengan


keluhan seluruh tubuh kemerahan dan terasa tebal ± 3 minggu yang lalu (awal
bulan april ). Awalnya pasien mengeluhkan bercak kemerahan muncul di tahun

1
2012 muncul bercak kemerahan pertama kali di daerah kepala, dada, diatas pusar
dan kedua tangan pasien. 1 minggu terakhir pasien mengeluhkan kondisinya
semakin parah yang ditandai dengan kulit semakin kemerahan dan menebal serta
menyebar ke punggung, kedua kaki, daerah kemaluan, selain itu pasien mengeluh
kalau kulit pasien kering terasa tertarik dan juga pecah-pecah, pasien mengeluh
kalau kulit pasien terkena sinar matahari kulit yang tadi kemerahan berubah
menjadi warna putih, pasien juga mengeluh 2 hari yang lalu demam naik turun
SMRS, pasien tidak ada mengeluh lemah, tidak gatal, tidak ada kulit yang
mengelupas, adanya rambut rontok.

Riwayat Penyakit Dahulu

- Riawayat berobat dengan penyakit serupa pada tahun 2012 di RSAL ± 8


kali
- Riwayat alergi obat tidak diketahui pasien.

Riwayat Penyakit Keluarga

- Tidak ada keluarga pasien yang menderita penyakit yang sama

1.3. PEMERIKSAAN FISIK

1.2.1 Status Generalisata

Keadaan umum : Tampak sakit sedang

Kesadaran : Compos Mentis, GCS E4V5M6

Tanda Vital :

TD : 120/80 mmHG

Nadi : -

Suhu : -

RR : -

Kepala : Anemis (-), pupil isokor, refleks pupil, alopesia (-)

Leher : Pembesaran KGB ( - ), peningkatan JVP (-)

Thoraks : Paru dan Jantung tidak di periksa

Abdomen : DBN

Extremitas : DBN

2
1.2.2 Status Dermatolologis

Pada hampir seluruh tubuh terdapat makula eritematus tersebar merata dengan
batas tegas dan terdapat skuama yang tebal, eksoriasis.

DIAGNOSA KERJA

Eritroderma ec psoriasis vulgaris

TERAPI

Dexamethason 3 x 1

Pehaclor 1 x 1 ( malam )

Oleum cocos

SOAP tanggal 24 April 2013 hari Rabu

S : pasien mengeluh kulit kemerahan dan tebal pada seluruh tubuh di sertai
kulit kering dan kulit terasa ketarik serta pecah – pecah.

O : makula eritematus pada seluruh tubuh tersebar merata, skuama tebal,


eksoriasis

A : Eritroderma ec psoriasis vulgaris

P : dexamethasone 3 x 1

Pehoclor 1 x 1 ( malam )

Lab: DL, UL, SGOT/SGPT, SE, BUN

3
SOAP tanggal 25 April
2013 hari kamis

S : pasien masih mengeluh


seluruh tubuh masih
kemerahan dan terasa tebal,
serta kering tetapi kulit
yang terasa ketarik mulai
berrkurang, kulit pecah –
pecah berkurang.

4
O : makula eritematus pada seluruh tubuh tersebar merata, skuama tebal,
eksoriasis

A : Eritroderma ec psoriasis vulgaris

P : dexamethason 3 x 1 amp

Pehaclor 1 x 1 ( malam )

SOAP tanggal 26 April 2013 hari jumat

S : Pasien mengatakan kalau kulit masih kemerahannya pada seluruh tubuh


tapi sudah berkurang, rasa tebal pada kulit berkurang, kulit kering (-) yang
tadinya kulit terasa ketarik sekarang sudah tidak ketarik, pecah – pecah (-).

O : Makula eritematus pada seluruh tubuh tersebar merata, skuama halus (+)

A : Eritroderma ec psoriasis vulgaris

P : dexamethasone 3 x 1 amp

Pehaclor 1 x 1 ( malam )

Tupepe cream ( siang dan malam )

Acid fucide cream ( pagi dan sore )

Gambar klinis pasien tgl 26 april 2013

5
6
7
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi

Eritroderma yang juga dikenal sebagai exfoliatife dermatitis atau pitriasis


rubra. Eritroderma adalah suatu penyakit kulit dengan gambaran dermatologis
berupa eritema difusa dan skuama yang meliputi lebih dari 90 % area permukaan
kulit.

2.2 Epidemiologi

Insiden eritroderma berdasarkan beberapa studi sangat bervariasi antara


0.9 – 7.1 tiap 100.000. rasio kejadian penyakit eritroderma pada laki – laki lebih
tinggi dari pada wanita yaitu 2 : 1 hingga 4 : 1. Eritroderma lebih banyak terjadi
pada rentang usia antara 41 – 61 tahun. Lebih dari 50 % kasus eritroderma
dilatarbelakangi oleh penyakit yang mendasarinya dimana psoriasis merupakan
penyakit terbanyak yang dapat mendasari terjadinya eritroderma yakni sebesar 25
% kasus. Laporan terkini menyatakan 87 dari 160 kasus eritroderma didasari oleh
psoriasis berat.

2.2 Etiologi

Dasar terjadinya eritroderma adalah adanya penyakit yang mendasari.


Penyakit yang mendasari eritroderma ini bisa berupa penyakit yang terbatas pada
kulit ataupun penyakit yang bersifat sistemik. Dermatosis yang menyebabkan
eritroderma merupakan penyakit yang terbanyak mendasari timbulnya eritroderma
yakni 52 % dari kasus – kasus eritroderma. 23 % dari kasus – kasus eritroderma
dicetuskan oleh psoriasis, spongioytic dermatitis menyebabkan eritroderma

8
sebesar 20 %, eritroderma akibat reaksi obat sebesar 15 % dan akibat cutaneous T
cell lymphoma (CTCL). Atay sezary syndrome sebesar 5 %. Sekitar 20 % dari
kasus – kasus eritroderma tidak dicetuskan oleh penyakit yang mendasarinya dan
diklasifikasikan sebagai eritroderma idiopatik.

Penyebab eritroderma yang kurang umum pada pasien dewasa antara lain
penyakit imunobulosa, penyakit jaringan ikat, infeksi yang meliputi skabies dan
dermatofit, ptiriasis rubra piliaris (PRP) dan penyakit keganasan.

9
Selain dicetuskan oleh penyakit, eritroderma juga ditimbulkan akibat
reaksi obat. Beberapa obat seperti golongan calcium channel blocker, antiepilepsi,
antibiotik ( seperti penicillin, sulfonamid, dan vancomisi), allopurinol, gold,
lithium, quinidine, simetidin, dan dapsone yang paling sering mencetuskan
terjadinya eritroderma.

10
2.3. Patogenesis

Patogenesis timbulnya eritroderma berkaitan dengan patogenesis dari


kelainan yang mendasari timbulnya penyakit ini. Mekanisme kelainan yang
mendasari akan bermanifestasi sebagai eritroderma seperti dermatosis yang

11
menimbulkan erirtoderma, atau bagaimana timbulnya eritroderma secara
idiopatik tidak diketahui secara pasti.

Riset terbaru mengenai imunopatogenesis dari infeksi yang diperantai


toksin, misalnya teori yang mengatakan bahwa kemungkinan kolonisasi
stafilokokus aureus atau antigen lain, seperti toksin – 1 toxic shock syndrome,
berperan dalam patogenesis eritroderma. Pada pasien eritroderma di temukan
kolonisasi S . aeureus di hidung pada 83 persen dan pada kulit dan hidung pada
17 persen pasien.

Peningkatan immunoglobulin E ( IgE ) dapat terjadi pada berbagai


kelainan yang mendasari terjadinya eritroderma, dan mekanismenya pun berbeda
– beda. Misalnya pada eritroderma karena psoriasis, dimana peningkatan IgE pada
pasien ini adalah akibat perubahan dari profil sitokin T helper 1 pada psoriasis
menjadi sitokin T helper 2 pada eritroderma karena psoriasis. Mekanisme ini
berbeda dengan overproduksi IgE pada dermatitis aktipik.

Sindroma hiper IgE adalah suatu defisiensi imun yang berhubungan


dengan eritroderma, pada kasus ini produksi IgE tinggi akibat ketidakcukupan
sekresi interferon γ selektif. Peningkatan IgE ini mungkin terkait dengan proses
proses penyakit yang mendasari atau dengan manifestasi penyakit eritroderma.

Jumlah sel germinal dan kecepatan mitosis pada kulit dengan eritrodema
meningkat dibandingkan dengan kulit normal, sehingga waktu transit sel melalui
epidermis menjadi lebih pendek. Akibatnya protein, asam amino, dan asam
nukleat yang memediasi proses tersebut akan lebih cepat hilang dari tubuh.
Kehilangan unsur protein yang lebih tinggi daripada umumnya akan
mempengaruhi proses metabolisme.

2.4 Gambaran klinis

2.4.1 Manifestasi dermatologi

Secara klinis eritroderma ditandai dengan adanya eritema dan sisik yang
lebih dari 90 % luas permukaan kulit. Penyakit ini umumnya diawali sebagai plak
eritema yang timbul akibat dilatasi kapiler. Setelah beberapa hari hingga minggu
plak eritema akan menjadi lebih dan menyebar hampir ke seluruh permukaan
kulit.

Deskuamasi mulai beberapa hari setelah onset eritem dan tampak pertama
kali pada fleksura. Skuama yang terbentuk biasanya berwarna putih atau kuning.
Akibat proses deskuamasi ini kulit akan tampak kering berwarna merah tua yang
dilapisi skuama yang mengelupas.

12
Eritroderma kronis juga kan bermanifestasi pada kulit kepala dimana pada
kepala timbul sisik ( skuama ), kelainan kuku berupa onikolisis, hiperkeratosis,
subungual, perdarahan, paranokia, beau lines, dan bahkan dapat terjadi
onikomadesis.

2.5 Penunjang diagnosa

2.5.1 Pemeriksaan laboratorium

- Pemeriksaan rutin DL/UL/FL


- Pemeriksaan BJ plasma bila ada kecurigaan defisit cairan tubuh
- Pemeriksaan elektrolit bila ada kelainan dalam pernapasan
- Pada orang tua bila perlu diperiksa EKG
- Pemeriksaan hapusan darah tepi untuk menyingkirkan kemungkinan
adanya leukimia.
- Pemeriksaan histopatologi diperlukan untuk mencari penyakit yang
mendasari, meskipun tidak selalu bisa.
- Pemeriksaan KOH/skabies bila ada petunjuk.

2.6 Penatalaksanaan

Penyakit eritroderma memerlukan perawatan medis yang serius, oleh


karena itu pasien dengan eritroderma perlu dirawat di rumah sakit.

Prinsip pengobatan pasien eritroderma antara lain manajemen awal,


menghindari faktor pencetus, mencegah hipotermia, diet cukup protein, menjaga
kelembaban kulit pasien, menghindari menggaruk, mencegah infeksi sekunder
baik lokal maupun sistemik, mengurangi edema, penggunaa kortikosteriod
sistemik, methotrexate, cyclosporin dan mycophenolat mofetil.

2.6.1 Manajemen awal

Pada fase ini perlu dilakukan pengawasan dan pengontrolan asupan cairan
dan elektrolit karena dapat menyebabkan pasien menjadi dehidrasi ataupun
menyebabkan pasien menjadi gagal jantung jantung karena overload.

2.6.2 Menghindari faktor pencetus

Semua obat dianggap sebagai faktor pemicu eritroderma harus dihentikan


pemakaiannya, termasuk obat – obat yang mengandung lithium dan obat
antimalaria yang dapat menjadi pencetus pada pasien dengan psoriasi.

2.6.3 mencegah hipotermia

Pada pasien eritroderma dapat timbul komplikasi berupa hipotermia yang


disebabkan oleh gangguan pada fungsi termoregulator di kulit sehingga kulit akan

13
melepaskan panas tubuh secara spontan. Untuk mencegah komplikasi tersebut
perlu dilakukan pengaturan suhu lingkungan sekitar pasien agar tetap hangat.
Selain itu untuk mencegah pemguapan panas tubuh yang berlebihan dapat
dimanfaatkan wet dressings.

2.6.4 Diet cukup protein

Pada pasien eritroderma terjadi penggunaan protein yang berlebihan


karena terjadi peningkatan pembentukan skuama. Kehilangan banyak protein ini
akan menyebabkan terjadinya hipoalbunemia. Karena itu asupan gizi yang cukup
protein sangat berguna dalam proses terapi pasien eritroderma.

2.6.5 Menjaga kelembaban kulit

Pada pasien eritroderma kulit akan cenderung kering dan bersisik. Kulit
yang menjadi kering dan menjadi retak – retak beresiko untuk terjadi infeksi
sekunder yang bersifat lokal. Untuk itu diperlukan bahan yang dapat menjaga
kelembaban kulit.

2.6.6 Menghindari menggaruk

Pengguanaan antihistamin dapat diberikan pada pasien eritroderma sebagai


terapi simptomatis terhadap rasa gatal. Sensasi gatal yang timbul pada permukaan
kulit merupakan bagian dari alergi imunologi yang disebabkan oleh histamin
yakni pada reseptor H1. Sehingga antihistamin H1 akan menekan reseptor H1
akibatnya rasa gatal akan berkurang.

2.6.7 Mencegah infeksi sekunder

Antibiotik sistemik diperlukan bagi pasien yang terbukti mendapatkan


infeksi sekunder baik yang bersifat lokal maupun sistemik. Pemberian antibiotik
sistemik pada pasien yang tidak terbukti mengalami infeksi sekunder juga
memberikan keuntungan karena kolonisasi bakteri dapat menyebabkan
eksaserbasi eritroderma.

2.6.8 Mengurangi edema

Pada pasien eritroderma akan terjadi peningkatan pembentukan skuama.


Pembentuan skuama ini memerlukan protein sebagai bahan dasar. Akibat protein
di dalam tubuh menurun, terjadi hipoalbuminemia. Albumin yang rendah di dalam
darah menyebabkan tekanan onkotik menurun sehingga cairan intrasel akan
mengisi jaringan interstitiel ( terjadi edema ). Untuk mengurangi edema dapat
diberikan obat diuretik.

14
2.6.9 kortikosteroid sistemik

Kortikosteroid sistemik harus di hindari pada pasien eritroderma yang


dicetuskan oleh psoriasis karena dapat menyebabkan reborn flare. Eritroderma
yang disebabkan oleh psoriasis berespon baik metrotrexat, cyclosporin, acitretin,
dan mycophenolat mofetil.

Kortikosteroid sistemik berguna untuk eritroderma yang dimediasi oleh reaksi


hipersensitivitas obat, spongiotic dermatitis dan papuloerythroderma of ofuji.
Selain itu kortikosteroid sistemik dapat digunakan sebagai terapi empiris pada
eritroderma yang tidak diketahui etiologinya. Dosis kortikosteroid yang
digunakan adalah 1 -2 mg/kg/hari dengan taper

2.7 Komplikasi

Komplikasi sistemik eritroderma meliputi gangguan keseimbangan cairan


dan elektolit gangguan termoregulator, infeksi, syok kardiogenik, sindrom gawat
napas, dekompensasi pada penyakit hati kronis dan ginekomastia.

Cairan dan elektrolit hilang melalui kapiler – kapiler yang bocor akibatnya
terjadi gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit. Hilangnya protein pada
pasien eritroderma terjadi melalui pembentukan skuama yang lebih dari normal
dimana pada pembentukan skuama meningkat hingga 20 – 30 %. Hilangnya
protein yang signifikan menyebabkan negative nitrogen balance ( keseimbangan
nitrogen negatif ) yang dapat menimbulkan edema dan hipoalbuminemia.

Pada lesi akan mudah terbentuk kolonisasi bakteri yang akan


menimbulkan reaksi inflamasi, pecah – pecah, dan ekskoriasi pada kulit. Pasien
eritroderma akibat CLCT atau HIV AIDS sebagai penyakit yang mendasari akan
lebih rentan terjadi sepsis oleh bakteri stafilokokus.

BAB III

KESIMPULAN

15
1. Eritroderma adalah suatu penyakit kulit dengan gambaran dermatologis
berupa eritema difusa dan skuama yang meliputi lebih dari 90 % area
permukaan kulit.
2. Dasar terjadinya eritroderma adalah adanya penyakit yang mendasari.
Penyakit yang mendasari eritroderma ini bisa berupa penyakit yang
terbatas pada kulit ataupun penyakit yang bersifat sistemik.
3. Prinsip pengobatan
4. Pasien eritroderma antara lain manajemen awal, menghindari faktor
pencetus, mencegah hipotermia, diet cukup protein, menjaga kelembaban
kulit pasien, menghindari menggaruk, mencegah infeksi sekunder naik
lokal maupun sistemik, mengurangi edema, penggunaan kortikosteroid
sistemik, methotrexate, cyclosprorin dan mycophenolat mofetil.

DAFTAR PUSTAKA

16
1. William D James, Timothy G Berger, Dirk M Elston. Exfoliative
Dermatitis. Andrews’ Disease of The Skin Clinical Dermatology. 11ᵗʰ ed.
Canada : WB saunders Company. 2006: 211 – 212.
2. Grant-Kels JM, Bernstein ML. Exfoliative dermatitis.: Wolff K,
Goldsmith LA, Katz SI, Gilcherst BA, paller AS, Leffel DJ, eds.
Firzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 7ᵗʰ ed. Chicago:
McGraw-Hill Company, 2008 : 225 – 32.
3. Wolff K, Richard A Johnson. Exfoliative erythroderma syndrome.
Firzpatrick’s Color Atlas & Synopsis of Clinical Dermatology. 6ᵗʰ ed.
Chicago: McGraw-Hill Company, 2008 : 164 – 172.
4. Bruno TF, Grewal P. Erythroderma : A Dermatologi Emergency . CJEM
2009; 11 (3):244-246
5. Daili ESS, Menaldi SL, Wisnu IE. Penyakit Kulit yang Umum di
Indonesia, sebuah paduan bergambar. Jakarta: PT Medical Multimedia
Indonesia; 2005. Hal: 25
6. Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, editor. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin
Edisi keempat. Jakarta: Kedokteran Universitas Indonesia ; 2008. Hal:
197 -200.
7. Dwi murtiastutik .dkk, 2012. Atlas Penyakit Kulit & Kelamin/Bagian SMF
Ilmu kesehatan kulit dan Kelamin – Ed.2 – Cet.4. Surabaya: Airlangga
University Press.

LAMPIRAN

17
1. Hasil cek Lab dan Darah Lengkap
Tanggal 23 / 4 / 2013

GDA : 154 mg/dl


BUN : 8,9 mg/dl
SK : 1,04 mg/dl
AS.URAT : 6,O mg/dl
SGOT : 22.2 u/l
SGPT : 16.3 u/l
ELEKTROLIT :
NA : 147,3 mmol/dl
K : 4,370 mmol/dl
CL : 106,4 mmol/dl
WBC : 7,1 k/uL
LYM : 1,5
GRA : 0,9
LYM % :4.7
MID % : 4.1 %
GRA % :65.8 %
RBC : 4.81 M/il
HGB :14.9 g/dl
HCT : 46,9 %
MCV : 97,6 fL
MCH : 31,0 pg
MCHC : 31,8 g/dl
RDW : 11,6 %
PLT : 285 K/l
MPV : 7,3 fL

2. Gambar pasien sebelum pengobatan dan sesudah pengobatan

18
A. SEBELUM

PENGOBATAN

19
B. SETELAH MENDAPAT
PENGOBATAN selama 2
hari

20

Anda mungkin juga menyukai