LAPORAN KASUS
Nama : Tn. S
Umur : 73 tahun
Agama : Islam
Suku : Jawa
Status : Menikah
Pendidikan : SLTP
Pekerjaan : Pensiunan AL
No.RM : 164468
1.2 ANAMNESIS
Anamnesa dan pemeriksaan fisik dilakukan pada hari, 24 April 2013 di poliklinik
Kulit dan Kelamin.
1
2012 muncul bercak kemerahan pertama kali di daerah kepala, dada, diatas pusar
dan kedua tangan pasien. 1 minggu terakhir pasien mengeluhkan kondisinya
semakin parah yang ditandai dengan kulit semakin kemerahan dan menebal serta
menyebar ke punggung, kedua kaki, daerah kemaluan, selain itu pasien mengeluh
kalau kulit pasien kering terasa tertarik dan juga pecah-pecah, pasien mengeluh
kalau kulit pasien terkena sinar matahari kulit yang tadi kemerahan berubah
menjadi warna putih, pasien juga mengeluh 2 hari yang lalu demam naik turun
SMRS, pasien tidak ada mengeluh lemah, tidak gatal, tidak ada kulit yang
mengelupas, adanya rambut rontok.
Tanda Vital :
TD : 120/80 mmHG
Nadi : -
Suhu : -
RR : -
Abdomen : DBN
Extremitas : DBN
2
1.2.2 Status Dermatolologis
Pada hampir seluruh tubuh terdapat makula eritematus tersebar merata dengan
batas tegas dan terdapat skuama yang tebal, eksoriasis.
DIAGNOSA KERJA
TERAPI
Dexamethason 3 x 1
Pehaclor 1 x 1 ( malam )
Oleum cocos
S : pasien mengeluh kulit kemerahan dan tebal pada seluruh tubuh di sertai
kulit kering dan kulit terasa ketarik serta pecah – pecah.
P : dexamethasone 3 x 1
Pehoclor 1 x 1 ( malam )
3
SOAP tanggal 25 April
2013 hari kamis
4
O : makula eritematus pada seluruh tubuh tersebar merata, skuama tebal,
eksoriasis
P : dexamethason 3 x 1 amp
Pehaclor 1 x 1 ( malam )
O : Makula eritematus pada seluruh tubuh tersebar merata, skuama halus (+)
P : dexamethasone 3 x 1 amp
Pehaclor 1 x 1 ( malam )
5
6
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
2.2 Epidemiologi
2.2 Etiologi
8
sebesar 20 %, eritroderma akibat reaksi obat sebesar 15 % dan akibat cutaneous T
cell lymphoma (CTCL). Atay sezary syndrome sebesar 5 %. Sekitar 20 % dari
kasus – kasus eritroderma tidak dicetuskan oleh penyakit yang mendasarinya dan
diklasifikasikan sebagai eritroderma idiopatik.
Penyebab eritroderma yang kurang umum pada pasien dewasa antara lain
penyakit imunobulosa, penyakit jaringan ikat, infeksi yang meliputi skabies dan
dermatofit, ptiriasis rubra piliaris (PRP) dan penyakit keganasan.
9
Selain dicetuskan oleh penyakit, eritroderma juga ditimbulkan akibat
reaksi obat. Beberapa obat seperti golongan calcium channel blocker, antiepilepsi,
antibiotik ( seperti penicillin, sulfonamid, dan vancomisi), allopurinol, gold,
lithium, quinidine, simetidin, dan dapsone yang paling sering mencetuskan
terjadinya eritroderma.
10
2.3. Patogenesis
11
menimbulkan erirtoderma, atau bagaimana timbulnya eritroderma secara
idiopatik tidak diketahui secara pasti.
Jumlah sel germinal dan kecepatan mitosis pada kulit dengan eritrodema
meningkat dibandingkan dengan kulit normal, sehingga waktu transit sel melalui
epidermis menjadi lebih pendek. Akibatnya protein, asam amino, dan asam
nukleat yang memediasi proses tersebut akan lebih cepat hilang dari tubuh.
Kehilangan unsur protein yang lebih tinggi daripada umumnya akan
mempengaruhi proses metabolisme.
Secara klinis eritroderma ditandai dengan adanya eritema dan sisik yang
lebih dari 90 % luas permukaan kulit. Penyakit ini umumnya diawali sebagai plak
eritema yang timbul akibat dilatasi kapiler. Setelah beberapa hari hingga minggu
plak eritema akan menjadi lebih dan menyebar hampir ke seluruh permukaan
kulit.
Deskuamasi mulai beberapa hari setelah onset eritem dan tampak pertama
kali pada fleksura. Skuama yang terbentuk biasanya berwarna putih atau kuning.
Akibat proses deskuamasi ini kulit akan tampak kering berwarna merah tua yang
dilapisi skuama yang mengelupas.
12
Eritroderma kronis juga kan bermanifestasi pada kulit kepala dimana pada
kepala timbul sisik ( skuama ), kelainan kuku berupa onikolisis, hiperkeratosis,
subungual, perdarahan, paranokia, beau lines, dan bahkan dapat terjadi
onikomadesis.
2.6 Penatalaksanaan
Pada fase ini perlu dilakukan pengawasan dan pengontrolan asupan cairan
dan elektrolit karena dapat menyebabkan pasien menjadi dehidrasi ataupun
menyebabkan pasien menjadi gagal jantung jantung karena overload.
13
melepaskan panas tubuh secara spontan. Untuk mencegah komplikasi tersebut
perlu dilakukan pengaturan suhu lingkungan sekitar pasien agar tetap hangat.
Selain itu untuk mencegah pemguapan panas tubuh yang berlebihan dapat
dimanfaatkan wet dressings.
Pada pasien eritroderma kulit akan cenderung kering dan bersisik. Kulit
yang menjadi kering dan menjadi retak – retak beresiko untuk terjadi infeksi
sekunder yang bersifat lokal. Untuk itu diperlukan bahan yang dapat menjaga
kelembaban kulit.
14
2.6.9 kortikosteroid sistemik
2.7 Komplikasi
Cairan dan elektrolit hilang melalui kapiler – kapiler yang bocor akibatnya
terjadi gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit. Hilangnya protein pada
pasien eritroderma terjadi melalui pembentukan skuama yang lebih dari normal
dimana pada pembentukan skuama meningkat hingga 20 – 30 %. Hilangnya
protein yang signifikan menyebabkan negative nitrogen balance ( keseimbangan
nitrogen negatif ) yang dapat menimbulkan edema dan hipoalbuminemia.
BAB III
KESIMPULAN
15
1. Eritroderma adalah suatu penyakit kulit dengan gambaran dermatologis
berupa eritema difusa dan skuama yang meliputi lebih dari 90 % area
permukaan kulit.
2. Dasar terjadinya eritroderma adalah adanya penyakit yang mendasari.
Penyakit yang mendasari eritroderma ini bisa berupa penyakit yang
terbatas pada kulit ataupun penyakit yang bersifat sistemik.
3. Prinsip pengobatan
4. Pasien eritroderma antara lain manajemen awal, menghindari faktor
pencetus, mencegah hipotermia, diet cukup protein, menjaga kelembaban
kulit pasien, menghindari menggaruk, mencegah infeksi sekunder naik
lokal maupun sistemik, mengurangi edema, penggunaan kortikosteroid
sistemik, methotrexate, cyclosprorin dan mycophenolat mofetil.
DAFTAR PUSTAKA
16
1. William D James, Timothy G Berger, Dirk M Elston. Exfoliative
Dermatitis. Andrews’ Disease of The Skin Clinical Dermatology. 11ᵗʰ ed.
Canada : WB saunders Company. 2006: 211 – 212.
2. Grant-Kels JM, Bernstein ML. Exfoliative dermatitis.: Wolff K,
Goldsmith LA, Katz SI, Gilcherst BA, paller AS, Leffel DJ, eds.
Firzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 7ᵗʰ ed. Chicago:
McGraw-Hill Company, 2008 : 225 – 32.
3. Wolff K, Richard A Johnson. Exfoliative erythroderma syndrome.
Firzpatrick’s Color Atlas & Synopsis of Clinical Dermatology. 6ᵗʰ ed.
Chicago: McGraw-Hill Company, 2008 : 164 – 172.
4. Bruno TF, Grewal P. Erythroderma : A Dermatologi Emergency . CJEM
2009; 11 (3):244-246
5. Daili ESS, Menaldi SL, Wisnu IE. Penyakit Kulit yang Umum di
Indonesia, sebuah paduan bergambar. Jakarta: PT Medical Multimedia
Indonesia; 2005. Hal: 25
6. Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, editor. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin
Edisi keempat. Jakarta: Kedokteran Universitas Indonesia ; 2008. Hal:
197 -200.
7. Dwi murtiastutik .dkk, 2012. Atlas Penyakit Kulit & Kelamin/Bagian SMF
Ilmu kesehatan kulit dan Kelamin – Ed.2 – Cet.4. Surabaya: Airlangga
University Press.
LAMPIRAN
17
1. Hasil cek Lab dan Darah Lengkap
Tanggal 23 / 4 / 2013
18
A. SEBELUM
PENGOBATAN
19
B. SETELAH MENDAPAT
PENGOBATAN selama 2
hari
20