Anda di halaman 1dari 9

Nama: Hanna Salsabila Aprilia 1804010105

Dila Agfia Gustiani 1804010085

Muhammad Zidan 1804010094

Nurillahi 1804010192

Kelas: Farmasi 3c

EPILEPSI

A. Definisi
suatu gangguan saraf kronik, dimana terjadi kejang yang bersifat reccurent
Kejang : manifestasi klinik dari aktivitas neuron cortical yang berlebihan di dalam
korteks serebral dan ditandai dengan adanya perubahan aktifitas elektrik pada saat
dilakukan pemeriksaan EEG.
B. Patofisiologi
Kejang disebabkan karena ada ketidakseimbangan antara pengaruh inhibisi dan eksitatori
pada otak terjadi karena :
• Kurangnya transmisi inhibitori
– Contoh: setelah pemberian antagonis GABA, atau selama penghentian pemberian
agonis GABA (alkohol, benzodiazepin)
• Meningkatnya aksi eksitatori  meningkatnya aksi glutamat atau aspartat
Neurotransmitter mempunyai sifat eksitasi (meningkatkan impuls) misalnya asetilkolin,
norepinefrin, adrenalin, glutamate dan inhibisi (menghambat impuls) misalnya Gamma
Aminobutyric Acid (GABA) pada jaringan otak dan glisin pada medulla spinalis,
serotonin, dopamin
C. Etiologi
Epilepsi --- gangguan/abnormalitas dari pelepasan neuron.
Banyak hal yang bisa menyebabkan terjadinya abnormalitas pelepasan neuron, seperti :
a. Birth trauma
b. Cedera kepala
c. Tumor otak
d. Penyakit cerebrovaskular
e. Genetik
f. Idiopatik
D. Gejala dan tanda
Berdasarkan tanda klinik dan data EEG, kejang dibagi menjadi
1. kejang umum (generalized seizure)  jika aktivasi terjadi pd kedua hemisfere otak secara
bersama-sama
Kejang umum terbagi atas:
 Tonic-clonic convulsion = grand mal
 pasien tiba-tiba jatuh, kejang, nafas terengah-engah, keluar air liur
 bisa terjadi sianosis, ngompol, atau menggigit lidah
 terjadi beberapa menit, kemudian diikuti lemah, kebingungan, sakit kepala atau
tidur
 Abscense attacks = petit mal
 umumnya hanya terjadi pada masa anak-anak atau awal remaja
 penderita tiba-tiba melotot, atau matanya berkedip-kedip, dengan kepala terkulai
 kejadiannya cuma beberapa detik, dan bahkan sering tidak disadari
 Myoclonic seizure
 biasanya tjd pada pagi hari, setelah bangun tidur
 pasien mengalami sentakan yang tiba-tiba
 jenis yang sama (tapi non-epileptik) bisa terjadi pada pasien normal
 Atonic seizure
 pasien tiba-tiba kehilangan kekuatan otot  jatuh, tapi bisa segera recovered
– kejang parsial/focal  jika dimulai dari daerah tertentu dari otak
2. kejang parsial/focal  jika dimulai dari daerah tertentu dari otak
Kejang parsial terbagi menjadi :
 Simple partial seizures
 pasien tidak kehilangan kesadaran
 terjadi sentakan-sentakan pada bagian tertentu dari tubuh
 Complex partial seizures
 pasien melakukan gerakan-gerakan tak terkendali: gerakan mengunyah, meringis,
dll tanpa kesadaran
E. Terapi Farmakologi
menggunakan obat-obat antiepilepsi:
 Obat-obat yang meningkatkan inaktivasi kanal Na+:
 Inaktivasi kanal Na  menurunkan kemampuan syaraf untuk menghantarkan
muatan listrik
 Contoh: fenitoin, karbamazepin, lamotrigin, okskarbazepin, valproat
 Obat-obat yang meningkatkan transmisi inhibitori GABAergik:
 agonis reseptor GABA  meningkatkan transmisi inhibitori dg mengaktifkan
kerja reseptor GABA  contoh: benzodiazepin, barbiturat
 menghambat GABA transaminase  konsentrasi GABA meningkat  contoh:
Vigabatrin
 menghambat GABA transporter  memperlama aksi GABA  contoh: Tiagabin
 meningkatkan konsentrasi GABA pada cairan cerebrospinal pasien  mungkin
dg menstimulasi pelepasan GABA dari non-vesikular pool  contoh: Gabapentin
F. Terapi non Farmakologi
Amati faktor pemicu
Menghindari faktor pemicu (jika ada), misalnya : stress, OR, konsumsi kopi atau alkohol,
perubahan jadwal tidur, terlambat makan, dll.
G. AlgoritmaTerapi
H. kajian kasus
Ny. MR 52 th, 65 kg, 157 c,, MRS dengan kejang yang lama dan sering berulang.
Pengakuan pasien menyebutkan bahwa dia memiliki riwayat dia memiliki riwayat
penyakit DM sudah 5 tahun dengan obat yg diminum Gliclazide 1-1/2-0 dan metformin 3
x 500mg serta epilepsy dengan obat karbamazepin 2 x 200 mg selama 2 tahun. Pasien
juga mengaku bahwa dia tidak meminum obat secara teratur beberapa hari terakhir. Hasil
pemeriksaan lab GDA 315 mg/dl. Selanjutnya pasien diterapi dengan diazepam iv,
namun karena tetap kejang, maka terapi dialihkan menjadi fenitoin 3 x100 mg iv
RP  DM 5 th,
RO  gliclazide 1-1/2-0, metformin 3 x 500 mg, karbamazepin 2 x 200mg selama 2 th,
diazepam iv dan fenitoin 3 x 100 mg
 O = kejang lama yg berulang
 A

Kajian kasus

A. Identitas
Nama Pasien : An F.S
Jenis kelamin : Laki-laki
Umur : 3 tahun 9 bulan
Tanggal masuk UGD : 8 Desember 2016
B. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien masuk dengan keluhan demam sejak satu hari yang lalu , kejang seluruh tubuh
sebanyak 3 kali dan lama masing-masing kejang lebih kurang 2 menit. Kejang pertama
terjadi di rumah sekitar 3 menit. Setelah kejang pasien sadar sekitar 10 menit. Kemudian
kejang timbul lagi dalam perjalanan ke Rumah Sakit dan pada saat pasien di UGD setelah
pemasangan infus.
C. Riwayat penyakit sebelumnya
Pasien menderita epilepsi sejak 2 tahun yang lalu dan sering dirawat di Rumah Sakit
karena penyakit yang sama. Pasien sedang dalam pengobatan epilepsi yang dikontrol
secara rutin ke Rumah Sakit. Terapi yang diberikan phenobarbital dan carbamazepin
untuk pengobatan epilepsinya.
D. Diagnosa
Epilepsi
E. SOAP
1. Subyektif
Keluhan Utama : kejang dan demam
Anamnesis: Pasien masuk dengan keluhan demam sejak satu hari yang lalu , kejang
seluruh tubuh sebanyak 3 kali dan lama masing-masing kejang lebih kurang 2 menit.
2. Obyektif
a. Pemeriksaan Fisik:
BB : 19 kg.
Suhu : 40,2 0C
Keadaan Umum : Sedang
Tingkat Kesadaran : kompos Mentis
b. Pemeriksaan Penunjang
• Pemeriksaan laboratorium (8 Desember 2016)
Nilai Normal
Hemoglobin : 12 g/dl (13-16 g/dl)
Leukosit : 11.300 / mm (5.000 – 10.000)
Trombosit : 373.000 / mcl (200.000-400.000/mcl)
Hematokrit : 36,1 vol% (37-47 vol%)
c. Penatalaksanaan
1) Terapi yang diberikan di IGD jam 20.50 :
Dumin Suppositoria (parasetamol 250 mg)
Stesolid suppositoria (diazepam 10 mg)
Ottopan syrup 4 x 2 cth (parasetamol 120 mg/5 ml)
2) Terapi yang diberikan di Ruang Rawat Anak :
Parasetamol sirup 4 x 2 cth
Amoxil sirup 3 x 2 cth (amoksisilin 125 mg/5 ml)
Luminal (Phenobarbital) 2 x 60 mg (hari I dan II)
Luminal 2 x 30 mg (hari III dan seterusnya)
Carbamazepin 3 x 50 mg
3. Asessment
1) Terapi yang diberikan di IGD
Stesolid suppositoria (diazepam 10 mg)
DRPs: Terapi sudah tepat
Stesolid mengandung diazepam, dimana untuk penatalaksanaan pengobatan fase
akut, diazepam merupakan obat pilihan yang diberikan secara intravena atau
intrarektal. Dosis diazepam intravena yang digunakan adalah 0,3-0,5
mg/kgBB/kali dengan kecepatan 1-2 mg permenit dengan dosis maksimal 20 mg,
bila kejang berhenti sebelum diazepam habis, hentikan penyuntikan, tunggu
sebentar dan bila tidak timbul kejang lagi jarum dicabut1. Tetapi disini pasien
diberikan stesolid suppositoria untuk menangani fase akut pasien, dimana untuk
diazepam yang diberikan melalui intrarektal dosis yang diberikan untuk anak
dengan berat badan lebih dari 10 kg adalah 10 mg. Berat badan pasien adalah 19
kg.
Dumin suppositoria 250 mg dan ottopan sirup 2 cth (240 mg)
DRPs: Terapi kurang tepat
Di IGD pasien diberikan dumin suppositoria 250 mg dan ottopan sirup 2 cth (240
mg) yang mengandung parasetamol untuk menurunkan suhu pasien. Menurut
kami pemberian duplikasi terapi kurang tepat karena dr beberapa jurnal yang
kami temukan misalnya pada jurnal (Drug Related Problems (DRP) dalam
pengobatan Dengue Hemoraggic Fever (DHF) pada pasien pediatri tahun 2009
menjelaskan bahwa: Pemberian duplikasi terapi selain pemborosan juga dapat
menyebabkan meningkatkan resiko toksisitas pasien pediatrik, terutama
hepatotksik.) didalam beberapa literatur pun menjelaskan untuk usia anak2 dosis
maksimal sekali minum adalah 15mg/KB jd jika pasien berat badannya 19 kg
dosis sekali minumnya sekitar 285mg. Walaupun tujuan pemberian parasetamol
bersamaan ini bertujuan untuk menurunkan suhu pasien yang sangat tinggi. Saat
awal masuk suhu pasien adalah 40,2 0C dan ketika pasien dipindahkan ke ruang
rawat anak suhu pasien turun menjadi 39 0C.
2) Terapi yang diberikan di Ruang Rawat Anak :
Luminal 2 x 60 mg (hari I dan II)
Luminal 2 x 30 mg (hari III dan seterusnya)
DRPs: Terapi sudah tepat
Setelah kejang berhenti dengan pemberian diazepam, dilanjutkan dengan
pemberian fenobarbital (luminal) langsung setelah kejang berhenti. Dosis yang
digunakan untuk pemeliharaan, untuk 2 hari pertama dosis 8-10 mg/kgBB dibagi
dalam 2 dosis, untuk hari-hari berikutnya dengan dosis 4-5 mg/kgBB/ hari. Anak
dengan berat badan 19 kg seharusnya mendapatkan dosis untuk hari pertama dan
kedua 152-190 mg, hari berikutnya 76-95 mg. Sedangkan dosis yang diterima
pasien adalah 2 x 60 mg (120 mg) untuk hari pertama dan kedua, 2 x 30 mg (60
mg) untuk hari berikutnya. Untuk penentuan dosis fenobarbital yang tepat adalah
dengan melihat kadar obat dalam plasma. Karena tidak tersedianya alat, cara lain
bisa dengan mentitrasi dosis yaitu dengan memberikan dosis secara bertahap dan
dilihat perkembangannya (apakah efek yang dikehendaki telah tercapai dan efek
samping minimal).
Parasetamol sirup 4 x 2 cth
DRPs: Terapi sudah tepat
Parasetamol sirup diberikan pada pasien untuk mengatasi demam. Tiap 5 ml sirup
paracetamol mengandung paracetamol 120 mg, dosis yang diterima oleh pasien
adalah 4 x 2 cth (960 mg) sehari pakai, sementara dosis lazim paracetamol adalah
10 mg-15 mg/kgBB untuk sekali pakai, untuk pasien dengan berat badan 19 kg
dosis yang diterima oleh pasien adalah 19 kg ( 10-15) mg /kgBB, yaitu 190 – 285
mg sekali pakai dan 760 mg-1140 mg untuk sehari pakai. Dosis yang diterima
oleh pasien masuk dalam rentang dosis yang seharusnya. Pada rawatan hari ke-2
(9/12/11) suhu badan pasien kembali meningkat menjadi 40°C, tetapi tidak
disertai kejang.
Amoxil sirup 3 x 2 cth (amoksisilin 125 mg/5 ml)
DRPs: Terapi sudah tepat
Pasien juga mendapatkan terapi Amoxicillin, hal ini berdasarkan kepada
kemungkinan adanya infeksi pada pasien, dilihat dari tingginya suhu tubuh pasien
dan berdasarkan pemeriksaan laboratorium pasien, dimana nilai leukosit pasien
11.300/mm, angka tersebut diatas nilai normal 5.000-10.000/mm. Tiap 5 ml sirup
Amoxicillin mengandung amoxicillin 125 mg. Dosis yang diterima pasien sekali
pakai adalah 2 cth (250 mg), sehari pakai adalah 750 mg. Sedangkan dosis
amoxicillin adalah 50 mg-100mg/ kg BB/hari, untuk anak dengan berat badan 19
kg adalah 950 mg-1900 mg.
Carbamazepin 3 x 50 mg
DRPs: Terapi sudah tepat
Karbamazepin yang merupakan obat rutin yang dikonsumsi oleh pasien masih
tetap dilanjutkan dengan dosis 3 x 50 (150) mg sehari. Dosis lazim karbamazepin
adalah 10-20 mg/KgBB/hari, untuk anak dengan berat badan 19 kg maka dosis
yang diberikan adalah 190-380 mg per hari. Dosis sebaiknya ditentukan dengan
melihat kadar plasma pasien, atau dengan mentitrasi dosis (lihat efek yang terapi
yang diinginkan dan efek samping yang muncul).
Salah satu efek samping penggunaan CBZ jangka lama adalah efek hiponatrium.
Pada hari kelima dirawat berat badan pasien turun satu kilogram dari 19 kg
menjadi 18 kg. pada hari tersebut pasien juga mengalami buang air kecil yang
sangat banyak dan juga suhu pasien yang masih tinggi.
4. Plan
Saran :
a. Sebaiknya pada saat pasien di IGD pasien tidak diberikan duplikasi terapi
paracetamol selain pemborosan juga dapat menyebabkan meningkatkan resiko
toksisitas pasien pediatrik, terutama hepatotksik sebaiknya menggunakan salah
satu saja jika memang efek paracetamol yang diharapkan memberikan efek terapi
yang cepat maka gunakan lah suppo tp penggunaan suppo sebaiknya jangan
sering digunakan karen efek samping yang akan ditimbulkan.

Anda mungkin juga menyukai