Anda di halaman 1dari 21

Golongan Wahabi

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ilmu Kalam


Dosen Pembimbing:
Irawan, S.Pd.I, M.Pd.I

Disusun Oleh:

Agus Setiawan NIM : 1503020013


M. Khoirul Fikar NIM : 1503020038
Solehpudin NIM : 1503020025
Nasrul Fazri NIM : 1503020022
Muhamad Sopian Hidayatullah NIM : 1503020003
Nursartika Dewi NIM : 1503020012
Dewi Nurjanah NIM : 1503020017

FAKULTAS AGAMA ISLAM


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM SYEKH-YUSUF
TANGERANG
1437 H / 2015 M
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahi Robbil’alamin, Dengan mengucapkan terima kasih dan rasa


syukur kehadhirat Allah swt. Yang telah melimpahkan taufiq dan hidayah-Nya
sehingga kami telah dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Golongan
Wahabi”. Sholawat serta salam semoga tetap tercurah atas baginda Nabi Besar
Muhammad Saw, beserta keluarga, sahabat dan para pengikutnya hingga akhir
zaman nanti.

Dan tidak lupa pula kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak Irawan,
S.Pd.I, M.Pd.I. Selaku dosen mata kuliah Ilmu Kalam dan juga kepada rekan-
rekan yang telah membantu sehingga penyusun dapat menyelesaikan makalah ini.

Dalam penyelesaian makalah ini penulis merasa masih sangat banyak


kekurangan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dari Bapak/Ibu Dosen dan para rekan-rekan sekalian agar kami
dalam menyelesaikan makalah-makalah yang selanjutnya dapat lebih baik lagi.

Semoga makalah ini dapat bermanfaat khususnya bagi penulis dan umumnya
bagi sekalian pembaca.

Tangerang, 17 Desember 2015

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATAPENGANTAR ….….......…………………………………………… i
DAFTAR ISI .……………………………………..……………………….. ii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.................................................................................1
B. Rumusan Masalah............................................................................1
C. Tujuan.............................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN
A. Muhammad bin Abdul Wahab........................................................3
B. I’tiqad Kaum Wahabi Yang Bertentangan Dengan I’tiqad Ahlusunnah Wal
Jama’ah.............................................................................................7
C. Perbedaan Antara (Sunni) Aswaja Dengan Wahabi.....................12
D. Perkembangan Ajaran Wahabi di Indonesia..................................14

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan....................................................................................16
B. Saran...............................................................................................17

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Semenjak abad ke-13, terutama setelah jatuhnya Baghdad ke tangan tentara


Hulagu, dunia Islam terus menerus mengalami kemunduran. Kemunduran tersebut
telah mencakup segala bidang, baik bidang intelektual, sosial, terlebih lagi dalam
bidang keagamaan. Pengaruh Tarekat berkembang semakin dalam yang meng-
akibatkan akidah umat Islam bercampur baur dengan bid’ah dan khurafat. Tuhan
mereka dekati dengan perantara syaikh atau para wali. Umat Islam hidup dalam
keadaan Jumud, sikap taklid sudah menyatu dalam kehidupan mereka. Pendapat
bahwa pintu ijtihad telah tertutup diterima secara umum. Hal ini membuat
sebagian umat Islam buta terhadap ajaran-ajaran Islami yanng murni, yakni
ajaran-ajaran yang tertera dalam Al-Qur’an dan Sunnah.

Dalam keadaan masyarakat yang seperti ini, pada pertengahan abad ke-18, di
Jazirah Arab muncul satu gerakan yang berusaha memurnikan ajaran Islam
dengan semboyan kembali kepada Islam yang asli seperti yang dianut dan di
praktikkan di Zaman Nabi, Shahabat, serta Tabi’in sempai abad ke-3 Hijriah.
Gerakan ini dalam sejarah terkenal dengan nama “Gerakan Wahabi” yang
dilancarkan oleh tokohnya bernama Muhammad ibn Abdul Wahab.1

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang makalah, maka rumusan masalah makalah kami


adalah sebagai berikut :
1. Sejarah Kemunculan Golongan Wahabi?
2. Pendiri Golongan Wahabi
3. Apa Saja Ajaran atau Pemahaman Golongan Mu’tazilah?
1
Ris’an Rusli, Pembaharuan Pemikiran Modern Dalam Islam, (Jakarta: Rajawali Pers), Cet. II,
2014, H. 1

1
2

A. Tujuan

Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan makalah kami ini ialah:
1. Mengetahui Sejarah Kemunculan Golongan Wahabi?
2. Mengetahui Pendiri Golongan Wahabi
3. Mengetahui Apa Saja Ajaran atau Pemahaman Golongan Mu’tazilah?
BAB II
PEMBAHASAN

A. Muhammad bin Abdul Wahab

Pemikiran Muhammad bin Abdul Wahab mempengaruhi dunia Islam di masa


Modern sejak abad ke-19 M. Walaupun ia sendiri hidup di abad sebelumnya,
tetapi pemkirannya mengilhami gerakan-gerakan pembaharuan dalam Islam pada
setelahnya. Bahkan sisa-sisanya masih terasa hingga kini. Pemikiran keagamaan
yang dibawakannya difokuskan pada pemurnian Tauhid, oleh karenanya kelompk
ini menamakan dirinya sebagai muwahiddun. Sebutan Wahhabiyah adalah nama
yang diberikan kepada kaum itu oleh lawan-lawannya, karena pemimpinnya
Muhammad bin Abdul Wahhab. Gerakan mereka pertama kali memang bukan
bergerak di lapangan politik, tetapi di bidang keagamaan. Baru setelah adanya
kesepakaan antara Muhammad bin Abdul Wahhab dengan Muhammad bin Sa’ud
tahun 1774, maka gerakannya berubah menjadi gerakan poltik, tanpa
meninggalkan misi asalnya, yakni dakwah pemurnian Islam2

Muhammad bin Abdul Wahab lahir di Uyaynah, Nejd, pada tahun 1703 M
(1115 H). Ayahnya Abdul Wahab, seorang hakim di Uyaynah dan menyusun
berbagai risalah mengenai fikih dan tafsir di samping mengajar fikih, tafsir dan
hadits di masjid Uyaynah. Sedangkan kakeknya Sulaiman bin Ali, adalah seorang
mufti penganut Mazhab Hanbali.3

Sejak kecil ia telah bel;ajar Al-Qur’an pada ayahnya, dan sebelum berusia 10
tahun ia sudah hafal seluruh isi Al-Qur’an. Pengetahuan dasar diperolehnya di
kampungnya sendiri dari tokoh-tokoh Mazhab Hanbali. Sebagian besar usianya di
habiskan untuk mengembara mencari ilmu. Mula-mula ia pergi ke Makkah untuk

2
Ali Mufrodi, Islam Di Kawasan Kebudayaan Arab, (Jakarta: Logos), Cet. I, 1997, H. 151
3
Ris’an Rusli, Pembaharuan Pemikiran Modern Dalam Islam, (Jakarta: Rajawali Pers), Cet. II,
2014, H. 2

3
4

menunaikan Ibadah Haji. Disana ia bertemu dan bertukar pikiran dengan


ulama Makkah. Setelah itu ia pergi ke Madinah untuk berziarah ke Makam Nabi
Muhammad SAW. Di Madinah ini pula ia belajar kepada Sulaiman al-Kurdi dan
Muhammad Hayat al-Sindi, ulamad yang sangat berpengaruh di Madinah. Disini
ia menerima latihan-latihan yang keras dalam belajar hadis dan ia mula
menemukan perbedaan yang menyolok antara apa yang diajarkan oleh hadis dan
kenyataan yang ada di dalam masyarakat.

Setelah menyelesaikan pelajarannya di Madinah ia pergi untuk berkeliling ke


berbagai dunia Islam. Mula-mula ia merantau ke Bashrah selama empat tahun dan
mengajar di rumah Qadi Husein. Selanjutnya ia pergi ke Baghdad dan menetap
disini selama lima tahun. Ia menikah dengan seorang wanita kaya dan setelah
isterinya meninggal dunia dengan meninggalkan warisan sebanyak 2.000 dinar,
berturut-turut ia pergib ke Kurdistan selama satu tahun, ke Hamdan selama dua
tahun, kemudian ke Isfahan. Di Isfahan ia belajar filsafat moral dan tasawuf.
Setelah itu ia pergi ke Qum dan menjadi penganjur mazhab Hanbali. Dari Qum ia
kembali ke negeri asalnya Uyaynah. Sesampainya di Uyaynah ia mengasingkan
diri dari masyarakat selama delapan bulan untuk merenungi apa yang di peroleh-
nya dari perjalanannya dan membandingkannya dengan kenyataan yang
ditemuinya di daerah-daerah yang di kunjunginya. Setelah itu ia pun mulai keluar
menyampaikan dakwahnya kepada masyarakat.4

Pada mulanya dakwahnya disampaikan dengan lemah lembut dan disambut


oleh masyarakat. Akan tetapi, tidak lama kemudian ia mendapat tantangan dari
masyarakat bahkan dari keluarga dekatnya seperti adiknya, Sulaiman, dan
keponakannya, Abdullah bin Hasan. Akhirnya ia meninggalkan Uyaynah dan
pindah ke Dira’iyah. Di sini ia disambut oleh penguasa setempat, Muhammad bin
Saud, dan berhasil menjalin kerja sama dengan penguasa tersebut sehingga
dakwahnya berjalan dengan lancar berkat dukungan pemerintah. Dia menetap
disini sampai akhir hayatnya tahun 1792 M (1206 H). Setelah Muhammad bin

4
Ris’an Rusli, Pembaharuan Pemikiran Modern Dalam Islam, (Jakarta: Rajawali Pers), Cet. II,
2014, H. 2-4
Abdul Wahhab dan Muhammad bin Saud Wafat, anak-anak mereka saling berjanji
satu akan meneruskan kerja sama orang tua mereka dan akan bahu membahu
dalam mensukseskan dakwahnya.

Menurut Ahmad Sarwat, Muhammad bin Abdul Wahab tidak menulis buku
yang tebal dan berjilid-jilid seperti para fuqaha atau filsuf muslim. Ia hanya
menulis beberapa risalah atau makalah pendek yang dikumpulkan menjadi “kitab
at-tauhid” yang kini menjadi rujukan para ulama. Di dalmnya terdapat larangan
membuat bangunan di atas kuburan dan memasang larangan lampu di dalamnya.
Kaum wahabi juga melarang orang melakukan tindakan yang menjerumuskan
mereka pada syirik. Seperti melarang ber-tawassul dengan menggunakan nama
orang sholeh.

Mereka tak segan-segan melakukan tindakan keras dalam menyebarkan


pahamnya itu. Ketika memasuki kota Tha’if pada 1924, kaum wahabi melakukan
penjaharan dan menyeret para qadi (hakim agama) yang menolak paham
wahabiyah, dan bahkan membunuh mereka. Mereka juga meratakan kuburan
rasulullah saw dan menghancurkan kuburan para sahabat serta bangunan kuburan
tokoh-tokoh sufi yang sering di kunjungi masyarakat.

Perbuatan yang tidak terpuji ini dilakukan setelah kerjaan Arab Saudi berdiri
dan mengambil paham Wahabiyah sebagai mahdzab resmi Negara. merka tidak
hanya menolak praktik dan ajaran sufi, bahkan menganggapnya sebagai bid’ah
dan syirik. Memang ini konsekuensi dari sikap teologis Muhammad bin Abdul
Wahab yang tegas dengan prinsip tuhid (pengesaan allah). Begitu juga dengan
sikap taqlid di kalangan umat islam, dianggapnya sebagai penyebab kemunduran
islam.

Sikap radikal dalam memurnikan ajaran islam Muhammad bin Abdul Wahab
ini oleh sebagai peneliti islam di sebut gerakan pembaruan islam. Namun, dalam
perkembangannya, sikap kritis itu tidak menular kepada pengikutnya. Mereka
malah menjadi fanatic dan terjebak dalam taqlid kepada Muhammad bin Abdul
Wahab.
Ajaran pemurnian akidah islam ini dikritik oleh Sulaiman bin Abdul wahab
kakak Muhammad bin Abdul Wahab dalam buku Al-Shawa’iq Al-IIahiyah. Di
ceritakan bahwa suatu waktu terjadi diskusi antara Muhammad bin Abdul Wahab
dengan kakaknya.

“berapakah rukun islam?” Tanya Sulaiman.


Sang adik menjawab, “lima”.
“tetapi kamu menjadikannya enam?” serangnya.
“apa? Enam. Rukun islam itu lima!” tegas sang adik.
“Ya, yang ke-enam itu kamu memfatwakan bahwa barang siapa yang
mengikutimu adalah mukmin dan yang tidak sesuai dengan fatwamu adalah
kafir,” ujar Sulaiman menjelaskan.

Para ulama sunni pun memberikan kritik terhadap aliran wahabiyah ini.
Diantaranya Abdullah bin Lathif Syafii menulis kitab tajrid syaiful al-jihad lil
mudda’I al-ijtihad”, afiffudin Abdullah bin dawud hanbali menulis kitab “as-
awa’iq wa al-ruduud” Muhammad bin abdurahman bin afalik hanbali menulis
kitab “tahkamu al-muqalladin biman ad’I tajdidi ad-diin”, ahmad bin ali bin
luqbaani basri dan syaikh atha’ allah makki yang menulis kitab “al-aarimul al-
hindi fi unuqil najdi”, dan seorang ulama syi’ah bernama ayatollah ja’far kasyif
al-qittha juga memberikan kritik terhadap ajaran wahabiyah ini.

Aliran wahabiyah ini jika diruntut secara historis berasal dari pemikiran dan
fatwa yang di kembangkan oleh ibnu taimiyah dan ahmad bin hanbal. Dengan
dukungan pemerintah Arab Saudi, ajaran wahabiyah cepat menyebar dan
menginspirasi lahirnya gerakan pembaruan islam Indonesia yang di tandai
berdirinya Muhammadiyah dan persatuan islam
B. I’tiqad Kaum Wahabi Yang Bertentangan Dengan I’tiqad Ahlusunnah
Wal Jama’ah

1. Mendo’a Dengan Bertawasul Syirik

Ulama-ulama Wahabi selalu memfatwakan bahwa mendo’a dengan tawassul


adalah syirik/haram. Hal ini tidak heran karena paham Wahabi itu adalah penerus
yang fanatik dari fatwa-fatwa Ibnu Taimiyah.

Pendirian kaum Ahlussunnah wal Jama’ah dalam soal “tawassul” sudah


dibentangkan dalam pasal yang terdahulu yang membicarakan fatwa-fatwa Ibnu
Taimiyah. Pada pasal itu telah kami kemukakan dalil-dalil al Qur’an dan hadits-
hadits yang bertalian dengan tawassul itu.

2. Istigatsah Syirik

Tersebut dalam kitab karangan ulama Wahabi, berjudul “At


Hidayatus Saniyah wat Tuhfatul Wahabiyah”. Pada pagina 66 yaitu:
“Barang siapa menjadikan malaikat, Nabi-Nabi, Ibnu Abbas, Ibnu Abi Thalib
atau Mahjub perantara antara mereka dengan Allah, karena mereka dekat dengan
Allah, seperti yang banyak diperbuat orang dihadapan raja-raja, maka orang itu
kafir, musyrik, halal darahnya dan hartanya, walaupun ia mengucapkan dua
kalimah syahadat, walaupun ia sembahyang, puasa dan menda’wakan dirinya
muslim.”

Terang menurut buku Wahabi ini bahwa kaum Wahabi mengkafirkan


sekalian orang islam yang sudah membaca syahadat kalau orang Islam itu
menjadikan Malaikat, Nabi-Nabi, Ibnu Abbas, Ibnu Abi Thalib (maksudnya
Saidina ‘Ali Kw.) atau Mahjub menjadi perantara mereka dengan Allah.

Arti “menjadi perantara” yang dilarang itu – menurut paham Wahabi ialah
ber-istigatsah dengan mereka.
Tegasnya: “Siapa yang ber-istigatsah menjadi syrik”.
Apa yang dimaksud dengan istigatsah?

Contohnya ialah: seorang Muslim datang menziarahi kuburan (makam) Nabi


di Madinah, lantas disitu ia berkata menghadapkan pembicaraan kepada Nabi:
“Hai Rasulullah hai Habiballah, hai penghulu kami Muhammad Nabi akhir
zaman, berilah kami syafaat engkau diakhirat, mintakanlah kepada Tuhan supaya
kami ini selamat dunia-akhirat”.

Inilah ucapan orang yang ber-istigatsah


Cara ini syirik menurut kaum Wahabi, karena terdapat beberapa unsur
kemusyrikan, yaitu:

a. Memanggil dan menghadapkan pembicaraan kepada orang yang telah


mati, sedang orang itu sudah menjadi bangkai.

b. Meminta atau memohon pertolongan kepada orang mati, kepada


makhluk, sedang yang boleh dijadikan tempat memohon pertolongan itu
hanyalah Allah saja.

c. Menjadikan Nabi ini sebagai perantara antara ia dengan Allah, padahal


setiap orang Islam boleh mendo’a langsung saja kepada Tuhan,
sedangkan Tuhan itu dekat kepada sekalian hamba-Nya.

Inilah unsur-unsur kemusyrikan dalam istigatsah itu dan karenanya orang itu
menjadi musyrik kalau mengerjakan ini.

Kaum Ahlussunnah wal Jama’ah berpendapat:


a. Memanggil dan menghadapkan pembicaraan kepada orang yang telah
mati boleh saja, tidak terlarang, dan bahkan dikerjakan oleh Nabi dan
sahabat belum juga oleh ummat Islam diseluruh dunia.

b. Nabi Muhammad Saw. walaupun beliau sudah mati, tetapi beliau hidup
dalam kubur dan mendengar sekalian salam orang dan sekalian
permintaan orang sebagai keadaannya sewaktu belum hidup didunia.
c. Minta tolong kepada makhluk, kepada lain Allah, kepada Nabi dan
kepada manusia boleh saja, tidak terlarang dalam agama.

Inilah perbedaan paham yang prinsipil antara Ahlusunnah wal Jama’ah


dengan Wahabiyah.

3. Berpergian Ziarah Kubur Haram

Suatu ciri khusus dari paham Wahabi ialah mengharamkan pergi ziarah
kubur. Kalau dilakukan maka perjalanan itu dianggap ma’siyat yang wajib
dilarang.

Kaum Ahlusunnah seluruhnya menfatwakan bahwa perjalanan ke Madinah


untuk menziarahi makam Nabi adalah perjalanan yang dituntut oleh syari’at islam.
Sunnat-muakkad yang baik sekali untuk dikerjakan.

Kaum Wahabi selanjutnya mengatakan bahwa tidak boleh mengqsar atau


menjama’ sembahyang dalam perjalanan untuk ziarah itu, karena perjalanan itu
adalah perjalanan ma’siyat.

Tetapi fatwa ini pada waktu sekarang sudah tinggal diatas kertas saja. Kaum
wahabi yang berkuasa di Makkah sekarang tidak sanggup atau tidak berani
melawan umat islam sedunia, yang datang berbondong-bondong menziarahi
makam Nabi ke Madinah tiap-tiap tahun atau diluar musim-musim haji.

4. Qubbah Diatas Kubur Haram

Sejalan dengan fakta tidak boleh menziarahi makam-makam, kaum Wahabi


berpendapat bahwa membuat qubbah diatas makam perkuburan adalah haram dan
karena itu semuanya harus diruntuhi, kalau ada.

Hal ini dilaksanakan oleh mereka pada ketika memasuki Hijaz pada
gelombang yang pertama tahun 1803 M. dan pada gelombang kedua tahun 1924
M. Qubbah-qubbah makam Siti Khadijah di Mu’ala Mekkah dan sahabat-sahabat
lain, begitu juga qubbah Saidna Hamzah dekat bukit Uhud begitu juga qubbah-
qubbah di makam Baqi’i di Madinah semuanya diruntuhi.

Bagi kaum Ahlussunnah wal jama’ah menganggap qubbah-qubbah pada


makam-makam itu tak apa-apa, bahkan hal itu baik sekali untuk dibangun sebagai
tanda bagi ulama-ulama dan auliya-auliya yang bermakam disitu, sehingga
memudahkan bagi sekalian orang yang hendak datang berziarah.

Di situlah perbedaan paham antara kaum Wahabi dengan Ahlussunnah wal


Jama’ah.

5. Menghisap Rokok Haram Dan Syirik

Lasykar-lasykar Wahabi sebelum merebut Madinah dicangkoki dengan


pengjaran agama bahwa menghisap sigaret atau menghisap rokok adalah
perbuatan syetan sedang orang-orang yang menghisap rokok itu banyak di
Makkah, menduduki kota Suci, karena itu kita harus mengalahkan mereka. Inilah
pangkalnya pengajian menghisap rokok syirik.

Bagi kaum Ahlussunnah wal Jama’ah menghisap rokok itu harus saja, hanya
kalau membikin mudarat bagi tubuh barulah hukumnya haram. Kalau tidaknya
tidak apa-apa. Merokok sama dengan makan buah-buahan saja, kalau mau ya
boleh dan kalau tidak ya boleh juga. Jadi termasuk mubah (harus).

6. Qubbah Maulid Nabi Diruntuhi

Lasykar-lasykar Wahabi setelah memasuki Mekkah lantas meruntuhkan


qubbah diatas tempat di mana Nabi dilahirkan, yaitu di Suq al Leil Makkah.
Tempat itu kami lihat hanya dipakai untuk menambatkan onta-onta.
Bangunan itu dianggap oleh dunia Islam sebagai bangunan sejarah, sebagai
“tugu kemerdekaan”, yang mana setiap orang haji yang datang ke Mekkah
memerlukan datang melihat-lihat tempat dimana Nabi dilahirkan itu.

Memang luka hati kita melihat, bahwa tempat yang mengandung sejarah
kebesaran Islam itu dijadikan tempat tambatan onta yang seolah-olah dihinakan
saja.

Alasan peruntuhannya, kata mereka, karena gedung itu membawa orang


kepada syirik, dikhawatirkan orang Islam akan menyembah “gedung sejarah” itu,
karena banyak yang datang ke Mekkah memegang-megang dinding gedung itu
dan bahkan ada yang menciumnya, katanya. Semuanya itu adalah syirik kata
ulama-ulama Wahabi.

Kaum Ahlussunnah wal Jama’ah, atau katakanlah dunia Islam yang banyak,
tidak berpaham begitu. Mereka berpendapat bahwa makam Nabi-nabi, auliya-
auliya, ulama-ulama dan orang-orang mati syahid lebih baik dibuatkan
qubbahnya, sehingga mudah diketahui oleh orang yang hendak datang ziarah,
sebagai keadaannya dengan “Qubbatul Khadra” (Kubah Hijau) pada makam
SaidinaMuhammad Saw. di kota Madinah.

7. Tauhid Rububiyah dan Tauhid Ushuliyah

Kaum Wahabi melarang orang-orang mengaji sifat Dua Puluh sedang hal ini
dianjurkan oleh kaum Ahlussunnah wal Jama’ah. Mereka menciptakan suatu
pengajian tauhid secara baru, yang tidak ada dari dulu, baik pada zaman Nabi
Muhammad atau pada zaman sahabat-sahabat beliau.
Pengajian baru itu apa yang dinamakan oleh mereka dengan Tauhid
Rububiyah dan Tauhid Uluhiyah.
Tauhid itu dua macam kata mereka, yaitu:
a. Tauhid Rububiyah, yaitu tauhidnya orang kafir, tauhidnya orang
musyrik yang menyembah berhala, atau dengan kata lain “Tauhidnya
orang syirik.”.
b. Tauhid Uluhiyah, yaitu tauhidnya orang mu’min, tauhidnya orang
Islam serupa iman dan Islamnya kaum Wahabi.

Jadi kesimpulannya – kata mereka – ada orang yang mengakui ada Tuhan,
tetapi menyembah lain Tuhan. Ini namanya Tauhid Rububiyah, yaitu tauhidnya
orang yang mempersekutukan Tuhan.

Adapun tauhid Uluhiyah – menurut mereka – ialah tauhid sebenar-benarnya,


yaitu me-Esakan Tuhan, sehingga tak ada yang disembah selain Tuhan. Inilah
tauhidnya orang mu’min sejati, kata mereka.

Pengajian macam ini tak pernah ada sedari dulu, tidak pernah disebut oleh
kaum Ahlussunnah, begitu juga oleh kaum Mu’tazilah dan Syi’ah.

C. Perbedaan Antara (Sunni) Aswaja Dengan Wahabi

Untuk memahami apa sebenarnya yang menjadi pokok persoalan antara


Ahlusunnah wal Jam`ah degan Wahabi, berikut ini penjelasan sebagian dari
permasalahan itu.

1. Persoalan : Maha Suci Allah daripada bersifat duduk atau bersemayam

Pendapat Aswaja : Menganggap atau mengatakan bahwa Allah duduk atau


bersemayam di atas arasy atau di atas kursi Adalah suatu hal yang keliru karna
yang demikian itu adalah sifat makhluk Allah bukan sipat Allah.
Dalilnya: Firman Allah Ta’ala: "Dia(Allah) tidak menyerupai sesuatu pun
daripada makhlukNya,baik dari satu segi maupun dari semua segi, dan tidak ada
sesuatu pun yang menyerupaiNya"(Asyura ayat:11)
Pendapat Wahabi : Wahabi menyamakan Allah dengan makhluk. Mereka
berkata: “Allah duduk di atas kursi”

2. Persoalan : Maha suci Allah daripada anggota dan jisim

Pendapat Aswaja : Allah Ta’ala tidak sama dengan makhlukNya, Dia tidak
mempunyai anggota dan jisim sebagaimana Yang dimiliki oleh makhluk.
Dalilnya:. Firman Allah Ta’ala:_ ‫ﺷﻰ ﻛﻤﺜﻠﮫ ﻟﯿﺲ‬
Maksudnya: "Dia (Allah) tidak menyerupai sesuatu pun dari makhlukNya
baik dari satu segi maupun dari semua segi, dan tidakada sesuatu pun yang
menyerupaiNya".(Asyura ayat:11)

Pendapat Wahabi : Ibnu Baz berkata: “penafian jisim dan anggota bagi Allah
adalah suatu yang dicela”

3. Persoalan : Maha suci Allah dari tempat

Pendapat Aswaja : Allah Ta’ala wujud tanpa tempat, karena Dia yang
menjadikan tempat yang mempunyai batasan batasan,kadar tertentu dan bentuk
sedangkan Allah tidak bisa disifatkan sedemikian.
Dalilnya : Sabda Nabi: "Allah wujud pada azal(adaNya tanpa permulaan),dan
belum wujud sesuatu selainNya"H.R al-Bukhari,isnad sahih

Pendapat Wahabi : Ibnu Baz mengatakan bahwa zat Allah Ta’ala itu di atas
arasy.

4. Persoalan : tentang Abu jahal dan Abu lahab

Pendapat Aswaja : Abu jahal dan Abu lahab bukanlah dari kalangan orang
Islam sebagaimana di jelaskan dalam Al-Qur’anul kariim dan tidak bisa
terbantahkan kekuatan firman Allah.
Dalilnya : Firman Allah Ta’ala mengenai Abu lahab:Maksudnya: kelak dia
akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala.(Al-Masad ayat: 3)

Pendapat Wahabi : Wahabi mengatakan bahwa Abu jahal lebih mulia dan
mengamalkan serta peng-ESA-an tauhid mereka kepada Allah daripada orang
Islam umumnya yang mengucap dua kalimah syahadah. ( yang dimaksudkan
dengan orang Islam di sini ialah mereka yang bertawassul dengan wali-wali dan
para solihin dimana pengertian tawasul menurut wahabi seperti menyembah
berhala, batu, orang mati atau sejenisnya ).

5. Persoalan : Madzab

Pendapat Aswaja : 4 madzab adalah generasi penerus akidah Ulama Salaf


sebagaimana penjelasn sunnah Rasullullah yang menjadi pembimbing umat islam
kearah yang benar menurut sunnah Rasulullah.dan bukan syirik
Dalilnya : ijma kebanyakan ulama sepakat

Pendapat wahabi : “Mengikut mana-mana mazhab adalah syirik.”

Ada banyak sekali perbedaan antara keduanya..terutama memahami perkara


Bid`ah walaupun keduanya sama sama sepakat mengakui adanya Bid`ah dan
pada uraian ini hanya sekedar bahan renungan kita atas hujah hujah para Ulama
Ahlsuunnah wal jama`ah dan Wahabi.

D. Perkembangan Ajaran Wahabi di Indonesia

Di Indonesia ajaran Wahhabi dibawa orang-orang muslim negara lain yang


menunaikan ibadah haji di Mekkah, tercacat beberapa nama pembawa pengaruh
Wahhbisme di Indonesia diantaranya Haji Miskin dari Luhak Agam, Haji Piobang
dari Luhak 50 kota, dan Haji Sumanik dari Luhak Tanah Datar. Ketiga tokoh ini
berasal dari kaum Paderi di Minangkabau menunaikan haji tahun 1803. Gerakan
reformasi yang dilakukan ajaran Wahhabi juga melalui cara-cara yang cukup
ekstrim dan radikal. Beberpa aktifitas yang dipandang berbau bi’ad, khurafat, dan
sesuatu yang tidak sejalan dengan ajaran Islam yang ada di dalam Nash, yakni
Alqur’an dan As Sunnah yang harus disikat habis.

Tidak hanya itu, selain memerangi pria-pria pemakai emas dan pemadat
tembakau, surau-surau yang mengembangkan tarekat dan memberi penghargaan
yang lebih kepada para syeh dikecam keras. Aksi-aksi tersebut banyak mendapat
perlawalan dari masyarakat karena dianggap keras dan mengarah ke Anarkisme.
Sementara dibelahan Nusantara yang lain Wahhabi telah menjelma semacam
organisasi-organisasi beridiologi tertentu.

Wahhabisme mulai merasuk ke dalam tataran gerakan-gerakan massiv yang


cukup diperhitungkan terutama terbentuk dalam perhimpunan sosial seperti
Serekat Islam (SI) dan Muhammadiah yang menjadi masa baru gerakan di
Indonesia yang terorganisir. Penguasa Arab pernah mengudang kaum Islam
Indonesia untuk menghadiri kongres di Mekkah yang diwaliki oleh Cokroaminoto
dari SI dan KH. Mas Mansyur dari Muhammadiah.

Ada beberapa organisasi yang menganut paham Wahhabisme di Indonesia


antara lain : Jami’at Khair (1901), Sarikat Islam (1912), Muhammadiyah (1912),
Persatuan Islam / Persis, Jami’iyyat Al Islah wal Irsyad Madrasah Salafiah di
Indonesia dan lain – lain.5

5
http://nininghayuk.blogspot.co.id/2014/10/makalah-wahabi.html, Di akses Kamis 17
Desember 2015, Pukul 23:20 WIB.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dengan mengucapkan Alhamdlillah, akhirnya penulis dapat menyelesaikan
penulisan makalah ini, dan penulis ingin mencoba untuk menyimpulkan makalah
ini. Adapun kesimpulannya sebagai berikut:

1. Ketika Muhammad bin Abdul Wahab selesai menuntut ilmu, dan


Sesampainya di Uyaynah(kampung halamannya) ia mengasingkan diri dari
masyarakat selama delapan bulan untuk merenungi apa yang di peroleh-nya
dari perjalanannya dan membandingkannya dengan kenyataan yang
ditemuinya di daerah-daerah yang di kunjunginya. Setelah itu ia pun mulai
keluar menyampaikan dakwahnya kepada masyarakat. Pada mulanya dakwah
Muhammad bin Abdul Wahhab disampaikan dengan lemah lembut dan
disambut oleh masyarakat. Akan tetapi, tidak lama kemudian ia mendapat
tantangan dari masyarakat bahkan dari keluarga dekatnya seperti adiknya,
Sulaiman, dan keponakannya, Abdullah bin Hasan. Akhirnya ia
meninggalkan Uyaynah dan pindah ke Dira’iyah. Di sini ia disambut oleh
penguasa setempat, Muhammad bin Saud, dan berhasil menjalin kerja sama
dengan penguasa tersebut sehingga dakwahnya berjalan dengan lancar berkat
dukungan pemerintah. Dia menetap disini sampai akhir hayatnya tahun 1792
M (1206 H). Setelah Muhammad bin Abdul Wahhab dan Muhammad bin
Saud Wafat, anak-anak mereka saling berjanji satu akan meneruskan kerja
sama orang tua mereka dan akan bahu membahu dalam mensukseskan
dakwahnya.

2. Muhammad bin Abdul Wahab lahir di Uyaynah, Nejd, pada tahun 1703 M
(1115 H). Ayahnya Abdul Wahab, seorang hakim di Uyaynah dan menyusun
berbagai risalah mengenai fikih dan tafsir di samping mengajar fikih, tafsir

16
17

dan hadits di masjid Uyaynah. Sedangkan kakeknya Sulaiman bin Ali, adalah
seorang mufti penganut Mazhab Hanbali.

A. Saran

Pada penyusunan makalah ini kami sangat menyadari masih banyak terdapat
kekurangan-kekurangan yang terdapat di dalamnya baik berupa bahasa maupun
cara penyusunannya. Untuk itu kami mengharapkan kritik dan saran guna
menciptakan penyusunan makalah yang lebih baik lagi.
DAFTAR PUSTAKA

Mufrodi Ali, Islam Di Kawasan Kebudayaan Arab, (Jakarta: Logos), Cet. I, 1997

Rusli Ris’an, Pembaharuan Pemikiran Modern Dalam Islam, (Jakarta: Rajawali Pers),
Cet. II, 2014

http://nininghayuk.blogspot.co.id/2014/10/makalah-wahabi.html

Anda mungkin juga menyukai