Anda di halaman 1dari 97

`BAB I

PERKEMBANGAN DAN RUANG LINGKUP

PENDIDIKAN MORAL

A. Perkembangan Pendidikan Moral

Dalam perkembangan dan pertumbuhan arti Civics yang semua hanya

meliputi pengajaran tentang government saja. Namun dalam sejarah

perkembangannya mengalami perluasan cakupan yaitu timbul apa yang disebut

Community Civics dan Vocation Civics (Nu ,man Soemantri, 1977 dalm Bambang

Daruso, 1989:4)

Gerakan Community Civics pada tahun 1907 yang dipelopori oleh W.A.

Dunn adalah permulaan dari ingin lebih fungsionalnya pelajaran tersebut bagi para

pelajar dalam lingkungan atu kehidupan sehari-hari dan hubungannya dalam ruang

lingkup lokal, nasional dan internasional.ini disebapkan karena pelajaran Civics

pada ketika itu mempelajari Konstitusi Pemerintah saja, sedangkan lingkungan

sosial saja, sedangkan lingkungan sosial kurang diperhatikan.

Hampir bersamaan dengan timbulnya gerakan Community Civics,ada lagi

gerakan yang mirip yaitu gerakan Civics Education, sehubungan dengan Civics

Education, Ahmad Sanusi mengatakan bahwa: “Civics telah memilih orientasinya

1
pada fungsi pendidikan dalam arti usaha-usaha dan proses pembinanan warga

Negara”. Semua studi Civics berorientasi dan masuk ilmu politik kemudian

bergerak dan harus kerja sama dengan ahli-ahli (ilmu) pendidikan, sehingga Civics

sebagai suatu disiplin lebih bergerak dan berkembang menjadi program

pendidikan. Harus dibedakan, Civics bertugas mendeskripsikan dan menganalisis

bagaimana adanya kontinum variabel dari pada warganegara itu (dalam ceriteria

dan ukuran konstitusi) maka Civics Education bertugas: meluruskan, memperluas,

menyehatkan dan membina kontinum variabel tersebut pada kualitas dan taraf

yang lebih tinggi atau menunjukan alternativ jalan dan usaha-usaha karena itu

menurut criteria atau ukuran konstitusi.

Alasan timbulnya Civics Education hampir sama dengan alasan timbulnya

Community Civics, namun beberapa hal dapat diartikan lebih luas yang ditandai

oleh ciri-ciri sebagai berikut :

1. Civics Education meliputi seluruh program sekolah

2. Civics Education meliputi berbagai macam kegiatan pendidikan yang dapat

menimbulkanhidup dan tingkah laku yang baik dalam masyarakat yang

demokratis

3. Dalam Civics Education termasuk pul hal-hal yang menyangkut pengalaman,

kepentingan masyarakat, pribadi dan sayarat-syarat objektif untuk hidup

bernegara

2
Dalam hubungan ini Dimond dalam Bambang Daruso (1989 : 6)

mengemukakan bahwa : Civics Education in addition has also acquired abroad

meaning almost synonymous with disirabel personal gueliteris, with are displayed

in human assosiation. Artinya kurang lebih pendidikan kewarganegaraan lebih jauh

juga mempunyai arti luas hamper bersinonim dengan kualitas kepribadian yang

diwujudkan dalam kelompok-kelompok kemanusian (Diamond 1960:26).

Arti Civics Education yang diperluas oleh New Counsil for Social Studies

(NCSS) dengan rumusan sebagai berikut: “Citinzed-Sip Education is a process

comprising all the positive influences which are intended to shape a citecent view

ti his role in society. It comes partly from schooling, party from learning autside

the calss to gain an under standing of our national ideals, the common good and the

proses of self government.”artinya kurang lebih :pendidikan kewarganegaraan

adalah proses membandingkan seluruh pengaruh-pengaruh positif yang bakal

dipertajam pada pelajaran kewarganegaraan dalam perannya di masyarakat.hal ini

berarti bagian dari pendidikan formal, bagian dari pengaruh orang tua, bagian

pendidikan luar sekolah dan pendidikan dalam keluarga.melalui pendidikan

kewarganegaraan para pemuda dapat dibantu untuk mengikuti ide-ide nasioanl,

pemerintah yang baik dan proses pemerintahan.

3
Dari definisi tersebut dapat diketahui bahwa untuk membentuk warga

Negara yang berperan dalam masyarakat, warga masyarakat tersebut mendapat

pengaruh-pengaruh yang positif dari bahan-bahan yang berasal dari :

a. Pendidikan di rumah

b. Pendidikan di sekolah

c. Pendidikan di luar rumah dan sekolah

Unsur ini harus dipertimbangkan dalam penyusunan program Civics

Education yang diharapkan dapat menolong pelajar untuk:

1. Mengetahui, memahami dan mengapresiasi cita-cita nasional

2. Dapat membuat keputusan-keputusan yang cerdas dan bertanggung jawab

dalam berbagai macam masalah pribadi, masyarakat dan Negara.

Sebetulnya antara Civics Education tidak ada perbedaan , sebab jika diambil

dari perpustakaan di Amerika serikat mengatakan demikian. Buku-buku tentang

Civics Education selalu mengandung tujuan-tujuan yang disebut dalam Civic

Education.

Adapun obyek dari Civics dan Civics Education menurut Ahcmad Sanusi

dalam Bambang Daruso (1989:7) bahwa focus studi Civics adalah mengenai

kedudukan dan peranan warga Negara dalam menjalankan hak, kewajiban sesuai

dan sepanjang batas-batas ketentuan Konstitusi Negara yang

4
bersangkutan.selanjutnya titik tolak Civics adalah individu-individu sebagai

kesatuan mikro.

Variabel-variabel yang relevan dengan individu sebagai kesatuan mikro itu

adalah kontinum tingakah laku, potensi, kesempatan, hak dan kewajiban, cita-cita,

aspirasi, kesadaran usaha dan kegiatan, kemampuan, peranan hasil, dan potensi

kemampuan bermasyarakat dan bernegara sesuai dan sejauh yang diberikan

konstitusi negaranya.

Dalam hubungnnya dengan Civics Education oleh Achmad Sanusi

dikemukakan bahwa Civics telah memilih orientasinya pada fungsi pendidikan

dalam arti” usaha-usaha dan proses pembinaanwarga Negara”, dalam menganalisis

bagaimana adanya kontinum varabel para warganegara itu (dalam criteria dan

ukuran konstitusi). Maka Civics Education : meluruskan, memperluas ,

menyehatkan, mengembangkan, dan membina kontinumvariabel tersebut kepada

kualitas dan taraf yang lebih tinggi atau menunjukan alternatif jalan dan usaha

kearah itu menurut kriteria dan ukuran konstitusi.

Dari uarian tersebut Nampak bahwa: obyek Civics dan Civics Education

adalah warga Negara ( di Sekolah siswa), termasuk didalamnya tingkah laku ,

potensi, kesempatan, hak dan kewajiban, cita-cita dan aspirasi kesadaran usaha dan

kegiatan, kemampuan, peranan hasil dan potensi kehidupan bernegara dan

5
bermasyarakat.Numan Soemantri pun sependapat dengan hal tersebut dengan

mengatakan bahwa : “Dalam Civics itu bukan semata-mata mengakarkan

mengenai pasal-pasal Undang-undang Dasar, hal tersebut penting namun

hendaknya menceminkan hubungan tingkah laku Warganegara dalam kehidupan

sehari-hari dengan manusia dan alam sekitarnya karena itu materi Civics

hendaknya memasukan unsure:

1. Lingkungan fisik

2. Sosial, pendidikan kesehatan

3. Ekonomi, keuangan

4. Politik, Hukum, Pemerintahan

5. Etika, Agama

6. Pengetahuan, teknologi

B. Lingkup dan perkembangan pendidikan moral di Indonesia

Sejarah perkembangannya Pendidikan Moral di Indonesia tidak dapat

dilepaskan dari keadaan pendidikan sendiri.Dengan perkembangan tersebut

sehingga dapat dibagi berperiode guna dapat memudahkan untuk diketahui secara

jelas sebagai berikut :

1. Periode sebelum Tahun 1957

Pendidikan Moral sebelum menjadi mata pelajaran tersendiri terintegrasikan

kedalam pendidikan lainnya. Model Pendidikan padepokan misalnya ia

6
terintegrasikan kepada kanuragan (olah kanuragan). Pendidikan bela diri dan

dapat juga terintegrasikan kedalam olah kejiwaan atau olah keprajaan.Dalam

model pendidikan pesantren, Pendidikan moral diintegrasikan pada pendidikan

agama.

Pada pendidikan dalam keluarga, pendidikan moral tersirat dalam pemberian

contoh-contoh kelakuan yang baik, penanaman kebiasaan yang baik pada anak-

anak. Dapat dikatakan bahwa pada umumnya pendidikan di Indonesia sebelum

merdeka tidak melalaikn pendidikan moral.ia terintegrasikan kedalam mata

pelajaran budi pekerti.

Perkembangan Pendidikan Moral melalui pendidikan Agama atau melalui Budi

pekerti secara Formal disekolah terhenti secara resmi setelah diperkenalkannya

mata pelajaran baru yang diberi nama CIVICS pada Tahun 1952.

2. Periode Tahun 1952-1962

Pendidikan Moral melalui mata pelajaran CIVICS ini diajarkan di Sekolah baik

di Sekolah dasar maupun Sekolah lanjutan.Pada Tahun 1962 terbitalh sebuah

buku karangan Supardo dkk dengan judul “Manusia Baru Indonesia” yang

kemudian dijadikan sebgai buku teks disekolah .isi pelajaran Civics ini antara

lain pelajaran sejarah Nasional, sejarah proklamasi, UUD 1945 , dan pidato-

pidato kenegaraan dan pembinanaan kesatuan dan persatuan bangsa.

3. Periode 1962-1968

7
Pada tahun 1962 istilah Civics diterjemahkan menjadi kewarganegaraan.Tujuan

utama yang hendak dicapai dengan kewarganegaraan yang baik, keadaan ini

berlangsung sampai Tahun 1963 yaitu saat keluarnya dan diberlakukanya

kurikulum 1968

4. Periode 1968-1973

Dalam surat keputusan Menteri Pendidikan dan Kebuayaan NO 31/1967

Mata pelajaran Kewarganegaraan mencakup materi:

-Pancasila

-UUD 1945

-Ketetapan MPRS

-Pengetahuan tentang PBB

Dengan munculnya Kurikulum 1968 ada wadah baru bagi pendidikan Moral

dengan nama Pendidikan Kewarganegaraan (PKN).Tujuan yang hendak dicapai

dalam PKN ini ialah:

a. Menanam, memupuk, mengembangkan rasa beragama dengan berbakti kepada

TUhan Yang Maha Esa dan saling hormat –menghormati sesama insane

beragama

b. Memupuk dan mengembangkan rasa kekeluargaan

c. Memupuk dan mengembangkan rasa kebanggaan berbangsa, cinta tanah air dan

bangsa

8
d. Memupuk dan mengembangkan anak didik untuk menjadi Warganegara yang

Demokratis, cakap dan bertanggung jawab terhadap kesejahteraan bangsa dan

Negara

e. Menanam, memupuk mengembangkan sifat kewiraan

Demikianlah program pendidikan Kewarganegaraan seperti termuat dalm

kurikulum SD 1968.

Dalam Kurikulum 1968 tujuan pendidikan kewarganegaraan

dirumuskan:”membina didalam arti menanamkan, mengembangkan dan

memelihara jiwa dan moral yang baik berdasarkan pancasila”.dijelaskan lebih

lanjut bahwa yang dimaksud dengan Warga Negara yang baik adalah “Manusia

Indonesia yang cipta, rasa dan karsanya didasarkan pada nilai-nilai

pancasila”.kedua tujuan itu rasanya menunjukan belum adanya konsistensi antara

rumusan tujuan PKn dalam kurikulum SD 1968 dan rumusan tujuan dalam

kurikulum yang menunjukan bahwa baik jumlah jam maupun silabusnya antara

PKn di SMP umu dan kejuruan tidaklah sama. padahal apabila diingat bahwa

tujuan ini bersifat dasariah dan nasional dalah hal seharusnya terdapat konsistensi

baik jam yang diberikan maupun antara silabus antara seklah umum dan kejuruan.

Apabiala dilihat dari materi pokok yang dimuat dalam PKN dalam

kurikulum 1968 yang termasuk kelompok pembinaan jiwa Pancasila adalah

sebagai berikut:

9
a. Untuk Sekolah Dasar.

1.) Pengetahuan Kewarganegaraan

2.) Sejrah Indonesia

3.) Ilmu Bumi

b. Untuk SMP

1.) Sejarah Kebangsaan

2.) Peristiwa-peristiwa setelah proklamasi kemerdekaan

3.) Pancasila

4.) UUD !945

5.) Ketetapan MPRS

c. Untuk SMA

Uraian Pasal-pasal UUD 1945 yang dihubungkan dengan Tata Negara, Sejarah

Bumi, dan Ekonomi.

Walaupun bahan-bahan telah ditetapkan, namun tidak disertai penunjukan buku

teks pegangan guru oleh karena itu praktek pengajaran PKn dalam Kurikulum

1968 menunjukan adanya bermacam-macam buku teks.Guru mempergunakan

buku pegangan yang dimiliki dan murid jug mempergunakan buku teks yang

ada.

5. Periode Tahun 1973 -1975

10
Tahun 1973 merupakan babakan baru dalam sejarah pendidikan morl di

Indonesia . Majelis Permusyawaratan rakyat yang melaksanakan kedaulatan

Rakyat menetapkan dalam GBHN 1973 (Tap MPR No.1V/MPR/1973) antara lain

bahwa:

a. Pendidikan didasarkan pada falsafah Negara Pancasila

b. Kurikulum di semua tingkt pendidikan,harus berisikan pendidikan

Moral Pancasila.

Untuk melaksanakan amanat wakil-wakil rakyat itu kemudian dengan surat

keputusan Mentri pendidikan dan kebudayaan repoblik Indonesia tanggal 2 mei

1975 diberlakukan kurikulum baru di sekolah-sekolah dimana pendidikan Moral

Pancasila merupakan sala satu dari mata pelajaran.

6. Periode tahun 1975-1978

Sejak berlakunya Kurikulum 1975, pendidikan Moral pancasila sebagai sala

satu bidang studi perlu dicatat bahwa pendidikan Moral Pancasila (dalam

pendidikan dipakai P) . tidak hanya menjadi tanggung jawab dari moral pancasila,

hal ini jelas dari moral pancasila menjelaskan 1975 butir 3.

Tahun 1978 merupakan babakan berikutnya dari sejarah perkembangan

Pendidikan moral di Indonesia, Wakil-wakil rkyat dalam majelis permusyawartan

Rakyat telah menetpkan pedoman penghayatan pengalaman pancasila (P4).

Pedoman ini tercantum dalam ketetapan MPR NO II/MPR /1978. Dengan adanya

11
ketetapan ini bangsa dan rakyat Indonesia meliki penuntun dan pegangan dalam

kehidupan kemayarakatan dan kenegaraan yang tidak lain adalah pancasila yang

dirumuskan secara sederhana sehingga muda untuk dipahami, dihayati, dan

diamalkan.

Ketetapan ini harus diterima dan dijalankan dengan kesungguhan, keiklasan

hati, kejujuran, dan bertanggung jawab oleh setiap warga Negara Indonesia (Pasal

99 Tap I/MPR/1978) oleh karena itu diperlukan nilai-nilai pancasila yng

dirumuskan dalam P4 itu disebarluaskan dan dimasyraktkan.

Dampak dari ketetapan No. II/MPR/1978 terhadap kurikulum Pendidikan

moral Pancasila adalah diadakannya reorganisasi materi kurikulum PMP dengan

disesuaikan dengan P4, hal ini didasarkan pada surat edaran Direktur Jeneral

Pendidikan Dasar dn menengah No. 0377/C/1978 tanggal 8 juni 1978 yang

disesuaikan dengan P4, maka materi PMP lebih baik dan lebih menunjuk pada

pendidikan moral dibandingkan materi CIVICS, Kewargaan, Negara, atau

pendidikan kewarganegaraan, karena berorientasi pada nilai-nilai pancasila.

Namun demikian apabila dianalisis tujuan kurikuler dan tujuan instruksional

dalam kurikulum PMP 1975 yang seharusnya titik beratnya pada domein afektif,

masi menunjukkan titik berat pada domain kognitif. Lain dari pada itu sejak tidak

dipainya buku teks “Manusia Baru Indonesia” , Civics, Kewarganegaraan, ataupun

pendidikan kewargaan Negara tidak memiliki buku teks seragam. Tahun 1980
12
untuk Sekolah Dasar, maupun Sekolah lanjutan dipakailah buku teks hasil

penulisan sebuah tim. Sebelum keluarnya buku teks yang resmi ini atas dasar surat

edaran Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah No.094/C/Kep/1978 dipakailah

untuk SD dan sekolah lanjutan.

Buku-buku teks yang disusun oleh Laboratorium Pancasila IKIP Malang

yang diterbitkan oleh Gita Karya, dengan adanya buku teks yang esmi ini maka

buku-buku teks yang disusun oleh Laboratorium Pancasila IKIP Malang tidak

dipergunakan lagi.

Pendidikan Moral Pancasila (PMP) adalah suatu bidang studi yang

dilakukan oleh semua lembaga pendidikan sekolah dalam system pendidikan

nasional pancasila. Dari namanya itu jelaslah bahwa program atau kegiatan ini

adalah suatu program pendidikan dan berlangsung dalam suatu proses pendidikan

pula. Berbicara tentang pendidikan moral pancasila sebagai suatu proses

pendidikan maka kegiatannya menyangkut usaha sadar tentang pembentukan sikap

atau mental dan mengrah kepada perilaku, pengalaman dari seseorang sebgai

seorang warga Negara Republik Indonesia. Pada pengertian itu jelaslah pula bahwa

PMP itu bukan hanya suatu proses pengajaran (pengalihan pengetahuan belaka)

karenaitu ia tidak dianamakan “Pelajaran Pancasila”. Dari pengetahuan ilmi

pendidikan kita dapat mengetahui bahwa ada perbedaan pengertian antara

penidikan dan pengajaran.


13
PMP itu merupakan suatu proses manunggal dari pengalihan

pengetahuan/pemahaman tentang pancasila, pembentukan sikap dan pribadi yang

berisikan/berjiwa nilai-nilai moral pancasila dan menanamkan

keterampilan/kemampuan untuk menghayati mengamalkan pancasila. Pengertian

itu pula haruslah melandasi seluruh sistem, baik penyusunan materi, metode

penyajian dan cara-cara mengevaluasi atau menilai tingkat keberhasilan PMP itu.

Selain itu , karena GBHN (ketetapan MPR No. IV /MPR/1978 menetapkan:

Bahwa pendidikan harus mengambil langkah-langkah yang memungkinkan

penghayatan dan pengamalan pancasila bagi seluruh masyarakat, dapat pula

diartkan bahwa pendidikan moral Pancasila (PMP) adalah pendidikan

pemasyarakatan P4 melalui jalur pendidikan formal (sekolah)

7. Periode 1987-1994

Pada periode ini pendidikan moral di sekolah masi PMP, dengan tetap

merujuk pada P4. Pada periode ini pula lebih dipermantap lagi pendidikan moral

dengan diadakannya penataran-penataran P4 bagi siswa baru, hal ini dimaksudkan

untuk lebih membudayakan P4 sebagai penjabaran nilai-nilai pancasila yang lebih

sederhana, dipahami, dan diamlkan dalam kehidupan sehari-hari. Buku-buku teks

pada periode ini memunculkan sebagai buku suplemen yang tetap mengacu pada

kurikulum PMP.

8. Periode 1994-sekarang
14
Sejak tahun 1994 diberlakukan kurikulum bary yang merupakan revisi

terhadap kurikulum sebelumnya. Pada periode ini pendidikan moral mengalami

perubahan seiring dengan dinamika kenegaraan dan perubahan sosio-budaya dalam

kehidupan masyarakat.

Pendidikan moral sebelumnya adalah PMP dengan mengacu pada P4,

kemudian berubah menjadi PPKn (Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan)

dengan tetap mengacu pada P4. Selanjutnya menyikapi perkembangan

ketatanegaraan yang begitu cepat, PPKn tidak lagi merujuk pada P4 sebagai

konsekuensi dari dicabutnya Tap MPR No II Tahun 1978 tentang P4 pada siding

istimewa MPR Tahun 1998. Pada periode ini pendidikan moral memasuki lagi-

lagi memasuki babakan baru.

Dalam perjalanan sejarah eksistensi pancasila sebagai dasar filsafat Negara

RI, kemudian oleh generasi berikutnya melihat ada upaya menjadikan pancasila

tidak lagi sebagai dasar filsafat Negara, melainkan direduksi, dibatasi dan

dimanipulasi demi kepentingan politik penguasa pada saat itu. Kenyataan inilah

memicu lahirnya gerakan reformasi yang direalisasikan melalui Tap SI MPR

No.XVIII/MPR/1998 disertai dengan pencabutan P4 dan sekaligus juga dengan

pencabutan pancasila sebagai satu-satunya azas bagi orsospol dan ormas di

Indonesia. Tap tersebut juga mencabut mandat MPR yang diberikan kepada

15
presiden atas kewenangannya untuk membudayakan pancasila melaui P-4 dan azas

tunggal pancasila.

Fakta inilah kemudian member warna bagi pendidikan moral di sekolah.

Untuk menyesuaikan diri terhadap perubahan ketatanegaraan tersebut maka

kemudian dirumuskan Kurikulum1994 Suplemen GBPP 1999 sebagai revisi dan

penyempurnaan kurikulum 1994. Tidak terhenti sampai disitu,penyempuranaan

terus dilakukan dengan keluarnya kurikulum 2001 (sementara diuji cobakan pada

beberapa sekolah di jakarta) yaitu Kurikulum berbasis kompetensi. Pada kurikulum

baru ini PPKn berubah menjadi Kewarganegaraan dan sejarah. Demikianlah

sejarah singkat perkembangan pendidikan moral di Indonesia. Mengenai materi-

materi pembelajarannya akan dikaji lebih lanjut dalam perkuliahan pengkajian

buku teks.

16
BAB II

PENGERTIAN, LAPANGAN DAN

PENDIDIKAN MORAL

A. Pengertian pendidikan Moral

Masa depan nasib umat manusia sangat tergantung pada jenis dan kwalitas

pedidikan yang diterima oleh anak-anak diseluruh dunia pada waktu sekarang. Jika

kita menghendaki masyarakat manusia yang damai, aman, penuh rasa

persaudaraan, kebersamaan saling memajukan dan meninggikan harkat dan

martabat manusia dan ummat manusia, maka usaha-usaha kearah itu harus

dilakukan melalui pendidikan yag harus diberikan kepada anak-anak diseluruh

dunia. Oleh karena keserakaan, kesewenang-wenangan, perhambaan , penjajahan,

penindasan,peperangan pada hakikatnya juga dimulai dan bersumber pada jiwa-

jiwa manusia, maka pembangunan kearah kedamain kesentausaan juga harus

dimilai dari jiwa-jiwa manusia.

Keseluruhan upaya pendidikan pada dasarnya adalah suatu proses

pembentukan dan pembangunan anak seutuhnya (Childrens minds). Ini

menyangkut pengembangan keseluruhan potensi yang dimiliki anak.

17
Program pendidikan meliputi pendidikan untuk mengetahui (education for

Knowing), pendidikan untuk berbuat (education for doing) dan pendidikan untuk

menjadi (education for becoming).

Pendidikan untuk mengetahui adalah satu kebutuhan dasar, oleh Karena

manusia adalah mahluk yang berfikir (homosapiensis). Sebagai mahluk yang

berfikir, manusia mempunyai sifat ingin tahu (cutiouity).

Akal bagi manusia merupakan alat berfikir untuk mengetahui sesuatu. Asal

(potensi) tahu manusia merupakan pembawaan kodrat manusia yang dikaruniakan

oleh Allah pada penjadian manusia pertama yakni Adam (Nabi Adam a.s).

Karena itu manusia senantiasa digalakkan oleh Allah untuk menggunakan

akal pikirannya dalam menghadapi segala persoalan hidup dan kehidupan. Karena

itu pendidikan untuk mengetahui (education for knowing) dipandang satu

kebutuhan dasar dan merupakan kewajiban manusiawi untuk memupuk dan

mengembangkannya.

Dengan akal pikiran yang dimiliki, manusia dapat mengembangkan diri

menjadi mahluk yang berbudaya, melahirkan kebudayaan sebagai usaha manusia

untuk melengkapi serta mengembangkan hidup dan kehidupan dirinya dan

masyarakatnya. Akan tetapi dengan akal pikiran yang dikembangkan, bukan saja

dapat mengantarkan manusia kearah hidup yang lebih baik dan maju tetapi,

18
sebaliknya dapat pula menjerumuskan manusia kearah kehancuran. Disinalah

pentingnya sisi lain dari pada pendidikan yakni pendidikan menjadi (education for

becoming).

Masalahnya, bukan hanya bagaimana mendidik manusia (anak) untuk tahu,

akan tetapi yang sangat penting lagi adalah bagaimana mendidik manusia (anak)

menjadi manusia yang manusiawi. Ini menyangkut pendidikan moral, untuk

mengembangkan potensi moral sebagai kebutuhan dasar bagi mewujudkan

kehidupan yang aman, damai dan tentram pada ummat manusia. Since wars begin

in the minds of men that the defenses of peace must be constructed, demikian

diterangkan dalam pembukaan konstitusi Unesco.

Akal pikiran mengantarka manusia sebagai mahluk yang berbudaya dan

melahirkan kebudayaan, sedang moral mengantarkan manusia menjadi mahluk

yang beradab dan melahirkan peradaban. Hazairin (1974:76) membedakan

pengertian kebudayaan dan peradaban. Kebudayaan itu terutama menunjuk kepada

bentuk luarnya, sedangkan peradaban itu menunjuk kepada keadaan jiwa atau

keadaan batin yang menjadi sumber dan cermin bagi segala yang zahir itu. Rasa

moral adalah pembawaan manusia sewaktu lahir dan selama berabad-abad ia telah

menjadi ukuran tingkah laku moral dari manusia biasa, yang membenarkan sifat-

sifat lainnya. Sementara kesanggupan intrinktif itu dapat berbeda-beda dari

manusia yang satu dengan manusia yag lain, kesadaran batin manusia telah
19
memberikan suatu putusan yang lebih kurang seragam sifatnya dalam

membenarkan tingkah laku moral (moral behavior) tertentu sebagai baik dan

mengatakan tingkah laku lainnya sebagai buruk.

Dalam kenyataannya ukuran tingkah laku moral yang dip-wenaganandang

sebagai baik dan tingkah laku lainnya sebagai buruk tidak sama dianut oleh

ummat manusia sebagai individu, masyarakat, atau sebagai sesuatu bangsa.

Kesewenang-wenangan, keserakaan , ketidak adilan, kekejaman, kesadisan yang

terdapat dalam kehidupan manusia dari dahulu sampai sekarang selalu merupaka

masalah besar yang dihadapi manusia. Meskipun Tuhan Yang Maha Esa telah

menurungkan para Nabi, dan Rasul untuk menyempurnakan akhlak manusia,

namun karena banyak dari umat manusia yang tidak mau percaya dan

menjalankannya, maka tingkah laku manusia berputar disitu-situ juga, tidak seperti

melajunya ilmu dan teknologi yang dicapai oleh manusia.

Ini adalah masalah moral, masalah tingkah laku moral, masalah budi pekerti,

masalah akhlak manusia. Adalah kebutuhan umat manusia untuk berusaha

mendidik manusia (anak) menjadi manusia yang menghargai, menghormati, dan

menjungjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Memandang manusia sebagai manusia

serta memperlakukan sebagai manusia merupakan kewajiba manusiawi dari

setiapmanusia. Ini merupakan kompetensi pendidikan moral.

20
Pendidikan moral dapat dipandang sebagai pendidikan untuk membantu

anak menjadi :

1.) Menjadi warga masyarakat, warga Negara, dan warga dunia yang bertanggung

jawab. Rasa tanggung jawab ini dapat tumbuh apabila tertanam kesadaran bahwa

manusia bukan hanya merupakan milik masyarakatnya, negaranya, tetapi uga

merupakan milik ummat manusia. Baik masyarakatnya, Negara, maupun dunia

(umat manusia) memberikan makna bagi hidup dan kehidupannya, karena layak

apabila hidupnya memberikan arti masyarakat, Negara, dan umat manusia.

2. ) Tumbuh menjadi mahluk social yang universal, yang mengatasi tembok-

tembok pembatas (Norroow boundries) yang membagi atau memisahkan manusia

karena perbedaan ras, agama, kebangsaan, dan ideology.

3.) Menyadari dengan sungguh-sungguh bahwa seluruh umat manusia adalah satu

keluarga dan permasalahan manusia diatas bumi ini adalah masalah semua dan

hanya dapat diatasi dengan usaha bersama dari semua orang.

4.) Memiliki rasa kebanggaan atas sumbangan yang diberikan oleh kebudayaan

yang dimilikinya bagi kemajuan dan kesejahteraan umat manusia, bangsa, dan

agama.

21
5.) Menyadari kemungkinan perkembangan yang dimiliki secara maksimun dan

juga memperkirakan tanggung jawab yang dapat diberikan untuk membantu orang

lain.

6. ) Memelihara hasil-hasil yang dicapai sebagai kekayaan dunia , sebagai hasil

dari perubahan yang cepat dan mempersiapkan secara lebih baik untuk masa depan

kehidupan yang arah perkembangan itu sendiri tidak begitu pasti.

Hasil-hasil yang dicapai oleh ilmu dan teknologi mendatang dan

kemanfaatannya bagi umat manusia merupakan milik dunia (umat manusia) dan

bukan haya milik orang atau bangsa yang menemukannya.

Pendidikan moral menyangkut pembinaan sikap dan tingkah laku moral baik

atau budi pekerti yang baik. Apakah yang dimaksud budi pekerti ? Imam Al-Gazali

(1975:505) menjelaskan bahwa hakikat dari pengertian budi pekerti ialah suatu

hakikat atau bentuk dari sesuatu jiwa yang benar-benar telah meresap dan dari

situlah timbul berbagai perbuatan dengan secara spontan dan mudah, tanpa dibuat-

buat dan tampak membutuhkan pemikiran atau angan-angan.

Apabila dari haiat tadi timbul kelakuan-kelakuan yang baik dan terpuji

menurut pandangan Syari,at dan akal pikiran, maka haiat yang sedemikian itulah

yang dinamakan budi pekerti yang baik. Sebaliknya apabila yang timbul dari

22
padanya itu kelakuan-kelakuan yang buruk, maka haiat yang sedemikian itulah

yang dinamakan budi pekerti yag buruk pula.

B. Lapangan pendidikan moral

Lapangan pendidikan moral tidak hanya paling abstrak dan kadang-kadang

menimbulkan kontroversi karena adanya penglihatan yang berbeda, akan tetapi

juga paling sulit dirumuskan dalam satu pengertian yang konkrit. Ini disebapkan

oleh berbagai faktor, antara lain tujuan yang tidak jelas dan konkrit, ukuran –

ukuran moral yang dipersyaratkan. Dalam pandangan Islam, pendidika akhlak

mempunyai tujuan yang konkrit dan punya contoh penterapan yang konkrit

dipersyaratkan. Dalam pandangan islam, pendidikan akhlak mempunyai tujuan

yang konkrit dan punya contoh penerapan yang konkrit. Bila tugas Nabi

Muhammad SAW adalah untuk menyempurnakan akhlak atau budi pekerti

manusia, maka polanya adalah menurut AL-Quraan yang dicontohkan dalam sikap,

ucapan, dan perbuatan Nabi sehari-hari. Kemudahan seperti itu tentu sulit

ditentukan dalam pendidikan moral karena pendidikan moral bersifat abstrak,

tujuannya tidak konkrit, polanya tidak jelas, dan tidak memiliki contoh-contoh

yang konkrit dalam sikap dan perilaku tertentu kepada seseorang.

Seseorang negarawan berbicara mengenai loyalitas, kebenaran, patriotism,

kewajiban warga Negara. Seorang filosof berbicara mengenai manusi-manusia

23
yang menaruh rasa hormat terhadap hak-hak orang lain, mentolerir adanya

perbedaan –perbedaan antara manusia, bagaimana perbuatan yang layak dan tidak

layak dilakukan. Seorang Psikolog membuat daftar nilai-nilai moral yang berkaitan

dengan hukum, hidup dengan kekayaan, mendorong pilihan-pilihan yang

menyangkut pilihan-pilihan diantara nilai-nilai yang bertentangan dengan situasi

senyatanya. Guru boleh setuju dengan seluruh pernyataan itu dan berusaha

memberikan formulasi yng baik guna dikembangkan disekolah.

Baik dalam diri individu, dalam masyarakat dan pada tingkat kehidupan

nasional terdapat perbedaab besar antara ajaran moral yang diterima dan

seharusnya ditegakkan (das sallen) dan kenyataan dalam prakteknya (das sein)

keadaan seperti ini menginginkan kita akan pentingnya kurikulum tersembunyi

(hidden curriculum).

Agama mengajarkan akhlak (budi pekerti yang baik), keseimbangan antara

kehidupan dunia dan akhirat, keseimbangan antara pembangunan material dan

spiritual, adanya hari perhitungan (hisab) dihari kemudian dimana seluruh

perbuatan manusia selama didunia akan mendapat balasan, adanya hidup sesudah

mati, adanya sorga dan neraka sebagai tempat menerima balasan dari perbuatannya

di dunia.

24
Agama mengajarkan persamaan, persaudaraan, kekeluargaan, kasih sayang,

berlaku adil, jujur, suka berbuat kebijakan bagi kemaslahatan ummat manusia.

Agama mengajarkan agar memperhatikan kehidupan golongan tidak punya (the

have not), membantu kaum yang lemah. Pelaksanaan pelajaran agama diberikan

contohnya dalam kehidupan Nabi dan Rasul senyatanya. Namun demikian, masih

banyak terjadi pengabaian, pelanggaran, terhadap ajaran dan anjuran agama.

Dibanyak Negara, kompetensi pendidikan moral ini hampr seluruhnya

digantunkan kepada pendidikan agama untuk membangun watak anak-anak. Disegi

lain ada Negara yang melarang pendidikan agama disekolah-sekolah, karena itu

terdapat perbedaan pandangan mengenai konsep pendidikan moral.

Meskipun pendidikan moral sulit dirumuskan definisinya, namun terdapat

satu kesamaan pandangan bahwa istilah pendidikan moral harus meliputi

keseluruhan kegiatan di sekolah atau diluar sekolah yang akan membantu siswa :

1. Mengembangkan personal yang diinginkan, kebiasan-kebiasaan sosial dan

kecakapan-kecakapanyang berhubungan dengn kebersihan, kejujuran, ketelitian,

akan waktu, kerja sama, disiplin, percaya pada diri sendiri, dan seterusnya.

2. Mengembangkan atribut-atribut sosial seperti simpati, kebaikan hati, (termasuk

kebaikan hati terhadap binatang dan tumbuhan), patriotism, martabat manusia,

25
kejujuran, keadilan, toleransi, kebenaran, menghormati individu dan jiwa

demokratis.

3. memperoleh pengetahuan prinsip-prinsip moral dan mengembangkan

kemampuan (kesanggupan) membuat pertimbangan-pertimbangan moral

4. Menemukan hakikat kehidupannya, memperoleh kedamaian diri dan

mengembangkan kekuatan watak

C. Tujuan pendidikan moral

Pada umumnya Negara-negara di asia tujuan pendidikan moral kurang lebih

ialah:

(1) Perkembangan kepribadian anak seutuhnya baik fisik, mental, emosional, dan

aspek-aspek spiritual.

(2) Menanamkan contoh-contoh yang baik mengenai warga Negara, tanggung

jawab dan kerja sama.

(3) Mengembangkan rasa hormat atau menghormati martabat individu dan

kesucian hak-hak asasi manusia yang fundamental.

(4) Menanamkan jiwa-jiwa patriotismedan integrasi-integrasi nasional.

(5) Mengembangkan cara hidup dan berfikir yang demokratis

26
(6) Mengembagkan sikap toleransi dan pengertian terhadap perbedaan agama dan

keyakinan.

(7) Mengembangkan rasa persaudaraan, persahabatan, baik disekolah, pada

tingkat nasional maupun internasional.

(8) Membantu anak menumbuhkan keimanan dan kepercayaan terhadap

kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa yang menguasai dan mengatur seluruh

alamdan kehidupan manusia (khususnya bagi masyarakat yang percaya

kepada Tuhan Yang Maha Esa.

(9) Memberikan kemampuan kepada anak untuk membuat keputusan –keputusan

moral yang dianut dan dijunjung tinggi oleeh masyarakat.

Bobot tujuan-tujuan tersebut berbeda dari satu Negara-kenegara lain. Namun

pada umumnya semua kurikulum pendidikan moral memberikan tekanan pada

nilai-nilai umum yang berbeda menurut tingkat pendidikan. Termasuk didalam

nilai-nilai umum adalah sebagai berikut :

(1) Pada tingkat sekolah dasar, tekanannya diletakan pada :

- Contoh-contoh kehidupan yang baik

- Pentingnya memelihara ketertiban

27
-Ketelitian waktu dalam arti menggunakan waktu secara teratur, menghargai

waktu

- Disiplin

- Kebersihan hati, (tidak merasa benci, tidak hasut, tidak khianat kepada

orang lain)

- Mencintai kebersihan, keindahan

- Suka bekerjasama dengan orang lain

- Kejujuran (dapat dipercaya, tidak berdusta/berkata benar

- Kebaikan hati, (mau menolong sesame manusia, bersahabat, bersaudara,

rasa kekeluargaan)

- Perbuatan yang benar (menyukai/senang melakukan perbuatn yang benar)

(2) Pada tingkat sekolah menengah, tekanananya, diletakan pada:

- Patriotisme

-Manusia

- Keadilan

- Toleran

28
- Persaudaraan sesama manusia

- Martabat Individu

- Jiwa yang demokratis

- Pengertian (saling adanya pengertian) sesame penagamat agama yakni

toleransi antar ummat beragama.

- Pengertian internasional

- Kekuatan watak

- Kemampuan untuk membuat pertimbangan-pertimbangan moral

- Kemampuan untuk mengambil atau membuat keputusan-keputusan moral,

dst.

Pada umumnya nilai-nilai sosial mendapat tempat penting dalam kurikulum

pendidikan moral dewasa ini. Hal ini dilakukan untuk memelihara kemungkinan

perubahan-perubahan struktur sosil politik. Nilai-nilai ini menjadi pengharapan

dari anggota masyarakat dan juga membantu warga Negara berkembang

sepenuhnya sesuai dengan tuntutan nilai-nilai sosial. Pada Negara yang menganut

system pemerintahan monarkhi, menghormati raja masi dipandang sebagai nilai

yang penting. Demikian juga kemerdekaan berfikir dan mengeluarkan pendapat

merupakan suatu nilai yang tekanannya tidak sama di semua Negara. Beberapa
29
Negara sangat menjunjung tinggi nilai tersebut, sedangkan Negara-negara lainnya

kurang mementingkan nilai tersebut.

Apeid (1980:4) merumuskan beberapa tujuan (objectives) pendidikan moral.

Tujuan-tujuan yang dimaksudkan untuk mengembangkan nilai-nilai moral dalam

program pendidikan umum. Diantaranya yang terpenting ialah:

(1) Membantu siswa menghargai dan mempratekkan nilai-nilai masyarakatyang

dikehendaki dimana dia hidup dan dunia yang luas pada umumnya.

(2) Memelihara sikap-sikap dan nilai-nilai yang akan memberikan sumbangan bagi

kedamaian yang stabil dan ketertiban sosial yang membahagiakan. Beberapa

diantara nilai-nilai dan sikap-sikap yang dikehendaki ialah:

- Persaudaraan yang universal dari manusia

- Kebenaran tindakan

- Kejujuran

- Tanggung jawab

- Toleransi

- Sikap-sikap religious dan demokratis.

Pendidikan moral pada dasarnya bertujuan untuk mengembangkan nilai-nilai

personal dan sosial yang telah diterima oleh masyarakat. Nilai-nilai personal dan

30
sosial yang hendak ditanamkan melalui pendidikan moral menurut Apeid,

meliputi:

- Disiplin

- Kejujuran

- Keadilan

- Kerjasama

- Semangat pelayanan sosial

- Kepemimpinan

- Suka menolong

- Martabat manusia

- Hormat dan cinta akan kemanusiaan

- Berdiri sendiri

- Kebaikan hati

- Emosi yang stabil

- Rasa tanggung jawab

- Inisiatif

- Keteraturan dan ketelitian waktu

- Kebersihan (mencintai kebersihan)

- Percaya pada diri sendiri

- Tindakan yag benar

31
- Toleransi

- Kesopanan

- Kehalusan budi bahasa

- Rasa keindahan

- Bersikap riang.

32
BAB III

ARTI DAN HUBUNGAN ANTARA

MORAL, NILAI, SIKAP DAN TINGKAH LAKU

A. Pengertian Moral

Dari segi etimologis perkataan moral berasal dari bahasa Latin, yaitu

“Mores” yang berasal dari suku kata Mos, Mores berarti: adat istiadat, kelakuan,

tabiat, watak akhlak. (K.Prent.S.m. et al 1969, Kamus Latin Indonesia, p. 548).

Dalam perkembangannya kemudian, mores diartikan sebagai kebiasaan

dalam bertingkah laku yang baik, yang susila. Oleh karena itu moral data diartikan

sebagai ajaran keksusilaan. Moralitas berarti hal mengenai kesusilaan. Kesusilaan

berasal dari ke-susila-an. Kesusilaan berarti kesopanan, sopan santun, keadaban.

(W.J.S Poerwadarminta, 1976: 1982).

Verkuyl mengatakan bahwa moral sering disamaratakan dengan etika.

(J.Verkuyl, Etika Kristen I. p.4). Etika mempunyai arti yang lebih dalam dari pada

33
moral. Perkataan moral sudah mempunyai arti yang mendangkal yang hanya

berarti kelakuan lahir seseorang. Sedang etika selain menyinggung tingkah laku

lahir ia juga menggarap kaidah-kaidah dan motif-motif perbuatan. Kata Etika

berasal dari bahasa Yunani ethos dan ethos atau ta ethika dan ta ethika. Kata ethos

artinya kebiasaan, adat. “Ethos” dan ethikos berate kesusilaan, perasaan batin atau

kecendrungan hati dengan mana orang melakukan suatu perbuatan.

W.J.S. Poerwadarminta (1946:278) member keterangan bahwa moral adalah

ajaran tentang baik buruknya perbuatan dan kelakuan, sedang etika adalah ilmu

pengetahuan mengenai asas-asas akhlak.

Frans Von Magnis Suseno (1977:71) dari sudut filsafat membedakan etika

dan ajaran moral. Ajaran moral selalu berkaitan dengan pernyataanapakah

sebenarnya yang saya lakukan, sedang etika berkaitan dengan pertanyaan

“Bagaimana caranya untuk menentukan apa yang sebenarnya saya lakukan”. Von

Magnis menyatakan bahwa ajaran morala adalah rumusan yang sistimatik tentang

apa-apa yang dianggap bernilai dan kewajiban-kewajiban manusia. Etika menurut

Von Magnis adalah ilmu tentang norma-norma, nilai-nilai dan ajaran moral.

Cohrane memberikan definisi dilihat dari segi pendidikan. Moral atau

moralitas adalah kemampuan untuk mengetahui apakah yang seharusnya diperbuat

oleh seseorang. Moral, dalam kaitan dengan pendidikan moral tidak hanya

34
berkaitan dengan perbuatan baik dan buruk saja (ajaran moral) melainkan

seyogyanya berkaitan dengan apa dan mengapa. Artinya secara rasional dicari

alasan mengapa suatu perbuatan itu dinamakan perbuatan baik yang seharusnya

dilakukan, dan mengapa suatu perbuatan lain itu disebut perbuatan yang buruk

tidak boleh dilakukan.

Atas dasar yang demikian maka dalam pendidikan moral, penalaran moral

juga mendapat perhatian. Oleh karena itu dalam pendidikan Moral perkataan moral

dan etika dipakai dalam pengertian sama. Moral menurut ajaran tentang baik

buruknya perbuatan dalam pendidikan moral, penalaran perbuatan itu juga

mendapat tempat yag cukup untuk dapat mencapai tujuan pendidikan moral:

Terwujudnya manusia dewasa dari segi moral.

Perbuatan mana yang merupakan perbuatan baik dan perbuatan mana yang

dianggap sebagai perbuatan jelek adalah hasil penilaian. Perbuatan yang dinilai

dari segi moral adalah perbuatan-perbuatan yang dilakukan dengan sengaja

(intensional).

Mengapa perbuatan yang disengaja yang dapat dinilai dari segi moral?

Perbuatan yang disengaja adalah perbuatan yang dilakukan dengan kesadaran akan

arti dan akibat perbuatannya. Perbuatan itu diketahui terlebih dulu akibat-akibat

apa yang mungkin ditimbulkannya. Perbuatan itu dan akibatnya tidak saja

35
diketahui melainkan juga dikehendaki. Perbuatan itu timbul dari keputusan

kehendak bebas manusia.

Tidak semua perbuatan manusia timbul dan yang tidak kehendak bebas

manusia. Ia dapat timbul dari refleks, gerak-gerak otot yang tidak disadari dan

tidak dikehendaki. Perbuatan yang timbul dari manusia yang dalam keadaan

mabuk atau dihipnotis adalah perbuatan-perbuatan tidak dari kehendak bebas

manusia. Pada orang yang mabuk perbuatan itu tidak disadari dan tidak diketahui

maknanya, karena pertimbangan nalarnya terganggu oleh alkohol, sehingga nalar

tidak berfungsi dengan baik. Pada orang yang dihipnotis kesadaran dan kehendak

orang itu tidak berfungsi.Perbuatannya tidak disadari karena kesadarannya dikuasai

oleh kesadaran yang menghipnotis perbuatan yang demikian itu dapat dinilai dari

segi moral.

Perbuatan yang dilakukan karena dalam keadaan yang memaksa

(overmacht) atau dalam keadaan bela paksa (nood weer) dari segi etika

(situasional) merupakan perbuatan yang dapat melepaskan perbuatannya dari

pertanggung jawaban baik-buruknya perbuatan karena perbuatan itu dilakukan

dalam keadaan yang psikologis tidak memungkinkan mengadakan pertimbangan

lebih dahulu baik buruknya perbuatan.

36
Adanya kehendak bebas untuk menentukan perbuatan merupakan syarat

penilaian etis atas perbuatan. Namun demikian dalam kenyataannya orang menilai

perbuatan orang lain jug tampak menyelidiki apakah perbuatan itu keluar atas

keputusan kehendak yang bebas atau tidak. Menilai perbuatan tentu didasarkan

pada nilai-nilai yang dimiliki. Pertanyaan berkenan dengan ini adalah apakah nilai?

B. Pengertian Nilai

Dari segi etimologis nilai berarti harga, hal-hal yang penting atau berguna bagi

manusia. (W.J.S.Poerwodorminto, 1976:677). Dalam ilmu-ilmu sosial perkatan

nilai menunjukkan beberapa arti, yaitu :

(1) Unsur-unsur dari objek yang relevan dengan perhubungan antara orang yang

diobservasi dengan benda.

(2) Relevansi objek atau unsur-unsurnya dengan sikap dan keinginan orang yang

diamati.

(3) Suatu standar (dalam kebudayaan) untuk mengukur relevansi moral, estetika

dan kognitif dengan sikap keinginan dan kebutuhan dan yang diselidiki.

(4) sesuatu yang berguna bagi subjk.

37
(5) Suatu konsep yang implisit atau eksplisit yang membedakan yang ada pada

individu atau karakteristik kelompok yang diingini yang mempengaruhi

pemilihan cara, alat, dan tujuan suatu perbuatan.

Untuk dapat memberikan gambaran apakah sebenarnya nilai itu, dapat

dikemukakan ilustrasi sebagai berikut : ada gunung, lembah dan persawahan.

Seseorang memandang gunung, lembah dan persawahan dari segimkeindahannya.

Ia menjadikan objek objek itu sebagai objek lukisannya, kalau ia seorang pelukis.

Gunung, sawah, dan lembah dapat menjadi objek bagi puisi penyair. Orang lain

akan mempertanyakan soal berapa ton padi dapat dihasilkan dan berapa harganya

karena ia seorang ahli ekonomi. Orang lain bertanya betapa besar hasilnya bagi

kegunaan kehidupan manusia dalam memenuhi kebutuhannya. Dari contoh tadi,

sipelukis dan penyair akan melihat dari keindahan, ahli ekonomi melihat dari segi

ekonomi, yang lain meletakan nilai vital pada gunung, sawah dan lembah.

Pertanyaan masi belum terjawab : Apakah nilai? Sementara dapat dijawab

secara umum dan sederhana. Sesuatu itu berguna bagi seseorang apabila sesuatu

itu berfaedah bagi orang lain. Marilah contoh tersebut dilanjutkan. Dari

pengalaman nilai manusia terdorong kearah realitas. Dalam gerak itu manusia

sudah memandang dirinya sebagai bersatu dengan nilai. Bila persatuan itu tercapai

maka nilai sungguh-sungguh tercapai. Artinya nilai itu ada pada subjek. Gunung.

Lembah, persawahan, nilai (estetika)nya akan terwujud secara penuh apabila


38
pelukis memandang secara puas lukisannya. Oleh karena itu ada yang mengatakan

bahwa nilai itu suatu Fullfilment of tendency. Denga demikian, apakah tidak ada

nilai diluar pemenuhan tendensi ?

Pertanyaan diatas harus dijawab ada. Katakanlah masi merupakan Sesutu

nilai potensial. Baru bernilailah sesuatu apabila ada aktifitas manusia (subjek) dan

berarti bagi subjek. Nilai sesutu selalu berarti nilai untuk subjek

(subjektsbezogenheit). Sesuatu itu bernilai karena dan dalam perhubungannya

dengan subjek. Suatu benda memang memiliki nilai potensial, dan baru

mempunyai nilai (riil) bagi manusia karena bertemu dengan penilaian manusia

(subjek) terhadap benda (objek) itu. Pertimbangan itu berdasarkan atas kesadaran

manusia. Dalam pertimbagan itu tersimpul adanya penilaian. Ada nya penilaian

terandaikan adanya kebebasan. Oleh karena itu kehendak bebas dalam menentukan

pilihan amat penting dalam penilaian. Sekedar satu contoh lagi, batu akik baru

memiliki nilai potensial. Ia baru bernilai apabila ada seseorang yang memang

menilai batu itu berharga bagi dia. Nilai batu akik baru menjadi riil kalau ada

pertemuan nilai antara objek dan subjek. Bagi orang yang tidak memberikan

penilaian bahwa batu akik itu berguna, maka batu akik itu berguna, maka batu akik

itu tidak bernilai.

39
Nilai-nilai yang dipegang dan diyakini kebenarannya akan menentukan

sikap, dan sikap akan menentukan tingkah laku seseorang. Timbul pertanyaan dari

manakah nilai-nilai yang diyakini seseorang itu dapat diketahui ?

J.R. Fraenkel (1973) menyebut adanya delapan indicator yang memberikan

petunjuk adanya nilai-nilai seseorang indikator itu adalah :

1.) Tujuan yang dikejarnya

2.) Aspirasinya

3.) Sikapnya

4.) Minat (interest)nya

5.) Perasaan (feeling)nya

6.) Kepercayaan (belief)nya

7.) perbuatannya, dan

8.) Kekuatiran (worries)nya

Bagi Fraenkel, nilai adalah standar penentuan perilaku sseorang dalam

menentukan perilaku seseorang dalam menentukan apa indah, efisien, dan berharga

tidaknya sesuatu. Yang menarik adalah pendapatnya bahwa nilai adalah standar

40
kelakuan. Standar ini hendak dipelihara dan dibina. Tentu sala satu nilainya adalah

nilainya moral.

Mengenai pembagian Nilai, Scheler (1874-1928) membagi nilai dalam

beberapa bagian: nilai hidup (vital), nilai perasaan inderasi, dan nilai intelektual.

Ada yang membedakan nilai kedalam : Nilai ekonomik, nilai pengetahuan, nilai

kebudayaan, nilai pendidikan, nilai kehidupan, dan lain-lain. Ada yang membagi

kedalam dua bagian saja : (1) nilai material yaitu nilai-nilai dari sesuatu yang

berguna bagi unsur rohani manusia. Dalam nilai rohani itu dibedakan pula kedalam

nilai kebenaran, keindahan, kebaikan, atau moral yang bersumber pada kehendak

manusia yang bebas dan nilai-nilai religius yang merupakan nilai rohani yang

tertinggi tingkatannya yang bersumber pada kepercayaan dan keyakinan manusia.

Mengenai macam ragamnya nilai ini, dapat dikemukakan pembagian sebagai

berikut:

1. Dilihat dari ragamnya

a. Nilai estetika

b. Nilai etis

c. Nilai keagamaan

d. Nilai Hukum

41
e. Nilai Ekonomis

f. Nilai sosiologis

g. Nilai moral, dan lain-lain

2. Dilihat dari sumber dan bagi siapa nilai tersebut, dapat dibagi menjadi sebagai

berikut:

a.Nilai Individual

b. Nilai umum/kemasyarakatan

c. Nilai instrinsik/objektif

3. Dilihat dari segi waktu

a.Nilai abadi

b. Nilai temporer

4. Dilihat dari segi keluasan berlaku

a. Universal

b. Nasional

c. Regional

d. Lokal

42
Diatas sudah dikemukakan bahwa nilai-nilai ini ada yang merupakan nili-

nilai moral. Nilai-nilai moral ini apabila sudah terhayati kedalam system nilai

manusia, mendarah daging, terinternalisasi, akan, menjadi sikap hidup. Sikap ini

akan direalisasikan kedalam tingkah laku (behavior) manusia.

C. Sikap (Attitude)

Pengertian apakah sikap, adalah hal yang tidak dapat diabaikan, karena sikap

mengandung makna yang dapat menjembatani keadaan psikologis seseorang dan

sasaran orientasi seseorang. Dari segi psikologis, sikap adalah pengaturan proses-

proses kejiwaan seseorang yang keluar melalui tingkah lakunya yang berkenaan

dengan beberapa aspek lain. Sikap ini menunjukkan adanya pengalaman-

pengalaman yang sebelumnya dengan mana seseorang melakukan pendekatan

terhadap situasi (termasuk didalamnya aspek) yang bersama-sama dengan

pengaruh-pengaruh yang baru menentukan perbuatan seseorang. Sikap akan selalu

menunjuk pada pengalaman masa lampau yang terbawa atau dibawa untuk

menghadapi situasi baru, yang pada gilirannya merupakan dan tinggal sebagai

Seseorang Sosiolog dalam kaitannnya dengan nilai-nilai sosila memberikan

pengertian nilai sebagai The objective counterpart of the attitude, sedang sikap

adalah the individual counterpart of the social value. Psikolog biasanya

memberikan devinisi sikap yang dikaitkan dengan elemen-elemen psikologi yang

43
lain. Dua devinisi dapat dikemukakan disini karena definisinya cukup mempunyai

pengaruh.

Attitude is a mental and neutral state of readiness organized though

experience, ecering a directive or dynamic innceflue upon the individuals respons

to all object and situation with which it is related. (G.W.Allport, 1935).

An attitude can be defided as an anduring organization of motifational,

emotional, perceptual and cognitive processes with respect to some aspect of

individuals world. (D.Krecht dan R.S.Grutcfield, 1948, theory and problem of

social Psikology. P.152)

Dapat diajukan suatu pengertian yang mencakup pendapat psikologi dan

sosiolog tentang sikap, yaitu suatu keadaan psikologis yang dapat menimbulkan

tingkah laku tertentu dalam situasi tertentu. Pengertian ini barangkali memerlukan

sedikit penjelasan. Suatu keadaan psikologis tertentu itu hendak menunjukkan

bahwa bagaimanapun juga bahwa sikap adalah suatu keadaan kejiwaan, bukan

keadaan fisik manusia. Keadaan ini ditimbulkan oleh diinternalisasikannya nilai-

nilai kedalam system nilainya. Apabila seseorang dihadapkan pada situasi yang

tertentu, sistem nilai tadi, melalui sikap dapat mengejawantah dalam bentuk

tingkah laku tertentu.

44
Memang harus diakui bahwa definisi ini barangkali dari segi isi pengertian:

apa itu sikap, kurang bersikap konseptual. Namun dari segi fungsional, definisi ini

setidak-tidaknya mengingatkan kita bahwa sikap itu dapat menjadi referensi

tingkah laku. Sikap pada akhirnya menunjuk pada kelakuan lahiriah.

D. Tingkah laku

Tingkah laku yang dimaksud disini adalah terjemahan dari Behavior.

Tingkah laku ini merupakan pernyataan yang keluar dari sikap yang dimiliki

seseorang. Sikapnya merupakan pencerminan nilai-nilai yang

dihayatinya.Pertanyaan yang muncul adalah, merupakan tingkah laku itu? Apakah

yang disebut dengan behavior atau sering diterjemahkan dengan perbuatan ?

Dalam pengertian yang paling umum tingkah laku dapat dirumuskan sebagai

tiap perubahan, pergerakan atau respons dari suatu badan atau suatu sistim yang

bertalian dengan lingkungan dan situasinya. Ilmu-ilmu sosial mempunyai perhatian

pada tingkah laku manusia, baik aspek yang internal maupun aspek eksternalnya

apa yang dilakukan orang dan apa yang tidak dilakukan orang. Namun tidak tiap

gerakan atau perbuatan manusia atau respons manusia dapat disebut tingkah laku.

Misalnya gerakan refleks gerak otot,otot yang masi murni merupakan gerakan

intra-organisme.

45
Kaum psikologi yang menganut behaviorism mempunyai tradisi pendirian

bahwa gejala tingkah laku manusia haruslah dapat diamati dan diukur.

Lawan ekstrim dari kaum behaviorism adalah faham yang menganggap

bahwa tingkah laku termasuk dalam apa yang disebut dengan “action”. Cara

berfikir demikian dapat dilacak dari teori Weber tentang gerakan.

Apa yang disebut gerakan (action) dapat masuk dalam apa yang disebut

dengan tingkah laku apabila si pelaku memberikan makna, dan makna itu

diberikan oleh dan bermakna bagi si pelaku, tidaklah dapat dimasukandalam apa

yang disebut dengan tingkah laku.

Dapat dikemukakan bahwa sala satu faktor yang harus diperhatikan adalah

kesadaran manusia. Tingkah laku yang dimaksudkan di sini adalah gerakan yang

disadari oleh si pelaku dan timbul dari kehendak bebas manusia.

Dilihat dari segi filsafat, maka tingkah laku/perbuatan manusia dapat

dianalisis demikian. Mula-mula ada rangsangan, rangsangan itu masuk pada

kesadaran manusia lewat indra. Dari rangsangan timbullah kemudian pada diri

manusia rasa tertarik. Manusia berminat akan apa yang telah dirangsangkan. Dari

minat itu, dalam proses menimbulkan kemauan atau kehendak untuk berbuat.

Kehendak ini dalam diri manusia menimbulkan pertimbangan apakah yang akan

saya perbuat itu hal yang baik, ataukah yang jelek?


46
Lain dari itu dalam pertimbangan ikut diperhitungkan oleh budi manusia

akibat-akibat dari perbuatan yang akan dilakukan. Pertimbangan itu sudah terjadi

dan akhirnya manusia mengambil keputusan untuk memilih pertimbangan-

pertimbangan itu. Dalam pemilihan perbuatan baik dan buruk itu (suatu keputusan)

terjadinya sikap manusia. Apakah sikap telah diambil dan keputusan telah

dijatuhkan tinggallah sekarang pelaksanaan dari sikap tadi dalam wujud perbuatan

tingkah laku.

E. Hubungan Nilai-Sikap-Perbuatan dan Norma

Dari apa yang telah dikemukakan di atas dapat ditarik kesimpulan demikian.

Semula ada nilai-nilai, yaitu sesuatu yang berguna bagi orang itu. Sala satu nilai

adalah nilai moral yang menjadi pengukur bagi perbuatan baik atau buruk. Nilai-

nilai moral itu apabila dihayati, diinternalisasikan dalam hati sanubari, apabila

sudah mendarah-daging akan menjadi sikap hidup. Sikap hidup adalah suatu

keadaan mental yang merupakan respons dari situasi yang merupakan perangsang.

Sikap ini tidak lain adalah perwujudan dari nilai-nilai moral yang dimiliki. Sikap

ini hendak dan kemudian ternyata direalisasikan dalam tingkah laku (perbuatan).

Perbuatan ini, tingkah laku ini, dengan demikian, merupakan pengejewantahan dari

sikap moral. Sikap moral itu sendiri merupakan indikasi atas nilai-nilai moral yang

dimiliki seseorang.

47
Perlu pula dikemukakan di sini bahwa tingkah laku dari seseorang yang

menunjukkan sikap moral yang tinggi itu ditandai oleh kesesuaian perbuatan yang

dilakukannya dengan norma-norma hidup yang berlaku, terutama norma Hukum.

Jadi seseorang yang bermoral tinggih tingkah lakunya menunjukkan kesesuaian

dengan peraturan Hukum yang berlaku. Ketaatannya atas Hukum, sehingga

kelakuannya sesuai dan tidak bertentangan dengan Hukum yang berlaku, timbul

dari kesadaran bahwa berbuat demikian merupakan kewajiban dalam rangka

terselenggaranya tata tertib yang akhirnya bermanfaat bagi manusia sendiri.

48
BAB IV

TEORI-TEORI PERKEMBANGAN MORAL

A. Theori Pieget dan Norma J.Bull

Manusia sejak lahir memiliki potensi moral yang merupakan peralatan hidup

sebagai mahluk sosial. Potensi moral tersebut tumbuh dan berkembang dalam

hubungan pergaulan dengan sesama manusia atau dalam masyarakatnya. Norman

J. Bull sampai pada dasarnya anak lahir tanpa satu bentuk kesadaran. Ia belum

dapat dikatakan sebagai orang yang bermoral atau tidak bermoral. Seseorang anak

belum dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang

49
benar. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa anak yang masi kecil belum

memiliki perasaan moral. Perasaan moral yang dia miliki kemudian sebenarnya

datang dari masyarakat, dimulai dari lingkungan terdekat (orang tua) sampai

kepada lingkungan yang luas. Untuk menuju kepada terbentuknya kesadaran

moral, Individu harus menempuh atau mengalami fase-fase atau tahap-tahap

perkembangan moral. Perkembangan moral itu menurut Norman J.Bull dimulai

dari meniru tingkah laku orang yang paling dekat hubungannya (orang tua).

Melalui proses sugesti secara tidak sadar ia menyerap sikap mental dan perasaan-

perasaan yang diperlihatkan oleh orang tuanya. Melalui proses identifikasi ia

menjadikan karakteristik personil orang tuanya menjadi tingkah lakunya.

Kemudian membentuk dirinya, gambaran dirinya sendiri seperti dia kehendaki.

Pada fase yang terakhir terbentuklah moral-self yang menentukan terhadap

kewajiban-kewajiban moral (moral obligations) seseorang. Dengan moral-self dan

moral obligations ini, maka kreasi manusia lebih tinggi dari pada kreasi hewan atau

binatang. Seiring dengan perkembangan moral yang dialami oleh seseorang, maka

dapat diamati adanya jenjang tingkah laku moral. Norman J. Bull (1969:4)

menyimpulkan jenjang tingkah laku moral sebagai berikut : “The first maybe

cooled premoral. The second is essentially andexternal morality. The third is part

external and part internal. The fourth is wholly internal”.

50
Dalam mengamati dan menelaah perkembangan moral yang terjadi pada

individu, ada tiga sudut tinjauan yang perlu diperhatikan. Pertama, perkembangan

moral dilihat dari sudut tingkah laku moral (moral behavior). Kedua perkembangan

moral dilihat dari sudut pernyataan moral (moral statement), ketiga, perkembangan

moral dilihat dari sudut perkembangan moral (moral judgment). Dalam konteks

tersebut, maka Piaget lebih menekankan kajian perkembangan moral dan kajian

pertimbangan moral yang dimiliki oleh seseorang.

Jean Piaget adalah wakil Direktur (institute of Educational scences dan

Professor Psikologi Eksperimental di University of Geneve. Piaget secara intensif

telah melakukan penelitian selama lebih dari 40 tahun terhadap “perkembangan

struktur kognitif” (moral judgement) pada usia anak. Yang dianalisis ialah “sikap

verbal anak” (children,s verbal attitudes) terhadap aturan permainan, kelakuan

tindakan, mencuri, dan membohong. Berdasarkan kajian (studi) tahapan kognitif,

pieget melakukan usaha pertama untuk mendefinisikan tahapan penalaran moral

anak melalui temu wicara dan melalui pengamatan terhadap anak-anak dalam

melakukan permainan dengan aturan-aturan

Dengan menggunakan materi wawancara, pieget mendefinisikan tahap pre-

moral, konvensional dam aotonomi sebagai berikut:

51
1. Tahapan pre moral, diamana anak tidak memiliki perasaan kewajiban untuk

mentaati peraturan-peraturan

2. Tahap heteronomy, dalam tahap ini anak memiliki perasaan bahwa yang benar

adalah patuh kepada peraturan –peraturan dan kewajiban yang sama untuk

menyerah pada kekuasaan dan penghukuman. Secara kasar tahapan ini terdapat

pada anak yang berumur 4-8 tahun

3. Tahapan otonomi, pada tahapan ini anak telah mempertimbangkan tujuan dan

kosekuensi dari mengikuti peraturan-peraturan didasarkan pada asas timbal balik.

Secara kasar ini terdapat pada anak yang berusia 8-12 tahun. (Moral self).

Heteronomi adalah kendali yang dipaksakan atas individu oleh orang lain,

pengawasan didukung oleh kekuatan atau paksaan. Aturan-aturan mana terpaksa

ditaati karena da kekuasaan dibelakangnya.

Bagi Norman J.Bull, Autonomi merupakan tingkat t(tahapan) perkembangan

pertimbangan moral yang paling tinggi. Pada tahap ini terjadi pembentukan aturan

sendiri (self rule), dimana aturan-aturan yang memerintah tingkah laku moral

datang dari diri individu. Dalam tahap ini autonomi pengawasan datang dari diri

individu, karena itu sebenarnya istilah moral secara sepenuhnya baru tepat

digunakan dalam tahap ini.Sebenarnya bagi Norman J.Bull, masi ada tahap moral

diantara heteronomy dan autonomi yakni apa yag disebutnya sebagai sosionomi.

52
Kenyataan bahwa dengan kerja sama dengan orang lain dapat mengurangi sifat

egosentrisnya seseorang, karena itu dalam diri terjadi kemajuan moral. Sebagai

hasil adanya kerja sama individu menjadi sadar bahwa dirinya merupakan anggota

kelompok dan kematangan kesadaran ini menimbulkan tanggung jawab dan

kewajiban. Dengan demikian perasaan menghargai diri mulai berkembang dan ini

menggantikan rasa takut sebagai factor kunci yang mengawasi perbuatan atau

tingkah lakunya. Dengan demikian Norman J.Bull berkesimpulan bahwa ada 4

tahapan perkembangan moral, yakni :

1. Anomi (Without law)

2. Heteronomi (Law Innposed by others)

3. Sosionomi (Law driving society)

4. Autunomi (Law driving from self)

Dari hasil penelitian yang dilakukannya menunjukkan bahwa tahapan-

tahapan perkembangan tersebut terstruktur. Ini berarti bahwa tahapan itu harus

dilalui oleh seseorang menujuperkembangan yang lebih tinggi, karenanya tidak

terjadi loncatan-loncatan. Masalahnya apakah dengan sendirinya manusia akan

sampai pada tingkat perkembangan yang paling tinggi tanpa melalui suatu proses

yang disebut pendidikan. Dari hasil penelitian yang dilakukan terhadap tiga

53
tingkatan umur sekelompok siswa menunjukkan perbedaan tahap perkembangan

moral pada umur yang berbeda. Kecendrungan pada usia 17 tahun tingkat

heteronomi semakin rendah, sebaliknya semakin muda usia seseorang, maka

tingkat heteronomy itu semakin tinggi. Dalam satu kelompok umur menunjukkan

bahwa pada usia 13 tahun tingkat heteronomy 30 %, pada umur 15 tahun tingkat

heteronominya 21%. Selanjutnya pada penelitian khusus untuk kelompok anak

laki-laki menunjukkan distribusinya demikian: Pada umur 13 tahun tingkat

heteronominya 30%, pada umur 15 tahun tingkat heteronominya 26 % dan pada

umur 17 tahun tingkat heteronominya dalah 17% di segi lain kecendrungannnya

perbedaan tahapan tersebut bila dibandingkan antara laki-laki dan anak perempuan.

Kecendrungan bahwa tingkat sosionomi lebih tinggi pada anak perempuan dari

pada anak laki-laki pada umur 17 tahun perbedaab itu lebih meyakinkan lagi.

Dalam kaitan tingkat moralitas, Pieget bertolak dari kepercayaan, bahwa

“Ball Morality consist in a system of rules, and the to essence of all morality is to

be sought for, on in the resfect which the individual aquires for these rules”

(Dulkedan whellen, 1977:8).

Atas dasar itu mencoba memahami bagaimana pikiran sampai pada

pengertian tentang aturan-aturan dengan cara menelusuri “Consciousnessof or

resfect for the rules” dan “ Practice of the rules”. Dua indikator moralitas itu

54
dideteksi dan diamati melalui suasana pemahaman dan pelaksanaan anak terhadap

aturan permainan kelereng “The games of marbels”. Dari sinilah Pieget

menemukan beberapa orientasi terhadap aturan permainan kelereng dilihat dari

kesadarannya terhadap aturan dan cara melakukan peraturan itu.

Sampai usia dua tahun tidak ada aturan yang membimbinh kegiatan anak,

tindakannya hanya merupakan kegiatan motorik tanpa tujuan pikiran. Pada usia

dua sampai enam tahun mulai timbul secara berangsur-angsur kesadaran akan

aturan. Pada usia tujuh sampai sepuluh tahun anak mulai bergerak baik dari

kesenangan psikomotorik ( Psychmotor pleasure) menuju pada tingkat kesadaran

adanya perangkat aturan yang disepakati. Anak termuda pada kelompok usia ini

masi dipengaruhi oleh “kepatuhan hateronomous” (heteronomous abedience)

namun aturan sudah dikenal sebagai hal yang penting dalam mengatur tingkah laku

sosial. Pada akhirnya anak berkembang menuju tahap autonomi seirama dengan

berkembangnya kematangan kognitif (cognitive maturity). Pada usia 11 sampai 12

tahun anak berkembang menuju pada kemampuan berfikir abstrak (abstract

reasoning) dimana pada saat itu dirasakan pentingnya penghimpuan aturan

(codification of rules)

Berkenaan dengan pentahapan perkembangan moral itu beberapa hal patut

dicatat.

55
1.Titik Heteronomi dan Autunomi lebih menggambarkan proses perkembangan

dari pada totalitas orientasi mental individu.

2. Dengan memulai pergaulan dan kerja sama anak mengembagkan pengertiannya

tentang tujuan, dan sumber-sumber aturan.

3. Anak sampai usia tujuh atau delapan tahun menempatkan dirinya dikendalikan

oleh seluruh aturan

4. Dalam menghargai aturan yang diterima dari luar, anak belum memiliki

pengertian dan motivasi untuk berbuat ajeg (consistent) dengan aturan itu

5. Baru pada tahap autonomi anak menyadari akan aturan, dan menghubungkan

dengan pelaksanaanya.

6. Dengan tujuan arah perkembangan kesadaran akan aturan adalah pengertian

yang autonomi, dan merupakan pelaksanaannya dari aturan itu.

(Duska&Whellen, 1977:13:140.

Untuk pengertian anak terhadap aturan-aturan moral, Pieget menggunakan istilah

“Moral realism” (realism moral) yang diartikan sebagai “The tendency to ragard

duty and the value attching to is as self subsistent and independent of the mind, as

imposing it self regardles of circumstances in which the individual finds himself”

( suatu Kecenderungan untuk menganggap kewajiban dinilai yang melekat

56
padanya sebagai bagian , yng berdiri sendiri dan bebas dari pengaruh pikiran

sebagai mempengruhi sendiri tanpa memandang kedaan, diamana individu

menemukan dirinya (Duska dan Whellen, 1977:15). Rasa wajib dari anak pada

tahap heterono 1 dipandang sebgai penjabaran dari perintah dan pengaruh orang

dewasa. Dengan kata lain “moral realism” akan tercapai pada tahap Autonomi.

B. Teori Kolhlberg dan Dewey

Pendekatan perkembangan kognitif untuk pertama kali ditemukan oleh John

Dewey. Pendekatan itu disebut pendekatan Kognitif karena ia mengakui bahwa

pendidikan moral seperti halnya pendidikan intelktual mempunyai basisnya pada

berfikir aktif mengenai masal-masalah moral dan keputusan-keputusan. Ini disebut

perkembangan karena ia melihat tujun-tujuan moral sebagai perpindahan melaui

angktan moral.

Menurut Dewey tujuan pendidikan adalah pertumbuhn atau perkembangan moral

dan intelektual. Prinsip-prinsip etika ilmu jiwa dapat membantu Sekolah dalam

pembngunan, yakni membangun karakter yang bebas dan kuat. Hanya pengetahuan

yang tertib dan berhubungan dengan tahapan dalam psikologi perkembangan dapat

menjamin tercapainya pembangunan itu. Pendidikan adalah pekerjaaan yang

mensuplai kondisu-kondisi yang akan memberikan fungsi-fungsi kejiwaan untuk

memeperoleh kematangan dalam bentuk-bentuk yang paling penuh dan bebas.

57
Dewey menarik tiga tingkatan perkembangan Moral yaitu:

1. Tingkat pe-moral atau pre-konventional. Pada tahap ini tingkah laku atau perbuatan

sseorang dimotivasi oleh dorongan sosial dan biologis

.2. Tingkat tingkah laku konvenstional. Pada tahap ini individu menerima ukuran-

ukuran yang terdapat dalam kelompoknya dengan berefleksi secra kritis pada

tingkt yang rendah

.3. Anotomi. Pada tahap ini tingkh laku atau perbuatan itu dibimbing oleh pikiran dan

pertimbangan individu itu sendiri , apakah sesuatu itu baik bagi dirinya dan dapt

diterima. Ia tidak menerima ukuran-ukuran (standars) kelompoknya dengan

berefleksi begitu saja tanpa merefleksi lebih dahulu.

Pada tahun 1955 Konhlegberg memulai mendefinisikan kembali dan

mensahihkan (valitade) tingkat dan tahapan yang dirintis oleh Dewey dan Piaget

melalui pengkjian secara bergelombang dari latar belakang budaya yang

berberbeda (Cross-cultural). Lawrance Konhlberg adalah seorang Amerika yang

pernah bertugas sebagai Professor dalam pendidikan dan psikologi sosial pada

Harvard University. Ia melakukan Penelitian tentang perkembangan moral selama

20 tahun terhadap remaja laki-laki Amerika, remaja laki-laki dari Desa dan kota

Turki, remaja-remaja dari daerah-daerah lain yang berbed latar belakang

kebudayaannya. Teknik penelitiannya dilakukan dengan mengadakan wawancara

yang diulangi setiap tiga tahun.

58
Seperti Pieget. Kohlberg tidak memusatkan perhatian pada tingkah laku

mpral, artinya apa yang dilakukan oleh seorang individu tidak menjadi pusat

pengamatannya. Mengamati tingkah laku tidak menunjukkan banyak mengenai

kematangan moral. Memang sesorang dewasa yang sudah matang dan seorang

anak kecil keduanya barangkali tidak mau mencuru mangga. Dalam hal ini tingkah

laku mereka sama. Tetapi seandainya kematangan moral mereka berbeda,

kematangan moral itu tercermin dalam tingkah laku mereka, sedangkan

pertimbangan (penalaran) mereka mengapa tidak mau mencuri mencerminkan

perbedaan kematangan tersebut. Tambahan pula, Kohlberg tidak memusatkan

perhatian pada pernyataan (statement) orang, apakah tindakan tertentu itu benar

atau salah. Alasannya sama dengan pertama tadi. Seorang dewasa yang sudah

matang dan seorang anak yang masih kecil mungkin berkata bahwa mencuri

mangga itu salah. Sekali lagi tampak adanya perbedaan antara orang dewasa dan

anak kecil.

Apa yang menampakkan perbedaan dalam kematangan moral itu adalah

pertimbangan-pertimbangan yang diberikan oleh mereka, mengapa mencuri

mangga itu salah. Pertimbangan-pertimbangan inilah yang menjadi indikator dari

tingkatan atau tahap kematangan moral. Memperhatikan pertimbangan mengapa

suatu tindakan salah akan memberi penjelasan dari pada memperhatikan tindakan

59
(tingkah laku) seseorang atau bahkan mendengar pernyataan bahwa sesuatu itu

salah.

Penelitian Kohlberg menunjukkan bahwa bila penalaran-penalaran yang

diajukan seseorang mengapa ia mempunyai pertimbangan moral tertentu atau

melakukan moral tertentu diperhatikan , maka akan tampak jelas adanya

perbedaan-perbedaan yang berarti dalam pandangan moral orang tersebut.

Mungkin saja seseorang menunjukkan bahwa berbuat itu salah, karena dapat

ditangkap, sedang orang lain barangkali menunjukkan bahwa berbuat curang itu

merongrong kepercayaan umum yang dibutuhkan untuk berlangsungnya

masyarakat. Disini jelas ada perbedaan yang berarti dalam kematangan proses

penalaran dan pertimbangan-pertimbangan yang diajukan.

Kohlberg mengembangkan alat yang sistematis untuk menyikapi

pertimbagan-pertimbangan itu dengan mengembangkan sekumpulan ceritera, yang

memasukan orang atau orang-orang kedalam suatu dilemma moral. Kemudian

disusunnya pertanyaan-pertanyaanmengenai dilemma-dilema tersebut, yang

dimaksudkan untuk menjajaki pertimbangan-pertimbangan subjek yang

bersangkutan, apa alasannya maka ia akan melakukan tindakan tertentu dalam

situasi seperti itu. Sekedar untuk memberikan ilustrasi, marilah kita angkat satu

dari cerita-cerita Kohlberg itu. Ceritera ini bagi mereka yang mempelajari

Kohlberg dikenal sebagai dilema Heinz. Ceritera ini bagi mereka yang

60
mempelajari Kohlberg dikenal sebagai dilemma Heinz . ceritera II di eropa, ada

seorang wanita yang mendekati ajalnya, karena menginap sejenis kanker.

Para Dokter berpendapat hanya ada satu macam obat yag mungkin

menyelamatkannya. Obat itu sejenis radium yang ditemukan oleh seorang apoteker

di Kota itu belum lama berselang. Biaya pembuatan obat itu mahal, tetapi

siapoteker melipatkan Harga obat itu sepuluh dari biaya pembuatannya. Untuk

membuatnya ia mengeluarkan S 2,000.Heins, suami, wanita yang sakit itu, pergi

kesemua kenalannya untuk meminjam uang, tetapi yang diperoleh seluruhnya

hanyalah S 1,000 separuh dari harga obat itu. Heins mengatakan kepada apoteker

bahwa istrinya hampir meninggal, dan dimintanya supaya apoteker itu, menjualnya

lebih murah atau kalau boleh membayar nanti kemudian hari. Apoteker itu berkata

“jangan begitu”saya sudah menemukan obat itu dan saya ingin mendapatkan

untungnya juga dari penemuan saya itu “Heins menjadi putus harapan, dan

kemudian menggedor toko orang itu dan mencuri obat itu dan untuk istrinya.

Beberapa pertanyaan yang diajukan mengenai ceritera diatas adalah seperti

berikut : Haruskah Heinsmencuru obat itu? Mengapa Manakah yang lebih buruk,

membiarkan seseorang meninggal atau mencuri? Mengapa ? apa arti nuilai

manusia bagimu ? apakah ada alasan yang kuat bagi seorang suami untuk mencuri,

jika ia tidak mencintai istrinya? Apakah untuk mencuru orang lain sama dengan

mencuri isteri sendiri? Jika Heins tertangkap dan diajukan kepengadilan, apakah

61
hakim harus menjatuhkan hukuman kepadanya? Mengapa? Apakah tanggung

jawab hakim terhadap masyarakat dalam hal ini.?

Pada mulanya dia mengidentifikasi adanya enam sikap pandangan yang pada

umumnya dapat dibedakan secara tegas (disebtkan orientasi atau perspektif). Enam

orientasi itulah yang menjadi dasar enam tahap perkembangan moralnya. Setelah

delapan belas tahun, Kohlberg melihat bahwa tiap-tiap orang yangb diamatinya

melewati tahap-tahap dengan urutan yang sama, meskipun irama

perkembangannya berbeda dan semua belum sampai mencapai tahap-tahap

perkembangan moral yang tertinggi. Kecuali mewawancarai luima puluh orang itu,

Kohlberg dan teman-temannya, dengan sistem ,dengan teknik, yang sama,

mewawancarai orang-orang yang berkebudayaan bukan amerika. Wawancara

seperti itu terus-menerus menunjang sahuhnya teori-teori Kohlberg.

Dalam wawancara ia mengajukan suatu situasi moral atau dilema moral dan

mengajukan pertanyaan, yang maksudnya mau menyingkapkan pertimbangan-

pertimbangan subjek yang bersangkutan mengenai tindakan apa yang akan

dilkukannya kalau dia ada dalam situasi seperti itu. Jadi Kohlberg memusatkan

perhatian pada pertimbangan (penalaran) sunjek mengenai apa yang akan

dilakukan dan justru inilah ciri khusus penyelidikan Kolhberg, yang

membedakannya dari penyelidikan yang memusatkan perhatian pada tingkah laku

moral.
62
Hasil pada pentahapan pertimbangan moral (moral judgment) adalah sebagai

berikut:

1. Preconventional Level

Pada tingkat ini, anak tanggap terhadap aturan-aturan budaya dan tanda-

tandabaik dan buruk , benar atau salah, akan tetapi penafsiran tanda-tanda tersebut

dipandang dari sudut akibat-akibat dari fisik atau hedonistik dari pada perbuatan

atau tindakan yakni dalam bentuk hukuman , hadiah, dan pertukaran rasa

senang/dalamistilah kekuatan fisik dari orang yang mengelurakan aturan-aturan

dan tanda-tanda tersebut.Tingkatan ini dibagi ke dalam dua tahap (stages)

Tahap 1. “The punishment –and-obediecue orientation “ (orientasi kepada

hukuman dan kepatuhan). Yang menentukan kebaikan dan keburukan dari sesutu

tindakan adalah akibat fisik yang akan diperoleh oleh seseorang bila tidak

mematuhi aturan dan bukan karena melihat tujuan-tujuan manusia dari aturan

tersebut atau arti dari konsekuensi perbuatan itu. Menghindari hukuman dan

hormat yang tak bersyarat pada kekuasaan dinilai sebagai benar bagi diri saya,

tidak dalam istilah karena menghormati tertib moral yang didukung oleh

penghukuman dan kekuasaan.

Tahap 2. “The instrumental relativist orientasion”. Pada tahap ini suatu

tindakan dipandang baik apabila tindakan tersebut memberikan kepuasan kepada

63
diri sendiri dan sewaktu –waktu dapat memenuhi kebutuhan orang lain. Hubungan-

hubungan manusia dipandang sebagai tukar-menukar (market place) . Unsur-unsur

kelayakan, timbal balik dan saham yang sama diakui, akan tetapi senantiasa

ditafsirkan dalam cara-cara fisik dan fragmatis, dalam konteks ini lahir prinsip

timbal balik “you scratch my back and I”Iiscract Yours” atau budi baik dibalas

dengan budi baik, budi jahat dibalas budi jahat. Dalam konteks ini tidak ada prinsip

loyal, hormat atau adil

I. Conventional Level

Pada tingkatan ini, usaha-usaha untuk mempertahankan pengharapan

keluarga masing-masing kelompok atau bangsa dipandang sebagai sesuatu

yang bernilai tanpa melihat apakah ada konsekuensi yang langsung dan

nyata.Sikap yang ada bukan hanya komformitaspada harapan perorangan

dan ketertiban sosial tetapi juga loyalitas padanya untuk dengan aktif

memelihara, mendukung, dan menjustifikasi ketertiban, dan

menghubungkan dengan individu dan kelompok yang terakibat. Ada tahap

dalam tingkatan ini.

Tahap 3. “iterpersonal concordance of” good boy-nice

girl”Orientation”.suatu tindakan adalah baik, apabila menyenangkan atau

dapat membantu orang lain dan disetujui oleh orang lain.

64
Tahap 4. “Law and order orientatior”. Dalam tahap ini sudah nampak

adanya orientasi pada otoritas ,aturan yang pasti dan pemeliharaan ketertiban

sosial. Perilaku yang baik adalah perilaku yang menunjukkan pelaksanaan

kewajiban seseorang, penghargaan terhadap otoritas, dan pemeliharaan

ketertiban sosial.

II. Post-Conventional, Autonomous, or principled Level.

Pada tingkat ini telah nampak usaha yang jelas untuk menetapkan nilai-nilai

dan prinsip-prinsip moral yang memiliki kesahihan (Validity) dan

merupakan penerapan bagian dari otoritas itu dan merupakan bagian dari

perilaku individu dari kelompoknya. Dalam tahap ini terdapat dua tingkat.

Tahap 5. “social contract –legalistic orientation”. Tindak yang baik/benar

cenderung untuk dilihat dari hak-hak umum individu dan dalam arti standar

(ukuran) yang secara kritis telah diuji dan disepakati oleh seluruh

masyarakat.

Tahap 6 “Unioversal , ethical principle orientation”. Suatu kebaikan, dalam

tahap ini di definisikan atas dasar keputusan hati nurani yang sesuai dengan

prinsip-prinsip yang dipilih sendiri yang menunjukkan sifat komprehensif,

universal dan ajeg (konsisten). Disini terkandung makna prinsip universal ,

keadialan , hubungan timbal balik, persamaan,hak dan penghargaan terhadap

hak asasi individu. Sehubungan dengan pentahapan perkembangan moral,

65
Kohlberg memberikan beberapa catatan. Seperti berikut (Duska & Whellen,

1977:47-49)

a. “Stage development is infariant”. Seseorang harus mengikuti tahap secara

berurutan dan seseorang tidak bisa melompati tahap diatasnya.

b. “In stage development , subject can not comprehend moral reasoning at at a

stage beyond their own”. Seseorang yang berada pada tahap dua, misalnya,

tidak bisa memahami tahap ke empa, paling bisa adalah tahap ketiga.

c. “ In stage development subject are cognitivelly attaracted to reasoning one

level”.Seseorang yang berada dalam tahap satu akan dirangsang oleh tahap

dua oleh tahap tiga dan seterusnya.

d. “ In stage development , movement throught the stages is affected when

cognitive disequilibrum is created”. Dalam hal ini bila seseorang merasa

tidak cukup adu kuat dalam kognisinya, ia akan dirangsang untuk

melakukan penalaranyang lebih adu kuat dalam memecahkan dilema yang

dihadapinya.

Kohlberg memperoleh kesahihan tahapan yanh didefinisikan diatas . konsep

tahapan-tahapan seperti digunakan oleh Pieget dan Kohlberg mengandung

karakteristik sebagai berikut :

66
1. Tahapan itu adalah keseluruhan yang terstruktur (sttructured wholes) atau

sistim berfikir yang terorganisasi. Setiap individun konsisten pada tingkat

pertimbangan moral.

2. Tahapan membentuk suatu keteraturan, bergerak dari satu tahap kepada

yang lebih tinggi dan tidak pernah mundur.Setiap individu tidak pernah

meloncati sesuatu tahap.Ini berarti keseluruhan tahapan itu dialami dan

dilalui secara maju dari tingkat terendah sampai kepada tingkat tertinggi dari

tahap terendah sampai pada tahap tertinggi.

3. Tahapan berintegrasi secara hierarkis. Berpikir pada tahapan yang lebih

tinggi termasuk atau lengkap didalammya berpikir dalam tahapan yang lebih

rendah. Seseorang berpikir pada tahap empat yakni “Law and order

oorientation” berarti dalam konteks itu secara serempak ia juga berpikir

dalam tahap-tahap satu, dua, dan tiga akan tetapi belum berpikir dalam

tahap-tahap lima dan enam.

Masing-masing dari pada karakteristik itu telah dipertunjukkan bagi tahapan

moral. Tahapan itu ditentukan oleh jawaban-jawaban yang diberikan kepada satu

perangkat dilema moral verbal yang diklasifikasi menurut satu enjelasan skema

scoring. Kesahihan kajian meliputi :

kajian tersebut dilakukan selama 20 tahun terhadap 50 orang remaja laki-

laki, kelas menengah dan kelas pekerja dari daerah Chicago. Mula-mula diinterviu
67
pada umur 10-16 tahun. Mereka kemudian diinterviu lagi dengan jarak waktu 3

tahun selama 20 tahun

1. Kajian secara bergelombang selama 6 tahun terhadap remaja-remaja laki-

laki dari desa dan kota Turki dengan umur yang sama.

2. Berbagai kajian yang lain di kanada, Inggris, Israel, Taiwan, Yucatan,

Hounduras dan I secara Cross-sectional.

Untuk memahami tahap-tahap moral, disatu pihak perlu dijelaskan hubungan

tahap-tahap logika atau tahap kecerdasan dan hubungannya dengan tingkah laku

moral dipihak lain. Kematangan pertimbangan moral tidak begitu tinggi

berkolerasi dengan IQ atau kecerdasan Verbal. Perkembangan kognitif, dalam

pengertian tahapan lebih penting untuk perkembangan moral. Pieget telah

menemukan bahwa setelah anak belajar berbicara maka terdapat tiga tahap

penalaran : Yaitu (1) Intutif, (2) The concrete operational dan (3) The formal

operational.dan (3) The formal operational. Pada sekitar umur tujuh tahun anak

memasuki tahap berpikir konkrit logis. Ia dapat membuat lological inverences,

memisah-misahkan dan menghitung sejumlah hubungn-hubungan mengenai hal-

hal yang kongkrit. Pada usia remaja individu biasanya memasuki tahap formal

operations pada tahap ini mereka dapat berpikir secara abstark misalnya

mempertimbangkan seluruh kemungkinan-kemungkinan, membentuk hipotesa-

68
hipotesa, menarik kesimpulan-kesimpulan dari hipotesa dan mengujikan hipotesa

kepada kenyataan.

Oleh karena itu penalaran moral (moral reasoning) adalah alasan pikiran,

maka kemajuan alasan moral sangat bergantung kepada kemajuan alasan logika

(Logical reasoning). Seseorang yang memilikitahap logika hanya pada konkrit

operasional, maka tahap pertimbangan moralnya terbatas pada tahap 1 dan 2.

Seseorang yag memiliki tahap logika pada formal operasional maka pertimbangan

moralnya terbatas pada tahap 3 dan 4. Karena itu perkembangan logika perlu bagi

perkembangan moral dan meletakkan batasan-batasan baginya. Sebagian besar

menunjukkan bahwa individu memiliki tahap logika yang lebih dari pada tahap

moral; sebagai contoh yang dikemukakannya bahwa lebih dari 50% dari akhir

remaja dan masa dewasa (semuanya formal operational) memiliki moral reasoning

pada tahap 5 dan 6.

Tahapan moral merupakan struktur dari pertimbangan moral (moral judgment) atau

moral reasoning. Akan tetapi struktur pertimbangan moral harus dibedakan dari isi

pertimbangan moral ( content of moral judgment) pilihan yang memaksa seseorang

antara mencuri dan tidak mencuri disebut sebagai isi dari pertimbangan moral dari

situasi itu. Alasan pikiran mengenai pilihan menunjukkan struktur dari pada

pertimbangan moralnya.

69
BAB IV

BEBERAPA PERMASALAHAN POKOK

DALAM PENDIDIKAN MORAL

A. Konsep pendidikan moral

1. Pengertian istilah pendidikan moral.

Kalau ada sesuatu pengertian yang mengalami kesulitan secara fundamental

untuk mendefinisikannya, maka hal itu adalah mengenai pendidikan moral.

Istilah pendidikan moral tidak selalu menunjukkan pengertian yang sama

disetiap Negara. Gambaran yang jelas dan komperehensif tidak mudah diberikan

terhadap pendidikan moral. Dalam banyak Negara, pendidikan moral terkandung

pada istilah-istilah nilai-nilai, Civics. Dalam pada itu di Negara lain, pendidikan

moral sering disamakan dengan pendidikan agama. Agama memang mengandung

70
unsur-unsur moral, pendidikan agama karenanya masyarakat pembentukan moral

menurut kaidah-kaidah yang diajarkan oleh agama. Akan tetapi penglihatan

pendidikan moral/ agama terhadap subjek didik akan berbeda dengan penglihatan

pendidikan moral.

Konsep pendidikan moral seharusnya memasuki kegiatan dan pengajaran

baik di sekolah maupun di luar sekolah yang bertujuan untuk membantu anak

menjadi mahluk manusia yang lebih baik. Dalam pembicaraan yang luas

pendidikan moral harus mendidik manusia “menjadi”. Untuk membedakannya dari

pendidikan untuk mengetahui dan pendidikan untuk berbuat. Akan tetapi harus

diakui bahwa pengetahuan moral merupakan prasyarat pertama agar seseorang

dapat melaksanakan sesutu prinsip moral.

Pengertian moral akan meliputi pengajaran nilai-nilai Civics, pengajaran

nilai-nilai kemanusiaan secara umum, pengorganisasian kegiatan co-curiculer yang

menekankan dan menanamkan nilai-nilai dan begitu juga aspek-aspek umum dari

perbedaan –perbedaan agama yang mempersatukan seluruh manusia dan

membantu manusia menemukan hakikat dirinya.

Pendidikan moral harus memperluas pandangan anak dan memberi

kesanggupan bagi mereka untuk memandang dunia dan permasalahannya dalam

71
gambarannya lebih luas kedepan. Program pendidikan yang baik akan membantu

setiap anak mengatasi batas-batas kelas, nasional, internasional,dan agama.

Pendidikan moral memandang mahluk manusia secara universal dalam

suasana damai dengan dirinya dan damai dengan yang lain.

2. Mengapa pendidikan Moral.

Mengapa pendidikan moral diberikan, menyangkut alasan pikiran,

pertimbangan-pertimbangan perlunya pendidikan moral diberikan dalam lembaga

pendidikan informal.

Dalam hubungan ini beberapa alasan pikiran dapat disebutkan sebagai

berikut :

a. Dengan menurunnya ilmu pengetahuan dan teknologi tanpa diikuti dengan

pembangunan moral/ sikap mental akan memberikan dampak negatif dalam

berbagai lapangan kehidupan. Penemuan pil anti hamil dan alat kontrasepsi

lainnya telah membantu manusia untuk dapat merencanakan anggota keluarga.

Hal ini membantu manusia untuk dapat memperkirakan pertambaha penduduk

suatu Negara. Dan ini dapat membantu perencanaan dalam sektor-sektor

kehidupan. Akan tetapi hasil penemuan itu dapat pula melicinkan jalan bagi

para remaja yang ingin melakukan perhubungan seksual lebih awal dan diluar

perkawinan. Penemuan-penemuan senjata mutakhir yang bila digunakan dapat


72
menghancurka kehidupan manusia, akan membutuhkan pertimbangan-

pertimbangan moral yang kuat untuk mampu menahan diri bgi sesutu penguasa

atau Negara untuk tidak menggunakannya secara gegabah. Dalam hal ini

kesadaran moral harus ditingkatkan agar mampu mempergunakan hasil-hasil

yang dicapai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi kearah

kesejahteraan ummat manusia. Disinilah letaknya pendidikan moral diberikan

secara terencana untuk mengembangkan kesadaran moral untuk mengimbangi

kemajuan yang dicapai dalam ilmu pengetahuan dan teknologi.

b. Dengan menurunnya secara umum nilai-nilai tradisional, keraguan moral yang

muncul dalam perkembangan dunia. Misalnya menurunnya rasa kekeluargaan

dan rasa kesetia kawanan, rasa kegotong royongan dan meningkatnya rasa

individualistis pada manusia, menurunnya rasa hormat terhadap nilai-nilai yang

bersifat spiritual dan meningkatnya penghargaan terhadap nilai-nilai yang

bersifat material. Perlombaan untuk mengejar kecukupan material yang tanpa

batas telah mengakibatkan diabaikannya nilai-nilai yang bersifat manusiawi.

Karena itu banyak nilai-nilai umum yang harus ditemukan kembali untuk

meyatukan umat manusia. Pendidikan tidak hanya diorientasikan kepada

modernisasi, akan tetapi tidak kalah pentingnya usaha mengawetkan,

melestarikan nilai-nilai manusiawi.

73
c. Sekolah tidak dapat bersikap netral selama pendidikan itu menyangkut nilai-nilai.

Guru-guru senantiasa berlaku atas dasar jumlah nilai terlepas dari pada disadari

atau tidak baik melalui perbuatan (tingkah lakunya )didalam dan diluar kelas,

melalui pilihan-pilihan strategi belajar mengajar dan seterusnya. Kebutuhan

untuk secara sadar merencanakan pendidikan moral tidak dapat dihindarkan,

karena hal ini merupakan suatu tuntutan mendasar bagi kelangsungan hidup

nilai-nilai manusiawi.

d. Dengan bertambah kompleksnya moral dalam perkembangan dunia yang melaju,

diharapkan agar siswa-siswa dapat membuat keputusan-keputusan yang

komplek terhadap masalah-masalah moral yang dihadapkannya. Mereka

dibantu dalam mengembangkan kemampuan menentukan pilihan-pilihan moral

dalam berbagai situasi.

e. Meningkatnya kenakalan remaja dimana-mana terutama dikota-kota besar,

merupakan satu masalah yang dihadapkan kepada masapertumbuhan pribadi

pada remaja itu sendiri. Alasan-alasan pikiran yang diuraikan dibagian ini

menunjukkan mengapa pendidikan moral perlu diberikan melalui lembaga

pendidikan.

3. Dikotomi antara petunjuk moral dengan praktek moral

74
Pendidikan moral yang direncanakan dengan baik dalam kurikulum sering

gagal dalam mewujudkan tujuan-tujuannya, karena dihadapkan kepada

kontradikisi-kontradikisi yang terdapat dalam masyarakat. Kontradiksi antara

pentunjuk moraldenga praktek memberikan pengaruh terhadap pendidikan moral

yang diberikan di sekolah. Nilai-nilai yang diajarkan di sekolah tidak hanya

berpengaruh terhadap pikiran dan tindakan siswa karena mereka sering melihat

praktek moral yang tidak sejalan dengan petunjuk moral. Dilema yang mendasar

diantara petunjuk dan praktek merefleksikan jurang yag terdapat antara pengajaran

dan iklim moral di sekolah dan masyarakat. Kontradiksi-kontradiksi yang terdapat

dalam masyarakat seperti korupsi yang terdapat dalam berbagai kelompok politik

perdagangan,penyalagunaan kekuasaan. Praktek kesewenang-wenangan, ketidak

adilan, ketidak jujuran dan ketidak bersamaan (mementingkan diri sendiri),

keserakahan yang mengakibatkan kerugian dipihak lain, semuanya merupakan

dilemma yang dihadapkan pada pengajaran moral disekolah, keadaan-keadaan

yang tercermin dalam masyarakat akan mempengaruhi pertimbangan-

pertimbangan dalam menginternalisasi nilai-nilai moral yang diajarkan baik

didalam maupun diluar sekolah dengan praktek moral merupakan hal yang tidak

dapat diabaikan bila ingin pendidikan moral itu berhasil .

Kenyataan bahwa penanaman prinsip-prinsip kejujuran dan integritas yang

ketat kepada siswa dalam berbagai hal gagal untuk memperlengkapi siswa yang

75
dihadapi kenyataan-kenyataan yang terdapat dilura sekolah. Karena itu usaha

serius perlu dilakukan untuk memecahkan dikotomi antara ajaran moral dengan

praktek moral.

4. Konflik antara Nilai-nilai Tradisional dan Gaya Kehidupan Modern

Pembangunan sebagai suatu usaha untuk meningkatkan taraf hidup

penduduk, telah melahirkan berbagai masalah dalam masyarakat, misalnya

masalah distribusi hasil-hasil pembangunan yang tidak merata dinikmati oelh

masyarakat. Pembangunan kembali sosial ekonomi di Negara-negara asia

memberikan tekanan terhadap distribusi yang adil dari keuntungn-keuntungan

yang diperoleh dari modernisasi berjalan secara bertahap dalam rangka waktu

yang cukup panjang. Sedang di asia transisi dari masyarakat agraris kemasyarakat

industri hendak dipercepat prosesnya.

Transisi (peralihan ) dari masyarakat agraris kemasyarakat industri yang

dipercepat itu, akan menimbulkan berbagai konflik antara nilai-nilai tradisional

dengan atribut-atribut kehidupan modern. Nilai-nilai tradisional mempunyai

waktu yang pendek untuk menyesuaikan diri terhadap cirri-ciri kehidupan mral

tertentu. Para perencana kurikulum pendidikan moral dihadapkan kepada masal-

masalh mengenai nilai-nilai karakter, sikap-sikap yang dapat, membekali individu

mengambil tempat dalam masyarakat modern.

76
Kurikulum pendidikan moral harus mengakui ketegangn-ketegangan yang

diakibatkan oleh pertentangn antara tradisi dan perubahan. Perencanaan program

harus bertujuan mengembangkan satu perspektif moral yang kritis yang

memberikan kesanggupan kepada siswa mempergunakan keterampilan-

keterampilan modern. Kurikulum pendidikan moral hendaknya dapat membantu

mereka mempengaruhi komitmen mereka terhadap nilai-nilai tradisional yang

fundamental.

5. Pengaruh Kondisi Sosial-ekonomi Terhadap Tingkah Laku Moral

Kemiskinan dan moralitas kadang-kadang tidak dapat hidup berdampingan.

Faktor kemiskinan dapat mendorong untuk melakukan sesuatu perbuatan yang

bertentangan dengan ajarn moral. Namun demikan tidak selamanya tindakan yang

bertentangan dengan ajaran moral didorong karena kemiskinanan, Karena

kebutuhannya. Malahan tindakan-tindakan seperti itu sering juga dilakukan oleh

orang kaya. Seorang majikan perusahaan dengan teori ekonominya yang berusaha

memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya dengan modal yang sekecil-

kecilnya, akan memperlakukan buruhnya hanya sebagai factor produksi belaka.

Tindakan-tindakan korupsi sering dilakukan oleh orang-orang yang kuat

ekonominya. Keserakaan mengumpulkan harta mengakibatkan sering

77
mengabaikan hak-hak seharusnya diterima oleh orang lain dan sering

menyebapkan terjadinya unsur-unsur pemerasan.

Orang-orang yang merasa dirampas kebutuhannya. Kebutuhan dasarnya

seperti makanan, pakaian, perumahan, pelayanan, kesehatan, simpati, dan rasa

kasih saying akan menjadi prestasi. Hal ini dapat berkembang menjadi tindak

kejahatan. Dalam suatu Negara dimana terdapat diskriminasi ras, suku, bangsa,

diskriminasi kasta, diskriminasi antara yang punya dan tidak punya, akan

memperoleh kesulitan dalam mengembangkan nilai-nilai moral yang dikehendaki.

6. Hubungan antara Pendidikan Moral dengan Pendidikan Agama

Dinegara-negara yang kuat kehidupan beragamanya pendidikan agama

dipandang sebagai pendidikan yag fundamental dalam usaha pembentukan

manusia-manusia yang dikehendaki oleh pandangan hidupnya. Dalam Negara

seperti ini biasanya pendidikan agama didukung bersama-sama baik oleh

masyarakat, badan-badan keagamaan dan oleh pemerintah. Di Indonesia, seperti

contoh, tujuan yang pertama dari pada pendidikan nasionalnya adalah untuk

membentuk manusia yang bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa. Pembentukan

manusia seperti ini sebagian besar merupakan porsi dari pendidikan agama.

Dalam Negara agama seperti Negara-negara Islam, peranan pendidikan

moral dapat digantikan oleh pendidikan Agama. Dalam Negara-negara sekuler

tidak ada program pendidikan agama yang diselenggrakan oleh pemerintah.

78
Karena itu ada semacam kekosongan aspek kehidupan individu yang tidak

dikembangkan, yaitu aspek pengembangan moral. Pendidikan moral diberikan

untuk mengganti peranan pendidikan agama yang dikenal dalam masyarakat dan

Negara yang kuat kehidupan agamanya.

Mereka yakin bahwa program pendidikan moral yang baik dapat

dikembangkan tanpa dihubungkan dengan agama. Ini mungkin diperlukan dalam

masyarakat majemuk dalam beragama, dalam penduduk yang merupakan

campuran antara yang beragama dan tidak beragama. Bahkan mengajarkan semua

agama dapat di gunakan untuk menanamkan nilai-nilai moral, demikian juga

mengajarkan toleransi agama dan pemahamannya kepada anak dipandang sebagai

sesuatu yang dapat dilakukan. Untuk tujuan perlu dilakukan kajian yang lebih

dalam tentang kemungkinan yang mengajarkan berbagai macam agama yang

dianut oleh masyarakat dan gejala-gejala keagamaan agi satu keseluruhan

terhadap semua anak.

Pandangan seperti ini tentu harus dikaji lebih hati-hati, oleh karena hal ini

dapat menghasilkan pandangan dan keyakinan seseorang terhadap agama yang

dianutnya. Bila hal ini terjadi, maka dapat mengurangi osensi pendidikan agama

dalam membentuk pribadi-pribadi yang dikehendaki oleh kaidah-kaidah agama.

Dalam Negara di mana Pendidikan Agama Dan Pendidikan moral

diberikan sebagai bagian dari Pendidikan Nasionalnya, penting artinya kajian

79
tentang hubungan pendidikan agama dan pendidikan moral. Kedua sebjek tersebut

dapat saling mendukung dalam bats-batas karakteristiknya masing-masing. Dan

tidak sebagai sesuatu yang harus dipertentangkan.

7. Kemerdekaan Berpikir dan Berekspresi

Kebudayaan modern meletakkan tekanan utama pada pengembangan

individu tidak hanya sebagai bagian masyarakat, akan tetapi sebagaiseseorang

yang memiliki pribadi. Konsep demokrasisebagai sikap hidup juga menekankan

bahwa setiap individu harus merdeka memilih berbagai aspek kehidupan.

Misalnya memilih pendidikan, memilih pekerjaan, memilih temoat tinggal,

menentukan gaya hidup, memilih partai politik yang disukai. Ini dapaat

mendatangkan konflik.

Program pendidikan moral harus memberikan kemampuan kepada anak,

untuk bertanggung jawab dan bekerjasama dengan anggota masyarakat dalam

mengembangkan individu mereka sesuai dengan kenutuhan dan aspirasi. Sekolah

dan masyarakat harus memberikan kemerdekaan penuh kepada anak untuk

menyatakan pendapat-pendapat mereka dalam segala persoalan hidup termasuk

masalah-masalah agama dan politik.

Masalah ini juga berhubungan dengan konflik antara pembangunan individu

dan kebutuhan masyarakat. Pada prinsipnya, pembangunan individu harus selaras

80
dengan kebutuhan-kebutuhan masyarakat. Akan tetapi dalam banyak hal, akan

terdapat konflik antara kedua hal ini. Dalam hal kedua kebutuhan tersebut sama

pentingya, maka akan terjadi pemilihan-pemilihan mana yang lebih diutamakan.

Konsep mementingkan kepentingan umum, kepentingan Negara di atas

kepentingan perorangan atau golongan, akan menampakkan pertentangan-

pertentangan dalam kenyataannya.

8. Konflik antara Pengertian Nasionalisme dan Internasional

Sala satu aspek penting dalam program Pendidikan moral semua Negara

berkaitan dengan pembangunan semangat patriotisme dan identitas nasional pada

anak. Ini diperlukan untuk tujuan tertentu terwujudnya kekuatan dan terintegrasi

nasional, Khususnya jika kemerdekaan dan keamanannya terancam dalam

berbagai bentuk. Akan tetapi jika menyangkut identitas nasional, kadang-kadang

melahirkan chauvinism dan perasaan yang kuat dari warga Negara suatu Negara

berkembang kepada satu keyakinan bahwa negaranya selalu benar.

Dalam keadaan yang demikian, dunia selalu dipandang dari sudut

kepentingan negaranya sendiri. Apabila ini berkembang maka prinsip hidup

berdampingan secara damai dengan menghargai perbedaanprinsip sosial ekonomi

yang berbeda akan terganggu. Satu hal yang menjadi tujuan penting dari pada

pendidikan moral adalah membuat anak menyadari kenyataan bahwa dunia

81
seluruhnya adalah satu masyarakat yang dibentuk oleh bagsa-bangsa yang saling

membutuhakan satu sama lain. Bahwa kehidupan penduduk dunia yang

bergantung kepada kerja sama timbale balik. Anak harus mampu menghargai

sumbangan yang diberikan oleh kemajuan dunia dan menydari akan adanya,

berbagai konflik diantara berbagai Negara. Apabila konflik itu berlangsung maka

dunia akan menjadi tempat yang akan sangat tidak menyenangkan untuk hidup.

9. pengorganisasian program pendidikan Moral sesuai dengan Tingkat

perkembangan anak

Kebutuhan untuk menyesuaikan pengorganisasian program pendidikan moral

dengan tingkat perkembangan anak khusunya di Negara-negara Asia masi

merupakan harapan dan belum merupakan kenyataan. Kenyataan bahwa

tahapan moral perkembangan kognitif diantara anak-anak asia belum

didefinisikan dengan jelas. Dalam pada tahap itu usaha-usaha untuk membuta

identifikasi tahap-tahap penalaran moral, kesimpulan tahp-tahap yang tepat

belum diadakan. Karena itu pengorganisasian program pendidikan moral yang

sesuai dengan tingkat perkembangan hanyalah dikira-kira. Karena itu, jelas

adanya kebutuhan anak mengkaji secara empiris akan perkembangan moral

anak-anak dia Asia,

10. Pendidikan Moral, apakah merupakan subyek yang bebas atau Subjek

Terintegrasi
82
Apakah program pendidikan moral itu akan lebih efektifbila berdiri secara

sendiri dibandingkan dengan yang diintegrasikan dengan subjek-subjek yang lain ?

kadang-kadang diberikan alasan bahwa pendidikan moral dapat diintegrasikan

dengan subjek lain misalnya: Studi sosial, kesusastraan, pengajaran agama dan

seterusnya. Akan tetapi ini membawa kita kepada pertanyaan lain. Bagaimana

Guru mempersiapkan dengan baik dengan menggunakan pendekatan integratif.

Pendekatan integrative ini sering menimbulkan pendidikan moral hanya bersifat

isindentil dan kurikulum. Dipihak lain dengan pendidikan moral sebagai suatu

subyek yang terpisah menimbulkan masalah lain. Sebagian besar Negara-negara

mencoba mengurangi beban kurikulum.

11. Strategi pengajaran dalam pendidikan moral

Pada umumnya strategi pengajaran yang dilakukan oleh guru bergerak dari

penyampaian secara langsung sampai kependekatan tidak langsung seperti

penggunaan diskusi, studi kasus, model dan analisis situasi. Terkadang

Mahasiswa diberi keterampilan yang memungkinkan mereka dapat menangani

masalah-masalh moral melalui pengambangan nilai (Clarivication of Values) dan

penganalisaan secara hati-hati konsekuensi dari masalh-masalah moral. Sebagian

besar startegi yang digunakan adalah indoktrinasi.

83
Pembentukan kebiasaan-kebiasaan tertentu dan sikap-sikap pada remaja,

refleksi nilai-nilai teradisional seperti memperlihatkan rasa hormat terhada

pemimpin sangat bergantung pada lingkungan karena tidak ada seperangkat dogma

yang dapat diajarka untuk itu. Strategi mengajar yang bagaimana yang paling tepat

untuk menanamkan rasa hormat terhadap orang tua, menanamkan rasa

kebersamaan, rasa kasi sayang terhadap sesame manusia? Kemungkinan

menggunakan metode indoktrinasi harus dihindarkan jika strategi pengajaran

menggunakan pendidikan rational.

12. Evaluasi

Pendidikan moral adalah satu proses perkembangan dan internalisasi nilai-nilai

hanya dapat tejadi lama setelah pelajar meninggalkan sekolah. Penilaian pengaruh

pendidikan moral dalam jangka panjang belum dipelajari. Aspekyang baru dilihat

adalah pertimbangan moral. Dengan memperhatikan sejumlah alat-alat evaluasi

yang ada bagi pendidikan moral, satupenyelidikan kritis yang hati-hati diusahakan

mencapai tingkat kesahihan dan kebenaran yang tinggi.

13. Persiapan Guru bagi pendidikan moral

Persiapan Guru merupakan masalah pokok dalam mengimplementasikan sikap

kurikulum. Keberhasilan program pendidikan moral di sekolah bergantung kepada

luasnya pengertian Guru dan komitmen guru terhadap pendidikan moral. Guru-

84
guru sering menampilkan ketidak senangannya pada peranan sebagai incultator

nilai-nilai moral dengan menunjukkan tidak memadainya model-model tingkah

moral. Masalah menyajikan pendidikan moral kepada sejumlah besar anak tidaklah

dipandang sederhana. Konsepsi dan isi prinsip-prinsip pedagogis dari pendidikan

moral harus tersedia pada guru. Ini akan memerlukan pemahaman sistematis dari

domain moral dan bagaimana membawa siswa kedalamnya. Diatas semua itu satu

program latihan guru yang terencana dalam pendidikan moral harus memampukan

guru menjadi sadar akan nilai-nilai yang dengan sadar atau tidak disampaikan

melalui hidden curriculum.

14. Pengaruh Media Massa terhadap pendidikan Moral

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah membuat komunikasi

massa sebagai satu kenyataan hidup sehari-hari. Tidak semua manusia yang bebas

dari pengaruh media massa. Pengaruh ini khususnya menyangkut bagian terbesar

pemuda yang mengetahui dan menikmati hidup. Penggunaan media massa yang

bijak dapat menjadi alat yang efektif dalam mengembangkan pikiran pemuda

dalam arah yang diinginkan. Di banyak Negara, media massa dipengaruhi oleh

usaha-usaha besar, advertensi dibawa tekanan ini media massa memberikan

pandangan-pandangan hidup yang menyimpang. Ini acap kali melahirkan tuntutan-

tuntutan buatan dan mendorong penggunaan secara mubazir sumber-sumber daya

masyarakat. Komersialisasi untuk mempertinggi penjualan menghambat aspek


85
pengaruh media massa terhadap pikiran remaja. Dalam banyak segi pikiran

masyarakat remaja dikondisikan oleh televisi, Radio, dan surat kabar. Sudah

waktunya bagi para ahli untuk mengambil pandangan yang serius terhadap situasi

seperti itu, dan berusaha merubahnya sebelum terlambat.

15. Dilema dalam mengarahkan pembangunan masyarakat manusia

Dalam rangka memberikn arah perkembangam anak melalui pendidikan

moral, menjadi jelas bagi kita arah kesadaran manusia akan literatur dapat

menjelaskan kepada kita arah tersebut. Akan tetapi malah itu saja belum memadai

untuk mengatasi masalah (persoalan) dewasa ini. Diatas itu semua, konsep dari

banyak Negara “ Maju” dan yang lain “sedang berkembang” meletakkan satu

tekanan yang tidak memuaskan pada GNP sebagai summum bonum dari

kehidupan manusia dan termasuk seluruh masyarakat yang sedang berkembang

berusaha menjelaskan arah pembangunannya kepada masyarakat “maju” hanya

dilihat dari segi kemajuan teknologi dari Negara-negara kaya.

Sedemikian jauh, jaringan kebahagiaan manusia dan perkembangan moral

adalah berkaitan. Semua masyarakat sebenarnya dalam satu Negara yang

berkembang. Dalam kenyataannya kemajuan teknologi dan disertai kemakmuran

telah menimbulkan masalah/masalah baru untuk mana masyarkt manusia belum

dipersiapkan, ternyata ada satu kebutuhan untuk melancarkan satu kajian yang

86
sungguh-sungguh mengenai masa depan arah perkembangan kesadaran dan

masyarakat manusia. Masalahnya harus dipandang tidak hanya dari sudut ekonomi

dan politik,tetapi juga dari titik pandang semangat dalam manusia mencari arti

hidup didunia ini yang menjadi berguan dan permusuhan setiap hari.

Selanjutnya Daoen mengemukakan tentang hubungan antara nilai dan

kebudayaan sebagai berikut : “Kebudayaan adalah sistem nilai dan ide yang

dihayati oleh sekelompok manusia disuatu lingkungan hidup tertentu disuatu kurun

waktu tertentu” ide tersebut dapat dikatakan “Vital” karena ia adalah ide dengan

mana kita mahluk manusia, menjalankan dan mengatur hidup kita. Jadi ia banyak

sedikitnya merupakan seperangkat keyakinan hidup, sebuah katalog dari pendirian

aktif kita tentang sifat dunia kita beserta sesama mahluk yang mendiaminya,

keyakinan mengenai hirarki dan nilai segala sesuatu mana yang lebih dan mana

yang kurang di muliakan ataupun di hargai.

Dengan kata lain pada hakekatnya kebudayaan adalah manifestasi dari

sistem nilai dari beberapa unsure nilai. Hal ini dapat diyakinkan dari ungkapan

Daoed Joesoef, lebih lanjut yang berbunyi sebagai berikut: individu, maka di

pandang dari sudut masyarakat sebagai keseluruhan, kebudayaan kiranya dapat di

artikan sebagai segenap perwujudan dan keseluruhan hasil pikiran (logika),

kemauan (etika) serta perasaan (estetika) manusia dalam rangka perkembangan

87
kepribadian manusia, perkembangan hubungan manusia dengan Tuhan Yang

Maha Esa.

Dengan demikian maka kebudayaan, termasuk pendidikan, merupakan

segenap perwujudan dari keseluruhan nilai, dalam hal ini penulis mengemukakan

suatu batasan sebagai titik tolak dari keseluruhan tulisan ini: “ nilai adalah suatu

sifat dari suatu hal yang berhubungan dari suatu subjek yang berharga. Yang di

maksud dengan subjek itu dapat berupa benda ataupun pribadi (manusia). Jadi

baik- buruk, indah- jelek, mahal- murah, luhur- nista, dan sebagainya adalah

beberapa bentuk perwujudan nilai.

B. Kaitan antara Nilai dan Kebudayaan serta Moral dan Pendidikan

Mengenai kaitan antara nilai dan kebudayaan dapat di lihat pada

kebijaksanaan umum Bab 18, mengenai kebudayaan Nasional dan kepercayaan

terhadap Tuhan yang Maha Esa dalam Rencana pembangunan lima tahun

(REPELITA). Tahun 1979/1980-1983/1984 yang berbunyi sebagai berikut: Usaha

Pengembangan Kebudayaan Nasional tecarrmasuk pembinaan penghayat

kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, secara umum dimaksudkan untuk

mewudkan terbinanya nilai-nilai budaya yang memperkuat kepribadian bangsa,

mempertebal harga diri dan kebangsaan nasional serta memperkokoh jiwa

kesatuan nasional. Kebudayaan Nasional termasuk pembinaan penghayatan

88
terhadap Tuhan Yang Maha Esa terus di bina atas norma-norma yang tetap

mencerminkan kepribadian bangsa dan meningkatkan nilai-nilai yang luhur.

Berkenaan dengan masalah sistem nilai dan sikap hidup (mental) perlu di

tiadalkan dan cegah nilai-nilai sosial budaya yang bersifat feudal dan kedaerahan

yang sempit. Begitu pula dengan masuknya modal dan teknologi baru perlu di

hindari perkembanganya nilai-nilai yang bertentangan dengan pancasila maupun

nilai-nilai tradisional negatif yang dapat merusak kesetia-kawanan dalam

perjuangan dan memperoleh kesatuan dan persatuan nasional.

Pada hakekatnaya dari perumusan Notonegoro dapat di lihat bahwa nilai

moral adalah salah satu istansi dari nilai kerohanian yang sering di sebut pula

(nilai) Etika atau Karsa. Dengan kata lain ” moral “ adalah salah satu bentuk nilai.

Dalam penerapannya pendidikan tentang nilai melalui jalur pendidikan

formal, diberikan dalam bentuk pendidikan moral atau jalur pendidikan formal,

diberikan dalam bentuk pendidikan mora atau etika. Dahulu di Indonesia pernah

diberikan dengan istilah Budi pekerti. Jika dilihat dari pendapat Notonegoro maka

dapat dilihat dengan jelas bahwa titik berat nilai “budi” atau “Cipta” itu adalah

akal, rasio, atau logika.

Pada waktu tersebut Pendidikan Moral pancasila di berikan mulai dari

Taman kanak-kanak sampai dengan perguruan Tinggi, dan hal tersebut dapat

89
dilihat pada GBHN yang berbunyi sebagai berikut : “Pendidikan Pancasila

termasuk Pendidikan Moral Pancasila dan unsur-unsur yang dapat meneruskan dan

mengembangkan jiwa dan nilai-nilai 1945 kepada generasi muda di masukkan

kedalam kurikulum di sekolah-sekolah, mulai dari Taman kanak-kanak sampai

Universitas, baik negeri maupun swasta”.

Pengertian Moral berasal dari kata latin “mores” yang berarti kaidah tentang

perbuatan dan sikap manusia yang baik dan buruk. Pengertian moral (bahasa latin

“moralis”) berarti kesanggupan manusia untuk memilih perbuatan dan sikap mana

yang baik dan buruk, dapat pula memilih mana yang benar dan salah dalam

pembentukan watak pribadi seseorang. Didalam suatu masyarakat harus ada

kesepakatan mengenai ide dan keyakinan moral tertentu.Dalam masyarakat

Indonesia ialah moral pancasila, termasuk didalammya niali-nilai 1945.

C. Sistem Nilai yang ada dalam Masyarakat Indonesia

Pengungkapan seluruh nilai dan perwujudannya secara nyata ditata dalam

suatu sistem yang di Indonesia dapat bersumber dari beberapa “Moral Force” yang

mempunyai kekuatan moral untuk melaksanakan kehendaknya kepada masyarakat

dalam batas-batas lingkungan kawasannya. Sistem nilai di Indonesia, menurut

pengamatan penulis dapat dibedakan dalam empat “subsistem” yang bila ditinjau

dari sumbernya dapat dibedakan seperti dibawa ini:

90
a. Sistem Nilai ke-Tuhanan Yang Maha Esa

Di dalam sistem nilai ini semua perwujudan nilai dalam hubungan antara

manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa, antara manusia dengan alam, dan

antara manusia dengan manusia, berasal dan diatur oleh Tuhan Yang Maha

Esa menurut keyakinan agama dan kepercayaan tiap-tiap individu. Sistem

nilai yang bersumber dari nilai-nilai ke Tuhanan ini bersifat universal.

Agama-agama besar di dunia yang berprinsip Monotheisme (ke-Tuhanan

yang Maha Esa,satu Tuhan) terwakili di Indonesia yaitu islam, Kristen,

katolik romawi, Hindu, dan Budha. Meskipun sekitar 90% penduduk

Indonesia adalah penganut islam, Namun daerah-daerah tertentu dimana

penduduknya yang dominan beragama buka islam, misalnya Agama Kristen

di Tapanuli utara, Agama Katolik di Flores, agama Hindu-Budha di Bali. Di

samping itu masih terdapat masyarakat heterogen yang pada umumnya

terdapatdikota-kota besar.

Sistem Nilai pada masyarakat yang menganut salah satu agama yang

dominan di suatu wilayah tertentu, pengaruh agama yang bersangkutan

sangat berperan dalam sistem nilai pada masyarakat tersebut sejauh

jangkauan kawasan pengaruhnya.

b. Sistem nilai Tradisional

91
Indnesia telah berabad-abad menjadi bangsa yang berbudaya, beradab

dan jaya. Dengan sendirinya masyarakat Indonesia telah memiliki tata

nilai yang tersusun dalam suatu sistem yang sudah berakar dalam tata

kehidupan menurut lingkungan kawasan masing-masing.

Sarjana Hukum adat terkenal Mr.Van Vollen Hoven membagi

Indonesia menjadi 19 lingkungan hukum adat (Adat recctskringen) yang

masing-masng mempunyai cirri-ciri sendiri. Dengan demikian setiap

lingkungan masyarakat adat mempunyai cirri-ciri sendiri. Dengan

demikian setiap lingkungan masyarakat adat mempunyai sistem nilai

menurut luas pengaruh kawasan adanya masing-masing. Hal ini pulalah

yang antara lain memberikan warna kepada ke-Bhinekaan Tunggal Ika-

an di Indonesia.

c. Sistem nilai kontenporer

Didalam pergaulan antar bangsa,hubungan antar benua sudah bukan

merupakan persoalan lagi. Komunikasi melalui Radio, TV, dan satelit, serta sarana

transportasi antar benua seolah-olah membuat planit kita ini menjadi kecil.

Teknologi modern menjadikan hubungan dan pertukaran kebudayaan dan saling

pengaruh-mempengaruhi mengenai sistem nilai dan nilai itu sendiri menjadi lebih

mudah. Nilai-nilai yang berasal dari sistem nilai dunia barat yang bersifat positif

dan negative sehingga merupakan nilai-nilai yang kontroversial dan perlu


92
dipecahkan oleh masyarakat sendiri. Hal inilah yang menyebapkan perbedaan-

perbedaan penerima dan penyerapan didaerah-daerah yang dipengaruhi oleh sistem

nilai yang bersumber dari sistem nilai agama, tradisional, atau cirri-ciri masyarakat

pedesaan dan kota.

d. Sistem Nilai nasional

Sistem nilai nasional adalah hasil kesepakatan seluruh warga masyarakat

Indonesia, tanpa kecuali, yang dituangkan dalam prinsip-prinsip luhur yang dikenal

sebagai “pancasila”. Dengan demikian sistem nilai yang bersumber dari “pancasila

“ ini merupakan norma dasar (Groundnorm) dan merupakan pula pandangan hidup

bangsa Indonesia. Sistem nilai nasional ini selain mengandung nilai-nilai yang

bersumber Universal dan mencakup nilai-nilai yang jangkauannya bersifat regional

seperti nilai-nilai tradisional. Sudah barang tentu dalam kerangka Bhineka Tunggal

Ika.

Keempat sistem nilai yag terdapat di dalam masyarakat Indonesia itu sangat

dipengaruhi oleh dimensi-dimensi keadaan (situasi) waktu, dan ruang (tempat).

Namun demikian ada bagian-bagian dan prinsip-prinsip tertentu yang tidak dapat

ditawar-tawar dalam segala keadaan, waktu, dan tempat seperti nilai-nilai pancasila

dan Undang-undang Dasar 1945 sudah terserap dan terkandung semua prinsip dan

93
pandangannya yang asasi dari keempat sistem nilai tersebut yang pada hakikatnya

adanya empat “Sub sistem” merupakan suatu kebulatan sistem nilai di Indonesia.

Sistem nilai di masyarakat Indonesia merupakan suatu kebulatan yang tidak

dapat dipisah-pisahkan tetapi dapat dibeda-bedakan. Nilai-nili tertentu sangat

dipengaruhi oleh dimensi situasi, waktu dan tempat. Misalnya sistem nilai

Ketuhaan hanya berisi pengaruh kepada penganut-penganutnya saja. Sistem nilai

tradisional (adat) hanya terbatas didalam wilayah hukumnya. Sistem nilai

Kontenporer tertentu hanya terbatas kepada warga strata sosialtertentu.

DAFTAR PUSTAKA

Bambang Daruso, 1989. Dasar dan konsep Pendidikan Moral.

Semarang: Aneka Cipta

Darji Darmodiharjo. 1989. Sekitar Pendidikan moral Pancasila. Jakarta:

Proyek pembinaan Pendidikan Moral Pancasila, Dikjen Dikdasmen

Dekdibbud .

I Wayan Koyan. 2000. Pendidikan Moral, Pendekatan Lintas Budaya .

Jakarta : Dirjen Dikti, Dekdipnas

94
M.Sudomo.1980.Metode Pendidikan dan Evaluasi dalam Pendidikan

Moral Pancasila. Jakarta: Kantor Wilayah Dekdibud.

Numan Soemantri. 1997. Metoda Mengajar Civics Jakarta: Erlangga.

Mohammad Nur Syam. 1983. Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan

Pancasila. Surabaya: Usaha Nasional.

Ronal Ducka & Marriellen. 1982. Perkembangan Moral-terjemahan

Ikip Sanata Dharma.Yogyakarta : Yayasan Kanisius

Soenarjati Moehadjir. 1980. Pengantar Pendidikan Moral Pancasila-Jurusan

Civics Hukum FKIS-IKIP Yogyakarta.

Sofyan Aman. 1982. Mengenal beberapa hal tentang P.M.P.- Tim P.M.P. Ditjen

Dikdasmen Depdikbud.

Sri Soeprapto Wirodiningrat. 1982. Nilai-nilai dan Moral Pancasila Fakultas

Filsafat, Universitas Gadjah Mada.

Zakariah Daradjat. 1977. Membina Nilai-nilai moral Indonesia. Jakarta: Bulan

Bintang

95
96
97

Anda mungkin juga menyukai