1. Pengertian Epistemologi
Epistemologi sering disebut dengan teori pengetahuan (theory of knowledge). Epistemologi berasal
dari kata Yunani episteme artinya pengetahuan dan logos artinya ilmu atau teori. Jadi Epistemologi
dapat dikatakan sebagai cabang filsafat yang mempelajari asal mula sumber, struktur, metode dan
syahnya pengetahuan.
Menurut Conny Semiawan dkk, (2005:157) epistemologi adalah cabang filsafat yang menjelaskan
tentang masalah-masalah filosofi sekitar teori pengetahuan. Fokus pada makna pengetahuan yang
dihubungkan dengan konsep, sumber dan kriteria pengetahuan jenis pengetahuan dan sebagainya.
Harold Titus (1984 : 187-188) menjelaskan tiga persoalan pokok dalam bidang epistemologi, yaitu
sebagai berikut :
a. Apakah sumber pengetahuan itu ? Dari mana datangnya pengetahuan yang benar ? dan
bagaimana cara mengetahuinya ?
b. Apakah sifat dasar pengetahuan itu ? Apa ada dunia yang benar -benar diluar pikiran kita ?
dan kalau ada, apakah kita bisa mengetahuinya ?
c. Apakah pengetahuan itu benar (valid) ? Bagaimana kita dapat membedakan yang benar dan
yang salah ?
Kattsoff (1987 : 76), menyatakan secara umum pertanyaan epistemologi menyangkut dua macam,
yaitu epistemologi kefilsafatan yang erat hubungannya dengan psikologi dan pertanyaan –
pertanyaan semantik yang menyangkut hubungan antara pengetahuan dengan objek pengetahuan.
Epistemologi meliputi sumber, sarana dan tata cara menggunakan sarana tersebut untuk mencapai
pengetahuan (ilmiah). Pengetahuan yang diperoleh manusia melalui akal, indera dan lain- lain
mempunyai metode tersendiri dalam teori pengetahuan, diantaranya adalah sebagai berikut :
a. Metode induktif
Metode yang menyampaikan pernyataan hasil observasi dan disimpulkan dalam suatu
pernyataan yang lebih umum. Metode induksi tersebut memberikan suatu pengetahuan
yang disebut sintetik
b. Metode deduktif
Metode ini menyimpulkan bahwa data empiris diolah lebih lanjut dalam suatu system
pernyataan yang runtut. Perbandingan yang logis harus ada dalam metode ini.
c. Metode positivisme
Dikeluarkan oleh August Comte (1798-1857) metode ini berasal dari apa yang telah
diketahui, yang faktual, yang positif. Metode ini keberadaan menolak metafisika.
d. Metode kontemplatif
Metode ini mengatakan adanya keterbatasan indra dan akal manusia untuk memperoleh
pengetahuan, sehingga objek yang dihasilkanpun ajan berbeda-beda, seharusnya
dikembangkan satu kemampuan akal yang disebut dengan instuisi.
e. Metode dialektis
Merupakan tahap logika, yang mengajarkan kaidah-kaidah dan metode penuturan juga
analisis sistematis tentang ide – ide untuk mencapai yang terkandung dalam pandangan.
2. Persyaratan Epistemologi
Ilmu harus memiliki dasar pembenaran, bersifat sistematis dan sistemik serta bersifat intersubjektif.
Ketiga ciri tersebut saling terkait dan merupakan persyaratan bagi pengetahuan untuk disebut
pengetahuan ilmiah atau ilmu pengetahuan. Persyaratan tersebut menurut Conny R. Semiawan
(2005: 99)
Berikut adalah syarat-syarat terpenting bagi suatu pengetahuan untuk dapat tergolong ke dalam
suatu ilmu atau pengetahuan ilmiah :
- Dasar pembenaran menuntut pengaturan kerja ilmiah yang diarahkan pada perolehan
derajat kepastian sebesar mungkin. Pernyataan harus dirasakan atas pemahaman apriori
yang juga didasarkan atas hasil kajian empiris
- Semantik dan sistematik masing – masing menunjuk pada susunan pengetahuan yang
didasarkan pada penyelidikan ilmiah yang terhubungannya merupakan suatu kebulatan
melalui komparasi dan generalisasi secara teratur
- Sifat intersubjektif ilmu atau ilmu pengetahuan tidak dirasakan intuisi dan sifat subjektif
seseorang, namun harus ada kesepakatan dan pengakuan akan kadar kebenaran dari ilmu itu
dalam setiap bagian dan di dalam hubungan menyeluruh ilmu tersebut, sehingga tercapai
intersubjektivitas
Intersubjektivitas lebih eksplisit menunjukkan bahwa pengetahuan yang telah di peroleh seorang
subjek harus melalui verifikasi oleh subjek – subjek lain supaya pengetahuan itu lebih terjamin
keabsahannya
a. Dasar pembenaran
Setiap pemikiran atau seluruh cara kerja ilmiah diharuskan untuk memperoleh suatu
kepastian atau pembenaran. Pemahaman yang dapat dibenarkan haruslah diuji melalu suatu
metode ilmiah yang telah teruji kebenarannya untuk menjadi sebuah pengetahuan ilmiah.
Ada banyak cara untuk memperoleh dasar pembenaran dimana setiap prosesnya memiliki
kecenderungan bertambah dan berkembangnya ilmu pengetahuan.
Ada dua metode ilmiah yang yang dipakai dalam konsep ini :
o Pendekatan Objektif.
o Akseptabilitas
Menurut Foucalt (Semiawan 2005:101) dalam masyarakat modern ada lima karakteristik
dasar yaitu :
1. Kebenaran difokuskan pada tuturan (wacana) ilmiah serta institusi -institusi yang
menghasilkannya.
2. Kebenaran tunduk pada tuntutan atau pengarahan pihak – pihak yang berperan dalam
ekonomi dan politik
3. Kebenaran yang berkembang melalui institusi Pendidikan dan informasi yang terdapat
dalam masyarakat
4. Kebenaran dihasilkan serta disebar luaskan dibawah kontrol atau dominasi beberapa
gelintir apparat politik dan ekonomi yang serba ekslusif
5. Kebenaran menjadi isu semua kebenaran politik dan pertentangan atau perdebatan
ideologis dan sosial.
b. Sistemik
Maksud dari sistemik ialah suatu pengetahuan ilmiah maupun cara memperoleh
pengetahuan ilmiah itu sendiri haruslah ada sistem didalamnya. Yang mana suatu kajian
ilmiah tidak akan membatasi diri hanya pada satu informasi tapi berusaha untuk
menemukan suatu perbandingan, pemeringkatan dan generalisasi sehingga dapat
meletakkan suatu hubungan yang bersifat sistemik secara horizontal antara berbagai bidang
pengkajian atau pendirian dan isi pengetahuan.
c. Intersubjektif
Intersubjektif menekankan bahwa suatu pengetahuan yang telah di peroleh oleh seseorang
harus diverifikasi oleh subjek – subjek lain untuk kemudian membuktikan adanya kesamaan
hasil jika menggunakan metode yang sama. Dengan begitu penelitian tersebut dapat
dikatakan objektif.
4. Perihal Pengetahuan
Ada banyak sekali pemikiran mengenai cara mendapatkan pengetahuan, baik melalui
pengalaman, pengalaman indera ataupun pengalaman bathin. Paham pertama, dikemukakan
oleh John Hospers dan Knight (1982) bahwa dalam mengetahui memerlukan alat berupa
pengalaman indera, nalar, wahyu, otoritas, intuisi dan keyakinan. Paham lainnya menyatakan
pengetahuan didapatkan dari hasil pengamatan.
Jan Hendrik Rapar (2005: 38-39) Membagi pengetahuan menjadi tiga jenis, yaitu pengetahuan
biasa yang didapat dari hasil penyerapan indera terhadap objek-objek pada kehidupan sehari-
hari, pengetahuan ilmiah adalah pengetahuan yang di peroleh melalui penggunaan metode-
metode ilmiah yang lebih terjamin dan yang terakhir adalah pengetahuan filsafati. Pengetahuan
ini diperoleh melalui pemikiran rasional yang di dasarkan pada pemahaman, penafsiran,
spekulasi, penilaian kritis dan pemikiran-pemikiran yang logis, analitis dan sistematis.
Mengenai masalah dasar atau sumber pengetahuan telah dijawab oleh aliran rasionalisme,
empirisme dan kritisme. Adapun masalah batas pengetahuan telah di jawab oleh aliran
dogmatism dan skeptisisme. Sedangkan masalah objek pengetahuan sendiri telah dijabarkan
dalam aliran idealisme dan realisme.
6. Perihal Kebenaran
Secara umum definisi kebenaran adalah kesesuaian antara pikiran dan kenyataan. Dalam aliran
Pragmatisme John Dewey (Gallaher, 2005:146) menyebutkan bahwa yang dimaksudkan
kebenaran adalah apa yang membawa hasil.
Pada umumnya ada beberapa teori kebenaran, yaitu kebenaran saling berhubungan, kebenaran
saling berkesesuaian, dan inherensi (Sudarsono : 2001:146) Perihal kebenaran menimbulkan
banyak pendapat. Plato menyatakan kebenaran yang utama adalah yang diluar dunia ini.
Sedangkan Rene Descrates mengatakan yang benar adalah apa yang jelas dan terpilah-pilah.
Dalam buku “The Meaning of Truth” William James (1842-1910) menjelaskan bahwa tiada
kebenaran mutlak yang berlaku umum, yang bersifat tetap, yang berdiri sendiri, lepas daripada
akal.
Untuk mengetahui penerapan 3 (tiga) macam teori tersebut pada bidang apa, periksa
skema berikut ini.
Dari gambaran peta keilmuan pada tabel di atas, tampak jelas bahwa pada dasarnya
epistemologi itu ingin meletakkan dasar keilmuan tentang bagaimana ilmu itu diperoleh. Sisi
keilmuan dapat dipeta-petakan menurut kepentingan dan cara memperolehnya. Masalah
epistemologi yang sejak dahulu dan juga sekarang menjadi bahan kajian adalah, apakah
berpengetahuan itu mungkin? Apakah dunia (baca: realita) bisa diketahui? Sekilas masalah
ini konyol dan menggelikan. Tetapi terdapat beberapa orang yang mengingkari pengetahuan
atau meragukan pengetahuan.
Mereka mempunyai beberapa alasan yang cukup kuat ketika berpendapat bahwa
pengetahuan sesuatu yang tidak ada atau tidak dapat dipercaya. Pyrrho salah seorang dari
mereka menyebutkan bahwa manusia ketika ingin mengetahui sesuatu menggunakan dua
alat, yakni indra dan akal.
Pyrrho ketika berdalil bahwa pengetahuan tidak mungkin karena kesalahan-kesalahan
yang indra dan akal, sebenarnya, ia telah mengetahui (baca: meyakini) bahwa pengetahuan
tidak mungkin. Dan itu merupakan pengetahuan. Itu pertama. Kedua, ketika ia mengatakan
bahwa indra dan akal sering bersalah, atau katakan, selalu bersalah, berarti ia mengetahui
indra dan akal itu salah. Dan itu adalah pengetahuan juga. Menurut Ibnu Sina, ad acara lain
yang lebih efektif untuk menghadapi mereka, yaitu pukullah mereka. Kalau dia merasakan
kesakitan berarti mereka mengetahui adanya sakit (akhir dawa’kay).
Rene Descattes termasuk pemikir yang beraliran rasionalis. Ia cukup berjasa dalam
membangkitkan Kembali rasionalisme di barat. Muhammad Baqir Shadr memasukkanya
kedalam kaum rasionalis. Ia termasuk pemikir yang pernah mengalami skeptisme akan
pengetahuan dan realita, namun ia selamat dan bangkit menjadi seorang yang menyakini
realita. Bangunan rasionalnya beranjak dari keraguan atas realita dan pengetahuan. Ia
mencari dasar keyakinannya terhadap Tuhan, alam, jiwa dan kota paris. Dia mendapatkan
bahwa yang menjadi dasar atau alat keyakinan dan pengetahuan adalah indra dan akal.
2. Macam-macam Epistemologi
Akan menjadi jelas bahwa akibat buruk yang menyertai penemuan Descartes mengenai
cogito tidaklah membuat kita tenang. Sementara “cogito” memberi suatu kepastian yang
kokoh, namun hal itu memiskinkan kadar kepastian ini. Sebab subjek yang dinyatakan
Descartes di dalam cogito adalah subjek yang benar-benar privat, terisolasi. Pada tahap ini,
ia merasa pasti mengenai eksistensi dirinya sendiri saja. Sebagai pengada berpikir, tidak
lebih dan tak ada yang lain.
Apa yang termaktub di dalam konsepsi Descartes mengenai kehidupan mental,
sebagaimana diperkembangkannya di dalam pemikirannya yang matang, adalah bahwa data
dari kesadaran adalah mululu keadaan subjektif. Ini termuat di dalam kemampuannya untuk
mengonsepsikan semua data pengalaman tanpa adanya referensi objektif dalam dirinya
sendiri. Karena kesadaran sebagaimana dipahami oleh Descartes tidak mempunyai referensi
objektif langsung kepada sesuatu pun yang berbeda dari diri saya sendiri, maka bila
referensi seperti itu harus ditegaskan, pastilah merupakan hasil dari suatu penalaran
tertentu.
Yang kita temukan di sini adalah persoalan subjektivisme. Persoalan ini sangat penting,
sebab hal ini membawa kita kepada pertanyaan: jika semua dari kesadaran saya pada
awalnya mempunyai nilai eksklusif dari suatu keadaan subjektif dari jiwa individual saya
sendiri, bagaimana saya pernah tahu tentang kodrat sesuatu yang lain dari diri saya? Atau
bahkan bagaimana saya bisa sampai pada kesadaran bahwa ada sesuatu yang berbeda dari
diri saya sendiri? Persoalan ini tidak dapat dianggap enteng, sebab dalam salah satu
bentuknya sendiri, hal ini merupakan persoalan yang digulati oleh filsafat modern sejak
Descartes. Tetapi masalahnya bukan saja khusus bagi Descartes, sebab caranya memandang
kesadaran adalah suatu cara yang merangsang setiap budi manusia pada suatu tingkat
tertentu refleksinya. Ini merupakan pandangan kaum ‘idealis’.
Maka disini perlu diperkenalkan perbedaan antara kaum realis epistemologi dan kaum
idealis epistemologi. Di sini sengaja akan dirumuskan secara luas: (a) Realisme epistemologi
berpendapat bahwa kesadaran menghubungkan saya dengan apa yang lain dari diri saya, (b)
Idealisme epistemologis berpendapat bahwa setiap tindakan mengatahui berakhir di dalam
suatu ide, yang merupakan suatu peristiwa subjektif murni. Perlu dicatat di sini bahwa kata
“ide”, yang merupakan asal dari idealisme epistemologis, tidak menunjuk secara khusus
atau petama-tama kepada ‘ide universal’ atau konsep dalam arti ketat. Setiap pengalaman
sadar merupakan ide, sehingga, melihat, merah, rasa manis, rasa sakit, gembira, berharap,
memilih, dan sebagainya adalah ide. Maka idealisme epistemologi sebagaimana
didefinisikan di atas sama dengan subjektivisme.
Descartes berpendapat bahwa dengan suatu refleksi yang teliti mengenai kebenaan
pertama (cogito) ia akan mampu untuk menemukan di dalam jaminan bagi kebenaran, yang
dapat digunakan sebagai patokan bagi kepastian selanjutnya. Perlu ditekankan bahwa
Descartes di sini hanya memusatkan perhatiannya kepada apa yang disebutnya “yang
tunggal atau simple”, yang sama dengan jelas dari dirinya sendiri, eviden, masuk akal. Apa
yang ditekankanya adalah sifat intuitif dari pengetahuan: apa yang aku lihat, aku lihat.
Pendiriannya adalah ini: kenyataan yang begitu positif dan langsung selalu termuat di dalam
ide yang jelas dan disting, sehingga isinya adalah real: perbedaan antara yang subjektif dan
objektif ditekan, dan budi mencapai apa yang mempunyai nilai pengetahuan tak bersyarat.
Bahkan Descartes sendiri telah menggunakan bahasa, dan dia seharusnya sudah
menyadari bahwa bahasa secara esensial bersifat sosial. Bahasa adalah suatu kenyataann
batas. Bahasa bukanlah milik dari diri tertentu: tetapi berada di bagian terdepan dialog.
Bahasa adalah gejala dari dialog. Maka hal pertama yang tak teragukan bukanlah bahwa
saya ada tetapi dialog. Secara empiris, saya menemukan diri di dalam bahasa. Maka, engkau
juga tekah diberikan kepada saya. Dialog memberikan engkau kepadaku sebgai suatu gejala
utama. Dialog juga memberikan kepadaku eksistensi dunia.
3. Tumbangnya Epistemologi
Epistemologi sebagai alat pilar dasar keilmuan, tidak akan selamanya berdiri tegak. Ada
kalanya, epistemologi tumpul dan diserang oleh cabang keilmuan lain. Bahkan dengan nada
yang sugestif Djojosuroto (2007) menyatakan bahwa akan atau telah terjadi matinya
epistemologi. Mati, tentu sebagai indikasi bahwa epistemologi tidak berfungsi bagi manusia.
Dalam nada yang mirip, Kaelan (2007) dan Sugiharto (1996:67) juga membuat pernyataan
tentang tumbangnya epistemologi. Saya memahami keduanya sama-sama hendak
mentuntut kritik epistemologi, agar mau mawas diri.
Konon, kematian atau tumbangnya epistemologi dapat dipahami lewat aktivitas akal budi
manusia. Kapan manusia berhenti bertanya? Nalar puitis berhenti bersuara saat pertanyaan
menjelma pengalaman yang pada gilirannya menukik pada pengetahuan. Sejarah adalah
hasil sedimentasi pengetahuan yang bercikal bakal pada lontaran pertanyaan nalar puitis.
Nietzsche dalam bukunya Beyond Good and Evil, mempersoalkan klaim universitas yang baik
dan yang jahat. Yang baik dan yang jahat, menurut Nietzsche, adalah bentukan sejarah
orang-orang yang kalah secara moral. Ia adalah sebentuk fiksi etis-komunitarian yang
diuniversalkan. Persoalan ini sepintas persoalan aksiologis (nilai). Namun, sesungguhnya ia
adalah persoalan epistemologis (pengetahuan). Bahwa pengetahuan kita tentang yang baik
dan yang buruk adalah buatan tangan sejarah. Konsekuensinya adalah itu bukan pilihan
satu-satunya.
Berakar dari proyek-proyek gencaloginya, Nietzsche pun dituduh sebagai pendaur ulang
klaim-klaim relativisme kaum sofis, gagasan yang mendapatkan pembenaran dari hamper
semua komentatornya. Nietzsche justru menjalakan nalar puitis guna mencari gramatika
epistemologi moral baru. Nietzsche membebaskan moral dari ikatan nalar konvensional.
Ikatan yang membuat moral seolah-olah bersimpuh pada satu metode.
Karl Raimund Popper, filsuf sains termasyhur, menolak bentuk komunitarianisme macam
itu. Ia menyerang relativisme paradigma yang digagas rekannya, Thomas Kuhn. Bagi Popper,
Kuhn menjebak nalar pada kubah-kubah komunitas ilmiah yang memacetkan daya
transendensinya. Daya transendensi nalar, menurut Popper,adalah saat nalar induksi
digantikan oleh nalar falsifikasi. Lahirlah nalar falsfikasi menggeser segala dogma, ideologi,
atau ilusi karena ia terbuka bagi falsifikasi. Puitiskah nalar falsifikasi Popper? Sungguh tak
dapat dipungkiri. Berkat falsifikasi, sains pun terlepas dari jerat konservatisme dan
bergandengan erat dengan kemajuan. Namun kemajuan yang dihasilkan bersifat linier dan
monisitik.
Dengan nada puistis, Djojosuroto (2007: 221) memunculkan kata hening. Kata ini
menyendor perhatian bagi orang yang gemar melacak keheningan lewat konsentrasi.
Keheningan dan kelainan berbeda dengan kesepian. Kita hidup dalam semesta yang
menyimpan seribu gramatika pembuka rahasia. Nalar yang sadar akan multiplisitas ini tak
akan berhenti pada satu sedimentasi sejarah. Melainkan, senantiasa bergulat mencari kunci-
kunci pembuka tanah tak berjejak yang tertimbun sejarah.
Tampaknya, gagasan tumbangnya epistemologi hanya hendak menyatakan bahwa ilmu
pengetahuan itu suatu saat akan goyah. Ilmu pengetahuan tidak pernah mutlak, biarpun
telah melalui penelitian mandalam. Ada kalanya ilmu pengetahuan digoyahkan oleh
tindakan metafisik yang menggunakan konsentrasi batin (hening). Suatu saat, epistemologi
juga merasa gerah dengan hadirnya estetika para penyair, yang diam-diam juga
melumpuhkan ilmu pengetahuan. Penyair yang gemar melahirkan dunia mungkin, kadang-
kadang melebihi kehebatan para pemikir. Penyair adalah pemikir jenius tentang ilmu
pengetahuan yang tak dipikirkan orang lain.