Anda di halaman 1dari 19

PENANGANAN VEKTOR DAN TIKUS DI PELABUHAN, KAPAL DAN

BUFFER AREA

MATA KULIAH
Pengendalian vektor dan binatang pengganggu-A
Dosen : Nur Utomo SKM., M.Sc.

Oleh:
Nama: Aryco Satria Wibowo
NIM: P1337433219036

KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLTEKKES KEMENKES SEMARANG
JURUSAN KESEHATAN LINGKUNGAN
PRODI SARJANA TERAPAN
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga saya dapat menyelesaikan makalah yang berjudul Penanganan Vektor dan Tikus di
Pelabuhan, Kapal dan Buffer Area ini tepat pada waktunya.
Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata
kuliah PVBP-A. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang
penanganan vektor dan tikus di pelabuhan, kapal dan buffer area bagi para pembaca dan juga
bagi penulis.
Saya mengucapkan terima kasih kepada bapak Nur Utomo SKM., M.Sc., ST.,
M.Kes., selaku Dosen DIV Kesehatan Lingkungan di POLTEKKES KEMENKES
SEMARANG yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan dan
wawasan sesuai dengan bidang studi yang saya tekuni.
Saya juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi
sebagian pengetahuannya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini. Saya menyadari,
makalah yang saya tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran
yang membangun akan saya nantikan demi kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata, kami memohon maaf apabila dalam penulisan makalah ini terdapat
banyak kesalahan.

Kendal, 16 Februari 2021

Aryco Satria Wibowo

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL..........................................................................................................i
KATA PENGANTAR.......................................................................................................ii
DAFTAR ISI......................................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN..............................................................................................1
A. Latar Belakang..............................................................................................1
B. Rumusan Masalah.........................................................................................1
C. Tujuan...........................................................................................................1
D. Manfaat.........................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN................................................................................................3
A. Definisi Karantina.........................................................................................3
B. Penyakit Karantina........................................................................................3
C. Prosedur Karantina........................................................................................4
D. Tindakan Karantina.......................................................................................5
E. Boarding Kapal (Dokumen Kesehatan Kapal (IHR) Article 54)..................6
F. Sanitasi Kapal................................................................................................8
G. Pengawasan dan Pemberantasan Tikus.........................................................8
H. Pemberantasan Tikus di Pelabuhan...............................................................9
I. Program Pengendalian Penyakit Oleh KKP dari Penyakit Tular Vektor .....13

BAB III KESIMPULAN...................................................................................................14

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................15

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pelabuhan merupakan titik simpul pertemuan atau aktifitas keluar masuk
kapal, barang dan orang, sekaligus sebagai pintu gerbang masuk dan keluarnya
penyebaran penyakit. Dan merupakan ancaman global terhadap Kesehatan
masyarakat karena adanya penyakit karantina, penyakit menular baru (new emerging
diseases), maupun penyakit menular lama yang timbul kembali (reemerging diseases)
(Depkes RI, 2003). Pengawasan sanitasi lingkungan adalah pengawasan yang
dilakukan terhadap lingkungan pelabuhan/bandara/pos lintas batas maupun alat
angkut, sehingga lingkungan pelabuhan maupun alat angkut cocok untuk hidup sehat.
Pelabuhan secara fisik mempunyai beberapa persyaratan dalam menunjang peran dan
fungsinya termasuk persyaratan fasilitas kesehatan lingkungan, melaksanakan peran
dan fungsinya sebagai penyehatan lingkungan pelabuhan, dan struktur pelabuhan
secara umum (Retno, 2005).
Kawasan pelabuhan harus bebas dari tikus, dimana tikus dapat menyebabkan
penyakit PES yang merupakan salah satu penyakit karantina. Di beberapa negara
penyakit ini masih menjadi masalah dan perlu diwaspadai penularannya sehingga
masih dikategorikan sebagai penyakit karantina yang tertuang dalam International
Health Regulation (IHR) 2005. Ada tiga hal yang memegang peranan penting atau
utama bagi kehidupan tikus dan faktor yang menunjang reproduksi tikus meliputi
ketersediaan makanan, minuman, dan tempat perlindungan atau tempat bersarang
yang sangat dipengaruhi oleh sanitasi lingkungan (Thamrin, 1986).
Dari uraian diatas maka penulis perlu mengetahui tentang penanganan vektor
dan tikus di pelabuhan, kapal dan buffer area.
B. Rumusan Masalah
1. Apa itu karantina?
2. Apa itu boarding kapal (dokumen kesehatan kapal (IHR) article 54)?
3. Bagaimana cara pengawasan dan pemberantasan tikus?
4. Bagaimana pelaksanaan program pengendalian penyakit oleh KKP dari
penyakit tular vektor dan tikus?
C. Tujuan
1. Menjelaskan apa itu karantina.

1
2

2. Menjelaskan tentang boarding kapal (dokumen kesehatan kapal (IHR) article


54).
3. Menjelaskan cara pengawasan dan pemberantasan tikus.
4. Menjelaskan pelaksanaan program pengendalian penyakit oleh KKP dari
penyakit tular vektor dan tikus.
D. Manfaat
Menambah wawasan ilmu pengetahuan khususnya mengenai penanganan
vektor dan tikus di pelabuhan, kapal dan buffer area.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Karantina
Karantina adalah sistem yang mencegah perpindahan orang dan barang selama
periode waktu tertentu untuk mencegah penularan penyakit. Sistem karantina identik
dengan pengasingan terhadap seseorang atau suatu benda yang akan memasuki suatu
negara atau wilayah. Berdasarkan Article 1 IHR 2005, Karantina adalah pemisahan
peti kemas, alat angkut, atau barang yang diuga terkontaminasi dari orang/barang lain,
sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran penyakit atau
kontaminasi. Berdasarkan Pasal 1 UU No. 6 Tahun 2018, Karantina adalah alat
pengawasan dan pencegahan masuk dan/atau keluarnya penyakit dan Faktor Risiko
Kesehatan Masyarakat yang menjadi sumber penularan penyakit yang dapat
menimbulkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat. Tindakan karantina ialah tindakan-
tindakan terhadap kapal beserta isinya dan daerah pelabuhan untuk mencegah
penjangkitan dan penjalaran penyakit karantina. (Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 1 Tahun 1962)
B. Penyakit Karantina
Jenis penyakit karantina antara lain Pes (Plague), Kolera (Cholera), Demam
kuning (Yellow fever), Cacar (Smallpox), Tifus bercak wabahi - Typhus
exanthematicus infectiosa (Louse borne Typhus), dan Demam balik-balik (Louse
borne Relapsing fever) (Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1962).
Masa tunas penyakit karantina berbeda-beda, antara lain Pes, enam hari; Kolera, lima
hari; Demam kuning, enam hari; Cacar, empat belas hari; Tifus bercak wabahi, empat
belas hari ; Demam balik-balik, delapan hari.
Terhadap penyakit karantina kapal digolongkan dalam kapal sehat, kapal
terjangkit, dan kapal tersangka.
1. Pes
a) Kapal ditetapkan terjangkit pes, jika :
- Pada waktu tiba dipelabuhan terdapat penderita pes atau terdapat tikus pes
dikapal.
- Lebih dari enam hari sesudah embarkasi (pemberangkatan) terjadi
peristiwa pes.
b) Kapal ditetapkan tersangka pes, jika :

3
4

- Dalam enam hari sesudah embarkasi (pemberangkatan) terjadi peristiwa


pes, walaupun pada waktu tiba tidak ada lagi seorang penderita dikapal itu.
- Terdapat banyak kematian tikus didalamnya, yang mencurigakan.
2. Kolera
a) Kapal ditetapkan terjangkit kolera, jika :
- Pada waktu tiba dipelabuhan terdapat penderita kolera didalamnya.
- Dalam lima hari sebelum tiba dipelabuhan terdapat penderita kolera
didalamnya.
b) Kapal ditetapkan tersangka kolera, jika :
- Selama perjalanan terdapat penderita kolera dikapal tetapi didalam lima
hari sebelum tiba dipelabuhan tidak lagi terdapat penderita kolera
didalamnya.
3. Cacar
a) Kapal ditetapkan terjangkit cacar, jika :
- Pada waktu tiba dipelabuhan terdapat penderita cacar didalamnya.
- Dalam perjalanan terdapat penderita cacar didalamnya.
4. Demam Kuning
a) Kapal ditetapkan terjangkit demam kuning, jika :
- Pada waktu tiba dipelabuhan terdapat penderita demam kuning di
dalamnya.
- Didalam perjalanan terdapat peristiwa demam kuning didalamnya.
b) Kapal ditetapkan tersangka demam kuning, jika :
- Kapal itu datang dari daerah terjangkit demam kuning dan di dalam waktu
enam hari tiba di pelabuhan.
- kapal itu datang dari daerah terjangkit demam kuning dan di dalam waktu
kurang dari tiga puluh hari tiba dipelabuhan terdapat nyamuk aedes
aegypti didalamnya.
Pemeriksaan kesehatan dan pelaksanaan tindakan karantina, Menteri
Kesehatan menggolongkan pelabuhanpelabuhan Indonesia dalam 3 kelas, yaitu
1. Pelabuhan karantina kelas I, dimana dokter pelabuhan dapat
menyelenggarakan tindakan karantina sepenuhnya.
2. Pelabuhan karantina kelas II, dimana dokter pelabuhan dapat
menyelenggarakan sebagian dari tindakan karantina.
5

3. Pelabuan bukan pelabuhan karantina, dimana sama sekali tidak dapat


diselenggarakan tindakan karantina.
C. Prosedur Karantina
Prosedur karantina kapal menurut UU Nomor 6 Tahun 2018 yaitu kapal
termasuk dalam Status Karantina jika, kapal yang datang dari luar negeri dan kapal
yang datang dari pelabuhan wilayah terjangkit di dalam negeri atau mengambil orang
atau barang dari kapal terjangkit. Nakhoda pada kapal tersebut wajib memberikan
Deklarasi Kesehatan Maritim (Maritime Declaration of Healthl) kepada Pejabat
Karantina Kesehatan pada saat kedatangan Kapal. Nakhoda pada Kapal hanya dapat
menurunkan atau menaikkan orang dan/atau Barang setelah dilakukan Pengawasan
Kekarantinaan Kesehatan oleh pejabat Karantina Kesehatan. Pengawasan
Kekarantinaan Kesehatan dilakukan untuk memperoleh Persetujuan Karantina
Kesehatan. Persetujuan Karantina Kesehatan sebagaimana berupa:
a) Persetujuan bebas karantina, dalam hal tidak ditemukan penyakit dan/atau
faktor risiko yang berpotensi menimbulkan Kedaruratan Kesehatan
Masyarakat dan/atau Dokumen Karantina Kesehatan dinyatakan lengkap dan
berlaku
b) Persetujuan karantina terbatas, dalam hal ditemukan penyakit dan/atau factor
risiko yang berpotensi menimbulkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat
dan/atau Dokumen Karantina Kesehatan dinyatakan tidak lengkap dan tidak
berlaku.
D. Tindakan Karantina
Tindakan Karantina berdasarkan UU Nomor 6 Tahun 2018 yaitu, Kapal yang
memperoleh persetujuan karantina harus dilakukan tindakan Kekarantinaan Kesehata
dan/atau penerbitan atau pembaruan Dokumen Karantina Kesehatan. Nakhoda
menyampaikan permohonan untuk memperoleh Persetujuan Karantina Kesehatan atau
memberitahukan suatu keadaan di Kapal dengan memakai isyarat sebagai berikut:
a) Pada siang hari berupa:
- Bendera Q, yang berarti Kapal saya sehat atau saya minta Persetujuan
Karantina Kesehatan.
- Bendera Q di atas panji pengganti kesatu, yang berarti Kapal saya
tersangka.
- Bendera Q di atas Bendera L, yang berarti Kapal saya Terjangkit.
6

b) Pada malam hari berupa lampu merah di atas lampu putih dengan jarak
maksimum 1,80 (satu koma delapan nol) meter, yang berarti saya belum
mendapat Persetujuan Karantina Kesehatan.
Jika dalam waktu berlakunya persetujuan Karantina Kesehatan timbul suatu
kematian atau penyakit yang berpotensi menimbulkan Kedaruratan Kesehatan
Masyarakat maka Persetujuan Karantina Kesehatan dapat dicabut dan dinyatakan
tidak berlaku. Kapal yang Persetujuan Karantina Kesehatannya dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku wajib menuju ke suatu Zona Karantina untuk mendapat
tindakan Kekarantinaan Kesehatan. Kapal yang tidak mematuhi peraturan
Kekarantinaan Kesehatan tidak diberikan Persetujuan Karantina Kesehatan. Kapal
diperintahkan supaya berangkat lagi atas tanggungan sendiri dan tidak diberikan izin
memasuki Pelabuhan lain di wilayah Indonesia. Kapal diberikan izin untuk
mengambil bahan bakar, air, dan bahan makanan di bawah pengawasan Pejabat
Karantina Kesehatan. Kekarantinaan Kesehatan terhadap kapal perang, kapal negara,
dan kapal tamu negara diatur dengan Peraturan Menteri berkoordinasi dengan menteri
atau lembaga terkait.
E. Boarding Kapal (Dokumen Kesehatan Kapal (IHR) Article 54)
International Health Regulations (lHR) tahun 2005 mengharuskan Indonesia
meningkatkan kapasitas dan kemampuan dalam surveilans kesehatan dan respons,
serta Kekarantinaan Kesehatan di wilayah dan di pintu masuk, baik pelabuhan,
Bandar Udara, maupun Pos Lintas Batas Darat Negara. (UU Nomor 6 Tahun 2018).
1. Pernyataan Kesehatan Maritim (Maritime Declaration of Health)
a) Nakhoda kapal sebelum mendarat pada pelabuhan pertama dalam wilayah
suatu Negara harus memastikan status kesehatan diatas kapal, dan, kecuali
bila Negara Peserta tidak memerlukannya nakhoda harus sewaktu kedatangan
atau sebelum kapal datang bila kapal begitu penuh dan Negara Peserta
memerlukan terlebih dahulu, memberikan secara lengkap MDH kepada
otorita yang berwenang yang harus ditandatangani oleh dokter kapal, bila ada.
b) Nakoda atau dokter kapal, bila salah satu ada, harus memberikan setiap
informasi yang diperlukan oleh otorita yang berwenang sesuai dengan kondisi
kesehatan dikapal selama perjalanan internasional.
c) MDH harus mengikuti model yang terdapat dalam Annex- 8.
d) Suatu Negara Peserta dapat memutuskan:
- Membebaskan penyerahan MDH terhadap semua kapal yang datang
7

- Mensyaratkan penyerahan MDH dalam suatu rekomendasi terhadap kapal


yang datang dari daerah terpapar atau mensyaratkan dari kapal yang
mungkin membawa penyakit atau kontaminasi. Negara Peserta harus
menginformasikan persyaratan ini kepada operator kapal atau
keagenannya.
2. Sertifikat Sanitasi Kapal (Ship Sanitation Certificates)
a) Sertifikat Bebas Pengawasan Sanitasi Kapal (SBPSK) dan Setifikat
Pengawasan Sanitasi Kapal (SPSK) berlaku paling lama enam bulan.
Jangka waktu ini bisa diperpanjang selama satu bulan bila pemeriksaan
atau tindakan pengendalian yang diperlukan tidak dapat dilakukan pada
pelabuhan tersebut.
b) Bila suatu SBPSK atau SPSK yang masih berlaku tidak berhasil atau tidak
terbukti ditemukan risiko kesehatan masyarakat diatas kapal, Negara
Peserta dapat melakukan tindakan sesuai paragraf-1 Pasal-27.
c) Sertifikat sebagaimana tertera di dalam Pasal ini harus sesuai dengan
model dalam Annex- 3.
d) Bila memungkinkan, tindakan pengendalian harus dilakukan sewaktu
kapal dan palkanya kosong. Dalam hal kapal sarat muatan, tindakan ini
bisa dilaksanakan sebelum pemuatan.
e) Bila tindakan pengendalian diperlukan dan telah dilaksanakan dengan
memuaskan, otorita yang berwenang harus mengeluarkan SPSK, berisi
bukti yang ditemukan dan tindakan yang diambil
f) Otorita yang berwenang dapat mengeluarkan SBPSK di setiap pelabuhan
sesuai Pasal 20, bila telah terbukti bahwa kapal tersebut bebas dari infeksi
dan kontaminasi, termasuk vektor dan reservoir. Sertifikat tersebut secara
normal harus dikeluarkan hanya bila pemeriksaan kapal dilakukan pada
saat kapal dalam keadaan kosong atau pada saat ia bermuatan pemberat
atau bahan lainnya, sehingga pemeriksaan tersebut dapat dilakukan secara
menyeluruh.
g) Bila kondisi dimana tindakan pengendalian yang dilakukan demikian rupa
sehingga menurut pendapat otorita yang berwenang di pelabuhan tempat
pelaksanaan operasi, tidak diperoleh hasil yang memuaskan tidak, maka
otorita yang berwenang harus membuat catatan tentang hal tersebut pada
SPSK nya.
8

3. Laporan dan Tinjauan (Reporting and review)


a) Negara Peserta dan Direktur Jenderal harus melaporkan kepada Majelis
Kesehatan mengenai pelaksanaan IHR ini sebagaimana yang diputuskan
oleh Majelis Kesehatan.
b) Majelis Kesehatan secara periodik harus meninjau berfungsinya IHR ini.
Pada akhirnya ia dapat meminta anjuran dari Komite Peninjau, melalui
Direktur Jenderal. Tinjauan pertama harus dilakukan tidak lebih dari lima
tahun setelah diberlakukannya IHR ini.
c) WHO secara periodik harus melaksanakan kajian untuk meninjau dan
mengevaluasi berfungsinya Annex- 2. Tinjauan yang pertama harus
dimulai tidak lebih dari satu tahun setelah berlakunya IHR ini. Hasil dari
tinjauan tersebut harus diajuka kepada Majelis Kesehatan untuk bahan
pertimbangan, seperlunya.
F. Sanitasi Kapal
Sanitasi Kapal merupakan pemeriksaan faktor-faktor risiko kesehatan
masyarakat di atas alat angkut (kapal). Article 24 Conveyance operators berbunyi,
1. Negara Peserta harus mengambil semua tindakan praktis yang konsisten dengan
IHR ini untuk memastikan bahwa operator alat angkut:
a) Tergantung kepada tindakan kesehatan yang direkomendasikan oleh WHO
dan diterima oleh Negara tersebut.
b) Menginformasikan kepada pengunjung mengenai tindakan penyehatan yang
direkomendasikan oleh WHO dan diterima oleh Negara Peserta untuk
dilakukan diatas kapal/pesawat
c) Secara tetap menjaga alat angkut dimana mereka bertanggung jawab dalam hal
bebas dari sumber infeksi atau kontaminasi, termasuk vector, dan reservoir.
Penerapan tindakan-tindakan untuk mengendalikan sumber infeksi atau
kontaminasi dapat disyaratkan bila ditemukan bukti.
2. Ketentuan khusus yang berhubungan dengan alat angkut dan operator alat angkut
pada Pasal ini terdapat dalam Annex- 4. Peraturan khusus yang dilakukan pada
alat angkut dan operator alat angkut dalam hal vector-borne diseases, terdapat
dalam Annex- 5.
G. Pengawasan dan Pemberantasan Tikus
Tikus termasuk rodent, yaitu mamalia yang sangat merugikan, mengganggu
kehidupan serta kesejahteraan manusia, tetapi relative bisa hidup berdampingan
9

dengan manusia. Tikus dapat menimbulkan berbagai penyakit, salah satunya penyakit
pes yang merupakan penyakit karantina (International Health Regulations (IHR)
tahun 1969). Penyakit pes disebabkan oleh basil Yersinia (Pasteurella) pestis pada
awalnya merupakan penyakit infeksi menular antar tikus, dan dari tikus ke manusia
melalui pinjal tikus (Xenopsylla spp.) (Brooks dan Rowe, 1979). Dalam upaya
pencegahan masuknya penyakit pes ke Indonesia, diupayakan dengan meniadakan
atau mengeliminir pinjal tikus. Tikus merupakan host disamping manusia serta
reservoir dalam mata rantai penularan pes ke manusia. Sedangkan agent-nya adalah
basil Yersinia (Pasteurella) Pestis. Dalam pelaksanaan di lapangan sesuai IHR (1969),
dan Convention on Facilitation of International Maritime Traffic (1965) setiap
kedatangan kapal diharuskan untuk mengisi Maritime Declaration of Health, yang
salah satu pertanyaannya adalah tentang adanya indikasi penyakit pes baik yang
timbul diantara ABK maupun diantara tikus.
Dalam Rodent Control, perlu diperhatikan 3 hal yang memegang peranan
utama bagi kehidupan Rodent di suatu daerah, yaitu adanya makanan, minuman, dan
tempat bersarang. Upaya mencegah penyebaran penyakit pes, dituangkan pada
beberapa artikel dari IHR diantaranya pada artikel 16. Pemberantasan tikus di
pelabuhan bertujuan untuk menurunkan populasi tikus dan meningkatkan
kewaspadaan terhadap kemungkinan adanya penyakit pes pada tikus setempat melalui
pengamatan indeks pinjal dan pemeriksaan serologis darah tikus. Pada dasarnya
membebaskan suatu daerah dari infestasi tikus dilakukan dengan cara menciptakan
suatu lingkungan yang tidak memungkinkan pemukiman tikus dengan jalan
memperbaiki sanitasi lingkungan dan melaksanakan rat-proofing terhadap semua
bangunan. Memberantas tikus-tikus yang ada dengan cara :
a. Pemasangan perangkap
b. Penggunaan racun tikus (rodentisida)
c. Penggasan atau fumigasi
d. Biological control, misalnya dengan melepaskan musuh -musuh tikus,
tetapi hasilnya kurang memuaskan (WHO, 1999).
H. Pemberantasan Tikus di Pelabuhan
a) Mengenali Tanda Kehidupan Tikus
Keberadaan tikus dapat dideteksi dengan beberapa cara yang paling umum
adalah adanya kerusakan barang atau alat. Tanda-tanda berikut merupakan
penilaian adanya kehidupan tikus yaitu (Ehler and Steel, 1950) :
10

a) Gnawing (bekas gigitan)


b) Burrows (galian /lubang tanah)
c) Dropping (kotoran tikus)
d) Runways (jalan tikus)
e) Foot print (bekas telapak kaki)
f) Tanda lain : Adanya bau tikus, bekas urine dan kotoran tikus, suara, bangkai
tikus (WHO, 1972).
b) Perbaikan Sanitasi Lingkungan
Tujuan dari perbaikan sanitasi lingkungan adalah menciptakan lingkungan
yang tidak favourable untuk kehidupan tikus. Dalam pelaksanaannya dapat
ditempuh dengan (Ehlers et.al, 1950) :
a) Menyimpan semua makanan atau bahan makanan dengan rapi di tempat
yang kedap tikus.
b) Menampung sampah dan sisa makanan ditempat sampah yang terbuat dari
bahan yang kuat, kedap air, mudah dibersihkan, bertutup rapi dan terpelihara
dengan baik.
c) Tempat sampah tersebut hendaknya diletakkan di atas fondasi beton atau
semen, rak atau tonggak.
d) Sampah harus selalu diangkut secara rutin minimal sekali sehari.
e) Meningkatkan sanitasi tempat penyimpanan barang/alat sehingga tidak
dapat dipergunakan tikus untuk berlindung atau bersarang.
c) Rat proofing
Upaya rat proofing bertujuan untuk mencegah masuk dan keluarnya tikus
dalam ruangan serta mencegah tikus bersarang di bangunan tersebut. Upaya
rat proofing dapat ditempuh dengan jalan (Ristiyanto dan Hadi, 1992) :
a) Membuat fondasi, lantai dan dinding bangunan terbu at dari bahan yang
kuat, dan tidak ditembus oleh tikus.
b) Lantai hendaknya terbuat dari bahan beton minimal 10 cm.
c) Dinding dari batu bata atau beton dengan tidak ada keretakan atau celah
yang dapat dilalui oleh tikus.
d) Semua pintu dan dinding yang dapat ditem bus oleh tikus (dengan
gigitannya), dilapisi plat logam hingga sekurang -kurangnya 30 cm dari lantai.
Celah antara pintu dan lantai maksimal 6 mm.
11

e) Semua lubang atau celah yang ukurannya lebih dari 6 mm, harus ditutup
dengan adukan semen.
f) Lubang ventilasi hendaknya ditutup dengan kawat kasa yang kuat dengan
ukuran lubang maksimal 6 mm.
d) Pemasangan perangkap (trapping)
Macam perangkap tikus yang beredar di pasaran adalah jenis snap/guillotine
dan cage trap. Jenis cage trap digunakan untuk mendapatkan tikus hidup, guna
diteliti pinjalnya. Biasanya perangkap diletakkan di tempat jalan tikus atau di
tepi bangunan. Pemasangan perangkap lebih efektif digunakan setelah
dilakukan poisoning, dimana tikus yang tidak mati karena poisoning, dapat
ditangkap dengan perangkap (Ehler et.al, 1950).
e) Peracunan (Poisoning)
Pada umumnya peracunan dapat dilakukan apabila tidak membahayakan
manusia ataupun binatang peliharaan. Racun tikus terbagi menjadi dua
golongan, yaitu single dose poison dan multiple dose poison. Racun tikus yang
biasa digunakan adalah arsen, strychnine, phospor, zinkphosphide, redsquill,
barium karbonat, atau senyawa yang mengandung salah satu atau lebih dari
yang tersebut di atas. Termasuk didalamnya rodentisida yang relatif lebih baru
yaitu 1080 (ten eighty), Antu, Warfarin, dan Pival.
a) Warfarin dan Pival.
Merupakan umpan padat dengan warficida dan/atau pivalin yang berupa
cairan, mempunyai pengaruh keracunan yang khas pada tikus. Sifat racun ini
adalah anti coagulants, apabila ditelan dengan interval waktu beberapa hari,
menyebabkan perdarahan dalam dan mengakibatkan kematian. Biasanya tikus
mati dalam 4 sampai 7 hari setelah makan racun dengan dosis yang adekuat.
Efek toksik lebih lambat dibandingkan 1080, Antu, Redsquill , dan racun tikus
lainnya. Dengan cara kerja yang lambat ini, tidak terjadi penolakan terhadap
bahan oleh tikus, sehingga tikus akan memakan bahan ini hingga habis sampai
mereka mati. Walaupun cara kerja anti koagulan dari Warfarin dan Pival juga
berlaku untuk binatang berdarah panas termasuk manusia, tetapi racun ini
dianggap tidak berbahaya seperti racun lainnya karena tersedi a antidotenya,
yaitu vitamin D yang mudah didapat. Dosis yang dipakai biasanya 0,5%
dengan umpan tepung jagung, havermout, tepung roti, tepung kacang, gula,
jagung, dan minyak kacang.
12

b) Red Squill
Racun ini relatif aman terhadap manusia, kucing dan anjing. Bahan red squill
adalah "a natural emetic" yang bila termakan oleh sebagian besar binatang
berdarah panas atau manusia, mengakibatkan muntah yang segera dan pengos
ongan bahan racun. Kerja emetic dari red squill ini menjadikan racun khusus
bagi tikus jenis Norway (Ratus Norvegicus) berhubung jenis tikus ini tidak
bisa muntah. Umpan red squill terasa pahit, dan kelemahannya adalah
menimbulkan penolakan diantara tikus dan beberapa jenis tikus selalu
menghindari umpan yang berisi red squill, terutama apabila mereka tahu
pengaruh racun red squill terhadap tikus lainnya.
c) 1080 (Ten Eighty)
1080 adalah nama umum untuk Natrium Fluoro Acetat, merupakan racun tikus
yang sangat efektif. Kelemahannya adalah terlalu beracun terhadap manusia
dan binatang pel iharaan serta tidak adanya antidotenya. Oleh karenanya
hanya direkomendasikan khusus bagi pekerja yang terlatih dan bertanggung
jawab. Racun ini dilarang dipergunakan di daerah perumahan/pemukiman
karena efek racunnya yang sangat toksik.
d) Antu (Alpha Naphthyl Thio Urea)
Nama kimia dari Antu adalah Alpha Naphthyl Thio Urea merupakan racun
yang efektif untuk Norway rats, tetapi tidak dianjurkan untuk jenis tikus
lainnya. Kele mahan dari Antu adalah cepatnya terjadi toleransi oleh tikus
yang makan kurang dari dosis yang adekuat. Oleh karenanya Antu tidak dapat
digunakan untuk interval kurang dari 4 sampai 6 bulan di tempat yang sama.
f) Fumigasi
Fumigasi di kapal dilakukan dengan menggunakan fumigant yang
direkomendasikan yaitu SO2 dan HCN (WHO, 1972), namun di Indonesia
sesuai dengan SK DirJen PPM&PLP No. 716-I/PD.03.04.EI tanggal 19
November 1990, tentang fumigan yang digunakan untuk fumigasi kapal dalam
rangka penerbitan SKHT bagi kapal, adalah HCN, CH3 Br, dan SO2. Pada
tahun 1998/1999 telah diterbitkan 42 sertifikat DC/SKHT dan 1.217
DEC/SKBHT ( Anonimus, 1999). Fumigasi kapal dalam rangka penerbitan
Deratting Certificate dilakukan oleh Badan Usaha/Rekanan Fumigator, dan
dibawah pengawasan KKP yang berwenang guna menghindari kemungkinan
penyebaran pes bubo oleh tikus atau pinjal tikus. Pelaksanaan pemberantasan
13

tikus di kapal dilakukan dengan poisoning, trapping ataupun fumigasi baik


memakai fumigant HCN maupun CH3 Br. Untuk HCN digunakan dosis 2
gr/m3
ruang yang digas, dengan waktu kontak 2 jam, sedangkan untuk CH 3Br dosis
adalah 4 gr/m3 ruang yang digas, dengan waktu kontak 4 jam. (HAU, 1974).
Sedangkan dalam pelaksanaan di lapangan dipakai dosis 10 gr/m3 ruangan
dengan waktu kontak 10 jam. Prinsip pelaksanaan fumigasi adalah membuat
semua ruang yang di gas kedap udara, selanjutnya gas dilepaskan di ruang ka
pal tersebut dengan waktu kontak sesuai jenis fumigan yang digunakan.
Selanjutnya kapal dibebaskan dari gas dengan aerasi selama kurang lebih 1-2
jam, baru kapal dinyatakan aman dengan menggunakan gas detector
(Lamoureux, 1967).
I. Program Pengendalian Penyakit Oleh KKP dari Penyakit Tular Vektor dan
Tikus
Sasaran dalam program pengendalian penyakit oleh KKP dari penyakit
menular vektor dan tikus adalah pelabuhan (perimeter & Buffer), alat angkut (kapal),
dan Masyarakat (kalangan terbatas). Upaya yang dilakukan oleh KKP dalam program
pemberantasan tikus, meliputi upaya pemberantasa n tikus di kapal dan pesawat yang
dilakukan dengan fumigasi serta upaya pemberantasan tikus di pelabuhan melalui
metode mekanik (trapping), kimia (rodenticide, fumigant) maupun peningkatan
sanitasi lingkungan (well environmental sanitation). Upaya tersebut, diharapkan
Indonesia bisa bebas dari penyakit pes, mengingat di beberapa negara Afrika seperti
Congo, Madagaskar, Malawi, Mozambique, Namibia, Tanzania, Ugan -da, Zambia,
Zimbabwe, dan negara-negara Amerika Latin antara lain Bolivia, Brazil, Ecuador,
Peru, dan di Asia, Vietnam masih merupakan daerah endemis pes (Weekly
Epidemiological Record, 1999). Dalam kurun 1962-1972 di Vietnam dilaporkan
terjadi ribuan kasus pes bubo di perkotaan dan pedesaan. Pada tahun 1994, dilaporkan
terjadi out break pneumonic plague di Surat, negara bagian Guj arat, India (Benenson,
1995).
14

BAB III

KESIMPULAN

Karantina adalah sistem yang mencegah perpindahan orang dan barang selama
periode waktu tertentu untuk mencegah penularan penyakit. Sistem karantina identik
dengan pengasingan terhadap seseorang atau suatu benda yang akan memasuki suatu
negara atau wilayah. Jenis penyakit karantina antara lain Pes (Plague), Kolera
(Cholera), Demam kuning (Yellow fever), Cacar (Smallpox), Tifus bercak wabahi -
Typhus exanthematicus infectiosa (Louse borne Typhus), dan Demam balik-balik
(Louse borne Relapsing fever). Prosedur karantina kapal menurut UU Nomor 6 Tahun
2018 yaitu kapal termasuk dalam Status Karantina jika, kapal yang datang dari luar
negeri dan kapal yang datang dari pelabuhan wilayah terjangkit di dalam negeri atau
mengambil orang atau barang dari kapal terjangkit. Tindakan Karantina berdasarkan
UU Nomor 6 Tahun 2018 yaitu, Kapal yang memperoleh persetujuan karantina harus
dilakukan tindakan Kekarantinaan Kesehata dan/atau penerbitan atau pembaruan
Dokumen Karantina Kesehatan.
Sanitasi Kapal merupakan pemeriksaan faktor-faktor risiko kesehatan
masyarakat di atas alat angkut (kapal). Pemberantasan tikus dapat dilakukan beberapa
cara yaitu, mengenali tanda kehidupan tikus, perbaikan sanitasi lingkungan, rat
proofing, pemasangan perangkap (trapping), peracunan (poisoning), fumigasi.
Sasaran dalam program pengendalian penyakit oleh KKP dari penyakit menular
vektor dan tikus adalah pelabuhan (perimeter & buffer), alat angkut (kapal), dan
masyarakat (kalangan terbatas).
15
DAFTAR PUSTAKA

Pemerintah Indonesia. 1962 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1962


Yang Mengatur Tentang Karantina Laut. Sekretariat Negara. Jakarta.

Pemerintah Indonesia. 2005. Sidang Majelis Kesehatan Dunia Ke-58 Yang Berisi Tentang
Revisi International Health Regulation (IHR). Agenda nomor 13.1, WHA58.3.

Pemerintah Indonesia. 2015. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 40


Tahun 2015 Yang Mengatur Tentang Sertifikat Sanitasi Kapal. Sekretariat Negara.
Jakarta.

Pemerintah Indonesia. 2018. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2018


Yang Mengatur Tentang Kekarantinaan Kesehatan. Sekretariat Negara. Jakarta.

Soejoedi, Hanang. 2005. Pengendalian Rodent, Suatu Tindakan Karantina. Jurnal Kesehatan
Lingkungan. Vol. 2 Nomor 54-2005, h. 53 – 66.

Tambunan, Rusma. 2019. Analisis Sanitasi Lingkungan dan Keberadaan Tikus di Wilayah
Kerja Pelabuhan Laut Boombaru Kantor Kesehatan Pelabuhan Kelas II Palembang.
Kesehatan Masyarakat. Universitas Sriwijaya. Palembang.

16

Anda mungkin juga menyukai