Anda di halaman 1dari 16

SARI HASIL PENELITIAN ROTAN

Oleh : Jasni, D. Martono dan Nana SuprianaI. PENDAHULUAN

Rotan berasal dari bahasa melayu yang berarti nama dari sekumpulan jenis tanaman famili Palmae yang
tumbuh memanjat yang disebut "Lepidocaryodidae". Lepidocaryodidae berasal dari bahasa Yunani yang
berarti mencakup ukuran buah. Kata rotan dalam bahasa Melayu diturunkan dari kata "raut" yang berarti
mengupas (menguliti), menghaluskan (Menon, 1979 dalam Kalima, 1996).

Rotan merupakan salah satu sumber hayati Indonesia, penghasil devisa negara yang cukup besar.
Sebagai negara penghasil rotan terbesar, Indonesia telah memberikan sumbangan sebesar 80%
kebutuhan rotan dunia. Dari jumlah tersebut 90% rotan dihasilkan dari hutan alam yang terdapat di
Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, dan sekitar 10% dihasilkan dari budidaya rotan. Nilai ekspor rotan
Indonesia pada tahun 1992 mencapai US$ 208,183 juta (Kalima, 1996).

Menurut hasil inventarisasi yang dilakukan Direktorat Bina Produksi Kehutanan, dari 143 juta hektar luas
hutan di Indonesia diperkirakan hutan yang ditumbuhi rotan seluas kurang lebih 13,20 juta hektar, yang
tersebar di Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Jawa dan pulau-pulau lain yang memiliki hutan alam.

Di Indonesia terdapat delapan marga rotan yang terdiri atas kurang lebih 306 jenis, hanya 51 jenis yang
sudah dimanfaatkan. Hal ini berarti pemanfaatan jenis rotan masih rendah dan terbatas pada jenis-jenis
yang sudah diketahui manfaatnya dan laku di pasaran. Diperkirakan lebih dari 516 jenis rotan terdapat di
Asia Tenggara, yang berasal dari 8 genera, yaitu untuk genus Calamus 333 jenis, Daemonorops 122
jenis, Khorthalsia 30 jenis, Plectocomia 10 jenis, Plectocomiopsis 10 jenis, Calopspatha 2 jenis, Bejaudia
1 jenis dan Ceratolobus 6 jenis (Dransfield 1974, Menon 1979 dalam Alrasjid, 1989). Dari 8 genera
tersebut dua genera rotan yang bernilai ekonomi tinggi adalah Calamus dan Daemonorops.

Soediwinardi (1996) menyatakan bahwa daerah perdagangan bebas ASEAN atau Asean Free Area
(AFTA) akan berlaku penuh pada tahun 2000 yang berarti produk Indonesia yang masuk dalam pola
Perdagangan Preferensi Efektif Bersama atau Common Effective Preferential Trade (CEPT) harus dapat
bersaing dengan produk jenis dari sesama negara anggota ASEAN. Rotan masuk dalam pola CEPT
tersebut. Untuk menghadapi persaingan tersebut maka jenis rotan apa saja yang harus ditingkatkan yang
produksinya tergantung kepada kebutuhan pasar. Dari seluruh kebutuhan rotan tersebut, 68% rotan
berdiameter besar, sedangkan rotan yang berdiameter kecil hanya 32%.

Untuk dapat memanfaatkan jenis rotan tersebut, perlu dilakukan penelitian mengenai cara pemanenan,
sifat dasar rotan, cara pengolahan yang dapat memenuhi standar mutu yang ditentukan dan besarnya
biaya yang dikeluarkan dengan biaya yang didapatkan dari hasil produk yang sudah dipasarkan, maka
disusun hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan dalam tulisan ini sebagai acuan penelitian yang akan
dilakukan lebih lanjut.

II. PEMANENAN

Rotan yang akan dipanen adalah rotan yang masak tebang, dengan ciri-ciri bagian bawah batang sudah
tidak tertutup lagi oleh daun kelopak atau selundang, sebagian daun sudah mengering, duri dan daun
kelopak sudah rontok.

Pemanenan rotan dilakukan dengan cara mencari rotan yang masak tebang, kemudian menebang
pangkal rotan dengan pengkaitnya setinggi 10 sampai 50 cm, kemudian dengan pengait batang ditarik
agar terlepas dari pohon penopangnya. Rotan yang telah dipanen kemudian dibersihkan dari daun dan
duri serta dipotong-potong menurut ukuran yang diinginkan. Setelah itu rotan diangkut ke Tempat
Pengumpulan. Sementara (TPS) sampai ke Tempat Penimbunan Rotan (TPR) dengan cara memikul,
menggunakan perahu/sampan dan menggunakan kuda (Sinaga, 1986).

Pada pemanenan besarnya limbah yang terjadi pada penebangan secara tradisional adalah 12,6 -
28,5%, dan dengan mengunakan alat bantu tirfor dan lir adalah 4,1 - 11,1%; sedangkan besarnya limbah
yang dihasilkan selama pengangkutan berkisar antara 5 - 10% (Sinaga, 1986).

III. SIFAT DASAR

A. Anatomi

Struktur anatomi batang rotan yang berhubungan erat dengan menentukan keawetan dan kekuatan rotan
antara lain adalah besar pori dan tebalnya dinding sel serabut. Sel serabut diketahui merupakan
komponen struktural yang memberikan kekuatan pada rotan (Rachman, 1996). Bhat dan Thulasidas
(1993) melaporkan bahwa tebal dinding sel serabut merupakan parameter anatomi yang paling penting
dalam menentukan kekuatan rotan, dinding yang lebih tebal membuat rotan manjadi lebih keras dan lebih
berat. Sel-sel serabut yang berdinding tebal menunjang fungsi utama sebagai penunjang mekanis.

Hasil penelitian Jasni et al. (1997), terhadap tiga jenis rotan, yaitu rotan sampang (Khorthalsia junghunii
Miq.), rotan seuti (Calamus ornatus Bl.) dan rotan bubuay (Plectocomia elongata Bl.) , ternyata sel-sel
serabut rotan sampang rata-rata dinding sel lebih tebal (4,89 mm), rotan seuti rata-rata 3,91 mm,
kemudian rotan bubuay 3,49 mm. Ditinjau dari tebal dinding sel serabut maka dapat dikatakan rotan
sampang lebih kuat dari pada rotan seuti dan kemudian bubuay.

Selanjutnya sifat anatomi ketiga jenis rotan yang diteliti menunjukkan bahwa pada ikatan pembuluh
sampang dan seuti terdapat satu metaxylem, sedangkan bubuay memiliki satu atau dua metaxylem.
Pholem pada jenis rotan sampang dan seuti terdiri atas dua untaian yang terletak di kiri dan kanan
metaxylem, sedangkan bubuay letaknya mengelompok.

Bentuk sel bagian kulit rotan atau sel epidermis dari jenis rotan sampang adalah kubus, sedangkan seuti
dan bubuay berbentuk balok. Di antara ketiga jenis rotan tersebut, hanya rotan seuti yang tidak
mempunyai yellow cap (topi kuning). Beberpa pendapat mengatakan bahwa topi kuning mungkin
mempengaruhi kekuatan rotan, terutama pada bagian kulit. Sifat kekuatan yang dipengaruhi adalah
peningkatan kekerasan dan kekuatan barang anyaman. Hal ini mungkin disebabkan proporsi sel serabut
pada bagian kulit bertambah banyak. Sel serabut diketahui merupakan komponen struktural yang
memberikan kekuatan pada bahan berkayu.

B. Sifat Kimia

Komponen kimia rotan juga penting dalam menentukan kekuatan dan keawetan rotan. Rachman (1996),
melaporkan secara umum komposisi kimia rotan terdiri dari holoselulosa (71%-76%), selulosa (39% -
58%), lignin (18% - 27%) dan silika (0,54 5 - 8 %). Hasil penelitian terhadap kandungan beberapa jenis
rotan dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Kandungan kimia beberapa jenis rotan.

Jenis rotan Holoselulosa Selulosa Lignin Tanin Pati


No.
Nama daerah Nama latin (%) (%) (%) (%) (%)
1 Sampang K. junghunii Miq. 71,49 42,89 24,41 8,14 19,62
2 Bubuay P. elongata Becc. 73,84 40,89 16,85 8,88 23,57
3 Seuti C. ornathus Bl. 72,69 39,19 13,35 8,56 21,82
4 Semambu C. scipionum Burr. 70,07 37,36 22,19 - 21,35
5 Tretes D. heteroides Bl. 72,49 41,72 21,99 - 21,15
6 Balubuk C. burchianus Becc. 73,34 42,35 24,03 - 20,85
7 Batang C. zolineri Becc. 73,78 41,09 24,21 - 20,61
8 Galaka C. spp. 74,38 44,19 21,45 - 19,40
9 Tohiti C. inops Becc. 74,42 43,28 21,34 - 18,57
10 Manau C. manan Miq. 71,45 39,05 22,22 - 18,50

Sumber: Rachman (1996), Jasni et al. (1997 dan 1998), Jasni dan Supriana (1999)

Komponen kimia rotan penting dalam menentukan kekuatan rotan. Selulosa yaitu molekul gula linear
berantai panjang termasuk ke dalam holoselulosa. Rachman (1996), menyatakan selulosa berfungsi
memberikan kekuatan tarik pada batang, karena adanya ikatan kovalen yang kuat dalam cincin piranosa
dan antar unit gula penyusun selulosa, semakin tinggi kadar selulosa yang terdapat dalam rotan maka
keteguhan lentur juga makin tinggi.

Selain selulosa yang sangat penting juga adalah lignin. Lignin adalah merupakan suatu polimer yang
komplek dengan berat molekul yang tinggi. Lignin juga berfungsi memberikan kekuatan pada batang dan
makin tinggi kadar lignin dalam rotan makin kuat rotan karena ikatan antar serat juga makin kuat.

Tanin nama komponen zat organik yang sangat komplek dan terdiri dari senyawa fenolik yang
mempunyai berat molekul 500 - 3000, dapat bereaksi dengan protein membentuk senyawa komplek larut
yang tidak larut. Tanin dapat dikategorikan sebagai "true artrigen" adalah rasa sepat. Rasa sepat timbul
karena kuagulasi dari protein dari protein air liur dan mukosa ephitelium dengan tanin. Tanin atau
sesungguhnya lebih tepat disebut asam tanat (tanic acid), monomer dari tanin adalah untuk penyamak
kulit. Efek tanin adalah sebagai penangkal pemangsa. Pada konsentrasi tinggi tidak secara langsung
beracun terhadap herbivora, tetapi dapat menyebabkan pengendapan protein sehingga pencernaan tidak
efisien. Tanin hasil purifikasi dapat digunakan sebagai bahan anti rayap dan jamur (Jasni et al, 1997).
Pati adalah cadangan karbohidrat utama pada tumbuhan tingkat tinggi, yaitu sekitar 70% dari berat
basah, berbentuk granula yang larut dalam air dan pati merupakan makanan utama serangga atau bubuk
perusak kayu atau rotan. Makin tinggi kandungan pati dalam kayu atau rotan maka makin rentan
serangan bubuk kayu kering (Jasni, 1998).

C. Fisis dan Mekanis

Sifat yang paling banyak mendapat perhatian dalam penggunaan rotan adalah sifat fisik dan mekanis.
Nilai hasil uji fisis dan mekanis beberapa jenis rotan ialah asal Jawa, di antaranya berat jenis (BJ) 0,47 -
0,57, nilai kekuatan (MOR) antara 421 - 834 kg/cm2, nilai kelenturan (MOE) antara 14.548 - 22.000
kg/cm2. Berdasarkan penampakan secara visual, sifat fisis dan mekanis rotan tercantum pada Tabel 2.

Tabel 2. Data pengujian sifat fisis dan mekanis rotan di Jawa Barat

Kadar air Kadar air MOE MOR Panjang Tinggi


Jenis BJ KU Warna
basah (%) udara (%) (kg/cm2) (kg/cm2) ruas (cm) buku (cm)
Seuti 142,22 13,76 0,511 17.089 441,96 Putih 20,76 0,31
Balubuk 167,11 13,87 0,500 14.585 431,61 Putih 32,15 0,39
Karokok 137,17 14,10 0,470 15.423 453,12 Kuning 24,47 0,26
Seel 138,80 14,25 0,490 10.017 421,16 Kuning 37,20 0,23
Manau alam 105,00 - 0,550 19.800 734,00 Kuning - 0,16
Sampang 84,32 18,19 0,580 22.00 834,00 Coklat - -

Sumber: Anonim (1999)

D. Keawetan dan Keterawetan

Nilai suatu jenis rotan untuk keperluan mebel, barang kerajinan dan peralatan rumah tangga sangat
ditentukan oleh keawetannya, Keawetan rotan adalah daya tahan sesuatu jenis rotan terhadap berbagai
faktor perusak rotan, tetapi biasanya yang dimaksud ialah daya tahan terhadap faktor perusak biologis
yang disebabkan oleh organisme perusak rotan yaitu jamur dan serangga. Dalam hal ini perlu
diperhatikan terhadap organisme mana keawetan itu dimaksudkan, karena sesuatu jenis rotan yang
tahan terhadap serangan jamur misalnya belum tentu akan tahan juga terhadap serangga atau
organisme perusak lainnya. Keawetan rotan juga dipengaruhi pula faktor lain seperti kandungan selulosa,
lignin, pati dan kimia lainnya.

Keterawetan rotan adalah mudah atau tidaknya jenis rotan tersebut ditembus bahan pengawet jika
diawetkan dengan proses tertentu sehingga rotan yang sudah diawetkan dengan suatu bahan kimia
(pengawet) tahan terhadap serangan organisme perusak sehingga rotan tersebut awet. Jenis organisme
tersebut dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Pengelompokan organisme perusak rotan

Organisme
Macam perusak Kondisi rotan Jenis organisme
perusak
Jamur Pewarna Basah Ascomycetes, Ceratocytis, Diplodia
Lapuk, rengas Kering yang kebasahan Basidiomycetes (Schizophylum commune Fr.,
Dacryopinax spathularia Schw., Pycnoporus
sanguineus (fr) Karts)
Serangga Kumbang Basah Scolitydae, Platypodidae (Xyloborus, Platypus dan
penggerek basah Diapus)
(pinhole,
ambrosiabeetle)
Kumbang Kering Bostrychidae, Lyctidae, Cerambicidae, Anobiidae
penggerek kering (Dinodrus minutus Farb., Heterobostrychus
(powder post aequalis Wat., Lyctus sp., Mintea sp.)
beetle)
Rayap Lembab Rayap tanah, Termitidae, Rhinotermitidae
(Coptotermes sp., Macrotermes sp., Microtermes
sp.)
Kering Rayap kayu kering (Cryptotermes cynocephalus
Light.)

Sumber : Jasni dan Martono (1999), Jasni dan Sumarni (1999)


Hasil penelitian secara laboratoris pada 8 jenis rotan (Tabel 4) terhadap organisme perusak dari jenis
bubuk rotan kering Dinoderus minutus Farb. yang dilakukan oleh Jasni dan Supriana (1999), dibuat 5
kelas awet (ketahanan) berdasar penilaian penurunan berat rotan akibat diserang bubuk tersebut.
Adapun klasifikasi tersebut tercantum pada Tabel 5.

Tabel 4. Kelas awet (ketahanan) 8 jenis rotan terhadap serangan bubuk Dinoderus minutus Farb.

Nama jenis rotan Kelas awet


No.
Nama daerah Nama botanis (ketahanan)
1 Bubuay Plectocomia elongata Becc. V
2 Semambu Calamus scipionum Burr. III
3 Tretes Daemonorop heteroides Bl. III
4 Balubuk Calamus burchianus Becc. II
5 Batang Calamus Zolingerii Becc. II
6 Galaka Calamus sp. I
7 Tohiti Calamus inops Becc. I
8 Manau Calamus manan Miq. I

Tabel 5. Klasifikasi keawetan (ketahanan) rotan terhadap bubuk Dinoderus minutus Farb.

Kelas awet (ketahan) Penurunan berat (mg)


I < 42
II 43 - 62
III 63 - 82
IV 83 - 102
V > 102

Penelitian yang dilakukan Suprapti dan Jasni (1992), kerentanan rotan terhadap bubuk perusak rotan
yaitu bubuk Dinoderus minutus Farb. dan bubuk Heterobostrychus aequalis Wat. hasilnya menunjukkan
jenis rotan yang rentan terhadap D. minutus adalah seel (Daemonorops melanochaetes Bl.), mandola
(Calamus sp.), umbulu (C. symphysipus Mart.) dan seuti (C. ornatus Bl.). Kedua jenis bubuk tersebut
umumnya tidak mampu hidup dan berkembang biak pada contoh uji dan derajat serangan bubuk dewasa
maupun larva pada rotan umumnya ringan.

Hasil penelitian yang dilakukan Jasni dan Suprapti (!992), mengenai serangga dan jamur perusak di
industri rotan Jawa Timur, disimpulkan bahwa serangga penyerang rotan adalah kumbang ambrosia,
bubuk Dinoderus minutus Farb., Heterobostrychus aequalis Wat., Lyctus buneus Steph., Mynthea sp.
dan rayap tanah yaitu Macrotermes sp. Jamur yang menyerang rotan terdiri dari blue stain Diplodia sp.,
mould jenis Penicilium sp., Aspergillus sp., A. niger Van Tieghem., dan Trychoderma sp. Jamur pelapuk
yaitu Schizophyllum commune F., dan Polyporus sp. Serangga dan jamur tersebut menyerang rotan yang
berupa bahan baku, barang setengah jadi dan barang jadi. Rotan mandola merupakan jenis yang paling
peka terhadap bubuk. Intensitas serangan bubuk pada bagian bontos lebih besar daripada di permukaan
rotan. Sedangkan organisme lain yang ditemukan intensitas serangannya ringan. Intensitas serangan
organisme di beberapa perusahaan tidak menunjukkan perbedaan nyata.

IV. PENGOLAHAN

Pengolahan rotan adalah pengerjaan lanjutan dari rotan bulat (rotan asalan) menjadi barang setengah
jadi dan barang jadi (Gambar 1) atau siap dipakai atau dijual. Pengolahan dalam industri yaitu proses
pemisahan rotan bulat menjadi bagian-bagian rotan seperti kulit dan hati, masing-masing bagian tersebut
diolah lagi sesuai tujuan dan pemanfaatannya. Pengolahan rotan terdiri pengolahan rotan berdiameter
kecil (< 18 mm) dan rotan berdiamerter besar (> 18 mm).

Rotan yang berdiameter kecil seperti rotan seel (Daemonorop melanochaetes Becc.), yang telah dipanen
dan dibersihkan daun dan duri serta anggota batang dan dilakukan penggosokan dengan mengunakan
serbuk gergaji atau sabut kelapa. Kemudian dipotong-potong sesuai standarnya. Rotan tersebut lalu
dibawa ke tempat penumpukan rotan, dan kemudian dijemur sampai kering dan juga dilakukan
pengasapan. Pengasapan pada dasarnya adalah proses oksidasi belerang (gas SO2) agar warna kulit
rotan kuning merata dan tahan terhadap serangan jamur. Proses pengolahan sampai tahap ini disebut
rotan WS (Washed and Sulphurized). Kemudian rotan tersebut terus di jemur.
Rotan yang sudah kering, dilakukan pembelahan (rotan
dibelah) dan juga ada yang diambil kulitnya, digunakan untuk pengikat atau dibuat lampit. Rotan juga
bisa diambil hatinya saja, kalau ukurannya besar disebut cor rotan dan kalau ukuran lebih kecil disebut
fitrit dan rotan ini digunakan untuk barang kerajinan. Hasil penelitian yang pernah dilakukan terhadap
rotan sega (Calamus caesius Bl.) dengan diameter 14 mm menghasilkan fitrit dengan diameter 3 mm
berjumlah 11 buah (Komunikasi pribadi).

A. Penggorengan

Tujuan penggorengan adalah untuk menurunkan kadar air agar cepat kering dan juga untuk mencegah
terjadinya serangan jamur. Cara penggorengannya adalah potongan-potongan rotan tersebut diikat
menjadi suatu bundelan, kemudian dimasukkan ke dalam wadah yang sudah disiapkan campuran solar
dengan minyak kelapa (Gambar 2).

Rachman (1984), meneliti rotan manau (Calamus manan Miq.) masih basah (segar). Rotan tersebut
digoreng dengan berbagai komposisi minyak penggoreng yang terdiri atas 4 macam perbandingan
volume, yaitu solar dan minyak kelapa (4:1); solar dan minyak tanah (4:1); solar, minyak tanah dan
minyak kelapa (8:1:1) dan minyak tanah dan minyak kelapa (4:1). Lama waktu penggorengan 15 menit,
30 menit, 60 menit dan 120 menit. Ternyata hasilnya perbedaan campuran minyak penggoreng
berpengaruh nyata terhadap warna kulit dan keteguhan tekan sejajar serat tetapi tidak memepengaruhi
keteguhan geser rotan. Waktu penggorengan mempengaruhi warna kulit dan keteguhan geser rotan
akan tetapi tidak mempengaruhi keteguhan tekan sejajar serat selama penggorengan. Campuran minyak
penggoreng yang paling baik adalah terdiri atas solar dan minyak kelapa. Hubungan antara taraf waktu
penggorengan dengan warna kulit, dan terhadap keteguhan geser masing-masing menunjukkan
hubungan nyata. Baik warna kulit rotan maupun keteguhan geser cenderung menurun dengan hubungan
linear yang negatif. Beberapa penelitian dilakukan umumnya menggunakan minyak penggoreng dengan
komposisi minyak solar dengan minyak kelapa (9:1), juga akan menghasilkan rotan dengan warna cerah
(Rachman et al, 1998).

Hasil penelitian Rachman dan Santoso (1996) pada


rotan kesur (Calamus ornatus Bl.), rotan tretes (Daemonorop heteroides Bl.) dan rotan omas (Calamus
sp.), yang rata-rata kadar air awal (segar) adalah untuk rotan kesur 124,67%, rotan tretes 199,31% dan
rotan omas 198,28%. Setelah dilakukan penggorengan dengan minyak solar dan minyak kelapa (9:1)
selama 30 menit dengan suhu berkisar 80 - 120°C, maka terjadi penurunan kadar air dan setelah
penggorengan, rata-rata kadar air rotan kesur menjadi 65,37%, rotan tretes 104,26% dan rotan omas
97,95%. Data tersebut menunjukkan bahwa penyusutan kadar air rotan akibat penggorengan sangat
beragam . Penyusutan kadar air akibat penggorengan rotan kesur menyusut sekitar 52,29%, rotan tretes
kurang lebih 95,05% dan rotan omas sekitar 100,33%. Dari data tersebut dapat dilihat bahwa nampak
rotan omas memiliki pori-pori yang lebih besar daripada rotan tretes dan rotan kesur karena nilai
penyusutan kadar airnya paling tinggi. Penggorengan dapat mempercepat penurunan kadar air, sehingga
sangat membantu percepatan pengeringan. Penggorengan bertujuan agar lapisan lilin dan silika pada
permukaan kulit rotan lebih mudah dihilangkan, sehingga pengeringan dapat berjalan lebih cepat.
Keuntungan lain adalah terhindarnya serangan jamur atau serangga dan rotan menjadi lebih ulet dan
tidak rapuh (Rachman, 1984).

B. Penggosokan dan Pencucian

Setelah rotan digoreng, ditiriskan beberapa menit, kemudian digosok dengan kain perca (sabut kelapa)
atau karung goni yang dicampur dengan serbuk gergaji, agar sisa kotoran terutama getah yang masih
menempel pada kulit rotan dapat dilepaskan, sehingga kulit rotan menjadi bersih dan akan dihasilkan
warna rotan yang bewarna cerah dan mengkilap. Setelah digoreng rotan dicuci dengan air bersih sambil
digosok dengan sabut kelapa untuk membersihkan kotoran yang melekat pada batang (Rachman 1984).

C. Pengeringan

Setelah rotan dicuci lalu dikeringkan dengan cara dijemur pada panas matahari sampai kering dengan
kadar air berkisar 15% - 19% (Gambar 3). Hasil penelitian Basri dan Karnasudirja (1987) pada rotan
manau (Calamus manan Miq.) dan rotan semambu (Calamus scipionum Burr.), menunjukkan bahwa
lama pengeringan secara alami dari kedua jenis rotan tersebut berkisar 22 hari sampai 65,3 hari. Dengan
menggunakan alat dehumidifier (cara masinal) diperoleh lama pengeringan dari kedua jenis rotan
tersebut berkisar antara 5 sampai 8,5 hari. Lebih jauh, kadar air yang diperoleh dengan menggunakan
alat tersebut lebih rendah dibandingkan dengan cara alam. Kadar air yang dicapai berkisar antara
10,54% - 11,78% dengan alat dehumidifier dan antara 18,35 % sampai 19,19 % dengan cara alam.
Warna rotan yang dihasilkan dengan cara alam lebih baik (lebih mengkilap) dibandingkan dengan alat
dehumidifier.

Penggorengan dan cara pengeringan rotan sangat berpengaruh terhadap laju pengeringan rotan balubuk
dan rotan seuti. Laju pengeringan terbesar terdapat pada rotan balubuk goreng yang dikeringkan di udara
terbuka terkena sinar matahari langsung, yaitu rata-rata 6,3%. Laju pengeringan terkecil terdapat pada
rotan balubuk dan seuti mentah yang dikeringkan di bawah atap, berturut-turut 1,2%/hari dan 1,5 %/hari.
(Basri dan Karnasudirdja, 1987).

Hasil penelitian Rachman dan Santoso (1996), pada rotan kesur (C. ornatus Bl.), rotan tretes (D.
heteroides Bl.) dan rotan omas (Calamus sp.) dengan beberapa cara antara lain cara pertama setelah
rotan digoreng langsung dikeringkan di bawah sinar matahari, cara kedua rotan segar (basah) ,
diawetkan dengan bahan pengawet, kemudian dipolis (dibuang kulitnya) dan langsung dikeringkan, cara
ketiga rotan segar langsung dipolis (buang kulitnya) kemudian diawetkan dengan bahan pengawet dan
langsung dikeringkan. Ternyata cara ketiga memerlukan waktu pengeringan tersingkat bila dibandingkan
dengan cara perlakuan lain yang dilakukan dalam penelitian ini. Hal ini diduga karena pada perlakuan
cara ketiga rotan tidak digoreng melainkan langsung dipolis, sehingga rotan tidak mengandung minyak
dan kulit rotan, dengan demikian air yang menguap dari rotan itu cepat mengering.

Selanjutnya hasil penelitian ini menunjukkan juga


bahwa setiap jenis rotan memiliki kemampuan mengering yang berbeda. Untuk ketiga cara di atas semua
perlakuan menunjukkan bahwa rotan kesur adalah yang terlama kering dibandingkan dengan rotan tretes
dan omas. Rotan omas memerlukan waktu pengeringan yang tersingkat. Berdasarkan ketiga cara
tersebut diatas, maka cara ketiga menunjukkan hasil pengeringan rotan tersingkat bila dibandingkan
kedua cara lainnya.

Rachman, Basri dan Santoso (1998) meneliti laju tiga cara pengeringan pada empat jenis rotan (Tabel 6).
Ketiga cara pengeringan tersebut adalah cara konvensinal (rotan habis panen kemudian digoreng
dengan minyak solar dan minyak kelapa dengan perbandingan 9:1, terus dijemur), cara alternatif I ( rotan
habis dipanen, kemudian digoreng dicampur bahan pengawet, terus dijemur dan dipolis setelah itu
dijemur kembali), cara alternatif II (rotan habis panen langsung diawetkan, kemudian dipolis dan dijemur).

Tabel 6. Laju pengeringan 4 jenis rotan dengan beberapa perlakuan berbeda

Kadar air Lama Laju


No. Jenis rotan Perlakuan pengolahan pengeringan pengeringan
Awal (%) Akhir (%) (hari) (%/hari)
1 Bubuay Konvensional dan polis ½ kering 126,24 16,67 18 6,07
Konvensional dan polis kering 126,00 15,93 20 5,50
Alternatif I dan polis ½ kering 127,05 16,36 18 6,15
Alternatif I dan polis kering 126,83 15,89 21 5,28
Alternatif II dan polis ½ kering 128,29 16,89 45 2,48
Alternatif II dan polis kering 128,18 16,92 50 2,23
2 Manau Konvensional dan polis ½ kering 126,24 16,67 18 1,12
Konvensional dan polis kering 126,00 15,93 20 5,48
Alternatif I dan polis ½ kering 127,10 15,53 19 5,87
Alternatif I dan polis kering 126,87 15,53 22 5,06
Alternatif II dan polis ½ kering 127,18 17,76 35 3,13
Alternatif II dan polis kering 127,49 17,90 42 2,61
3 Seuti Konvensional dan polis ½ kering 129,56 16,17 17 6,67
Konvensional dan polis kering 128,18 16,57 17 6,63
Alternatif I dan polis ½ kering 129,16 16,38 20 5,58
Alternatif I dan polis kering 128,83 16,68 20 5,58
Alternatif II dan polis ½ kering 127,65 17,04 30 3,69
Alternatif II dan polis kering 127,18 17,12 33 3,34
4 Seel Konvensional dan tanpa polis 127,28 14,27 15 7,53
Alternatif I dan tanpa polis 128,13 14,58 15 7,57
Alternatif II dan tanpa polis 128,17 16,17 27 4,15

Sumber: Rachman, et al. (1998)

D. Pengupasan dan Pemolisan

Pengupasan dan pemolisan umumnya dilakukan pada rotan besar pada keadaan kering, gunanya adalah
untuk menghilangan kulit rotan tersebut, sehingga diameter dan warna menjadi lebih seragam dan
merata. Basri et al. (1998) mencoba pengupasan dan pemolesan rotan manau (Calamus manan Miq.),
seuti (Calamus ornatus Bl.) dan nunggal (Calamus ornatus Bl.) yang masih basah dan yang sudah
kering. Dari hasil percobaan tersebut dapat diambil 4 kesimpulan berikut:

1. Proses pengupasan dan pemolisan rotan berdiameter besar dapat dilakukan dalam keadaan
basah maupun kering.
2. Pengupasan dan pemolisan rotan dalam keadaan basah, menghasilkan pengurangan diameter
dan produktifitas yang sama dengan yang dikupas dan dipolis pada keadaan kering.
3. Pengupasan dan pemolisan rotan pada keadaan basah menghasilkan rendemen kupas dan polis
yang lebih rendah serta serat berbulu dan serat patah yang lebih banyak dibandingkan pada
keadaan kering.
4. Dari klasifikasi mutu, maka jenis rotan manau dan nunggal masuk ke dalam kelas mutu baik dan
seuti kelas mutu sedang, apabila dikupas dan dipolis pada keadaan basah. Namun bila rotan
tersebut dikupas dan dipolis dalam keadaan kering kelas mutunya naik, yaitu untuk manau dan
nunggal masuk sangat baik sementara seuti tergolong baik.

E. Pembengkokan

Pembengkokan atau pelengkungan rotan dilakukan pada rotan berdiameter besar sesuai dengan
pengunaannya. Cara pembengkokan ini dilakukan dengan cara rotan tersebut dilunakkan dengan uap air
panas yang disebut steaming dengan tabung berbentuk silinder (steamer) agar jaringan rotan menjadi
lunak sehingga mudah dibengkokan (Gambar 4). Ada beberapa kerusakan pada proses tersebut, seperti
pecah, patah dan putusnya serat pada bagian permukaan yang dilengkungkan (Rachman, 1990).

Penelitian Rachman, Harjo dan Suwirman (1997), pelengkungan rotan melalui perendaman dengan
larutan dimetil sulfoksida pada tiga jenis rotan yaitu, rotan manau (Calamus manan Miq.), rotan batang
(Daemonorops robusta Warb.) dan rotan minong (Calamus optimus Becc.). Rotan yang digunakan
adalah rotan yang sudah dipolis halus dan sudah kering. Rotan tersebut direndam dalam wadah yang
berisi larutan dimetil sulfoksida selama 8 jam pada suhu 82°C. Dari cara tersebut diperoleh hasil sebagai
berikut:

1. Perendaman dalam larutan Dimetil Sulfosida (DMSO) pada suhu 80°C selama 8 jam
memudahkan pelengkungan rotan. Pada taraf konsentrasi yang sama, rotan batang paling sukar
dilengkungkan dan rotan manau paling mudah dilengkungkan. Pelengkungan rotan batang
menjadi mudah pada perendaman dengan larutan dimetil sulfoksida konsentrasi 15% dan rotan
minong pada konsentrasi 5%. Kerusakan berupa pecah permukaan dan putusnya ikatan serat
terjadi pada rotan batang dan rotan minong pada perendaman konsentrasi 0°.
2. Penggunaan larutan dimetil sulfoksida memudahkan pelengkungan, menurunkan tingkat
kerusakan fisis dan tidak mempengaruhi kilap, namun cenderung meningkatkan nilai mulur dan
sudut volume, serta menurunkan MOE dan rasio E/P.
3. Larutan dimetil sulfoksida berpengaruh sangat nyata terhadap nilai MOE rotan (konsentrasi 0,5,
dan 10 persen tidak berbeda), mulur dan rasio E/P rotan (semua tingkat konsentrasi berbeda);
dan berpengaruh nyata terhadap sudut volume rotan (konsentrasi 10,15 dan 20 persen tidak
berbeda).
4. Rotan yang sukar dilengkungkan (rotan minong dan batang) disarankan diberi uap panas dari
DMSO pada konsentrasi 5 - 15% bergantung pada kerapatan dan distribusi ikatan pembuluh.

Hasil penelitian (Jasni, 1992), menunjukkan bahwa


pengrajin di industri rumah tangga di Semarang, Jepara dan Solo pada 7 industri rumah tangga, proses
pembengkokan dilakukan dengan cara memanaskan langsung bagian yang akan dibengkokkan pada api
(kompor minyak tanah dan gas LPG). Kemudian bagian tersebut dibengkokkan dengan bantuan alat
pembengkok pada waktu rotan masih panas. Cara ini mempunyai beberapa kelemahan yaitu prosesnya
lambat dan kadang-kadang bagian yang dipanaskan dapat terbakar, sehingga bewarna hitam.

F. Pemutihan

Pemutihan rotan bertujuan menghilangkan silika, mengurangi kromofort (gugus penyebab warna)
oksidasi terhadap struktur aromatik dari lignin dan karbohidrat (dalam kalium hipoklorit).

Pemutihan perlu dilakukan, dan harus diperhatikan bahan yang dipakai, karena pemakaian bahan dan
cara yang salah mengakibatkan rotan rusak (mudah patah). Lukman (1992), meneliti pemutihan kulit
rotan sega (Calamus caesius Bl.) dengan metoda perendaman dalam larutan hidrogenperoksida (H2O2).
Penelitian tersebut menunjukkan hasil sbb:

1. Kulit rotan sega sebelum diputihkan mempunyai derajat putih dan keteguhan tarik sejajar serat
masing-masing sebesar 38,8% dan 412,1 kg/cm2. Setelah diputihkan dengan cara perendaman
dalam larutan hidrogen peroksida masing-masing berubah menjadi rata-rata 44,7% dan 374,9
kg/cm2.
2. Proses pemutihan rotan dengan menggunakan H2O2 pada selang konsentrasi 1 sampai 7%
dapat meningkatkan nilai derajat putih sampai 48,01%. Keteguhan tarik sejajar kulit rotan yang
dihasilkan cenderung menurun dengan bertambahnya konsentrasi bahan pemutih yang
digunakan.
3. Untuk menghasilkan kulit rotan yang memiliki nilai derajat putih dan keteguhan tarik sejajar serat
yang optimum maka dianjurkan menggunakan konsentrasi bahan pemutih sebesar 5%. Pada
tingkat konsentrasi bahan pemutih H2O2 tersebut dihasilkan kulit rotan dengan nilai derajat putih
rata-rata 46,00% dan keteguhan tarik sejajar serat sebesar 364,8 kg/cm2.
4. Perlakuan lama perendaman pada proses pemutihan rotan tidak memberikan pengaruh yang
nyata, baik terhadap derajat putih maupun kekuatan tarik sejajar serat. Hal yang sama berlaku
pula untuk interaksi antara konsentrasi bahan pemutih dengan lama perendaman. Mengingat hal
itu perendaman selama 1 jam dianggap cukup.

Hasil penelitian di lapangan, untuk pemutihan dipakai zat-zat kimia, tetapi tidak semua perusahaan
melakukan pemutihan, tergantung dari permintaan konsumen. Cara melakukan pemutihan di tiap
perusahaan berbeda, ada yang mencelupkan rotan barang jadi dalam bak yang sudah berisi zat pemutih
sambil digosok-gosok dengan sikat yang terbuat dari ijuk, ada juga yang mencelupkan barang setengah
jadi kedalam bak yang sudah berisi bahan pemutih hanya satu detik saja dan ada pula dengan cara
menyiram zat pemutih pada rotan. Bahan pemutih yang digunakan adalah perhydrol, air kaca, NaOh dan
asap belerang (Jasni, 1992).

G. Pengasapan

Pengasapan dilakukan agar warna rotan menjadi kuning merata dan mengkilap. Pengasapan dilakukan
pada rotan kering yang masih berkulit (alami) Pengasapan pada dasarnya adalah proses oksidasi rotan
dengan belerang (gas SO2) agar warna kulit rotan menjadi lebih putih. Pengasapan dilakukan dalam
rumah asap yang berbentuk kubah terbuat dari tembok dan balok kayu. Di dalam kubah dapat disusun
4000 batang rotan secara horizontal berlapis-lapis. Setiap lapisan diberi bantalan kayu agar asap
bergerak bebas di antara lapisan rotan. Selanjutnya belerang dibakar di atas suatu wadah dan
dimasukkan ke dalam rumah asap. Waktu pengasapan sekitar 12 jam dan menghabiskan sekitar 7,5 kg
belerang atau 1,8 gr/batang rotan (Rachman 1990).

H. Pengawetan

Pengawetan rotan adalah proses perlakuan kimia atau fisis terhadap rotan yang bertujuan meningkatkan
masa pakai rotan. Bahan kimia untuk mengawetkan rotan dirsebut bahan pengawet. Selain berfugsi
untuk mencegah atau memperkecil kerusakan rotan akibat oganisme perusak, juga memperpanjang
umur pakai rotan.

Bahan pengawet yang digunakan harus bersifat racun terhadap organisme perusak baik pada rotan
basah maupun rotan kering, permanen dalam rotan, aman dalam pengangkutan dan penggunaan, tidak
bersifat korosif, tersedia dalam jumlah banyak dan murah.

Pengawetan mulai dilakukan pada rotan masih berdiri atau rotan sebelum dipungut (Bucheri),
pengawetan rotan setelah panenan (propilaktik) dan pengawetan rotan setelah kering (permanen). Cara
pengawetan seperti ini disesuaikan dengan organisme perusak rotan tersebut.

Barly ( 1991) mencoba pengawetan rotan bahan baku mebel pada rotan manau (Calamus manan Miq.),
rotan batang (Calamus zollingerii Becc. atau Daemonorops robusta Warb.), rotan tohiti (Calamus inops
Becc.) dan rotan tabu-tabu dengan bahan pengawet campuran garam yang mengandung bahan aktif
boron (boraks, asam borat, timbor dan genapol X-80 (Isotridekanol polyglylether) sebagai bahan anti
jamur biru (blue stain). Hasil percobaan menunjukkan bahwa keberhasilan pengawetan ditentukan oleh
retensi dan penetrasi bahan pengawet. Dengan retensi minimum 6,28 kg/m3 dan penetrasi 75% dapat
dicapai rotan tabu-tabu dengan cara tekanan selama 5 menit dan vakum 15 menit, rotan batang setelah
ditekan 15 menit dan vakum 15 menit, rotan tohiti setelah ditekan 25 menit dan vakum 15 menit dan rotan
manau setelah ditekan > 25 menit dan vakum 15 menit. Jenis rotan yang dicoba termasuk mudah
diawetkan dengan cara tekanan. Untuk mempersingkat waktu pengawetan khususnya pada rotan
batang, tohiti dan manau dapat dilakukan dengan cara menaikkan konsentrasi larutan menjadi lebih
besar dari 3%. Agar diperoleh hasil pengawetan yang efisien sebaiknya dalam pelaksanaan
pengawetannya harus dipisahkan berdasarkan jenis atau setidaknya berdasarkan kelas diameter.

Penggunaan pestisida untuk mencegah serangan jamur pewarna pada rotan semambu (Calamus
scipionum Burr.) yang mempunyai kadar air 112% (segar) dan rotan seel (Daemonorops sp.) dengan
kadar air berkisar 80%., ternyata rotan semambu dan seel rentan terhadap jamur pewarna (Martono,
1990). Oleh karena itu, pemungutan, pengangkutan dan pengolahan kedua jenis rotan ini perlu mendapat
perhatian agar terhindar dari serangan jamur pewarna. Pencegahan serangan jamur pewarna dapat
dilakukan dengan menggunakan pestisida yang mengandung bahan aktif TCMTB/MTC; MBT;
Thiobenzondazol + IF 1000 dengan konsentrasi 1% sesaat setelah pemungutan. Penggunaan pestisida
pencegah jamur pewarna tidak tepat pada rotan yang telah mendapat serangan di bagian dalam, apalagi
pada rotan yang kulit luarnya telah berubah warna. Pemotongan di bagian dekat buku lebih
menguntungkan, karena dapat mengurangi laju serangan jamur pewarna di bagian dalam.

Hasil penelitian terhadap rotan karokok (C. viminalis Wendl.), rotan seuti (C.ornatus Bl.), rotan lilin
(Calamus. spp.) dan rotan irit (C.trachyoleus Becc.) dengan menggunakan bahan pengawet berbahan
aktif metilenbisthiosianat 10g/l dengan konsentrasi 2% dan retensi 13,7 kg/ton pada saat pemanenan
rotan, ternyata mampu meningkatkan daya proteksi rata-rata terhadap serangan jamur biru mencapai 46
hari (Rachman, et al. 1996).

Penelitian pada rotan seuti (C. ornatus Bl)., rotan pelah (Daemonorops ruber Bl.), rotan balubuk
(Calamus burchianus Burr.) rotan irit (Calamus trachyoleus Becc. ) dan rotan lambang (Calamus sp.)
dengan menggunakan bahan pengawet Enblu 1,5% dapat mencegah serangan jamur biru. Bahan
pengawet Cislin dengan konsentrasi 1,5% dapat mencegah serangan bubuk basah, yaitu kumbang
ambrosia (Jasni dan Martono, 1999).

Penelitian terhadap rotan bubuay (Plectocomia elongata Bl.), rotan sampang (Khorthalsia junghunii Miq.),
dan rotan seuti (Calamus ornatus Bl.), diuji ketahanannya dengan tiga jenis jamur pelapuk, yaitu
Dacryopinax spathularia, Pycnoporus sanguineus dan Schizophyllum commune. Hasilnya menunjukkan
bahwa ketiga jenis rotan tersebut tidak resisten (kelas awet IV) dan jamur yang memiliki kemampuan
melapukkan rotan tertnggi adalah P. sanguineus dan terendah adalah D. spathularia (Djarwanto dan
Jasni, 1999).

Pengawetan dilakukan pada rotan kering, dan organisme perusak disebut bubuk rotan kering (powder
post beetle), biasanya menyerang rotan yang sudah kering seperti bahan baku rotan, barang setengah
jadi dan barang jadi. Jenis rotan yang banyak mengandung zat tepung (pati) mudah diserang oleh
serangga ini. Serangan bubuk rotan dapat dikenal karena adanya tepung halus bekas gerekan bubuk
tersebut. Serangga ini paling banyak ditemukan menyerang rotan antara lain Dinoderus minutus Farb.,
Heterobostrychus aequalis Wat., Minthea sp. dan yang paling banyak merusak adalah Dinoderus minutus
Farb. (Jasni, 1998).

Penelitian dilakukan Sumarni (1994) adalah pengaruh pengukusan pada rotan batang (Daemonorops
robusta Warb.) yang diawetkan terhadap serangan bubuk Dinoderus minutus Farb., menunjukkan bahwa
pengaruh pengukusan akan menurunkan retensi bahan pengawet pada rotan dengan persentase rata-
rata 14,20%. Rotan yang diawetkan dengan bahan pengawet yang mengandung permetrin 36,8% tanpa
dikukus pada konsentrasi 0,15% dengan retensi 0,084 kg/m3 dapat mencegah serangan serangga
secara total dan rotan yang diawetkan dengan cara dikukus pada konsentrasi 0,30% dengan retensi
0,147 kg/m3 dapat mencegah serangan serangga secara total.

Djarwanto dan Jasni (1992), meneliti kemungkinan serangan rayap kayu kering (Cryptotermes
cynocephalus Light.) terhadap rotan. Rotan yang digunakan adalah rotan seel (Demonorops
melanochaetes Bl.), rotan manau (Calamus manan Miq.), rotan escot (Calamus sp.1), rotan lambang
(Calamus. sp.2), rotan mandola (Calamus sp.3), rotan tohiti (Calamus inops Becc.) dan rotan terumpu
(Calamus sp.4). Rotan ini diawetkan dengan boraks. Hasilnya menunjukkan bahwa rayap kayu kering
kemungkinan besar dapat menyerang rotan. Jenis rotan yang paling peka terhadap serangan adalah
rotan seel dan yang kurang peka adalah manau. Derajat serangan rayap pada contoh uji yang dihasilkan
umumnya ringan. Senyawa boron mungkin dapat digunakan untuk mencegah serangan rayap kayu
kering pada rotan.

Jasni et al. ( 1995) melaporkan bahwa permetrin dan methyl bisthiosianat 0,5% cukup efektif mencegah
serangan bubuk Dinoderus minutus Farb. pada rotan mandola (Calamus sp.) yang masih segar.
Pengawetan dilakukan secara rendaman selama 2 jam, kemudian rotan tersebut digoreng dan
dikeringkan sampai kadar air 17%.

Pada percobaan lain dengan rotan kering (k.a. 17%) bubuay (P. elongata Bl.), seuti (Calamus ornatus
Bl.), dan sampang (Khorthalsia junghunii Miq.), permetrin 0,09 ppm efektif mencegah serangan bubuk di
atas. Pengawetan dilakukan secara rendaman dingin selama 2 jam (Jasni et al, 1998). Phoxim dan
klorofirifos ternyata lebih efektif lagi untuk mencegah serangan bubuk Dinoderus minutus Farb. Rotan
batang (Daemonorops robusta Warb.) dapat diawetkan dengan phoxim 0,25% dan klorfirifos 0,5% secara
rendaman dingin (Jasni, 1999).

V. SOSIAL EKONOMI

Nasendi (1995) dalam laporannya, menyimpulkan bahwa potensi rotan Indonesia masih baik.
Disarankannya agar arah pengusahaan rotan dilakukan dengan pola Hutan Tanaman Industri secara
Komersial dan Hutan Tanaman Rakyat. Penerobosan pasar ekspor menuju era ekonomi dunia yang lebih
terbuka pasca Putaran Uruguay memerlukan strategi khusus sebagai tindak lanjut Indonesia memasuki
ekspor barang jadi rotan yang berkualitas dan penting (sejak Januari 1989). Upaya penelitian
pengembangan rotan masih terus harus dipacu khusus yang menyangkut aspek silvikultur, provenance,
bibit dan biji, serta sosial ekonomi, Selain itu produksi dan pemasaran, teknologi pasca panen, sumber
daya manusia dan pendidikan serta penyuluhan harus dilakukan pula secara terpadu. Survey potensi
rotan alam yang lebih menyeluruh untuk memantau neraca stock dan sumber alamnya dari waktu ke
waktu perlu dilakukan.
Rotan berperan sangat penting dalam peningkatan pendapatan petani peladang berpindah di
Kalimantan. Mereka menanam rotan di ladang berpindah dengan memanfaatkan bibit rotan alam yang
tumbuh liar di ladang mereka. Biaya penebangan kebun rotan di Kabupaten Pasir atau Kutai berkisar
sekitar Rp 82.500,- yang terdiri dari upah buruh Rp 75.000,- dan yang lainnya untuk biaya peralatan
(Purnama dan Prahasto, 1996).

Sebagian besar produksi rotan dari Kabupaten Pasir diangkut ke propinsi Kalimantan Selatan. Di sana
digunakan sebagai bahan baku industri tikar dan lampit. Lampit merupakan 80% nilai ekspor rotan. Rotan
dari Kabupaten Kutai hanya sebagian kecil saja yang diangkut ke Pulau Jawa.

Biaya produksi untuk mebel rotan, lampit dan anyaman berbeda tergantung pada tipe rotan dan jenis
barang. Untuk mebel ruangan duduk sekitar Rp 73.130/unit, tikar rotan sekitar Rp 16.519/m2 dan
penutup makanan sekitar Rp 1.615/20 buah.

Upah yang diterima pengrajin mebel rotan di Kabupaten Samarinda dan Hulu Sungai Utara masing-
masing adalah Rp 3.374.000 dan Rp 2.888.000 tiap tahun. Dibandingkan dengan KFM (Kebutuhan Fisik
Minimum) jumlah tersebut cukup baik, karena pendapatan dari penganyaman rotan hanya berjumlah Rp
63.500/bulan, dengan dugaan pekerjaan penganyaman rotan satu-satunya sumber pendapatan.

Jalur distribusi dari produsen kepada konsumen beragam, pengamatan lapangan menunjukkan
sekurang-kurangnya ada 10 pola jalur distribusi. Yang sangat nyata adalah pola pemasaran antar pulau,
pola dari produsen rotan ke industri lampit dan pola ke pengrajin rotan (Purnama dan Parahasto, 1996).

Irawati dan Dwiprabowo (1996), menganalisis sosial ekonomi rotan tanaman di Jawa, dengan kesimpulan
bahwa pendapatan pekerja pada kegiatan perkecambahan, persemaian dan penanaman rotan berturut-
turut Rp 63.000,-, Rp 285.00,-, Rp 65.000,- dan Rp 81.000,- per bulan. Pendapatan ini memberikan
konstribusi kepada pendapatan total keluarga pekerja berturut-turut sebesar 6 - 26%, 56% dan 17%.
Pendapatan bersih dari tanaman pinus saja adalah Rp 9.430.866,- per ha untuk rotasi 25 tahun dan
tingkat IRR 15,05%. Pendapatan bersih dari tanaman campuran pinus dan rotan adalah Rp 13.256.753,-
dengan tingkat IRR sebesar 16,36% sehingga penanaman rotan dapat meningkatkan manfaat ekonomis
hutan. Penanaman rotan di Jawa Barat sejak tahun 1993 menurun padahal luas hutan baru mencapai
4% dari hutan produksi. Demikian pula penanaman rotan di Jawa Timur telah terhenti sejak tahun 1993.

Hasil kajian kelompok kerja rotan Badan Litbang Kehutanan (1997) tentang permasalahan rotan dalam
rangka reorientasi kebijakan rotan Indonesia dilaporkan seperti berikut:

1) Keadaan rotan masih cukup baik, kerana dari 306 jenis rotan yang ada di Indonesia baru
dimanfaatkan 51 jenis, sedangkan yang belum dimanfaatkan 255 jenis. Pekiraan luas areal berotan
adalah 98,7 juta ha, yang terdiri dari 75% berhutan dan 25% tidak berhutan. Rata-rata potensi rotan
diameter 18 mm sekitar 161.320,56 ton, dan secara total adalah 349.177 ton/tahun produksi netto lestari.
Tanpa perhitungan Faktor Effisiensi (FE) dan faktor pengaman (FP) yang ± 0,5, maka AAC (tebang
lestari) diperkirakan ± 698,254 ton/tahun (tidak berbeda dengan angka tahun 1986 pada 15 propinsi yaitu
696.000 ton/tahun).

2) Pola produksi bahan baku masih bersifat tradisional dengan pola pungut tanpa perangkat alat
penarik. Tenaga pekerja untuk memungut rotan alam berkisar antara 5 - 10 orang/regu selama 10 - 15
hari di hutan. Rotan tanaman 2 - 3 orang/regu langsung diangkut. Status harga tidak jelas dan lebih
ditentukan pemodal.

3) Jumlah industri pengolahan rotan dari tahun ketahun meningkat. Pada tahun 1988 berjumlah 381
perusahaan dan pada tahun 1995 menjadi 548 perusahaan. Kapasitas produsksi barang setengah jadi
dan barang jadi pada tahun 1988 sebanyak 101.086 ton, sedangkan tahun 1995 meningkat menjadi
1.152.900 ton/tahun. Keadaan ini sudah mencapai target AAC tebang lestari rotan sebagai bahan baku;
adanya perbedaan suplai sebesar 454.900 ton/tahun. Total investasi 1995 adalah 944 milyar dengan 584
perusahaan, 198.990 tenaga kerja pada industri.

4) Harga jual rotan pada berbagai lembaga tata niaga di Kalimantan


(a) Petani rotan Rp 350/kg
(b) Pedagang pengumpul Rp 925/kg
(c) Pedagang besar Rp 1.350 /kg
(d) Pedagang antar pulau Rp 1.600/kg

5) Harga jual rotan pada berbagai lembaga tata niaga di Sulawesi


(a) Pemungut rotan Rp 200/kg
(b) Ketua kelompok Rp 240 /kg
(c) KUD Pengumpul Rp 270/kg
(d) KUD pengumpul dan pengolah Rp 565/kg
(e) Pedagang antar pulau Rp 2.250/kg.

6) Margin keuntungan pada berbagai lembaga tata niaga di Kalimantan


(a) Pedagang pengumpul Rp 120/kg
(b) Pedagang besar Rp 260/kg
(c) Pedagang antar pulau Rp 170/kg

7) Margin keuntungan pada berbagai lembaga tata niaga di Sulawesi


(a) Ketua kelompok Rp 40/kg
(b) KUD pengumpul Rp 20/kg
(c) KUD pengumpul dan pengolah Rp 85/kg
(d) Pedagang antar pulau Rp 520/kg

Margin keuntungan yang diterima oleh lembaga tata niaga makin kecil makin ke hulu.

Dampak sosial ekonomi rotan hasil kajian ini sebagai berikut:

1. Dampak kegiatan tata niaga ekspor rotan yang dikeluarkan pemerintah sejak tahun 1986 dan
seterusnya terhadap kesempatan kerja cukup tinggi khususnya dibidang industri pengolahan
rotan (pengrajin rotan dan industri rumah tangga) serta petani/pemungut rotan di desa. Selama
ini diperkirakan sektor ini mampu menyerap ± 200 - 250 orang pekerja per tahun.
2. Dampak kebijakan tata niaga ekspor rotan terhadap pendapatan petani pada awalnya dirasakan
bergairah dan produktif. Namun akhir-akhir ini khususnya sejak tahun 1994 - 1997 margin
keuntungan dan harga rotan tidak dirasakan lagi dapat memberikan dorongan yang berarti lagi
bagi petani dan pemungut rotan di pedesaan di dalam/sekitar hutan. Harga rotan jatuh sampai
Rp 250 - Rp 400 per kg (1996), dibandingkan dengan harga pada tahun 1986 Rp 2.750 per kg.
Harga tersebut tidak cukup untuk membeli beras yang Rp 800 per kg. Rotan sudah tidak lagi
menjadi komoditi dan aktivitas produksi andalan bagi petani/pemungut rotan di pedesaan sekitar
hutan.
3. Banyak areal rotan yang dikonversi menjadi kebun kelapa sawit dan kebun karet khususnya di
Kalimantan dan Sumatra.
4. Dampak terhadap penebangan liar dan perdagangan (ekspor) ilegal juga cukup tinggi (rata-rata
60 - 70 ton rotan per kapal motor per hari).

Analisis biaya dan sosek pengolahan rotan alternatif, yaitu konvensional (panen - goreng - jemur -
natural/polis), alternatif I (panen - goreng + bahan pengawet - jemur - polis - jemur) dan alternatif II
(panen - pengawetan - polis - jemur). Hasilnya menunjukkan persentase rotan bebas serangan jamur
pewarna untuk cara konvensional 74%, alternatif I 89% dan alternatif II 100%. Biaya pengolahan riil per
batang rotan untuk cara pengolahan konvensional Rp 4.440,-, alternatif I Rp 4.767,-, dan alternatif II Rp
4.143,-. Perkiraan pendapatan kotor (termasuk upah kerja) per batang rotan untuk cara pengolahan
konvensional Rp 4.920,- alternatif I Rp 4.593,- dan alternatif II Rp 5.217,- (Puspitodjati dan Supriadi,
1998).

Hasil studi kasus alih teknologi pengolahan rotan lepas panen di KPH Kuningan (Martono dan
Puspitodjati ,1999), menunjukkan prestasi kerja 4 orang petani peserta alih teknologi pengolahan rotan
asalan menjadi rotan W&S kering adalah 300 batang per hari (9 jam kerja). Alokasi waktu pengolahan
300 batang rotan tersebut : 0,5 jam untuk pemanasan tunggu, 3,5 jam untuk penggorengan,
penggososkan dan penjemuran, 1 jam istirahat, 2 jam untuk pembalikan rotan yang dijemur dan 1 jam
untuk sortasi. Rotan W&S hasil pengolahan masyarakat kualitas lebih baik tetapi hanya dapat dijual
dengan harga yang lebih tinggi (minimal Rp 944,- per batang) dibanding harga yang berlaku di pasar
(Rp.900,- per batang).

Hasil kerjasama Perhutani dengan Litbang Hasil Hutan (1999), tentang pedoman teknis pengembangan
pengolahan Rotan Lepas Panen di Pulau Jawa dapat diuraikan dibawah ini.

A. Biaya Investasi

Investasi yang diperlukan untuk membangun unit pengolahan lepas panen (Gambar 5) adalah sebesar
Rp 16.194.750,- (1 unit) dan perinciannya seperti Tabel 7.

Tabel 7. Investasi pembangunan unit instalasi PRLP

Uraian Biaya (Rp)


Wajan dan tunggu 2.700.000
Bangsal kerja 5.743.250
Gudang penyimpanan 7.751.500
Jumlah 16.194.750

Sumber : Anonim (1999)

B. Biaya produksi dan Harga Pokok

Besarnya biaya produksi dipengaruhi oleh tingkat pemakaian bahan baku pembantu serta produktivitas
tenaga kerja. Biaya produksi terdiri dari biaya produksi langsung dan biaya produksi tidak langsung.
Biaya produksi langsung merupakan biaya yang terkait langsung dengan proses pengolahan rotan. Biaya
produksi tidak langsung antara lain adalah : biaya pemeliharaan, biaya penyusutan alat dan bangunan,
biaya administrasi, bunga bank dan pajak.

Dengan menghitung seluruh biaya yang terjadi, diperoleh harga pokok rotan W&S sebesar Rp 1427,- per
batang. Rincian perhitungan harga pokok rotan W&S dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Harga pokok rotan W&S

Biaya untuk produksi 100.000 batang


No Uraian
(Rp 1.000)
I Biaya langsung :
1 Bahan baku rotan segar 80.000
2 Angkutan rotan segar 15.000
3 Bahan pembantu 6.355
4 Gaji dan upah 21.000
5 Angkutan rotan kering 15.000
II Biaya tidak langsung :
1 Pemeliharaan 1.620
2 Penyusutan alat dan bangunan 3.200
3 Bunga bank 480
Jumlah: I ± II 142.655
Harga pokok (Rp./batang) 1.427
Harga jual (Rp/batang) 2.000
Laba (Rp/batang) 0.573

Sumber : Anonim (1999)

C. Analisis Finasial

Analisis finasial dapat diketahui : Proyeksi pendapatan ,BEP, Payback period dan NVP sebagai berikut:

1. Proyeksi Pendapatan Proyeksi pendapatan dibuat mempertimbangkan kapasitas produksi


pengolahan rotan lepas panen dan peluang pemasaran, ditambah dengan asumsi bahwa bahan baku
rotan tersedia baik dalam jumlah maupun kesinambungan. Proyeksi pendapatan dibuat selama 5 tahun
sesuai dengan umur proyek (Tabel 9).

Tabel 9. Proyeksi pendapatan PRLP (Rp 1.000)

Tahun Laba kotor Laba bersih


Tahun 1 26.912 24.222
Tahun 2 47.128 42.415
Tahun 3 47.128 42.415
Tahun 4 47.128 42.415
Tahun 5 47.128 42.415
Rata-
43.084 38.776
rata

Keterangan : Anonim, 1999


2. Break Even Poit (BEP)

Hasil analisis menunjukkan bahwa BEP produksi dan harga jual rotan W&S adalah 78.700 batang per
tahun dan Rp 1.573,- per batang. Tingkat BEP produksi rotan W&S ini jauh di bawah nilai yang
diproyeksikan. Hal ini berarti PRLP (Panen Rotan Lepas Panen) bila dioperasikan secara optimal
(Produksi 100.000 batang per tahun) akan mendatangkan keuntungan yang tinggi.

3. Payback period

Payback period adalah perkiraan lamanya jangka waktu yang diperlukan untuk kembalinya suatu
investasi yang ditanamkan dalam sutu proyek. Dari Tabel proyeksi pendapatan diketahui bahwa selama
5 tahun operasi, PRLP selalu memperoleh pendapatan yang positif sehingga investasi dapat
dikembalikan pada tahun pertama operasi.

Payback period 1 tahun tersebut lebih pendek dibandingkan dengan umur bangunan dan peralatan unit
PRLP, sehingga usaha pengolahan rotan lepas panen layak untuk dilaksanakan.

4. Net Present Value (NPV)

Hasil analisis diperoleh nilai NPV sebesar Rp 161.503.000,-. Nilai NPV yang positif menunjukkan bahwa
usaha pengolahan rotan lepas panen layak untuk dilaksanakan. (Tabel 10).

Tabel 10. Analisis BEP, NPV, BC Ratio dan Payback Period

Analisis Hasil Analisis


1. B E P

- Harga jual (Rp) 1.573


- Produksi (batang) 78.700
2. NPV (Rp 1.000) 161.503
3. B/C Ratio 1,27
4. Payback period (tahun) 1

Sumber : Anonim (1999)

D. Analisis Kepekaan

Faktor yang diperkirakan dapat mempengaruhi keuangan industri adalah harga jual, biaya produksi dan
tingkat produksi.

1. Volume produksi turun 20%

Kerusakan peralatan dan kekurangan bahan baku dapat menyebabkan realisasi produksi di bawah
tingkat produksi yang direncanakan. Apabila tingkat produksi hanya mencapai 80.000 batang (turun 20%)
maka NPV menjadi Rp 126.439.000,- B/C ratio menjadi 1,26 dan BEP produksi harga jual menjadi
53.324 batang per tahun dan Rp. 1.583,- per batang. Meskipun, volume produksi turun, usaha
pengolahan rotan lepas panen masih layak untuk dilaksanakan.

2. Harga jual turun 15%

Dalam analisis kepekaan, penurunan harga rotan diperkirakan dapat mencapai 15%. Penurunan harga
jual tersebut menyebabkan nilai NPV menjadi Rp. 47.769.000,- BEP produksi dan harga jual menjadi
92.588 batang per tahun dan Rp 1.573,- per batnag, dan niali B/C ratio 1,08. Penurunan harga jual ini
tidak mempengaruhi kelayakan usaha pengolahan rotan lepas panen.

3. Biaya produksi naik 15%

Kenaikan biaya produksi dapat disebabkan oleh kenaikan harga rotan asalan, harga bahan pembantu
dan upah tenaga kerja. Apabila biaya produksi naik 15 % maka niali NPV menjadi Rp. 71.995.000,-, B/C
ratio menjadi 1,10, BEP produksi dan harga jual menjadi 90.905 batang per tahun dan Rp. 1.810,- per
batang. Hasil analisis kepekaan disajikan pada Tabel 11.

Tabel 11. Analisis Kepekaan

Biaya produksi
Analisis Produksi turun 20% Harga turun 15%
naik 15%
1. B E P

- Harga jual (Rp) 1.583 1.573 1.810


- Produksi (batang) 63.324 92.588 90.905
2. NPV (Rp 1.000) 126.439 47.769 71.995
3. B/C Ratio 1,26 1,08 1,10

Sumber : Anonim (1999)

VI. PENUTUP

Rotan merupakan produk hasil hutan bukan kayu yang


berperan penting dalam meningkatkan pendapatan masyarakat sekitar hutan. Peran Indonesia sebagai
produsen utama rotan, kini bukan lagi sebagai pemasok bahan baku bagi industri mebel rotan di luar
negeri, tetapi sudah beralih menjadi pemasok mebel rotan dan barang kerajinan.

Laju pemanenan yang begitu cepat perlu diimbangi dengan upaya pelestarian berupa pemanenan dan
efisiensi pemanfaatan. Hal tersebut sangat diperlukan agar kesinambungan pasokan bahan baku
terjamin. Selain itu, perlu dilakukan pemahaman potensi hutan yang tersedia melalui pengenalan dan
pemanfaatan jenis-jenis rotan yang terdapat di Indonesia. Dari 306 jenis rotan yang terdapat di Indonesia
baru 51 jenis saja yang dimanfaatkan secara komersial.

Proses pengolahan rotan yang dilakukan di industri rotan pada umumnya sudah baku, yaitu
penggorengan, penggosokan dan pencucian, pengeringan, pengasapan dan pengawetan. Berbagai
upaya penyempurnaan tiap tahap proses pengolahan telah dilakukan agar kualitas produk rotan
meningkat.

Alih teknologi dalam proses pengolahan dapat diberikan kepada masyarakat petani pemungut untuk
meningkatkan mutu yang dihasilkan dan menghindari kerusakan yang lebih besar akibat serangan jamur
dan penggerek rotan. Untuk mencukupi kebutuhan rotan yang bermutu perlu introkduksi jenis-jenis yang
kurang awet tetapi perlu diawetkan terlebih dahulu disertai teknologi pengolahan yang tepat. Campur
tangan pihak instansi penelitian untuk mendukung penyuluhan dan alih teknologi perlu diperluas secara
intensif.

Pengkajian pola pengusahaan rotan telah dilakukan pula agar pengusahaan rotan dapat meningkatkan
pemberdayaan para petani rotan, terutama masyarakat sekitar hutan. Disarankan agar arah
pengusahaan rotan dilakukan dengan pola Hutan Tanaman Industri (HTI) secara komersial dan pola
Hutan Tanaman Rakyat.

Penerobosan pasar ekspor menuju era ekonomi dunia yang lebih terbuka memerlukan strategis khusus
sebagai tindak lanjut Indonesia memasuki ekspor barang jadi rotan berkualitas. Upaya penelitian
pengembangan rotan masih harus terus dipacu, terutama yang menyangkut aspek silvikultur,
provenance, bibit dan biji serta sosial ekonomi Selain itu, produksi dan pemasaran, teknologi pasca
panen, sumber daya manusia dan pendidikan serta penyuluhan harus dilakukan pula secara terpadu.
Survey potensi rotan alam yang lebih menyeluruh untuk memantau neraca persediaan dan sumber
alamnya dari waktu ke waktu perlu dilakukan.

Penetapan harga ditingkat petani hendaknya ditentukan oleh pedagang besar atau
industri besar tetapi dipertimbangkan terhadap pemeratan keuntungannya yang tidak
terpusat di pengusaha besar saja. Untuk itu pengawasan penetapan harga dasar
ditingkat petani harus pula dipantau oleh aparatur di tingkat kabupaten dengan tujuan
untuk lebih memberdayakan fungsi otonomi daerah.

Anda mungkin juga menyukai