Anda di halaman 1dari 51

PROPOSAL PENELITIAN

ANALISA KARAKTERISTIK DAN PERILAKU PERAWAT TERHADAP


PENERAPAN S.O.P PEMASANGAN INFUS DALAM PENCEGAHAN
FLEBITIS DI RUANG RAWAT INAP RUMAH SAKIT UMUM CAHAYA
MEDIKA MAKASSAR

OLEH :

RESKY AMALIAH

16.071.014.007

PROGRAM STUDY KEPERAWATAN

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM MAKASSAR

MAKASSAR

2020

1
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL...............................................................................................................1
DAFTAR ISI...........................................................................................................................2
BAB 1......................................................................................................................................4
PENDAHULUAN...................................................................................................................4
A. Latar Belakang...............................................................................................................4
B. RumusanMasalah...........................................................................................................8
C. TujuanPenelitian............................................................................................................8
D. Manfaat Penelitian.........................................................................................................9
BAB II....................................................................................................................................10
TINJAUAN PUSTAKA.......................................................................................................10
A. Tinjauan Umum Tentang Pengetahuan dan Sikap...................................................10
B. Teori Umum Tentang Infeksi Nosokomial.................................................................12
C. Teori Umum Tentang Flebitis.....................................................................................15
D. Tinjauan umum Konsep Karakteristik Perawat.......................................................20
E. Teori Umum Tentang Standar Operasional Prosedur ( S.O.P )..............................23
F. Standar Operasinal Prosedur (SOP) Pemasangan Infus..........................................26
BAB III..................................................................................................................................33
KERANGKA KERJA PENELITIAN................................................................................33
A. Kerangka Pikir.............................................................................................................33
B. Kerangka Konsep.........................................................................................................34
C. Variabel Penelitian.......................................................................................................34
D. Definisi operasional dan criteria objektif...................................................................35
E. HipotesisPenelitian.......................................................................................................36
BAB 4.....................................................................................................................................38
METODE PENELITIAN....................................................................................................38

2
A. Desain Penelitian..........................................................................................................38
B. Populasi dan Sampel....................................................................................................38
C. Teknik Sampling...........................................................................................................39
D. Lokasi dan Waktu Penelitian......................................................................................39
E. Alur Penelitian..............................................................................................................39
F. Instrumen Penelitian....................................................................................................40
G. Prosedur Pengumpulan Data......................................................................................41
H. Analisa Data..................................................................................................................42
I. Etika Penelitian.............................................................................................................43
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................................44

3
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam UU Nomor 44 tahun 2009 tentang RumahSakit, adalah institusi

pelayanan kesehatan yang meyelenggarakan Undang-Undanan pelayanan

kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat

inap,rawat jalan,dan gawat darurat.

Menurut WHO (World Health Organization), rumah sakit adalah bagian

integral dari suatu organisasi sosial dan kesehatan dengan fungsi menyediakan

pelayanan paripurna (komprehensif), penyembuhan penyakit (kuratif) dan

pencegahan penyakit (preventif) kepada masyarakat. Rumah sakit juga merupakan

pusat pelatihan bagi tenaga kesehatan dan pusat penelitian medik.

Rumah sakit sebagai institusi jasa yang besar, dituntut untuk mampu

memenuhi pelayanan kesehatan masyarakat dengan baik, hal ini dikarenakan

banyak persaingan dan jika tidak memperhatikan tuntutan tersebut maka akan sulit

mempertahankan kelangsungan hidupnya. Beberapa terobosan dalam pelayanan

kesehatan merupakan suatu keharusan terutama untuk menjembatani jenjang

perbedaan sosial dalam pelayanan kesehatan di satu pihak untuk mencari bentuk

efisiensi pendanaan yang tepat bagi masyarakat dipihak lain. (Rahmawati,2018).

4
Masalah kesehatan yang turut mengancam secara global adalah terkait

emerging infectious disease dan reemerging infectious disease. Setiap institusi

pembeli layanan kesehatan dituntut untuk siap memerangi setiap permasalahan

yang ada dan hendak terjadi. Salah satu fasilitas pelayanan kesehatan yang

berperan strategis dalam pembangunan kesehatan adalah Rumah Sakit (Loi,2016).

Pelayanan Rumah Sakit rentan akan berbagai masalah, ancaman dan resiko,

termaksud resiko klinis seperti penyebaran infeksi nosokomial atau Healthcare-

associated Infections (HAIs) (Huis dkk,2012 dalam La Ode Alifariki 2019).

Menurut penelitian WHO (World Health Organization) rumah sakit berasal

dari 14 Negara yang berada diempat kawasan (regional) WHO, sekitar 8.7%

penderita yang dirawat dirumah sakit mengalami infeksi nosokomial rumah sakit

(Soedarto,2016).

Faktor yang paling dominan menimbulkan infeksi melalui pemasangan infus

(kejadian plebitis) adalah sikap perawat pada saat melaksanakan pemasangan infus

tidak melaksanakan tindakan sesuai dengan standar operasional prosedur maupun

kurangnya pelaksanaan universal precaution.

Perawat harus memiliki pengetahuan dan kompetensi mengenai protokol

pelaksanaan dan implementasi untuk mencegah terjadinya komplikasi karena

pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam

membentuk tindakan seseorang. Salah satu faktor yang memengaruhi pengetahuan

seseorang adalah tingkat pendidikannya.

5
Keselamatan menjadi isu global dan terangkum dalam lima isu penting yang

terkait dirumah sakit yaitu keselamatan pasien, keselamatan pekerja atau petugas

kesehatan, keselamatan bangunan dan peralatan di rumah sakit yang bisa

berdampak terhadap keselamatan pasien dan petugas, keselamatan lingkungan

yang berdampak terhadap pencemaran lingkungan dan keselamatan bisnis rumah

sakit yang terkait degan kelangsungan hidup rumah sakit, keselamatan pasien

merupakan prioritas utama untuk dilaksanakan terkait dengan isu mutu dan citra

perumahsakitan. Gerakan (Patient Safety) keselamatan pasien telah menjadi spirit

dalam pelayanan rumah sakit seluruh dunia tidak hanya rumah sakit dinegara maju

yang menerapkan keselamatan pasien untuk menjamin mutu pelayanan,tetapi juga

rumah sakit di negara berkembang seperti di Indonesia (Depkes,2006 dalam

Nanda H.J & Ahmad A.M,2018).

Sasaran dari penelitian ini adalah perawat di Rumah Sakit Umum Cahaya

Medika Makassar. Dimana perawat yang akan diteliti berada di ruang rawat inap.

Alasannya untuk mengetahui kejadian flebitis di Rumah Sakit Cahaya Medika

Makassar. Beberapa contoh akibat dari tidak diterapkannya SOP pemasangan infus

di Rumah Sakit Umum Cahaya Medika Makassar adalah terjadinya flebitis.

6
Hasil survey awal yang dilakukan peneliti terkait kejadian infeksi

nosokomial di Rumah Sakit Umum Cahaya Medika Makassar diperoleh data yaitu

infeksi nosokomial yang terjadi karena pemasangan kateter pada tahun 2018

didapatkan sebesar 0.06% dan data tahun 2019 sebesar 0.29% dari pasien di ruang

rawat inap dari data selama setahun. Untuk infeksi nosokomial yang terjadi karena

perawatan luka pada tahun 2018 didapatkan sebesar 0.43% dan data tahun 2019

sebesar 0.4% dari pasien di ruang rawat inap dari data selama setahun. Untuk

infeksi nosokomial yang terjadi karena pemasangan infus pada tahun 2018

didapatkan sebesar 0.48% dan data tahun 2019 sebesar 0.4% dari pasien di ruang

rawat inap dari data selama setahun. Dari data tersebut menunjukkan bahwa angka

kejadian infeksi nosokomial mengalami peningkatan dari tahun 2018 ke tahun

2019 karena pemasangan kateter dan perawatan luka pasien. Data ini di peroleh

dari pengendalian dan pencegahan infeksi (PPI) tahun 2018-2019. Standar angka

kejadian infeksi nosokomial di rumah sakit yaitu ≤ 1,6%. Ini menunjukkan angka

kejadian infeksi nosokomial di Rumah Sakit Umum Cahaya Medika Makassar

masih rendah dilihat dari angka persentase dan belum melewati standar angka

kejadian infeksi nosokomial di rumah sakit.

7
Distribusi rawat inap menurut waktu (tahun) Insiden Rate Infeksi

Nosokomial pada tahun 2018 sebanyak 59 orang (2,43%) , tahun 2019 sebanyak

125 orang (4,62%) . Insiden Rate flebitis pada ruang rawat inap A tahun 2019

sebanyak 43 orang (0,04%) sedangkan pada ruang rawat inap B sebanyak 97

orang (0,08%) . Flebitis terjadi karena iritasi vena oleh alat dan obat-obatan yang

disertai kemerahan, bengkak dan nyeri, sehingga di ambil sebagai indikator infeksi

nosokomial untuk membandingkan kejadian INOS di rawat inap A dan B.

Dari latar belakang masalah tersebut, maka penulis mengkaji masalah infeksi

nosokomial dan tertari kuntuk melakukan penelitian di Rumah Sakit Umum

Cahaya Medika Makassar dengan judul: “Analisa Karakteristik dan Perilaku

Perawat terhadap Penerapan SOP Pemasangan Infus dalam Pencegahan

Flebitis di Unit Rawat Inap Rumah Sakit Umum Cahaya Medika Makassar

”.

B. RumusanMasalah

Berdasarkan uraian latar belakang diatas maka dapat diambil perumusan

masalah yaitu “Analisa Karakteristik dan Perilaku Perawat dalam Penerapan SOP

Pemasangan Infus terhadap terjadinya Flebitis di Unit Rawat Inap Rumah Sakit

Umum Cahaya Medika Makassar”.

C. TujuanPenelitian

1. Tujuan Umum

8
Untuk menganalisa karakteristik dan perilaku perawat terhadap penerapan

SOP pemasangan infus dalam pencegahan flebitis

2. Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahuai hubungan karakteristik perawat terhadap penerapan

SOP pemasangan infus dalam pencegahan flebitis.

2. Untuk mengetahui hubungan perilaku perawat terhadap penerapan SOP

pemasangan infus dalam pencegahan flebitis.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat secara ilmiah

Dapat menambah informasi, referensi dan dapat menjadi bahan

masukan yang bermanfaat untuk pengembangan ilmu pengetahuan

khususnya bidang pencegahan terjadinya flebitis serta bahan bacaan peneliti

selanjutnya.

2. Manfaat bagi institusi

Memberikan masukan dan informasi serta menambah acuan dalam

proses belajar mengajar dalam pendidikan bidan penerapan SOP pemasangan

infus dalam pencegahan flebitis.

3. Manfaat bagi peneliti

Penelitian ini sebagai sarana untuk belajar dan memperluas wawasan

pengetahuan tentang penerapan SOP pemasangan infus dalam pencegahan

flebitis.

9
10
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Tentang Pengetahuan dan Sikap

1. Pengetahuan

Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang

melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Pengindraan terjadi

melalui pancaindra manusia, yakni indra penglihatan, pendengaran, penciuman,

rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan

pendengaran (Notoatmodjo, 2007 dalam Ragil Retnaningsih,2016).

Pengetahuan merupakan domain yang paling penting untuk terbentuknya

tindakan seseorang, maka dari itu perilaku yang didasari dengan pengetahuan

dan kesadaran akan bertahan lama dibandingkan perilaku yang tidak didasari

ilmu pengetahuan dan kesadaran (Notoatmodjo, 2003 dalam Ragil

Retnaningsih,2016).

Pengetahuan yang tercakup dalam domain kognitif mempunyai 6

tingkatan (Notoatmodjo, 2007 daklam Ragil Retnaningsih 2016), yaitu :

a. Tahu (Know) diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari

sebelumnya.

b. Memahami (Comprehension) diartikan sebagai sesuatu kemampuan untuk

menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui, dan dapat

menginterprestasikan materi tersebut secara benar.

11
c. Aplikasi (Application) diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan

materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi real (sebenarnya).

d. Anailis (Aanalysis) diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjabarkan

materi atau suatu objek kedalam komponen-komponen, tetapi masih di

dalam struktur organisasi, dan masih ada kaitannya satu sama lain.

e. Sintesis (Synthesis) diartikan suatu kemampuan untuk meletakkan atau

menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang

baru.

f. Evaluasi (Evaluation) diartikan dengan kemampuan untuk melakukan

justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek.

2. Sikap

Sikap didefinisikan sebagai reaksi atau respon yang masih tertutup dari

seseorang terhadap suatu stimulus atau objek.Sikap belum merupakan suatu

tindakan atau aktivitas, akan tetapi merupakan predisposisi tindakan suatu

perilaku. Sikap itu masih merupakan reaksi tertutup, bukan merupakan reaksi

terbuka atau tingkah laku yang terbuka. Sikap merupakan kesiapan untuk

bereaksi terhadap objek di lingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan

terhadap objek (Notoatmodjo, 2007 dalam Ragil Retnaningsih 2016).

Menurut (Notoatmodjo,2007 dalam Ragil Retnaningsih,2017) sikap

terdiri dari beberapa tingkatan yaitu:

1. Menerima (receiving), atas stimulus yang diberikan.

12
2. Menanggapi (responding), atas objek yang dihadapi.

3. Menghargai (valuing), yaitu memberikan nilai yang positif.

4. Bertanggung jawab (responsible), dengan apa yang telah di yakininya.

B. Teori Umum Tentang Infeksi Nosokomial

1. Pengertian Infeksi Nosokomial

Infeksi Nosokomial adalah suatu infeksi yang diperoleh pasien selama

dirawat dirumah sakit. Infeksi nosokomial terjadi karena adanya transmisi

mikroba patogen yang bersumber dari lingkungan rumah sakit dan

perangkatnya. Akibat lainnya yang juga cukup merugikan adalah hari rawat

penderita semakin bertambah beban biaya yang semakin besar, serta merupakan

bukti bahwa manajemen pelayanan medis rumah sakit kurang bermutu.

(Darmadi,2008 dalam Agnes Silvina,2018).

Infeksi nosokomial dapat terjadi melalui penularan dari pasien kepada

petugas kesehatan kepada pasien.(Depkes,2008 dalam Agnes Silvina,2018).

Menurut Hasbi Ibrahim (2019) suatu infeksi dikatakan didapat dirumah

sakit apabila memenuhi batasan atau kriteria sebagai berikut :

a. Pada waktu penderita mulai dirawat di rumah sakit tidak didapatkan

tanda-tanda klinik dari infeksi tersebut.

b. Pada waktu penderita mulai di rawat tidak dalam masa inkubasi dari

infeksi tersebut.

13
c. Tanda-tanda infeksi tersebut baru timbul sekurang-kurangnya 3x24 jam

sejak mulai dirawat.

d. Infeksi tersebut bukan merupakan sisa (residual) dari infeksi sebelumnya.

2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Infeksi Nosokomial

Secara umum faktor-faktor yang dapat menyebabkan infeksi

nosokomial terdiri dari dua bagian yaitu faktor endogen dan faktor eksogen.

Faktor endogen meliputi umur, jenis kelamin, riwayat penyakit, daya tahan

tubuh dan kondisi-kondisi tertentu. Sedangkan faktor eksogen meliputi lama

penderita dirawat, kelompok yang merawat, alat medis serta lingkungan.

(Parhusip,2005 dalam Agnes Silvina, 2018).

Menurut Agnes Silvina (2018) Salah satu media penularan infeksi

nosokomial juga biasanya karena :

a. Faktor kurangnya pengetahuan perawat

b. Sikap atau perilaku yang tidak baik

c. Fasilitas perawatan

d. Pengawasan perawatan

3. Cara Penularan Infeksi Nosokomial

Cara penularan infeksi nosokomial bisa berupa infeksi silang (Cross

Infection) yang disebabkan oleh kuman yang didapat dari orang atau

penderita lain di rumah sakit secara langsung atau tidak langsung. Infeksi

sendiri (Self Infection, Auto Infection) yaitu disebabkan oleh kuman dari

14
penderita itu sendiri yang berpindah tempat dari suatu jaringan ke jaringan

yang lain. Infeksi lingkungan (Enviromental Infection) yaitu disebabkan oleh

kuman yang berasal dari bendaatau bahan yang tidak bernyawa yang berada

dilingkungan rumah sakit. Misalnya lingkungan yang lembab dan lain-lain.

(Hasbi Ibrahim,2019)

4. Pencegahan Terjadinya Infeksi Nosokomial

Menurut Hasbi Ibrahim (2019) Pencegahan dari infeksi nosokomial ini

diperlukan suatu rencana yang terintegrasi, monitoring dan program yang

termasuk :

a. Membatasi transmisi organisme dari atau antara pasien dengan cara

mencuci tangan dan penggunaan sarung tangan, tindakan septik dan

aseptik, sterilisasi dan disinfektan.

b. Mengontrol resiko penularan dari lingkungan.

c. Melindungi pasien dengan penggunaan antibiotika yang adekuat, nutrisi

yang cukup, dan vaksinasi.

d. Membatasi resiko infeksi endogen dengan meminimalkan prosedur

invasif.

e. Pengawasan infeksi, identifikasi penyakit dan mengontrol penyebarannya.

Terdapat berbagai pencegahan yang perlu dilakukan untuk mencegah

infeksi nosokomial. Antaranya adalah dikontaminasi tangan dimana

transmisi penyakit melalui tangan dapat diminimalisasi dengan menjaga

hiegene dari tangan. Tetapi pada kenyataannya, hal ini sulit dilakukan

15
dengan benar, karena banyaknya alasan seperti kurangnya peralatan, alergi

produk pencuci tangan, sedikitnya pengetahuan mengenai pentingnya hal ini,

dan waktu mencuci tangan yang lama. Penggunaan sarung tangan sangat

dianjurkan apabila melakukan tindakan atau pemeriksaan pada pasien

dengan yang dirawat di rumah sakit. (Hasbi Ibrahim,2019).

Prinsip utama prosedur kewaspadaan umum dalam hal ini pelayanan

kesehatan adalah menjaga hygiene sanitasi ruangan dan sterilisasi peralatan

yang dibagi dalam 5 (Lima) kegiatan pokok yaitu :

a. Cuci tangan guna mencegah infeksi silang.

b. Pemakaian alat pelindung diantaranya pemakaian sarung tangan guna

mencegah kontak dengan darah serta cairan infeksius yang lain.

c. Pengelolaan alat kesehatan bekas pakai.

d. Pengelolaan jarum dan alat tajam untuk mencegah perlukaan.

e. Pengelolaan limbah dan sanitasi ruangan.

C. Tinjauan Umum Tentang Flebitis

1. Pengertian Flebitis

Flebitis didefinisikan sebagai peradangan pada dinding pemburuh

darah balik atau vena. Flebitis yaitu infeksi oleh mokroorganisme yang

dialamioleh pasien yang diperoleh selama di rawat di rumah sakit diikuti

dengan manifestasi klinis yang muncul sekurang-kurangnya 3x24 jam.

Kejadian flebitis menjadi salah satu indikator mutu pelayanan rumah sakit

16
dengan standar yang ditetapkan oleh The Infusion Nursing of Practice yaitu

5%. (Imran Radne Rimba P,2016).

Kejadian flebitis terjadi disebabkan karena teknik insersi intravena

yang tidak dilakukan dengan benar dapat menyebabkan perlukaan pada

lokasi insersi yang dapat dijadikan sebagai port de entry bagi

mikroorganisme. Adanya lkuka mentebabkan mikroorganisme berkembang

dan menyebabkan adanya tanda-tanda flebitis yang ditunjukkan dengan

adanya bengkak pada daerah pemasangan, teraba nyeri, kemerahan, dan

teraba hangat.(Perry & Potter,2009 dalam Meriani H & Anggi G, 2018).

2. Tanda dan Gejala Flebitis

Manifestasi klinis atau tanda dan gejala dari suatu infeksi ditemukan

dari observasi dan pemeriksaan. Menurut Marsch et al (2015), terdapat 5

tanda dan 2 gejala pada flebitis berdasarkan data observasi yang sering

dilaporkan oleh perawat yaitu :

a. Nyeri (gejala yang dilaporkan pasien)

b. Nyeri bila ditekan (saat palpasi, gejala yang dilaporkan oleh pasien)

c. Pembengkakan (hasil observasi visual)

d. Eritema (atau kemerahan, hasil observasi)

e. Venous cord teraba (saat palpasi)

f. Luka bernanah (hasil observasi visual)

g. Teraba hangat (saat palpasi)

17
3. Faktor penyebab terjadinya flebitis

Menurut Infusion Nurses Society (2016), berdasarkan faktor penyebab

flebitis dibagi menjadi 5 kategori yaitu :

a. Flebitis Mekanik

Flebitis mekanik memiliki hubungan erat dengan iritasi yang terjadi

didinding vena. Hal disebabkan oleh kateter yang terlalu besar atau tidak

sesuai dengan ukuran vena, trauma saat pemasangan kateter, pergerakan

kateter, atau material kateter yang terlalu kaku. Ukuran kateter 20-22

yaitu ukuran yang paling kecil dapat digunakan sebagai pilihan untuk

pengobatan jika memungkinkan. Amankan kateter dengan melakukan

stabilisasi, hindari area fleksi dan berikan bidai jika diperlukan.

b. Flebitis Kimia

Phlebitis kimia biasanya terjadi disebabkan oleh infus dextrose

<10% atau infus dengan osmolalitas yang tinggi <900 miliosmol/L.

Faktor kimia lainnya yang dapat menyebabkan phlebitis yaitu lama dari

pemakaian infus seperti amiodarone, potassium Chloride dan beberapa

antibiotik. Kateter vena yang lebih besar dibandingkan dengan pembuluh

darah pasien, hemodilusi yang tidak memadai serta larutan antiseptik yang

tidak sepenuhnya kering dan ikut masuk kedalam pembuluh darah vena

ketika pemasangan kateter intravena juga dapat mempengaruhi kejadian

phlebitis jenis ini.

c. Flebitis Bakterial

18
Phlebitis bakterial berhubungan dengan pemasangan infus yang

tidak menggunakan teknik aseptik. Kateter harus diberikan label sehingga

evaluasi dapat dilakukan apabila pelepasan maupun pemasangan kembali

kateter dibutuhkan. Pada orang dewasa, dapat dilakukan pemindahan

kateter dari ekstremitas bagian bawah ke bagian atas, sedangkan pada

pediatrik pindahkan pada sisi proksimal di ekstremitas lain atau

ekstremitas yang berlawanan jika memungkinkan.

d. Flebitis Karena Kondisi Pasien

Phlebitis yang berhubungan dengan kondisi pasien contohnya yaitu

infeksi yang saat ini dialami, immunodeficiency dan diabetes.

Pemasangan di ekstremitas bawah dapat dilakukan sebagai alternatif

kecuali pada bayi dan lansia diatas 60 tahun.

e. Flebitis Post Infus

Phlebitis post infus yaitu inflamasi yang terjadi setelah 48 jam

sampai dengan 96 jam infus dilepaskan. Faktor-faktor yang berperan

dalam kejadian phlebitis post infus ini, antara lain :

1) Tehnik pemasangan kateter yang tidak baik

2) Pada pasien dengan retardasi mental

3) Kondisi vena yang tidak baik

4) Pemberian cairan terlalu asam atau hipertonik

5) Ukuran kateter yang lebih besar dibandingkan dengan vena.

19
4. Pencegahan Flebitis

Menurut Infusion Nurses Society (2016), terdapat beberapa hal yang

dapat dilakukan sebagai langkah pencegahan terjadinya phlebitis, antara

lain :

a. Mencegah phlebitis bakterial

Mencegah terjadinya phlebitis yang disebabkan oleh bakteri dapat

dilakukan dengan cara selalu menjaga kebersihan tangan, menggunakan

teknik aseptik yang benar, selalu melakukan perawatan didaerah

infus/insersi serta melakukan observasi dan pemantauan yang ketat.

b. Rotasi kateter

Untuk pemindahan lokasi pemasangan harus dilakukan sebelum

terjadi phlebitis. Beberapa rumah sakit sudah memiliki SOP untuk

mengganti kanula perifer setiap 72 jam. Pemindahan lokasi juga harus

segera dilakukan jika diduga terkontamonasi.

c. Aseptic dressing

Penggunaan balutan yang transparan sangat direkomendasikan

karena akan mudah untuk dilakukan pengawasan tanpa harus

memanipulasinya. Penggunaan balutan kassa memang dapat dilakukan

namun harus diganti setiap 24 jam sehingga dapat diobservasi secara

rutin.

Hal lain yang dapat dilakukan untuk mencegah phlebitis yaitu :

a. Selalu waspada.

20
Selalu berprinsip aseptik setiap tindakan yang dilakukan. Studi

melaporkan stopcock yang digunakan untuk memasukkan obat,

pemberian cairan infus atau pengambilan sampel darah merupakan pintu

jalan masuk kuman (Gargar, 2017).

b. Kecepatan pemberian obat

Kecepatan pemberian infus juga mempengaruhi terjadinya phlebitis.

Semakin lambat pemberian cairan infus dengan larutan hypertonik

diberikan, maka semakin rendah risiko terjadinya phlebitis. Namun

terdapat paradigma berbeda untuk pemberian obat injeksi dengan

osmolitas tinggi, osmolaritas boleh mencapai 1000 mOsm/L. Jika durasi

awal yang diberikan hanya beberapa jam, durasi yang aman sebaiknya

kurang dari 3 (tiga) jam untuk mengurangi waktu campuran yang iriatif

dengan dinding pembuluh darah vena (INS, 2016; Meng, L., Nguyen, C.

M., Patel, S., Mlynash, M., & Caulfield, A. F. 2018).

D. Tinjauan umum Konsep Karakteristik Perawat

a. Pengertian Karakteristik

Karakteristik adalah kemampuan untuk memadukan nilai-nilai yang

menjadi filosofi atau pandangan dunia yang utuh, memperhatikan komitmen

yang teguh dan responden yang konsisten terhadap nilai-nilai tersebut dengan

21
menganarasikan pengalaman tertentu menjadi satu sistem nilai (Notoatmodjo,

2000 dalam Trisa Gesti Purnawati 2018).

Karakteristik individu merupakan ciri-ciri yang dimemiliki oleh seseorang

yang berhubungan dengan semua aspek kehidupan dengan lingkungannya.

Karakteristik tersebut terbentuk oleh faktor-faktor biologis dan sosiopsikologis.

Faktor biologis meliputi genetik, sistem syaraf dan hormonal, sedangkan

faktor sosiopsikologis terdiri dari komponen-komponen kognitif (intelektual),

konatif (kebiasaan dan kemauan bertindak), afektif (emosional).(Trisa Gesti

Purnawati,2018)

Karakteristik individu diklasifikasikan menjadi dua yaitu karakteristik

demografi dan karakteristik psikologif. Berdasarkan uraian diatas dapat

disimpilkan karakteristik adalah ciri-ciri yang ada di dalam masing-masing dari

individu yang nantinya akan mempengaruhi individu dalam melakukan

sesuatu. Pada penelitian ini karakteristik perawat yang akan diteliti adalah

Usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, dan lama kerja.

b. Komponen Karakteristik Perawat

Karakteristik dipengaruhi oleh usia, tingkat pendidikan, pengalaman kerja,

pengeahuan, sikap, dan perilaku. Karakteristik perawat diantaranya adalah usia,

jenis kelamin, pendidikan, dan masa kerja. Dalam penelitian ini, karakteristik

yang akan diteliti adalah usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan dan lama kerja.

c. Usia

22
Usia perawat secara garis besar menjadi indikator dalam kedewasaan dalam

sikap pengambilan keputusan yang yang mengacu pada setiap pengalamannya.

Karakteristik seorang perawat berdasarkan umur sangat berpengaruh terhadap

kinerja dalam praktik keperawatan, dimana semakin tua umur perawat maka

dalam menerima sebuah pekerjaan akan semakin bertanggung jawab dan

berpengalaman. Hal ini akan berdampak pada kinerja perawat dalam praktik

keperawatan pada pasien pada pasien semakin baik pula.(Trisa Gesti

Purnawati,2018)

Usia perawat dewasa muda pada umumnya mereka kurang memiliki rasa

tanggung jawab, kurang disiplin, sering berpindah- pindah pekerjaan, belum

mampu menunjukan kematangan jiwa, dan belum mampu berfikir rasional.

Perawat usia muda masih memerlukan bimbingan dan arahan dalam bersikap

disiplin serta ditanamkan rasa tanggung jawab sehingga pemanfaatan usia

produktif bisa lebih maksimal (Wahyudi dkk, 2010 dalam Trisa Gesti

Purnawati,2018)

d. Jenis Kelamin

Jenis kelaminumumnya digunakan untuk membedakan seks seseorang,

yaitu laki-laki atau perempuan. Penelitian psikologis telah menentukan bahwa

laki-laki lebih agresif dan lebih besar kemungkinan dalam memiliki

pengharapan untuk sukses, sehingga laki-laki lebih baik kinerjanya

dibandingkan dengan perempuan. Penjelasan yang logis adalah adalah bahwa

23
secara historis perempuan bertanggung jawab terhadap rumah tangga dan

keluarga (Robbins dan judge, 2001 dalam Trisa Gesti Purnawati)

e. Tingkat Pendidikan

Perawat sebagai bagian penting dari rumah sakit dituntut memberikan

perilaku yang baik dalam rangka membantu pasien dalam mencapai

kesembuhan. Tingkat pendidikan seseorang berpengaruh dalam memberikan

respon terhadap sesuatu yang datang dari luar. Seorang perawat yang

menjalankan profesinya sebagai perawat, saat menjalankan profesinya harus

memiliki pengetahuan dan pendidikan dalam bidang tertentu, untuk itu

dibutuhkan pendidikan yang sesuai agar dapat berjalan dengan baik dan

profesional. Pendidikan menunjukan tingkat intelegensi yang berhubungan

dengan daya pikir. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka semakin

luas pengetahuannya.(Trisa Gesti Purnawati,2018)

f. Lama Kerja

Lama kerja adalah lama seseorang perawat yang bekerja di rumah sakit dari

mulai awal bekerja sampai saat selesai perawat berhenti bekerja. Semakin lama

masa kerja seseorang dalam bekerja maka semakin banyak pengetahuan dan

pengalaman yang dimilikinya, hal ini dapat membantu membantu dalam

meningkatkan kinerja seorang perawat. Hasil analisis peneliti bahwa rata-rata

masa kerja perawat masih belum lama akan menyebabkan masih kurang.

Kondisi ini menunjukan bahwa perawat mempunyai harapan yang relatif sudah

terpenuhi karena belum mempunyai tuntutan kebutuhan yang tinggi

24
dibandingkan dengan masa kerja yang sudah lama (Rusmianingsih, 2012 dalam

Trisa Gesti Purnawati,2018)

E. Teori Umum Tentang Standar Operasional Prosedur ( S.O.P )

1. Pengertian SOP

Standar Operasional Prosedur (SOP) merupakan pedoman atau acuan

untuk melaksanakan tugas pekerjaan sesuai dengan fungsi dan alat penilian

kinerja rumah sakit berdasarkan indikator teknis, administratif, prosedural

sesuai dengan tata kerja yang bersangkutan. (Abd. Rahman Taufiq,2019).

2. Manfaat, Tujuan, dan Fungsi Standar Operasional Prosedur (S.O.P)

Menurut Sovia Rosalin (2017), Manfaat dari Standar Operasional

Prosedur yaitu:

a. Sebagai standarisasi

b. cara yang dilakukan pegawai dalam menyelesaikan pekerjaannya yang

menjadi tugasnya.

c. Mengurangi tingkat kesalahan dan kelalaian yang mungkin dilakukan oleh

seorang pegawai atau pelaksana dalam melaksanakan tugasnya.

d. Meningkatkan efesiensi dan efektivitas pelaksanaan tugas dan tanggung

jawab individual pegawai dan organisasi secara keseluruhan.

25
e. Membantu pegawai menjadi lebih mandiri dan tidak tergantung pada

intervensi manajemen, sehingga akan mengurangi keterlibatan pimpinan

dan pelaksanaan proses sehari-hari.

f. Meningkatkan akuntabilitas pelaksanaan tugas.

g. Menciptakan ukuran standar kinerja yang akan memberikan pegawai cara

konkrit untuk memperbaiki kinerja serta membantu mengevaluasi usaha

yang telah dilakukan.

h. Memberikan informasi mengenai kualifikasi kompetensi yang harus

dikuasai oleh pegawai dalam melaksanakan tugasnya.

i. Memberikan informasi bagi upaya peningkatan kompetensi pegawai.

j. Sebagai instrumen yang dapat melindungi pegawai dari kemungkinan

tuntutan hukum karena tuduhan melakukan penyimpangan.

Menurut Rifka. R. N (2017), Tujuan Standar Operasional Prosedur

diantaranya sebagai berikut :

a. Memudahkan proses pengontrolan setiap proses kerja.

b. Memudahkan proses pemahaman staf secara sistematis dan general

c. Memudahkan dan mengetahui terjadinya kegagalan, tidak efesiennya

proses kerja, serta kemungkinan-kemungkinan terjadinya penyalagunaan

kewenangan pegawai.

d. Menjaga konsistensi kerja setiap petugas, pegawai, tim, dan setiap unit

kerja.

26
e. Memperjelas alur tugas, wewenang, serta tanggung jawab setiap unit

kerja.

f. Mempermudah pemberian tugas dan tanggung jawab kepada pegawai

yang menjalankannya.

g. Menghindari kesalahan-kesalahan dalam proses kerja.

h. Menghindari kesalahan, keraguan, duplikasi, dan inefisiensi.

i. Melindungi organisasi atau unit kerja dari berbagai bentuk kesalahan

adminstrasi.

j. Memberikan keterangan tentang dokumen-dokumen yang dibutuhkan

dalam suatu proses kerja.

k. Menghemat waktu dalam proses training karena SOP tersusun secara

sistematis.

Fungsi dari Standar Operasional Prosedur itu sendiri antara lain yaitu:

a. Memperlancar tugas pegawai atau tim / instalasi kerja,

b. Sebagai dasar hokum bila terjadi penyimpangan.

c. Mengetahui dengan jelas hambatan-hambatannya,

d. Mengarahkan pegawai untuk sama-sama disiplin dalam bekerja,

e. Sebagai pedoman dalam melaksanakan pekerjaan rutin.

3. Pelaksanaan Standar Operasional Prosedur (S.O.P)

Pelaksanaan S.O.P dilakukan pada saat :

a. S.O.P harus sudah ada sebelum suatu pekerjaan dilakukan.

27
b. S.O.P digunakan untuk menilai apakah pekerjaan tersebut sudah

dilakukan dengan baik atau tidak.

c. Uji S.O.P sebelum dijalankan melakukan revisi jika ada perubahan

langkah kerja yang akan mempengaruhi lingkungan kerja.

28
F. Standar Operasinal Prosedur (SOP) Pemasangan Infus

1. Pengertian pemasangan infus

Pemasangan infus merupakan tindakan yang cukup seing dilakukan

dirumah sakit terutama di Unit Gawat Darurat. Tindakan pemasangan infus

akan berkualitas bila dalam pelaksanaannya selalu mengacu pada standar yang

telah ditetapkan. Perawat harus memiliki dasar pengetahuan dalam kompentensi

mengenal protokol pelaksanaan dan implementasi untuk mencegah terjadinya

komplikasi.(Suprapto,2015).

Infus cairan intravena (intravenous fluids infusion) adalah pemberian

sejumlah cairan kedalam tubuh, melalui sebuah jarum, ke dalam pembuluh vena

(pembuluh balik) untuk menggantikan kehilangan cairan atau zat-zat makanan

dari tubuh.(Astaqauliyah,2006 dalam Suprapto,2015)

2. Tujuan pemasangan infus

Menurut Sapariah Aggraini dan Dania Relina (2020),Tujuan pemberian

infus yaitu

a. Mengembalikan dan memperahankan keseimbangan cairan dan elektrolik

tubuh.

b. Memberikan obat-obatan kemoterapi.

c. Transfusi darah dan produk darah.

d. Memberikan nutrisi parental dan suplemen nutrisi.

29
e. Indikasi pemasangan infus

Indikasi pada pemberian terapi intravena yaitu pada seseorang dengan

penyakit berat, pemberian obat melalui intravena langsung masuk kedalam

jalur peredaran darah misal pada kasus infeksi bakteri dalam peredaran darah

(sepsis) sehingga memberikan keuntungan lebih dibanding memberiikan

obat oral. Pasien tidak dapat minum obat karena muntah atau tidak dapat

menelan obat, serta kesadaran menurun dan beresiko terjadi aspirasi.(Potter

& Perry,2005 dalam Sapariah Aggraini dan Dania Relina,2020).

f. Kontrsindikasi

1) Inflamasi dan ifeksi di lokasi pemasangan infus.

2) Daerah lengang bawah pada pasien gagal ginjal.

3) Obat-obatan yang berpotensi iritan terhadap pembuluh vena kecil yang

aliran darahnya lambat (misal pembuluh vena tungkai dan kaki).(Potter &

Perry,2005 dalam Sapariah Aggraini dan Dania Relina,2020).

3. Lokasi Pemasangan Infus

Tempat atau lokasi vena perifer yang sering digunakan pada pemasangan

infuse adalah vena supervisial atau perifer kutan terletak didalam fasis subkutan

dan merupakan akses paling mudah untuk terapi intravena. Daerah tempat infus

yang memungkinkan adalah permukaan dorsal tangan (vena superficial

dorsalis, vena sefalika,vena basilica), lengan bagian dalam (vena basilica, vena

30
sefalika,vena kubital median, vena medial lengan bawah, vena radialis), dan

permukaan dorsal (vena safena magna, vena ramusdoralis).

Tempat insersi/pungsi vena yang umum digunakan adalah tangan dan

lengang. Namun vena-vena superfisial di kaki dapat digunakan jika klien dalam

kondisi tidak memungkinkan dipasang di daerah tangan. Apabila

memungkinkan semua klien sebaiknya menggunakan ekstremitas yang tidak

dominan ).(Potter & Perry,2005 dalam Sapariah Aggraini dan Dania

Relina,2020).

a. Jenis cairan pemasangan infus

Berdasarkan osmolalitasnya, menurut ).(Potter & Perry,2005 dalam

Sapariah Aggraini dan Dania Relina,2020). Cairan intravena (infus) dibagi

menjadi 3, yaitu:

1) Cairan bersifat isotonis : osmolaritas (tingkat kepekatan) cairannya

mendekati serum (bagian cair dari komponen darah), sehingga terus

berada di dalam pembuluh darah. Bermanfaat pada pasien yang

mengalami hipovolemi (kekurangan cairan tubuh, sehingga tekanan darah

terus menurun). Memiliki risiko terjadinya overload (kelebihan cairan),

khususnya pada penyakit gagal jantung kongestif dan hipertensi.

Contohnya adalah cairan Ringer-Laktat (RL), dan normal saline/larutan

garam fisiologis (NaCl 0,9%).

2) Cairan bersifat hipotonis : osmolaritasnya lebih rendah dibandingkan

serum (konsentrasi ion Na+ lebih rendah dibandingkan serum), sehingga

31
larut dalam serum, dan menurunkan osmolaritas serum. Maka cairan

ditarik dari dalam pembuluh darah keluar ke jaringan sekitarnya (prinsip

cairan berpindah dari osmolaritas rendah ke osmolaritas tinggi), sampai

akhirnya mengisi sel-sel yang dituju. Digunakan pada keadaan sel

mengalami dehidrasi, misalnya pada pasien cuci darah (dialisis) dalam

terapi diuretik, juga pada pasien hiperglikemia (kadar gula darah tinggi)

dengan ketoasidosis diabetik. Komplikasi yang membahayakan adalah

perpindahan tiba-tiba cairan dari dalam pembuluh darah ke sel,

menyebabkan kolaps kardiovaskular dan peningkatan tekanan intrakranial

(dalam otak) pada beberapa orang. Contohnya adalah NaCl 45% dan

Dekstrosa 2,5%.

3) Cairan bersifat hipertonis : osmolaritasnya lebih tinggi dibandingkan

serum, sehingga menarik cairan dan elektrolit dari jaringan dan sel ke

dalam pembuluh darah. Mampu menstabilkan tekanan darah,

meningkatkan produksi urin, dan mengurangi edema (bengkak).

Penggunaannya kontradiktif dengan cairan hipotonik. Misalnya Dextrose

5%, NaCl 45% hipertonik, Dextrose 5%+Ringer-Lactate.

32
a. Alat dan bahan pemasangan infus

Sebelum melaksanakan pemasangan infus, berikut adalah alat dan

bahan yang harus dipersiapkan ketika hendak melakukan tindakan

pemasangan infus. Pastikan bahwa ke 12 alat dan bahan ini sudah tersedia.

1) Standar infus

2) Cairan infus sesuai kebutuhan

3) IV Catheter / Wings Needle/ Abocath sesuai kebutuhan

4) Perlak

5) Tourniquet

6) Plester

7) Gunting

8) Bengkok

9) Sarung tangan bersih

10) Kassa steril

11) Kapal alkohol / Alkohol swab

12) Betadine

b. SOP Pemasangan Infus

Standar Operasional Prosedur (SOP) memasang selang infus yang

digunakan oleh fasilitas pelayanan kesehatan di Indonesia adalah sebagai

berikut :

33
1) Cuci tangan

2) Dekatkan alat

3) Jelaskan kepada klien tentang prosedur dan sensasi yang akan

dirasakan selama pemasangan infus

4) Atur posisi pasien / berbaring

5) Siapkan cairan dengan menyambung botol cairan dengan selang infus

dan gantungkan pada standar infus

6) Menentukan area vena yang akan ditusuk

7) Pasang alas

8) Pasang tourniket pembendung ± 15 cm diatas vena yang akan ditusuk

9) Pakai sarung tangan

10) Desinfeksi area yang akan ditusuk dengan diameter 5-10 cm

11) Tusukan IV catheter ke vena dengan jarum menghadap ke jantung

12) Pastikan jarum IV masuk ke vena

13) Sambungkan jarum IV dengan selang infus

14) Lakukan fiksasi ujung jarum IV ditempat insersi

15) Tutup area insersi dengan kasa kering kemudian plester

16) Atur tetesan infus sesuai program medis

17) Lepas sarung tangan

34
18) Pasang label pelaksanaan tindakan yang berisi : nama pelaksana,

tanggal dan jam pelaksanaan

19) Bereskan alat

20) Cuci tangan

21) Observasi dan evaluasi respon pasien, catat pada dokumentasi

keperawatan

35
BAB III

KERANGKA KERJA PENELITIAN

A. Kerangka Pikir

Faktor-faktor yang
mempengaruhi
pengetahuan:

Internal: Patuh :
1. Pengetahuan Masalah teratasi
a. Pendidikan
b. Informasi
c. Budaya Pengetahuan Kepatuhan
d. Pengalaman tentang flebitis SOP
e. Sosial pemasangan
infus
ekonomi
2. Sikap
Tidak patuh Dampak ketidak
patuhan :
Eksternal:
1. Meningkatkan
a. Karakteristk
hari rawat
organisasi
Flebitis 2. Menambah
b. Karakeristik
lama terapi
kelompok
3. Meningkatkan
c. Karakteristik
tanggungjawa
pekerjaan
perawat
4. Resiko
masalah
kesehatan lain
Keterangan :

: Tidak Diteliti
: Diteliti

36
B. Kerangka Konsep

Kerangka konsep merupakan gambaran dari arahan asumsi mengenasi

variabel-variabel yang akan diteliti, atau memiliki arti hasil sebuah sintesis dari

proses dedukatif maupun induktif kemudian dengan kemampuan kreatif dan

inovatif diakhiri konsep dan ide baru.(Hidayat,2017).

Kerangka konsep dalam penelitian ini merupakan suatu kerangka yang

digunakan untuk melihat karakteristik pengetahuan perawat tentang flebitis dengan

kepatuhan melaksanakan SOP pemasangan infus dirumah sakit.

Pengetahuan perawat tentang Kepatuhan


flebitis melaksanakan SOP
pemasangan infus

Keterangan :

: Variabel Independen

: Variabel Dependen

C. Variabel Penelitian

Variabel penelitian adalah suatu yang digunakan sebagai ciri, sifat atau

ukuran yang dimiliki atau didapatkan oleh suatu penelitian tentang suatu konsep

pengertian tertentu. Penelitian ini memiliki dua variabel yaitu:

37
1. Variabel bebas ( independent variable )

Variabel bebas adalah variabel yang mempengaruhi atau nilainya

menentukan variabel lain ( Nursalam,2017). Variabel bebas dalam penelitian

ini adalah karakteristik individu dan perilaku perawat.

2. Variabel terikat ( dependent variable )

Variabel terikat adalah variabel yang nilainya ditentukan atau

dipengaruhi oleh variabel lain ( Nursalam,2017 ). Variabel terikat dalam

penelitian ini adalah penerapan S.O.P perawat dalam pemasangan infus.

D. Definisi operasional dan criteria objektif

Variabel/Subvariabe Defenisi Alat Ukur Hasil Ukur Skala Ukur

l Operasional
Independen
Umur Usia individu Nominal
yang terhitung
mulai saat
dilahirkan
sampai saat
berulang tahun
Jenis Kelamin Merupakan Nominal
perbedaan
antara
perempuan
dengan laki-laki
secara biologis
sejak seseorang
lahir
Masa kerja Waktu bekerja Nominal
seorang
perawat selama
bekerja
dirumah sakit
Pendidikan Tamatan Nominal

38
terakhir sekolah
seorang
perawat
Pengetahuan Kemampuan Lembar 1. Baik jika Ordinal
perawat dalam observasi, skor >
hal pemahaman 1=Ya 2. Kurang, jika
dalam 0=Tidak skor ≤ 5
pengendalian
infeksi
nosokomial
Sikap Reaksi atau Lembar 1.Mendukung, Ordinal
respon dari observasi, jika skor > 5
perawat 1=Ya 2.Tidak
dalam 0=Tidak Mendukung,
pengendalia jika skor ≤ 5
n infeksi
nosokomial
di rumah
sakit
Dependen
SOP Pemasangan infus Prosedur atau Lembar 1.Ya, skor > 34 Ordinal
cara melakukan observasi, 2.Tidak, skor ≤
pemasangan 1=Ya 11
infus pada 0=Tidak
pasien di rumah
sakit

E. HipotesisPenelitian

Hipotesis merupakan suatu pernyataan asumsi tentang hubungan antara dua

variabel atau lebih yang diharapkan bisa menjawab pertanyaan dalam penelitian

(Nursalam,2017). Hipotesis dalam penelitian ini adalah :

Ho : Tidak ada hubungan antara karakteristik dan perilaku perawat

terhadap penerapan SOP pemasangan infus dalam

39
pencegahan flebitis.

Ha: Ada hubungan antara karakteristik dan perilaku perawat

terhadap penerapan SOP pemasangan infus dalam

pencegahan flebitis.

40
BAB 4

METODE PENELITIAN
A. Desain Penelitian

Jenis penelitian ini bersifat deskriptif kuantitatif yaitu untuk melihat

manajemen pengendalian terjadinya kejadian flebitis di Rumah Sakit Umum

Cahaya Medika Makassar. Menggunakan desain (cross sectional) yaitu jenis

penelitian yang menekankan pada waktu pengukuran atau observasi data variabel

independen dan variabel dependen diukur dalam waktu yang bersamaan dan

sesaat. Dimana peneliti melakukan observasi pada saat perawat merawat pasien di

ruang rawat inap.

B. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek/subjek yang

mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti

untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono,2017:80).

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh perawat di ruang rawat inap A

berjumlah 15 orang dan ruang rawat inap B berjumlah 20 orang di Rumah Sakit

Umum Cahaya Medika Makassar.

2. Sampel

41
Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh

populasi tersebut. Bila populasi besar, dan peneliti tidak mungin mempelajari

semua yang ada pada populasi, misalnya karena keterbatasan dana tenaga dan

waktu maka peneliti dapat menggunakan sampel yang diambil dari populasi itu

(Sugiyono,2017:81). Pada penelitian ini sampel yang digunakan adalah semua

popolasi yang ada diruang A dan B.

Adapun kriteria inklusi dan eksklusi sampel sebagai berikut :

a. Kriteria inklusi

1. Semua perawat diruang A dan B.

2. Minimal berpendidikan D-3

3. Pengalaman bekerja minimal 2 tahun.

b. Kriteria eksklusi

1. Perawat yang sedang cuti.

2. Perawat yang sedang sakit.

3. Tidak bersedia menjadi responden.

C. Teknik Sampling

Untuk teknik pengambilan sample maka menggunakan teknik simple

random sampling dengan cara pengambilan sample sedemikian rupa sehingga

setiap individu mempunyai kesempatan yang sama untuk diambil sebagai

sample.

D. Lokasi dan Waktu Penelitian

42
Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Umum Cahaya Medika Makassar

pada bulan Juli tahun 2020.

E. Alur Penelitian

Observasi

Memilih sampel

Memenuhi kriteri inkusi Tidak memenuhi kriteri


inkusi

Memberikan penjelasan tentang


penelitian yang dilakukan

Setuju menjadi
responden
Tidak setuju menjadi
responden

Mengisi kuisioner

Analisis data
Pengolahan data
(ujiChi Square)

43
F. Instrumen Penelitian Penyajian data

Salah satu kegiatan dalam perencanaan suatu proyek penelitian adalah

menyusun instrumen penelitian atau alat pengumpulan data sesuai dengan

masalah yang diteliti.

Instrumen penelitian adalah alat bantu yang dipilih dan digunakan oleh

peneliti dalam kegiatannya mengumpulkan data agar kegiatan tersebut menjadi

sistematis dan dipermudah olehnya.

Adapun yang dijadikan instrumen dalam penelitian ini adalah pedoman

angket (kuesioner). Pedoman angket (kuesioner) merupakan instrumen

penelitian yang berisi sejumlah pertanyaan tertulis yang diajukan kepada

responden untuk meperoleh informasi dalam arti laporan tentang pribadi atau

hal-hal yang ingin diketahui.

G. Prosedur Pengumpulan Data

1. Data Primer

Pengumpulan data primer diperoleh dengan cara penyebaran kuesioner

dan observasi langsung ke lokasi penelitian dengan menggunakan SOP

pemasangan infus kepada perawat yang memberikan tindakan keperawatan

kepada pasien secara langsung.

2. Data Sekunder

44
Data sekunder diperoleh dari PPI (Pencegahan dan Pengendalian

Infeksi) Rumah Sakit Umum Cahaya Medika Makassar.

H. Analisa Data

Data diperoleh melalui dengan menggunakan kuesioner dan dianalisa secara

deskriptif disertai dengan bahasan dan kesimpulan. Hasil yang didapat disajikan

dalam bentuk tabel distribusi frekuensi dan hasil observasi SOP pemasangan infus

yang diperoleh kemudian di analisa dan dibandingkan dengan standar Depkes.

1. Analisis Data Univariat

Analisis univariat pada penelitian ini dilakukan pada tiap-tiap variable

dan disajikan dalam bentuk frekuensi dan presentase. Analisis univariat

bertujuan untuk mendapatkan data deskriptif tiap variabel.

2. Analisis Data Bivariat

Analisis bivariat digunakan untuk mengidentifikasi hubungan antara

variable dependen dan independen. Pemilihan uji statistik yang digunakan

berdasarkan pada jenis data serta jumlah variabel yang diteliti. Pada

penelitian ini dilakukan uji Chi Square karena variable independen berbentuk

data kategorik dan dependennya kategorik. Dengan batas kemaknaan (α)

yang digunakan adalah 0,05, maka:

1) Apabila nilai p≤0,05, menunjukkan adanya hubungan antara variable

dependen dengan variable independen.

45
2) Apabila nilai p>0,05, menunjukkan tidak adanya hubungan antara

variable dependen dengan variable independen.

I. Etika Penelitian

Lembar persetujuan diberikan kepada responden yang akan diteliti. Peneliti

menjekaskan maksud dan tujuan penelitian yang dilakukan serta dampak yang

mungkin terjadi selama dan sesudah pengumpulan data. Responden yang bersedia

menandatangani lembar persetujuan yang sudah disediakan, jika responden tidak

bersedia untuk diteliti/menolak,maka peneliti tidak akan memaksanya dan tetap

akan menghormati hak-hak responden.

1. Anonymity (tanpa nama)

Untuk menjaga kerahasiaan responden, maka responden tidak

mencantumkan nama untuk format pengumpulan data, cukup dengan memberi

nomor kode pada masing-masing lembar tersebut.

2. Comfidetiality (kerahasiaan)

Informasi yang diberikan oleh responden dijaga kerahasiaannya oleh peneliti.

46
DAFTAR PUSTAKA

dr. Febri Endra Budi Setyawan,M.Kes, (2019). Manajemen Strategi Rumah Sakit.
Online (Books.google) Hal 23

Rahmawati (2018).Analisis Produk Layanan Rumah Sakit dalam Lingkup Bauran


Pemasaran “Jurnal Arsi”.Vol 5 No.1 (2018).p-ISSN : 2406-9108 e-
ISSN : 1446008136

La Ode Alifariki (2019).”Hubungan Pelaksanaan Pencegahan dan Pengendalian


Infeksi Terhadap perilaku Perawat Dalam Pencegahan dan
Pengendalian Infeksi Nosokomial Ruang Rawat Inap RSUD Kota
Kendari”.Malayati Nursing Journal.

Nanda Hani Juniarti & Ahmad Ahid Mudayana(2018).”Penerapan Standar


Pelayanan Pasien di Rumah Sakit Umum Provinsi Nusa Tenggara
Barat”. Jurnal kesehatan poltekes ternate, 11(2), 20018, Pages 93-108

Ragil Retnaningsih (2016).” Hubungan Pengetahuan Dan Sikap Tentang Alat


Pelindung Telinga Dengan Penggunaannya Pada Pekerja Di Pt. X’.
Journal of Industrial Hygiene and Occupational Health (Vol. 1, No. 1,
Oktober 2016). No. ISSN2541-5727No. ISSN 2527-
4686.http://ejournal.unida.gontor.ac.id/index.php/JIHOH

Agnes Silvina Marbun(2018).”faktor-faktor yang mempengaruhi pencegahan infeksi


nosokomial diruang ICU dan Rawat Inap”.Jurnal Online Keperawatan
Indonesia.Vol.1 No. 2

Hasbi Ibrahim (2019).”Pengendalian Infeksi Nosokomial dengan Kewaspadaan


Umum di Rumah Sakit”. respiratori.uin-alauddin.ac.id

Imran Radne Rimba Putri (2016).”Pengaruh Lama Pemasangan Infus dengan


Kejadian Flebitis pada Pasien Rawat Inap di Bangsal Penyakit Dalam
dan Syaraf Rumah Sakit Nur Hidayah Bantul”. (Jurnal Ners dan

47
Kebidanan Indonesia).ISSN2354-
7642.http://ejournal.almaata.ac.id/index.php/JNK

Meriani Herlina & Anggi Gandha Prasthyo Jafa (2018).”faktor-faktor yang


berhubungan dengan kejadian plebitis pada pasien yang terpasang infus
di Rumah sakit Imelda Pekerja Indonesia (RSU IPI) Medan”.Jurnal
Ilmiah Keperawatan Imelda Vol. 4 No. 2, September 2018

Webster, Marsh, Mihala, Barruel, Wailis, & Rickcard (2015).Inter-rater Agreement


For Phlebitis Assesment Sign/Symtpoms and Scales. Journal of
Evaluation Clinical Practice,21 (5), 893-899

Infusion Nurses Society (2016). Infusion Theraoy Standart of Practice. Journal of


Infusion Nursing

Trisa Gesti Purnawati (2018). Hubungan antar karakteristik perawat,gaya


kepemimpinan dan fasilitas dengan dokumentasiasuhan keperawatan
diruang rawat inap RSUD. AJIBARANG.

Gargar, A. P., Cutamora, J. C., & Abocejo, F.T.(2017). Phlebitis, Infiltration,and


Localized Site Infection Among Patients With Peripheral Intravenous
Chateters.European Scientific Journal,ESJ,, 13(18)

Meng,L., Nguyen,C.M., Patel,S., Mlynash,M., & Caulfield,A.F (2018). Assocation


between continuous peripheral iv infusion of 3% sodium chloride
injection and phlebitis in adults. American Journal of Health System
Pharmacy, 75(5), 284-291

Abd. Rahman Taufiq (2019).”Penerapan Standar Operasional Prosedur (SOP) dan


Akuntabilitas Kinerja Rumah Sakit”.Vol.12 No.1. April 2019 p-ISSN:
2086-7662 e-ISSN: 2622-1950

Sovia Rosalin (2017). Manajemen Arsip Dinamis. Online (Books.google). Hal 115-
116

Rifka R. N (2017). Step by Step Lancar Membuat SOP. Online (Books.google).Hal


15-16

Suprapto (2015).”Hubungan Tingkat Pengetahuan Perawat Tentang Pemasangan


Infus Dengan Kepatuhan Pelaksanaan Protaf Pemasangan Infus di
Intalasi Gawat Darurat RS. TK II PELAMONIA MAKASSAR”. JIK.SH /
Nomor 1 / Volume 2 / September 2015

48
Sapariah Aggraini dan Dania Relina (2020).Modul Keperawatan Anak I. Online
(Books.google). Hal 57-59

Nursalam (2017). Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Pendekatan Praktis (P.P.


Lestari, Ed.) (4th ed). Jakarta : Salemba Medika

Sugiyono (2017). Metodologi Penelitian. http://repository.unpas.ac.id.

49
50
51

Anda mungkin juga menyukai