Anda di halaman 1dari 11

LAPORAN PRAKTIKUM

MANAJEMEN RUMINANSIA KONTES TERNAK


SAPI POTONG

Kelompok N4
Abdul Azis 165050109111033

PROGRAM STUDI PETERNAKAN


FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2017
BAB 1
PENDAHULUAN

2.1. Latar Belakang


Usaha penggemukan sapi akhir-akhir ini semakin berkembang, hal ini ditandai
dengan semakin banyaknya masyarakat maupun daerah yang mengusahakan
penggemukan sapi. Dewasa ini usaha penggemukan sapi sudah menyebar ke
beberapa daerah di luar Jawa, seperti Aceh, Lampung, Sulawesi, Bali, NTB dan
NTT.
Penggemukan sapi dapat dilakukan secara perseorangan hingga skala usaha
yang besar, namun ada pula yang mengembangkan usahanya dalam bentuk
kelompok dalam kandang yang berkelompok pula (Siregar, 2006). Usaha
penggemukan mendatangkan keuntungan ganda berupa keuntungan dari
pertambahan bobot badan dan kotoran (feses) berupa pupuk kandang (bokasi).
Besar keuntungan ini tergantung pada pertambahan bobot badan yang dicapai
dalam proses penggemukan, lama penggemukan dan harga daging saat penjualan.
Terdapat berbagai pertimbangan yang harus dilakukan dalam memulai usaha
penggemukan sapi, yakni metode penggemukan yang dipilih, jenis ternak yang
digemukkan, aspek manajemen dan tatalaksana penggemukan.
Usaha ternak sapi potong dapat dikatakan berhasil bila telah memberikan
kontribusi pendapatan dan dapat memenuhi kebutuhan hidup peternak sehari-hari,
Agar usaha ternak sapi potong menghasilkan sapi berkualitas, peternak harus
meningkatkan keterampilan dan pengetahuan mereka dalam beternak sapi potong

2.2. Tujuan
Untuk mengetahui hal-hal yang perlu di perhatikan dalan manajemen
pemeliharaan ternak sapi potong.
BAB II
HASIL DAN PEMBAHASAN

2.1. Manajemen Pemilihan bibit dan Pemeliharaan


2.1.1. Pemilihan Bibit
Sapi milik bapak Lion Suyono merupakan sapi jenis limousin yang
memiliki bobot 857kg. pada proses pemilihan bibit, beliau melihat penamlilan
eksterior terlebih dahulu seperti kerangka, setelah itu kaki. Kerangka bertujuan
untuk menjamin bahwa sapi tersebut akan bisa besar dan kaki untuk memastikan
apakah sapi tersebut dapat menopang bobot badannya pada saat nanti. Dalam
pemilihan bibit biasanya para peternak memperhatikan karakteristik
produktivitasnya seperti sifat penampakan anatomis, eksterior seperti ukuran-
ukuran tubuh, sifat penampakan reproduksi dan produksi dan sifat penampakan
karkas (karnaen dan Arifin, 2007). Secara spesifik cara mendapatkan bibit sapi
adalah silsilah, seleksi yang didasarkan pada reputasi yang ditunjukkan oleh nenek
moyang sapi yang bersangkutan, yakni asal usul pejantan dan asal usul betina
(jika ada) seleksi eksterior/penampilan (Kutsiyah, 2012). Dalam pemilihan bibit
sapi potong sangat penting memperhatikan penampilan eksterior untuk menjamin
pertumbuhan sapi secara optiman (Mugisha, 2014). Bapak Lion Suyono
memelihara sapi tersebut hanya untuk hobi dan tidak untuk dijual. Kebanyakan
petani beternak secara sambilan dan umumnya untuk pembibitan, atau sedikit
sekali untuk penggemukan. (Ahmad, dkk. 2014).

2.1.2. Sistem Pemeliharaan


Metode Pemeliharaan dan Penggemukan Sapi Potong (Sapi Bali) Penggemukan
sapi dengan sistem kereman dilakukan dengan cara menempatkan sapi-sapi dalam
kandang secara terus-menerus selama beberapa bulan. Sistem ini tidak begitu
berbeda dengan penggemukan sapi dengan sistem dry lot, kecuali tingkatnya yang
masih sangat sederhana. Pemberian pakan dan air minum dilakukan dalam
kandang yang sederhana selama berlangsungnya proses penggemukan. Pakan
yang diberikan terdiri dari hijauan dan konsentrat dengan perbandingan yang
tergantung pada ketersediaan pakan hijauan dan konsentrat. Pemeliharaan yang
baik akan memberikan peningkatan bobot badan sekitar sapi peranakan Limousin
dengan rata-rata1,2 kg/hari dan sapi Simmental 1,5 kg/hari (Hernowo, dkk. 2012).
Sebagin besar pakan yang diberikan adalah jerami padi sebagai pengganti rumput
dan rumput baru diberikan konsentrat (Trifena, dkk. 2011). Pemberian konsentrat
dapat meningkatkan bobot badan dengan cepat (Morris, 2014). Perbedaan dalam
manajemen juga dapat menyebabkan perbedaan dalam produksi akhir (Webb and
Erasmus, 2013).

2.2. Manajemen Pakan


2.2.1. Jenis Pakan
Peningkatan produktivitas sapi potong memerlukan strategi khusus dalam
program pemberian pakan, karena biaya pakan pada sebuah usaha peternakan
mencapai 70–80% dari biaya operasional usaha. Selain harus berkualitas, pakan
juga harus ekonomis supaya dapat memberikan keuntungan bagi peternak, namun
di Indonesia, pakan yang diberikan ke sapi potong pada umumnya sesuai dengan
kemampuan peternak bukan sesuai dengan kebutuhan ternaknya. Pakan hijauan
bervariasi jenis dan jumlahnya sedangkan pakan penguat diberikan dalam jumlah
yang tidak menentu dan diberikan dalam jumlah banyak saat musim panen,
sebaliknya sangat terbatas pada musim tanam. Pakan Hijauan merupakan pakan
utama dari sapi sehingga hijauan harus tersedia. Hijauan pakan merupakan salah
satu faktor kunci yang harus mendapatkan perhatian dan perioritas (Syukur dan
Afandi, 2009). Hijauan yang digunakan dalam pemeliharaan biasanya adalah
rumput gajah (Endrawati, dkk. 2010). Selain rumput, pakan hijauan yang dapat
digunakan adalah limbah pertanian. Sebagai pengganti hijauan, pakan yang
berasal dari limbah pertanian atau yang lebih dikenal sebagai roughages (Khrisna
dan Umiyasih, 2007).

2.2.2. Kebutuhan Nutrisi


Kandungan nutrisi pakan yang diberikan bapak Liyon Suyono dapat
dibagikan dalam beberapa jenis. Pakan hijauan rumput gajah memiliki bahan
kering sekitar 20% dan protein kasar 9%. Untuk mendapatkan kualitas pakan yang
semakin baik dantahan lama maka harus dilakukan dengan pembuatan silase
(Ratnakomala, dkk. 2006). Konsentrat yang diberikan adalah campuran dari dedak
padi. Dedak padi memiliki kandungan nutrisi yaitu protein kasar 11,9% dan serat
kasar 10% (Ridwan, dkk. 2006).

2.2.3. Frekuensi Pemberian Pakan


Frekuensi dalam pemberian pakan sapi potong yang dipelihara yaitu 2 kali
sehari. Pemberian pakan dilakukan pagi dan menjelang sore hari. Sesuai dengan
Endrawati, dkk (2010) bahwa Pakan diberikan sebanyak 2 kali sehari yaitu pukul
8.00 dan pukul 16.00 secara ad libitum. Pola pemberian pakan pada usaha sapi
potong rakyat yang terkesan seadanya, terlebih pada musim kemarau rumput
diberikan dalam jumlah yang sangat terbatas dan tidak cukup untuk memenuhi
kebutuhan hidup pokok ternak (Syukur dan Afandi, 2009).
2.3. Manajemen Kandang
2.3.1. Sistem Perkandangan
Kandang dapat dibuat dalam bentuk ganda atau tunggal, tergantung dari
jumlah sapi yang dimiliki. Pada kandang tipe tunggal, penempatan sapi dilakukan
pada satu baris atau satu jajaran, sementara kandang yang bertipe ganda
penempatannya dilakukan pada dua jajaran yang saling berhadapan atau saling
bertolak belakang. Diantara kedua jajaran tersebut biasanya dibuat jalur untuk
jalan Secara umum, kandang memiliki dua tipe, yaitu individu dan kelompok.
Bapak Liyon Suyono menggunakan sistem kandang individu dengan seistem
intensif. Sistem intensif yaitu pembibitan sapi potong dengan pemeliharaan di
kandang. Pada sistem ini kebutuhan pakan disediakan penuh (Sodiq dan Budiono,
2012). Sistem perkandangan dapat mempengaruhi kesehatan dari ternak (Lorenz,
et al. 2011).

2.3.2. Konstruksi Kandang


Pada kandang individu, setiap sapi menempati tempatnya sendiri berukuran 2,5 X
1,5 m. Tipe ini dapat memacu pertumbuhan lebih pesat, karena tidak terjadi
kompetisi dalam mendapatkan pakan dan memiliki ruang gerak terbatas, sehingga
energi yang diperoleh dari pakan digunakan untuk hidup pokok dan produksi
daging tidak hilang karena banyak bergerak. Pada kandang kelompok, bakalan
dalam satu periode penggemukan ditempatkan dalam satu kandang. Satu ekor sapi
memerlukan tempat yang lebih luas daripada kandang individu. Kelemahan yaitu
terjadi kompetisi dalam mendapatkan pakan sehingga sapi yang lebih kuat
cenderung cepat tumbuh daripada yang lemah, karena lebih banyak mendapatkan
pakan. Pada pembuatan kandang disarankan menggunakan bahan yang tahan lama
dan mudah didapatkan disekitar lokasi serta harga yang terjangkau (Sodiq dan
Budiono, 2012). Penggunaan bahan yang aman akan menghidarkan ternak terluka
(Karnaen dan Arifin, 2007). Sepeti penggunaan bahan logam, disarankan
menggunakan bahan yang tidak mudah ataupun tahan karat (Lorenz, et al. 2011).

2.4. Manajemen Sanitasi dan Biosecurity


2.4.1. Sanitasi
Manajemen sanitasi adalah suatu proses yang meliputi perencanaan,
pengorganisasian, pengarahan dan pengawasan yag dilakukan untuk mencapai
tujuan yang direncanakan, yaitu menjaga kesehatan melalui kebersihan agar
ternak bebas dari suatu inveksi penyakit. Sanitasi dilakukan terhadap ternak,
kandang, lingkugan, kandang, perlengkapan dan peralatan kandang serta peternak
(Lorenz, et al. 2011). Salah satu faktor yang menyebabkan tingginya prevalensi
penyakit parasit cacing pada ternak sapi adalah sistem pemeliharaan yang masih
belum memadai karena kurangnya pengetahuan serta kesadaran petani akan
pentingnya tindakan sanitasi dan higienis di lingkungan ternaknya (Ahmad, dkk.
2014). Sanitasi yaitu bersih secara fisik, kimiawi, dan mikrobiologi. Hal-hal yang
harus diperhatikan dalam sanitasi adalah: ruang dan alat yang disanitasi,
monitoring program sanitasi, harga bahan yang digunakan, ketrampulan pekerja
dan sifat bahan/produk dimana kegiatan akan dilakukan (Morris, 2014).

2.4.2. Biosecurity
Biosekuriti adalah suatu konsep yang merupakan bagian integral dari suksesnya
sistem produksi peternakan unggas, khususnya petelur untuk mengurangi resiko
dan kerugian dari masuknya penyakit infeksius terhadap unggas maupun manusia
(Lorenz, et al. 2011). Biosekuriti merupakan praktek manajemen dengan
mengurangi potensi transmisi perkembangan organisme seperti virus Avian
Influenza dalam menyerang hewan dan manusia.Biosekuriti terdiri dari dua
elemen penting yaitu bio-kontaimen dan bio-ekslusi. Bio-kontaimen adalah
pencegahan terhadap datangnya virus terinfeksi, sedangkan bio-ekslusi adalah
menjaga supaya virus yang ada tidak keluar atau menyebar (Webb and Erasmus,
2013). Pengertian lainnya, biosekuriti adalah suatu sistem untuk mencegah
penyakit baik klinis maupun sub klinis, termasuk penyakit-penyakit zoonosis.
Biosekuriti merupakan sistem untuk mengoptimalkan produksi unggas secara
keseluruhan dan bagian dari kesejahteraan hewan (Mugisha, 2014).

2.4.3. Kesahatan
Pengendalian penyakit sapi yang paling baik menjaga kesehatan sapi  dengan
tindakan pencegahan. Tindakan pencegahan untuk menjaga kesehatan sapi adalah
Menjaga kebersihan kandang beserta peralatannya, termasuk memandikan sapi,
Sapi yang sakit dipisahkan dengan sapi sehat dan segera dilakukan pengobatan,
Mengusakan lantai kandang selalu kering,  Memeriksa kesehatan sapi secara
teratur dan dilakukan vaksinasi sesuai petunjuk (Mugisha, 2014). Tindak
pencegahan penyakit pada ternak sapi potong adalah sebagai berikut: hindari
kontak dengan ternak sakit, kandang selalu bersih, isolasi sapi yang diduga sakit
agar tidak menular ke sapi lain, mengadakan tes kesehatan terutama penyakit
Brucellosis dan Tubercollosis, desinfeksi kandang dan peralatan dan vaksinasi
teratur (Lorenz, et al. 2011). Beberapa penyakit ternak yang sering menyerang
sapi seperti Antrax, ngorok, keluron dan lain-lain. Untuk pencegahan penyakit
dapat dilakukan vaksinasi secara teratur (Morris, 2014).

2.5. Judging
Judging adalah penilaian tingkatan ternak dengan beberapa karakteristik
penting untuk tujuan tertentu secara subjektif. Judging terdiri atas tiga langkah
yaitu, penilaian melalui kecermatan pandangan (visual), penilaian melalui
kecermatan perabaan (palpasi), dan penilaian melalui pengukuran tubuh. Memilih
ternak berdasarkan visual berarti kita memilih ternak berdasarkan sifat-sifat yang
tampak. Dalam cara ini memilih bibit hampir sama saja dengan seleksi untuk
tujuan produksi. Seleksi berdasarkan visual ini biasa disebut dengan Judging
(Cole, et al. 2011). 
Ternak yang sehat dapat dipilih dengan melakukan penilaian melalui
pandangan dari samping, belakang, dan depan atas ternak tersebut. Untuk
mengetahui bahwa ternak dalam kondisi sehat, maka perlu diketahui karakteristik
ternak yang sehat. Selanjutnya, penilaian dapat dilakukan dengan pengamatan
tulang-tulang rusuk (ribs) untuk memilih ternak yang gemuk (Oltenacu and
Broom, 2010).
Bobot badan sapi merupakan indikator produktivitas ternak yang menjadi
salah satu ukuran penilaian keberhasilan manajemen pemeliharaan dan penentu
harga sapi. Pendugaan bobot badan sapi pada umumnya hanya berdasarkan nilai
ukuran linear tubuh sapi tanpa memperhatikan kondisi tubuh sapi tersebut.
Pendugaan bobot badan sapi juga dapat dilakukan dengan perhitungan
menggunakan rumus schrool dan rumus modifikasi. Teknik penilaian ternak
sangat bermanfaat dalam memilih ternak yang baik sehingga dalam sebuah jual
beli tidak ada yang dirugikan. Setiap bangsa ternak memiliki ciri-ciri yang
berbeda, seperti sapi bali yang menurut Patmawati dkk (2013) menyatakan bahwa
karakteristik yang harus dipenuhi dari sapi bali murni adalah warna putih pada
bagian belakang paha, pinggiran bibir atas dan pada kaki bawah mulai tarsus dan
carpus sampai batas pinggir atas kuku, rambut pada ujung ekor hitam, rambut
pada bagian tengah telinga putih, terdapat garis belut pada punggung, bentuk
tanduk jantan silak congklok yaitu jalannya pertumbuhan tanduk mula-mula
keluar dari dasar sedikit lalu membengkok ke atas dan pada ujung tanduk
tersebut membengkok keluar dan tanduk berwarna hitam.

2.6. BCS (Body Condition Score)


Body Condition Scoring (BCS) atau skor kondisi tubuh merupakan
metode yang digunakan untuk menilai tingkat kegemukan seekor ternak sapi
potong (Cole, et al. 2011). Dengan melihat skor kondisi maka dapat diketahui
baik buruknya manajemen pemeliharaan yang telah dilakukan oleh peternak.
menyatakan BCS merupakan metode penilaian secara subjektif melalui teknik
peanglihatan dan perabaan untuk menduga cadangan lemak tubuh (Morris, 2014).
Evaluasi dengan BCS efektif untuk mengukur sejumlah energi metabolik yang
disimpan sebagai lemak subkutan dan otot pada ternak . Body Condition Scoring
(BCS) atau skor kondisi tubuh merupakan metode yang digunakan untuk menilai
tingkat kegemukan seekor ternak sapi potong. gemuk (Oltenacu and Broom,
2010). Dengan melihat skor kondisi maka dapat diketahui baik buruknya
manajemen pemeliharaan yang telah dilakukan oleh peternak. menyatakan BCS
merupakan metode penilaian secara subjektif melalui teknik peanglihatan dan
perabaan untuk menduga cadangan lemak tubuh. Evaluasi dengan BCS efektif
untuk mengukur sejumlah energi metabolik yang disimpan sebagai lemak
subkutan dan otot pada ternak. Body Condition Scoring (BCS) atau skor kondisi
tubuh merupakan metode yang digunakan untuk menilai tingkat kegemukan
seekor ternak sapi potong. Dengan melihat skor kondisi maka dapat diketahui baik
buruknya manajemen pemeliharaan yang telah dilakukan oleh peternak
(Patmawati, dkk. 2013)
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

3.1. Kesimpulan
Dapat disumpulkan bahwa sapi yang dimiliki oleh Bapak Liyon Suyono
merupakan sapi Limousin yang memiliki bobot 857kg, dengan bentuk fisik yang
besar dan seluruh tulang sudah tertutupi dengan daging dan lemak dengan baik.
Dengan manajemen pemeliharaan yang baik dapat memberikan ternak yang baik
dan secara optimal.

3.2. Saran
Dalam praktikum tidak perlu membentak atau semacamnya, buatlah praktikum
menjadi menyenangkan bukan menegangkan agar ilmu yang diberikan mudah
diterima.
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad S.N, Deddy D. Siswansyah dan Dewa K.S. Swastika. 2014. Kajian Sistem
Usaha Ternak Sapi Potong Di Kalimantan Tengah. Jurnal Pengkajian dan
Pengembangan Teknologi Pertanian. 7(2): 155-170.
Cole, J.B., G.R. Wiggans, L. Ma, T.S. Sonstegard, T.J. Lawlor Jr, B.A. Crooker,
C.P.V. Tassell, J. Yang, S. Wang, L.K. Matukumalli and Y. Da. 2011.
Genome-wide association analysis of thirty one production, health,
reproduction and body conformation traits in contemporary U.S. Holstein
cows. BMC Genomic. 12(4): 1-17.
Hernowo, N., T. Ekowati, dan D. Mardiningsih. 2012. Analisis SWOT Usaha
Penggemukan Sapi Potong Di Kabupaten Wonogiri. Animal Agriculture
Journal. 1(2): 302-310.
Karnaen dan J. Arifin. 2007. Kajian Produktivitas Sapi Madura. Jurnal Ilmu
Ternak. 7(2): 135 – 139.
Krishna, N.H. dan U. Umiyasih. 2006. Tata Laksana Pakan, Kaitannya Dengan
Pemanfaatan Limbah Tanaman Pangan: Studi Kasus Pada Usaha Sapi
Potong Rakyat Di Kabupaten Bantul Di Yogyakarta. Seminar Nasional
Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006.
Kutsiyah, F. 2012. Analisis Pembibitan Sapi Potong Di Pulau Madura.
WARTAZOA. 22(3): 113-126.
Morris, T.S. 2014. Sheep And Beef Cattle Production Systems. Sheep And Beef
Cattle Production.
Mugisha, A., V. Kayiizi, D.Owiny, and J. Mburu. 2014. Breeding Services and
the Factors Influencing Their Use on Smallholder Dairy Farms in Central
Uganda. Veterinary Medicine International.
Oltenacu, P.A and D.M. Broom. 2010. The impact of genetic selection for
increased milk yield on the welfare of dairy cows. Animal Welfare. 19(5):
39-49.
Patmawati, Ni Wayan, Ni Nyoman Trinayani, Mahmud Siswanto, I Nengah
Wandia dan I Ketut Puja. 2013. Seleksi Awal Pejantan Sapi Bali Berbasis
Uji Performans. Jurnal Ilmu dan Kesehatan Hewan. Vol 1(1): 29-33.
Ridwan, R., S. Ratnakomala, G Kartina & Y. Widyastuti. 2006. Pengaruh
Penambahan Dedak Padi dan Lactobacillus planlarum lBL-2 dalam
Pembuatan Silase Rumput Gajah. Biodiversitas. 7(2): 131-134.
Sodiq, A. dan M. Budiono. 2012. Produktivitas Sapi Potong pada Kelompok Tani
Ternak di Pedesaan. Agripet : 12(1): 28-33.
Syukur, S.H., dan Afandi. 2009. Perbedaan Waktu Pemberian Pakan Pada Sapi
Jantan Lokal Terhadap Income Over Feed Cost. Jurnal Agroland. 16(1) : 72-
77.
Trifena, I Gede Suparta Budisatria, dan Tety Hartatik. 2011. Perubahan Fenotip
Sapi Peranakan Ongole, Simpo, Dan Limpo Pada Keturunan Pertama Dan
Keturunan Kedua (Backcross). Buletin Peternakan. 35(1): 11-16.
Webb, E.C. and L.J. Erasmus. 2013. The Effect Of Production System And
Management Practices On The Quality Of Meat Products From Ruminant
Livestock. South African Journal of Animal Science. 43(3): 413-423.

Anda mungkin juga menyukai