Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN KELOMPOK BBDM MODUL 5.

3
SKENARIO 3

Dosen Pembimbing :
drg. Avina Anin Nasia, M.Sc

Disusun Oleh :
Kelompok 4
1. Shafira Ardiyanti 22010218130036
2. Alfia Zakia Zahra 22010218130037
3. Kurniawan Dwi Putra 22010218130040
4. Bernadetta Sicilia 22010218130041
5. Aditya Dewi Larasati 22010218130042
6. Indra Setyawati 22010218130043
7. Muhammad Nuruddin Hidayatullah 22010218130044
8. Yasmine El Gharib 22010218130046
9. Fauziah Rahmadini 22010218130047
10. Gempita Sekar Permata 22010218130048
11. Putri Rizka Ayu Octavianingrum 22010218130049

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN GIGI


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
2020
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan : Belajar Bertolak Dari Masalah


Modul : 5.3
Skenario :3
Kelompok :4
Judul skenario : Skenario 3
Tutor : drg. Avina Anin Nasia, M.Sc
Anggota kelompok :1. Shafira Ardhiyanti (22010218130036)
2. Alfia Zakia Zahra (22010218120037)
3. Kurniawan Dwi Putra (22010218130040)
4. Bernadetta Sicilia Dipa Simamora (22010218130041)
5. Aditya Dewi Larasati (22010218130042)
6. Indra Setyawati (22010218130043)
7. Muhammad Nuruddin Hidayatullah (22010218130044)
8. Yasmine El Gharib (22010218130046)
9. Fauziah Rahmadini (22010218130047)
10. Gempita Sekar Prmata (22010218130048)
11. Putri Rizka Ayu Octavianingrum (22010218130049)

Tanggal Pengesahan Tanda Tangan Dosen/Tutor yang Mengesahkan

drg. Avina Anin Nasia, M.Sc


SKENARIO 3

Seorang wanita berusia 25 tahun datang kembali ke klinik setelah giginya dicabut satu
jam yang lalu. Pasien tersebut mengeluh saat ingin menutup mata, kelopak mata tidak bisa
menutup. Kurang lebih satu jam sebelumnya, pasien dilakukan anestesi blok mandibula sebelah
kanan dan ekstraksi gigi molar 1 kanan rahang bawah.

A. TERMINOLOGI
1. Kelopak mata : Lipatan kulit lunak yang menutupi dan melindungi mata.
2. Anestesi blok mandibula : Disebut juga inferior alveolar nervus blok, prosedur ini
melibatkan insersi jarum didekat foramen mandibula untuk mendeposit larutan anestesi
lokal didekat saraf sebelum memasuki foramen, yaitu daerah dimana terdapat vena dan
arteri alveolar inferior. Sering digunakan oleh dokter gigi untuk pencabutan gigi
posterior dan untuk pencabutan lebih dari satu gigi di regio mandibula serta daerah yang
di anestesi cukup luas.
3. Ekstraksi gigi : Suatu proses pengeluaran gigi dari proc. alveolaris dimana gigi tersebut
sudah tidak dapat dilakukan perawatan, juga melibatkan jaringan keras dan lunak rongga
mulut. Pencabutan bersifat irreversible dan terkadang melibatkan komplikasi.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apakah diagnosis berdasarkan kasus tersebut?
2. Pada anestesi blok mandibula, saraf apa saja yang teranestesi?
3. Apa saja indikasi pencabutan gigi?
4. Apa indikasi dan kontraindikasi dari penggunaan anestesi blok mandibula?
5. Apakah pencegahan yang dapat dilakukan?
6. Apa saja yang perlu diperhatikan saat ekstraksi gigi?
7. Apakah anestesi blok mandibula dapat mempengaruhi kelopak mata pasien (tidak bisa
menutup)?
8. Bagaimana cara penanganan kasus tersebut?
9. Apakah kasus tersebut berbahaya?
C. HIPOTESIS
1. Apakah diagnosis berdasarkan kasus tersebut?
Merupakan salah satu komplikasi dari anestesi blok mandibula yang disebut fasial nervus
anesthesia akibat dari deposisi larutan anestetikum ke kelenjar parotis. Gejala klinis yaitu
kesulitan menutup kelopak mata bagian bawah dan bibir yang melorot akibat anestesi.
Diagnosis = Bell’s Palsy
2. Pada anestesi blok mandibula, saraf apa saja yang teranestesi?
 N. alveoraris inferior VIII
 N. Mentalis
 N. Lingualis
 N.. Insisivus
3. Apa saja indikasi pencabutan gigi?
 Gigi mengalami pulpitis
 Gigi dengan karies luas
 Penyakit periodontal parah
 Gigi malposisi / over erupsi
 Gigi supernumerary
 Keperluan perawatan orto
4. Apa indikasi dan kontraindikasi dari penggunaan anestesi blok mandibula?
 Indikasi
o Untuk pembedahan yang mengakibatkan nyeri, cth : pencabutan gigi,
gingivektomi, bedah periodontal
o Saat akan insisi abses
o Perawatan terhadap lebih dari satu gigi di mandibula dalam satu regio
o Apabila anestesi jaringan lunak bukal / anterior foramen mental
dibutuhkan
 Kontraindikasi
o Adanya infeksi akut pada daerah yang akan di anestesi
o Pasien tidak kooperatif
o Pasien yang alergi bahan anestesi lokal
o Pasien yang suka menggigit bibir/lidah (anak kecil)
5. Apakah pencegahan yang dapat dilakukan?
Makan makanan bergizi seperti buah dan sayuran, olah raga rutin, istirahat cukup,
menghindari terkena angin terus menerus/dingin pada salah satu sisi wajah. Melakukan
prosedur anestesi sesuai standar, seperti aspirasi, injeksi, insisi perlahan, dan pemantauan
setelah tindakan untuk meminimalisir efek samping yang dapat timbul. Penting juga
edukasi pasca pembedahan minor dan ekstraksi dengan anestesi lokal agar segera
menghubungi dokter jika terjadi komplikasi.
6. Apa saja yang perlu diperhatikan saat ekstraksi gigi?
 Anestesi
 Elevasi mukogingival flap
 Bagian tulang yang terlibat
 Kontrol pendarahan
 Alveoplasi jika dibutuhkan
 Penutupan soket alveolar dan penjahitan flap
7. Apakah anestesi blok mandibula dapat mempengaruhi kelopak mata pasien (tidak
bisa menutup)?
Anestesi blok mandibula dapat mempengaruhi nervus fasialis dan dapat terjadi paralisis.
Injeksi yang terlalu kebelakang/posterior akan memasuki kapsul glandula parotis
sehingga mengenai cabang nervus fasialis (nervus trigeminus tidak teranestesi).
Facial nerve palsy-> terdapat varian anatomi saraf wajah yang terletak diruang retro
mandibular.
8. Bagaimana cara penanganan kasus tersebut?
 Segera melakukan pemeriksaan keparahan sesuai gradenya.
 Memberikan perawatan medikasi seperti kortikosteroid dan antiviral
 Pengobatan fisioterapi (perawatan mata)
 Pasien dapat di tenangkan dan diberi penjelasan mengenai komplikasi yang
diderita bahwa fungsi normal wajah akan kembali segera setelah agen anestesi
lokal hilang
 Penanganan alternatif = rujukan neurologis
 Karena bukan virus, maka tidak diperlukan medikasi, cukup diedukasi bahwa
fungsi wajah akan kembali normal dalam beberapa waktu
 Mata dilindungi bantalan pelindung atau penutup mata
 Pasien disarankan melatih otot wajah (membuka tutup mata, tersenyum dan
ekspresi lain)
9. Apakah kasus tersebut berbahaya?
Tidak berbahaya, namun harus diwaspadai karena dapat menjadi permanen.
.
D. PETA KONSEP

Anestesi blok
mandibula

Trauma saraf neuropraxsia, Indikasi dan


prosedur micro Medikasi Surat rujukan
axonometsis, neurotmesis,
trigeminal neuralgia, Bell’s surgery
Palsy, facial paralyzed

E. SASARAN BELAJAR
1. Mengetahui dan menjelaskan trauma saraf neuropraxia, axonotmesis, neurotmesis,
trigeminal neuralgia, bell’s palsy, facial paralyzed.
2. Mengetahui dan menjelaskan indikasi dan prosedur micro surgery.
3. Mengetahui dan menjelaskan medikasi.
4. Mengetahui dan menjelaskan surat rujukan.
BELAJAR MANDIRI

1. Mengetahui dan menjelaskan trauma saraf neuropraxia, axonotmesis, neurotmesis,


trigeminal neuralgia, bell’s palsy, facial paralyzed.
Peripheral Nerve Injuries (PNI)
Peripheral nerve injuries (PNI) telah diklasifikasikan oleh para ilmuwan ke dalam
tingkatan yang berbeda tergantung pada tingkat keparahannya. Skema klasifikasi ini
membantu para ilmuwan dan dokter untuk mendiskusikan secara efektif patofisiologi saraf
dan untuk menentukan pengobatan yang tepat. PNI diklasifikasikan oleh Sir Sydney
Sunderland dan Sir Herbert Seddon. Seddon mengklasifikasikan PNI menjadi 3 kelas
berdasarkan adanya demielinasi dan tingkat kerusakan pada akson dan jaringan ikat saraf.
Kemudian Sunderland mengklasifikasikan kembali menjadi lima tingkat (derajat)
cedera saraf yaitu:
 (Tingkat 1) (neuropraxia)
 (Tingkat 2) (axonotmesis)
 (Tingkat 3)
 (Tingkat 4)
 (Tingkat 5) (neurotmesis)
1) Neuropraxia
Neurapraksia merupakan tipe cidera paling ringan yang diperlihatkan dengan
demyelinasi fokal tanpa mencederai axon atau sering juga disebut cidera tipe I. Tidak
terjadi cedera struktural karena tidak ada kehilangan kontinuitas saraf, sehingga tidak
terjadi kehilangan kemampuan fungsional. Neurapraksia biasanya muncul karena
kompresi ringan atau traksi dari saraf yang menyebabkan menurunya kecepatan
konduktivitas dari sel saraf. Gejalanya muncul akibat blokade konduksi lokal yang
diinduksi oleh ion pada tempat cedera. Secara structural kadang terjadi sedikit perubahan
struktur myelin, sebagai akibat dari kombinasi kompresi mekanik dan iskemia. Efeknya
bersifat reversibel, kecuali jika iskemia menetap selama kurang lebih 8 jam.
2) Axonotmesis
Merupakan trauma yang lebih parah daripada neurapraxia dengan gangguan
internal akson lengkap atau terjadinya disrupsi axon dan myelin. Tetapi jaringan ikat
lunak sekitarnya termasuk epineurium, perineurium dan endoneurium masih utuh.
Terjadi degenerasi axon distal dan proksimal di lokasi terjadinya trauma. Degenerasi
distal dikenal sebagai degenerasi Wallerian. Axon akan mengalami regenerasi dengan
kecepatan 1mm/ hari. Pemulihan fungsional penuh diharapkan tetapi bisa memakan
waktu berminggu-minggu, berbulan-bulan, atau bahkan bertahun-tahun. Secara
bermakna fungsi akan kembali normal setelah 18 bulan. Tipe cedera ini kemungkinan
terlihat pada isolasi, seperti pada cedera Pleksus Brakhialis dihubungkan dengan
kelahiran, atau dalam hubungan nya dengan fraktur seperti cedera saraf radial sekunder
terhadap fraktur humerus. Cedera ini dapat disebabkan oleh , patah tulang, dislokasi,
memar, atau cedera regangan atau himpitan dan dapat menyebabkan kelumpuhan
motorik, sensorik, atau otonom pada distribusi saraf otonom. Pada fase awal cedera, sulit
untuk membedakan axonotmesis dari neurotmesis secara klinis karena defisitnya serupa.
Pada kedua lesi, pemeriksaan kelistrikan awal tidak menunjukkan konduksi distal ke
cedera. Setelah 3 minggu, EMG dapat menunjukkan fibrilasi dan potensi denervasi distal
ke lokasi cedera. Jika lesi merupakan lesi aksonometri murni, pemulihan akan terjadi
secara spontan dan lengkap.
3) Neurotmesis
Merupakan kerusakan saraf yang parah dimana semua susunan dan struktur saraf
dapat terputus. Penyembuhan dapat berlangsung lama hingga 2 tahun, bahkan
kehilangan sensasi yang bersifat menetap. Proses perbaikan pada pembuluh saraf perifer
mempunyai harapan besar untuk regenerasi hanya bila kedua ujung saraf yang terpotong
berdekatan dan tidak ada penghalang serta tidak terjadi infeksi. Tidak dapat terjadi
kesembuhan spontan akson dan mielin sehingga diperlukan intervensi bedah untuk
penyembuhannya, setelah operasi prognosisnya tetap buruk karena pembentukan
jaringan parut dan hilangnya mesenkimal.
Cedera tingkat tiga terjadi saat terjadi disrupsi akson (aksonotmesis) dan juga
cedera parsial pada endoneurium. Pada cedera tingkat keempat, seluruh bagian dari saraf
mengalami disrupsi kecuali epineurium. Sedangkan tingkat kelima meliputi semua
bagian saraf secara lengkap. Cedera ini dapat disebabkan trauma benda tajam, laserasi,
patah tulang, traksi, iskemia, dan mekanisme yang kurang umum seperti termal,
sengatan listrik, radiasi, perkusi, dan getaran.

Perbedaan Cedera Saraf Neuropraksia, Aksonotmesis, dan Neurotmesis dapat dilihat


berdasarkan tabel berikut:
Struktur saraf
4) Trigeminal Neuralgia
a. Definisi :
Neuralgia trigeminal atau Tic Douloreux merupakan sindrom nyeri wajah yang
dapat terjadi secara berulang dan bersifat kronik dimana nyeri umumnya bersifat
unilateral mengikuti distribusi sensorik dari nervus kranialis V (nervus trigeminus)
dan sering diikuti oleh spasme wajah atau fenomena tic (kontraksi spasmodik
berulang dari otot) pada wajah.
b. Etiologi :
Penyebab neuralgia trigeminal bersifat multifaktorial. Kebanyakan kasus bersifat
idiopatik, namun kompresi radiks Trigeminal oleh tumor dan kelainan vaskular juga
dapat menyebabkan Neuralgia trigeminal. The International Headache Society (IHS)
mengklasifikasikan Neuralgia trigeminal ke dalam dua kategori etiologi :
1. Neuralgia trigeminal klasik
Neuralgia trigeminal klasik dianggap memiliki etiologi idiopatik karena tidak
ada penyebab gejala yang dapat diidentifikasi (hampir 80% kasus) atau hanya
terdapat gambaran kompresi syaraf oleh jaringan vaskular yang umumnya terjadi
di sekitar area masuk syaraf trigeminus ke pons. Kompresi nervus trigeminus
paling sering disebabkan oleh arteri (64% kasus), dengan arteri superior
cerebellar yang paling sering mengompresi syaraf trigeminus (81%), sementara
36% sisanya merupakan kompresi dari vena.
2. Neuralgia trigeminal simtomatik
Neuralgia trigeminal simtomatik memiliki kriteria klinis yang sama dengan
neuralgia trigeminal klasik, tapi ada penyebab lain yang menyebabkan terjadinya
gejala, misalnya tumor, vaskular, dan inflamasi. Tumor dapat menyebabkan
kompresi pada nervus trigeminus, terutama tumor yang berda di daerah
cerebello-pontin, seperti vestibular schwannoma (acoustic neurinoma), glioma
pontin, glioblastoma, epidermoid, meningioma, dan tumor lainnya. Penyebab
vaskular yang dapat menyebabkan neuralgia trigeminal simtomatik adalah infark
pons atau adanya malformasi arteriovena, atau aneurisma di pembuluh darah
sekitar nervus trigeminus.
Inflamasi juga dapat mencetuskan neuralgia trigeminal, seperti multiple
sclerosis, sarcoidosis, meningitis kronik, atau neuropati akibat penyakit Lyme atau
diabetes mellitus. Diabetes mellitus dapat menjadi faktor risiko untuk serangan
neuralgia trigeminal melalui proses inflamasi syaraf. Banyak kasus neuralgia
trigeminal dikaitkan dengan proses pencabutan gigi, namun beberapa literatur
kedokteran gigi menyebutkan bahwa proses pencabutan gigi tidak menyebabkan
neuralgia trigeminal, melainkan neuropati trigeminal akibat rusaknya nervus inferior
alveolar saat proses pencabutan gigi, terutama gigi molar bawah yang mengalami
impaksi.
c. Patofisiologi :
Patofisiologi neuralgia trigeminal masih kontroversial. Umumnya, pada sebagian
besar kasus (85%) tidak ada kelainan struktural pada neuralgia trigeminal, namun
pada sebagian kasus ditemukan adanya kompresi nervus trigeminal oleh arteri atau
vena di tempat masuk nervus menuju pons. Kompresi menyebabkan rusaknya myelin
(demyelinasi). Demyelinasi menyebabkan hilangnya barrier antar serat syaraf
sehingga terjadi kegagalan inhibisi pada nukleus inti syaraf yang mengakibatkan aksi
ektopik dan terjadinya mekanisme re-entry yang menyebabkan amplifikasi dari input
sensoris sehingga sentuhan ringan seperti bercukur dapat menyebabkan rasa nyeri
paroksismal pada neuralgia trigeminal.
d. Manifestasi Klinis :
Gejala yang sering dikeluhkan adalah nyeri wajah unilateral yang bersifat
episodik, spontan, menusuk, dan seperti tersengat listrik pada daerah yang
dipersyarafi oleh cabang nervus trigeminus. Nyeri bersifat progresif dalam beberapa
detik sehingga menimbulkan ekspresi kesakitan pada pasien, lalu menghilang. Nyeri
tidak pernah menjalar dari satu sisi ke sisi lain tapi dapat dirasakan bilateral dan
banyak ditemukan pada kasus multiple sclerosis. Pada kasus neuralgia trigeminal,
area pencetus dan faktor pencetus sangat penting untuk digali. Neuralgia trigeminal
dapat dicetuskan oleh menyentuh wajah seperti mencuci muka, berbicara, tersenyum,
mengunyah, menyikat gigi, dan bercukur. Pada 60% kasus trigeminal neuralgia
terdapat area pencetus yang dapat berada di sekitar hidung dan mulut dan selalu
berada di sana sehingga pasien dapat menunjuk area tersebut dan akan menghindari
area tersebut. Walaupun tidak semua neuralgia trigeminal memiliki area pencetus,
namun adanya area pencetus merupakan suatu patognomonik untuk trigeminal
neuralgia.
Pemeriksaan fisik umumnya tidak menunjukan penemuan apapun, kecuali
dilakukan setelah nyeri muncul. Setelah nyeri muncul dapat terjadi penurunan fungsi
sensorik pada daerah nyeri. Pemeriksaan fisik yang dilakukan harus mencangkup
pemeriksaan telinga, mulut, gigi, dan temporomandibular joint untuk menyingkirkan
penyebab nyeri wajah lainnya. Jika neuralgia trigeminal merupakan sekunder dari
penyakit lain, misal multiple sclerosis, dapat ditemukan defisit neurologis dari
pemeriksaan fisik, seperti penurunan tajam penglihatan, ataxia, dan lainnya.
Pada pemeriksaan penunjang dapat dilakukan ronsen pada sendi
temporomandibular atau modalitas imaging lainnya seperti CT Scan atau MRI,
terutama jika pada pasien terdapat abnormalitas dari pemeriksaan fisik telinga,
hidung, tenggorokan, mulut, atau didapatkan defisit neurologis. CT Scan atau MRI
sangat dianjurkan untuk kasus neuralgia trigeminal di bawah 40 tahun untuk
menyingkirkan penyebab sekunder, seperti multiple sclerosis atau dapat dilakukan
juga tes elektrofisiologi pada nervus trigeminal.
e. Prognosis :
Neuralgia trigeminal tidak menyebabkan kematian, namun dapat memengaruhi
kualitas hidup secara signifikan jika tidak terkontrol dan dapat menyebabkan depresi
karena membuat penderita harus membatasi banyak kegiatan pemicu. Setelah
serangan pertama, penderita neuralgia trigeminal mungkin akan mengalami remisi
berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun, namun akan terjadi eksaserbasi yang
lebih sering, pemicu yang lebih mudah, dan peningkatan nyeri eksaserbasi jika tidak
terkontrol.
Prediktor dari neuralgia trigeminal adalah melalui pengukuran ada tidaknya
defisit sensori, unilateral atau bilateral, umur, respon terhadap pengobatan, dan
distribusi nyeri. Respon minim terhadap pengobatan dan distribusi nyeri di N.
Opthalmicus merupakan prediktor prognosis yang lebih buruk.
5) Bell’s Palsy
Bell’s palsy adalah kelumpuhan saraf fasialis perifer akibat proses non-supuratif
non-neoplasmatik, non-degeneratif dan akibat edema di bagian saraf fasialis foramen
stilomastoideus atau sedikit proksimal dari foramen tersebut, yang mulainya akut dan
dapat sembuh sendiri tanpa pengobatan (Sidharta, 2010).
Berdasarkan manifestasi klinisnya, terkadang masyarakat awam mengganggap
sindrom Bell’s palsy sebagai serangan stroke atau yang berhubungan dengan tumor
sehingga perlu diketahui penerapan klinis sindrom Bell’s palsy tanpa melupakan
diagnosa banding kemungkinan diperoleh dari klinis yang sama (Lowis dan Gaharu,
2012).
Masalah kecacatan yang ditimbulkan oleh Bell’s palsy cukup kompleks, yaitu
meliputi impairment (kelainan di tingkat organ) berupa ketidaksimetrisnya wajah, kaku
dan bahkan bisa berakibat terjadi kontraktur; disability atau ketidakmampuan (ditingkat
individu) berupa keterbatasan dalam aktivitas sehari-hari berupa gangguan makan dan
minum, menutup mata, serta gangguan berbicara dan ekspresi wajah; handicap (di
tingkat lingkungan) berupa keterkaitan dalam profesi terutama dibidang entertainment;
dan masalah selanjutnya dari segi kejiwaan penderita.
a. Etiologi :
Djamil dan Basjiruddin (Dalam Harsono, 2009) mengemukakan bahwa umumnya
Bell’s palsy dapat dikelompokkan sebagai berikut:
1. Ideopatik
Sampai sekarang yang disebut Bell’s palsy, belum diketahui secara pasti
penyebabnya. Faktor yang diduga berperan menyebabkan Bell’s palsy antara lain:
sesudah bepergian jauh dengan kendaraan, tidur ditempat terbuka, tidur di lantai,
hipertensi, stres, hiperkolesterolemi, diabetes mellitus, penyakit vaskuler,
gangguan imunologik dan faktor genetic.
2. Kongenital
a. Anomali kongenital (sindroma moebius)
b. Pasca Lahir (fraktur tengkorak, perdarahan intrakranial)
3. Didapat
a. Trauma Penyakit tulang tengkorak (osteomielitis)
b. Proses intrakranial (tumor, radang, perdarahan)
c. Proses di leher yang menekan daerah prosesus stilomastoideus
d. Infeksi tempat lain (otitis media, herpes zoster).
Banyak kontroversi mengenai etiologi dari Bell’s palsy, tetapi ada empat teori
yang dihubungkan dengan etiologi yaitu :
1. Teori iskemik vaskuler
Saraf fasialis dapat menjadi lumpuh secara tidak langsung karena gangguan
regulasi sirkulasi darah di kanalis fasialis.
2. Teori infeksi virus
Virus yang dianggap paling banyak bertanggung jawab adalah Herpes Simplex
Virus (HSV), yang terjadi karena proses reaktivasi dari HSV (khususnya tipe 1).
3. Teori herediter
Bell’s palsy terjadi mungkin karena kanalis fasialis yang sempit pada keturunan
dikeluarga tersebut, sehingga menyebabkan predisposisi untuk terjadi paresis
fasialis.
4. Teori imunologi
Dikatakan bahwa Bell’s palsy terjadi akibat reaksi imunologi terhadap infeksi
virus yang timbul sebelumnya atau sebelum pemberian imunisasi.
b. Tanda dan Gejala :
Terganggunya saraf facial di foramen stylomastoid dapat menyebabkan
kelumpuhan di seluruh otot ekspresi wajah. Sudut mulut jatuh, garis dan lipatan kulit
juga terpengaruh, garis dahi menghilang, lipatan palpebra melebar, dan lid margin
mata tidak tertutup. Kantong mata bawah dan punctum jatuh, disertai air mata yang
menetes melewati pipi. Makanan yang mengumpul di antara gigi, pipi dan saliva
yang menetes dari sudut mulut. Penderita juga mengeluh ada rasa tebal atau mati rasa
dan terkadang mengeluh nyeri di wajah.
Jika lesi berada di saluran saraf facialis di atas chorda tympani tetapi di bawah
ganglion genikulatum, semua gejala dapat timbul ditambah kehilangan rasa di lidah
2/3 anterior di sisi yang sama dengan lesi. Jika lesi mempengaruhi saraf di otot
stapedius maka dapat terjadi hyperakustikus yaitu penderita sensitif dan merasa nyeri
bila mendengar suara-suara yang keras. Jika ganglion genikulatum terpengaruh,
produksi air mata dan air liur mungkin berkurang. Lesi di daerah ini dapat
berpengaruh juga pada saraf vestibulokoklearis yang menyebabkan tuli, tinnitus dan
pusing yang berputar (dizziness).
c. Diagnosis :
Diagnosis penyakit bell’s palsy berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang
1. Anamnesis
Pasien mengeluh keluhan-keluhan khas pada bell’s palsy, seperti kelemahan
atau paralisis komplit pada seluruh otot wajah sesisi wajah sehingga pasien
merasa wajahnya perot. Selain itu makanan dan air liurdapat terkumpul pada
sisiyang mengalami gangguan pada mulut dan dapat tumpah keluar melalui sudut
mulut.
2. Pemeriksaan fisik
 Lipatan wajah dan lipatan nasolabial menghilang, lipatan dahi juga menghilang
sesisi, dan sudut mulut jatuh / mulut mencong ke sisi yang sehat.
 Kelopak mata tidak dapat menutup sempurna, jika psien diminta untuk mnutup
mata maka mata akan berputar-putar ke atas (fenomena bell’s).
 Produksi air mata berkurang, iritasi pada mata karena berkurangnya lubrikasi
dan paparan langsung.
3. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang berupa pencitraan seperti MRI Kepala atau CT-Scan
dan elektrodiagnosis dengan ENMG dan uji kecepatan hantar saraf serta
pemeriksaan laboratorium. Uji ini hanya dilakukan pada kasus-kasus dimana tidak
terjadi kesembuhan sempurna atau untuk mencari etiologi parese nervus fasialis.
Pemeriksaan ENMG ini dilakukan terutama untuk menentukan prognosi.
Pada pemeriksaan laboratorium diukur Titer Lyme (IgM dan IgG), gula darah
atau hemoglobin A1C (HbA1C), pemeriksaan titer serum HSV2.Pada
pemeriksaan MRI tampak peningkatan intensitas N.VII atau di dekat ganglion
genikulatum. Sedangkan pemeriksaan CT-Scan tulang temporal dilakukan jika
memiliki riwayat trauma.
d. Terapi :
1. Non-Medikamentosa:
 Penggunaan selotip untuk menutup kelopak mata saat tidur dan eye patch untuk
mencegah pengeringan kornea.
 Fisikal terapi seperti facial massage dan latihan otot dapat mencegah terjadinya
kontraktur pada otot yang lemah. Pemberian suhu panas di area yang
terpengaruh dapat mengurangi nyeri.
2. Medikamentosa
 Kortikostreoid
Oral kortikosteroid sering diberikan untuk mencegah terjadinya inflamasi
saraf pada penderita dengan Bell’s palsy. Prednisone biasanya diberikan
dengan dosis 60-80 mg per hari selama 5 hari, dan di tappering off 5 hari
selanjutnya. Hal ini dapat memperpendek masa penyembuhan dan
meningkatkan hasil akhirnya.
 Antivirus
Dikarenakan adanya kemungkinan keterlibatan HSV-1 di Bell’s palsy,
maka telah diteliti pengaruh dari Valacyclovir (1000 mg per hari, diberikan
antara 5-7 hari) dan Acyclovir (400 mg 5 kali sehari, diberikan 10 hari). Dari
hasil penelitian, penggunaan antivirus sendiri tidak memberikan keuntungan
untuk penyembuhan penyakit. Tetapi, penggunaanValacyclovir dan prednisone,
memberikan hasil yang lebih baik, dibandingkan penggunaan prednisone
sendiri, terutama pada penderita dengan gejala klinis yang berat.
 Analgesik untuk meredakan nyeri, dan methylcellulose eye drops untuk
mencegah kekeringan pada kornea.
e. Komplikasi :
Komplikasi jangka panjang cenderung muncul apabila:
1. Penderita terserang palsykomplit, sehingga paralisis di satu sisi wajah
2. Usia lebih dari 60 tahun
3. Mengalami nyeri parah saat pertama kali timbul gejala
4. Hipertensi
5. Diabetes
6. Kehamilan
7. Saraf facialis rusak berat
8. Tidak ada perbaikan setelah dua bulan terlewati
9. Tidak ada tanda perbaikan setelah empat bulan
6) Facial Paralyzed
Kelumpuhan wajah adalah gangguan cacat yang memiliki dampak yang cukup
besar pada pasien karena mengakibatkan hilangnya ekspresi wajah. Hal ini sering
disebabkan oleh kondisi peradangan pembatasan diri yang jinak yang dikenal sebagai
Bell's palsy (BP). BP adalah salah satu gangguan neurologis yang paling umum
mempengaruhi saraf kranial, dan merupakan penyebab paling umum dari kelumpuhan
wajah di seluruh dunia.
Facial Paralysis dibagi menjadi dua, yaitu :
1. Supranuklear atau Upper Motor Neurones (UMN)
Menyebabkan kelumpuhan wajah unilateral dengan sedikit otot frontalis dan
orbicularis okuli karena adanya representasi kortikal bilateral. Selain itu, meskipun
gerakan wajah terganggu, wajah mungkin masih bergerak dengan respons emosional,
misalnya saat tertawa. Klinisnya sudut mulut sisi yang lumpuh tampak lebih rendah,
lipatan nasolabial sisi yang lumpuh mendatar, jika kedua sudut mulut disuruh
diangkat, maka sudut mulut yang sehat saja yang dapat terangkat dan otot wajah
bagian dahi tidak menunjukkan kelemahan yang berarti.
2. Intranuklear atau Lower Motor Neurones (LMN)
Ditandai dengan kelumpuhan unilateral semua otot ekspresi wajah baik untuk
respons sukarela maupun emosional. Dahi tidak melengkung dan pasien tidak dapat
menutup mata di sisi itu. Penutupan yang dicoba menyebabkan mata berguling ke
atas (tanda Bell). Air mata cenderung meluap ke pipi (epifora), sudut mulut terkulai,
dan lipatan nasolabial lenyap. Saliva mungkin menetes dari komisura dan dapat
menyebabkan stomatitis sudut. Makanan terkumpul di ruang depan dan plak
menumpuk di gigi di sisi yang terkena. Bergantung pada lokasi lesi, cacat lain seperti
hilangnya rasa atau hiperakusis mungkin terkait.
a. Definisi
Kelumpuhan saraf wajah merupakan masalah yang
melibatkan kelumpuhan struktur apa pun yang dipersarafi oleh saraf wajah. Terdapat
penyebab yang dapat mengakibatkan kelumpuhan saraf wajah ini, yang paling umum
adalah Bell's palsy. Bell’s palsy ini merupakan suatu gangguan neurologis yang
disebabkan kerusakan saraf facialis yang menyebabkan kelemahan atau paralysis
satu sisi wajah yang timbul mendadak akibat lesi nervus fasialis, dan mengakibatkan
distorsi wajah yang khas.
b. Etiologi
Penyebab kelumpuhan pada Bell's palsy ini masih menjadi perdebatan. Beberapa
ahli menyatakan penyebab berupa paparan angin dingin di salah satu sisi wajah
secara terus menerus, ada juga yang menyatakan hal itu disebabkan oleh virus herpes
yang menetap di tubuh dan teraktivasi kembali karena trauma, faktor lingkungan,
stres dll.
Penyebab lain :
 Infeksi virus lain: mumps dan HIV
 Neoplasma: pengangkatan tumor otak (neuroma akustik) atau tumor lain
 Trauma: fraktur basal tengkorak, luka di telinga tengah dan menyelam
 Neurologis: sindrom guillain barre
 Metabolik: kehamilan, diabetes mellitus, hipertiroidisme dan hipertensi, dan
 Toksik: alkohol, talidomid, tetanus, dan karbonmonoksida.
Terdapat tiga mekanisme prosedur gigi dapat merusak struktur saraf, yaitu, trauma
langsung terhadap saraf dari jarum, pembentukan hematoma intraneural atau
kompresi, dan toksisitas anestesi lokal.
Penyebabnya termasuk kegagalan mikrosirkulasi vasonervorum, infeksi virus,
neuropati iskemik, reaksi autoimun, prosedur bedah seperti anestesi lokal, ekstraksi
gigi, infeksi, osteotomi, prosedur praprostesis, eksisi tumor atau kista, operasi sendi
temporomandibular, dan perawatan bedah fraktur wajah dan bibir sumbing / langit-
langit mulut.
c. Manifestasi klinis
Manifestasi klinis dari Bell's palsy adalah gejala pada sisi wajah ipsilateral
berupa, kelemahan otot wajah ipsilateral, kerutan dahi menghilang ipsilateral, tampak
seperti orang letih, tidak mampu atau sulit mengedipkan mata, hidung terasa kaku,
sulit berbicara, sulit makan dan minum, sensitif terhadap suara berupa hiperakusis,
salivasi yang berlebihan atau berkurang, pembengkakan wajah, berkurang atau
hilangnya rasa kecap, dan air liur sering keluar.
d. Patofisiologis
Patofisiologi parese nervus fasialis diduga akibat otot-otot fasial di bawah dahi
menerima persarafan korteks kontralateral yaitu hanya serabut kortikobulbaris yang
menyilang. Karena itu suatu lesi rostral dari nukleus fasialis yang berasal dari lesi
fasialis sentral akan menimbulkan paralisis dari otot-otot fasialis kontralateral,
kecuali otot frontalis dan orbicularis oculi menerima persarafan kortikal bilateral,
maka otot tersebut tidak akan lumpuh karena lesi yang mengenai satu korteks
motorik atau jaras kortikobulbarisnya. Destruksi yang menyeluruh dari nukleus
fasialis sendiri atau serabut-serabut eferen brankialnya (saraf fasialis proprius)
melumpuhkan seluruh otot wajah ipsilateral, hal ini ekuivalen dengan lesi fasialis
perifer.

2. Mengetahui dan menjelaskan indikasi dan prosedur micro surgery.


Bedah mikro adalah disiplin ilmu bedah yang berkembang yang menangani pembedahan
pada struktur yang sangat kecil seperti pembuluh darah dan saraf yang biasanya berdiameter
1 mm atau kurang. Meskipun kemunculannya yang relatif baru, ia telah menciptakan
ceruknya sendiri di berbagai domain operasi dalam waktu singkat. Baik itu bidang bedah
vaskular, bedah saraf, bedah anak, bedah ortopedi, bedah mata atau bedah plastik dan
rekonstruktif, di mana-mana bedah mikro semakin popular. Oleh karena itu, penting bagi
ahli bedah untuk memiliki pengetahuan konseptual dasar tentang disiplin ilmu ini.
Secara umum, setiap operasi yang dilakukan dengan bantuan mikroskop operasi atau
loupes bedah termasuk dalam bidang bedah mikro. Seringkali membutuhkan penggunaan
instrumen miniatur yang dimanipulasi dalam bidang visual yang diperbesar yang diperoleh
oleh mikroskop.
a. Indikasi teknik bedah mikro meliputi:
1. perbaikan saraf,
2. pencangkokan saraf,
3. perbaikan pembuluh darah,
4. pencangkokan pembuluh darah,
5. transfer jaringan bebas,
6. penanaman kembali anggota badan dan jari yang putus.
b. Prinsip Dasar Bedah Mikro :
Prinsip bedah mikro didasarkan pada tiga komponen penting yang membentuk
Triad bedah mikro. Ini termasuk pembesaran, iluminasi dan instrumen. Koordinasi yang
tepat antara komponen-komponen ini sangat penting untuk hasil yang optimal.
1. Pembesaran
Semakin besar ukuran gambar, semakin besar kemampuan mata untuk
menghargai detail objek yang sangat kecil. Dua cara yang jelas untuk meningkatkan
ukuran gambar adalah dengan mendekat ke objek atau dengan pembesaran. Sejauh
mana mata bisa lebih dekat ke objek secara signifikan dibatasi oleh kekuatan
akomodasi. Oleh karena itu, satu-satunya metode praktis untuk meningkatkan ukuran
bayangan adalah pembesaran. Pembesaran dalam praktik klinis diperoleh baik dengan
loupes atau mikroskop bedah.
2. Penerangan
Sistem pencahayaan tambahan dengan peralatan pemasangan yang sesuai
membantu untuk perbesaran yang lebih tinggi. Kualitas penting yang harus
dipertimbangkan saat memilih sumber iluminasi yang sesuai adalah bobotnya,
kecerahan cahayanya, dan kemudahan pemfokusan serta pengarahan cahayanya.
3. Instrumen
Instrumen bedah mikro harus memiliki desain ergonomis untuk penanganan yang
tepat dalam waktu lama. Oleh karena itu, mereka dibuat melingkar dalam penampang
untuk memungkinkan gerakan rotasi oleh operator. Instrumen memiliki jenis pegangan
pensil bukan pegangan genggam konvensional seperti yang terlihat pada instrumen
bedah umum. Terbuat dari titanium mereka kuat secara intrinsik. ringan dan non
magnetis. Panjangnya kira-kira 1 8 cm dan terletak di atas pelana di antara ibu jari dan
jari telunjuk operator. Ujung atasnya agak berat untuk memfasilitasi penanganan yang
akurat.
c. Teknik Dasar dalam Bedah Mikro :
1. Transfer / flap jaringan gratis
Transfer jaringan gratis adalah prosedur rekonstruksi bedah menggunakan bedah
mikro. Di daerah ini jaringan donor sclected yang dapat diisolasi pada arteri dan vena
yang memberi makan. Faps jaringan bebas dapat dikategorikan menjadi tipe terisolasi
dan komposit. Flap terisolasi terdiri dari kulit, fasia, saraf, otot atau tulang yang
diambil secara individual, sedangkan flap komposit merupakan kombinasi lebih dari
satu jenis jaringan. Mereka termasuk flap myokutaneus, osteo-kutaneus, atau inervasi
miokutan. Flap yang dipanen dari lokasi donor sekarang dipindahkan ke lokasi
penerima yang membutuhkan rekonstruksi dan bejana dari flap bebas dianastomosis
ke pembuluh di lokasi penerima dengan metode bedah mikro.
2. Penanaman kembali
Pelekatan kembali bagian tubuh yang benar-benar terlepas dikenal sebagai
penanaman kembali. Organ yang paling sering ditanami ulang adalah jari tangan dan
ibu jari tetapi replantasi telinga, kulit kepala, hidung, wajah, lengan dan penis.
Replantasi melibatkan pemulihan aliran darah, sistem muskuloskeletal dan saraf sesuai
kebutuhan. Tuntutan fungsional dari spesimen yang diamputasi sangat penting dalam
replantasi. Kegunaan fungsional organ juga harus diperhitungkan dan harus ditimbang
terhadap kemampuan pasien dalam mentoleransi proses rehabilitasi yang lama, baik
secara fisik maupun psikologis. Demikian pula sekarang dipahami bahwa organ yang
diamputasi bisa jadi dipindahkan ke situs baru untuk meningkatkan hasil fungsional
dari operasi. Misalnya, jari atau jempol kaki dapat dialihkan ke posisi ibu jari yang
tidak dapat diselamatkan diamputasi untuk mendapatkan tangan yang lebih fungsional.
Jenis prosedur seperti ini dikenal sebagai "Operasi suku cadang".
3. Transplantasi
Bedah mikro menunjukkan hubungan antara penelitian imunologi operasi dan
transplantasi. Eksperimen bedah mikro pertama dalam transplantasi dilakukan oleh
Dr. Sun Lee, seorang perintis di bidang bedah mikro. Teknik bedah mikro memainkan
peran penting dalam bidang penelitian transplantasi karena memungkinkan
penggunaan model hewan pengerat. Penting juga untuk mengembangkan teknik
transplantasi baru yang nantinya akan dilakukan pada manusia. Selain itu,
memungkinkan rekonstruksi arteri kecil dalam transplantasi organ klinis.
d. Teknik rekonstruksi bedah mikro dapat berupa ortoplastik atau onkoplastik.
1. Ortoplastik
Dalam prosedur ini, berbagai flap bebas digunakan untuk merekonstruksi atau
mengganti struktur yang rusak seperti wajah, jari tangan, dan anggota badan.
2. Onkoplastik
Teknik ini digunakan dalam kasus keganasan di mana rekonstruksi diperlukan
setelah eksisi pertumbuhan yang luas. Misalnya, flap Deep Inferior Epigastric
Perforator (DIEP) digunakan pada keganasan payudara.
 Ahli THT melakukan bedah mikro pada struktur telinga bagian dalam atau pita suara.
 Dokter mata melakukan operasi katarak, transplantasi kornea, dan pengobatan kondisi
seperti glaukoma dengan bantuan bedah mikro.
 Urolog dan ginekolog membalikkan vasektomi dan ligasi tuba untuk memulihkan
kesuburan menggunakan teknik bedah mikro.
 Ahli bedah ortopedi melakukan bedah mikro lumbal untuk prosedur rumit seperti
pengangkatan bagian tulang yang sakit atau inter cakram vertebral.
 Bedah mikro dapat memainkan peran penyelamatan nyawa di bidang bedah saraf di mana
tumor dapat diangkat dan anomali vaskular di otak dapat diperbaiki.

3. Mengetahui dan menjelaskan medikasi.


a. Cedera Saraf Tepi
Rehabilitasi, semenjak terjadinya cedera, ekstrimitas dijaga dalam posisi
fungsional dan dinamik. Jaringan fibrotik di kencangkan dan di mobilisasi. Prinsip
pergerakan aktif tidak bisa ditinggalkan dan aktivitas sehari hari harus bisa dilakukan.
Farmakoterapi dapat diberikan antikonvulsan dan anti depresan tri-siklik karena obat
paling populer untuk nyeri neuropatik.
b. Neuralgia Trigeminal
Farmakoterapi harus dimulai paling dulu sebelum terapi invasif lainnya.
Penggunaan obat tunggal dapat memberikan remisi, namun jika terjadi rekurensi,
penggunaan 2-3 obat dapat dipertimbangkan. Berikut agen dan dosis yang dapat
digunakan dalam mengobati neuralgia trigeminal:
 Karbamazepin 100 – 600 mg/hari Karbamazepin merupakan pilihan utama dalam
mengobati neuralgia trigeminal. Karbamazepin berfungsi untuk menurunkan
recovery rate dari voltage-gated sodium channel dan mengaktivasi sistem
penghambat impuls.
 Okskarbazepin 300 – 2400 mg/hari. Okskarbazepin dapat digunakan sebagai
pengganti apabila karbamazepin tidak bisa ditoleransi, karena efek samping yang
lebih sedikit. Okskarbazepin bekerja dengan memblokir voltage-gated sodium
channel dan memodulasi voltage-gated calcium channel.
 Baklofen 60 – 80 mg/hari Baklofen merupakan obat pilihan lini kedua dalam
mengobati neuralgia trigeminal yang berkerja dengan memfasilitasi inhibisi
segmental pada kompleks trigeminal.
 Lamotrigin100 – 400 mg/hari Lamotrigin merupakan obat pilihan lini kedua,
bersama dengan baclofen, dalam mengobati neuralgia trigeminal yang berkerja
menghambat voltagegated sodium channel yang akan menstabilisasi membrane
neural.
 Pregabalin 150 – 300 mg/hari.
 Gabapentin 1200 – 3600 mg/hari.
 Fenitoin 200 – 400 mg/hari.
 Topiramat 150 – 300 mg/hari
c. Bell’s Palsy
 KortikostreoidOral kortikosteroid sering diberikan untuk mencegah terjadinya
inflamasi saraf pada penderita dengan Bell’s palsy. Prednisone biasanya diberikan
dengan dosis 60-80 mg per hari selama 5 hari, dan di tappering off 5 hari selanjutnya.
 Antivirus Dikarenakan adanya kemungkinan keterlibatan HSV-1 di Bell’s palsy,
maka telah diteliti pengaruh dari Valacyclovir (1000 mg per hari, diberikan antara 5-
7 hari) dan Acyclovir (400 mg 5 kali sehari, diberikan 10 hari).
 Analgesik untuk meredakan nyeri, dan methylcellulose eye drops untuk mencegah
kekeringan pada kornea.
d. Facial Paralyzed
 Kortikosteroid → Prednison, adalah agen anti-inflamasi yang kuat.
 Obat antivirus → Peran antivirus masih belum jelas, meskipun demikian, valasiklovir
(Valtrex) atau asiklovir (Zovirax) kadangkadang diberikan dalam kombinasi dengan
prednison pada orang dengan kelumpuhan wajah yang parah.

TATALAKSANA PADA KASUS


1) Anamnesis
 Perkembangan gejala (perjalanan penyakit dan gejala penyerta):
 Progresif paralisis lebih dari tiga minggu harus dievaluasi untuk neoplasma
 Kehilangan pendengaran mendadak dan nyeri hebat disertai paralisis wajah dapat
disebabkan oleh Ramsay Hunt Syndrome
 Riwayat penyakit: stroke, tumor, trauma
2) Pemeriksaan ekstraoral
 Nervus fasialis
 Inspeksi: kerutan dahi, pejaman mata, lipatan nasolabialis, dan sudut mulut
 Motorik: mengangkat alis dan mengerutkan dahi, memejamkan mata, menyeringai
(menunjukkan geligi), mencucurkan bibir, menggembungkan pipi
 Sensorik
 Schirmer test :Digunakan untuk mengetahui fungsi produksi air mata. Menggunakan
kertas lakmus merah dan diselipkan di kantus medial kiri dan kanan selama lima
menit dengan mata terpejam. Normal: menjadi biru dan basah antara sepanjang 20-30
mm.
 Pengecapan 2/3 anterior lidah : Menggunakan cairan Bornstein. Penderita diminta
menjulurkan lidah kemudian dikeringkan dahulu baru dilakukan tes dengan
menggunakan lidi kapas.
 Refleks stapedius : Memasang stetoskop pada telinga penderita kemudian dilakukan
pengetukan lembut pada diafragma stetoskop atau dengan menggetarkan garpu tala
256Hz di dekat stetoskop. Abnormal jika hiperakusis (suara lebih keras atau nyeri).
3) Penunjang
Tidak ada yang spesifik untuk Bell’s palsy, tetapi tes berikut dapat berguna untuk
mengidentifikasi atau menyingkirkan penyakit lain:
 CBC (Complete Blood Count)
 Glukosa darah, HbA1c : Untuk mengetahui adanya diabetes yang tidak terdiagnosa
(penderita diabetes 29% lebih berisiko terkena Bell’s palsy).
 Salivary flow test : Pemeriksa menempatkan kateter kecil di kelenjar submandibular
yang paralisis dan normal, kemudian penderita diminta menghisap lemon dan aliran
saliva dibandingkan antara kedua kelenjar. Sisi yang normal menjadi kontrol.
 CT-Scan, MRI : MRI pada penderita Bell’s palsy menunjukkan pembengkakan dan
peningkatan yang merata dari saraf fasialis dan ganglion genikulatum.
4) Terapi
a. Non-Medikamentosa:
 Penggunaan selotip untuk menutup kelopak mata saat tidur dan eye patch untuk
mencegah pengeringan kornea.
 Fisikal terapi seperti facial massage dan latihan otot dapat mencegah terjadinya
kontraktur pada otot yang lemah. Pemberian suhu panas di area yang terpengaruh
dapat mengurangi nyeri.
b. Medikamentosa
 Kortikostreoid
Diberikan untuk mencegah terjadinya inflamasi saraf pada penderita
dengan Bell’s palsy. Prednisone biasanya diberikan dengan dosis 60-80 mg per
hari selama 5 hari. Hal ini dapat memperpendek masa penyembuhan dan
meningkatkan hasil akhirnya.
 Antivirus
Dikarenakan adanya kemungkinan keterlibatan HSV-1 di Bell’s palsy,
maka telah diteliti pengaruh dari Valacyclovir (1000 mg per hari, diberikan antara
5-7 hari) dan Acyclovir (400 mg 5 kali sehari, diberikan 10 hari). Dari hasil
penelitian, penggunaan antivirus sendiri tidak memberikan keuntungan untuk
penyembuhan penyakit.
 Penggunaan Valacyclovir dan prednisone, memberikan hasil yang lebih baik,
dibandingkan penggunaan prednisone sendiri, terutama pada penderita dengan
gejala klinis yang berat.
 Analgesik untuk meredakan nyeri, dan methylcellulose eye drops untuk mencegah
kekeringan pada kornea.\
5) Prognosis
Prognosis umumnya sangat baik. Tingkat keparahan kerusakan syaraf
menentukan proses penyembuhan. Perbaikannya bertahap dan durasi waktu yang
dibutuhkan bervariasi. Dengan atau tanpa pengobatan, sebagian besar individu membaik
dalam waktu dua minggu setelah onset gejala dan membaik secara penuh, fungsinya
kembali normal dalam waktu 3-6 bulan. Tetapi untuk beberapa penderita bisa lebih lama.
Pada beberapa kasus, gangguan bisa muncul kembali di tempat yang sama atau di sisi
lain wajah.

4. Mengetahui dan menjelaskan surat rujukan.


DAFTAR PUSTAKA

Cruz, A.J.M. and De Jesus, O., 2020. Neurotmesis. StatPearls [Internet].


Dona, Rizkiana Rama. 2015. Laki-laki 45 Tahun dengan Bells Palsy. Fakultas Kedokteran
Universitas Lampung. Medula Unila Volume 4 Nomor 2, hal 151- 154.
Gunawan Pricilla Yani, Dina Annisa. 2018. Trigeminal Neuralgia Etiologi, Patofisiologi, dan
Tatalaksana. MEDICINUS. Vol. 7 (2) : 53-60.
Harsono. 2009. Kapita Selekta Neurologi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Hussain Ghulam, Wang Jing, Rasul Azhar, dkk. Review Current Status Of Therapeutic
Approaches Against Peripheral Nerve Injuries: A Detailed Story From Injury To Recovery.
Int. J. Biol. Sci. 2020, Vol. 16; 117-133.
Laura Conforti, Jonathan Gilley, Michael P. Coleman. Wallerian Degeneration: An Emerging
Axon Death Pathway Linking Injury And Disease. 2014. Nature: Neurosicence. 15 :124.
Lowis H dan Gaharu MN. 2012. Bell’s Palsy, Diagnosis Dan Tata Laksana Di Pelayanan Primer.
Artikel Pengembangan Pendidikan Keprofesian Berkelanjutan, Departemen Saraf Rumah
Sakit Jakarta Medical Center.
Mahadewa, Tjokorda Gde Bagus. 2013. Saraf Perifer: Masalah dan Penanganannya. Jakarta: PT
Indeks.
Mavrikakis. Ioannis. 2008. Facial Nerve Palsy : Anatomy, Etiology, Evaluation, and
Management. Informa Healthcare.
Mckinstry B, Hammersley V, Daly F, Sullivan F. Recruitment And Retention In A Multicentre
Randomised Controlled Trial In Bell’s Palsy: A Case Study. BMC Med Res Methodol.
2007; 7:15.
Newadkar, Et Al. 2016. Facial Palsy: Review Of Literature. North American Journal Of Medical
Sciences. Published By Wolters Kluwer – Medknow.
Pricilla Y.G, Annisa D. 2018. Trigeminal Neuralgia Etiologi, Patofisiologi, dan Tatalaksana.
Departemen Neurologi, Universitas Pelita Harapan, Siloam Hospitals Lippo Village. pISSN:
1978-3094 . Medicinus. 2018; 7 (2) : 53 – 60.
Sidharta P. 2010. Tata Pemeriksaan Klinis Dalam Neurologi. Dian Rakyat.
Singh M, Saxena A. 2014. Microsurgery: A Useful And Versatile Tool In Surgical Field.
Surgery Curr Res 4: 194. Doi:10.4172/2161-1076.1000194
Wicaksono, D.P., 2020. Distribusi Kasus Cedera Nervus Alveolaris Inferior, Nervus Lingualis
Setelah Pencabutan Molar Ketiga Rahang Bawah (Doctoral dissertation, UNIVERSITAS
AIRLANGGA).

Anda mungkin juga menyukai