Anda di halaman 1dari 20

MATERI ORDINARY, EXTRAORDINARY, TRANSNATIONAL, DAN INTERTATIONAL

CRIME

Ordinary vs Extraordinary Crime

1. Ordinary crimes atau kejahatan biasa dan extraordinary crimes atau kejahatan luar
biasa adalah dua jenis tindakan kejahatan yang dibedakan berdasarkan dampak
yang ditimbulkannya terhadap korban.
Ordinary crimes atau kejahatan biasa adalah tindak kejahatan yang relatif tidak
menimbulkan unsur yang memberatkan bagi sang pelaku atau korban yang
dikenakan tindakan tidak mengalami dampak psikologis yang berat.
Sementara itu, extra ordinary crimes atau kejahatan luar biasa adalah tindakan yang
dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang atau lembaga untuk
menghilangkan hak asasi yang dimiliki oleh manusia lain, sebagaimana yang telah
ditetapkan dan disetujui dalam Deklarasi HAM PBB serta dikategorikan sebagai
pelaggaran berat dan serius terhadap Hak Asasi Manusia dan penindakannya
berada dalam yurisdiksi Statuta Roma dan Pengadilan Kriminal Internasional.
2. Menurut ahli :
- Pasal 5 Statuta Roma 1998 yang menentukan bahwa kriteria daripada the most
serious crimes concern to international community adalah genosida, kejahatan
terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan agresi.
- Ford berpandangan bahwa kejahatan luar biasa yang dimaksud disini adalah
pelanggaran HAM berat. Extra ordinary crimes adalah suatu perbuatan yang
dilakukan dengan maksud untuk menghilangkan hak asasi umat manusia dan
menjadi yurisdiksi Peradilan Pidana Internasional, serta dapat dijatuhkannya
hukuman mati terhadap pelaku kejahatan tersebut.
- Sukardi menyebutkan bahwa extra ordinary crime sebagai suatu kejahatan yang
berdampak besar dan multi dimensional terhadap sosial, budaya, ekologi,
ekonomi dan politik yang dapat dilihat dari akibat-akibat dari suatu tindakan atau
perbuatan yang ditemukan dan dikaji oleh berbagai lembaga pemerintahan
maupun lembaga non pemerintahan, nasional maupun internasional.
- Menurut Winarno, extra ordinary crime bukan hanya berdampak buruk kepada
masalah ekonomi tetapi juga berdapak kepada ekologi, sosial dan budaya di
suatu negara
- Mar A. Drumbl menyebutkan extraordinary crime merupakan kejahatan ekstrem
yang secara kuantitatif berbeda dengan kejahatan pada umumnya. Kejahatan ini
bersifat serius, meluas dan masif serta menjadi musuh umat manusia
- Menurut Claude Pomerleau, pada intinya, kejahatan luar biasa adalah suatu
perilaku, perbuatan atau tindakan yang terencana, tersistematisasi dan
terorganisasi yang menargetkan sasarannya sebagian besar kepada individu dan
kelompok tertentu dengan alasan diskriminatif

Transnational dan International Crime

1. Pengertian Kejahatan Internasional menurut ahli:


- Cherif M. Bassiouni: International crimes adalah: Setiap tindakan yang ditetapkan
di dalam konvensi-konvensi multilateral dan diikuti oleh sejumlah negara dan di
dalamnya terdapat salah satu dari kesepuluh karakteristik pidana.
- Bryan A. Garner: International crimes adalah: Kejahatan terhadap hukum
internasional, yakni:
o Pertama, suatu tindakan sebagai kejahatan internasional berdasarkan
perjanjian (treaty crime) di bawah hukum internasional atau hukum
kebiasaan internasional dan mengikat individu secara langsung tanpa
diatur dalam hukum nasional.
o Kedua, ketentuan dalam hukum internasional yang mengharuskan
penuntutan terhadap tindakan-tindakan yang dapat dipidana berdasarkan
prinsip yurisdiksi universal.
- Neil Boister: International crimes stricto sensu (kejahatan-kejahatan internasional
dalam arti sempit), meliputi kejahatan-kejahatan yang menjadi yurisdiksi MPI
atau ICC (Statuta Roma):
o Genosida;
o Kejahatan terhadap Kemanusiaan;
o Kejahatan perang;
o Agresi.
International crimes largo sensu (kejahatan-kejahatan internasional dalam arti
luas), meliputi tidak hanya kejahatan-kejahatan yang menjadi yurisdiksi MPI atau
ICC, tetapi juga kejahatan-kejahatan internasional lain (transnational crimes).  
- Philip C. Jessup dan UN Convention against Transnational Crime 2000:
Transnational crime (kejahatan transnasional atau kejahatan lintasnegara) yang
dikaitkan dengan yurisdiksi negara dalam menghadapi suatu kejahatan, baik
yurisdiksi yang bersifat mandatory maupun nonmandatory.
2. 5 (lima) unsur perbuatan tertentu yang jika salah satu unsurnya terpenuhi, maka
perbuatan tersebut merupakan kejahatan internasional menurut Cherif M. Bassiouni:
- Perbuatan yang dilarang berakibat signifikan terhadap kepentingan internasional,
khususnya perdamaian dan keamanan internasional. Contoh: genosida dan
kejahatan terhadap kemanusiaan. 
- Perbuatan yang dilarang merupakan perbuatan yang buruk dan dianggap
mengancam nilai-nilai yang dianut bersama oleh masyarakat dunia, termasuk
yang menyentuh nurani kemanusiaan. Contoh: kejahatan perang dan bajak laut,
dll.
- Perbuatan yang dilarang mempunyai implikasi transnasional yang melibatkan
atau mempengaruhi lebih dari satu negara dalam perencanaan, persiapan atau
perbuatannya, baik melalui keragaman kewarganegaraan para pelaku kejahatan
atau korban atau perlengkapan yang digunakan melebihi batas-batas negara.
Contoh: pembajakan pesawat udara, dll. 
- Perbuatan yang membahayakan perlindungan terhadap kepentingan
internasional atau terhadap orang yang dilindungi secara internasional. Contoh:
kejahatan thd orang-orang yang dilindungi menurut HI, seperti kepala negara
asing, duta besar, diplomat dan konsul, dan petugas PBB.
- Perbuatan tersebut melanggar kepentingan internasional yang dilindungi namun
tidak sampai pada tahap yang disebut pada unsur pertama dan kedua di atas,
namun karena sifat dasarnya, perbuatan tersebut dapat dicegah dan ditekan
melalui kriminalisasi internasional. Contoh: pemalsuan uang dan peredaran uang
palsu, dll.
3. 10 karakteristik kejahatan internasional menurut Cherif M. Bassiouni:
- Explicit recognition of prescribed conduct as constituting an international crime
or a crime under international law, or a crime (Pengakuan secara eksplisit
tindakan-tindakan sebagai kejahatan internasional atau kejahatan di bawah
hukum internasional atau kejahatan);
- Implicit recognation of the penal nature of the act by establishing a duty to
prohibit, prevent, prosecute, punish, or the like (Pengakuan secara implisit sifat-
sifat pidana dari tindakan-tindakan tertentu dengan menetapkan suatu kewajiban
untuk melarang, mencegah, menuntut, menjatuhkan pidana);
- Criminalization of the proscibed conduct (Kriminalisasi tindakan-tindakan
tertentu);
- Duty of right to prosecute (Kewajiban atau hak untuk menuntut);
- Duty or right to punish the proscribed conduct (Kewajiban atau hak untuk
menjatuhkan pidana atas tindakan tertentu);
- Duty or right extradite (Kewajiban atau hak untuk mengekstradisi);
- Duty or right to cooperate to prosecution, punishment, including judical
assistance in penal proceeding (Kewajiban atau hak untuk bekerjasama dalam
penuntutan, pemidanaan, termasuk bantuan judisiil dalam proses pemidanaan);
- Establishment of criminal jurisdictional basis (Penetapan suatu dasar-dasar
yurisdiksi kriminal);
- Reference to the establishment of an international criminal court or an
international tribunal with penal characteristics (Referensi pembentukan
mahkamah pidana internasional atau tribunal internasional dengan karakter-
karakter pidana);
- Elimination of the defense of superior orders (Penghapusan alasan-alasan
perintah atasan).
4. 5 (lima) perbedaan kejahatan internasional dengan kejahatan transnasional menurut
Romli Atamasasmita:
- Kejahatan internasional tidak tergantung keterkaitan dua yurisdiksi atau lebih.
Sedangkan kejahatan transnasional tergantung pada dua atau lebih yurisdiksi.
- Objek yurisdiksi kejahatan internasional adalah asas universal, sementara objek
yurisdiksi kejahatan transnasional adalah asas teritorial dan asas nasional aktif.
- Yurisdiksi kejahatan internasional ada pada pengadilan pidana internasional
(MPI/ICC), sedangkan kejahatan transnasional merupakan yurisdiksi pengadilan
nasional.
- Kejahatan internasional berpegang pada asas aut dedere aut judicare sementara
kejahatan transnasional berpegang pada asas aut dedere aut punere.
- Kejahatan internasional tidak mengakui sepenuhnya prinsip kedaulatan negara,
sedangkan kejahatan transnasional mengakui sepenuhnya prinsip kedaulatan
negara
MATERI DERADIKALISASI

1. Secara konseptual deradikalisasi merupakan semua upaya untuk mentransformasi


dari keyakinan atau ideologi radikal menjadi tidak radikal dengan pendekatan multi
dan interdisipliner (agama, sosial, budaya, dan selainnya) bagi orang yang
terpengaruh oleh keyakinan radikal. Atas dasar itu, deradikalisasi lebih pada upaya
melakukan perubahan kognitif atau memoderasi pemikiran atau keyakinan
seseorang. Dengan demikian, deradikalisasi memiliki program jangka panjang. Ia
bekerja di tingkat ideologi dengan tujuan mengubah doktrin dan interpretasi
pemahaman keagamaan teroris. (Barrett & Bokhari, 2009; Boucek, 2008; Abuza,
2009).
2. Tujuan dari Deradikalisasi adalah sebagai berikut:
a. Membina narapidana terorisme agar meninggalkan pandangan, pemikiran,
sikap, dan tindakan radikal terorisme melalui pendekatan agama, sosial,
budaya, dan ekonomi;
b. Memberikan pencerahan pemikiran kepada narapidana terorisme dengan
pengetahuan agama yang damai dan toleran serta wawasan kebangsaan
dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia;
c. Membina kemandirian kepada narapidana terorisme berupa pembekalan
keterampilan, keahlian, dan pembinaan kepribadian;
d. Mempersiapkan narapidana terorisme sebelum kembali dan hidup
berdampingan dengan masyarakat;
e. Membina dan memberdayakan keluarga narapidana terorisme dan
masyarakat agar dapat menerima kembali mantan narapidana teroris untuk
dapat bersosialisasi di tengah masyarakat;
f. Memberdayakan mantan narapidana terorisme, keluarga, dan masyarakat
dengan pendekatan agama, sosial, pendidikan, budaya, dan ekonomi;
g. Memberdayakan masyarakat dalam rangka meninggalkan paham dan sikap
radikal terorisme yang berkembang di tengah masyarakat;
3. Dalam perkembangan global, sejumlah negara yang concern terhadap isu terorisme
telah melancarkan program deradikalisasi sebagai bentuk perlawanan terhadap
terorisme yakni sebagai berikut:
a. Di Inggris, program ini telah dan masih terus digalakkan. Di negara tersebut
telah berdiri Dewan Cendekiawan Muslim (DCM), satu wadah atau organisasi
yang memprioritaskan gerakannya untuk memperkenalkan Islam yang sejati
kepada komunitas non-Muslim di Inggris. Tugas pokok DCM adalah
memikirkan langkah-langkah deradikalisasi warga negara muslim Inggris.
b. Upaya deradikalisasi juga dilakukan oleh Arab Saudi sebagai negara yang
memainkan peran penting dalam percaturan politik Timur Tengah. Raja Arab
Saudi, Abdullah bin Abdul Azis, menggelar pertemuan lintas agama di
Madrid, Spanyol pada tanggal 16-18 Juli 2008. Raja Saudi juga meminta agar
semua agama besar di dunia yang bertemu di Madrid mengikutsertakan wakil
agama Yahudi. Padahal, selain minoritas, agama Yahudi dikenal sebagai
agama mayoritas bangsa Israel yang lebih dari setengah abad bermusuhan
dengan Arab Saudi.
4. Dalam perkembangannya di Indonesia, program deradikalisasi secara umum sudah
dijalankan oleh berbagai instansi pemerintah dan masyarakat sesuai dengan peran
dan kapasitasnya. Instansi pemerintah yang melakukan program deradikalisasi
seharusnya tidak hanya terbatas kepada BNPT dan kepolisian saja, tetapi semua
Kementerian dan Lembaga Negara seharusnya terlibat sesuai dengan tugas dan
fungsinya masing-masing. Meskipun demikian, program deradikalisasi yang berjalan
selama ini belum didesain secara integratif, komprehensif, dan sistemik sehingga
program ini masih sulit diukur keberhasilannya. Dalam banyak hal, program ini masih
menghadapi banyak kekurangan dan kelemahan.
5. Upaya-upaya yang dilakukan pemerintah:
a. Menkopolhukam mengkoordinasikan instansi-instansi serta memfasilitasi
kerjasama insternasioanl di bidang deradikalisasi
b. Kementerian Agama RI yang telah menerbitkan buku-buku yang bertujuan
meng-counter buku-buku radikal yang banyak beredar luas di masyarakat,
melakukan workshop di pondok-pondok pesantren, dan melakukan
pendekatan kepada para pemuka terorisme di penjara
c. Dirjen Pemasyarakatan Kemenkumham menangani napi terorisme dengan
prosedur tetap yang masih bersifat umum, dengan mengklasifikasi napi
terorisme sebagai napi risiko tinggi. Pendekatan dilakukan dengan persuasif
dengan melakukan pembinaan dan pengawasan.
6. Upaya yang dilakukan non-pemerintah:
a. Ormas Islam. Ormas melakukan hal-hal yang berkaitan dengan keagamaan
berupa: (a) meluruskan kembali ajaran-ajaran Islam yang disesatkan; (b)
memberikan penegasan bahwa seorang radikalis justru dilaknat oleh Allah
SWT; (c) memberikan landasan agama bahwa Islam adalah agama
perdamaian, universal, menentang segala bentuk radikalisme; dan (d)
memberikan landasan agama sebagai penyeimbang hidup antara dunia dan
akhirat.
b. Lembaga Dakwah. Sejumlah lembaga dakwah melakukan upaya perumusan
ulang dakwah dari berbagai aspeknya, di antaranya: metode, konten, silabi,
dan lainnya. Para dai juga diberikan workshop berkenaan dengan materi-
materi yang memuat nilai-nilai Islam rahmatan lil ‘alamm.
c. Lembaga Pendidikan. Lembaga ini mempunyai daya pikir kritis dan analitis
untuk menangkal ajaran radikalisme. Bentuk kegiatan berupa:
o pemberian bekal kepada anak didik untuk mampu berpikir secara kritis
dan analitis sehingga tidak menerima suatu informasi begitu saja sebagai
kebenaran absolut tanpa disaring terlebih dahulu;
o menanamkan pemahaman multikulturalisme dan demokrasi;
o menyusun metode pengajaran yang dialogis;
o melatih anak didik untuk berargumen dan menyanggah suatu argumen;
dan memberikan soal kasus kepada anak didik untuk dianalisis.
d. Media. Media berusaha menciptakan media penyeimbang dan bantahan
terhadap pemberitaan yang tidak benar. Hal ini dilakukan secara bersama-
sama karena setiap organisasi keagamaan memiliki media cetak, elektronik,
website, jaringan sosial, dan bentuk lainnya.
e. Sejumlah kegiatan yang bersifat akademis: simposium, seminar, workhsop,
semiloka, dan semisalnya berkenaan dengan bahaya dan cara
penanggulangan radikalisme. Dari kegiatan-kegiatan ini, dapat dihasilkan:
modul, buku, bahan bacaan, dan selainnya.
7. Faktor-faktor yang mempengaruhi upaya deradikalisasi di indonesia terdiri dari 2
jenis faktor, yakni yang mendukung dan menghambat. Berikut ini yang merupakan
faktor pendukung:
a. Komitmen pemerintah Indonesia dalam menanggulangi radikalisme dan
terorisme juga merupakan modal besar yang dimiliki oleh Indonesia.
Diterbitkannya Perpu No. 1 tahun 2002 sebagai respons cepat terhadap
tindak pidana terorisme di Bali dan ditingkatkannya status dari DKPT menjadi
BNPT merupakan dua contoh wujud keseriusan pemerintah Indonesia untuk
menanggulangi radikalisme dan terorisme.
b. Ideologi Pancasila sebagai Dasar Negara. Dengan maraknya aksi radikal,
pada saat ini muncul kesadaran dari masyarakat untuk menghidupkan
kembali Pancasila.
c. Nilai Luhur Budaya Bangsa. Bangsa Indonesia sejak dahulu telah
mempraktikkan kehidupan yang plural.
d. Mayoritas Muslim Indonesia mempunyai paham yang moderat. Indonesia
adalah negara dengan penduduk muslim kurang lebih 250 juta jiwa. Ormas
terbesar di Indonesia yaitu, NU dan Muhammadiyah sebagai organisasi
moderat memiliki pengikut muslim moderat.
e. Adanya studi awal tentang radikalisme di Indonesia oleh beberapa lembaga.
Selanjutnya faktor penghambat adalah sebagai berikut:
a. Belum Adanya Dasar Peraturan Perundangan-undangan yang kuat.
Indonesia masih belum memiliki dasar peraturan yang cukup kuat dalam
menanggulangi radikalisme dan terorisme
b. Euforia Reformasi. Periode reformasi di Indonesia ditandai dengan
melemahnya militer dan menurunnya kontrol pemerintah terhadap organisasi-
organisasi Islam keras.
c. Masih banyaknya dukungan terhadap radikalisme. Dukungan bagi pemikiran-
pemikiran radikalisme masih cukup besar. Para terpidana mati kasus
terorisme oleh sebagian masyarakat dijadikan sebagai simbol kepahlawanan
d. Ideologi radikal yang berkembang dengan cepat. Walaupun masyarakat
Muslim Indonesia didominasi oleh golongan moderat, namun pada tahun-
tahun belakangan ini ideologi radikal berkembang dengan pesat.
8. Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) melalui Peraturan Presiden
(Perpres) No. 46 Tahun 2010 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden
No. 12 Tahun 2012.
a. Menyusun kebijakan dan strategi dan program nasional di bidang
penanggulangan terorisme;
b. Mengordinasikan instansi-instansi terkait dalam pelaksanaan kebijakan di
bidang penanggulangan teror;
c. Melaksanakan kebijakan di bidang penanggulangan terorisme, seperti dalam
pembentukan Satuan Tugas bersama unsur-unsur terkait.
d. Di samping tugas pokok tersebut, BNPT memiliki fungsi sebagai berikut:
e. Penyusunan kebijakan, strategi, dan program nasional di bidang
penanggulangan terorisme;
f. Monitoring, analisis, dan evaluasi di bidang penanggulangan terorisme;
g. Koordinasi dalam pencegahan dan pelaksanaan kegiatan melawan
propaganda ideologi radikal;
h. Pelaksanaan deradikalisasi;
i. Perlindungan terhadap objek-objek yang potensial menjadi target serangan
terorisme;
j. Pelaksanaan penindakan, pembinaan kemampuan, dan kesiapsiagaan
nasional;
k. Pelaksanaan kerja sama internasional di bidang penanggulangan terorisme;
l. Perencanaan, pembinaan, dan pengendalian terhadap program, administrasi
dan sumber daya, serta kerja sama antarinstansi;
m. Pengoperasian satuan tugas (satgas) pencegahan, perlindungan,
deradikalisasi, penindakan, dan penyiapan kesiapsiagaan nasional di bidang
penanggulangan terorisme.
9. Selain melalui upaya dengan dasar hukum diatas, BNPT juga menerapkan kebijakan
pencegahan terorisme. Arah kebijakan bidang pencegahan adalah mencegah
penyebaran ideologi dan melindungi masyarakat dari aksi radikal terorisme dengan
mengedepankan partisipasi aktif dari masyarakat, sinergi antarkementerian dan
lembaga terkait agar tercipta rasa aman di tengah masyarakat guna menjaga
keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Orientasi kebijakan Program
pencegahan yang dilaksanakan oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme
terdiri atas dua strategi.
a. Pertama, strategi deradikalisasi yang ditujukan terhadap kelompok inti dan
militan terorisme dengan melaksanakan kegiatan penangkalan, rehabilitasi,
reedukasi, dan resosialisasi.
b. Kedua, strategi kontra radikalisasi yang ditujukan terhadap kelompok
pendukung, simpatisan, dan masyarakat dengan melaksanakan kegiatan
pencegahan yang meliputi kegiatan pengawasan terhadap orang, senjata api,
dan handak, kegiatan kontra propaganda, kegiatan kewaspadaan serta
kegiatan perlindungan terhadap objek vital, transportasi, VVIP serta
lingkungan dan fasilitas publik (Renstra Deputi I BNPT 2010-2014).
MATERI ASESMEN LOKASI SERANGAN TERORIS MENGGUNAKAN
TEORI “EVIL DONE”

1. 3 teori yang melandasi Evil Done:


a. ROUNTINE ACTIVITIES THEORY, konvergensi antara motivated offender,
suitable targets, dan absence of capable guardian
b. RATIONAL CHOICE THEORY, kejahatan dilakukan setelah pelaku kejahatan
mempertimbangkan manfaat dan resiko kejahatan
c. CRIME PATTERN THEORY, kejahatan yang terjadi secara berulang
sesungguhnya akibat overlap atara aktivitas target dan pelaku, memiliki pola-
pola yang relative tetap sehingga dapat diprediksi
Ketiga gabungan teori tersebut tegambarkan dengan segitiga kejahatan ganda
sebagai berikut

2. Menurut (Clarke & Newman, 2006) penelitian telah menyimpulkan bahwa teroris
menghabiskan banyak waktu untuk memilih lokasi yang sesuai dengan niat tertentu.
Jadi, sama seperti teroris mencari tempat yang paling rentan sebagai target yang
mungkin, penting untuk mengidentifikasi tempat yang paling rentan untuk
memprioritaskan upaya SCP. Selain itu, karena teroris memiliki banyak tujuan yang
berbeda, jenis target yang mereka pilih akan sesuai dengan motivasi mereka.
3. Dalam kerentanan target, ketersediaan alat dan tingkat kondisi fasilitasi di suatu
daerah tertentu dapat berkontribusi besar. Empat pilar peluang (target, senjata, alat,
dan kondisi fasilitasi) dapat dikurangi melalui penerapan strategi SCP.
4. Penelitian yang dilakukan oleh Boba (2009) memecah pemeriksaan peluang
terorisme dan SCP menjadi tiga unit analisis / Unit of Analysis (UOA) yang meliputi:
 target tertentu di bawah ancaman tertentu,
 ancaman umum terhadap target tertentu,
 ancaman umum terhadap target umum
5. Tujuan utama EVIL DONE adalah menjadi langkah pertama dalam mengidentifikasi
target yang rentan dengan mengidentifikasi fitur lokasi tertentu yang membuatnya
lebih rentan terhadap serangan (Clarke & Newman, 2006).
6. Elemen-elemen EVIL DONE meliputi:
 Terekspose (exposed),
o Adalah kondisi target yang menarik perhatian
o Lokasi yang terbuka akan lebih menarik ketimbang yang tersembunyi di
antara banyak gedung
o Kondisi eksposed sangat tergantung pada kondisi lingkungan di sekitar
 Penting (vital),
o Adalah kondisi target yang menarik perhatian
o Lokasi yang terbuka akan lebih menarik ketimbang yang tersembunyi di
antara banyak gedung
o Kondisi eksposed sangat tergantung pada kondisi lingkungan di sekitar
 Ikonik (iconic),
o Ikonik mengacu pada nilai simbolis dari lokasi tertentu.
o Simbol yang mewakili kekuatan dan persatuan bangsa menarik bagi
teroris yang berusaha merusak kekuatan negara secara kiasan
o Semakin kuat simbol yang direpresentasi oleh target maka akan semakin
besar dampak yang ditimbulkannya jika diserang
 Sah (legitimate),
o Sasaran yang sah termasuk yang akan menimbulkan reaksi positif dari
para pendukung teroris atau organisasi teroris.
o Konsisten dengan gagasan bahwa teroris adalah makhluk rasional,
mereka berusaha untuk memaksimalkan bala bantuan positif dan
menghindari kecaman, atau konsekuensi negatif.
o Oleh karena itu, teroris mencari sasaran yang akan dianggap sah, yang
biasanya mencakup lokasi perumahan pejabat militer dan pemerintah.
 Yg dpt dirusak (destructble),
o Destructible mengacu pada kemampuan untuk menghancurkan target /
lokasi atau membunuh orang yang ditargetkan.
o Meskipun semua target dapat dirusak dengan cara tertentu, beberapa
lokasi lebih tahan lama daripada yang lain, dan beberapa orang lebih
terlindungi daripada yang lain.
o Dengan demikian, elemen Destructible mengacu pada "jumlah dan
aksesibilitas senjata yang dibutuhkan untuk menghancurkan target"
(Boba, 2009, p.14)
 Ditempati (Occupied),
o Target yang ditempati termasuk yang menampung banyak orang.
o Teroris secara khas berusaha menyakiti sebanyak mungkin orang untuk
memperkuat tujuan mereka (meningkatkan ketakutan, meningkatkan
legitimasi, dll.).
o Lokasi dengan kepadatan penduduk yang tinggi memberikan peluang
terbesar bagi teroris untuk melakukan kerusakan besar dan menimbulkan
ketakutan di antara komunitas yang menjadi sasaran.
o Elemen Occupied bergantung pada waktu karena beberapa lokasi
mungkin sangat padat hanya selama waktu-waktu tertentu dalam sehari
atau periode-periode tertentu dalam setahun.
 Dekat (near),
o Dekat mengacu pada jarak dari lokasi ke rumah teroris atau tempat
tinggal organisasi teroris.
o Teori pola kejahatan dan studi kriminologi telah menekankan bahwa
pelaku lebih memilih target yang lebih dekat dengan rumah dan jarang
melakukan perjalanan jauh untuk melakukan kejahatan.
o Teori ini berlaku untuk terorisme karena teroris lebih menyukai peluang di
lokasi yang mereka kenal dan membutuhkan lebih sedikit perjalanan.
o Target yang berada di dekat rumah tidak hanya lebih mudah diserang,
tetapi juga lebih mudah untuk dihindarkan
 Mudah (easy)
o Sasaran mudah termasuk mereka yang terlindungi lemah atau dapat
diakses oleh publik.
o Ini mengacu pada upaya yang diperlukan untuk mendapatkan akses ke
lokasi berdasarkan tindakan pengamanan yang disediakan
o Target yang dipersepsi mudah adalah persetujuan tidak diperlukan yang
besar untukmendekati atau memasukinya dan untuk melakukan serangan
terhadap target tersebut
Menurut Clarke & Newman (2006), semakin banyak elemen yang diterapkan pada
suatu lokasi maka semakin rentan sasarannya terhadap terorisme.
7. Untuk pengukurannya meliputi hal-hal berikut:
a. Setiap target dapat dialkukan asesmen kerentanan berdasarkan masing-
masing elemen
b. Masing-masing elemen dapat ditemukan indikatornya
c. Masing-masing indicator dapat diberikan skor (1 sd 10)
d. Total skor masing-masing elemen kemudian diakumulasi untuk memberikan
penilaian tingkat kerentanan
e. Tingkat kerentanan dapat digunakan sebagai landasan untuk merancang dan
menentukan pola pengamanan serta sumber daya yang diperlukan
PENDANAAN TERORISME DAN PENCUCIAN UANG

1. Pencucian uang (money loundering) sangat erat kaitannya dengan pendanaan


terorisme. Pencucian uang sendiri memiliki definisi yaitu suatu upaya perbuatan
untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul uang/dana atau Harta
Kekayaan hasil tindak pidana melalui berbagai transaksi keuangan agar uang atau
Harta Kekayaan tersebut tampak seolah-olah berasal dari kegiatan yang sah/legal.
2. Pada dasarnya pencucian uang meng-convert bisnis ilegal (traficking, smuggling,
narcotic, weapon) menjadi bisnis legal (travel, electronic, cryptocurrency) atau
sebaliknya.
3. Tahapan Audit Investigasi Pencucian Uang (Scientific Investigation):
a. Predication
b. Perumusan hipotesis
c. Data gathering
d. Pengujian keandalan data
e. Analisis data
f. Pemanggilan, wawancara, & interogasi
g. Perhitungan kerugian
h. Laporan hasil audit investigasi
i. Relasi hukum & perundangan
4. Kegiatan follow the money yang dilakukan adalah dengan trace back (money
loundering – uang hasil kejahatan – predicate crime) ataupun dengan trace forward
(predicate crime – uang hasil kejahatan – money loundering)
5. Era globalisasi arus lalu lintas barang, modal dan jasa menjadi mudah dan cepat
yang akan mempengaruhi ekonomi regional. Begitu pula arus mobilitas orang antara
satu tempat ke tempat lain akan berpengaruh terhadap sosial budaya manusia. Uang
Digital (Crypto currency) semakin populer sebagai pengganti uang Kartal dan Giral
(Cash), Giro/Ceque. Crypto Currency : Bit Coin, Litecoin (Dogecoin : Fans Shibes =
Such Amazing/komunitas aksi galang dana/amal dalam bentuk Dogecoin berbentuk
gambar lucu / funs (maskot anjing Shiba), OVO point. Hal ini akan terjadi perubahan
dan pergolakan yang besar dalam seluruh segi kehidupan. Kejahatan lintas batas
yang menjadi ancaman keamanan bersama negara negara ASEAN secara
konvensional hingga sekarang dan masih cukup relevan karena memiliki potensi
konflik yang lebih terbuka antar negara anggota ASEAN adalah permasalahan
separatisme dan konflik perbatasan. Dengan munculnya serangan terorisme di
negara negara ASEAN atau transnational crimes yang terorganisasi telah merubah
persepsi ancaman bersama di kawasan Asia Tenggara menjadi tidak konvensional
lagi. ASEAN telah menetapkan delapan (8) jenis kejahatan lintas negara yang
ditangani dalam kerjasama ASEAN, yaitu terorisme, perompakan, enyelundupan
manusia, perdagangan gelap, narkoba, penyelundupan senjata, kejahatan ekonomi
internasional, pencucian uang, dan kejahatan internet/dunia maya.
6. Berbagai Jenis pendanaan terorisme yakni harta kekayaan yang didapat biasanya
oleh pelaku baik perseorangan maupun korporasi tidak langsung digunakan untuk
pendanaan kegiatan terorisme karena adanya rasa takut maupun terindikasi sebagai
kegiatan pencucian uang. Sumbangan (donasi) untuk terorisme diberikan dalam
bentuk yang berbeda-beda dan yang diberikan secara sukarela atau diperoleh
melalui unsur paksaan bisa datang dan bersumber dari dalam maupun luar negeri.
Pada umumnya uang tersebut dikumpulkan anggotaanggota kelompok sebagai
suatu kewajiban dari anggota yang menuntut anggota-anggotanya. Cash Flow
memiliki arti berupa arus kas atau aliran kas. Cash flow sendiri juga sebagai salah
satu yang berperan paling vital dalam operasional rutin pada internal organisasi.
Aliran kas ibaratnya seperti aliran urat nadi darah pada tubuh manusia, karena tidak
ada satupun dari bisnis/aktivitas yang tidak bisa terlepas dari adanya permasalahan
yang berhubungan langsung dengan cash flow ini. Arus kas (cash flow) terdiri dari 2
macam aliran, yaitu:
a. 1. Cash Inflow.Cash inflow merupakan aliran kas yang terjadi akibat dari
kegiatan transaksi yang menciptakan keuntungan pemasukan kepada kas.
Cash inflow dapat terdiri dari:
i. • Hasil penjualan dari produk maupun jasa perusahaan.
ii. • Hasil dari penagihan piutang pada penjualan kredit yang hampir
memasuki masa jatuh tempo.
iii. • Hasil penjualan dari aktiva tetap yang telah ditentukan harganya.
iv. • Hasil penerimaan investasi dari para pemilik maupun saham apabila
berupa Perseroan Terbatas (PT).
v. • Hasil pinjaman atau hutang dari pihak lainnya.
vi. • Hasil penerimaan pendapatan lain dan sewa.
b. 2. Cash Outflow.
Cash outflow merupakan aliran kas yang terdiri dari berbagai macam
transaksi yang dapat mengakibatkan terjadinya beban untuk pengeluaran
kas. Cash outflow dapat terjadi karena:
i. • Hasil pengeluaran biaya tenaga kerja langsung, bahan baku dan
biaya perusahaan lainnya.
• Hasil pengeluaran secara administrasi penjualan dan administrasi
umum lainnya.• Hasil pembelian dari aktiva tetap.
ii. • Hasil pembayaran dari hutang-hutang pada perusahaan.
iii. • Hasil pembayaran kembali dari hasil investasi si pemilik usaha.
iv. • Hasil pembayaran sewa, bunga, pajak, deviden dan biaya
pengeluaran lainnya.
Dari laporan cash flow akan memberikan suatu informasi yang saling berhubungan
antara penerimaan dan pengeluaran dana kas pada suatu perusahaan pada saat
periode tertentu dengan cara melakukan pengklasifikasian transaksi berdasarkan
kegiatan operasional, pendanaan dan investasi.
7. Wenda Hartanto (2016), Jurnal Legislasi Indonesia Vol. 13 N0. 04 - Desember 2016 :
379 – 392
a. Sumber dana terorisme juga dapat dilakukan dengan penyalahgunaan
sumbangan wajib seperti zakat atau sedekah jariyah yaitu dengan
menyelewengkan uang yang dikumpulkan dengan dalih untuk bantuan
pendidikan.
b. Dalam hal ini orang/badan sebagai penyalur sumbangan bantuan tersebut
menganggap bahwa uang itu sebagai kewajiban keagamaan yang digunakan
untuk tujuan utama beribadah.
c. Pengelola dana tersebut menginvestasikan dalam bentuk bermacam-macam
sumbangan atau subsidi pada organisasi-organisasi amal. Uang tersebut
dapat disalahgunakan tanpa sepengetahuan penyumbang, atau bahkan tidak
diketahui oleh anggota pengelola/pengurus dan staf organisasi itu sendiri.
d. Uang tersebut diselewengkan oleh pegawai atau pengurus lainnya dengan
cara melawan hukum. Dengan cara ini sumbangan amal dapat dilibatkan
untuk mendukung kegiatan kelompok-kelompok teroris. Sumber dana lain
diperoleh kelompok teroris dengan membangun usaha mereka sendiri melalui
perdagangan dan perputaran uang.
8. Pendanaan berupa:
a. menggunakan, menyediakan, meminjamkan, menerima, memberikan,
mengumpulkan, menguasai
b. suatu atau sejumlah, aset atau benda, bergerak atau tidak bergerak,
berwujud maupun tidak berwujud, yang diperoleh dengan cara, bentuk, dan
format apapun, tidak terbatas pada kredit bank, cek perjalanan, cek dari
bank, perintah pengiriman uang, bank draf, surat pengakuan utang
c. yang kemudian dititipkan, ditukarkan, ditempatkan, ditransfer, dihibahkan,
disumbangkan, ataupun dibayarkan
d. dengan tujuan aktivitas terorisme dan atau serangan terorisme
9. Hasil dari kejahatan konvensinal (pencurin, penggelapan, penipuan, dll) atau
kejahatan khusus (tambang, hutan, trafficking, dll) atau kejahatan luar biasa (korupsi,
terorisme, dll) kemudian dicuci dengan usaha legal (bisnis, investasi, donasi) agar
menjadi aset/uang yang legal (legal money)
10. 3 tahap pencucian uang adalah placement, layering, dan integrating.
11. Modus pendanaan terorisme adalah dengan pembiayaan elektronik, underground
banking, smuggling cash, narkoba, human trafficking, perampokan, donasi/dukungan
publik yang diconvert menjadi combating money dan financing of terorism.
MATERI MANAJEMEN RESIKO DAN DERADIKALISASI

Manajemen Risiko

1. Pimpinan selaku pengambil keputusan memiliki 2 masalah besar, yakni risiko dan
ketidakpastian. Estimasi hasil (output/outcome) belum tentu sesuai dengan yang
diharapkan. Hal tersebut disebabkan faktor-faktor tertentu yang sesungguhnya dapat
diramal / diprediksi.
2. Penilaian Risiko dari Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP) sesuai dengan
PP No. 60 Tahun 2008 dan Perkap nomor 9 tahun 2011 tentang Manajemen
Operasi Kepolisian.
a. Pasal 3
Prinsip-prinsip dalam Manajemen Operasi Kepolisian, meliputi: akuntabilitas,
yaitu segala upaya dan tindakan yang dilaksanakan harus dapat
dipertanggungjawabkan; efektif dan efisien, yaitu segala upaya dan tindakan
yang dilaksanakan dengan mempertimbangkan keseimbangan yang wajar
antara hasil yang akan dicapai dengan upaya, sarana prasarana dan
anggaran yang digunakan;
b. Pasal 4
Pedoman dasar manajemen operasi kepolisian, meliputi:penetapan sasaran;
waktu operasi; penentuan CB; pelibatan kekuatan; dukungan anggaran; dan
pengawasan dan pengendalian.
c. Pasal 5
Penetapan sasaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a,
merupakan kegiatan yang direncanakan berdasarkan perkiraan khusus
(Kirsus) intelijen, selanjutnya ditetapkan sasaran atau objek yang akan
dihadapi.
d. Pasal 7
Penentuan CB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf c, merupakan
urutan tindakan yang dipilih dalam pelaksanaan operasi kepolisian dengan
memperhatikan risiko kegagalan yang paling kecil.
3. Posisi manajemen resiko pada SPIP digambarkan sebagai berikut:
4. Tahap penilaian resiko adalah sebagai berikut:
a. Penetapan tujuan (tujuan tingkat kegiatan)
b. Identifikasi risiko (sumber risiko internal & eksternal)
c. Analisis risiko (pengaruh / dampak risiko terhadap pencapaian tujuan
5. Respon terhadap risiko adalah sebagai berikut:
a. Avoidance: pencegahan terjadinya resiko
b. Transfer: pengalihan resiko dan responnya ke pihak lain. Contoh: asuransi
c. Mitigation: pengurangan probabilitas terjadinya resiko dan/atau pengurangan
nilai resiko
d. Acceptance: penerimaan resiko beserta konsekuensi. Contoh: contingency
plan
6. 2 dimensi risiko adalah sebagai berikut:
a. Risiko retrospektif (retrospective risks) adalah risiko-risiko yang sebelumnya
telah terjadi
b. Risiko prospektif (prospective risks) biasanya lebih sulit untuk diidentifikasi.
Risiko ini adalah sesuatu yang belum terjadi, tetapi mungkin terjadi beberapa
waktu yang akan datang.
7. Tujuan analisis risiko adalah mendapatkan/memperoleh hal-hal berikut:
a. Hasil identifikasi risiko
b. Probabilitas / frekuensi risiko
c. Dampak dan besaran risiko
d. Status dan pemetaan risiko
e. Menentukan respon risiko
f. Memberikan informasi kepada pimpinan

Implementasi Manajemen Risiko dalam Deradikalisasi

1. Definisi Deradikalisasi :
a. Deradikalisasi berasal dari kata “radikal” denga imbuhan “de” yang berarti
mengurangi atau mereduksi, dan kata “asasi”, dibelakang kata radikal berarti
proses, cara atau perbuatan. Jadi deradikalisasi adalah suatu upaya
mereduksi kegiatan-kegiatan radikal dan menetralisasi paham radikal bagi
mereka yang terlibat teroris dan simpatisannya serta anggota masyarakat
yang telah terekspose paham-paham radikal teroris, (Deradikalisasi
Nusantara, ASB).
b. Deradikalisasi merupakan semua upaya untuk mentransformasi dari
keyakinan atau ideologi radikal menjadi tidak radikal dengan pendekatan
multi dan interdisipliner (agama, sosial, budaya, dan selainnya) bagi orang
yang terpengaruh oleh keyakinan radikal. Atas dasar itu, deradikalisasi lebih
pada upaya melakukan perubahan kognitif atau memoderasi pemikiran atau
keyakinan seseorang. Dengan demikian, deradikalisasi memiliki program
jangka panjang. Ia bekerja di tingkat ideologi dengan tujuan mengubah
doktrin dan interpretasi pemahaman keagamaan teroris (Barrett & Bokhari,
2009; Boucek, 2008; Abuza, 2009).
c. Sebagai program kegiatan, implementasi deradikalisasi dapat berbentuk
upaya identifikasi, rehabilitasi, reedukasi, dan resosialisasi bagi individu atau
kelompok masyarakat yang terpengaruh oleh keyakinan radikal dengan
mengedepankan prinsip pemberdayaan, Hak Asasi Manusia, supremasi
hukum dan kesetaraan.
d. Deradikalisasi mempunyai makna yang luas, mencakup hal-hal yang bersifat
keyakinan, penanganan hukum, hingga pemasyarakatan sebagai upaya
mengubah "yang radikal" menjadi "tidak radikal". Oleh karena itu
deradikalisasi dapat dipahami sebagai upaya menetralisir paham radikal bagi
mereka yang terlibat aksi terorisme dan para simpatisannya, hingga
meninggalkan aksi kekerasan. (Ismail Hasani dan Bonar Tigor Naipospos)
2. Tujuan deradikalisasi secara umum adalah Membuat para teroris atau kelompok
yang melakukan kekerasan bersedia meninggalkan atau melepaskan diri mereka
dari aksi dan kegiatan terorisme. Kemudian secara khusus ada 3 yaitu :
a. Membuat para teroris mau meninggalkan aksi terorisme dan kekerasan.
b. Kelompok radikal mendukung pemikiran yang moderat dan toleran.
c. Kaum radikalis dan teroris dapat mendukung program-program nasional
dalam membangun kehidupan berbangsa dan bernegara dalam bingkai
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
3. 2 sasaran utama deradikalisasi adalah :
a. Kelompok inti dan militan meninggalkan cara-cara kekerasan dan teror dalam
memperjuangkan misinya.
b. Kelompok inti, militian dan pendukung memoderasi paham paham radikal
mereka sejalan dengan semangat kelompok moderat dan cocok dengan
misi-misi kebangsaan yang memperkuat NKRI.
4. Adapun tahapan pelaksanaan deradikalisasi di Indonesia dirumuskan sebagai suatu
program yang utuh, integratif dan berkesinambungan. 2 ranah deradikalisasi adalah:
a. Deradikalisasi di luar lapas mencakup tahap identifikasi, pembinaan kontra
radikalisasi, dan monitoring dan evaluasi.
b. Deradikalisasi di dalam lapas meliputi tahap identifikasi, rehabilitasi,
reedukasi, resosialisasi, dan monitoring dan evaluasi.
5. Deradikalsisasi bukan hanya kewajiban pemerintah dan aparat yang berwenang,
namun diwujudkan dalam suatu Program yakni:
a. Pelibatan dan kerja sama dengan masyarakat umum
b. Pelaksanaan program khusus dalam penjara
c. Program pendidikan
d. Pengembangan dialog lintas budaya
e. Pengupayaan keadilan sosial dan ekonomi
f. Kerja sama global dalam penanggulangan terorisme
g. Pengawasan terhadap cyber terrorism
h. Perbaikan perangkat perundang-undangan
i. Program rehabilitasi
j. Pengembangan dan penyebaran informasi baik regional
k. Pelatihan serta kualifikasi para agen yang terlibat dalam
l. melaksanakan kebijkan kontra-radikalisasi
6. Proses radikalisasi adalah proses pemahaman atau pola pikir yang mengesahkan
adanya pemberlakuan aksi kekerasan, Maka yang harus dilakukan adalah
memperbaiki pemikiran itu sesuai dengan latar belakang yang membentuknya
melalui pendekatan-pendekatan yang berbeda berdasarkan atas faktor penyebabnya
masing-masing. Dengan demikian, memerangi terorisme melalui program
deradikalisasi tentu akan berbeda di setiap wilayah dan di setiap negara.
7. Lembaga Pemasyarakatan dalam upaya deradikalisasi masih banyak ditemui
berbagai permalahan, diantaranya adalah sebagai berikut:
a. Baru memilii program formal yang sifatnya reguler untuk seluruh narapidana,
namun tidak ada program pembinaan khusus untuk napi teroris
b. Peran lapas dalam pemantauan dan pemberdayaan mantan napi teroris pada
saat berinteraksi dengan lingkungan sosial (diluar lapas) belum optimal
c. Sejalan dengan hal tersebut, dari penelitian yang dilakukan oleh Institute For
International Peace Building di 13 Lembaga Pemasyarakatan yang
melakukan pembinaan terhadap narapidana terorisme, menunjukkan bahwa
telah ada upaya mengarah pada deradikalisasi terhadap narapidana
terorisme,namun belum menjadi program yang standart, sistematis dan
menyeluruh di Lembaga Pemasyarakatan di Indonesia. Oleh karena itu
belum menunjukkan hasil yang diharapkan. Justru yang terjadi sebagian
narapidana melakukan kontra deradikalisasi.
d. Indikatornya adalah dari sejumlah 600 orang narapidana terorisme yang
sudah bebas/keluar dari lembaga pemasyarakatan, 90 orang (15%)
diantranya melakukan pengulangan tindak pidana terorisme (Recidivist).
8. Contoh pembuatan daftar risiko dan status risiko :
DAFTAR RISIKO

No Risiko teridentifikasi Faktor penyebab


1. Resistensi kelompok tertentu Pendekatan kurang tepat
2. Dst...

STATUS RISIKO

No Risiko Kemungkinan Dampak Status


% Kategori % Kategori
1. Antipati, kecurigaan 80 (4) besar 80 (4) Besar 16 (ekstrim)
2. Dst...
Keterangan:

Parsial Skala total (hasil perkalian kemungkinan dan dampak)

1 = tidak berarti 1-2 = sangat rendah / tidak berarti

2 = kecil 3-4 = rendah

3 = sedang 5-9 = moderat

4 = besar 10-14 = tinggi

5 = luar biasa 15 keatas = sangat tinggi / ekstrim


MATERI DIMENSI TEOLOGIS RADIKALISME

1. Secara sosiologis, terorisme adalah merupakan sebuah paham yang mengajarkan


cara cara “perjuangan” dengan cara menyebar terror atau melakukan aksi-aksi
menyebar rasa takut demi mencapai tujuan tertentu, baik tujuan kelompok maupun
tujuan pribadi. Pelaku aksi dapat mengerjakan aksi terornya secara orang perorang
untuk pencapaian tujuan pribadi atau dilakukan secara bersama/terorganisasi untuk
tujuan . Jadi apapun bentuk aksinya dan siapapun pelakunya, selama aksi tersebut
menimbulkan ketakutan kolektif yang mencekam kehidupan masyarakat, maka aksi
atau tindakan tersebut dapat dikategorikan sebagai aksi Terorisme.
2. Dimensi sosiologik (struktur sosial) terdiri dari 3 perspektif, yaitu:
a. Perspektif struktural fungsional
Emile Durkheim adalah salah satu pemikir yang dapat digolongkan sebagai
fungsionalis, dan sumbangan pemikirannya terhadap radikalisme (violence)
adalah diintrodusirnya konsep anomi, suatu konsep sosiologi yang oleh Emile
Durkheim guna menjelaskan kondisi psikologi yang merasa asing (estranged)
sebagai akibat tercabutnya atau hilangnya rasa kemanusian dalam ranah
kehidupan (uprooted), dan ekonomi menurut Emile Durkheim adalah
penyebab yang bisa menimbulkan kondisi anomi tersebut. Melalui
pendekatan ini radikalisme dipahami sebagai akibat dari perubahan sosial
ekonomi yang tidak diikuti dengan perubahan regulasi sehingga timbul
ketimpangan dimasyarakat dlam menghadapi kondisi tersebut.
b. Perspektif struktural konflik
Perhatian lain dari Robert K. Merton sehubungan dengan berbagai institusi
sosial yang ada dalam masyarakat, terutama dalam kaitannya dengan fungsi
institusi, adalah dikembangkannya istilah fungsi manifes (Manifest Functions)
dan fungsi laten (Latent Functions). Berbeda dengan asumsi dan proposisi
fungsionalisme, teori konflik terbangun dalam rangka menantang secara
langsung terhadap teori fungsionalisme struktural dan Dahrendorf dinilai
sebagai tokoh utama teori konflik ini.
c. Perspektif interaksionisme simbolik
Pada dasarnya masyarkat selalu berproses menggunakan simbol dalam
interaksinya dalam menyikapi atau membentuk realitas yang selalu berubah.
Realitas sosial dibentuk oleh interaksi antar individu di masyarakat (reality is
socially constructed). Setiap individu mampu mendefinisikan situasi,
menginterpretasi dan menegosiasikannya dengan lawan interaksinya. Jadi
makna sosial merupakan hasil interaksi antara individu sehari-hari, bukan
dicetak oleh kekuatan struktur yang telah terbentuk dan mapan, jadi : ”social
order is a negotiated order”.
3. Dimensi teologik yaitu merujuk pada persoalan bagaimana individu atau kelompok
menginterpretasikan atau menafsirkan substansi kitab suci
4. Beberapa pertimbangan dalam norma radikal dan konformis yaitu:
a. Perspektif humanism yakni bahwa tujuan akhir semua agama (dan ideologi)
adalah kamanusiaan. Diskusi panjang apakah agama untuk manusia atau
untuk Tuhan ?
b. “Keluar” dari pemikiran/tindakan mainstream. Tindakan intoleran dgn segala
derivasinya adl artikulasi “diluar mainstream”.
5. Radikalisme disebabkan beberapa hal, yaitu
a. Yusuf Al-Qardhawi, 2001
i. Fanatic terhadap satu pendapat ;menegasikan pendapat orang lain.
ii. Abai terhadap historisitas islam. “Madinah”
iii. Harfiah dalam memahami teks  anti tafsir; anti hermenetik
iv. Abai dalam menimbang tujuan sesensial syariat (maqasid al-syari’at)
b. Imam Fauzie Ghifari, Jurnal of Islam & Social Studies, Vol.2 No.1, 2016
i. Kleim kebanaran tunggal.
ii. Menganggap yang sunah seakan wajib; dan makruh seakan haram.
iii. Overdosis agama. dalam dakwah abai thdp metode gradual, tdk
sebgmana dilakukan nabi. Qardhawi menyebutnya ghuluw.
iv. Syu’udhan thdp orang luar golongannya.
v. Takfiri -- identic dengan khawarij, maksiat itu kafir, demokrasi itu kafir,
mengkafirkan ulama yang tak mengkafirkan demokrasi.
6. Dalam faham hakimiyah menegaskan bahwa Allah dalam penerapan dan pembuatan
hukum serta kekuasaan; semua legeslasi dan pranata harus diambil dari Allah. “la
hukum ila Allah” (tidak ada hukum kecuali dari Allah). Undang-undang ditetapkan
oleh pemegang hakimiyah; kedaulatan di tangan Allah. Istilah ‘hakimiyah’
diperkenalkan oleh Abu al A’la Maududi, dipoles oleh Sayyid Qutb, pada 14 Hijriyah.
Diantara konsekwensi Hakimiyah adalah kehilangan pembeda analitik antara an-
nizm al islam dengan islam.
7. Radikalisme acap dialamatkan kepada paham wahabi. Meskipun hal ini kontroversi,
karena paham ini sendiri ‘ber-evolusi’. Wahabi dalam dlm pembahasan ini merujuk
pada narasi Khaled Abou Fadl (2015). Wahabi dibangun oleh Ibn ‘Abd al Wahab (W.
1206 H/1792 M).Gagasan dasar: mengembalikan ajaran agama kepada ‘asli’-nya,
karena selama ini telrah tercemar.
a. Mencurigai segala pengaruh yang bukan dari Arab, seperti Sufisme dari
Persia; tawasul dan memuja makam suci dari Turki; Rasionalisme dari
Yunani;
b. Menyikapi teks agama (Al Qur’an dan Sunah) sbg instruksi manual.
Mengabaikan madzhab. Memedomani madzhab dipandang sbg bid’ah atau
kuffar.

Anda mungkin juga menyukai