CRIME
1. Ordinary crimes atau kejahatan biasa dan extraordinary crimes atau kejahatan luar
biasa adalah dua jenis tindakan kejahatan yang dibedakan berdasarkan dampak
yang ditimbulkannya terhadap korban.
Ordinary crimes atau kejahatan biasa adalah tindak kejahatan yang relatif tidak
menimbulkan unsur yang memberatkan bagi sang pelaku atau korban yang
dikenakan tindakan tidak mengalami dampak psikologis yang berat.
Sementara itu, extra ordinary crimes atau kejahatan luar biasa adalah tindakan yang
dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang atau lembaga untuk
menghilangkan hak asasi yang dimiliki oleh manusia lain, sebagaimana yang telah
ditetapkan dan disetujui dalam Deklarasi HAM PBB serta dikategorikan sebagai
pelaggaran berat dan serius terhadap Hak Asasi Manusia dan penindakannya
berada dalam yurisdiksi Statuta Roma dan Pengadilan Kriminal Internasional.
2. Menurut ahli :
- Pasal 5 Statuta Roma 1998 yang menentukan bahwa kriteria daripada the most
serious crimes concern to international community adalah genosida, kejahatan
terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan agresi.
- Ford berpandangan bahwa kejahatan luar biasa yang dimaksud disini adalah
pelanggaran HAM berat. Extra ordinary crimes adalah suatu perbuatan yang
dilakukan dengan maksud untuk menghilangkan hak asasi umat manusia dan
menjadi yurisdiksi Peradilan Pidana Internasional, serta dapat dijatuhkannya
hukuman mati terhadap pelaku kejahatan tersebut.
- Sukardi menyebutkan bahwa extra ordinary crime sebagai suatu kejahatan yang
berdampak besar dan multi dimensional terhadap sosial, budaya, ekologi,
ekonomi dan politik yang dapat dilihat dari akibat-akibat dari suatu tindakan atau
perbuatan yang ditemukan dan dikaji oleh berbagai lembaga pemerintahan
maupun lembaga non pemerintahan, nasional maupun internasional.
- Menurut Winarno, extra ordinary crime bukan hanya berdampak buruk kepada
masalah ekonomi tetapi juga berdapak kepada ekologi, sosial dan budaya di
suatu negara
- Mar A. Drumbl menyebutkan extraordinary crime merupakan kejahatan ekstrem
yang secara kuantitatif berbeda dengan kejahatan pada umumnya. Kejahatan ini
bersifat serius, meluas dan masif serta menjadi musuh umat manusia
- Menurut Claude Pomerleau, pada intinya, kejahatan luar biasa adalah suatu
perilaku, perbuatan atau tindakan yang terencana, tersistematisasi dan
terorganisasi yang menargetkan sasarannya sebagian besar kepada individu dan
kelompok tertentu dengan alasan diskriminatif
2. Menurut (Clarke & Newman, 2006) penelitian telah menyimpulkan bahwa teroris
menghabiskan banyak waktu untuk memilih lokasi yang sesuai dengan niat tertentu.
Jadi, sama seperti teroris mencari tempat yang paling rentan sebagai target yang
mungkin, penting untuk mengidentifikasi tempat yang paling rentan untuk
memprioritaskan upaya SCP. Selain itu, karena teroris memiliki banyak tujuan yang
berbeda, jenis target yang mereka pilih akan sesuai dengan motivasi mereka.
3. Dalam kerentanan target, ketersediaan alat dan tingkat kondisi fasilitasi di suatu
daerah tertentu dapat berkontribusi besar. Empat pilar peluang (target, senjata, alat,
dan kondisi fasilitasi) dapat dikurangi melalui penerapan strategi SCP.
4. Penelitian yang dilakukan oleh Boba (2009) memecah pemeriksaan peluang
terorisme dan SCP menjadi tiga unit analisis / Unit of Analysis (UOA) yang meliputi:
target tertentu di bawah ancaman tertentu,
ancaman umum terhadap target tertentu,
ancaman umum terhadap target umum
5. Tujuan utama EVIL DONE adalah menjadi langkah pertama dalam mengidentifikasi
target yang rentan dengan mengidentifikasi fitur lokasi tertentu yang membuatnya
lebih rentan terhadap serangan (Clarke & Newman, 2006).
6. Elemen-elemen EVIL DONE meliputi:
Terekspose (exposed),
o Adalah kondisi target yang menarik perhatian
o Lokasi yang terbuka akan lebih menarik ketimbang yang tersembunyi di
antara banyak gedung
o Kondisi eksposed sangat tergantung pada kondisi lingkungan di sekitar
Penting (vital),
o Adalah kondisi target yang menarik perhatian
o Lokasi yang terbuka akan lebih menarik ketimbang yang tersembunyi di
antara banyak gedung
o Kondisi eksposed sangat tergantung pada kondisi lingkungan di sekitar
Ikonik (iconic),
o Ikonik mengacu pada nilai simbolis dari lokasi tertentu.
o Simbol yang mewakili kekuatan dan persatuan bangsa menarik bagi
teroris yang berusaha merusak kekuatan negara secara kiasan
o Semakin kuat simbol yang direpresentasi oleh target maka akan semakin
besar dampak yang ditimbulkannya jika diserang
Sah (legitimate),
o Sasaran yang sah termasuk yang akan menimbulkan reaksi positif dari
para pendukung teroris atau organisasi teroris.
o Konsisten dengan gagasan bahwa teroris adalah makhluk rasional,
mereka berusaha untuk memaksimalkan bala bantuan positif dan
menghindari kecaman, atau konsekuensi negatif.
o Oleh karena itu, teroris mencari sasaran yang akan dianggap sah, yang
biasanya mencakup lokasi perumahan pejabat militer dan pemerintah.
Yg dpt dirusak (destructble),
o Destructible mengacu pada kemampuan untuk menghancurkan target /
lokasi atau membunuh orang yang ditargetkan.
o Meskipun semua target dapat dirusak dengan cara tertentu, beberapa
lokasi lebih tahan lama daripada yang lain, dan beberapa orang lebih
terlindungi daripada yang lain.
o Dengan demikian, elemen Destructible mengacu pada "jumlah dan
aksesibilitas senjata yang dibutuhkan untuk menghancurkan target"
(Boba, 2009, p.14)
Ditempati (Occupied),
o Target yang ditempati termasuk yang menampung banyak orang.
o Teroris secara khas berusaha menyakiti sebanyak mungkin orang untuk
memperkuat tujuan mereka (meningkatkan ketakutan, meningkatkan
legitimasi, dll.).
o Lokasi dengan kepadatan penduduk yang tinggi memberikan peluang
terbesar bagi teroris untuk melakukan kerusakan besar dan menimbulkan
ketakutan di antara komunitas yang menjadi sasaran.
o Elemen Occupied bergantung pada waktu karena beberapa lokasi
mungkin sangat padat hanya selama waktu-waktu tertentu dalam sehari
atau periode-periode tertentu dalam setahun.
Dekat (near),
o Dekat mengacu pada jarak dari lokasi ke rumah teroris atau tempat
tinggal organisasi teroris.
o Teori pola kejahatan dan studi kriminologi telah menekankan bahwa
pelaku lebih memilih target yang lebih dekat dengan rumah dan jarang
melakukan perjalanan jauh untuk melakukan kejahatan.
o Teori ini berlaku untuk terorisme karena teroris lebih menyukai peluang di
lokasi yang mereka kenal dan membutuhkan lebih sedikit perjalanan.
o Target yang berada di dekat rumah tidak hanya lebih mudah diserang,
tetapi juga lebih mudah untuk dihindarkan
Mudah (easy)
o Sasaran mudah termasuk mereka yang terlindungi lemah atau dapat
diakses oleh publik.
o Ini mengacu pada upaya yang diperlukan untuk mendapatkan akses ke
lokasi berdasarkan tindakan pengamanan yang disediakan
o Target yang dipersepsi mudah adalah persetujuan tidak diperlukan yang
besar untukmendekati atau memasukinya dan untuk melakukan serangan
terhadap target tersebut
Menurut Clarke & Newman (2006), semakin banyak elemen yang diterapkan pada
suatu lokasi maka semakin rentan sasarannya terhadap terorisme.
7. Untuk pengukurannya meliputi hal-hal berikut:
a. Setiap target dapat dialkukan asesmen kerentanan berdasarkan masing-
masing elemen
b. Masing-masing elemen dapat ditemukan indikatornya
c. Masing-masing indicator dapat diberikan skor (1 sd 10)
d. Total skor masing-masing elemen kemudian diakumulasi untuk memberikan
penilaian tingkat kerentanan
e. Tingkat kerentanan dapat digunakan sebagai landasan untuk merancang dan
menentukan pola pengamanan serta sumber daya yang diperlukan
PENDANAAN TERORISME DAN PENCUCIAN UANG
Manajemen Risiko
1. Pimpinan selaku pengambil keputusan memiliki 2 masalah besar, yakni risiko dan
ketidakpastian. Estimasi hasil (output/outcome) belum tentu sesuai dengan yang
diharapkan. Hal tersebut disebabkan faktor-faktor tertentu yang sesungguhnya dapat
diramal / diprediksi.
2. Penilaian Risiko dari Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP) sesuai dengan
PP No. 60 Tahun 2008 dan Perkap nomor 9 tahun 2011 tentang Manajemen
Operasi Kepolisian.
a. Pasal 3
Prinsip-prinsip dalam Manajemen Operasi Kepolisian, meliputi: akuntabilitas,
yaitu segala upaya dan tindakan yang dilaksanakan harus dapat
dipertanggungjawabkan; efektif dan efisien, yaitu segala upaya dan tindakan
yang dilaksanakan dengan mempertimbangkan keseimbangan yang wajar
antara hasil yang akan dicapai dengan upaya, sarana prasarana dan
anggaran yang digunakan;
b. Pasal 4
Pedoman dasar manajemen operasi kepolisian, meliputi:penetapan sasaran;
waktu operasi; penentuan CB; pelibatan kekuatan; dukungan anggaran; dan
pengawasan dan pengendalian.
c. Pasal 5
Penetapan sasaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a,
merupakan kegiatan yang direncanakan berdasarkan perkiraan khusus
(Kirsus) intelijen, selanjutnya ditetapkan sasaran atau objek yang akan
dihadapi.
d. Pasal 7
Penentuan CB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf c, merupakan
urutan tindakan yang dipilih dalam pelaksanaan operasi kepolisian dengan
memperhatikan risiko kegagalan yang paling kecil.
3. Posisi manajemen resiko pada SPIP digambarkan sebagai berikut:
4. Tahap penilaian resiko adalah sebagai berikut:
a. Penetapan tujuan (tujuan tingkat kegiatan)
b. Identifikasi risiko (sumber risiko internal & eksternal)
c. Analisis risiko (pengaruh / dampak risiko terhadap pencapaian tujuan
5. Respon terhadap risiko adalah sebagai berikut:
a. Avoidance: pencegahan terjadinya resiko
b. Transfer: pengalihan resiko dan responnya ke pihak lain. Contoh: asuransi
c. Mitigation: pengurangan probabilitas terjadinya resiko dan/atau pengurangan
nilai resiko
d. Acceptance: penerimaan resiko beserta konsekuensi. Contoh: contingency
plan
6. 2 dimensi risiko adalah sebagai berikut:
a. Risiko retrospektif (retrospective risks) adalah risiko-risiko yang sebelumnya
telah terjadi
b. Risiko prospektif (prospective risks) biasanya lebih sulit untuk diidentifikasi.
Risiko ini adalah sesuatu yang belum terjadi, tetapi mungkin terjadi beberapa
waktu yang akan datang.
7. Tujuan analisis risiko adalah mendapatkan/memperoleh hal-hal berikut:
a. Hasil identifikasi risiko
b. Probabilitas / frekuensi risiko
c. Dampak dan besaran risiko
d. Status dan pemetaan risiko
e. Menentukan respon risiko
f. Memberikan informasi kepada pimpinan
1. Definisi Deradikalisasi :
a. Deradikalisasi berasal dari kata “radikal” denga imbuhan “de” yang berarti
mengurangi atau mereduksi, dan kata “asasi”, dibelakang kata radikal berarti
proses, cara atau perbuatan. Jadi deradikalisasi adalah suatu upaya
mereduksi kegiatan-kegiatan radikal dan menetralisasi paham radikal bagi
mereka yang terlibat teroris dan simpatisannya serta anggota masyarakat
yang telah terekspose paham-paham radikal teroris, (Deradikalisasi
Nusantara, ASB).
b. Deradikalisasi merupakan semua upaya untuk mentransformasi dari
keyakinan atau ideologi radikal menjadi tidak radikal dengan pendekatan
multi dan interdisipliner (agama, sosial, budaya, dan selainnya) bagi orang
yang terpengaruh oleh keyakinan radikal. Atas dasar itu, deradikalisasi lebih
pada upaya melakukan perubahan kognitif atau memoderasi pemikiran atau
keyakinan seseorang. Dengan demikian, deradikalisasi memiliki program
jangka panjang. Ia bekerja di tingkat ideologi dengan tujuan mengubah
doktrin dan interpretasi pemahaman keagamaan teroris (Barrett & Bokhari,
2009; Boucek, 2008; Abuza, 2009).
c. Sebagai program kegiatan, implementasi deradikalisasi dapat berbentuk
upaya identifikasi, rehabilitasi, reedukasi, dan resosialisasi bagi individu atau
kelompok masyarakat yang terpengaruh oleh keyakinan radikal dengan
mengedepankan prinsip pemberdayaan, Hak Asasi Manusia, supremasi
hukum dan kesetaraan.
d. Deradikalisasi mempunyai makna yang luas, mencakup hal-hal yang bersifat
keyakinan, penanganan hukum, hingga pemasyarakatan sebagai upaya
mengubah "yang radikal" menjadi "tidak radikal". Oleh karena itu
deradikalisasi dapat dipahami sebagai upaya menetralisir paham radikal bagi
mereka yang terlibat aksi terorisme dan para simpatisannya, hingga
meninggalkan aksi kekerasan. (Ismail Hasani dan Bonar Tigor Naipospos)
2. Tujuan deradikalisasi secara umum adalah Membuat para teroris atau kelompok
yang melakukan kekerasan bersedia meninggalkan atau melepaskan diri mereka
dari aksi dan kegiatan terorisme. Kemudian secara khusus ada 3 yaitu :
a. Membuat para teroris mau meninggalkan aksi terorisme dan kekerasan.
b. Kelompok radikal mendukung pemikiran yang moderat dan toleran.
c. Kaum radikalis dan teroris dapat mendukung program-program nasional
dalam membangun kehidupan berbangsa dan bernegara dalam bingkai
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
3. 2 sasaran utama deradikalisasi adalah :
a. Kelompok inti dan militan meninggalkan cara-cara kekerasan dan teror dalam
memperjuangkan misinya.
b. Kelompok inti, militian dan pendukung memoderasi paham paham radikal
mereka sejalan dengan semangat kelompok moderat dan cocok dengan
misi-misi kebangsaan yang memperkuat NKRI.
4. Adapun tahapan pelaksanaan deradikalisasi di Indonesia dirumuskan sebagai suatu
program yang utuh, integratif dan berkesinambungan. 2 ranah deradikalisasi adalah:
a. Deradikalisasi di luar lapas mencakup tahap identifikasi, pembinaan kontra
radikalisasi, dan monitoring dan evaluasi.
b. Deradikalisasi di dalam lapas meliputi tahap identifikasi, rehabilitasi,
reedukasi, resosialisasi, dan monitoring dan evaluasi.
5. Deradikalsisasi bukan hanya kewajiban pemerintah dan aparat yang berwenang,
namun diwujudkan dalam suatu Program yakni:
a. Pelibatan dan kerja sama dengan masyarakat umum
b. Pelaksanaan program khusus dalam penjara
c. Program pendidikan
d. Pengembangan dialog lintas budaya
e. Pengupayaan keadilan sosial dan ekonomi
f. Kerja sama global dalam penanggulangan terorisme
g. Pengawasan terhadap cyber terrorism
h. Perbaikan perangkat perundang-undangan
i. Program rehabilitasi
j. Pengembangan dan penyebaran informasi baik regional
k. Pelatihan serta kualifikasi para agen yang terlibat dalam
l. melaksanakan kebijkan kontra-radikalisasi
6. Proses radikalisasi adalah proses pemahaman atau pola pikir yang mengesahkan
adanya pemberlakuan aksi kekerasan, Maka yang harus dilakukan adalah
memperbaiki pemikiran itu sesuai dengan latar belakang yang membentuknya
melalui pendekatan-pendekatan yang berbeda berdasarkan atas faktor penyebabnya
masing-masing. Dengan demikian, memerangi terorisme melalui program
deradikalisasi tentu akan berbeda di setiap wilayah dan di setiap negara.
7. Lembaga Pemasyarakatan dalam upaya deradikalisasi masih banyak ditemui
berbagai permalahan, diantaranya adalah sebagai berikut:
a. Baru memilii program formal yang sifatnya reguler untuk seluruh narapidana,
namun tidak ada program pembinaan khusus untuk napi teroris
b. Peran lapas dalam pemantauan dan pemberdayaan mantan napi teroris pada
saat berinteraksi dengan lingkungan sosial (diluar lapas) belum optimal
c. Sejalan dengan hal tersebut, dari penelitian yang dilakukan oleh Institute For
International Peace Building di 13 Lembaga Pemasyarakatan yang
melakukan pembinaan terhadap narapidana terorisme, menunjukkan bahwa
telah ada upaya mengarah pada deradikalisasi terhadap narapidana
terorisme,namun belum menjadi program yang standart, sistematis dan
menyeluruh di Lembaga Pemasyarakatan di Indonesia. Oleh karena itu
belum menunjukkan hasil yang diharapkan. Justru yang terjadi sebagian
narapidana melakukan kontra deradikalisasi.
d. Indikatornya adalah dari sejumlah 600 orang narapidana terorisme yang
sudah bebas/keluar dari lembaga pemasyarakatan, 90 orang (15%)
diantranya melakukan pengulangan tindak pidana terorisme (Recidivist).
8. Contoh pembuatan daftar risiko dan status risiko :
DAFTAR RISIKO
STATUS RISIKO