Anda di halaman 1dari 28

MAKALAH

“ KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN TETANUS


NEONATORUM”

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Kegawatan Maternal dan
Neonatal

Dosen pengampu: Rus Andraini, A.Kp, M.P.H

Disusun oleh:

Apriliani Salamatussa’diyah ( P07220117043 )

Hary Handika Pratama ( P07220117051 )

Nelvia Ivanka ( P07220117061 )

Ratu Alkhar S ( P07220117068 )

Susi Indrieni ( P07220117075 )

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES KALIMANTAN


TIMUR

JURUSAN KEPERAWATAN PRODI DIII KEPERAWATAN

KELAS BALIKPAPAN

TAHUN AJARAN

2017/2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan

rahmat, karunia, serta taufik, dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah

tentang “ Konsep asuhan keperawatan Tetanus Neonatorum“ Meskipun masih

banyak kekurangan didalamnya.

Dan juga berterima kasih atas beberapa pihak yang telah membantu dan

memberi tugas ini kepada kami. Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna

dalam rangka menambah wawasan serta pengetahuan kita mengenai Konsep asuhan

keperawatan Tetanus Neonatorum dan beberapa hal yang bersangkutan dengan

materi tersebut. Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa didalam makalah ini

terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu kami berharap

adanya kritik, saran, dan usulan demi perbaikan makalah yang telah kami buat

dimasa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran

yang membangun.

Balikpapan, 16 Februari 2018

Penyusun

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...................................................................................................................1
DAFTAR ISI...............................................................................................................................2
BAB I........................................................................................................................................4
PENDAHULUAN.......................................................................................................................4
A. Latar Belakang.............................................................................................................4
B. Tujuan Penulisan.........................................................................................................6
C. Sistematika penulisan..................................................................................................6
BAB II.......................................................................................................................................7
PEMBAHASAN.........................................................................................................................7
I. KEJANG / SPASME.......................................................................................................7
A. Definisi Kejang /Spasme..........................................................................................7
B. Etiologi....................................................................................................................7
C. Patofiolosgi.............................................................................................................8
D. Manifestasi Klinik...................................................................................................9
E. Klasifikasi.............................................................................................................10
F. Pemeriksaan Penunjang.........................................................................................13
G. Penatalaksanaan & Pengobatan.............................................................................14
II. TETANUS NEONATORUM..........................................................................................15
A. Definisi Tetanus Neonatorum................................................................................15
B. Etiologi..................................................................................................................16
C. Patofisiologi..........................................................................................................16
D. PATHWAY...........................................................................................................17
E. Manifestasi klinis..................................................................................................18
F. Komplikasi............................................................................................................18
G. Pemeriksaan Penunjang.........................................................................................18
H. Penatalaksanaan dan Pengobatan Tetanus Neonatorum........................................18

2
I. Pencegahan............................................................................................................19
III. Asuhan Keperawatan pada Bayi dengan Tetanus Neonatorum............................20
1. Pengkajian keperawatan...........................................................................................20
2. Diagnosa Keperawatan..............................................................................................21
3. Intervensi Keperawatan............................................................................................22
BAB III....................................................................................................................................26
PENUTUP...............................................................................................................................26
1. Kesimpulan................................................................................................................26
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................................27

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Bayi baru lahir atau neonatus meliputi umur 0-28 hari. Kehidupan pada
masa neonatus ini sangat rawan, karena memerlukan penyesuaian fisiologik agar
bayi di luar kandungan dapat hidup sebaik-baiknya. Hal ini dapat dilihat dari
tingginya angka kesakitan dan angka kematian neonatus. Diperkirakan 2/3
kematian bayi di bawah umur satu tahun terjadi pada masa neonatus. Peralihan
dari kehidupan intrauterine ke ekstrauterin memerlukan berbagai perubahan
biokimia dan fungsi.
Bayi resiko tinggi adalah bayi yang mempunyai kemungkinan lebih besar
untuk menderita sakit atau kematian dari pada bayi lain.Istilah bayi resiko tinggi
digunakan untuk menyatakan bahwa bayi memerlukan perawatan dan pengawasan
yang ketat.pengawasan dapat dilakukan beberapa jam sampai beberapa hari.Pada
umumnya resiko tinggi terjadi pada bayi sejak lahir sampai usia 28 hari yang
disebut neonatus. Hal ini disebabkan kondisi atau keadaan bayi yang berhubungan
dengan kondisi kehamilan,persalinan,dan penyesuaian dengan kehidupan diluar
rahim.
Kejang & Teonatus Neonatorum sebagian dari kejadian prevalensi bayi
dengan resiko tinggi meningkat. Kejang dan spasme merupakan keadaan
emergensi atau tanda bahaya yang sering terjadi pada BBL, karena kejang dapat
mengakibatkan hipoksia otak yang cukup berbahaya bagi kelangsungan hidup
bayi atau dapat mengakibatkan sekuele dikemudian hari. Disamping itu kejang
dapat merupakan tanda atau masalah dari satu masalah atau lebih. Sekitar 70-80%
BBL secara klinis tidak tampak kejang, namun secara elektrografik masih
mengalami kejang. Karena sulitnya mengenal bangkitan kejang pada BBL, angka
kejadian sesungguhnya tidak diketahui.
Meskipun demikian angka kejadian di Amerika Serikat berkisar antara 0.8-
1.2 setiap 1000 BBL pertahun, sedang pada kepustakaan lain menyebutkan 1-5%
bayi pada bulan pertama mengalami kejang. Insidensi meningkat pada bayi

4
kurang bulan sebesar 57.5-132 dibanding bayi cukup bulan sebesar 0.7-2.7 setiap
1000 kelahiran hidup. Pada kepustakaan lain menyebutkan bahwa insidensi 20%
pada bayi kurang bulan dan 1.4% pada bayi cukup bulan.
Tetanus Neonatorum merupakan tetanus yang terjadi pada bayi yang dapat
disebabkan adanya infeksi melalui tali pusat yang tidak bersih. Kematian tetanus
sekitar 45 – 55 %, sedangkan pada tetanus neonatorum sekitar 80%. Terdapat
hubungan terbalik antara lamanya masa inkubasi dengan beratnya penyakit.
Resiko kematian sekitar 58 % pada masa inkubasi 2 – 10 hari, dan 17 – 35 % pada
masa inkubasi 11 – 22 hari. Bila interval antara gejala pertama dengan timbulnya
kejang cepat, prognosis lebih buruk.
Berdasarkan hasil survey dilaksanakan oleh WHO di 15 negara di Asia,
Timur Tengah dan Afrika pada tahun 1978 –1982 menekankan bahwa penyakit
Tetanus Neonatorum banyak dijumpai daerah pedesaan negara berkembang
termasuk Indonesia yang memiliki angka Proporsi kematian Neonatal akibat
penyakit Tetanus Neonatorum mencapai 51 %. Pada kasus Tetanus Neonatorum
yang tidak dirawat, hampir dapat dipastikan CFR akan mendekati 100%, terutama
pada kasus yang mempunyai masa inkubasi kurang dari 7 hari.

Sehubungan dengan hal tersebut diatas serta melihat peran dan fungsi perawat
sangatlah penting dalam hal memperbaiki derajat kesehatan khususnya masalah
Kejang & Tetanus Neonatorum pada anak. Dalam hal pelaksanaan Asuhan
Keperawatan meliputi aspek promotif (memberikan penyuluhan kesehatan untuk
meningkatkan status kesehatan), preventif (pencegahan), kuratif (memberikan
obat-obatan untuk mengobati penyebab dasar), rehabilitatif (dokter, perawat dan
peran serta keluarga dalam perawatan pasien).

Berdasarkan hal tersebut di atas maka penulis tertarik memilih judul


“Asuhan Keperawatan Anak Dengan Kejang & Tetanus Neonatorum”.

5
B. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui bagaimana asuhan keperawatan pada anak dengan gangguan
Kejang & Tetanus Neonatorum.
2. Tujuan Khusus
Tujuan khusus dalam makalah ini , mahasiswa mengetahui :
a. Definisi Kejang & Tetanus Neonatorum.
b. Etiologi Kejang & Tetanus Neonatorum.
c. Patofisiologi Kejang & Tetanus neonatorum.
d. Manifestasi Kejang & Tetanus neonatorum.
e. Komplikasi Kejang & Tetanus Neonatorum.
f. Pemeriksaan Penunjang pada Kejang & Tetanus Neonatorum.
g. Penatalaksanaan dan pengobatan Kejang & Tetanus Neonatorum.
h. Pencegahan Kejang & Tetanus Neonatorum

C. Sistematika penulisan
Adapun sistematika penulisan dalam makalah ini adalah terdiri dari 3
BAB,yaitu :
BAB I : Pendahuluan yang terdiri dari latar belakang, tujuan penulisan, ruang
lingkup, metode penulisan dan sistematika penulisan.
BAB II :Tinjauan teoritis yang meliputi pengertian, etiologi, patofisiologi,
Manisfestasi klinik
BAB III : Penutup meliputi kesimpulan dan saran tingkat tentang Asuhan
Keperawatan Anak dengan Tetanus Neonatorum, Daftar Pustaka

6
BAB II
PEMBAHASAN

I. KEJANG / SPASME
A. Definisi Kejang /Spasme
Kejang pada BBL secara klinis adalah perubahan proksimal dari fungsi
neurologik (misalnya perilaku, sensorik, motorik, dan fungsi autonom sistem
syaraf yang terjadi pada bayi berumur sampai dengan 28 hari. (Kosim,
Soleh:2008).
Kejang merupakan pergerakan abnormal atau perubahan tonus badan dan
tungkai. Kejang yang terjadi pada bayi baru lahir adalah kejang yang terjadi pada
bayi baru lahir sampai dengan usia 28 hari. Kejang pada BBL merupakan keadaan
darurat karena kejang merupakan suatu tanda adanya penyakit sistem saraf pusat
(SSP), kelainan metabolik atau penyakit lain. Kejang pada bayi baru lahir sering
tidak dikenali karena berbeda dengan kejang pada anak dan dewasa. Hal ini
disebabkan karena ketidakmatangan organisasi korteks pada bayi baru lahir.
Kejang umum tonik – klonik jarang pada bayi baru lahir. Pada prinsipnya,
setiap gerakan yang tidak biasa apabila berlangsung berulang-ulang dan
periodik,harus dipikirkan manifestasi kejang. Kejang yang berulang menyebabkan
berkurangnya oksigenisasi, ventilasi dan nutrisi otak. Semua jenis infeksi yang
bersumber di luar susunan saraf pusat yang menimbulkan demam dapat
menimbulkan kejang demam. Penyakit yang paling sering menimbulkan kejang
demam antara lain: infeksi saluran pernapasan atas, otitis media akut, pnemonia,
gastroenteritis akut, exantema subitum, bronchitis, dan infeksi saluran kemih.

B. Etiologi
Beberapa penyebab kejang pada bayi baru lahir, diantaranya :
1. Komplikasi perinatal
Dapat berupa hipoksi-iskemik ensefalopati; biasanya kejang timbul pada 24
jam pertama kelahiran, perdarahan intrakranial, dan trauma susunan saraf

7
pusat yang dapat terjadi pada persalinan presentasi bokong, ekstrasi cunam
atau ekstrasi vakum berat
2. Kejang bayi dengan asfiksia
Disertai kelainan metabolisme seperti hipoglikemia, hipokalsemia,
hipomagnesemia, hiponatremia, dan hipernatremia. Hiperbilirubinemia,
ketergantungan piridoksin, dan kelainan metabolisme asam amino. Kejang
dengan penyebab ini dapat terjadi 24-48 jam pertama.
3. Kejang yang terjadi pada hari ke-7 hingga hari ke-10
Dapat disebabkan adanya infesi dari bakteri dan virus seperti TORCH dan
Tetanus Neonatorum.

C. Patofiolosgi
Dalam Buku Ajar Neonatologi, mekanisme dasar terjadinya kejang akibat
loncatan muatan listrik yang berlebihan dan sinkron pada otak atau depolarisasi
otak yang mengakibatkan gerakan yang berulang. Terjadinya depolarisasi pada
syaraf akibat masuknya natrium dan repolarisasi terjadi karena keluarnya kalium
melalui membrane sel. Untuk mempertahankan potensial membrane memerlukan
energi yang berasal dari ATP dan tergantung pada mekanisme pompa yaitu
keluarnya Natrium dan masuknya Kalium.
Dalam keadaan normal, membran sel neuron dapat dilalui oleh ion K, ion
Na, dan elektrolit seperti Cl. Konsentrasi K+ dalam sel neuron lebih tinggi
daripada di luar sel, sedangkan konsentrasi Na+ di dalam sel lebih rendah
daripada di luar sel. Karena perbedaan jenis dan konsentrasi ion di dalam dan di
luar sel maka terdapat perbedaan potensial membran.
Pada keadaan demam, kenaikan suhu 1 derajat celcius akan menyebabkan
metabolisme basal meningkat 10 – 15% dan kebutuhan oksigen meningkat 20%.
Jadi pada kenaikan suhu tertentu dapat terjadi perubahan keseimbangan dari
membran dan dalam waktu yang singkat terjadi difusi dari ion kalium maupun
natrium melalui membran, dengan akibat terjadinya lepas muatan listrik. Lepas
muatan listrik ini sedemikian besarnya sehingga dapat meluas ke seluruh sel

8
maupun ke membran sel lainnya dengan bantuan bahan yang disebut
neurotransmitter sehingga terjadi kejang.

D. Manifestasi Klinik
Manifestasi klinik kejang pada bayi baru lahir sangat berbeda dengan kejang
pada anak yang lebih besar bahkan bayi kurang bulan dengan cukup bulan.
Perbedaan ini karena susunan neuroanatomik, fisiologis dan biokimia pada
berbagai perkembangan otak berlainan. Meskipun komponen korteks bayi baru
lahir relatif lengkap tetapi sinaps aksodendrit masih kurang dan meilinisasi sel
otak belum sempurna terutama antara kedua hemister. Gambaran klinis kejang
yang sering terjadi pada bayi baru lahir sebagai berikut :
1. Subtle
Bentuk kejang subtle lebih sering terjadi dibanding tipe kejang yang lain,
hampir kejang bayi baru lahir baik pada bayi kurang bulan maupun cukup bulan.
Manifestasi klinis berupa orofasial, termasuk deviasi mata, kedipan mata, gerakan
alis (lebih sering pada bayi kurang bulan) yang bergetar berulang-ulang, mata
yang tiba-tiba terbuka dengan bola mata terfiksasi ke satu arah (lebih sering pada
bayi kurang bulan) gerakan seperti menghisap, mengunyah, mengeluarkan air liur,
menjulurkan lidah, gerakan pada bibir, dan pergerakan ekstremitas.
2. Tonik
Kejang tonik biasanya terdapat pada bayi berat lahir rendah dengan masa
kehamilan kurang dari 34 minggu dan bayi-bayi dengan komplikasi perinatal
berat misalnya pada perdarahan intraventrikuler. Bentuk klinis kejang ini yaitu
pergerakan tonik satu ekstremitas atau pergerakan tonik umum.
a. Fokal : terdiri dari postur tubuh asimetris yang menetap dari badan atau
ekstremitas dengan atau tanpa adanya gerakan mata abnormal.
b. Kejang tonik umum : ditandai dengan fleksi tonik atau ekstensi leher, badan
dan ekstremitas, biasnya dengan ekstensi ekstremitas bawah juga.
3. Klonik
Kejang klonik seringnya merupakan petunjuk dari lesi fokal yang mendasari
seperti infark korteks, namun kejang klonik juga dapat disebabkan oleh sebab

9
metabolik. Bayi dengan kejang klonik biasanya tidak mengalami penurunan
kesadaran. Dikenal 2 bentuk :
a. Fokal : terdiri dari gerakan bergetardari satu atau dua ekstremitas pada sisi
unilateral dengan atau tanpa adanaya gerakan wajah. Gerakan ini pelan dan
ritmik dengan frekuensi 1-4 kali per detik.
b. Multifokal : kejang klonik pada bayibaru lahir dapat mempunyai lebih dari
satu fokus atau migrasi terdiri dari gerakan dari satu ekstermitas yang
kemudian secara acak pindah ke ekstremitas lainnya. Bentu kejang ini
biasanya terdapat pada gangguan metabolik. Kejang ini lebih sering dijumpai
pada bayi cukup bulan dengan berat lebih 2500 gram.
4. Mioklonik
Kejang mioklonik cenderung terjadi pada kelompok otot fleksor. Kejang
mioklonik terdiri atas :
a. Fokal : terdiri dari kontraksi cepat satu atau lebih otot fleksor ekstremitas atas.
b. Multifokal : terdiri dari gerakan tidak sinkron dari beberapa bagian tubuh
c. Umum : terdiri dari satu atau lebih gerakan fleksi massif dari kepala dan
badan dan adanya gerakan fleksi atau ekstensi dari ekstremitas.
Ketiga jenis kejang mioklonik sering dijumpai pada bayi kurang bulan saat sedang
tidur.

E. Klasifikasi
Tiap BBL mempunyai bentuk berbeda, tergantung jenis penyakit yang mendasari
dan berat ringan penyakitnya.
1. Berdasarkan lokasi kejang
Kejang motorik dapat berupa kejang fokal atau umum. Kejang fokal dicirikan
oleh gejala motorik atau sensorik dan termasuk gerakan yang kuat dari kepala
dan mata ke salah satu sisi, pergerakan klonik unilateral yang diawali dari
muka atau ekstremitas, atau gangguan sensorik seperti parestesi (kesemutan)
atau nyeri lokal pada suatu area. Sedangkan pada kejang umum, bisa
menyuluruh pada organ tubuh, dapat berlangsung bertahap maupun

10
bersamaan. Terkadang kejang ini tak dapat dideteksi atau tersamar, yaitu
memiliki ciri – ciri:
a. Hampir tidak terlihat
b. Menggambarkan perubahan tingkah laku
c. Bentuk kejang :
 Otot muka, mulut, lidah menunjukan gerakan menyeringai.
 Gerakan terkejut-kejut pada mulut dan pipi secara tiba-tiba
menghisap, mengunyah, menelan, menguap.
 Gerakan bola mata ; deviasi bola mata secara horisontal, kelopak mata
berkedip-kedip, gerakan cepat dari bola mata.
 Gerakan pada ekstremitas : pergerakan seperti berenang, mangayuh
pada anggota gerak atas dan bawah.
 Pernafasan apnea, BBLR hiperpnea.
 Untuk memastikan : pemeriksaan EEG.
2. Berdasarkan serangan pada otot
a. Kejang klonik, terdapat kontraksi otot secara ritmik. Ciri – ciri yang dapat
diperhatikan adalah:
1) Berlangsung selama 1-3 detik, terlokalisasi dengan baik, tidak disertai
gangguan kesadaran.
2) Dapat disebabkan trauma fokal.
3) BBL dengan kejang klonik fokal perlu pemeriksaan USG,
pemeriksaan kepala untuk mengetahui adanya perdarahan otak,
kemungkinan infark serebri.
4) Kejang klonik multifokal sering terjadi pada BBL, terutama bayi
cukup bulan dengan BB>2500 gram.
5) Bentuk kejang : gerakan klonik pada satu atau lebih anggota gerak
yang berpindah-pindah atau terpisah secara teratur, misal kejang
klonik lengan kiri diikuti kejang klonik tungkai bawah kanan.
b. Kejang tonik, dicirikan oleh peningkatan tonus arau kekakuan. Dapat
terjadi pada:

11
1) Terdapat pada BBLR, masa kehamilan kurang dari 34 minggu dan
pada bayi dengan komplikasi perinatal berat.
2) Bentuk kejang : berupa pergerakan tonik satu ekstremitas, pergerakan
tonik umum dengan ekstensi lengan dan tungkai, menyerupai sikap
deserebasi atau ekstensi tungkai dan fleksi lengan bawah dengan
bentuk dekortikasi.
c. Kejang tonik – klonik, merupakan kumpulan gejala kejang tonik dan
klonik.
d. Kejang mioklonik, ditandai dengan kontraksi otot seperti adanya kejutan.
Gerakan ekstensi dan fleksi lengan atau keempat anggota gerak yang
berulang dan terjadinya cepat, gerakan menyerupai refleks moro.
e. Kejang atonik, dicirikan oleh kelumpuhan atau kurangnya gerakan selama
kejang.
3. Berdasarkan sisi otak yang terkena
a. Lobus frontalis memiliki gejala kedutan pada otot tertentu.
b. Lobus oksipitalis memiliki gejala halusinasi kilauan cahaya.
c. Lobus parietalis memiliki gejala mati rasa atau kesemutan pada bagian
tubuh tertentu.
d. Lobus temporalis dengan gejala halusinasi gambaran dan perilaku repetitif
yang kompleks misalnya berjalan berputar – putar.
e. Lobus temporalis anterior memiliki gejala gerakan mengunyah, gerakan
bibir mecucu.
f. Lobus temporalis anterior sebelah dalam memiliki gejala halusinasi bau,
baik yang menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan.
4. Berdasarkan demam sebagai gejala penyerta
a. Kejang dengan demam, meliputi Kejang Demam dan non-Kejang
Demam. Bukan kejang demam (non-KD), yang diantaranya disebabkan
oleh infeksi intrakranial meningitis/ensefalitis, gangguan elektrolit berat
akibat dehidrasi, serangan epilepsi yang disertai demam, dan penyakit
dengan demam dan gerakan mirip kejang. Kejang demam terbagi menjadi
Kejang Demam Sederhana (KDS) dan Kejang Demam Kompleks (KDK).

12
1) KDS (simple febrile seizures)
Adalah bila kejang berlangsung kurang dari 15 menit dan tidak
berulang pada hari yang sama. Tidak menyebabkan kelumpuhan,
meninggal ataupun mengganggu kecerdasan. Resiko untuk menjadi
epilepsi dikemudian hari juga sangat kecil (2 – 3%). Resiko terbanyak
adalah berulangnya kejang demam, yang dapat terjadi pada 30 – 50%
anak – anak.
2) KDK (complex febile seizures atau complex partial seiuzures)
Adalah bila kejang hanya terjadi pada satu sisi tubuh, berlangsung
lama (lebih dari 15 menit) atau berulang dua kali atau lebih dalam satu
hari. Resiko untuk menjadi epilepsi dikemudian hari dan resiko
berulangnya kejang demam lebih tinggi dari KDS. Untuk anak yang
mengalami kelainan saraf yang nyata, dokter akan mempertimbangkan
untuk memberikan pengobatan dengan anti kejang selama 1 – 3 tahun.
b. Kejang tanpa demam dapat terjadi pada beberapa penyakit diantaranya:
epilepsi (tanpa demam dan berulang), hipo/hiperglikemi, gangguan
elektrolit tanpa demam, keracunan, trauma, dan hipoksia.

F. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium
a. Pemeriksaan gula darah, elektrolit (natrium, kalsium, magnesium), amonia
dan laktat.
b. Pemeriksaan darah rutin : hemoglobin, hematokrit, trombosit, leukosit,
hitung jenis lekosit. Pemeriksaan darah rutin berkala penting untuk
memantau perdarahan intraventrikular.
c. Analisa gas darah
d. Analisa cairan serebrospinal.
e. Kadar bilirubin total/direk dan indirek.
2. Elektro Ensefalografi (EEG)
Pemeriksaan EEG pada kejang dapat membantu diagnosis kejang. Pada EEG
yang normal atau latar belakang dengan gelombang paku atau gelombang

13
tajam unifokal dapat diramalkna bayi akan normal dikemudian hari. Bayi
dengan EEG yang menunjukkan latar belakang abnormal dan terdapat
gelombang tajam multifokal atau dengan burts supression atau bentuk
isoelektrik mempunyai prognosis yang tidak baik.
3. Pencitraaan
Pemeriksaan pencitraan dilakukan berdasarkan indikasi :
a. USG kepala
Sonografi kepala dilakukan jika dicurigai adanya perdarahan intrakranial
atau untraventrikuler.
b. Skintigrafi kepala (CT-scan Cranium)
Pemeriksaan ini lebih sensitif dibanding sonografi untuk mengetahui
kelainan parenkim otak.
c. MRI
Pemeriksaan paling sensitif untuk mengetahui malformasi subtle yang
kadang tidak terdeteksi dengan pemeriksaan CT-scan Cranium.
4. Pemeriksaaan Lain
a. Foto Radiologi kepala, perlu dikerjakan apaabila pengukuran terdapat
lingkaran ya g lebih kecil atau lebih besar dari ukuran standar.
b. Uji tapis obat-obatan.

G. Penatalaksanaan & Pengobatan


1. Prinsip tindakan untuk mengatasi kejang
a. Menjaga jalan nafas tetap bebas
Penting sekali mengusahakan jalan napas yang bebas agar oksigenasi
terjamin. Tindakan yang dapat segera dilakukan adalah membuka semua
pakaian yang ketat. Kepala sebaiknya dimiringkan untuk menghindari
aspirasi isi lambung. Bisa juga dengan memberikan benda yang dapat
digigit guna mencegah tergigitnya lidah atau tertutupnya jalan napas.
b. Mengatasi kejang secepat mungkin
Untuk pertolongan pertama, bila suhu penderita meninggi, dapat dilakukan
kompres dengan air kran atau alkohol atau dapat juga diberi obat penurun

14
panas (antipiretik). Obat anti kejang seperti diazepam dalam sediaan
perectal dapat diberikan sesuai dengan dosis. Dosis tergantung dari BB,
BB <10kg diberikan 5mg dan BB >10kg rata-rata pemakaiannya 0,4 -
0,6mg/KgBB.
c. Mengobati penyebab kejang
Setelah penyebab kejang diketahui, dapat diberikan obat-obatan untuk
mengatasi penyebabnya. Misalnya kejang dikarenakan infeksi traktus
respiratori bagian atas, pemberian antibiotik yang tepat dapat mngobati
infeksi tersebut.
2. Penanganan kejang pada BBL
a. Bayi diletakan dalam tempat hangat, pastikan bayi tidak kedinginan, suhu
dipertahankan 36,5-37ᴼC.
b. Jalan nafas dibersihkan dengan tindakan penghisapan lendir diseputar
mulut, hisung dan nasofaring.
c. Pada bayi apnea, pertolongan agar bayi bernafas lagi dengan alat Bag to
Mouth Face Mask oksigen 2 liter/menit.
d. Obat antispasmodik/anti kejang : diazepam 0,5 mg/kg/supp/im setiap 2
menit sampai kejang teratasi dan luminal 30 mg im/iv.
e. Nilai kondisi bayi tiap 15 menit.
f. Bila kejang teratasi berikan cairan infus dextrose 10% dengan tetesan
60ml/kgBB/hr.

II. TETANUS NEONATORUM


A. Definisi Tetanus Neonatorum
Tetanus Neonatorum adalah penyakit tetanus pada bayi baru lahir dengan
tanda klinik yang khas, setelah 2 hari pertama bayi baru hidup, menangis dan
menyusu secara normal, pada hari ketiga atau lebih timbul kekakuan seluruh
tubuh dengan kesulitan membuka mulut dan menetek di susul dengan kejang-
kejang (WHO, 1989 ).
Tetanus Neonatorum merupakan tetanus yang terjadi pada bayi yang dapat
disebabkan adanya infeksi melalui tali pusat yang tidak bersih.Masih merupakan

15
masalah di indonesia dan di negara berkembang lain, meskipun beberapa tahun
terakhir kasusnya sudah jarang di indonesia. Angka kematian tetanus neonatorum
tinggi dan merupakan 45 – 75 % dari kematian seluruh penderita tetanus.
Penyebab kematian terutama akibat komplikasi antara lain radang paru dan sepsis,
makin muda umur bayi saat timbul gejala, makin tinggi pula angka kematian.
(Maryunani, 2011)

B. Etiologi
Penyakit ini disebabkan oleh karena clostridium tetani yang bersifat
anaerob dimana kuman tersebut berkembang tanpa adanya oksigen. Tetanus pada
bayi ini dapat disebabkan karena tindakan pemotongan tali pusat yang kurang
steril, untuk penyakit ini masa inkubasinya antara 5 – 14 hari (Hidayat, 2008)

C.  Patofisiologi
Virus yang masuk dan berada dalam lingkungan anaerobit berubah menjadi
bentuk vegetatif dan berbiak sambil menghasilkan toksin dalam jaringan yang
anaerobit ini terdapat penurunan potensial oksidasi reduksi jaringan dan turunnya
tekanan oksigen jaringan akibat adanya pus, nekrosis jaringan, garam kalsium
yang dapat diionisasi. Secara intra aksonal toksin disalurkan ke sel syaraf yang
memakan waktu sesuai dengan panjang aksonnya dan aktifitas serabutnya.
Belum terdapat perubahan elektrik dan fungsi sel syaraf walaupun toksin telah
terkumpul dalam sel. Dalam sum-sum tulang belakang toksin menjalar dari sel
syaraf lower motorneuron keluksinafs dari spinal inhibitorineurin. Pada daerah
inilah toksin menimbulkan gangguan pada inhibitoritransmiter dan menimbulkan
kekakuan. ( Aang, 2011)

16
D. PATHWAY

PATHWAY TETANUS

Terpapar Kuman Clostridium Tetani


Stressor Keluarga
Eksotoksin
Khawatir kondisi
Pengangkutan Toksin melewati saraf anak yang sakit
motorik

Keluarga tidak
Gangguan sumsum OTAK Saraf Otonom mampu beradaptasi
tulang belakang terhadap situasi
Menempel pada Cerebral Mengenai saraf
Tonus Otot Meningkat Ganglionside simpatis
KETIDAKMAMPUAN
KOPING KELUARGA
Menjadi Kaku Kekakuan & kejang khas pada Menurunnya oksigen di
tetanus otak

Penurunan sirkulasi
Hilangnya keseimbangan tonus
otot Hipoksia Berat

Kekakuan Otot

PERFUSI PERIFER TIDAK


Sistem Pencernaan EFEKTIF
Sistem Pernafasan
Terganggu

Gangguan Nutrisi Ketidakefektifan jalan


nafas
DEFISIT NUTRISI
BERSIHAN JALAN
NAFAS TIDAK EFEKTIF

17
E. Manifestasi klinis
Tanda dan gejalanya meliputi :

1. Kejang sampai pada otot pernafasan


2. Leher kaku
3. Dinding abdomen keras
4. Mulut  mencucu seperti mulut ikan.
5. Suhu tubuh dapat meningkat. (Deslidel, 2011)

F. Komplikasi
1. Bronkopneumonia
2. Asfiksia akibat obstruksi sekret pada saluran pernafasan
3. Sepsis neonatorum.

G. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium didapati peninggian leukosit.
2. Pemeriksaan cairan otak biasanya normal
3. Pemeriksaan elektromiogram dapat memperlihatkan adanya lepas muatan unit
motorik secara terus-menerus . (Teddi, 2010)

H. Penatalaksanaan dan Pengobatan Tetanus Neonatorum


Penatalaksanaan tetanus neonatorum adalah perawatan tali pusat dengan alat –
alat yang steril. (Deslidel, 2011). Pengobatan tetanus ditujukan pada :

1. Netralisasi tosin yang masih ada di dalam darah sebelum kontak dengan
sistem saraf, dengan serum antitetanus (ATS teraupetik).
2. Membersihkan luka tempat masuknya kuman untuk menghentikan produksi
toksin.
3. Pemberian antibiotika penisilin atau tetrasiklin untuk membunuh kuman
penyebab.
4. Pemberian nutrisi, cairan dan kalori sesuai kebutuhan.
5. Merawat penderita ditempat yang tenang dan tidak terlalu terang.

18
6. Mengurangi serangan dengan memberikan obat pelemas otot dan sesedikit
mungkin manipulasi pada penderita. (Maryunani , 2010).

I. Pencegahan
1. Imunisasi aktif
Vaksinasi dasar dalam bentuk toksoid diberikan bersama vaksin pertusis dan
difteri ( vaksin DPT ). Kadar proteksi antibodi bertahan selama 5 – 10 tahun
sesudah suntikan “ booster “. Tetanus toksoid (TT) selanjunya diberikan 10
tahun kecuali bila mengalami luka yang beresiko terinfeksi, diberikan toksoid
bila suntikan terakhir sudah lebih dari 5 tahun sebelumnya atau bila belum
pernah vaksinasi. Pada luka yang sangat parah, suntikan toksoid diberikan bila
vaksinasi terakhir sudah lebih dari 1 tahun. Untuk mencegah tetanus
neonatorum, diberikan TT pada semua wanita usia subur atau wanita hamil
trimester III, selain memberikan penyuluhan dan bimbingan pada dukun
beranak agar memotong dan merawat tali pusat bayi dengan cara semestinya.
Dapat terjadi pembengkakan dan rasa sakit pada tempat suntikan sesudah
pemberian vaksin TT. (Maryunani, 2010)

2.   Imunisasi pasif
Diberikan serum anti tetanus (ATS Profilaksis) pada penderita luka yang
beresiko terjadi infeksi tetanus, bersama – sama dengan TT. (Maryunani,
2010)

19
III. Asuhan Keperawatan pada Bayi dengan Tetanus Neonatorum

1. Pengkajian keperawatan
1) Pengkajian
2) Riwayat kehamilan prenatal. 
Ditanyakan apakah ibu sudah diimunisasi TT
3) Riwayat natal ditanyakan. 
Siapa penolong persalinan karena data ini akan membantu
membedakan persalinan yang bersih/higienis atau tidak. Alat
pemotong tali pusat, tempat persalinan.
4) Riwayat postnatal. 
Ditanyakan cara perawatan tali pusat, mulai kapan bayi tidak
dapat menetek (incubation period). Berapa lama selang waktu antara
gejala tidak dapat menetek dengan gejala kejang yang pertama
(period of onset).
5) Riwayat imunisasi pada tetanus anak.
Ditanyakan apakah sudah pernah imunisasi DPT/DT atau TT
dan kapan terakhir
6) Riwayat psiko sosial.
a) Kebiasaan anak bermain di mana
b) Hygiene sanitasi
7) Pemeriksaan fisik.
Pada awal bayi baru lahir biasanya belum ditemukan gejala dari
tetanus, bayi normal dan bisa menetek dalam 3 hari pertama. Hari
berikutnya bayi sukar menetek, mulut “mecucu” seperti mulut ikan.
Risus sardonikus dan kekakuan otot ekstrimitas. Tanda-tanda infeksi
tali pusat kotor. Hipoksia dan sianosis.
Pada anak keluhan dimulai dengan kaku otot lokal disusul dengan
kesukaran untuk membuka mulut (trismus).

20
Pada wajah : Risus Sardonikus ekspresi muka yang khas akibat
kekakuan otot-otot mimik, dahi mengkerut, alis terangkat, mata agak
menyipit, sudut mulut keluar dan ke bawah.
Opisthotonus tubuh yang kaku akibat kekakuan otot leher, otot
punggung, otot pinggang, semua trunk muscle.
Pada perut : otot dinding perut seperti papan. Kejang umum, mula-
mula terjadi setelah dirangsang lambat laun anak jatuh dalam status
konvulsius.
Pada daerah ekstrimitas apakah ada luka tusuk, luka dengan nanah,
atau gigitan binatang
8) Tata laksana pasien tetanus
Umum
a. Mencukupi kebutuhan cairan dan nutrisi. Pemberian cairan
secara i.v., sekalian untuk memberikan obat-obatan secara
syringe pump (valium pump).
b. Menjaga saluran nafas tetap bebas, pada kasus yang berat
perlu tracheostomy.
c. Memeriksa tambahan oksigen secara nasal atau sungkup.
d. Kejang harus segera dihentikan dengan pemberian
valium/diazepam bolus i.v. 5 mg untuk neonatus, bolus i.v.
atau perectal 10 mg untuk anak-anak (maksimum 0.7 mg/kg
BB).
 

2. Diagnosa Keperawatan
a. Bersihan jalan nafas Tidak efektif b.d. terkumpulnya liur di dalam
rongga mulut (adanya spasme pada otot faring).
b. Defisit Nutrisi b.d. peningkatan kebutuhan kalori yang tinggi, makan
tidak adekuat.
c. Perfusi Perifer Tidak Efektif b.d. penurunan sirkulasi (hipoksia berat).

21
d. Ketidakmampuan Koping keluarga b.d. kurang pengetahuan keluarga
tentang diagnosis/prognosis penyakit anak

3. Intervensi Keperawatan
a. Bersihan jalan nafas Tidak efektif b.d. terkumpulnya liur di dalam
rongga mulut (adanya spasme pada otot faring)
Tujuan : kelancaran sirkulasi udara (pernafasan)terpenuhi
secaramaksimal.
Kriteria hasil :
a. Tidak terjadi aspirasi
b. Bunyi napas terdengar bersih
c. Rongga mulut bebas dari sumbatan
Intervensi :
1) Berikan O2 nebulizer
2) Ajarkan pasien tehnik batuk yang benar.
3) Ajarkan pasien atau orang terdekat untuk mengatur frekuensi
batuk.
4) Ajarkan pada orang terdekat untuk menjaga kebersihan mulut.
5) Berikan perawatan kebersihan mulut.
6) Lakukan penghisapan bila pasien tidak dapat batuk secara
efektif dengan melihat waktu.
b. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d. Peningkatan
kebutuhan kalori yang tinggi, intake yang tidak adekuat.
Tujuan : nutrisi dan cairan dapat dipertahankan sesuai dengan berat
badan dan pertumbuhan normal.
Kriteria hasil :
a. Tidak terjadi dehidrasi
b. Tidak terjadi penurunan BB
c. Hasil lab. tidak menunjukkan penurunan albumin dan Hb Tidak
menunjukkan tanda-tanda malnutrisi

22
Intervensi:
1. Catat intake dan output secara akurat.
2. Berikan makan minum personde tepat waktu.
3. Berikan perawatan kebersihan mulut.
4. Gunakan aliran oksigen untuk menurunkan distress nafas.
5. Berikan formula yang mengandung kalori tinggi dan protein
tinggi dan sesuaikan dengan kebutuhan.
6. Ajarkan dan awasi penggunaan makanan sehari-hari.
7. Tegakkan diet yang ditentukan dalam bekerja sama dengan
ahli gizi.
c. Perfusi Perifer Tidak Efektif b.d. Penurunan aliran arteri dan/atau
vena.
Tujuan :
Kriteria Hasil :
Mendemonstrasikan status sirkulasi yang ditandai dengan :
a. Tekanan systole dan diastole dalam rentang yang diharapkan
b. Tidak ada ortostatik hipertensi
c. Tidak ada tanda tanda peningkatan tekanan intrakranial (tidak
lebih dari 15 mmHg)
Mendemonstrasikan, kemampuan kognitif yang ditandai dengan :
a. Berkomunikasi dengan jelas dan sesuai dengan kemampuan
b. Menunjukkan perhatian, konsentrasi dan orientasi
c. Memproses informasi
d. Membuat keputusan dengan benar
Intervensi :
a. Monitor adanya paretese
b. lnstruksikan keluarga untuk mengobservasi kulit jika ada isi
atau laserasi
c. Gunakan sarung tangan untuk proteksi
d. Batasi gerakan pada kepala, leher dan punggung

23
e. Monitor kemampuan BAB
f. Kolaborasi pemberian analgetik
g. Monitor adanya tromboplebitis
h. Diskusikan menganai penyebab perubahan sensasi
d. Ketidakmampuan Koping keluarga b.d. kurang pengetahuan keluarga
tentang diagnosis/prognosis penyakit anak
Tujuan :
Kriteria Hasil :
a. Mampu mengatasi masalah keluarga
b. Mencari bantuan keluarga jika perlu
c. Mencapai stabilitas finansial untuk memenuhi kebutuhan
anggota keluarga
d. Mampu menyelesaikan konflik tanpa kekerasan
e. Memperlihatkan fleksibilitas peran
f. Mengungkapkan peningkatan kemampuan untuk melakukan
koping terhadap perubahan dalam struktur dan dinamika
keluarga
g. Mengungkapkan perasaan yang tidak terselesaikan
h. Identifikasi gaya koping yang bertentangan
i. Partisipasi dalam pengembangan dan implementasi rencana
perawatan

Intervensi :
a. Bantu ketuarga dalam mengenai masalah (misalnya
penatalaksanaan konflik kekerasan, kekerasan seksual)
b. Dorong partisipasi keluarga dalam semua pertemuan
kelompok
c. Dorong keluarga untuk memperlihatkan kekhawatiran dan
untuk membantu merencanakan perawatan pascahospitalisasi
d. Bantu memotivasi keluarga untuk berubah

24
e. Membantu pasien beradaptasi dengan persepsi stresor,
perubahan, atau ancaman yang menggangu pemenuhan
tuntutan dan peran hidup
f. Dukungan emosi : memberikan penenangan, penerimaan, dan
dorongan selama periode stress
g. Memfasilitasi partisipasi keluarga dalam perawatan emosi dan
fisik pasien
h. Dukungan keluarga : meningkatkan nilai, minat, dan tujuan
keluarga
i. Panduan Sistem Kesehatan : memfasilitasi Iokal pasien dan
penggunaan pelayanan kesehatan yang sesuai
j. Mendorong pasien ikut dalam aktivitas social dan komunitas
k. Mendorong pasien mencari dorongan spiritual, jika diperlukan
l. Bantu anggota keluarga dalam mengklarifikasi apa yang
mereka harapkan dan butuhkan satu sama lain

25
BAB III
PENUTUP

1. Kesimpulan
Dari uraian di atas, penulis dapat menarik kesimpulan yaitu:
Tetanus Neonatorum merupakan tetanus yang terjadi pada bayi yang
dapat disebabkan adanya infeksi melalui tali pusat yang tidak bersih.Penyakit
ini disebabkan oleh karena clostridium tetani yang bersifat anaerob dimana
kuman tersebut berkembang tanpa adanya oksigen dan pemotongan tali pusat
yang tidak steril.
Tanda dan gejala meliputi , Kejang sampai pada otot pernafasan, Leher
kaku, Dinding abdomen keras, Mulut  mencucu seperti mulut ikan dan  Suhu
tubuh dapat meningkat. Komplikasi dari penyakit Tetanus Neonatorum seperti
Bronkopneumonia, Asfiksia akibat obstruksi sekret pada saluran pernafasan,
Sepsis neonatorum. Pemeriksaan penunjangnya adalah pemeriksaan
laboratorium didapati peninggian leukosit,  pemeriksaan cairan otak biasanya
normal dan pemeriksaan elektromiogram.

26
DAFTAR PUSTAKA

Deslidel, hajjah. 2011. Buku ajar Asuhan Neonatus, Bayi dan Balita. Jakarta : EGC

Hidayat, Aziz Alimul A. 2008. Pengantar Ilmu keperawatan Anak 1. Jakarta :


Salemba Medika

Maryunani, Anik. 2010. Ilmu Kesehatan Anak Dalam Kebidanan. Jakarta : TIM

http://hasgurstika.blogspot.com/2011/01/askep-tetanus-neonatorum.html

27

Anda mungkin juga menyukai