Anda di halaman 1dari 15

Perbandingan PPI dan Antagonis Reseptor H2 Ditambah Prokinetik

Untuk Gejala Dismotility-Like Pada Dispepsia


World J Gastroenterol 2012 April 7; 18(13): 1517-1524
Masahiro Sakaguchi, Miyuki Takao, Yasuo Ohyama, Hiroshi Oka, Hiroshi Yamashita,
Takumi Fukuchi, Kiyoshi Ashida, Masahiro Murotani, Masuyo Murotani, Kazuo Majima,
Hiroshi Morikawa, Takashi Hashimoto, Keisuke Kiyota, Hirohiko Esaki, Kanji Amemoto,
Gouhei Isowa, Fumiyuki Takao

ABSTRAK
TUJUAN: Untuk membandingkan efikasi proton pump inhibitor (PPI) dengan antagonis
reseptor H2 (H2RA) ditambah prokinetik (Prok) untuk gejala dismotiliy-like pada dispepsia
fungsional (FD).
METODE: Subjek secara acak menerima pengobatan open label baik dengan rabeprazole 10
mg od (n = 57) atau famotidine 10 mg bid ditambah Mosapride 5 mg tid (n = 57) selama 4
minggu. Tujuan efikasi utama adalah perubahan (%) dari nilai awal pada total skor gejala
dismotility-like pada dispepsia. Sedangkan tujuan efikasi sekunder adalah kepuasan pasien
dengan pengobatan.
HASIL: Peningkatan skor gejala dismotility-like pada dispepsia pada hari ke-28 secara
signifikan lebih besar pada kelompok rabeprazole (22,5% ± 29,2% dari nilai awal)
dibandingkan dengan kelompok famotidine + mosapride (53,2% ± 58,6% dari nilai awal, P
<0,0001). Keuntungan superior pada pengobatan rabeprazole setelah 28 hari konsisten tanpa
memandang status Helicobacter pylori. Secara signifikan lebih banyak subjek pada kelompok
rabeprazole yang merasa puas atau sangat puas dengan pengobatan pada hari ke-28 daripada
kelompok famotidine + mosapride (87,7% vs 59,6%, P = 0,0012). Terapi rabeprazole adalah
satu-satunya prediktor yang signifikan pada respon pengobatan (P<0,0001), yang
didefinisikan sebagai peningkatan total skor gejala ≥ 50%.
KESIMPULAN: PPI monoterapi meningkatkan gejala dysmotility-like secara signifikan
lebih baik daripada H2Ra ditambah Prok, dan sebaiknya menjadi pengobatan lini pertama
untuk FD di Jepang.

Kata kunci: dismotilitas; Dispepsia fungsional; antagonis reseptor H2; prokinetik; Proton
pump inhibitor

PENDAHULUAN
Dispepsia fungsional (FD) adalah suatu kondisi yang ditandai dengan gejala perut
bagian atas yang persisten tanpa disertai adanya penyebab penyakit organik. Hal ini dianggap
terjadi karena kombinasi faktor-faktor yang berbeda, termasuk dismotilitas atau
hipersensitivitas traktus gastrointestinal (GI), sekresi asam lambung, radang mukosa
lambung, perubahan pada aktivitas simpatis atau parasimpatis, perubahan pada sekresi
hormon GI, dan faktor psikologis. Penatalaksanaan bervariasi sesuai dengan gejala, termasuk
di antaranya agen gastroprokinetik, supresor sekresi asam lambung, antidepresan, anxiolitik
dan obat-obatan herbal Cina. Meskipun telah terbukti bahwa sekresi asam lambung pada
pasien dengan FD normal, sebagian pasien akan merasakan manfaat dari supresi asam yang
kuat oleh proton pump inhibitor (PPI). Oleh sebab itu, inhibitor sekresi asam banyak
diresepkan untuk pasien dengan FD di seluruh dunia. Meskipun pengobatan dengan supresi
asam memberikan penurunan gejala pada sebuah proporsi pasien dengan FD, efek ini belum
dilaporkan secara konsisten pada semua studi. Sebuah penelitian di Jepang mensurvei
kebiasaan pemberian resep oleh dokter pelayanan primer untuk gejala GI fungsional dan
mengevaluasi efikasi dan indikasi obat yang diresepkan. Ditemukan bahwa antagonis
reseptor H2 (H2RA) adalah pengobatan pilihan pertama pada gejala ulcer-like seperti nyeri
epigastrium, dan prokinetik (Proks) untuk gejala dismotility-like seperti ketidaknyamanan
epigastrium, perasaan berat, dan kembung. Dengan kata lain, dokter pelayanan primer Jepang
lebih menyukai H2RA + terapi kombinasi prokinetik untuk gejala FD.
Untuk pasien FD dengan setidaknya rasa terbakar ringan dan/atau regurgitasi di awal,
omeprazole dikaitkan dengan tingkat keberhasilan terapi yang lebih tinggi pada 4 minggu
dibandingkan ranitidine, cisapride, dan plasebo. Pada pasien yang baik tanpa atau dengan
rasa terbakar minimal dan/atau regurgitasi di awal, omeprazole dan ranitidine lebih baik
dibandingkan plasebo, meskipun tidak ada perbedaan yang signifikan antara omeprazole dan
ranitidin. Pertanyaan apakah supresi asam yang lebih efektif memiliki efikasi pada pasien di
Jepang dengan FD belum diuji secara memadai.
Hal ini masuk akal untuk beranggapan bahwa H2RA memberikan efek penurunan
gejala yang memadai untuk FD pada pasien di Jepang, yang memiliki tingkat yang lebih
tinggi pada infeksi Helicobacter pylori (H. Pylori) daripada di Barat, maupun tingkat yang
lebih rendah dari sekresi asam lambung.
Penurunan gejala komplit secara signifikan lebih umum dengan omeprazole
dibandingkan dengan plasebo pada subkelompok pasien dengan dispepsia ulcer-like dan
reflux-like, sedangkan, seperti yang diharapkan, tidak ada indikasi manfaat dengan
omeprazole pada pasien dengan gejala dismotility-like. Selain itu, meta-analisis menunjukkan
bahwa H2RA dan Proks lebih unggul dibandingkan plasebo pada dispepsia non-ulkus.
Dalam studi ini, peneliti memusatkan pada gejala dismotility-like pada pasien dengan
FD, dan membandingkan efikasi PPI monoterapi dan terapi kombinasi dengan H2RA dan
Proks, yang secara luas diresepkan oleh dokter layanan primer di Jepang untuk gejala FD.

MATERIAL DAN METODE


Pemilihan Pasien
Penelitian ini merupakan penelitian randomized open-label yang dilakukan di tiga
rumah sakit (RS Keijinkai Moriguchi, Rumah Sakit Nakatsu Saiseikai Osaka, dan Rumah
Sakit Umum Arisawa) dan sembilan klinik medis umum (Murotani Clinic, Majima Klinik,
Morikawa Clinic, Klinik Hashimoto, Kiyota Klinik, Rumah Sakit Umum Arisawa, Amemoto
Clinic, Isowa Klinik, dan Mii Clinic) di Jepang dari Januari 2009 sampai April 2010.
Subjek penelitian ini adalah pasien dengan usia minimal 18 tahun dengan setidaknya 1
bulan dengan gejala dispepsia dan tidak ada temuan klinis yang signifikan pada endoskopi.
Kriteria eksklusi utama adalah: (1) riwayat esofagitis erosif, penyakit ulkus peptikum,
keganasan GI, gangguan motilitas esofagus primer, operasi GI atas sebelumnya; (2) terapi
pemeliharaan dengan PPI atau H2RA dalam waktu 2 minggu dari pendaftaran; dan (3)
menderita penyakit parah yang terjadi bersamaan. Penggunaan PPI, H2RA dan Prok tidak
diizinkan selama 14 hari sebelum endoskopi, atau selama penelitian. Obat anti-inflamasi non
steroid (NSAID), asam asetilsalisilat atau steroid tidak diizinkan sama sekali selama
penelitian. Protokol penelitian telah disetujui oleh Institutional Review Board yang relevan
dan/atau sebuah Komite Etik Independen, dan informed consent tertulis diperoleh dari setiap
subjek yang berpartisipasi.

Desain Penelitian
Investigator menunjuk masing-masing subjek yang terdaftar untuk
esophagogastroduodenoscopy. Setelah endoskopi, pasien yang memenuhi syarat menjalani
uji napas urea yang divalidasi untuk menentukan status H. pylori mereka. Subjek diacak
untuk menerima salah satu terapi berikut selama 4 minggu: (1) rabeprazole 10 mg od (PPI);
atau (2) famotidine 10 mg bid ditambah Mosapride 5 mg tid (H2RA + Prok). Pembagian
kelompok dilakukan dalam jumlah yang sama menggunakan sebuah daftar randomisasi
berbasis komputer yang distratifikasi untuk masing-masing institusi yang berpartisipasi.
Kepatuhan subjek dinilai dengan menghitung obat yang dikembalikan. Subjek dianggap telah
memenuhi pengobatan jika mereka mengambil setidaknya 75% dari obat yang dibagikan.
Subyek mengunjungi klinik mereka pada saat randomisasi dan 4 minggu setelah pengobatan.

Penilaian Gejala
Subjek diminta untuk menilai gejala dispepsia mereka di awal dan setelah 3 hari, 7 hari,
14 hari dan 28 hari pengobatan menggunakan kuesioner self-completed untuk gejala
dispepsia. Gejala dispepsia dismotility-like dinilai menggunakan lima pertanyaan (kembung
perut bagian atas, rasa penuh postprandial, kekenyangan yang awal, bersendawa,
muntah/mual), dan setiap respon dinilai dalam skala frekuensi lima poin sebagai berikut: 0,
tidak pernah; 1, kadang-kadang (occasionally); 2, sekali-sekali (sometimes); 3, sering; 4,
selalu. Skor untuk setiap pertanyaan dijumlah untuk memberikan total skor gejala dispepsia
dismotility-like. Total skor gejala pada setiap titik waktu penilaian kemudian dinyatakan
sebagai persentase dari nilai awal total skor gejala.

Kepuasan Subjek
Setelah 14 hari dan 28 hari pengobatan, kepuasan subjek dievaluasi dengan
menggunakan skala empat-tingkat sebagai berikut: sangat puas (gejala hilang); puas (gejala
membaik); cukup puas (gejala membaik sedikit); tidak puas (tidak ada perbaikan atau gejala
memburuk).

Tujuan
Tujuan efikasi utama adalah perubahan (%) dari nilai awal pada total skor gejala
dismotility-like. Tujuan efikasi sekunder adalah kepuasan subjek.

Ukuran Sampel
Perhitungan ukuran sampel berdasarkan pada perbedaan yang diharapkan dalam tingkat
perbaikan gejala antara kelompok PPI dan H2RA + Prok. Karena kurangnya uji coba klinis
terapi kombinasi H2RA + Prok, peneliti mendasarkan perhitungan pada ukuran sampel hasil
uji perbandingan PPI vs Proks.
Tingkat keberhasilan syang diperkirakan setelah 4 minggu pengobatan adalah 23,7%
untuk omeprazole, dan 7,5% untuk cisapride. Dengan asumsi two-tailed α error rate 0,05
dan power 80%, dengan tingkat dropout 30% selama skrining, 77,5 pasien diperlukan untuk
setiap kelompok pengobatan.

Analisis Statistik
Data disajikan sebagai mean ± SD. Analisis intention-to-treat mencakup semua subjek
yang dirandomisasi. Seorang subjek yang mengundurkan diri setiap waktu dianggap dropout.
Peneliti menggunakan Wilcoxon single rank test untuk memasangkan perbandingan intra-
individu, Mann-Whitney U test untuk perbandingan variabel kontinyu, dan χ 2 test untuk
perbandingan variabel yang dikategorikan di antara dua kelompok terapi. Selain itu, peneliti
menstratifikasi hasil akhir primer untuk perbedaan antara kelompok terapi sesuai dengan
status H. pylori. Peneliti melakukan analisis regresi logistik multipel untuk menentukan
faktor (umur, jenis kelamin, status H. pylori, dan nilai awal gejala dispepsia dismotility-like)
yang berkaitan dengan respon pengobatan (didefinisikan sebagai perubahan pada total skor
gejala dispepsia dismotility-like ≥50% setelah 28 hari pengobatan). P <0,05 dianggap sebagai
tanda signifikansi secara statistik untuk semua analisis.

HASIL
Sebanyak 146 pasien diacak. Tiga puluh dua pasien dieksklusi pada periode follow-up
(30 hilang saat follow-up, dua pasien tidak patuh), menyisakan 114 pasien untuk dimasukkan
dalam analisis. Lima puluh tujuh pasien diacak untuk menerima terapi PPI, dan 57 pasien
menerima terapi H2RA + Prok (Gambar 1). Karakteristik demografi dasar dan skor gejala
pasien yang menyelesaikan masa terapi disajikan dalam Tabel 1. Tidak ada perbedaan yang
signifikan pada karakteristik kedua kelompok terapi di awal.

Tabel 1. Karakteristik demografi dasar dan total skor gejala untuk pasien yang
menyelesaikan terapi
Gambar 1. Alur penelitian

Perubahan pada Skor Gejala Dismotility-like Dispepsia


Tidak ada perbedaan yang signifikan terlihat antara dua kelompok pada perubahan
dalam skor gejala dispepsia dismotility-like dari awal sampai 3 hari atau 7 hari pengobatan.
Setelah 28 hari pengobatan, perubahan skor gejala secara signifikan lebih besar pada
kelompok PPI (22,5% ± 29,2% dari nilai awal) dibandingkan kelompok H2RA + Prok
(53,2% ± 58,6% dari nilai awal) (P <0,0001), menunjukkan peningkatan yang lebih besar
pada gejala dengan terapi PPI (Gambar 2). Sebuah peningkatan yang signifikan pada total
skor gejala terlihat dari waktu ke waktu pada kedua kelompok, tetapi pada kelompok H2RA
+ Prok, perbaikan dalam total skor gejala pada hari ke-14 dan ke-28 tidak secara signifikan
lebih besar dibandingkan hari ke-7, sedangkan pada kelompok PPI, perbaikan total skor
gejala pada hari ke-14 (38,4% ± 37,8% dari nillai awal, P = 0,0034) dan hari ke-28 (P
<0,0001) keduanya secara signifikan lebih besar daripada hari ke-7 (45,1% ± 33,8% dari nilai
awal) (Gambar 2).
Gambar 2. Perubahan pada skor gejala dispepsia dismotility-like dari waktu ke waktu.
a = P < 0,05, PPI vs H2RA + Prok; c = P < 0,05 vs pre-Rx pada masing-masing kelompok;
e = P < 0,05 vs 7 hari Rx pada masing-masing kelompok.

Perubahan pada Skor Gejala Dismotility-like Dispepsia Sesuai dengan Status H. Pylori
Di antara subjek dengan H. pylori positif, peningkatan secara signifikan pada total skor
gejala terlihat pada kelompok PPI (13,4% ± 26,2% dari nilai awal) dibandingkan kelompok
H2RA + Prok (53,4% ± 34,7% dari nilai awal) (P <0,007) pada akhir periode pengobatan.
Perbaikan gejala yang signifikan terlihat dari waktu ke waktu pada kedua kelompok terapi,
meskipun pada kelompok H2RA + Prok, tidak ada perbaikan lebih lanjut yang diamati
setelah hari ke-7 (35,7% ± 31,6% dari nilai awal). Pada kelompok PPI, tidak ada perbedaan
yang signifikan antara perubahan total skor gejala pada hari ke-7 dan ke-14, meskipun ada
perbedaan yang signifikan secara statistik antara hari ke-7 dan ke-28 (P = 0,0277) (Gambar
3A).
Di antara subjek dengan H. pylori negatif, peningkatan yang secara signifikan lebih
besar dalam total skor gejala terlihat pada kelompok PPI (24,1% ± 31,7% dari nilai awal)
dibandingkan pada kelompok H2RA + Prok (53,1% ± 72,2% dari awal, P < 0,0001) pada hari
ke- 28. Perbaikan gejala yang signifikan terlihat dari waktu ke waktu pada kedua kelompok
terapi, meskipun perbaikan yang terlihat pada kelompok H2RA + Prok pada hari ke-14 dan
ke-28 tidak secara signifikan lebih unggul dari yang diamati pada hari ke-7. Pada kelompok
PPI, pengurangan dalam total skor gejala pada hari ke-14 (44,2% ± 42,0% dari nilai awal, P =
0,0177) dan hari ke-28 (P = 0,0002) keduanya secara signifikan lebih besar daripada hari ke-7
(52,4% ± 34,1% dari nilai awal (Gambar 3B).
Gambar 3. Perubahan pada skor gejala dispepsia dismotility-like berdasarkan status
H.pylori.
a = P < 0,05, PPI vs H2RA + Prok; c = P < 0,05 vs pre-Rx pada masing-masing kelompok;
e = P < 0,05 vs 7 hari Rx pada masing-masing kelompok.

Kepuasan Subjek pada Terapi Hari ke-14 dan 28


Meskipun tidak ada perbedaan yang signifikan terlihat antara kedua kelompok pada
hari ke-14, proporsi subjek yang puas atau sangat puas dengan pengobatan mereka secara
signifikan lebih tinggi pada kelompok PPI dibandingkan kelompok H2RA yang + Prok pada
hari ke-28 (87,7% vs 59,6%, P = 0,0012). Tidak ada peningkatan yang signifikan terlihat
pada kepuasan subjek pada kelompok H2RA + Prok antara hari ke-14 dan ke-28, sedangkan
peningkatan yang signifikan terlihat pada proporsi subjek pada kelompok PPI yang
menjawab puas atau sangat puas antara hari ke-14 (63,2%) dan ke-28 (P = 0,0042) (Gambar
4).
Gambar 4. Kepuasan subjek setelah 14 hari dan 28 hari pengobatan.
a = P < 0,05, PPI vs H2RA + Prok; c = P , 0,05 vs 14 hari Rx

Faktor yang Berhubungan dengan respon Terapi


Pada penelitian ini, respon pengobatan didefinisikan sebagai perbaikan dalam skor
gejala dispepsia dismotility-like ≥ 50% setelah 28 hari pengobatan. Satu-satunya faktor yang
diidentifikasi dengan analisis regresi logistik sebagai prediktor positif respon pengobatan
adalah terapi PPI (Tabel 2).
Tabel 2. Analisis regresi logistik multipel dari respon pengobatan

PEMBAHASAN
Kriteria Roma III mendefinisikan FD sebagai “keadaan kronis dari satu atau lebih
gejala dispepsia (rasa penuh postprandial yang mengganggu, perasaan penuh di awal, nyeri
epigastrium, rasa terbakar di epigastrium) yang dianggap berasal dari regio gastroduodenal,
dengan tidak adanya bukti penyakit struktural (termasuk pada endoskopi saluran atas) yang
mungkin menjelaskan gejala”. FD adalah kondisi umum, yang disertai dengan dampak
negatif yang cukup besar pada kualitas hidup, dan merupakan masalah serius dalam praktik
klinis sehari-hari. Pasien dengan FD memiliki berbagai variasi gejala, sehingga berdasarkan
profil gejala, mereka mungkin diberikan resep agen gastroprokinetik, supresor sekresi asam
lambung, antidepresan, anxiolitik atau obat herbal Cina. Sebuah survei di Jepang tentang
kebiasaan peresepan oleh dokter layanan primer untuk gejala GI atas menemukan bahwa
H2RA diresepi untuk nyeri epigastrium dan rasa terbakar, dan Prok untuk ketidaknyamanan
epigastrium, mual dan hilangnya nafsu makan. Dengan kata lain, H2RA lebih sering
diresepkan daripada PPI untuk sindrom nyeri epigastrium, yang ditandai dengan dua gejala
nyeri epigastrium dan rasa terbakar di epigastrium, tidak berhubungan dengan makanan dan
terutama dianggap berkaitan dengan asam lambung. Proks secara luas diresepi untuk sindrom
distress postprandial, yang ditandai dengan dua gejala rasa penuh postprandial dan rasa penuh
di awal, dan dianggap sangat terkait dengan dismotilitas saluran pencernaan; khususnya,
akomodasi gaster dari relaksasi adaptif. Terapi kombinasi H2RA + Prok secara luas
diresepkan di Jepang, di mana dispepsia bukanlah diagnosis yang diakui untuk tujuan
asuransi.
Baru-baru ini semakin jelas bahwa sekresi asam lambung sangat berkaitan dengan onset
Gejala dismotility-like. Lee et al. telah meneliti pengaruh asam pada hipersensitivitas
lambung dan motilitas pada subjek sehat, dan menemukan bahwa asidifikasi duodenum
secara signifikan menginduksi hipersensitivitas lambung dan merusak motilitas lambung.
Dibandingkan dengan salin, infus asam ke dalam duodenum menyebabkan tidak hanya gejala
refluks ulkus seperti rasa terbakar, tetapi juga gejala dismotility-like seperti ketidaknyamanan
epigastrium, bersendawa, dan perut kembung. Ketika Miwa et al. memberikan infus asam ke
dalam perut subjek Jepang, hal ini menginduksi berbagai gejala dispeptik, tanpa disertai
perubahan yang signifikan dalam gejala yang berhubungan dengan reluks asam seperti rasa
terbakar dan nyeri epigastrium, namun terdapat peningkatan yang signifikan pada gejala
dismotility-like seperti ketidaknyamanan epigastrium, perasaan penuh di perut, mual dan
bersendawa. Samsom et al. telah melaporkan bahwa pembersihan asam yang menurun dan
sensitivitas terhadap asam yang meningkat pada pasien dengan dispepsia dapat menyebabkan
gejala dispeptik. Sebenarnya telah terdapat beberapa studi terbaru yang melaporkan
efektivitas PPI dan H2RA dalam pengobatan FD. Terapi omeprazole empiris
menginduksi perbaikan gejala dalam proporsi yang lebih tinggi pada pasien dengan dispepsia
yang tak terselidiki (didefinisikan sebagai nyeri epigastrium atau ketidaknyamanan dengan
atau tanpa rasa terbakar atau regurgitasi) dibandingkan ranitidine atau cisapride, tetapi efek
ini lebih jelas pada pasien dengan penyakit refluks gastroesofageal (GERD). Prevalensi
monitoring pH patologis (4% -6% dari waktu pada pH < 4) secara signifikan lebih tinggi
pada pasien FD dengan rasa terbakar daripada mereka yang tanpa. Dengan kata lain, PPI
lebih efektif daripada H2RA dalam pengobatan FD berkaitan dengan rasa terbakar dan
regurgitasi.
Namun, masih tak jelas, betapa pentingnya supresi sekresi asam pada pasien di Jepang,
yang memiliki prevalensi tinggi infeksi H. pylori dan rendahnya tingkat sekresi asam
lambung. Sebuah uji klinis di Jepang menemukan bahwa terapi H2RA lebih efektif daripada
Mosapride untuk pengobatan FD, menunjukkan bahwa supresi sekresi asam lambung oleh
H2RA mungkin cukup untuk mengobati FD pada pasien di Jepang, tidak perlu dengan PPI.
Pada penelitian ini, peneliti membandingkan PPI monoterapi dengan terapi kombinasi H2RA
+ Prok; terapi yang paling umum diresepkan oleh dokter di Jepang. Dengan pertimbangan
supresi asam sekresi oleh PPI yang lebih unggul dari H2RA, peneliti menggabungkan sebuah
H2RA dengan Prok, dan hanya memeriksa gejala dismotility-like, yang dianggap kurang
responsif terhadap terapi PPI.
Hasil penelitian menunjukkan tidak ada perbedaan antara kedua kelompok pada
perubahan skor gejala dispepsia dismotility-like pada hari ke-3 dan ke-7 pengobatan, tetapi
perbaikan gejala yang secara signifikan lebih besar terlihat di kelompok PPI dibandingkan
dengan kelompok H2RA + Prok pada pengobatan hari ke-14 dan ke-28. Proporsi subjek yang
melaporkan bahwa mereka puas atau sangat puas secara signifikan lebih tinggi pada
kelompok PPI dibandingkan kelompok H2RA + Prok pada pengobatan hari ke-28. Terapi PPI
adalah satu-satunya prediktor respon terapi yang signifikan, yang didefinisikan sebagai
peningkatan total skor gejala ≥ 50%.
Dalam meta-analisis terbaru dari pengobatan PPI untuk FD, subkelompok dismotility-
like tidak respon terhadap terapi PPI, tidak seperti subkelompok refluks dan ulkus seperti.
Keparahan rasa terbakar di awal pada pasien FD mempengaruhi respon terapi PPI atau H2RA
terapi. Peneliti menilai
gejala rasa terbakar di awal dalam sebuah studi terpisah, menemukan tidak ada perbedaan
antar kelompok pada skor pretreatment gejala rasa terbakar (data tidak ditampilkan). Hasil
penelitian menunjukkan bahwa supresi sekresi asam yang kuat oleh PPI juga penting dalam
pengobatan
gejala dismotility-like pada pasien dengan FD di Jepang. Peneliti melihat perbaikan skor
gejala yang serupa pada kedua kelompok sampai hari ke-7 pengobatan. Hal ini bisa jadi
merupakan respon plasebo, karena diketahui bahwa respon plasebo dapat substansial dalam
uji gangguan GI, termasuk FD. Terdapat laporan mengenai efek plasebo sampai hari ke-7
pengobatan dengan PPI, dan kebutuhan periode 7 hari lepas untuk meminimalkan efek
plasebo pada uji klinis FD, sehingga respon plasebo yang sama berlangsung sampai hari ke-7
pengobatan juga mungkin dalam penelitian ini. Tidak adanya perbaikan yang lebih lanjut
pada gejala dispepsia dismotility-like antara hari ke-7 dan ke-14 atau ke-28 pada kelompok
H2RA + Prok, dan kurangnya perubahan yang signifikan dalam tingkat kepuasan subjek dari
hari ke-14 sampai ke-28, menunjukkan perkembangan toleransi H2RA.
Stratifikasi sampel penelitian berdasarkan status H. pylori menunjukkan bahwa
perbaikan gejala yang lebih baik secara signifikan terlihat pada kelompok PPI daripada
kelompok H2RA + Prok pada kedua subjek H. pylori-positif dan negatif. Tidak ada pengaruh
status H. pylori yang terlihat pada kedua kelompok pengobatan pada penelitian. Pada
penelitian yang dilakukan oleh Talley et al., tidak ada perbedaan yang secara signifikan
terlihat pada tingkat resolusi komplit gejala setelah 28 hari pengobatan antara subjek dengan
H. pylori-positif dan negatif pada subkelompok gejala ulcer-like, reflux-like, atau dismotility-
like pada masing-masing kelompok pengobatan, meskipun ini hanyalah analisis eksplorasi.
Meskipun status H. pylori tidak secara signifikan mempengaruhi respon terhadap
omeprazole, hal ini tidak mengesampingkan kemungkinan perbedaan kecil yang
sesungguhnya antara pasien H. pylori-positif dan -negatif dalam efek inhibisi asam pada FD.
pH intragastrik lebih tinggi pada pasien yang mengkonsumsi PPI yang terinfeksi H. pylori.
Oleh karena itu terapi PPI mungkin lebih efektif pada pasien H. pylori-positif dengan NUD,
seperti yang ditunjukkan pada salah satu studi. Penyatuan semua data penelitian
menunjukkan bahwa respon gejala serupa pada pasien H. pylori-positif -negatif dengan NUD.
Status H. pylori mau tak mau memiliki dampak klinis penting pada efikasi pengobatan pada
kelompok pasien ini.
Dalam penelitian ini, gejala membaik dari waktu ke waktu tanpa memperhatikan status
H. pylori pada kelompok PPI, sedangkan tidak ada perbaikan gejala lebih lanjut yang terlihat
pada kelompok H2RA + Prok setelah 7 hari pengobatan pada baik pada subjek H. pylori-
positif maupun -negatif, menunjukkan toleransi terhadap pengobatan. Hilangnya efek supresi
pada sekresi asam oleh H2RA telah dilaporkan pada pasien H. pylori-negatif ketika masa
pengobatan meningkat, sedangkan dalam penelitian ini toleransi itu terlihat dari hari ke-7
pengobatan pada kelompok H2RA + Prok.
Keterbatasan penelitian ini meliputi jumlah subjek yang sedikit dan fakta bahwa
penelitian ini bukan placebo-controlled trial. Pertimbangan sistem medis Jepang mengatakan
bahwa uji klinis pengobatan untuk FD, sebuah kondisi yang tidak dijamin oleh asuransi
kesehatan, yang dilakukan dengan partisipasi klinik medis umum akan dibatasi ruang
lingkup. Namun demikian, ini adalah laporan pertama yang diterbitkan dari sebuah uji
komparatif terrandomisasi (randomized comparative trial) dari PPI monoterapi dan terapi
kombinasi H2RA + Prok dalam pengobatan FD dengan subjek di Jepang.
Peneliti menunjukkan bahwa, bahkan di Jepang dengan proporsi pasien H. pylori-
positif yang tinggi, PPI monoterapi secara signifikan meningkatkan tidak hanya gejala ulcer-
like dan reflux-like, tetapi juga gejala dismotility-like, yang lebih baik dibandingkan terapi
kombinasi H2RA + Prok. Secara khusus, toleransi terhadap terapi kombinasi H2RA + Prok
terlihat tanpa mempertimbangkan status H. pylori. Prevalensi infeksi H. pylori diperkirakan
menurun di Jepang dalam waktu ke depan, menyebabkan sekresi asam lambung menigkat,
sehingga supresi sekresi asam kemungkinan akan menjadi lebih penting. Pedomen dari The
American College of Gastroenterology untuk pengelolaan dispepsia merekomendasikan PPI
sebagai pengobatan lini pertama di daerah-daerah dengan prevalensi infeksi H. Pylori yang
rendah, dengan pemeriksaan dan terapi lainnya bagi mereka yang gagal memberikan respon.
Di Jepang, di mana prevalensi infeksi H. pylori yang tinggi, endoskopi GI atas dianggap
wajib untuk mengeksklusi keganasan. Supresi yang kuat pada sekresi asam, seperti yang
diberikan PPI, adalah terapi yang paling efektif untuk pengobatan semua gejala dispepsia
pada pasien di Jepang, baik gejala ulcer- dan reflux-like dan dismotility-like. Yang menarik
adalah temuan peneliti bahwa terapi PPI berguna dalam pengobatan gejala dismotility-like,
yang biasanya dianggap kurang responsif terhadap PPI. Dengan kata lain, gejala dismotility-
like pada FD juga merupakan gangguan yang terkait-asam (acid-related), yang mana supresi
sekresi asam adalah terapi yang paling efektif. PPI sangat efektif dalam pengobatan semua
gejala FD, dan harus menjadi pengobatan lini pertama pada pasien di Jepang dengan FD.

KOMENTAR
Latar Belakang
Banyak orang menderita dispepsia fungsional (FD). Penyakit ini memiliki efek negatif
substansial pada kualitas hidup, oleh karena itu, daily care adalah yang paling penting.
Namun, karena ada banyak penyebab FD, termasuk gangguan motilitas gastrointestinal dan
hipersensitivitas pada traktus digestivus, sekresi asam lambung, radang membran mukosa
lambung, gangguan sistem saraf dan hormon pencernaan, dan faktor psikologis, tak ada
metode pengobatan yang telah ditetapkan.
Batas Penelitian
Baru-baru ini telah dijelaskan bahwa sekresi asam lambung memainkan peran utama dalam
timbulnya gejala FD. Aka tetapi, di Jepang, di mana terdapat banyak pasien Helicobacter
pylori (H. pylori) positif, nyeri epigastrium, rasa terbakar epigastrium dan gejala terkait-asam
lainnya diobati dengan bloker sekresi asam. Sebaliknya, gejala dismotility-like seperti
perasaan berat yang menyakitkan di perut setelah makan dan perasaan penuh yang segera
terjadi sebagian besar diobati dengan agen prokinetik dan/atau agen antiulkus, dan
pentingnya supresi sekresi asam tidak jelas. Untuk alasan ini, peneliti melakukan studi
prospective randomized treatment untuk memeriksa pentingnya obat supresor-asam untuk
pengobatan berbagai gejala FD.
Inovasi dan Pemecahan
Terlepas dari apakah kasus itu H. pylori positif atau negatif, perbaikan tingkat gejala
dismotility-like serta gejala ulkus dan gejala terkait-refluks-asam pada kelompok terapi
proton pump inhibitor (PPI) tunggal secara signifikan lebih baik dibandingkan dengan
kelompok yang diberikan antagonis reseptor H2 histamin (H2RA) dan obat prokinetik
(Proks) secara bersamaan. Analisis logistik (analisis multivariabel) mengenai faktor yang
berhubungan dengan peningkatan gejala dismotility-like juga menunjukkan bahwa terapi PPI
adalah satu-satunya faktor yang signifikan. Kepuasan pasien juga secara signifikan lebih
tinggi pada kelompok terapi PPI tunggal dibandingkan kelompok H2RA dan Prok. Dengan
kata lain, di Jepang, serta negara-negara lain, terlepas dari apakah pasien adalah H. Pylori-
positif atau negatif, pentingnya supresi sekresi asam untuk pengobatan tidak hanya gejala
ulkus dan gejala terkait-refluks-asam tetapi juga gejala gangguan motilitas digestif telah
ditetapkan.
Aplikasi
Diperkirakan bahwa tingkat infeksi H. pylori di Jepang secara bertahap akan berkurang.
Dengan asumsi ini akan menyebabkan lebih banyak pasien dengan peningkatan sekresi asam,
supresi sekresi asam akan menjadi isu yang semakin penting. Telah disimpulkan bahwa,
terlepas dari apakah pasien adalah H. pylori positif atau negatif, terapi PPI sangat efektif
sebagai pengobatan lini pertama untuk tidak hanya gejala ulkus dan gejala terkait-refluks-
asam tetapi juga gejala gejala dismotility-like, dengan kata lain, untuk semua gejala FD.
Terminologi
Dalam klasifikasi Roma III, FD didefinisikan sebagai “satu atau lebih gejala kronis dari rasa
penuh postprandial yang mengganggu, perasaan penuh di awal, nyeri epigastrium, rasa
terbakar di epigastrium di mana tidak disebabkan oleh penyakit organik yang diamati selama
endoskopi dan pemeriksaan lain”. Definisi ini dibagi ke dalam subkategori dari sindrom nyeri
epigastrium, ditandai dengan dua gejala nyeri epigastrium yang berhubungan dengan asupan
makanan dan rasa terbakar epigastrium yang berhubungan dengan asam lambung, dan
sindrom distres postprandial (PDS), ditandai dengan dua gejala dismotility-like yang
disebutkan dari kekenyangan dan rasa penuh di awal. Banyak kasus FD diduga disebabkan
oleh PDS. Di Jepang, Proks, obat-obatan yang meningkatkan motilitas gastrointestinal,
adalah pengobatan lini pertama untuk gejala dismotility-like. H. pylori, bakteri yang berada
membran mukosa lambung, diperkirakan menyebabkan ulkus gaster dan duodenum, dan
kanker perut. Pada pasien H. pylori-positif, bakteri tersebut menyebabkan gastritis kronis
atrofi, yang berkembang menjadi kanker lambung, dan output asam lambung yang rendah.
Tingkat H. pylori-positif di Jepang cenderung menurun, yang dapat mengakibatkan lebih
banyak pasien di Jepang dengan output asam lambung yang berlebihan.

Anda mungkin juga menyukai