Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar belakang

Usaha peningkatan produksi kacang tunggak (Vigna unguiculata L.)


masih sering mengalami hambatan karena gangguan hama. Umumnya
tanaman kacang-kacangan termasuk kacang tunggak (Vigna unguiculata L.)
dapat diserang oleh sekelompok hama pada stadia pertumbuhan vegetatif dan
generatif serta biji dalam simpanan tidak luput dari serangan hama. Menurut
Endo (2006) Kehilangan hasil kacang tunggak (Vigna unguiculata L.) akibat
serangan hama dapat mencapai 30%, bahkan puso apabila serangan hama
sangat serius. Kacang tunggak (Vigna unguiculata L.) yang ditanam secara
monokultur biasanya terserang hama lebih berat dibanding dengan kacang
tunggak (Vigna unguiculata L.) yang di tanam secara campuran atau
tumpangsari.
Hama yang menyerang tanaman kacang tunggak (Vigna unguiculata L.)
umumnya juga menyerang tanaman kedelai, kacang hijau, dan tanaman
kacang-kacangan yang lain diantaranya hama ulat daun, penggerek polong,
pengisap polong, dan pengisap daun. Pengendalian hama penting pada
tanaman kacang tunggak (Vigna unguiculata L.) akan mengacu pada cara
pengendalian hama sejenis pada tanaman kedelai, kacang hijau atau kacang-
kacangan lain yang telah diketahui dan dikuasai teknologinya.
Pengenalan gejala penyakit, penyebab penyakit, bioekologi (kesesuaian
habitat) dan cara-cara pengendalian hama yang menyerang tanaman kacang
tunggak (Vigna unguiculata L.) perlu dipelajari. Pengetahuan yang mendasar
oleh petani maupun penyuluh pertanian penting dengan harapan pengendalian
hama kacang tunggak (Vigna unguiculata L.) mendapatkan hasil produksi dan
keuntungan ekonomis yang optimal. Hama kacang tunggak (Vigna
unguiculata L.) yang diketahui ada di Indonesia berpeluang sebagai salah satu
kendala teknis yang menghambat budidaya kacang tunggak dibahas di dalam
makalah ini.

1
2

2. Rumusan Masalah
a. Apa saja gejala yang ditimbulkan apabila kacang tunggak
(Vigna unguiculata L.) terkena serangan hama Chrysodeixis chalcites?
b. Apa saja upaya pengendalian yang dilakukan untuk mencegah tanaman
kacang tunggak (Vigna unguiculata L.) terserang hama
Chrysodeixis chalcites?
c. Bagaimana langkah yang diambil apabila tingkat populasi hama
Chrysodeiods chalsites sudah tinggi terhadap tanaman kacang tunggak
(Vigna unguiculata L.) ?
3. Tujuan
a. Melakukan pendugaan serangan hama Chrysodeixis chalcites terhadap
tanaman kacang tunggak (Vigna unguiculata L.) sedini mungkin.
b. Mengendalikan budidaya kacang tunggak (Vigna unguiculata L.) agar
terhindar dari serangan hama Chrysodeixis chalcites.
4. Manfaat
a. Mengetahui hama Chrysodeixis chalcites yang menyerang tanaman kacang
tunggak (Vigna unguiculata L.)
b. Mengetahui cara melakukan teknik pengendalian hama
Chrysodeixis chalcites yang menyerang tanaman kacang tunggak
(Vigna unguiculata L.)
c. Mendapatkan hasil yang optimal dalam produksi maupun keuntungan
ekonomis.
3

BAB II
ISI

Chrysodeixis chalcites atau biasa disebut dengan ulat jengkal merupakan


salah satu hama tanaman kacang tanah (Vigna unguiculata L.). Hama
Chrysodeixis chalcites memiliki ciri-ciri biologi yaitu Imago serangga dewasa
meletakkan telurnya di permukaan bawah daun. Larva membentuk kepompong
dan dalam anyaman daun, kemudian berubah menjadi pupa. Daur atau siklus
hidup hama ini berlangsung selama lebih kurang 30 hari.
 Ulat jengkal memiliki beberapa nama daerah seperti ulat lompat, ulat
kilan, ulat jengkal semu dan ulat keket. Spesies ulat jengkal yg menyerang
kacang tunggak adalah Chrysodeixis chalcites esper atau pada spesies
Chrydeixis chalcites esper. Ciri-ciri tubuhnya berwarna hijau dan terdapat garis
berwarna lebih muda pada sisi sampingnya. Panjang tubuh
Chrysodeixis chalcites sekitar 2 cm. Menurut Noch (2003) Ciri khasnya adalah
berjalan dengan melompat atau melengkungkan tubuhnya. Lama masa ulat
sekitar 2 minggu sebelum menjadi kepompong. Imagonya berupa ngengat yang
mampu bertelur sampai 1000 butir. Telurnya berbentuk bulat putih. Telur-telur
terdapat di permukaan bawah daun yang akan menetas setelah 3 hari. Ulat
jengkal menyerang daun muda maupun tua. Klasifikasi Chrysodeixis chalcites
yaitu :
Filum : Arthropoda
Class : Insecta
Ordo : Lepidoptera
Family : Noctuidae
Genus : Chrysodeixis
Spesies : Chrysodeixis chalcites

3
4

1. Gejala Serangan Chrysodeixis chalcites pada Kacang Tunggak


(Vigna unguiculata L.)
Hama ini dinamakan ulat jengkal sesuai dengan cara jalannya seperti
tangan manusia yang dijengkalkan. Ulat dapat ditemukan pada daun kacang
tunggak (Vigna unguiculata L.) yang masih berwarna hijau di lahan. Daun
yang berlubang mengurangi proses fotosintesa, sehingga produksi kacang
tanah berkurang.Ulat makan daun muda dan tua, sehingga daun berlubang.
Serangan larva terjadi pada tanaman stadia vegetatif dan generatif. Menurut
Okada (2002) Serangan larva instar muda menyebabkan bercak-bercak putih
pada daun, karena yang tertinggal hanya epidermis dan tulang daun. Pada
serangan berat oleh larva yang lebih besar, maka daun hanya tersisa tulang-
tulang daun dan tanaman gundul. Tingkat serangan menimbulkan kehilangan
hasil 40-50%.
2. Pengendalian Hama Chrysodeixis chalcites Kacang Tunggak
(Vigna unguiculata L.)
Pengendalian Hama Chrysodeixis chalcites pada kacang tunggak ini
dilakukan berdasarkan prinsip PHT (Pengendalian Hama Terpadu) dengan cara
memadukan teknik ekologi, ekonomi dan sosial. Menurut Hery (2006)
Pengendalian hama menggunakan prinsip PHT merupakan prinsip yang paling
efektif untuk mencapai stabilitas produksi tanpa menimbulkan kerugian bagi
manusia dan lingkungan. Prinsip PHT yang dilakukan untuk mengendalikan
hama Chrysodeixis chalcites yaitu menggunakan tanaman sehat, melakukan
pelestarian dan pendayagunaan lami, serta melakukan pemantauan lahan yang
dilakukan secara rutin.
Budidaya tanaman yang digunakan pada kacang tunggak
(Vigna unguiculata L.) menggunakan tanaman yang sehat dengan melakukan
seleksi tanaman saat akan ditanam. Tanaman budidaya sehat menjadi bagian
yang penting dalam program pe ngendalian hama. Tanaman yang memperoleh
pupuk dan air yang cukup, bebas dari gangguan gulma, dan ditanam dengan
cara pengolahan tanah memungkinkan tanaman tumbuh sehat dan mampu
berproduksi tinggi. Tanaman yang sehat dapat mengatasi kerusakan tunas,
5

daun, dan batang oleh serangan hama dengan membentuk tunas baru atau daun
baru. Tanaman yang sehat kehilangan hasilnya akan lebih rendah dibanding
tanaman yang menderita penyakit fisiologis.
Pelestarian dan pendayagunaan musuh alami yang digunakan pada
kacang tunggak (Vigna unguiculata L.) yaitu dengan menggunakan musuh
alami. Musuh alami yang terdiri dari parasitoid, predator dan patogen, mampu
mengendalikan lebih dari 90% populasi serangga hama sehingga populasinya
tidak merugikan. Prinsip PHT menggunakan musuh alami dilestarikan dan
didayagunakan sebagai pengendali hama. Informasi mengenai musuh alami
hama kumbang daun dan penggulung daun belum dilaporkan. Musuh alami
ulat jengkal terdiri atas beberapa jenis parasit, yakni Copidosomopsis
(Hymenoptera, Encytidae) dan Apenteles (Hymenoptera, Bramnidae). Menurut
Andow (2003) usaha memanfaatkan musuh alami pada pertanaman kedelai
dapat dilakukan, antara lain dengan membiakkan secara masal musuh alami
yang efektif kemudian melepaskannya secara periodik dalam jumlah besar
(inundasi) di lapangan. Di samping itu, karena berbagai predator dan parasitoid
stadium dewasa membutuhkan pakan tambahan berupa nektar, tepung sari, dan
embun madu, maka tanaman yang memproduksi bahan tersebut sebaiknya
ditanam di sekitar pertanaman kedelai.
Pemantauan Chrysodeixis chalcites dilakukan secara rutin pada kacang
tunggak (Vigna unguiculata L.). Masalah hama Chrysodeixis chalcites timbul
karena kombinasi faktor-faktor lingkungan yang mendukung pertumbuhan
populasinya. Pemantauan terhadap tanaman perlu dilakukan untuk mengetahui
keadaan ekosistem yang selalu berubah dan berkembang. Perkembangan
populasi hama dan penyakit, peranan musuh alami, iklim dan lingkungan juga
dilakukan pemantauan agar identifikasi dan pendugaan bisa akurat. Hasil
pemantauan digunakan sebagai dasar tindakan pengendalian hama dan disebut
dengan analisis ekosistem.
Tanaman kacang tunggak (Vigna unguiculata L.) dari dari musim ke
musim tidak selalu terserang oleh hama Chrysodeixis chalcites. Tanaman yang
tidak terserang merupakan indikasi bahwa alam dapat mempertahankan
6

keseimbangan sehingga populasi hama berada pada batas-batas yang tidak


merugikan. Faktor pengendali seperti musuh alami (parasit, predator dan
patogen serangga hama), cuaca/iklim, makanan di lapang selalu berubah,
sehingga keseimbangan hayati akan ber ubah pula. Keseimbangan hayati bukan
sesuatu hal yang statis tetapi dinamis. Keseimbangan populasi hama
Chrysodeixis chalcites dapat berubah pula dengan adanya campur tangan
manusia dalam melakukan mengelola tanaman. Penggunaan pestisida sebagai
alat pengendali hama yang tidak selektif dan tidak tepat aplikasi (dosis,saat
aplikasi) akan dapat membunuh musuh alami dan menyebabkan terjadinya
resistensi sertaresurgensihama. Menurut Suharsono (2006) Populasi serangga
hama Chrysodeixis chalcites akan lebih meningkat dan kerusakan tanaman
kacang tunggak semakin parah. Hal ini disebabkan faktor pengendali alami
(hayati) tidak dapat bekerja secara maksimal dan populasi hama terus
meningkat. Waktu tanam yang tumpang tindih sepanjang tahun akan
menyebabkan tersedianya makanan bagi hama sepanjangtahun. Akibatnya
pertumbuhan populasi hama semakin cepat karena makanan yang paling
disukai tersedia sepanjang tahun.
3. Ambang Kendali Chrysodeixis chalcites terhadap Tanaman Kacang
Tunggak (Vigna unguiculata L.)
Pengendalian hama Chrysodeixis chalcites terhadap tanaman kacang
tunggak (Vigna unguiculata L.) memiliki beberapa komponen yaitu varietas
tahan, teknik bercocok tanam, pengendalian mekanik dan fisik, pengendalian
biologis serta pengendalian hama dengan insektisida dan komponen
pengendalian yang lain. Uji ketahanan varietas-varietas kacang tunggak
terhadap hama-hama penting di Indonesia masih sedang dirintis di Balai
Penelitian Tanaman Kacangkacangan dan Umbi-umbian Malang. Informasi
ketahanan varietas kacang tunggak lebih banyak diperoleh dari IITA Nigeria,
Afrika. Ketahanan suatu varietas terhadap hama di lapang disebabkan oleh tiga
hal yaitu preferensi, antibiosis dan toleran. Ketahanan yang disebabkan oleh
preferensi ditandai oleh sifat-sifat suatu varietas yang disukai atau tidak oleh
serangga hama untuk tempat bertelur, berkembang ataupun sebagai makanan.
7

Antibiosis ada lah efek-efek buruk dan merusak kehidupan serangga hama
yang diakibatkan karena makan varietas tanaman sebagai inangnya. Sedang
toleran adalah tanaman inang yang menunjukkan kemampuan untuk tumbuh
atau sembuh kembali dari kerusakan oleh hama dan masih memberikan hasil
yang dapat diterima.
Pengendalian hama dengan cara bercocok tanam perlu pengetahuan
tentang cara hama merusak tanaman dan siklus hidup hama dengan seksama.
Meurut Harnoto (2001) Cara pengendalian hama dengan teknik bercocok
tanam dapat berupa pergiliran tanaman bukan inang, tertib tanam atau
mengatur waktu tanam dan penggunaan mulsa. Pergiliran tanaman bukan inang
hama bertujuan untuk memutus siklus hama, sehingga hama tidak dapat
berkembang biak secara terus menerus. Tertib tanam menyebabkan hama tidak
dapat berkembang biak secara berkesinambungan, sebab masa peka tanaman
terhadap suatujenisserangga hama cukup pendek. Keseragaman waktu tanam
dalam areal yang luas menjadikan daerah sebaran hama menjadi luas, sehingga
populasi serangga menjadi rendah dan kerusak an yang ditimbulkan juga
rendah.
Pengendalian cara mekanik dan fisik dilakukan dengan pengambilan
kelompok telur ulat jengkal (Chrysodeixis chalcites) yang masih berkelompok.
Pengendalian hama dengan cara mekanik/fisik sangat mudah di lakukan dan
murah serta aman bagilingkungan. Prinsip pengendalian cara ini adalah dengan
menghilangkan sumber infestasi hama, namun penerapannya perlu
pengetahuan bioekologi hama agar pengendalian mekanik lebih efektif.
Pengendalian biologis merupakan komponen pengendalian hama dengan
memanfaatkan musuh alami. Baccillus thuringiensis efektif untuk
mengendalikan jenis hama ulat, Nu clear Polihydrosis Virus cukup efektif
mengendalikan hama ulat jengkal (Chrysodeixis chalcites) dan ulat buah
Helicoverpa armigera. Hama lalat kacang Ophiomyia phaseoli dapat terparasit
oleh Eurytoma poloni, dan Cynipid. Telur hama pengisap polong
Nezara viridula, Riptortus linearis dapat diparasit oleh Ooencyrtus malayensis
dan telur Spodoptera litura dapat diparasit oleh Telenomus spodopterae.
8

Telurhama ulat buah Helicoverpa armigera, ulat jengkal Chrysodeixis chalsites


dan telur hama penggerek polong Etiella spp. dapat terparasit oleh parasit telur
THchograma spp.
Pengendalian hama dengan insektisida memerlukan biaya yang cukup
tinggi. Menurut Arifin (2009) Efektifitas dan efisiensi dapat ditingkatkan
dengan penggunaan insektisida, maka aplikasinya perlu berdasarkan ambang
kendali. Ambang kendali hama Chrysodeixis chalsites pada tanaman kacang
tunggak
(Vigna unguiculata L.) yaitu intensitas kerusakan baru sebesar 12,5% dari
umur 20 HST dan lebih dari 20% pada umur lebih 20 HST , pada fase
vegetatif, 10 ekor intar 3/10 rumpun tanaman, pada fase pembungaan 13 ekor
instar 3/10 rumpun tanaman, pada fase pembentukan polong 13 ekor instar
3/10 rumpun tanaman, pada fase pengisian polong 26 ekor instar3/10 tanaman.
Alternatif pengendalian hama Chrysodeixis chalsites pada tanaman kacang
tunggak (Vigna unguiculata L.) yaitu dengan cara menananam serempak
dengan selisih waktu relatifpendek (kurang dari 10 hari), pemantauan lahan
secara rutin dan pemusnahan kelompok telur dan ulat, penyemprotan
insektisida setelah mencapai ambang kendali, penyemprotan NPV (dari 25 ulat
yang sakit dilarutkan dalam 500 1 air untuk satu hektar).
4. Efektifitas Teknik Aplikasi Insektisida dalam Pengendalian Hama
Chrysodeixis chalsites
Efektifitas pestisida dapat berkurang oleh beberapa faktor antara lain
karena pemakaian di bawah dosis rekomendasi atau dosis yang terlalu tinggi
sehingga dapat menyebabkan timbulnya kasus resurgensi hama dan resistensi
hama terhadap pestisida. Aplikasi pestisida di bawah dosis rekomendasi akan
meningkatkan kemampuan hama bertelur lebih banyak sebagai salah ciri
timbulnya resurgensi. Resistensi hama terhadap pestisida dipercepat oleh
penggunaan pestisida secara berlebihan, misalnya frekuensi dan pemakaian
dengan dosis yang tinggi, serta pencampuran lebih dari satu jenis insektisida
tanpa mempehatikan kompatibilitasnya. Resistensi hama terhadap pestisida
9

terjadi karena proses evolusi hama yang beradaptasi dengan perlakuan


pestisida dosis tinggi.
Peningkatkan efektifitas dan efisiensi penggunaan insektisida dapat
dilakuakan dengan identifikasi hama, waktu yang tepat, pemakaian pestisida
yang tepat, dosis yang tepat. Hasil identifikasi yang telah dilakukan akan
diketahui jenis hama yang menyerang sehingga dapat menentukan jenis
insektisida. Menurut Singh (2001) dentifikasi hama berdasarkan tipe mulut
hama akan dapat pula menentukan racun apa yang akan dipergunakan, apakah
racun kontak, racun perut ataukah racun sistemik. Hasil identifikasi juga dapat
menentukan bentuk insektisida yang akan diberikan, berbentuk butiran,
semprot atau fumigasi. Identifikasi ekobiologi hama diketahui waktu aplikasi
pestisida yang tepat, karena telah mengetahui periode kritis hama terhadap
insektisida.
Meurut Tengkano (2002) Keberhasilan pengendalian hama tergantung
pada pemberian insektisida yang tepat. Serangga hama harus dapat
dikendalikan sebelum terjadi kerusakan tanaman yang serius dan pada saat
serangga hama dalam stadia pertumbuhan yang mudah terkena dan peka
terhadap insektisida. Cara untuk menentukan waktu pemberian insektisida
yang tepat atau ambang kendali yang tepat melalui intensitas serangan hama
dalam persentase, stadia pertumbuhan tanaman, atau populasi hama dan stadia
pertumbuhan hama.
Penyemprotan atau penghembusan pestisida saat diaplikasikan pada
semua bagian tanaman harus terkena oleh partikel pestisida. Pemakaian yang
tidak teliti akan memberikan kesempatan lolosnya serangga hama dari
jangkauan pestisida. Pemakaian pestisida yang kurang tepat dapat
mempercepat timbulnya resistensi serangga terhadap pestisida. Pengenceran
pestisida dengan kepekatan lebih rendah untuk tujuan penyemprotan,
penghamburan dan cara lain perlu mengikuti petunjuk-petunjuk pelaksanaan.
Konsentrasi pestisida bila terlalu rendah, maka usaha pengen dalian akan gagal,
bahkan akan menimbulkan terjadinya resurjensi. Jika konsentrasi terlalu tinggi
selain merupakan pemborosan pestisida, juga berakibat bagi kerusakan
10

tanaman karena keracunan dan berbahaya terhadap lingkungan. Insektisida


yang dapat dipakai untuk mengendalikan hama Ulat jengkal atau Chrysodeixis
chalsites pada kacang tunggak (Vigna unguiculata L.) yaitu Ambush 2 EC
bahan aktif Permetrin, Atabron 50 EC klorfluazuron bahan aktif Cascade, 50
EC bahan aktif flufenoksuron, Cymbush 50 EC bahan aktif sipermetrin, Decis
2,5 EC bahan aktif dekametrin, Matador 25 EC sihalotrin.
11

BAB III
PENUTUP

1. Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil dari makalah Hama Chrysodeixis
chalsites pada kacang tunggak (Vigna unguiculata L.) yaitu :
a. Chrydeixis chalcites memilki ciri tubuh berwarna hijau, terdapat garis
berwarna lebih muda pada sisi sampingnya, panjang tubuh
Chrysodeixis chalcites sekitar 2 cm serta berjalan dengan melompat atau
melengkungkan tubuhnya.
b. Gejala serangan Chrydeixis chalcites pada kacang tunggak (Vigna
unguiculata L.) yaitu daun yang berlubang, bercak-bercak putih pada daun,
daun hanya tersisa tulang-tulang daun dan tanaman gundul.
c. Pengendalian Hama Terpadu pengendalian hama menitikberatkan pada
kesehatan tanaman, keberadaan populasi hama dan musuh alami serta
pemilihan komponen pengendalian hama yang tepat.
d. Pestisida diaplikasikan berdasarkan pemantauan ambang kendali serta
dikombinasikan dengan komponen pengendalian hama yanglainnya.
2. Saran
Saran yang dapat diambil pada makalah Hama Chrysodeixis chalsites
pada kacang tunggak (Vigna unguiculata L.) yaitu dalam melakukan kegiatan
pengendalian hama tanaman hendaknya memiliki dasar pengetahuan untuk
menjaga keseimbangan ekologi dan berkelanjutan.

11
12

DAFTAR PUSTAKA

Andow DA and Kiritani K. 2003. The economic injury level and the control
threshold. J Pesticide Information Japan. 4(3) : 3-9.
Arifin M. 2009. Peranan musuh alami ulat grayak (Spodoptera litura F.) pada
berbagai kondisi lingkungan pertanaman kedelai. J Pertanian 2(1) : 45-
55.
Endo S, Sutrisno IM, Samudra A, Nugraha J, Soejitno, and Okada T. 2006.
Insecticide susceptibility of Spodoptera litura F. collected from three
locations in lndonesia. Seminar at BORIF, 24 June 1988. 18 p.
Harnoto. 2001. Pengaruh beberapa formulasi insektisida terhadap biologi Plusia
chalcites Esper. IPB : Thesis FPS.
Hery S. 2006. Kajian antibiosis pada tanaman kedelai terhadap Spodoptera litura
dan Orgyia sp. J Penelitian Palawija. 1(2): 58-63.
Noch LP, Rahayu A, Wahyu A, and Mochida O. 2003. Bionomi ulat grayak
Spodoptera litura (Fabricius) (Lep., Noctuidae) sebagai salah satu hama
kacang-kacangan. Jakarta : Agromedia Pustaka.
Okada T, Tengkano W, and Djuwarso T. 2002. An outiine on soybean pests in
Indonesia in faunistic aspects. J Agronomy 3(2) : 17-23.
Singh SR, Jackai LE, Dos S and Adalla CB.2001. Insectpest ofcowpea. In Insect
Pest of Tropical Food Legumes. Ed. Singh, p. 43-89.
Suharsono. 2006. Kajian antibiosis pada tanaman kedelai terhadap Spodoptera
litura dan Orgyia sp. J Penelitian Palawija. 1(2): 58-63.
Tengkano W and Sutarno T. 2002. Influence of leaf attact at generative stage on
yield of Orba soybean variety. J Penelitian Pertanian. 2(3) : 51-3.

Anda mungkin juga menyukai