Anda di halaman 1dari 15

Analisis Novel "Siti Nurbaya"

“Sitti Nurbaya”

(Kasih Tak Sampai)

Karya : Marah Rusli

Seorang Penghulu di padang yang bernama sutan Mahmud Syah

dengan isterinya bernama Sitti Maryam, yang mempunyai seorang anak

tunggal laki-laki bernama Samsul Bahri. Rumah mereka berdekatan

dengan rumah seorang saudagar bernama Baginda Sulaeman, yang

mempunyai seorang anak tunggal bernama Sitti Nurbaya. Dua keluarga

ini adalah dua keluarga yang bersahabat karib.

            Pada suatu hari setelah pulang dari sekolah, Samsulbahri

mengajak sitti nurbaya pergi ke gunung padang bersama kedua orang

temannya, yaitu Zainularifin dan  Bahtiar untuk bertamasya.

Samsulbahri, Zainularifin dan Bahtiar akan melanjutkan sekolah dokter

jawa di Jakarta. Tepat pada hari yang ditentukan, berangkatlah mereka

bertamasya ke gunung padang. Disana Samsulbahri menyatakan

cintanya kepada  Sitti Nurbaya yang mendapatkan balasan. Sejak itu

pula mereka berdua mengadakan perjanjian akan sehidup semati.

            Pada satu hari yang telah ditentukan, berangkatlah Samsulbahri melanjutkan

sekolahnya ke Jakarta bersama Zainularifin dan Bahtiar. Di sekolah itu, Samsulbahri satu

kelas dengan Zainularifin.

Novel "Siti Nurbaya"


            Di padang ada seorang saudagar yang kaya bernama Datuk

Maringgih, yang selalu berbuat kejahatan secara halus sehingga tidak

diketahui orang lain. Kekayaannya itu didapatkan secara tidak halal.

Untuk itu ia mempunyai banyak kaki tangan, antara lain ialah pendekar

tiga,pendekar empat dan pendekar lima.

            Melihat kekayaan Baginda Sulaeman, Datuk Maringgih merasa

tidak senang, maka semua kekayaan Baginda sulaeman diputuskan

akan dilenyapkan. Dengan perantara kaki tangannya itu dibakarlah tiga

buah toko Baginda sulaeman, serta perahu-perahunya yang penuh

berisi muatan ditenggelamkannya.

            Untuk memperbaiki perdagangannya itu, Baginda Sulaeman

meminjam uang kepada datuk Maringgih dan untuk mengembalikan

uang pinjamannya itu, ia masih mempunyai pengharapan atas hasil

kebun kelapanya. Tetapi alangkah terkejutnya ketika diketahuinya

semua pohon kelapanya sudah tidak berbuah lagi. Kebun kelapanya itu

oleh para kaki tangan  Datuk Maringgih diberi obat-obatan, sehingga

pohon kelapanya tidak ada yang berbuah sedikitpun. Di samping itu,

karena hasutan kaki tangan Datuk Maringgih, semua langganan yang

telah berhutang pada Baginda Sulaeman mengingkari hutangnya.

Dengan demikian Baginda Sulaeman menjadi orang yang sangat

melarat, sehingga ia tidak bisa membayar hutangnya.

            Karena Baginda Sulaeman tidak dapat membayar hutangnya,

maka Datuk Maringgih bermaksud menyita rumah dan barang-barang


milik Baginda Sulaeman, kecuali Jika Sitti Nurbaya diserahkan

kepadanya untuk dijadikan sebagai istri. Awalnya Sitti Nurbaya menolak

dan tidak sudi, tetapi ketika ayahnya hendak digiring akan dimasukan

penjara, maka secara terpaksalah ia mau dijadikan sebagai isteri Datuk

Maringgih, walaupun hatinya sangat benci padanya. Selanjutnya

kejadian yang menimpa dirinya dan ayahnya itu segera diberitahukan

kepada Samsulbahri.

            Setelah setahun di Jakarta, menjelang puasa, pulanglah

Samsulbahri ke padang. Setelah menjumpai orang tuanya yang sehat

walafiat, pergilah ia ke rumah Baginda Sulaeman, setelah ia mendengar

dari ibunya, bahwa Baginda Sulaeman sedang sakit. Sesampainya ke

tempat yang di tuju, dijumpainya Baginda Sulaeman yang sedang

terbaring sakit. Tidak lama setelah kedatangan Samsulbahri itu,

datanglah Sitti Nurbaya yang memang ayahnya mengharapkan

kedatangannya. Maka berjumpalah Samsulbahri dengan Sitti Nurbaya.

Beberapa hari kemudian, berjumpalah mereka kembali dalam

pertemuan di malam hari. Kedua nya yang saling melepas rindu itu,

ternyata tidak mengetahui bahwa gerak-gerik merekasedang diikuti

oleh Datuk Maringgih beserta Kaki tangannya. Karena tak tahan akan

rindunnya, Samsulbahri dan Sitti Nurbaya pun berciuman. Pada saat itu

lah Datuk Maringgih muncul dan terjadilah percekcokan diantara

mereka. Karena mendengar kata-kata yang pedas dari Samsulbahri,

maka Datuk Maringgih memukulkan tongkat dengan sekeras-kerasnya


kepada Samsulbahri, Tetapi karena Samsulbahri menghindarkan dirinya

sambil memegang Sitti Nurbaya, maka pukulan Datuk Maringgih tidak

mengenai sasarannya, akhirnya ia pun tersungkur. Dengan segera

Samsulbahri pun langsung menendangnya, karena kesakitan,

berteriaklah Datuk Maringgih minta tolong. Mendengar teriakan itu

keluarlah Pendekar Lima dari persembunyiannya dengan bersenjatakan

sebilah keris.

            Melihat Pendekar Lima membawa keris itu, berteriaklah Sitti

Nurbaya sehingga teriakannya itu terdengar oleh para tetangga dan

Baginda Sulaeman yang sedang sakit itu. Karena disangkannya Sitti

Nurbaya mendapatkan kecelakaan, maka bangkitlah Baginda Sulaeman

dan segera ke tempat anaknya itu. Tetapi karena kurang hati-hati,

terperosoklah ia jatuh, sehingga seketika itu juga Baginda Sulaeman

meninggal. Ia dikebumikan di gunung padang.

            Pada waktu Pendekar Lima hendak menikam Samsulbahri,

menghindarlah Samsulbahri,dan pada saat itu juga ia berhasil

menendang tangan Pendekar Lima, sehingga keris yang ada

ditangannya terlepas. Sementara itu, datanglah para tetangga yang

mendengar teriakan Sitti Nurbaya itu. Melihat mereka yang

berdatangan, larilah Pendekar lima ke tempat persembunyiannya.

             Di para tetangga yang berdatangan itu, kelihatan pula Sutan

Mahmud Syah yang hendak menyelesaikan peristiwa itu. Setelah ia


mendengar penjelasan Datuk Maringgih tentang perbuatan yang telah

dilakukan oleh anaknya itu, maka

tanpa dipikirkan masak-masak lebih dulu, Samsulbahri pun di usir oleh

Sutan Mahmud Syah dari rumahnya, karena menurutnya ia telah

mempermalukan keluarganya. Pada malam hari itu juga secara diam-

diam Samsulbahri pun pergi ke Teluk Bayur untuk naik kapal menuju

Jakarta. Pada pagi harinya, ributlah Sitti Maryam mencari anaknya itu.

Setelah gagal mencari kesana-sini, maka dengan sedihnya, pergilah

Sitti Maryam ke rumah saudaranya di Padang Panjang. Disana karena

terus menyimpan rasa kesedihannya itu, ia pun jatuh sakit.

            Sejak kematian ayahnya, Sitti Nurbaya menunjukan kekerasan

hatinya kepada Datuk Maringgih. Ia pun berani mengusirnya dan tidak

mau mengakui suaminya lagi. Dengan rasa geram hati dan dendam,

pulanglah Datuk Maringgih ke rumahnya. Ia pun berencana akan

membunuh Sitti Nurbaya.

            Setelah peristiwa pertengkaran dengan Datuk Maringgih itu,

Sitti Nurbaya tinggal di rumah saudara sepupunya bernama Alimah.

Dirumah itu Sitti Nurbaya mendapatkan petunjuk-petunjuk dan nasihat,

antara lain ialah untuk menjaga keselamatan atas dirinya, Sitti Nurbaya

dinasihati oleh Alimah agar pergi saja ke Jakarta, berkumpul bersama

Samsulbahri. Petunjuk dan nasihat Alimah  sepenuhnya di terima oleh

Sitti Nurbaya, dan diputuskannya ia akan pergi ke Jakarta bersama Pak

Ali yang telah berhenti ikut Sutan Mahmud Syah sejak pengusiran diri
atas Samsulbahri tersebut. Kepada Samsulbahri pun ia memberitahukan

kedatangannya itu. Tetapi malang bagi Sitti Nurbaya, karena

percakapannya dengan Alimah tersebut, dapat didengar  oleh kaki

tangan Datuk Maringgih yang memang sengaja memata-matainya.

            Pada hari yang telah ditentukan, berangkatlah Sitti Nurbaya

dengan Pak Ali ke Teluk Bayur untuk segera naik kapal menuju Jakarta.

Mereka tidak mengetahui bahwa perjalanan mereka diikuti oleh

Pendekar Tiga dan Pendekar Lima. Setelah Sitti Nurbaya dan Pak Ali

menaiki kapal dan mencari tempat yang tersembunyi, maka berkatalah

pendekar Lima kepada Pendekar Tiga, bahwa ia akan mengikuti

perjalanan Sitti Nurbaya ke Jakarta, sedang Pendekar Tiga disuruhnya

pulang untuk memberitahukan peristiwa itu kepada Datuk Maringgih.

Setelah itu, Pendekar Lima pun menaiki kapal tersebut dan mencari

tempat yang tersembunyi pula.

            Pada suatu saat tatkala orang menjadi ribut  di kapal, akibat

ombak yang sangat besar, lalu pergilah Pendekar Lima mencari  tempat

Sitti Nurbaya bersembunyi. Setelah ia mendapatkannya, ia pun

menyeret Sitti Nurbaya dan akan membuangnya ke laut. Melihat

kejadian itu, Pak Ali pun bertindak, tetapi ia pun mendapatkan pukulan

Pendekar Lima dan tidak mampu melawannya kembali. Sitti Nurbaya

pun berteriak sekuat-kuatnya sampai ia pun jatuh pingsan. Teriakannya

itu terdengar oleh semua orang yang berada dalam kapal, lebih-lebih

Kapten kapal itu. Karena takut ketahuan akan perbuatannya itu,


Pendekar Lima pun lari untuk menyembunyikan diri. Sitti Nurbaya pun

Akhirnya di angkat seseorang ke suatu kamar untuk di rawat.

            Akhirnya tak lama kapal pun tiba di Jakarta. Di pelabuhan

Tanjung Priok, Samsulbahri sudah gelisah menantikan kedatangan

kapal yang ditumpangi oleh kekasihnya itu. Setelahkapal itu merapat ke

darat, maka naiklah Samsulbahri ke kapal untuk mencari Sitti Nurbaya.

Alangkah terkejutnya ketika ia mendengar dari Kapten kapal dan Pak

Ali, tentang peristiwa yang menimpa diri Sitti Nurbaya itu. Dengan di

antar Kaptan kapal dan Pak Ali, pergilah Samsulbahri ke kamar Sitti

Nurbaya dirawat. Sesampainya ia melihat Sitti Nurbaya terbaring dalam

keadaan lemah tak berdaya.

            Pada saat itu, tiba-tiba datanglah polisi mencari Sitti Nurbaya.

Setelah berjumpa dengan Kaptan kapal dan Samsulbahri, diberitahukan

kepada mereka bahwa kedatangan mencari Sitti Nurbaya itu ialah atas

perintah atasannya yang telah mendapat telegram dari Padang, bahwa

ada seorang wanita bernama Sitti Nurbaya yang yelah melarikan diri

dengan membawa barang-barang berharga milik suaminya dan

diharapkan orang itu di tahan, dan dikirim kembali ke Padang.

Mendengar hal itu, mengertilah Samsulbahri bahwa hal itu ialah tidak

lain akal busuk Datuk Maringgih. Ia pun minta kepada polisi itu agar hal

tersebut jangan diberitahukan dulu kepada Sitti Nurbaya, mengingat

akan kesehatannya yang sangat mengkhawatirkan itu. Ia meminta

kepada yang berwajib agar kekasihnya itu di rawat dulu di Jakarta,


sampai ia sembuh sebelum kembali ke Padang. Permintaan Samsulbahri

pun dikabulkan, setelah Dokter yang memeriksanya menganggap akan

perlunya perawatan atas diri Sitti Nurbaya. Setelah Sitti Nurbaya

sembuh, barulah diberitahukan hal telegram itu kepada kekasihnya.

Dengan senang hati, kabar itu pun di terima oleh Sitti Nurbaya. Ia pun

bermaksud kembali ke Padang untuk menyelesaikan masalah yang

didakwakan atas dirinya itu. Samsulbahri berusaha meminta kepada

yang berwajib, agar perkara kekasihnya itu diperiksa di Jakarta saja,

namun permintaan itu tidak dikabulkan. Maka pada hari yang telah

ditentukan, berangkatlah Sitti Nurbaya ke Padang dengan di antarkan

oleh pihak yang berwajib. Dalam pemeriksaan di padang, ternyata Sitti

Nurbaya tidak terbukti melakukan kejahatan seperti yang telah

didakwakan atas dirinya itu. Karena itulah, Sitti Nurbaya dibebaskan

dan disana ia tinggal di rumah Alimah.

            Pada suatu hari, walaupun tidak disetujui oleh Alimah, Sitti

Nurbaya pergi membeli kue yang dijagakan oleh Pendekar Empat, yaitu

kaki tangan Datuk Maringgih. Kue yang sengaja disediakan khusus

untuk Sitti Nurbaya itu telah berisi racun. Setelah penjaga kue itu pergi,

Sitti Nurbaya pun makan kue yang baru saja dibelinya. Setelah makan

kue itu, ia merasa kepalanya pusing. Tidak lama kemudian secara

mendadak Sitti Nurbaya pun meninggal. Mendengar dan melihat hal itu,

terkejutlah ibu Samsulbahri yang pada waktu itu sedang menderita

sakit keras, sehingga menyebabkan kematiannya. Lalu kedua jenazah


itu dikebumikan di Gunung Padang bersampingan dengan makan

Baginda Sulaeman.

            Kabar kematian Sitti Maryam dan Sitti Nurbaya itu langsung

dikabarkan kepada Samsulbahri di Jakarta. Membaca telegram yang

sangat menyedihkan itu, Samsulbahri memutuskan untuk bunuh diri.

Sebelum hal itu dilakukannya, ia menulis surat kepada guru dan teman-

temannya, demikian pula kepada ayahnya di Padang, untuk minta

berpisah selama-lamanya. Kemudian dengan menyaku sebuah pistol,

pergilah ia ke kantor pos bersama Zainularifin untuk memasukan surat.

Kabar yang sangat menyedihkan itu dirahasiakan oleh Samsulbahri,

sehingga Zainularifin pun tidak mengetahuinya. Sesampainya ke kantor

pos, Samsulbahri minta berpisah dengan Zainularifin dengan alasan

bahwa ia hendak pergi ke rumah seorang tuan yang telah

dijanjikannya. Zaenularifin pun memperkenankannya, tetapi dengan

tidak diketahui oleh Samsulbahri, ia pun mengikuti gerak-gerik

sahabatnya itu, karena ia mulai curiga akan maksud sahabatnya itu.

            Pada suatu tempat di kegelapan, Samsulbahri berhenti dan

mengeluarkan pistolnya yang kemudian menghadapkan ke kepalanya.

Melihat yang dilakukan sahabatnya itu, Zaenularifin segera

mengejarnya sambil berteriak. Karena teriakan Zaenularifin itu, peluru

yang telah meletus itu tidak mengenai sasarannya. Akhirnya kabar

tentang seorang murid Sekolah Dokter Jawa di Jakarta yang berasal

dari Padang telah bunuh diri itu tersiar kemana-mana melalui surat
kabar. Kabar itu pun sampai di Padang dan di dengar oleh Sutan

Mahmud Syah dan Datuk Maringih.

            Karena perawatan yang baik, sembuhlah Samsulbahri. Ia minta

kepada yang berwajib agar berita mengenai dirinya yang masih hidup

itu dirahasiakan, sejak itu lah ia pun berhenti sekolah. Karena ia

menginginkan untuk mati, ia pun menjadi serdadu (tentara). Ia di kirim

kemana-mana antara lain ke Aceh untuk memedamkan kerusakan-

kerusakan yeng terjadi di sana. Karena keberaniannya, maka dalam

waktu sepuluh tahun saja, pangkat Samsulbahri dinaikan menjadi

Letnan dengan nama Letnan Mas.

            Pada suatu hari, Letnan Mas bersama kawannya bernama

Letnan Van Sta ditugaskan untuk memimpin anak buahnya

memadamkan pemberontakan mengenai masalah Balasting (pajak).

Sesampainya di Padang dan sebelum terjadi pertempuran, pergilah

Letnan ke tempat pemakaman ibu, kekasihnya,dan baginda sulaeman di

Gunung Padang.

            Dalam pertempuran dengan pemberontakan itu, bertemulah

Letnan Mas dengan Datuk Maringgih yang termasuk sebagai salah satu

pemimpin pemberontakan itu. Setelah bercekcok sebentar, maka

ditembaklah Datuk Maringgih oleh Letnan Mas, sehingga ia pun

menemui ajalnya. Tetapi sebelum ia meninggal, ia pun sempat

membalasnya. Dengan ayunan pedangnya, kenalah kepala Letnan Mas

yang menyebabkan ia rebah. Ia rebah diatas timbunan mayat yang


antara lain terdapat mayat Pendekar Empat dan Pendekar Lima.

Kemudian Letnan Mas di angkut ke rumah sakit. Karena dirasakannya

bahwa ia  tak lama lagi hidup di dunia ini, maka Letnan Mas minta

tolong kepada dokter yang merawatnya, agar dipanggilkan penghulu di

Padang yang bernama Sutan Mahmud Syah, karena ada hal penting

yang harus dikatakan kepadanya. Setelah Sutan Mahmud Syah datang,

maka Letnan Mas pun berkata padanya bahwa Samsul bahri masih

hidup dan sekarang berada di Padang untuk memadakan

pemberontakan, tetapi kini ia sedang dirawat di rumah sakit, karena

luka-luka yang dideritanya. Dikatakan pula kepadanya, bahwa

Samsulbahri sekarang bernama Mas, yakni kebalikan dari kata Sam,

dan berpangkat Letnan. Akhirnya disampaikan pula kepada Sutan

Mahmud Syah, bahwa pesan anaknya kalau ia meninggal, ia minta

dikebumikan di Gunung Padang di antara makam Sitti Nurbaya dan Sitti

Maryam. Setelah berkata itu, maka Letnan Mas pun meninggal.

            Setelah hal itu ditanyakan oleh Sutan Mahmud Syah kepada

dokter yang merawatnya, barulah Sutan Mahmud Syah mengetahui

bahwa yang baru saja meninggal itu adalah anaknya sendiri, yaitu

Letnan Mas alias Samsulbahri. Kemudian dengan upacara  kebesaran,

baik pihak pemerintah maupun dari penduduk Padang, dimakamkanlah

jenazah Letnan Mas atau Samsulbahri itu diantara makam Sitti Maryam,

Sitti Nurbaya seperti yang dimintanya.


            Sepeninggalan Samsulbahri, karena sesal dan sedihnya maka

beberapa hari kemudian, meninggal pula Sutan Mahmud Syah.

Jenazahnya dikebumikan berdekatan dengan makam isterinya, yaitu

Sitti Maryam. Dengan demikian dikuburan Gunung Padang terdapat

lima makam yang berjajar dan menderet, yaitu makam Baginda

Sulaeman, Sitti Nurbaya, Samsulbahri, Sitti Maryam dan Sutan Mahmud

Syah

 Pendekatan Pragmatik

“ Alangkah indahnya Dunia ini, apabila diselimuti dengan butir-

butir kedamaian, ketentraman, kasih sayang dan cinta. Tak ada orang-

orang yang mempunyai sifat jahat dan berhati kelicikan, yang dapat

merusak kedamaian dan ketentraman serta dapat merugikan orang-

orang yang sedang menjalin ikatan kasih sayang dan cinta. Namun Kita

harus percaya, orang-orang yang memiliki sifat jahat dan hati yang licik

itu, akan menerima akibat yang telah diperbuat olehnya dan pada

akhirnya mereka akan lemah dan kalah ”.

            Novel yang berjudul ‘’Sitti Nurbaya” karya Marah Rusli ini,

sangat menarik untuk dibaca oleh berbagai kalangan, karena setelah

kita membaca novel ini, kita akan mendapatkan makna-makna baru

kehidupan. Novel ini mengangkat tentang kisah cinta yang indah,

tentang patriotisme,dan tentang perjuangan nilai-nilai kemanusiaan.


            Novel ini berceritakan tentang sepasang kekasih yang menjalin

ikatan cinta, dan mereka berdua berjanji akan sehidup-semati. Namun

kini janji cinta itu, hanyalah sebuah khayalan, setelah tokoh yang

bernama Datuk Maringgih memanfaatkan akal jahat dan liciknya, untuk

memperistri Sitti Nurbaya kekasih dari Samsulbahri. Awalnya Sitti

Nurbaya menolak dan tidak mau, tetapi karena ia tidak tega melihat

ayahnya akan dimasukan kedalam penjara oleh sijahat Datuk

Maringgih, Akhirnya dengan sangat terpaksa ia pun bersedia menjadi

istrinya. Namun isi akhir segala novel ini ialah akhir dalam hidup

(kematian). Semuannya berawal dari kejahatan Datuk Maringgih.

Pertama, meninggalnya Baginda Sulaeman (ayah Sitti Nurbaya), disusul

oleh meninggalnya Sitti Nurbaya dan Sitti Maryam (ibu Samsulbahri).

Setelah itu karena pembalasan Samsulbahri kepada Datuk Maringgih,

yang akhirnya Datuk Maringgih meninggal. Ia meninggal setelah

bertarung dengan Samsulbahri yang pada waktu itu menjadi serdadu

(tentara) yang berganti nama Letnan Mas. Namun tak lama,

Samsulbahri pun meninggal dunia setelah mendapatkan perlawanan

dari Datuk Maringgih yang sudah di tembak dengan pistolnya itu.

Akhirnya Sutan Mahmud Syah (ayah Samsulbahri) pun meninggal dunia

juga karena hidup dalam kesendiriannya.

            Dalam novel ini juga, kedua tokoh yang bernama Samsulbahri

dan Sitti nurbaya bisa dijadikan contoh atau panduan hidup untuk kita.

Kita bisa lihat dari kepribadian tokoh Samsulbahri yang mempunyai


sifat yang baik hati, berhati mulia, cerdas,dan membela orang yang

lemah. Begitu juga dengan tokoh Sitti Nurbaya yang memiliki sifat baik

hati, sopan, cerdas dan cantik, selain itu kita bisa lihat bagaimana

keputusan yang diambil olehnya, untuk rela dan ikhlas menjadi istri si

jahat Datuk Maringgih, karena ia tidak mau sampai ayahnya dimasukan

ke penjara olehnya. Namun tokoh yang bernama Datuk Maringgih tidak

boleh dijadikan sebagai contoh atau panduan hidup, karena ia memiliki

sifat yang sangat buruk sekali, Padahal usianya yang sudah lanjut usia

atau bisa di bilang kakek-kakek. kita bisa lihat dengan sifat yang jahat

dan licik itu, ia dapat merugikan orang lain, bahkan dirinya sendiri,

serta yang ia hanya pikirkan ialah kekayaan, menurutnya barang siapa

yang melebihi kekayaannya, ia akan memusnahkannya. Jadi, tokoh

yang bernama Datuk Maringgih jangan dijadikan sebagai panduan atau

tokoh yang patut di contoh untuk kehidupan kita, karena sesungguhnya

Allah tidak suka kepada hambanya yang berbuat jahat kepada

sesamanya.

Pengarang mengajak kita, untuk memetik beberapa nilai moral

dari novelnya yang berjudul ‘’Sitti Nurbaya’’ (Kasih Tak Sampai) yang

sangat terkenal ini, antara lain :

“Demi orang-orang yang dicintainya, seorang wanita bersedia

mengorbankan apa saja, meskipun ia tahu pengorbanannya dapat

merugikan dirinya sendiri. Terlebihnya pengorbanan tersebut demi

orang tuanya”.  
“Bila asmara melanda jiwa seseorang, maka luasnya samudera

tak akan mampu menghalangi jalannya cinta. Demikian cinta yang

murni tak akan padam sampai mati”.

“Bagaimana pun juga praktek lintah darat merupakan sumber

malapetaka bagi kehidupan keluarga”.

“Menjadi orang tua, hendaknya lebih bijaksana, tidak

memutuskan suatu persoalan hanya karena untuk menutupi perasaan

malu belaka sehingga mungkin berakibat penyesalan yang tak

terhingga”.

“Kebenaran sungguh diatas segala-galanya”.

“Akhir dari segala kehidupan adalah mati, tetapi mati jangan

dijadikan akhir dari persoalan hidup.”

Anda mungkin juga menyukai