Anda di halaman 1dari 10

I.

Tanggal Praktikum : 4-6 Mei 2018

II. Judul Praktikum : Pengukuran Faktor Fisik

III. Tujuan Praktikum :

1. Menetapkan kondisi pH tanah di suatu habitat hewan.

2. Untuk mengetahui suhu tanah dan suhu lingkungan dari habitat hewan tanah.

IV. Dasar Teori :

Faktor-faktor yang mempengaruhi pH tanah sistem tanah yang dirajai oleh ion-ion

H+ akan bersuasana asam. Penyebab keasaman tanah adalah ion H+ dan Al3+ yang berada

dalam larutan tanah unsur-unsur yang terkandung dalam tanah, konsentrasi ion H+ dan

OH-, mineral tanah, air hujan dan bahan induk. Bahwa bahan induk tanah mempunyai

pH yang bervariasi sesuai dengan mineral penyusunnya dan asam nitrit yang secara

alami merupakan komponen renik dari air hujan juga merupakan faktor yang

mempengaruhi pH tanah, selain itu bahan organik dan tekstur (Prabowo, 2017: 62).

pH tanah mempengaruhi kelarutan unsur logam sehingga mempengaruhi

ketersediaan hayati logam dalam tanah untuk dapat diserap tanaman. Hal ini tidak hanya

tergantung pada spesies tanaman, tetapi juga pad kondisi edafis. Jika pH menurun

sampai di bawah 6,5 dan 5,3, maka proporsi kelarutan kandungan Cd dan Zn meningkat

(Handayanto, 2017:43).
Hal ini juga yang menyebabkan bahwa bahan organik pada tanah tropika di daerah

tropis jarang terakumulasi karena faktor iklim sangat optimum bagi aktivitas

mikroorganisme dalam melakukan dekomposisi sisa tanaman. Faktor-faktor yang

mempengaruhi laju dekomposisi humus adalah pengolahan tanah, temperatur,

kelembaban tanah, pH, kedalaman dan aerasi tanah (Wibowo, 2014: 153).

Pengaruh mulsa selain mengurangi erosi juga mempengaruhi suhu tanah dan

aerasi. Suhu tanah maksimum pada kedalaman 5 cm turun 6-12 0C, pada kedalaman 10

cm turun 4-6 0C, sedangkan suhu minimum rata-rata naik 1 0C. Dengan menurunnya

suhu maksimum, maka kecepatan perombakan bahan organik akan menurun, hal ini

penting karena menurunnya kadar bahan organik dapat mempengaruhi laju erosi

(Satriawan, 2014:38).

Hasil rata-rata analisis suhu, menunjukkan bahwa pada lahan olah tanah intensif

nyata memberikan nilai suhu tanah yang lebih tinggi (29 o C), sedangkan lahan tanpa olah

tanah nyata memberikan nilai suhu tanah yang lebih rendah (28,13o C). Hasil uji korelasi

pada pertanaman tebu tahun ke enam menunjukan hal yang berbeda, bahwa perlakuan

sistem olah tanah dan aplikasi mulsa bagas menunjukan korelasi positif dengan suhu

tanah pada pengamatan 8 BSR (Putri, 2017: 110 & 112).

V. Alat dan Bahan :

1. pH meter atau lakmus 6. Tabung reaksi


2. Erlenmeyer 7. Timbangan
3. Gelas Kimia 8. Cawan petri
4. Pengaduk 9. Termometer
5. Aquadest 10. Alat Pelubang tanah

VI. Cara Kerja :

pH tanah :

1. Diambil tanah contoh tanah (sampel) yang akan diukur pH lalu diaduk sampai

rata.

2. Dimasukkan ke dalam tabung reaksi sebanyak satu gram tanah dan

ditambahkan aquadest sebanyak 3 ml.

3. Dikocok dengan alat pengaduk gelas dan dibiarkan selama 5 menit.

4. Diteteskan cairan itu pada cawan petri.

5. Dicelupkan kertas lakmus.

6. Untuk pH meter dilakukan dalam gelas kimia dengan jumlah sampel tanah

dan aquadest yang banyak.

7. Dicatat dalam tabel pengamatan.

Suhu tanah dan suhu udara :

1. Dibuat lubang tanah sedalam ± 5-10 cm.

2. Dimasukkan termometer ke dalam lubang ini dan ditutup semua bagian

lubang yang tersisa dengan tanah galiannya.

3. Dibiarkan selama 5-10 menit dan setelah itu dilakukan pengamatan langsung

di tempat termometer di tanam dengan tetap membiarkan termometer tetap

pada tempatnya.
4. Diamati dan dicatat hasil pengamatan.

VII. Hasil Pengamatan :

Pengukuran Faktor Fisik Terestrial

Waktu Kelembaban Intensitas pH Tanah Suhu Suhu


Udara Cahaya Udara Tanah
23:00 46% 003 6,3 27,6 28 OC
00:00 88% 002 6,5 26,6 27 OC
01:00 89% 003 5,9 26,4 27 OC
02:00 89% 003 6,5 25,5 26 OC
03:00 89% 003 6,5 25 26 OC
04:00 89% 005 6,5 25,8 25 OC
05:00 91% 004 6,5 25,3 25 OC

Pengukuran Fisik Aquatik

Suhu Air pH Air Salinitas Kedalaman Cahaya


25 OC 7,4 0 0/00 120 cm

VIII. Pembahasan :

Lingkungan fisik atau anorganik, yaitu lingkungan yang terdiri darigaya kosmik

dan fisiogeografis seperti tanah, udara, laut, radiasi, gayatarik, ombak dan sebagainya

(Siahaan, 2004:14). Pernyataan tersebut sesuai dengan hasil dalam praktikum ini. Dalam

ekosistem, terdapat 2 komponen penyusun, yaitu biotik (makhluk hidup) dan abiotik

(benda tak hidup). Komponen abiotik merupakan faktor penentu dalam pembentukkan

ekosistem. Komponen abiotik dalam hal ini yaitu terdapat tanah, udara, air, dan

intensitas cahaya.
Faktor fisik yang diukur dalam praktikum ini meliputi terestrial dan aquatik.

Faktor fisik terestrial berupa bagian darat dan aquatik berupa bagian laut. Untuk

terestrial, dilakukan pengukuran untuk kelembaban udara, intensitas cahaya, pH tanah,

suhu udara serta suhu tanah. Sedangkan untuk pengukuran faktor fisik aquatik,

dilakukan pengukuran untuk suhu air, pH air, salinitas, kedalaman cahaya. Hal ini

terdapat beberapa kesesuaian dengan buku yang ditulis oleh Adnan (2008:193) yang

menyatakan bahwa Di setiap plot, dilakukan pengukuran faktor fisik berikut ini:

Koordinat, ketinggian, kemiringan, intensitas cahaya, kelembaban udara, suhu tanah dan

udara, struktur tanah, kandungan air tanah, kandungan organik tanah, dan kandungan

mineral tanah.

Untuk pengukuran terestrial, digunakan termometer air raksa skala 1-100 untuk

mengukur suhu tanah, luxmeter untuk mengukr intensitas cahaya, higrometer untuk

mengukur kelembaban udara, soil test untuk mengukur pH tanah. Sedangkan untuk

pengukuran aquatik, digunakan termometer air raksa skala 1-100 untuk mengukur suhu

air, pH meter untuk pH air, salinometer untuk mengukur salinitas air dan secci disk

untuk mengukur kecerahan serta kedalaman air.

Untuk pengukuran terestrial, dilakukan tiap 1 jam terhitung pengukuran pertama

dari pukul 23:00 WIB hingga pukul 05:00 WIB (sebanyak 7 kali pengukuran).

Berdasarkan hasil pengamatan, dapat diketahui bahwa kelembaban udara, intensitas

cahaya, pH tanah, suhu udara serta suhu tanah memiliki nilai yang berbeda-beda.

Namun, tidak terdapat perbedaan yang sangat jauh. Namun, untuk kelembaban udara

dari jam 23:00 WIB hingga pukul 00:00 WIB memiliki nilai yang berbeda jauh (jam
23:00 WIB= 46%, jam 00:00 WIB= 88%). Kelembaban udara dapat mempengaruhi

suhu tanah. Apabila kelembaban udara tinggi, dapat kemungkinan bahwa kandungan

H2O dalam udara tinggi sehingga suhu udara pun rendah.

Untuk suhu udara, rata-rata suhu dari jam 23:00-05:00 WIB sebesar 26 OC
O
sedangkan suhu tanah sebesar C. Suhu udara maupun suhu tanah dapat dipengaruhi

oleh tingkat kelembaban lingkungan tersebut. Biasanya, suhu udara pada malam hari

tergolong rendah. Hal ini dikarenakan intensitas cahaya pada malam hari rendah.

Sehingga komponen biotik (tumbuhan) melakukan gutasi yang mengakibatkan

penguapan air sangat rendah.

Pengukuran pH tanah penting untuk dilakukan. Hal ini dikarenakan tidak semua

makhluk hidup dapat bertahan dengan pH tanah yang terlalu kuat (asam dan basa).

Apabila kandungan pH dalam tanah tersebut terlalu kuat, maka dapat mengancam

kehidupan pada habitat hewan. Hal ini sesuai dengan pernyataan pada Campbell

(2008:59) bahwa presipitasi asam dapat merusak kehidupan di danau dan sungai. Selain

itu, presipitasi asam yang turun di daratan memberi pengaruh buruk pada kimia tanah

dan telah memakan korban beberapa hutan di Amerika Utara dan Eropa.

Pengukuran faktor fisik air hampir tidak jauh berbeda dengan pengukuran faktor

fisik tanah. Hanya saja pengukuran faktor fisik air meliputi suhu air, pH air, salinitas air,

dan kedalaman cahaya. Salinitas air memiliki nilai yang berbeda-beda. Untuk air tawar,

memiliki salinitas 0-0,5 0/00. Untuk kedalaman cahaya, diperlukan pengukuran agar dapat

mengetahui apakah pada tingkat kedalaman tertentu terdapat kehidupan ataupun tidak.

Hal ini dikarenakan apabila kedalaman sungai tersebut tergolong besar, maka dapat
kemungkinan bahwa cahaya tidak dapat merambat sampai dasar sungai dan tidak

terdapat kehidupan dikarenakan tidak adanya rambatan cahaya matahari. Pengukuran

salinitas air diperlukan agar kita dapat mengetahui apakah air tersebut memiliki kadar

garam yang tinggi atau rendah.

Berdasarkan hal tersebut, kondisi fisik di lingkungan tersebut tergolong stabil

sehingga hewan tersebut dapat bertahan hidup di lingkungan tersebut. Suhu yang terlalu

tinggi dapat mempengaruhi kelembaban tanah sehingga dapat berpengaruh pula bagi

tubuh hewan tersebut. Misalnya, dikarenakan suhu yang terlalu tinggi, maka hewan

tubuh hewan tersebut tidak dapat beradaptasi sehingga tidak dapat bertahan hidup dalam

waktu yang lama.

IX. Kesimpulan :

Berdasarkan hasil pengamatan dan pembahasan, dapat diambil kesimpulan

bahwa:

1. pH tanah pada lingkungan tersebut tergolong asam lemah.

2. pH tanah memiliki ukuran sekitar 5,9 – 6,5.

3. pH air pada lingkungan tergolong netral. Namun, hampir condong ke basa.

4. pH air memiliki ukuran yitu 7,4.


5. pH tanah pada lingkungan tidak menimbulkan kerusakan pada ekosistem

tersebut.

6. Suhu udara pada lingkungan rata-rata sebesar 26 OC.

7. Suhu tanah pada lingkungan rata-rata sebesar 26 OC.

8. Suhu air pada lingkungan sebesar 25 OC.

9. Suhu udara, maupun tanah dapat dipengaruhi oleh tingkat kelembaban.

10. Apabila kondisi suhu, pH, kelembaban, intensitas cahaya tidak seimbang,

maka ekosistem pada lingkungan tersebut dapat terganggu.

X. Daftar Pustaka :

Handayanto, E. 2017. Fitoremeditasi dan Phytomining Logam Berat Pencemar Tanah.


Malang: UB Press.

Prabowo R, Subantoro R. 2017. Analisis Tanah Sebagai Indikator Tingkat Kesuburan


Lahan Budidaya Pertanian di Kota Semarang. Jurnal Ilmiah Cendekia Eksakta.
Vol 2(2): 59-64.

Putri N A R, dkk. 2017. Pengaruh Sistem Olah Tanah dan Aplikasi Mulsa Bagas
Terhadap Respirasi Tanah Pada Pertanaman Tebu (Saccharum Officinarum L)
Ratoon Ke-1 Periode 2 di Pt Gunung Madu Plantations. J. Agrotek Tropika. Vol
5(2): 109-112.
Satriawan, H. 2014. Teknologi Konservasi Tanah dan Air. Yogyakarta: Deepublish.

Wibowo S Y, dkk. 2014. Pengaruh Sistem Olah Tanah Pada Lahan Alang-Alang
(Imperata Cylindrica) Terhadap Biomassa Karbon Mikroorganisme Tanah (C-
Mik) yang Ditanami Kedelai (Glycine Max L.) Musim Ke Dua. J. Agrotek
Tropika. Vol 2(1): 149-154.

Anda mungkin juga menyukai