Anda di halaman 1dari 58

1. Jelaskan anatomi, histologi, dan fisiologi organ terkait berdasarkan scenario!

Jawab :
A. Anatomi
1) Kelenjar pituitary atau Hipofisis

Kelenjar hipofisis terletak dibawah otak dalam rongga os sphenoidale yakni sella
turcica. Hipofisis berkembang sebagian dari ektoderm oral dan sebagian lagi dari otak
yang sedang berkembang. Unsur saraf timbul berupa evaginasi dari dasar diensefalon
dan tumbuh kearah kaudal sebagai suatu tangkai atau infundibulum yang masih melekat
pada otak. Hipothalamus berada di atas infundibulum , yang terdiri atas neurohipofisis
posterior dan adenohipofisis anterior. Neurohipofisis terdiri ataspars nervosa dan
infundibulum yang lebih kecil dengan tangkai yang melekat pada hipothalamus di
eminentia mediana. Adenohipofisis memiliki 3 bagian yaitu pars distalis (lobus
anterior), pars tuberalis yang mengelilingi infundibulum dan pars intermedia yang tipis.

Sirkulasi portal hipofisis mendapatkan darah dari A.hipofisialis superior cabang


pars cerebralis A.carotis interna. Kemudian darah melewati dua struktur aliran vena.
Yang pertama terletak pada eminentia mediana hypothalamus ( area ujung akson
neurosekretoris neuron parvoselular ). Di sini neuron-neuron ini mengeluarkan banyak
statin dan liberin (= hormon pelepas dan penghambat ) kedalam darah vena. Sistem
vena kedua , membentang pada adenohipofisis , untuk mengambil hormon yang
diproduksi dan membawanya ke seluruh tubuh.
2) Kelenjar Tiroid

Kelenjar tiroid berada dibawah larynx. Kelenjar tiroid menutupi bagian atas
lateral tracheadengan masing-masing lobus (lobus dexter dan lobus sinister) dan isthmus
dibagian depannya. Kelenjar tiroid berada pada perbatasan antara kartilago krikoidea
dengan ruas-ruas kartilago trachea bagian atas. Kelenjar tiroid membungkus sisi lateral
dan ventral bagian atas trachea.

Sebagai organ endokrin, kelenjar tiroid memiliki perdarahan yang sangat baik.
Suplai darah berasal dari A.thyroidea superior, cabang dari A.carotis eksterna dan
A.thyroidea inferior, cabang dari trunkus thyrocervicalis. Terkadang , A.thyroidea yang
kecil , berasal dari trunkus brachiocephalicus atau arcus aorta, juga mendarahi kelenjar.
Tiga pasang vena mengumpulkan darah dari kelenjar tiroid. Vv.thyroidea superior dan
media mengalihkan darah menuju V.jugularis interna, sedangkan V.thyroidea inferior
mengalirkan darah menuju V.Brachiocephalica sinistra.
3) Kelenjar Adrenal

Kelenjar adrenal terletak didalam ruang retroperitoneumventral dari M.psoas


major dan M.quadratus lumborum. Dasar yang rata dari kelenjar adrenal menempel
pada ginjal. Kelenjar adrenal terdiri dari 2 bagian berbeda yaitu lapisan eksternal
( korteks ) dan medulla yang menghasilkan tipe hormone berbeda serta mensekresikan
kedalam darah. Korteks berkembang dari mesoderm didalam dinding rongga abdomen
sedangkan medulla berasal dari ectoderm neural nya Krista neuralis, sehingga serupa
dengan ganglionsimpatis termodifikasi.

Biasanya terdapat 3 arteri memberikan suplai ke kelnjar adrenal, yaitu:

a. A.suprarenalis superior berasal dari A.phrenica inferior


b. A.suprarenalis media langsung dari aorta
c. A.suprarenalis inferior, cabang dari A.renalis

Berbagai arteri dari kelenjar adrenal akan menembus korteks organ. Kemudian aliran
darah menuju medulla dan dikumpulkan oleh V.suprarenalis.
4) Pankreas

Pankreas merupakan suatu organ retroperitoneum sekunder dan berproyeksi


sekitar vertebra lumbalis 1 hingga 2. Kepala (caput pancreatic) terletak pada pars
descendens duodeni dan mempunyai tonjolan dorsal , disebut Proc.unicnatus yang
terdiri dari ateri dan vena mesenterica superior. Pars horizontalis duodeni berada
diposisi caudalnya. Kearah kiri, terdapat caput pancreatic, diatasnya terdapat sebuah
leher pendek (collum pancreatic), di ventral A./V.mesenterica superior terdapat badan
(corpus pancreatis), yang melintang medulla spinalis. Ekor pankreas (cauda pancreatic)
berjalan pada sisi dorsal flexura coli sinistra sebelum ginjal kiri dan berlanjut hingga
hilus lienalis.Pankreas memiliki permukaan anterior dan posterior (facies anterior dan
posterior) yang dipisahkan oleh tepi atas dan bawah yang tumpul (margo superior dan
inferior).

Mendapat asupan darah dari A.mesenterika superior dan splenikus. Kelenjar


pankreas berfungsi sebagai endokrin dan eksokrin. Sebagai organ endokrin karena di
pankreas terdapat pulau-pulau langerhans yang terdiri dari 3 jenis sel yaitu sel beta ( B ),
sel alfa ( A ) dan sel delta ( D ). Sekresi hormone pankreas dihasilkan oleh pulau
langerhans.
B. Histologi
1) Kelenjar pituitary atau Hipofisis

Hipofisis
terletak dibawa otak ronnga kecil tulang sfenoid yaitu sella turcica. Komponen sarafnya
adalah kuncup neurohipofiseal yang bertumbuh kebawah dari dasar diencephalon yang
akan berbentuk seperti tangkai atau infundibulum yang tetap berhubungan dengan otak.
Komponen oral timbul sebagai penonjolan keluar ectoderm dari atap mulut primitive
dan bertumbuh ke cranial membentuk struktur yang disebut kantong Hipofiseal (rathke).
Hipofisis sebenarnya terdiri atas neurohipofisis dan adenohipofisis. Neurohipofisis
terdiri atas bagian pars nervosa dan bagian lebih kecil tangkai infundibulumn yang
melekat ke Hipotalamus pada Eminentia Mediana. Adenohipofisis berasal dari ectoderm
mulut mempunyai tiga bagian yaitu pars distalis, pars tuberalis dan pars intermedia.
Secara Fungsional hipofisis terhubung pada Hipotalamus pada dasar otak. Selain system
portal vascular yang membawa Peptida pengatur kecil dari hipotalamus ke
adenohipofisis seberkas Akson yang disebut traktus hipotalamus hipofiseal. Hormon
Peptida ADH dan Oksitosin di Sintesis oleh neuron besar pada nucleus supraoptikus dan
paraventricular.

1. Adenohipofisis
a. Pars distalis
Merupakan 75% dari adenohipofisis dan mempunyai kapsul jaringan fibrosa tipis.
Secara mikroskopis ditemukan 2 jenis sel yaitu sel kromofil dan kromofob. Sel kromofil
adalah sel yang berwarna baik yang bersifat asidofilik maupun basofilik dan hormone
yang dikeluarkan disimpan pada granula sitoplasmanya. Dimana sel asidofilik
menyekresi hormone pertumbuhan dan prolactin yang berasal dari sel somatotrop dan
sel laktotrop. Sel basofilik adalah kortikotrop, gonadotrop, dan tirotrop. Kortikotrop
menyekresi dua hormone yaitu ACTH dan beta lipotropin (B-LPH), gonadotrop
menyekresi hormone FSH dan LH dan tirotrop menyekresi TSH. Semua hormone yang
dihasilkan mengatur hamper semua kelenjar endokrin lain seperti fungsi ovarium,
produksi sperma, produksi ASI, dan metabolism otot, tulang, jaringan adiposa. Untuk
sel kromofob dengan sedikit atau tanpa granula sekretori.
b. Pars tuberalis
Bagian yang lebih kecil yang mengelilingi infundibulum neurohipofisis dan sebagian
besar sel pars tuberalis adalah gonadotrop.
c. Pars intermedia
Zona sempit yang berada diantara pars distalis dan par tuberalis mengandung basophil
(kortikotrop), kromofob dan kista kecil yang berisi koloid. Dan juga menghasilkan
hormone MSH.
2. Neurohipofisis
Neurohipofisis terdiri atas jaringan saraf. Juga terdapat sel-sel glia bercabang banyak
disebut pituisit yang menghasilkan hormone ADH dan oksitosin yang diangkut melalui
akson ke dalam pars nervosa yang akan mengumpul pada pelebaran aksonal yaitu badan
herring. ADH dilepaskan sebagai respon terhadap peningkatan osmotic darah yang
ditangkap oleh sel osmoreseptor pada hipotalamus. Oksitosin merangsang kontraksi otot
polos uterus selama persalinan.
2) Kelenjar Tiroid
Kelenjar tiroid terletak anterior dan inferior terhadap laring, terdiri atas dua lobus
yang dipersatukan oleh isthmus. Kelenjar ini menyintesis hormone tiroksin (T4) dan
triodotironin (T3) yang membantu laju basal pada sel sel diseluruh tubuh. Kelenjar
tiroid dibungkus oleh kapsul fibrosa, terdiri dari sel-sel folikel yang mempunyai bentuk
dari gepeng hingga silindris rendah. Kelenjar aktif mempunyai lebih banyak folikel
dengan epitel silindris rendah. Dimana didalam sel folikel tersebut terdapat koloid
asidofilik yang berupa gel. Jenis sel lainnya adalah sel parafolikuler (sel C) terdapat
didalam lamina basal. Sel ini memiliki kompleks golgi yang besar, banyak granul halus
dan juga mengandung kalsitonin yang dipicu oleh peningkatan kadar Ca 2+ darah dan
menghambat aktivitas osteoklast.
3) Kelenjar Adrenal
Kelenjar adrenal adalah sepasang organ yang terletak diatas ginjal. Kelenjar
adrenal adalah struktur gepeng dalam bentuk bulan sabit dan masing-masing dibungkus
kapsul jaringan ikat padat. Setiap kelenjar memiliki 2 daerah yaitu korteks adrenal dan
medulla adrenal.
1. Korteks adrenal
Dimana sitoplasmanya bersifat
asidofilik, inti berada di pusat dan
mitokondria berbentuk bulat. Korteks
adrenal memiliki 3 zona dan
menyintesis hormone yang berbeda.

a. Zona glomerulosa
Tepat dibawah kapsul adrenal dan merupakan sekitar 15% korteks. Steroid yang
dihasilkan dizona ini adalah mineralkortikoid karena mempengaruhi penyerapan
Na+, K+, dan air. Produk utamanya adalah aldosterone sebagai pengatu
keseimbangan garam yang bekerja mereabsorbsi Na+ pada tubulus kontortus
distal.
b. Zona fasikulata
Ditengah menempati 65-80% korteks. Zona ini menyekresikan glukokortikoid
khususnya kortisol yang mempengaruhi metabolism karbohidrat dan merangsang
gluconeogenesis dan sintesis glikogen di hati.
c. Zona retikularis
Bagian paling dalam sekitar 10% korteks. Zona ini juga menghasilkan kortisol
tetapi fungsi utamanya menyekresi androgen lemah, termasuk dehidroepi-
perempuan.
2. Medulla adrenal
Medulla adrenal terdiri atas sel-sel polyhedral yang pucat dan ditunjang jaringan serat
reticular. Sel parenkim medulla, dikenal sebagai sel-sel kromafin yang mengandung
banyak granul electron-dens untuk penyimpanan dan sekresi katekolamin, epinefrin,
dan norepinefrin.

4) Pankreas
Pancreas memiliki komponen eksokrin dan endokrin. Komponen eksokrin
membentuk sebagian besar dari pancreas dan terdiri dari asini serosa dan sel zimogemik
(1) yang tersusun rapat dan membentuk abnyak lobulus kecil. Lobules dikelilingi oleh
septum jaringan ikat interlobularis (4,13) yang mengandung pembuluh darah(5,9),
duktus interlobularis(12), syaraf dan kadang-kadang reseptor sensorik yaitu
corpuscullum lamellosum (pacinian corpuscle) (11). Didalam asini serosa terdapat insula
pancreatica ( pulau langerhans) yang terpisah. Insula pancreatica menunjukan bagian
endokrin dan merupakan ciri khas pancreas.
Setiap asinus pankreatikus terdiri dari sel zimogemik penghasil protein bentuk pyramid
yang mengelilingi sebuah lumen sentral yang kecil. Duktus ekstretorius setiap asinis
terlihat sentroasinar yang terpulas pucat didalam lumennya. Produk sekretoni keluar dari
asini melalui duktus interkalaris yang mempunyai lumen kecil dilapisi oleh epitel kuboid
rendah. Insula
pancreatica dipisahkan dari
dari asini eksokrin di
sekitarnya oleh lapisan tipis
serat reticular. Insula
lebih besar daripada asini
dan merupakan
kelompok sel-sel epitel
yang ditembus oleh kapiler.
C. Fisologi

1) Kelenjar tiroid

Kelenjar tiroid yang bentuknya mirip kupu-kupu, memproduksi hormone

tiroksin yang berfungsi memelihara tingkat metabolisme jaringan yang optimal

untuk fungsi normal sel dan tubuh seutuhnya. Hormon tiroksin yang
mengandung iodium ( I ) merangsang konsumsi O2 sel-sel tubuh, dan mengatur

metabolisme lemak dan karbohidrat yang diperlukan untuk pertumbuhan dan

peerkembangan normal tubuh. Hormon tiroksin relatif tidak esensial untuk

kehidupan, tetapi ketiadaannya akan menyebabkan kemunduran dan

melambatnya proses mental dan fisik, individu menjadi tidak tahan terhadap

dingin, dan pada anak menyebabkan retardasi mental dan kekerdilan.

Sebaliknya, kelebihan (ekses) sekresi tiroksin akan menyebabkan tubuh menjadi

kurus, sering gugup, takikardia, tremor, dan kelebihan produksi panas sehingga

sering berkeringat.

Fungsi kelenjar tiroid dikontrol oleh hormon tropik TSH (thyroid stimulating

hormone atau thyrotropin) yang disekresikan oleh kelenjar hipofisis anterior.

Sebaliknya hormon tropik (Y: trophic = memberi makan) ini sekresinya juga

dikontrol sebagian oleh TRH (thyrotropin releasing hormon) yang disekresikan

oleh hipotalamus. Sebagian juga dikontrol melalui mekanisme umpan balik

negatif oleh hormon tiroksin bebas yang beredar di dalam darah yang

menghambat kerja hipofisis anterior dan hipotalamus. Melalui jalan ini,

perubahan lingkungan dalam dan lingkungan luar tubuh akan menyebabkan

penyesuaian pada sekresi hormon tiroksin yang berupa T4 (tetraiodotironin) dan

T3 (triiodotironin). Kecuali memproduksi tiroksin, kelenjar tiroid juga memproduksi

hormon kalsitonin, suatu hormon yang efeknya menurunkan kadar kalsium

darah.
 Sintesis hormon tiroid

Hormon tiroid yang terbentuk tetap menjadi bagian tiroglobulin sampai


disekresikan. Sebelum disekresikan, maka koloid akan direabsorpsi oleh sel
tiroid melalui endositosis, ikatan peptide akan dihidrolisis, dan T4 dan T3 bebas
dikeluarkan ke kapiler.

Sel tiroid (sel folikel/sel tirosit) dengan demikian mempunyai 4 fungsi, yaitu:

1. mengumpulkan dan mentransport iodine

2. mensintesis tiroglobulin dan mensekresikannya ke koloid

3. memfiksasi iodin pada tiroglobulin untuk membentuk hormon

4. mengambil hormon tiroid dari tiroglobulin dan mensekresikan ke peredaran darah.

Dalam proses sintesis hormone tiroid, produk yang paling awal yaitu

monoiodotirosin (MIT). Kemudian MIT mengalami iodinasi pada karbon 54

menjadi diiodotirosin (DIT). Kemudian terjadi oksidasi kondensasi DIT yang

menghasilkan T4. Sedang T3 mungkin terbentuk oleh kondensasi MIT dan DIT,

sedang RT3 mungkin terjadi oleh kondensasi DIT dan MIT. Pada kelenjar tiroid

manusia, distribusi rata-rata senyawa iodine yaitu 23% MIT, 33% DIT, 35% T4,

dan 7% T3. RT3 hanya merupakan zat yang dapat dirunut (traces).

 Sekresi

Setiap harinya kelenjar tiroid mensekresi sekitar 80 µg (103 nmol) T4, 4 µg

(7 nmol) T3, dan 2 µg (3,5 nmol) RT3. MIT dan DIT tidak disekresikan. Sel-sel

tiroid mereabsorpsi koloid dengan proses endositosis (fagositosis), sehingga

pada sel yang aktif terlihat lacuna-lakuna (ceruk-ceruk) reabsorpsi pada batas
pinggir koloid. Di dalam sel, globule koloid menyatu dengan lisosome. Ikatan

peptide antara gugus yang teriodinasi dan tiroglobulin diputus oleh protease

dalam lisosome, dan T4, T3, DIT, dan MIT dibebaskan ke sitoplasma.

Tirosine yang diiodinasi (DIT dan MIT) di-deiodinasi oleh enzim

deiodinase iodotirosin dan iodin yang dibebaskan digunakan kembali untuk

sintesis hormon. T4 dan T3 tidak mengalami deiodinasi, dan dilepas ke peredaran

darah. Kadang-kadang terdapat kelainan kongenital tidak adanya enzim

deiodinase iodotirosin. Pada pasien ini DIT dan MIT terdapat dalam kemih dan

terdapat gejala defisiensi iodium.

 Transport dan metabolisme hormon tiroid

Kadar T4 plasma normal pada orang dewasa sekitar 8 µg/dl (103 nmol/L),

sedang T3 sekitar 0,15 µg/dl (2,3 nmol/L), Sebagian besar terikat pada protein

plasma. Angka tersebut diperoleh dengan radioimunoesai.

Hormon tiroid bebas dalam plasma dalam keseimbangan dengan hormon

tiroid yang terikat protein dalam plasma dan jaringan. Hormon tiroid yang baru

disekresikan menambah hormon yang bebas. Hormon yang bebas ini yang aktif

dan juga yang menghambat sekresi TSH oleh hipofisis anterior.

Protein plasma yang mengikat umumnya albumin. Prealbumin yang dulu

disebut thyroxine-binding prealbumin (TBPA) sekarang disebut transtiretin.

Globulin tertentu juga dapat mengikat hormon tiroid (thyroxine binding globulin =

TBG). Albumin mmpunyai kapasitas terbesar dalam mengikat hormon tiroksin,


sedang TBG terkecil. Namun afinitas T4 terhadap TBG tinggi, sehingga sebagian

besar T4 dalam plasma lebih banyak yang terikat pada TBG. Sebagian besar T 4

dalam plasma (99,98%) terikat pada protein. Yang bebas hanya sekitar 0,2 ng/dl.

Sebagian besar T3 juga terikat pada protein. Hanya sekitar 0,2% (0,3 ng/dl) yang

bebas.

Sebagian besar T4 dan T3 dimetabolisme di hati dan ginjal. Sebagian

besar T3 dan RT3 yang beredar merupakan hasil deiodinasi T4.

Distribusi T4 dan T3 biasanya dinyatakan dalam rasio T3/T4. Rasio T3/T4

yang paling tinggi yaitu di hipofisis dan di korteks serebri.

(Silverthorn DU, (2010 Human Physiology. An Integrated Approach. 5th Edition.

Pearson International Edition)

2) Hipofisis
lobus anterior hipofisis (adenohipofisis)
Hormon dari Lobus Anterior Hipofisis (Adenohipofisis) Adenohipofisis ini meregulasi
beberapa proses fisiologik termasuk stres, pertumbuhan, dan reproduksi. Adenohipofisis
menghasilkan enam macam hormon. Hormon-hormon tersebut adalah Thyroid
Stimulating Hormone (TSH), FSH, GH, LH, Corticotropin, dan Prolaktin. Lima hormon
yang disebutkan pertama memiliki fungsi untuk menstimulasi organ lain secara aktif
untuk mensekresikan hormon yang aktif. Sedangkan prolaktin berperan di kelenjar
mammae. Sel dari lobus anterior hipofisis juga menghasilkan propriomelanokortin.
Propriomelanokortin ini juga dihasilkan oleh hipotalamus dan sel dari lobus intermedia.
Selain itu juga dihasilkan oleh plasenta, paru, dan traktus gastrointestinal. Jaringan-
jaringan yang berbeda ini akan memproses propriomelanokortin menjadi proteolisis,
yang terdiri dari α- dan β – Melanocyte Stimulating Hormone (α-MSH dan β-MSH),
Corticotropin-like Intermediate Lobe Peptide (CLIP), γ-lipotropin (γ-LPH), β-lipotropin
(β-LPH), dan β-endorphin.

Peran fisiologik dari beberapa peptida ini di neurotransmisi, belajar, nyeri, pre-dan post
endokrinologi, gangguan mental dan neoplasma sekarang sudah mulai diketahui.
Corticotropin, Prolaktin, dan GH adalah simpel polipeptida sedangkan FSH, LH, dan
TSH adalah glikoprotein. Glikoprotein terdiri dari dua subunit heterodimer yaitu α dan
β. Subunit α dari semua hormon menghasilkan gen tunggal di kromosom 6 dan
mempunyai komposisi asam amino yang sama medkipun mempunyai residu karbohidrat
yang berbeda. Sebaliknya subunit β menghasilkan gen yang berbeda dan bervariasi
strukturnya, yang membuat hormon yang dihasilkan mempunyai peranan yang
spesifik. .

(Arun Paul Amar MD et al. Pituitary anatomy and physiology.)

Corticotropin, Prolaktin, dan GH adalah simpel polipeptida sedangkan FSH, LH, dan
TSH adalah glikoprotein. Glikoprotein terdiri dari dua subunit heterodimer yaitu α dan
β. Subunit α dari semua hormon menghasilkan gen tunggal di kromosom 6 dan
mempunyai komposisi asam amino yang sama medkipun mempunyai residu karbohidrat
yang berbeda. Sebaliknya subunit β menghasilkan gen yang berbeda dan bervariasi
strukturnya, yang membuat hormon yang dihasilkan mempunyai peranan yang spesifik.
(Arun Paul Amar MD et al. Pituitary anatomy and physiology.)
Neurohipofisis (posterior)

Oksitosin merupakan polipeptida siklik yang mengandung 8 asam amino dan memiliki
berat molekul Oksitosin memiliki struktur mirip dengan vasopressin (isoleusin pada
vasopressin diganti fenilalanin dan leusin pada vsopresin diganti lisin). Oksitosin
dibentuk dalam neurosecretory neuron (neuron supraoptik dan nuclei paraventrikuler
hipotalamus), serta ditemukan pula dalam glandula penealis. Gugus fungsional oksitosin
pada gugus primer sistin, gugus hidroksil fenolat tirosin, 3 gugus karboksamida
asparagine, glutamin, glisinamida dan ikatan disulfida. Oksitosin bersama vasopresin
mengalir melalui akson saraf ke ujung saraf hipofisis untuk disimpan, bila dibutuhkan
akan masuk ke dalam aliran darah. Oksitosis disintesis dalam nukleus para ventrikularis.
Pengaturan sekresi melalui stimulasi primer yaitu impuls neural yang terbentuk dari
perangsangan papile mammae, stimulasi sekunder yaitu menstimulasi aktivitas vagina
dan uterus, dan sekresi dirangsang estrogen dan dihambat oleh progesteron. Mekanisme
kerja belum jelas diketahui, namun oksitosin di duga menyebabkan kontraksi otot polos
uterus dan menginduksi partus. Fungsi fisiologis yang terutama merangsang kontraksi
sel-sel mioepitel kelenjar mammae dengan meningkatkan aliran ASI ke dalam duktus
alveoliaris maka timbul mekanisme laktasi. Oksitosin dan neurofisin I juga diproduksi
oleh ovarium di duga menghambat steroidogenesis. Oksitosin meningkat selama
melahirkan. Oksitosin menybabkan kontraksi uterus, merangsang otot polos uterus
untuk berkontraksi selama orgasme, meragsang kontraksi uterus saat proses melahirkan
(stimulasi serviks akan mengirimkan sinyal ke hipotalamus untuk mensekresikan lebih
banyak oksitosin. Hisapan bayi akan mengakibatkan sinyal ke hipotalamus,
mengakibatkan lebih banyak lagi oksitosin. Hal tersebut menyebabkan kontraksi sel
mioepitel kelenjar mammae yang membantu pengeluaran ASI. Persiapan ASI oleh bayi
melalui rangsangan terhadap puting payudara, membentuk impuls saraf, sehingga
pelepasan oksitosis dari hipotal dan pelepasan PRL dari hipofisis anterior dalam
menginduksi pembentukan protein susu.Vasopresin/pitresin/ ADH (Anti Diuretic
Hormone) Vasopresin merupakan polipeptida siklik yang mengandung 8 asam amino
dan memiliki berat molekul sekitar 1000. Vasopresin disintesis di nukleus supraoptikus.
Vasopresin dibentuk dalam neurosecretory neuron (neuron supraoptik dan nuclei
paraventrikuler hipotalamus), serta ditemukan pula dalam glandula penealis.
Mekanisme kerja vasopressin pada ginjal belum diketahui jelas, namun berikatan kuat
pada jaringan ginjal, serta aktivitasnya melalui pengaktifan pembentukan cAMP. Bila
minum banyak menyebabkan plasma encer merangsang hipofisis posterior untuk
penurunan sekresi vasopresin dan selanjutnya reabsorbsi air fakultatif menurun
akibatnya urin encer (osmolalitas kurang dari 285 mOsm/L) dan volume urin
meningkat. Sebaliknya bila kurang minum/kehilanngan air, darah menjadi pekat,
osmolalitas meningkat,terjadi rangsangan osmoreseptor/hipofisa posterior menyebabkan
peningkatan sekresi ADH, akibatnya reabsobsi fakultatif meningkat serta volume urin
menurun dan Bj meningkat (pekat). Vasopresin konsentrasi tinggi dapat meningkatkan
tekanan darah terhadap pembuluh darah perifer. Vasopresin pada ginjal berfungsi efek
anti diuretik (ADH) hipofisis posterior, menahan cairan tubuh dengan cara
meningkatkan resorbsi air oleh ginjal, diduga mengatur tekanan osmotik, menyebabkan
kontraksi otot polos arteri, sehingga meningkatkan tekanan darah, diduga
mengembalikan tekanan darah normal setelah terjadinya pendarahan (Gartner & Hiatt
2001: 305)

3) Kelenjar adrenal

Terdapat dua kelenjar adrenal, masing-masing terbenam di atasginjal dalam suatu


kapsul lemak. Setiap kelenjar adrenal memiliki korteksyang menghasilkan steroid dan
medulla yang menghasilkan katekolamin.Terdapat tiga zona di korteks adrenal, yaitu
zona glomerulosa (palingluar), fasikulata (paling tebal), dan retikularis (paling dalam).
Berdasarkanefek kerja primernya, steroid korteks adrenal dapat dibagi menjadi
tigakategori, yaitu:

1. Mineralokortikoid Terutama aldosterone mempengaruhi keseimbangan


mineral(elektrolit) khususnya, keseimbangan Na dan K Tempat kerja utamanya di
tubulus distal dan koligentes ginjal, tempat mendorong retensi Na danmeningkatkan
eliminasi K selama pembentukan urine. Retensi Na oleh aldosterone secara sekunder
akan mendorong retensi amotik HO,meningkatkan volume CES, yang penting dalam
regulasi jangkapanjangtekanan darah.Sekresi aldosterone ditingkatkan olehpengaktifan
sistemRenin-Angiotensin-Aldosteron oleh factor-faktor yang berkaitan
dengan penurunan Na dan tekanan darah, serta stimulasi langsung korteks adrenaloleh
peningkatan konsentrasi K plasma.
2. Glukokortikoid Terutama kortisol berperang penting dalam metabolisme
glukosa, protein, dan lemak. Efek keseluruhan pengaruh kortisol pada metabolisme
adalah peningkatan konsentrasi glukosa darah dengan mengorbankan simpanan lemak
dan protein, yaitu dengan:

a.) merangsang gluconeogenesis di hati

b.) menghambat penyerapan dan penggunaan glukosa oleh banyak jaringan kecuali


otak,

c.) merangsang penguraian banyak protein di jaringan, khususnya otot,dan


mempermudah lipolysis. Selain itu, kortisol juga memiliki efek permisif signifikan bagi
aktivitas hormone lain dan penting bagi tubuh untuk menahan stress. Kortisolsangat
penting karena efek permisifnya, missal, kortisol harus ada
dalam jumlah memadai agar jumlah katekolamin dapat meninmbulkan vasokonstriksi.

3. Hormon seks

Identic dengan yang dihasilkan oleh gonad (testis untuk pria, ovariumuntuk wanita).
Hormon seks adrenokorteks paling banyak dan penting secara fisiologis adalah
dehidroepiandrosteron, suatu hormone seks pria. Karena lipofilik, semua hormone
adrenokorteks diangkut dalam darah dalam keadaan terikat protein plasma. Kortisol
terutama terikat pada protein plasma yang spesifik untuknya, yaitu corticosteroid-
bindingglobulin (transkortin), sementara aldosterone dan dehidroepiandrosteron
umumnya terikat pada albumin.

(Bornstein SR, Ehrhart-Bornstein M, Usadel H, et al Morphological evidence for a close


interaction of chromaffin cells with cortical cells within the adrenal gland. Cell Tissue
Res 1991;265:1-9)

4) Pancreas
Pankreas adalah suatu organ yang terdiri dari jaringan eksokrin dan endokrin.
Bagian eksokrin mengeluarkan larutan encer alkalis serta enzim pencernaan melalui
duktus pankreatikus ke dalam lumen saluran cerna. Dia antara sel-sel eksokrin di
seluruh pankreas tersebar kelompok-kelompok atau “pulau” sel endokrin yang dikenal
sebagai pulau (islets) Langerhans. Sel endokrin pankreas yang terbanyak adalah sel β
(beta), tempat sintesis dan sekresi insulin, dan sel α (alfa) yang menghasilkan glukagon.
Sel D (delta), yang lebih jarang adalah tempat sintesis somatostatin (Sherwood L, 2009)

Insulin memiliki efek penting pada metabolisme karbohidrat, lemak dan protein.
Hormon ini menurunkan kadar glukosa, asam lemak dan asam amino darah serta
mendorong penyimpanan bahan-bahan tersebut. Sewaktu molekul nutrien ini masuk ke
darah selama keadaan absorptif, insulin mendorong penyerapan bahan-bahan ini oleh
sel dan pengubahannya masing-masing menjadi glikogen, trigliserida dan protein.
Insulin melaksanakan banyak fungsinya dengan mempengaruhi transpor nutrien darah
spesifik masuk ke dalam sel atau mengubah aktivitas enzim-enzim yang berperan dalam
jalur-jalur metabolik tertentu (Sherwood L, 2009).

(1) Efek pada karbohidrat Insulin memiliki empat efek yang menurunkan kadar glukosa
darah dan mendorong penyimpanan karbohidrat:

a. Insulin mempermudah trasnpor glukosa ke dalam sebagian besar sel.

b. Insulin merangsang glikogenesis, pembentukan glikogen dari glukosa di otot rangka


dan hati.
c. Insulin menghambat glikogenolisis, penguraian glikogen menjadi glukosa. Dengan
menghambat penguraian glikogen menjadi glukosa maka insulin cenderung
menyebabkan penyimpanan karbohidrat dan mengurangi pengeluaran glukosa oleh hati.

d. Insulin juga menurunkan pengeluaran glukosa oleh hati dengan menghambat


glukoneogenesis, perubahan asam amino menjadi glukosa di hati. Insulin 8
melakukannya dengan mengurangi jumlah asam amino di darah yang tersedia bagi hati
untuk glukoneogenesis dan dengan menghambat enzim-enzim hati yang diperlukan
untuk mengubah asam amino menjadi glukosa. Karena itu, insulin mengurangi
konsentrasi glukosa darah dengan mendorong penyerapan glukosa oleh sel dari darah
untuk digunakan dan disimpan, dan secara bersamaan menghambat dua mekanisme
pembebasan glukosa oleh hati ke dalam darah (glikogenolisis dan glukoneogenesis)
(Sherwood L, 2009).

(2) Efek insulin pada lemak Insulin memiliki banyak efek untuk menurunkan asam
lemak darah dan mendorong penyimpanan trigliserida (Sherwood L, 2009):

a) Insulin meningkatkan pemasukan asam lemak dari darah ke dalam sel jaringan
lemak.

b) Insulin meningkatkan transpor glukosa ke dalam sel jaringan lemak melalui


rekriutmen GLUT-4. Glukosa berfungsi sebagai prekursor untuk pembentukan asam
lemak dan gliserol, yaitu bahan mentah untuk membentuk trigliserida.

c) Insulin mendorong reaksi-reaksi kimia yang akhirnya menggunakan turunan asam


lemak dan glukosa untuk sintesis trigliserida.

d) Insulin menghambat lipolisis (penguraian lemak), mengurangi pembebasan asam


lemak dari jaringan lemak ke dalam darah. Secara kolektif, efek-efek ini cenderung
mengeluarkan asam lemak dan glukosa dari darah dan mendorong penyimpanan
keduanya sebagai trigliserida.

(3) Efek insulin pada protein Insulin menurunkan kadar asam amino darah dan
meningkatkan sintesis protein melalui beberapa efek:
a) Insulin mendorong transpor aktif asam amino dari darah ke dalam otot dan jaringan
lain. Efek ini menurunkan kadar asam amino dalam darah dan menyediakan bahan-
bahan untuk membentuk protein di dalam sel.

b) Insulin meningkatkan laju inkorporasi asam amino menjadi protein oleh perangkat
pembentuk protein yang ada di sel.

c) Insulin menghambat penguraian protein. Hasil keseluruhan dari efek-efek ini adalah
efek anabolik protein. Karena itu, insulin esensial bagi pertumbuhan normal (Sherwood
L., 2009).

2. Apa saja faktor yang mempengaruhi penurunan berat badan?


Jawab :
Faktor penyebab terjadinya penurunan berat badan, yaitu :
Faktor penyebab penurunan berat badan secara umum terjadi karena adanya gangguan makan,
stres atau depresi, selain ini berat badan menurun dapat terjadi karena adanya kondisi berikut
A. Gangguan hormon
Gangguan hormon dapat menyebabkan berat badan turun berlebihan adalah hipertiroidisme
dan diabetes.
B. Penyakit kronis
Berat badan turun drastis merupakan salah satu gejala penyakit kronis yang menandakan
adanya kerusakan organ, seperti gagal jantung, gagal ginjal, atau gagal hati. Penderita
penyakit ini biasanya mengalami kehilangan nafsu makan. Selain itu, penyakit autoimun dan
penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) juga bisa menjadi penyebab berat badan turun drastis.
C. Penyakit saluran cerna
Beberapa gangguan usus yang menyebabkan berat badan turun drastis antara lain adalah tukak
lambung, penyakit radang usus dan pankreatitis. Masalah penyerapan nutrisi, seperti pada
penyakit celiac, juga bisa menyebabkan berat badan turun drastis.
D. Infeksi
Infeksi bisa disebabkan oleh virus, bakteri, atau parasit. Perlu diketahui, tidak semua infeksi
dapat menyebabkan berat badan turun drastis. Infeksi yang bisa membuat tubuh kehilangan
berat badan secara signifikan antara lain adalah tuberkulosis, HIV/AIDS, dan cacingan.
E. Kanker
Berat badan turun drastis bisa menjadi salah satu gejala kanker, seperti limfoma, leukemia,
kanker usus besar, kanker ovarium, kanker pankreas, kanker payudara, dan kanker paru-paru.
F. Penyakit gigi dan mulut
Sakit gigi, gusi, atau sariawan tidak secara langsung menyebabkan berat badan turun, namun
dapat menganggu proses mengunyah dan menelan makanan, sehingga mengakibatkan sulit
makan. Kebersihan mulut yang tidak terjaga juga dapat membuat mulut terasa asam, sehingga
menyebabkan berkurangnya nafsu makan.
G. Efek samping obat-obatan
Pengobatan jangka panjang dapat memengaruhi berat badan. Hal ini bisa disebabkan oleh
efek samping mual dan penurunan nafsu makan, akibat konsumsi obat-obatan tertentu. Salah
satu obat yang efek sampingnya banyak menyebabkan penurunan berat badan adalah
kemoterapi. Selain itu, penyalahgunaan obat-obatan terlarang dan kebiasaan mengonsumsi
alkohol juga dapat menyebabkan berat badan turun drastis secara tidak sehat. Penyakit saraf,
seperti penyakit Parkinson dan demensia Alzheimer, juga bisa menyebabkan berat badan
turun drastis.

3. Jelaskan patomekanisme penurunan berat badan!


Jawab :
A. Pengaruh Hormon Insulin
Hyposekresi insulin disebabkan oleh rusaknya sel β. Resistensi insulin disebabkan tidak
adanya atau tidak sensitifnya reseptopr insulin yang berada dipermukaan sel. Hyposekresi
dan resistensi insulin menyebabkan glukosa tidak dapat masuk ke dalam sel sehingga tidak
dihasilkannya energi. Akibatnya, terjadi penguraian glikogen dalam otot, dan pemecahan
protein sehingga menyebabkan penurunan berat badan.
B. Pengaruh Hormon Tiiroid
Hormon tiroid berperan dalam metabolism yang terjadi didalam tubuh. Kelebihan hormone
tiroid menyebabkan peningkatan kecepatan metabolisme basal yang terjadi dalam tubuh.
Apabila glukosa tidak mampu mencukupi kebutuhan metabolisme tubuh, maka tubuh
menggunakan glikogen dan protein sebagai bahan bakar penggantinya. Akibatnya, massa
otot menurun dan berat badan pun menurun.
C. Pengaruh Hormon Kortisol
Apabila terjadi penurunan kortisol akan berakibat pada menurunnya metabolism dalam
tubuh. Penurunan kortisol ini sendiri dapat disebabkan oleh destruksi korteks adrenal.
Penurunan metabolism dalam tubuh akan mengakibatkan penurunan jumlah energi yang
diperoleh (ATP menurun). Hal ini memicu terjadinya pemecahan didalam otot sendiri,
sehingga massa otot berkurang. Penurunan massa otot ini pada akhirnya akan
menyebabkan penurunan berat badan..

Sumber: Wifrid, Mary dkk. 2013. ECG. Halaman 46-59.

Tambahan :

Patomekanisme penurunan berat badan:

Metabolisme tubuh yang meningkat merupakan salah satu factor penyebab penurunan berat
badan sesuai dengan skenario. Berikut merupakan patomekanisme dari beberapa hormon
terhadap meningkatnya laju metabolisme yang dapat menimbulkan penurunan berat badan.

 Pengaruh hormon tiroid terhadap glikolisis danGlikogenolisis Hormon tiroid


meningkatkan laju metabolisme basal seluruh tubuh. Selain itu, hormon ini juga memodulasi
kecepatan banyak reaksi spesifik yang berperan dalam metabolisme bahan bakar. Efek
hormone tiroid pada bahan bakar metabolic memiliki banyak aspek; hormone ini dapat
mempengharuhi pembentukan dan penguraian karbohidrat,lemak dan protein. T3 dan T4
merupakan katalisator untuk; menstimulasi absorbsi glukosa oleh saluran cerna, menstimulasi
glycogenolysis di hepar, menstimulasi pemecahan insulin,membantu proses glycogenolytic
oleh adrenaline, serta membantu insulin meningkatkan uptake glukosa kedalam jaringan
adiposa dan otot.[1] Konsentrasi hormon tiroid yang berlebih akan mempercepat laju lintasan
glikolisis. Glikolisis merupakan serangkaian proses pemecahaan glukosa menjadi asam
piruvat. Maka akan terjadi penguraian glukosa yang lebih cepat di dalam sel. Hormon tiroid
dalam jumlah banyak juga akan mempermudah terjadinya glikogenolisis. Glikogenolisis
adalah proses katabolisme glikogen menjadi glukosa yang terjadi di hati sedangkan pada otot
menjadi asam piruvat dan asam laktat. Sehingga saat hormon tiroid diproduksi berlebihan
maka akan mempercepat laju terjadinya glikogenolisis. Terjadi penguraianglikogen yang jauh
lebih cepat sebelum waktunya. Sehingga cadangan glikogen dalam hepar dan otot berkurang.
Berkurangnya cadangan glikogen di otot menyebabkan penuruna massa otot. Akibatnya, berat
tubuh akan mengalami penurunan[2]

 Pengaruh hormon insulin terhadap glikogenesis, glikogenolisis glikolisis,


glukoneogenesis. Hormon insulin memiliki efek penting pada metabolism karbohidrat, lemak
dan protein. Insulin merangsang glikogenesis yaitu pemebentukan glikogen di otot rangka dan
hati. Dan menghambat glikogenolisis yaitu penguraian glikogen. Hormon insulin cenderung
menyebabkan penyimpanan karbohidrat dan mengurangi pengeluaran glukosa oleh hati.
Dalam keadaan normal jika terdapat insulin, asupan glukosa yang melebihi normal atau
melebihi kebutuhan kalori akan di simpan sebagai glikogen dalam sel–sel hati dan sel–sel
otot. Hormon insulin meningkatkan glikolisis sel-sel hati dengan cara meningkatkan aktivitas
enzim-enzim yang berperan termasuk glukokinase, fosfofruktokinase dan piruvat kinase.
Bertambahnya glikolisis akan meningkatkan penggunaan glukosa dan dengan demikian secara
tidak langsung menurunkan pelepasan glukosa ke plasma darah. Insulin juga menurunkan
aktivitas glukosa-6- fosfatase yaitu enzim yang ditemukan di hati dan berfungsi mengubah
glukosa menjadi glukosa 6-fosfat. Insulin juga menurunkan pengeluaran glukosa oleh hati
dengan menghambat glukoneogenesis yaitu perubahan asam amino menjadi glukosa di hati.
Insulin melakukannya dengan mengurangi jumlah asam amino di darah yang tersedia bagi
hati untuk glukoneogenesis dan dengan menghambat enzim-enzim hati yang diperlukan untuk
mengubah asam amino menjadi glukosa. Karena itu, insulin mengurangi konsentrasi glukosa
darah dengan mendorong penyerapan glukosa oleh sel dari darah untuk digunakan dan
disimpan. Ketika sekresi insulin rendah, efek yang terjadi yaitu, lajupemasukan glukosa ke
dalam sel berkurang dan terjadi katabolisme netto melebihi sintesis glikogen, trigliserida dan
protein. Proses pemebentukan glikogen (glikogenesis) akan menurun dan proses penguraian
glikogen (glikogenolisis) akan meningkat sehingga glikogen di otot berkurang. Hal tersebut
yang dapat menyebabkan penurunan berat badan. [3]

Referensi :

1) Greenstein, Ben. Endocrinology at a Glance. USA :


Blackwell Science. 1994. Halaman 8-10
2) Sherwood, Lauralee. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem
Edisi 6. Jakarta:EGC. Halaman 760
3) Sherwood, Lauralee. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem
Edisi 6. Jakarta:EGC. Halaman 781-783

4. Jelaskan hubungan antara penurunan berat badan dengan keluhan lain yang
menyertai!
Jawab :
Berat badan yang menurun bisa terjadi akibat adanya laju metabolik dalam tubuh yang
meningkat, akibatnya tubuh menggunakan senyawa-senyawa glukagonik yang ada dalam otot
untuk membentuk gula melalui proses glukoneogenesis. Karena terambil melalui otot secara
terus-menerus akan berdampak pada penurunan massa otot. Selain itu dengan adanya
peningkatan laju metabolik yang lama, dapat terjadi kelemahan otot akibat adanya gangguan
pada ekspresi gen MHC seperti halnya pada otot jantung. Dengan peningkatan laju metabolik,
maka suhu tubuh akan mengalami peningkatan yang kemudian dikompensasi oleh tubuh
dengan cara mengeluarkan keringat. Jadi hubungan antara BB menurun, mudah lelah dan
sering berkeringat tergantung dari laju metabolik dalam tubuh.

5. Jelaskan patofisiologi mudah lelah dan sering berkeringat!


Jawab :
A. Patofisiologi mudah lelah
Mekanisme mudah lelah disebabkan karena penurunan kadar insulin dalam tubuh.
Penurunan kadar insulin yang disebabkan karena resistensi insulin, sekresi insulin
ataupun keduanya menyebabkan terjadinya hiperglikemi (peningkatan glukosa dalam
tubuh). Keadaan ini mengakibatkan insulin tidak bisa membawa glukosa kedalam otot
sehingga otot tidak mendapatkan pasokan energi (glukosa) yang seharusnya dibawa oleh
insulin masuk kedalam otot. Sehingga untuk memenuhi kebutuhan energinya, maka otot
memecah lemak melalui proses lipolisis dan protein melalui proses proteolisis yang
keduanya dipecah digunakan sebagai energi. Karena pemecahan lemak dan protein yang
berlangsung secara terus menerus menyebabkan masa otot menjadi berkurang dan
jaringan lemakpun ikut berkurang, hal inilah yang menyebabkan BB menurun diikuti
dengan perasaan lemah dan cepat lelah yang disebabkan karena penggunaan jaringan
lemak dan protein sebelumnya sebagai energi.
. B. Patomekanisme berkeringat

Tubuh memiliki sistem yang secara alami dapat mempertahankan suhu tubuh, yaitu
mekanisme keluarnya keringat. “Apabila suhu tubuh meningkat lebih dari titik
tetap,hipotalamus akan merangsang untuk melakukan serangkaian mekanisme untuk
mempertahankan suhu dengan cara menurunkan produksi panas dan meningkatkan
pengeluaran keringat sehingga suhu kembali pada titik tetap” (Koplewich, 2005).
Kemudian dijelaskan pula oleh primana Ketika panas yangdihasilkan tubuh mulai
mengakibatkan peningkatan suhu yang terlalu tinggi, keringat akan menyerap panas
tersebut, sehingga suhu tubuh tetap stabil. Kecepatan keluarnya keringat akan semakin
tinggi seiring dengan meningkatnya durasi latihan, intensitas latihan dan juga secara tidak
langsung dipengaruhi oleh suhu lingkungan, kelembapan, jenis latihan, dan juga jenis
pakaian yang gunakan.Banyak usaha tubuh untuk melakukan proses pendinginan tubuh,
salah satunya adalah berkeringat.

Primana, Dadang A. Kebutuhan air dan Elektrolit Pada Olahraga. Jakarta : Depkes dan
Kessos RI, 2000 ; 48
6. Bagaimana patomekanisme dari eksoftalmus!
Jawab :

a) Limfosit T mengalami perangsangan terhadap antigen yang berada didalam kelenjar tiroid
yang selanjutnya akan merangsang limfosit B untuk mensintesis antibodi terhadap antigen
tersebut. Antibodi yang disintesis akan bereaksi dengan reseptor TSH didalam membran
sel tiroid sehingga akan merangsang pertumbuhan dan fungsi sel tiroid, dikenal dengan
TSH-R antibody.

b) Sel-sel tiroid yang mempunyai kemampuan bereaksi dengan antigen diatas dan bila
terangsang oleh pengaruh sitokin (seperti interferon gamma) akan mengekspresikan
molekul-molekul permukaan sel kelas II (MHC kelas II, seperti DR4) untuk
mempresentasikan antigen pada limfosit T.

c) Lebih lanjut, sitokin-sitokin khusus (interferon-interleukin-1, Transforming Growth Factor,


dan insulin like growth factor 1) merangsang produksi glycosaminoglikan oleh fibroblast
kemudian merangsang proliferasi dan fibroblast atau keduanya,yang menyebabkan
terjadinya akumulasi glycosaminoglikan dan edema pada jaringan ikat orbita.

d) Terjadinya oftalmopati Graves melibatkan limfosit sitotoksik (killer cells) dan antibodi
sitotoksik lain yang terangsang akibat adanya antigen yang berhubungan dengan
tiroglobulin atau TSH-R pada fibroblast, otot-otot bola mata dan jaringan tiroid. Sitokin
yang terbentuk dari limfosit akan menyebabkan inflamasi fibroblast dan miositis orbita,
sehingga menyebabkan pembengkakan otot-otot bola mata.

Sumber : Farida, Siti. Sakti, Pandu Tridana. 2016. Jurnal Kedokteran Oftalmopati pada
Penyakit Graves.

7. Jelaskan alur diagnosis, DD, dan DS terkait skenario!


A. Graves Disease
1) Defenisi

Penyakit Graves merupakan penyebab utama dari hipertiroid, gangguan


yang menyebabkan tiroid memproduksi hormon tiroid secara berlebihan.
Hipertiroid merupakan penyakit metabolik yang menempati urutan kedua terbesar
setelah diabetes melitus. Struma diffusa toksik (Graves disease) merupakan
penyebab hipertiroid terbanyak pertama kemudian disusul oleh Plummer’s
disease, dengan perbandingan 60% karena Graves disease dan 40% karena
Plummer’s disease

2) Etiologi

pasti Penyakit Graves masih belum diketahui secara keseluruhan. Namun,


sebagian besar peneliti berbagi konsep bahwa penyakit Graves merupakan
penyakit multifaktorial yang disebabkan oleh interaksi kompleks antara faktor
genetik dan lingkungan yang menyebabkan hilangnya toleransi terhadap antigen
tiroid sehingga menginisiasi reaksi imun terhadap kelenjar tiroid.
Penyakit Graves adalah hipertiroidisme dengan penyebabnya peristiwa
imunologi dimana terbentuknya IgG yang mengikat dan mengaktifkan reseptor
tirotropin disebut thyroid-stimulating antibody (TSAb) yang menyebabkan
hipertrofi dan hiperplasia folikuler yang berakibat membesarnya kelenjar dan
meningkatnya produksi hormon tiroic.

3) Epidemologi

Peyakit Graves terjadi pada 0.5% populasi dan sebagian besar diderita
oleh wanita. Jika dibandingkan dengan penyebab hipertiroid lainnya, penyakit
Graves merupakan penyebab tersering dari hipertiroidisme, yaitu 70-80% dari kasus
hipertiroidisme.

4) Patofisiologi

Penyakit graves merupakan penyakit autoimun yang ditandai dengan produksi


antibodi terhadap reseptor TSH pada folikel tiroid sehingga merangsang kelenjar tiroid
untuk membentuk hormon tiroid secara terus menerus. Kecenderungan seseorang
untuk mengalami penyakit Graves merupakan gabungan dari pengaruh genetik dan
lingkungan.

Salah satu tanda yang ditemukan pada penyakit Graves adalah oftalmopati Graves,
terutama disebabkan oleh peranan sitokin yang mengakibatkan terjadinya perubahan
struktural pada jaringan otot mata, jenin kelamin perempuan kerap terkena penyakit
Graves daripada jenis kelamin laki laki

5) Manifestasi klinis

Penyakit Graves terdiri atas komponen tirotoksikosis struma difus, oftalmopati


(NOSPECS), dermopati (myxedema lokal), dan akropakia, walaupun kedua komponen
terakhir sangat jarang ditemukan. Manifestasi tirotoksikosis antara lain verupa
hiperaktivitas, ifitabilitas, disforia, tidak tahan terhadap udara panas, berkeringat
belebihan, palpitasi, lelah, penurunan baret badan (namun nafsu makan meningkat),
diare, poliuria, oligomenorea, dan penurunan libido.
6) Diagnosis

Diagnosis Penyakit Graes ditegakkan bila ditemukan trias berikut :


tirotoksikosis disertai struma difus dan oftalmopati

7) Anamnesis

Pada anamnesis, ditanyakan gejala-gejala tirotoksikosis seperti pada tabel yang


dialami pasien seperti pada manifestasi klinis. Pada pasien lanjut usia, gejala yang
timbul mungkin hanya berupa kelelahan dan penurunan berat badan. Keadaan ini
disebut tirotoksikosis apatetik.

8) Pemeriksaan Fisis

Gejala tolsisk pada pemeriksaan fisis dapat berupa: Retfaksi atau lag kelopak
mata, eksoftalmos, takikardi, fibrilasi atrial, ginekomastia, tremor, kulit yang hangat
dan lembap, kelemahan otot dan myopati proksimal.

Pemeriksaan neurologi menunjukkan adanya peningkatan refleks, wasting otot,


dan myopati proksimal yang tidak disertai fasikulasi.

Pemeriksaan kelenjar tiroid ditemukan pembesaran dufus yang disertai bruit


akibat peningkatan vaskularisasi kelenjar tiroid

SISTEM GEJALA
ORGAN

Umum Mudah lelah dan lemah

Neuropsikiatri Gelisah, insomnia dan iritabel

Mata Meta berair, fotofobia, sensasi asing, nyeri,


mata menonjol, pandangan ganda, gangguan
penglihatan

kardiovaskuler Berdebar debar, sesak saat aktivitas, edema,


nyeri dada

Respiratorik Sesak napas


Gastroinstetina Peningkatan motilitas usus, sering buang air
l besar

Renal Poliuria dan polidipsia

Reproduksi Gangguan siklus menstruasi, perubahan


volume menstruasi, impotensi dan
ginekomastia

Neuromuskuler Tremor, mudah lelah, kelemhan otot


proksimal, kadang terjadi paralisis periodik

Skeletal Nyeri punggung, riwayat fraktur, mudah lelah

Hematologi Mudah memar

Metabolik Tidak tahan panas, penurunan berat badan,


nafsu makan tetap atau meningkat, kontrol
gula pada pasien diabetes memburuk

Dermatologi Miksedema, lembab, berkeringat, onikolisis,


alopesia, vitiligo, mixedema pretibial

Tabel 1. Gejala penyakit Graves berdasarkan sistem organ

9) Pemeriksaan Penunjang

Pada pemeriksaan laboratorium terdapat penurunan TSH dan peningkatan FT4.


Pemerisaan fadiologi dan EKG dilakukan untuk mendeteksi adanya penyakit
penyerta/pengikut.

Pemeriksaan FT3 dilakukan pada kondisi klinis tirotoksikosis namun hasil


meriksaan FT4 nya normal. Kondisi ini dapat dijumpai pada T3 toksikosis. Adapun
alur pemeriksaan dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Alur evaluasi Tirotoksidosis

10) Tata Laksana

Terdapat tiga modelitas terapi penyakit Graves, yaitu obat antitiroid, tindakan
bedah, dan terapi radioiodin. Modelitas utama yang paling banyak digunakan adalah
obat antitiroid (OAT). OAT terdiri dari 2 golongan, yaitu golongan Tionamid
(Propiltiourasil [PTU]), dan golongan Imedazol (Metimazol, Tiamazol dan
Karbimazul).

Tujuan pemberian OAT adalah untuk menurunkan konsentrasi hormon tiroid di


perifer. Obat-obat golongan ini bekerja pada intratiroidal, ekstratiroidal dan
mengenali proses imunologi pada PG. Pada kelenjar tiroid. OAT menghambat proses
hormon tiroid dengan menghambat proses oksidasi dan organifikasi iodium, inhibisi
couling iodotirosin, serta mempengauruhi struktur dan biosintesis tiroglobulin. Pada
jaringan ekstatiroidal, OAT menghambat konversi T4 menjadi T3. Secara imunologi,
OAT memengaruhi respon imun pada PG dengan menanisme yang masih
kontroversial.
OAT di berikan dengan dosisi tinggi di awal sampai tercapai kondisi eutiroid,
dosis di kurangi hingga tercapai dosis kecil yang efektif hingga tercapai remisi.
Maksimal 2000 mg/hari. Dosis awal metimazol dan Tiamazol adalah 20-40 mg/hari.

Pemberian OAT untuk penyakit Graves sampai tercapai secara klinis eutiroid dan
dipertahankan selama 12 – 24 bulan sampai tercapai kondisi remisi. Relaps biasa
tercapai dalam 2 – 6 bulan setelah obat di hentikan. Apabila terjadi relaps, maka
dapat di pertimbangkan untuk diberikan OAT kembali (terapi bedah, terapi
radioiodin, ataupun terapi defenitif)

Radioiodin menggunakan yodium radioaktif untuk menghancurkan sel sel tiroid


secara progresif. Radioiodinasi dapat dipertimbangkan sebagai terapi lini pertama
maupun sebagai terapi lini kedua pada pasien yang mengalami relaps setelah
pengobatan OAT. Modalitas ini di kontraindikasikan pada ibu hamil dan menyusui.

Tindakan bedah dapat di pertimbangkan pada pasien yang sudah menjalani


pengobatan dengan OAT namun mengalami relaps. Komplikasi yang dapat terjadi
antara lain pendarahan, edema laring dan cedera nervus laringeus rekurens.

Penatalaksaan bertujuan untuk mencapai remisi, yaitu keadaan di mana pasien


masih dalam keadaan eutiroid setelah obat antitiroid dihentikan selama satu tahun.

B. Addison Disease
1) Definisi

Penyakit Addison atau lebih dikenal dengan nama Addison’s Disease adalah suatu
hipofungsi dari adrenal yang timbul secara spontan dan berangsur-angsur, dimana
ketidakmemadaian adrenal, dapat menjadi penyakit yang mengancam jiwa. Penyakit
Addison adalah gangguan yang melibatkan terganggunya fungsi dari kelenjar korteks
adrenal. Hal ini menyebabkan penurunan produksi dua bahan kimia penting (hormon)
biasanya dirilis oleh korteks adrenal: kortisol dan aldosteron (Liotta EA et all 2010).

Penyakit Addison adalah suatu kelainan endokrin atau hormon yang terjadi pada
semua kelompok umur dan menimpa pria dan wanita sama rata. Penyakit ini
dikarakteristikan oleh kehilangan berat badan, kelemahan otot, kelelahan, tekanan darah
rendah dan adakalanya penggelapan kulit pada kedua bagian-bagian tubuh yang terbuka
dan tidak terbuka.

Penyakit Addison adalah penyakit yang terjadi akibat fungsi korteks tidak kuat
untuk memenuhi kebutuhan pasien akan hormon–hormon korteks adrenal (Soediman,
1996). Penyakit Addison adalah lesi kelenjar primer karena penyakit destruktif atau
atrofik, biasanya auto imun atau tuberkulosa. (Baroon, 1994). Penyakit Addison terjadi
bila fungsi korteks adrenal tidak adekuat untuk memenuhi kebutuhan pasien akan
kebutuhan hormon – hormon korteks adrenal. (Bruner, dan Suddart Edisi 8 hal 1325).
Penyakit Addison ialah kondisi yang terjadi sebagai hasil dari kerusakan pada kelenjar
adrenal (Black, 1997).

2) Etiologi
Penyakit Addison terjadi akibat kerusakan kelenjar adrenal secara progresif,
sedemikian rupa jika kerusakan mencapai 90% saat insufisiensi mulai timbul. Berbagai
etiologi dan keterkaitandengan penyakit lain meliputi sebagai berikut:
1. Penyakit granulomatik kronis, terutama tuberculosis (70% sampai 90% dari kasus),
tetapi bisa disebabkan pula histoplasmosis, coccidiomycosis, dan cryptococcosis.
2. Penyakit Addison atau insufisiensi adrenokortikal, terjadi bila fungsi korteks
adrenal tidak adekuat untuk memenuhi kebutuhan pasien akan hormon hormon
korteks adrenal atrofi autoimun atau idiopatik pada kelenjar adrenal merupakan
penyebab pada 75% kasus penyakit addison.
3. Sekresi ACTH yang tidak adekuat dari kelenjar hipofisis juga akan menimbulkan
insufisiensi adrenal akibat penurunan stimulasi korteks adrenal.
4. Kerusakan pada korteks adrenal mempengaruhi insufisiensi kortisol yang
menyebabkan hilangnya glukoneogenesis, glikogen hati menurun yang
mengakibatkan hipoglikemia, insufisiensi kortisol mengakibatkan ACTH dan
sehingga merangsang sekresi melanin meningkat sehingga timbul ® MSH
hiperpigmentasi. Defisiensi aldosteron dimanifestasikan dengan peningkatan
kehilangan natrium melalui ginjal dan peningkatan reabsorpsi kalium oleh ginjal
kekurangan garam dapat dikaitkan dengan kekurangan air dan volume. Penurunan
volume plasma yang bersirkulasi akan dikaitkan dengan kekurangan air dan volume
mengakibatkan hipotensi.
5. Pasien AIDS harus dicurigai insufisiensi adrenal, mengingat CMV sering
menginfeksi kelenjar adrenal (CMV necrotizing adrenalitis), dan juga keterlibatan
microba jenis mycobacterium avium intracellulare, Cryptococcus, dan Sarcoma
kaposi.
6. Obat obatan golongan rifampisin, phenytoin, ketoconazole, magesterole, dan opiate
dapat menyebabkan atau potensiasi terjadinya insufisiensi adrenal
7. Obat antokoagulan dapat menyebabkan perdarahan adrenal, dan infark adrenal, dan
pada pasien dalam hiperkoagulasi yang menerima obat antikoagulan misalnya pada
pasien dengan antiphospholipid syndrome.

3) Epidemiologi

Penyakit Adison merupakan penyakit yang jarang terjadi di dunia. Di Amerika


Serikat tercatat 0,4 per 100.000 populasi. Frekuensi pada laki-laki dan wanita hampir
sama. laki-laki 56% dan wanita 44% penyakit Addison dapat dijumpai pada semua
umur, tetapi lebih banyak terdapat pada umur 30 – 50 tahun. 50% pasien dengan penyakit
addison, kerusakan korteks adrenalnya merupakan manifestasi dari proses autoimun.
Di Amerika Serikat, penyakit addison terjadi pada 40-60 kasus per satu juta
penduduk. Secara global, penyakit addison jarang terjadi. Bahkan hanya negara-negara
tertentu yang memiliki data prevalensi dari penyakit ini. Prevalensi di Inggris Raya
adalah 39 kasus per satu juta populasi dan di Denmark mencapai 60 kasus per satu juta
populasi.
Mortalitas/morbiditas terkait dengan penyakit addison biasanya karena kegagalan
atau keterlambatan dalam penegakkan diagnosis atau kegagalan untuk melakukan terapi
pengganti glukokortikoid dan mineralokortikoid yang adekuat. Jika tidak tertangani
dengan cepat, krisis addison akut dapat mengakibatkan kematian. Ini mungkin
terprovokasi baik secara de novo, seperti oleh perdarahan kelenjar adrenal, maupun
keadaan yang menjadi penyerta pada insufisiensi adenokortikal kronis atau yang tidak
terobati secara adekuat.
Dengan onset lambat penyakit addison kronik, kadar yang rendah signifikan, non
spesifik, tapi melemahkan, maka gejala dapat terjadi. Bahkan setelah diagnosis dan
terapi, risiko kematian lebih dari 2 kali lipat lebih tinggi dengan penyakit addison.
Penyakit kardiovaskuler, keganasan dan penyakit infeksi bertanggung jawab atas
tingginya angka kematian.
Penyakit Addison predileksinya tidak berkaitan dengan ras tertentu. Sedangkan
penyakit Addison idiopatik autoimun cenderung lebih seringa pada wanita dan anak anak.
Usia paling sering pada penderita addison disease adalah orang dewasa antara 30-
50 tahun. Tapi, penyakit ini tidak dapat timbula lebih awal pada pasien dengan sindroma
polyglanduler autoimun, congenital adrenal hyperplasia (CAH), atau jika onset karena
kelainan metabolisme rantai panjang asam lemak.

4) Manifestasi klinik

Sesudah penyakit Addison terjadi, penderita biasanya merasa lemah, lelah, dan
pusing terutama jika berdiri sesudah duduk atau berbaring. Gejala penyakit Addison
mungkin berkembang secara perlahan – lahan dan tak kentara biasanya dalam waktu
beberapa bulan. Gejala umum dari penyakit Addison’s Disease, antara lain:
1. Kelemahan dan kelelahan pada otot
2. Penurunan nafsu makan yang menyebabkan hilangnya berat badan
3. Tekanan darah rendah dan gula darah rendah
4. Mudah marah
5. Depresi
6. Diare, mual, dan / atau muntah yang menyebabkan dehidrasi
7. Kehilangan kesadaran
8. Sementara, gejala yang khas atau spesifik dari penyakit Addison’s Disease
meliputi:
1. Keinginan mengonsumsi garam
2. Kulit gelap (hiperpigmentasi)
3. Sakit di kaki, punggung bawah, dan perut
Gejala penyakit Addison kadang dapat terjadi secara tiba tiba dan berat. Kondisi
ini disebut krisis addisonian atau insufisiensi adrenal akut. Biasanya terjadi jika tubuh
mengalami stress berat seperti pembedahan, cedera berat, atau infeksi hebat, gejala
gehala yang dapat terjadi pada Addisonian meliputi: rasa nyeri menusuk pada punggung
inferior, perut, atau kaki yang tiba tiba, muntah muntah dan diare hebat, dehidrasi,
hipotensi, hyperkalemia, dan hilangnya kesadaran. Jika krisis addisonian tidak ditangani,
maka dapat berakibat fatal.
Pada penyakit Addison, kelenjar hipofise menghasilkan banyak ACTH sebagai
usaha untuk merangsang pembentukan hormon oleh kelenjar adrenal. Namun ACTH juga
merangsang produksi melanin, sehingga pada kulit dan mukosa penderita sering
terbentuk hiperpigmentasi.

5) Diagnosis

Diagnosis insufisiensi adrenal harus dibuat berdasarkan test stimulasi ACTH


untuk menaksir kemampuan cadangan adrenal memproduksi cortisol. Secara singkat,
Test penyaring yang terbaik adalah dengan melihat respon peningkatan cortisol setelah
60 menit pemberian 250 mcg cosyntropin yang diberikan secara IM ataupun IV. Kadar
kortisol harus melampaui 496 mmol/L. jika respon cortisol abnormal, maka untuk
membedakan insufisiensi adrenal primer dan sekunder dapat diperiksa kadar aldosterone
pada sample yang sama. Insifisiensi sekunder akan menunjukkan hasil peningkatan
normal aldosterone (150 pmol/L). pada insufisiensi primerplasma ACTH dan periode
terkait (β-LPT) meningkat disebabkan hilangnya hubungan timbal balik Cortisol-
Hypothalamic-Pituitary, dimana pada insufisiensi sekunder adrenal serum plasma ACTH
akan mengalami penurunan atau inappropriately normal (gambar 1). Insufisiensi adrenal
sekunder menunjukkan plasma ACTH rendah. Pada Insudisiensi adrenal sekunder akibat
tumor pituitary atau panhipopituitari idopatik, maka sering defisiensi hormone lainnya.
Meskipun demikian ACTH mungkin berdiri sendiri, sebagaimana pada penggunaan
glucocorticoid eksogen jangka waktu panjang. Kadang kadang diperlukan infuse ACTH
24 jam. Pasien insufisiensi adrenal sekunder dapat dibedakan dengan orang normal
melalui test toleransi insulin atau test metyrapone.
6) T
a
t
a
l
a
k
s
a
n
a
1. Semua pasien insufisiensi adrenal memerlukan terapi sulih hormone
2. Pasien harus diberikan keterangan atau pendidikan secara mengenai
penyakitnya
3. Terapi sulih hormone harus mencakup defisiensi glukokortikoid dan defisiensi
mineralokortikoid.
 Hydrocortisone 20-30 mg per hari, dianjurkan diminum bersama dengan
makan atau bersama dengan susu atau antasida, mengingat efek obat bisa
menyebabkan gastritis. Ritme normal adrenal diurnal bisa dicapai dengan
cara minum obat sbb:
1. 2/3 dosis diminum pagi hari
2. 1/3 dosis diminum pada late afternoon
3. Beberapa pasien bisa mengalami insomnia, irritability, atau mental
excitement saat memeulai terapi, jika ini terjadi maka dosis harus
diturunkan.
4. Jika disertai dengan diabetes atau hipertensi maka dosis harus lebih
kecil.
5. Pasien dengan obesitas atau menerima obat anti konvulsi
memerlukan dosis obat yang lebih besar.
6. Pemantauan hasil terapi dengan monitor plasma ACTH, plasma
cortisol, ataupun cortisol urine tampaknya tidak penting untuk
mengetahui dosis optimal.
 Fludrocortisone 0,05-0,1 mg perlu diberikan mengingat terapi
hydrocortisone tidak bisa memenuhi kebutuhan komponen
mineralokortikoid. Pasien disarankan untuk mengkonsumsi garam 3-4
gram per hari.
 Kecukupan terapi mineralokortikoid dapat dipantau dengan pemeriksaan
tekanan darah dan serum elektrolit. Pemantauan plasma renin dapat pula
digunakan untuk titrasi dosis obat.
 Insufisiensi adrenal pada wanita umumnya disertai dengan hormone
androgen yang rendah. Pemberian DHEA 25-50 mg per oral dapat
memperbaiki kualitas hidup dan meningkatkan massa tulang.
 Komplikasi insufisiensi adrenal sangat jarang terjadi pada dosis obat yang
direkomendasikan. Komplikasi akibat hormone mineral korti koid dapat
meliputi hipokalemia, hipertensi, pembesaran jantung, dan bahkan payah
jantung akibat retensi sodium. akibat terapi glukokortikoid pada pasien.
Pengukuran berkala berat badan, serum kalium, tekanan darah sangat
berguna. Semua pasien insufisiensi adrenal harus membawa identitas
medik dan haurs mendapatkan kursus untuk penyuntikan steroid jika
sewaktu-waktu diperlukan.
 Problematik Pengelolaan Khusus.
 Pemberian dosis hydrocortisone harus dilipat duakan jika pasien
mengalami intercurrent illness.
 Dosis hydrocortisone dapat mencapai 75-150 mg per hari jika pasien
mengalami sakit berat.
 Jika pasien memerlukan tindakan medik khusus misalnya operasi atau
cabut gigi, maka diperlukan pemberian suplemen glukokortikoid.
 Dalam keadaan olahraga berat yang disertai pengeluaran keringat
berlebihan, diarea, atau dalam udara yang sangat panas, maka pasien
memerlukan peningkatan dosis dari fludrocortisone dan tambahan asupan
garam pada konsumsi makan.
 Pasien insufisiensi adrenal yang akan menjalani operasi besar harus
diberikan program sulih hormone yang khusus program terapi tersebut
disesuaikan dengan kebutuhan individu normal yang mengalami stress
berat yang berkepanjangan (10 mg per jam, 250-300 mg per hari) Jika
pasien mengalami perbaikan dan tidak panas maka dosis dapat diturunkan
bertahap sampai 20%-30% per harinya Pemberian mineralokortikoid tidak
diperlukan jika dosis hydrocortisone > 100 mg/hari, mengingat adanya
efek mineralokortikoid dari hydrocortisone pada dosis yang tinggi.
7) Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium
Pada fase awal dari kerusakan kelenjar adrenal pemeriksaan laboratorium
rutin dalam batas normal, tetapi fungsi adrenal sudah mulai menurun. Steroid
basal mungkin masih normal, tetapi jika mengtalami stress maka peningkatan
steroid dalam batas subnormal, Test stimulasi adrenal dengan ACTH, merupakan
diagnostik ditunjukkan dengan tidak adanya peningkatan cortisol.
Pada fase kerusakan lebih lanjut terjadi sebagai berikut:
 penurunan kadar natrium, klorida, bikarbonat, dan hiperkalemia.
Hiponatremia disebabkan akibat hilangnya natrium lewat urine
(akibat defisiensi aldosteron) dan perpindahan natrium ke intraseluler.
Penurunan natrium ekstravaskuler akan menurunkan volume
ekstraseluler dan dapat menyebabkan hipotensi. Hiponatremia juga
mungkin pula dicetuskan oleh peningkatan vasopressin angiotensin Ii
sehingga mengganggu pengeluaran air. Hiperkalemia terjadi akibat
kombinasi dari defisiensi aldosteron, gangguat filtrasi glomerular, dan
asidosis. Test Stimulasi ACTH akan memberikan kadar cortisol dan
aldosteron basal yang subnormal dan tidak dapat memberikan reaksi
peningkatan Pada sebagian pasien (10% sampai 20%) terjadi
peningkatan ringan sampai sedang hypercalcemia dengan mekanisme
yang tidak diketahui dengan jelas Pemeriksaan Eelektrokardiografi
tidak menunjukkan perubahan gejala yang karakteristik, umumnya
didapatkan gambaran umum berupa pelambatan dan penundaan
Pemeriksaan darah tepi mungkin menunjukkan anemia normositik,
limfositosis relatif, dan eosinofilia derajat sedang.
 Gejala klinik dapat terjadi perlahan-lahan dan sangat ringan.
Pemeriksaan laboratorium yang perlu dikerjakan jika dugaan klinik
mengarah ke insufisiensi adrenal adalah sebagai berikut:
1. Elektrolit
2. Kadar glukosa darah puasa
3. Serum ACTH
4. Plasma renin
5. Serum cortisol
6. Serum aldosterone
 Jika ditemukan hiponatremia dan hiperkalemia, perlu diperiksakan
untuk mendeteksi apakah ada ketidak wajaran proses natriuresis
dengan melakukan test urine sewaktu atau 24 jam Kalium, Natrium
dan creatine, bersamaan dengan test serum creatinine.
1. Keadaan klinik pasein akan menentukan cara interpretasi serum
cortisol (misalnya: Pada individu yang tampak sehat maka serum
cortisol > 10 mcg/dL yang diambil jam 08.00 dapat dipakai untuk
menyingkirkan kemungkinan insufisiensi adrenal Pada individu
dalam keadaan sakit dan stress maka sangat mungkin pasien
mengalami insufisiensi adrenal jika serum cortisol < 18 mcg/dL.
2. Diagnosis insufisiensi adrenal dapat ditegakkan jika serum
cortisol < 18 mcg/dL, dengan disertai peningkatan serum ACTH
dan aktifitas plasma renin, atau dengan pasca pembelian
cosyntropin 60 menit kadar konsentrasi serum cortisol lebih
rendah dari harga normal.
3. Diagnosis juga dapat ditegakkan jika pasca pemberian
cosyntropin 60 menit, peningkatan serum cortisol tidak lebih dari
18-20 mcg/dL.
4. Kriteria diagnosis tersebut tidak berlaku pada bayi lahir rendah
atau premature, yang umumnya mempunyai kadar serum cortisol
yang rendah.
 Anti Adrenal antibodies perlu diperiksakan jika ditemukan serum
cortisol yang rendah dengan disertai peningkatan ACTH. Penyakit
adrenal autoimun sering ditemukan lebih dari 1 jenis antibodies
terhadap enzim steroidogenik, terutama 21-hydroxylase.
 Pemberian dosis cosyntropin yang ideal masih kontroversi apakah
dosis standard yang terbaik adalah 250 mcg atau 1 kg/m, atau 0,5
mcg/m, terutama pada usia anak-anak.
 Diagnosis Insufisiensi adrenal sentral dapat dipastikan jika dengan
pemberian cosyntropin serum cortisol hasilnya subnormal, tetapi
serum ACTH tidak meningkat Pada keadaan klinis demikian
defisiensi kronis ACTH dapat ditegakkan jika pasca pemberian
ACTH 6 jam atau 3 hari, memberikan respons cortisol yang normal,
hal ini memastikan bahwa kadar awal cortisol yang rendah dengan
stimulasi cosyntropin adalah terkait dengan defisiensi kronik ACTH.
Test 6 jam menggunakan ACTH dengan dosis 25 ID yang diberikan
intra vena selama 6 jam, Test 3 hari menggunakan intra muskuler
ACTH dengan dosis 25 mg/m setiap 12 jam selama 3 hari. Kedua test
tersebut memberikan peningkatan cortisol > 40 mg/dL Test stimulasi
ACTH selama 3 hari akan meningkatkan kadar urine 17-
hydroxysteroid dalam 24 jam sampai 5-10 kall lipat.
 Tes stimulasi Metyrapone atau test toleransi insulin lebih tepat untuk
pasien yang diduga mengalami insufisiensi adrenal dengan onset yang
masih baru (misal: < 10 hari, setelah menjalani operasi region
hipotalamus dan pituitari).
 Test toleransi insulin memerlukan pemberian insulin IV (biasanya
0,05-0,15 unit insulin regular/kg) untuk menginduksi penurunan
glukosa darah 50%. Konsentrasi glukosa dan kortisol diukur setiap 15
menit selama 60 menit. Test ini cukup adekuat jika penurunan
glukosa darah dapat mencapai paling tidak 50%. Plasma cortisol akan
meningkat sebagai respons terhadap stimulasi hipoglikemik dan
scharusnya plasma cortisol mengalami kenaikan lebih dari 20 mcg/dL
Pasien yang menjalani test harus mendapatkan pemantauan yang ketat
mengingat risiko hipoglikemik bahkan dapat terjadi kejang, tindakan
medik harus segera dilakukan jika gejala simptomatik hipoglikemik
terjadi.
 Test Metyrapone standard, memerlukan pemberian metyrapone 300
mg/m² dengan dosis terbagi setiap 6 jam selama 24 jam Konsestrasi
plasma cortisol precursor 11-deoxy cortisol meningkat sehubun
adanya efek penghambatan 11-hydroxylase, merupakan enzyme
terakhir yang diperlukan pada sintesis cortisol. Satu hari setelah
pemberian metyrapone hasil test disimpulkan normal bila tenadi
peningkatan konsentrasi 11-deoxycortisol mencapai lebih dari 10.5
mcg/dL setelah 4 jam pemberian dosis terakhir metyrapone atau
peningkatan 2 sampai 3 kali lipat konsentrasi 17 hydroxy
corticosteroid pada urine tampung 24 jam. Prosedur test ini
mempunyai risiko terjadinya memicu krisis adrenal.
 Penyakit autoimun sebagai penyebab insufisiensi adrenal primer
dapat dipastikan jika pemeriksaan anti adrenal antibodies positif. Jika
pemeriksaan antibody negative, pemeriksaan dilanjutkan dengan
mencari etiologi lainnya misalnya tuberculosis, perdarahan adrenal,
atau adrenoleukodystrophy.
 Test stimulasi human atau bovine CRH merupakan tes yang cukup
akurat untuk menegakkan diagnosis atau differential diagnosis
insufisiensi adrenal.
1. Penyebab Apapun Dari Defisiensi glukokortikoid dapat
dibuktikan dengan respons cortisol subnormal.
2. Pemberian stimulasi CRH pada pasien dengan defisiensi
glukokortikoid primer akan meningkatkan konsentrasi ACTH.
3. Pasien defisiensi glukokortikoid sekunder yang terkait dengan
defisiensi primer pituitary akan memberikan hasil test ACTH
yang rendah selama pemeriksaan berlangsung, atau pasien
tersebut akan memberikan respon yang meningkat jika problem
tersier sebagai penyebabnya.

2. Pemeriksaan Imaging Studies


 CT merupakan pilihan utama untuk mendeteksi perdarahan adrenal,
klasifikasi, penyakit infiltratif. MRI tidak terlalu berguna seperti CT.
 Pemeriksaan radiografi abdominal mungkin dapat mendeteksi
klasifikasi adrenal, yang didukung oleh dugaan riwayat adanya
perdarahan adrenal bilateral, tuberculosis atau Wolman disease /
Ultrasonografi merupakan modalitas pemeriksaan imajing yang kurang
baik.
 CT guided fine needle aspiration dapat membantu diagnosis etiologi
penyakit adrenal infiltrative.

C. Hipertiroid

a. Definisi (pengertian)
Hipertiroid adalah sebuah kondisi yang terjadi ketika fungsi kelenjar tiroid
menjadi tidak normal sehingga menyebabkan produksi dan pelepasan hormon tiroid
yang berlebihan. Keadaan hipertiroid dapat menyebabkan tiroktosikosis. Tiroktosikosis
ialah manifestasi klinik dari kelebihan hormone tiroid yang beredar dalam sirkulasi.
Sedangkan hipertiroid merupakan tiroktosikosis yang diakibatkan oleh hiperaktif dari
kelenjar tiroid. penyakit hipertiroid yang paling mudah dikenali ialah adanya struma
(hipertrofi dan hiperplasia difus), tirotoksikosis (hipersekresi kelenjar tiroid/
hipertiroidisme) dan sering disertai oftalmopati, dan disertai dermopati meskipun
jarang.
b. Etiologi (penyebab)
Untuk penyebabnya dibagi menjadi 3 yaitu:
c. Patofisiologi
untuk memahami patofisiologi dari kondisi hipertiroid, harus dipahami terlabih
dahulu mengenai aksis hypothalamus-hipofisis anterior-tiroid. Hypothalamus akan
menghasilkan TRH (Tirotropin Realesing Hormone). TRH akan merangsang sel
tirotropin di hhipofisis anterior untuk menghasilkan TSH (Thyroid Stimulating
Hormone). TSH akan merangsang sel folikel di kelenjar tiroid untuk menghasilkan
hormon tiroid yang berupa triidotironin (T3), dan tetraidotironin atau tiroksin (T4).
Dalam hal ini tubuh memiliki sistem homeostasis yang baik dengan mekanisme
umpan balik negative. Hormone tiroid yang dilepaskan akan memberikan umpan balik
negative ke hypothalamus dan hipofisis anterior untuk mengurangi pelepasan TRH dan
TSH sehingga produksi tidak menjadi berlebihan di dalam darah. Apabila terdapat
abnormalitas pada aksis ini tentunya akan berdampak terhadap jumlah hormon yang
beredar dalam darah sehingga dapat terjadi abnormalitas kadar tiroid dalam darah, bisa
menurun atau meningkat.

Aktivasi dari hormone tiroid pada sel target akan menyababkan sintesis dari
protein baru yang akan berefek utamanya pada metabolisme sel sehingga terjadi
peningkatan Basal Merabolic Rate (BMR), dan juga berefek pada pertumbuhan,
perkembangan CNS, sistem CVS (tachycardia, tachypnea, peningkatan tekanan darah
(hipertensi)), dan efek pada sistem yang lain.
Oleh karena itu, pada kondisi hipertiroid dan thiroktosikosis dimana terjadi peningkatan
hormone tiroid dalam darah, maka akan terjadi peningkatan metabolism tubuh secara
signifikan yang ditandai dengan menjadi sering berkeringat meskipun tanpa melakukan
aktivitas yang berat, berat badan menurun, tachycardia, tachypnea. Kelenjar tiroid juga
dapat membesar dan terpalpasi saat dilakukan pemeriksaan fisik.

d. Gejala klinik
Gejala klinik yang biasa terjadi adalah Gejala klinis dari hipertiroid dipengaruhi
oleh banyak faktor, termasuk umur penderita, lamanya menderita hipertiroid dan
kepekaan organ terhadap kelebihan kadar hormon tiroid. Manifestasi klinis paling
sering dirasakan adalah penurunan berat badan padahal nafsu makan baik, kelelahan
atau kelemahan otot, tremor, gugup, berdebar-debar, keringat berlebihan, tidak tahan
panas, palpitasi dan pembesaran tiroid dan payah jantung. Gejala ini dapat berlangsung
beberapa hari sampai beberapa tahun. Bahkan, kadang-kadang penderita juga tidak
menyadari penyakitnya.
e. Diagnosa
Diagnosa gambaran klinik hipertiroidi dapat ringan dengan keluhankeluhan yang
sulit dibedakan dari reaksi kecemasan, tetapi dapat berat sampai mengancam jiwa
penderita karena timbulnya hiperpireksia, gangguan sirkulasi dan kolaps. Keluhan
utama biasanya berupa salah satu dari meningkatnya nervositas, berdebardebar atau
kelelahan. Dari penelitian pada sekelompok penderita didapatkan 10 geiala yang
menonjol yaitu
 Nervositas
 Kelelahan atau kelemahan otot-otot
 Penurunan berat badan sedang nafsu makan baik
 Diare atau sering buang air besar
 Intoleransi terhadap udara panas
 Keringat berlebihan
 Perubahan pola menstruasi
 Tremor
 Berdebar-debar
 Penonjolan mata dan leher

Gejala-gejala hipertiroidi ini dapat berlangsung dari beberapa hari sampai


beberapa tahun sebelum penderita berobat ke dokter, bahkan sering seorang penderita
tidak menyadari penyakitnya. Pada pemeriksaan klinis didapatkan gambaran yang khas
yaitu : seorang penderita tegang disertai cara bicara dan tingkah laku yang cepat, tanda-
tanda pada mata, telapak tangan basah dan hangat, tremor, onchōlisis, vitiligo,
pembesaran leher, nadi yang cepat, aritmia, tekanan nadi yang tinggi dan pemendekan
waktu refleks Achilles. Atas dasar tanda-tanda klinis tersebut sebenarnya suatu
diagnosis klinis sudah dapat ditegakkan..

Untuk daerah di mana pemeriksaan laboratorik yang spesifik untuk hormon tiroid
tak dapat dilakukan, penggunaan indeks Wayne dan New Castle sangat membantu
menegakkan diagnosis hipertiroid. Pengukuran metabolisme basal (BMR), bila basil
BMR > ± 30, sangat mungkin bahwa seseorang menderita hipertiroid.
Untuk konfirmasi diagnosis perlu dilakukan pemeriksaan hormon timid (thyroid
function test), seperti kadar T4 dan T3, kadar T4 bebas atau free thyroxine index (FT41).
Adapun pemeriksaan lain yang dapat membantu menegakkan diagnosis yaitu
pemeriksaan antibodi tiroid yang meliputi anti tiroglobulin dan antimikrosom,
pengukuran kadar TSH serum, test penampungan yodium radioaktif (radioactive iodine
uptake) dan pemeriksaan sidikan tiroid (thyroid scanning) Khir mengemukakan
pendapatnya untuk menegakkan diagnosis PG, yakni : adanya riwayat keluarga yang
mempunyai penyakit yang sama atau mempunyai penyakit yang berhubungan dengan
otoimun, di samping itu pada penderita didapatkan eksoftalmus atau miksedem
pretibial; kemudian dikonfirmasi dengan pemeriksaan ntibodi tiroid.

f. Pemeriksaan fisik
Status lokalis :
Pada pemriksaan fisik nodul harus dideskripsikan :
 Lokasi : lobus kanan, lobus kiri, atau ithmus.
 Ukuran : dalam sentimeter, diameter panjang.
 Jumlah nodul : satu (uninodosa), atau lebih dari satu (multinodosa).
 Konsistensinya : ksitik, lunak, kenyal, keras.
 Nyeri : ada nyeri atau tidak pada saat dilakukan palpasi.
 Mobilitas : ada atau tidak perlekatan terhadap trakea, muskulus
sternocleidomastoidea.
 Pembesar KGB di sekitar tiroid : ada atau tidak.

Status generalisata : (hipertiroid)

 Tekanan darah meningkat


 Nadi meningkat
 Mata :
- Exopthalmus
- Stelwag sign : jarang berkedip
- Von gaefe sign : palpebrae superior tidak mengikuti bulbus oculi waktu melihat ke
bawah.
- Ressenbach sign : tremor palpebrae jika mata tertutup.
 Jantung : takikardi

Hipertiroid di bagi ke dalam derjat :

 Derajat 0 : tidak teraba pada pemriksaan.


 Derajat I : terapa pada pemriksaan, terlihat apa bila kepala di tegakkan.
 Derajat II : mudah terlihat pada posisi normal.
 Derajat III : terlihat pada jarak jauh.
g. Pemeriksaan penunjang
 Pemeriksaan untuk mengukur fungsi tiroid
 Pemeriksaan antibody terhadap antigen tiroid
 Pemeriksaan radiologis
 Rontgen
 USG
 Radioisotop
 Pemeriksaan histopatologis (FNAB)
 Pemeriksaan potong beku
 Pemeriksaan hormone tiroid dan TSH paling sering menggunakan radioimmuno-
assay (RIA) dan caraenzyme-linked-immuno-assay (ELISA) dalam serum atau
plasma darah
 Pemeriksaan T4 total dikerjakan pada semua penderita penyakit tiroid, kadar normal
pada orang dewasa 60 -150 nmol/L atau 50 – 120 ng/dL
 T3 sangat membantu untuk hipertiroidism, kadar normal dewasa 1,0 – 2,6 nmpol/L
atau 0,65 – 1,7 ng/ dL
 TSH sangat membantu untuk mengetahui hipertiroidisme primer dimana basal TSH
meningkta 6 mU/L. kadang – kadang meningkat sampai 3 kali normal.
h. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan atau Pengobatan untuk hipertiroidisme adalah dengan menggunakan
obat anti-tiroid, radioiodine dan/atau pembedahan. Kadar TSH berguna untuk
mendiagnosis hipertiroidisme, namun tidak dapat menentukan tingkat keparahannya.
Oleh sebab itu, pengukuran kadar T3 dan T4 bebas sangatlah diperlukan untuk menilai
efektivitas dari terapi. Sejumlah besar substansi dapat mengganggu sintesis dari hormon
tiroid ataupun mengurangi jumlah jaringan tiroid. Senyawa tersebut adalah (a)
Thionamide, (b) Penghambat transpor iodida, (c) Iodida, dan (d) Iodium Radioaktif.
a. Thionamide (Methimazole, Propylthiouracil, Carbimazole)
Thionamide adalah obat anti-tiroid yang menghambat pembentukan hormone
tiroid dengan cara menghambat enzim tiroid peroksidase sehingga mencegah
penggabungan iodium ke residu tirosin dari tiroglobulin. Thionamide memakai efek
imunosupresif lewat pengurangan konsentrasi antibody reseptor antitirotropin.
Selain memblokir sintesis hormone, propiltiourasil (PTU) juga menghambat
deiodinasi perifer dari T4 dan T3. Obat anti tiroid berguna untuk mengobati
hipertiroidisme sebelum dilakukannya tiroidektomi elektif. Kadar serum
thionamide memuncak 1-2 jam setelah ingesti. Thionamide tidak tersedia dalam
bentukan parenteral. Waktu paruh dari methimazole (4-6 jam, dosis 1x sehari) lebih
panjang dibandingkan waktu paruh propiltiourasil (75 menit, dosis beberapa kali
sehari). Penurunan aktifitas tiroid berlebih yang diakibatkan oleh obat biasanya
membutuhkan waktu beberapa hari, karena hormon yang telah dibentuk
sebelumnya harus habis terlebih dahulu sebelum gejalanya mulai berkurang. Pada
sebagian kecil pasien, terutama pasien yang mengalami hipertiroidisme berat,
perbaikan baru terlihat jelas dalam waktu 1-2 hari.

Efek samping minor dari terapi thionamide terlihat pada sekitar 5% dari
pasien, yaitu urtikaria atau ruam kulit berbentuk makula, arthralgia dan gangguan
gastrointestinal. Granulositopenia dan agranulositosis adalah salah satu efek
samping yang serius namun jarang terjadi, dan paling sering timbul pada 3 bulan
pertama setelah dilakukannya terapi obat anti-tiroid. Pengukuran sel darah putih
secara berkala, meskipun sangat bermanfaat untuk mendeteksi kenaikan jumlah
leukosit, namun tidak dapat dijadikan acuan untuk mendeteksi agranulositosis
karena komplikasi tersebut berlangsung sangat cepat. Demam atau faringitis bisa
menjadi manifestasi awal dari perkembangan agranulositosis. Pemulihan akan
terjadi ketika obat antitiroid ini di stop ketika tanda pertama dari efek samping ini
muncul. Toksisitas pada hepar juga pernah dilaporkan setelah penggunaan
thionamide, secara khusus propiltiourasil. Methimazole dapat melewati plasenta
dan ditemukan pada ASI. Akan tetapi, jalur plasenta ini tidak bisa dilewati oleh
propiltiourasil, sehingga membuat obat ini menjadi pilihan bagi pasien yang akan
melahirkan.
b. Iodium (Larutan Kalium Iodium Pekat, Larutan Iodium - Kalium Iodida
[Larutan Lugol])
Iodium adalah terapi tertua yang pernah ada untuk mengatasi
hipertiroidisme, menjadi salah satu terapi yang efektif namun belum sepenuhnya
dimengerti. Respon pasien hipertiroidisme terhadap iodium bersifat akut dan sering
kali dapat terlihat setelah 24 jam, menekankan bahwa pengeluaran hormon ke
sirkulasi sangat cepat untuk di interupsi. Efek klinis yang paling penting dari
pemberian iodium dosis tinggi adalah Inhibisi pengeluaran hormon tiroid. Ini dapat
tercerminkan dari kemampuan iodium untuk melawan kemampuan TSH dan
adenosine monofosfat siklik (cAMP) untuk menstimulasi pengeluaran hormon.
Iodium sangat berguna untuk mengobati hipertiroidisme, sebelum dilakukannya
tiroidektomi elektif. Kombinasi antara kalium iodide oral dan propranololmemang
menjadi salah satu yang di rekomendasikan. Vaskularitas dari kelenjar tiroid akan
menurun akibat terapi iodium. Terapi kronik dengan menggunakan iodium,
seringkali dikaitkan dengan kembalinya aktivitas berlebih dari kelenjar tiroid yang
sebelumnya telah ditekan.
Reaksi alergi dapat juga dapat menyertai terapi iodium atau bentukan
organic lainnya yang mengandung iodium. Angioedema dan edema laring bisa
menjadi salah satu efek yang mengancam nyawa.

c. Iodium Radioaktif
Radioiodium umumnya diberikan sebagai terapi pilihan dari
hipertiroidisme yang diakibatkan oleh penyakit Graves. Banyak klinisi memberikan
terapi iodium radioaktif kepada pasien setelah kondisi eutiroid tercapai dengan
thionamides. Diantara isotop radioaktif dari Iodium, 131I adalah yang paling sering
diberikan. Isotop ini akan secara cepat dan efisien diserap oleh kelenjar tiroid, dan
pancaran yang bersifat destruktif sinar β selanjutnya akan bekerja secara khusus
pada jaringan-jaringan ini, dengan sedikit atau tanpa terjadi kerusakan pada
jaringan sekitar. Kelenjar tiroid mampu dihancurkan secara utuh oleh 131I dalam
kurun waktu 6-18 minggu. Hipotiroidisme memang akan terjadi pada sekitar 10%
pasien yang menjalani terapi dalam 1 tahun pertama setelah 131I diberikan, dan
akan meningkat sekitar 2-3% per tahun setelahnya. Oleh sebab itu, hipotiroid
iatrogenic haruslah di pertimbangkan sebelum operasi pada pasien yang pernah
mendapat terapi 131I.
Hipertiroidisme di terapi dengan pemberian 131I secara oral, dan akan
menimbulkan gejala berupa penurunan aktivitas kelenjar tiroid berlebih dalam
waktu 2-3 bulan. Setengah hingga dua pertiga dari pasien sembuh dengan
pemberian isotop dosis tunggal, dan sisanya membutuhkan tambahan 1-2 dosis.
Penggunaan 131I tidak boleh diberikan selama kehamilan karena kelenjar tiroid
janin dapat mengkonsentrasikan isotopnya. Sebagian besar kanker tiroid, kecuali
kanker folikuler, hanya dapat mengakumulasikan sedikit dari iodium radioaktif.
Sebagai hasilnya, efektivitas terapi dengan 131I pada pasien kanker tiroid bersifat
sempit/terbatas.
i. Prognosis
remisi : 34-46 %, rekurensi terjadi berbulan sampai dengan tahun sesudah hormone
tiroid berhenti
D. Diabetes Melitus
1) Defenisi Diabetes Melitus
Diabetes Melitus merupakan sutu penyakit metabolic dengan karakteristik
hyperglikemi yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-
duanya.
2) Factor Penyebab

Menurut Wijayakusuma (2004), penyakit DM dapat disebabkan oleh beberapa


hal, yaitu:
a. Pola Makan
Pola makan secara berlebihan dan melebihi jumlah kadar kalori yang dibutuhkan
oleh tubuh dapat memacu timbulnya DM. Hal ini disebabkan jumlah atau kadar
insulin oleh sel β pankreas mempunyai kapasitas maksimum untuk disekresikan.
b. Obesitas
Orang yang gemuk dengan berat badan melebihi 90 kg mempunyai kecenderungan
lebih besar untuk terserang DM dibandingkan dengan orang yang tidak gemuk.
c. Faktor genetik
Seorang anak dapat diwarisi gen penyebab DM dari orang tua. Biasanya, seseorang
yang menderita DM mempunyai anggota keluarga yang terkena juga.
d. Bahan-bahan kimia dan obat-obatan
Bahan kimiawi tertentu dapat mengiritasi pankreas yang menyebabkan radang
pankreas. Peradangan pada pankreas dapat menyebabkan pankreas tidak berfungsi
secara optimal dalam mensekresikan hormone yang diperlukan untuk metabolisme
dalam tubuh, termasuk hormone insulin.
e. Penyakit dan infeksi pada pankreas
Mikroorganisme seperti bakteri dan virus dapat menginfeksi pancreas sehingga
menimbulkan radang pankreas. Hal itu menyebabkan sel β pada pankreas tidak
bekerja secara optimal dalam mensekresi insulin.
3) Klasifikasi DM
Klasifikasi DM yang dianjurkan oleh PERKENI (2006) adalah sesuai
dengan klasifikasi DM oleh American Diabetes Association (ADA).
Klasifikasi etiologi DM:
a) DM Tipe 1 (destruksi sel beta, biasanya menjurus ke defisiensi insulin
absolut ) :
- Autoimun
- Idiopatik
b) DM Tipe 2 (berawal dari resistensi insulin yang predominan dengan
defisiensi insulin relatif menuju ke defek sekresi insulin yang
predominan dengan resistensi insulin)
c) Diabetes Melitus Tipe Lain, yang disebabakan oleh
a. defek genetic fungsi sel β pancreas
b. defek genetic kerja insulin
c. kelainan eksokrin pancreas
d. gangguan endokrin
e. terinduksi obat
f. infeksi
d) Diabetes Mellitus Gestasional
4) Patofisiologi
a). DM Tipe 1 ( DMT 1 = Diabetes Mellitus Tergantung Insulin )
DMT 1 merupakan DM yang tergantung insulin. Pada DMT 1 kelainan terletak pada
sel β yang bisa idiopatik atau imunologik. Pankreas tidak mampu mensintesis dan
mensekresi insulin dalam kuantitas dan atau kualitas yang cukup, bahkan kadang-
kadang tidak ada sekresi insulin sama sekali. Jadi pada kasus ini terdapat kekurangan
insulin secara absolut (Tjokroprawiro, 2007).
Pada DMT 1 biasanya reseptor insulin di jaringan perifer kuantitas dan kualitasnya
cukup atau normal ( jumlah reseptor insulin DMT 1 antara 30.000-35.000 ) jumlah
reseptor insulin pada orang normal ± 35.000. sedang pada DM dengan obesitas ±
20.000 reseptor insulin (Tjokroprawiro, 2007).
DMT 1, biasanya terdiagnosa sejak usia kanak-kanak. Pada DMT 1 tubuh penderita
hanya sedikit menghasilkan insulin atau bahkan sama sekali tidak menghasilkan
insulin, oleh karena itu untuk bertahan hidup penderita harus mendapat suntikan
insulin setiap harinya. DMT1 tanpa pengaturan harian, pada kondisi darurat dapat
terjadi (Riskesdas, 2007).

b). DM Tipe 2 ( Diabetes Mellitus Tidak Tergantung Insulin =DMT 2)


DMT 2 adalah DM tidak tergantung insulin. Pada tipe ini, pada awalnya kelainan
terletak pada jaringan perifer (resistensi insulin) dan kemudian disusul dengan
disfungsi sel beta pankreas (defek sekresi insulin), yaitu sebagai berikut :
(Tjokroprawiro, 2007)
1. Sekresi insulin oleh pankreas mungkin cukup atau kurang, sehingga glukosa yang
sudah diabsorbsi masuk ke dalam darah tetapi jumlah insulin yang efektif belum
memadai.
2. Jumlah reseptor di jaringan perifer kurang (antara 20.000-30.000) pada obesitas
jumlah reseptor bahkan hanya 20.000.
3. Kadang-kadang jumlah reseptor cukup, tetapi kualitas reseptor jelek, sehingga kerja
insulin tidak efektif (insulin binding atau afinitas atau sensitifitas insulin terganggu).
4. Terdapat kelainan di pasca reseptor sehingga proses glikolisis intraselluler terganggu.
5. Adanya kelainan campuran diantara nomor 1,2,3 dan 4.

DM tipe 2 ini Biasanya terjadi di usia dewasa. Kebanyakan orang tidak menyadari telah
menderita dibetes tipe 2, walaupun keadaannya sudah menjadi sangat serius.
Diabetes tipe 2 sudah menjadi umum di Indonesia, dan angkanya terus bertambah
akibat gaya hidup yang tidak sehat, kegemukan dan malas berolahraga (Riskesdas,
2007).
5) Gejala Klinis
a) Polidipsi, poliuri, polifagi
b) Penurunan berat badan yang tidak dikatehui penyebabnya
c) Lemas
d) Kesemutan
e) Luka yang sulit sembuh
f) Penglihatan kabur
g) Kulit kering
6) Diagnosis DM
Kriteria Diagnosis DM
Dinyatakan DM apabila terdapat :
1. Kadar glukosa darah sewaktu ( plasma vena ) ≥ 200 mg/dl, ditambah dengan gejala
klasik: poliuria, polidipsia dan penurunan berat badan yang tidak jelas sebabnya atau
2. Kadar glukosa darah puasa ( plasma vena ) ≥ 126 mg/dl atau
3. Kadar glukosa plasma ≥ 200 mg/dl pada 2 jam sesudah makan atau beban glukosa 75
gram pada TTGO. Cara diagnosis dengan kriteria ini tidak dipakai rutin di klinik.
Untuk penelitian epidemiologis pada penduduk dianjurkan memakai kriteria diagnosis
kadar glukosa darah puasa.

Ketiga kriteria diagnosis tersebut harus dikonfirmasi ulang pada hari yang lain atau esok
harinya, kecuali untuk keadaan khas hiperglikemia yang jelas tinggi dengan
dekompensasi metabolik akut, seperti ketoasidosis, berat badan yang menurun cepat.
Pemeriksaan penyaring perlu dilakukan pada kelompok tersebut dibawah ini
(Committe Report ADA-2006 ).
a. Kelompok usia dewasa tua ( > 45 tahun )
b. Obesitas BB ( kg ) > 110% BB ideal atau IMT > 25 ( kg/m2 )
c. Tekanan darah tinggi ( > 140/90 mmHg )
d. Riwayat DM dalam garis keturunan
e. Riwayat kehamilan dengan BB lahir bayi > 4000 gram atau abortus berulang
f. Riwayat DM pada kehamilan
g. Dislipidemia ( HDL < 35 mg/dl dan atau Trigliserida > 250 mg/dl )
h. Pernah TGT ( Toleransi Glukosa Terganggu ) atau glukosa darah puasa terganggu
(GDPT )

Anda mungkin juga menyukai